Anda di halaman 1dari 109

Hukum Akad Nikah dan Perwalian Lewat Telepon/Online

Hukum Akad Nikah dan Perwalian Lewat Telepon/Online. Permasalahan ini sebenarnya
merupakan pertanyaan salah seorang sahabat kita, yakni bang Gun Cool via facebook.
Redaksi pertanyaan beliau begini :

Pak helim mau nanya nih...


1. . Bolehkah perwalian nikah lewat telepon...?
2. . ijab kabul lewat telepon sah atau tidak...?
Mohon penjelasannya berdasarkan hukum yang berlaku....
Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih...sukses slalu buat pak helim

Bang Gun yang terhormat. Saya di sini hanya sharing saja, saya juga bukan seorang mujtahid
seperti layaknya para pakar hukum Islam lainnya, namun saya berupaya untuk berperan di
dunia hukum Islam, setidaknya belajar menjadi mujtahid.

Okey bang Gun, pertanyaan bang Gun itu ada 2, namun saya tanggapi sekalian aja ya Yang
pertama berkaitan dengan perwalian nikah lewat telepon. Kasus ini pernah terjadi pada
pasangan Sirojuddin Arif dan Iim Halimatus Sa'diyah. Dengan memanfaatkan teknologi
video teleconference dari Indosat, mereka melangsungkan akad nikah pada Maret 2007.
Kedua mempelai sedang berada di aula kampus Oxford University, Inggris, sedangkan wali
mempelai berada di Cirebon, Indonesia ketika akad nikah dilangsungkan.

Adapun pertanyaan yang kedua berkaitan dengan akad nikah online atau lebih khususnya
disebut pengucapan ijab dan qabul online. Kasus ini sudah banyak dilakukan, seperti Prof.
Dr. Baharuddin Harahap (besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta) di Kebayoran Baru
Jakarta, pada tanggal 13 Mei 1989 menikahkan anaknya dengan seorang pria Indonesia;
teman lama putrinya yang sedang tugas belajar di pasca sarjana Indiana University AS.

Begitu juga dengan pasangan Syarif Aburahman Achmad yang menikahi Dewi Tarumawati
dengan akad nikah jarak jauh via video teleconference pada 4 Desember 2006. Ketika itu
mempelai pria sedang berada di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sedangkan wali dan mempelai
wanita berada di Bandung, Indonesia.

Model pelaksanaan akad nikah lewat telepon/ video teleconference/online di atas,


mengundang reaksi dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Ada yang setuju, namun
tidak sedikit yang tidak setuju.

Mereka yang tidak setuju mengatakan bahwa akad nikah (pengucapan ijab qabul dan
perwalian) online mengandung kemudaratan, setidaknya dilihat dari adanya kemungkinan
penipuan yang akhirnya mengacaukan akad yang sakral ini, karena bisa jadi bukan calon
mempelai pria yang asli yang mengucapkan qabul. Oleh karena itu menurut mereka hal ini
tidak bisa dianggap main-main, sementara menurut mereka akad nikah masuk dalam kategori
ibadah yang artinya sama dengan mempermainkan agama bila melakukan pengucapan ijab
qabul atau perwalian secara online. Oleh karena itu, akad seperti ini tidak sah. Selain itu,
menurut mereka, apabila mengikuti pendapat Imam Syafii, akad seperti ini jelas tidak sah
karena tidak satu majelis (tidak di satu tempat ketika mengucapkan iajb qabul).
Kalau saya sendiri bang Gun ya.., sebelum memberikan jawaban terhadap pertanyaan abang,
saya memiliki pertimbangan sebagai berikut :

Permasalahan ini merupakan persoalan ijtihadiyah yakni hasil ijtihad para ulama, karena itu
ia merupakan produk pemikiran para ulama. Masing-masing ulama bisa berbeda, karena gaya
berpikirnya berbeda-beda, seperti Imam Hanafi menganggap sah akad nikah walau tidak satu
majelis, sementara Imam syafii memandang tidak sah. Oleh karena itu, karena masuk dalam
persoalan ijtihadiyah, maka ia termasuk masalah khilafiyah
Akad nikah memang akad yang sakral, sehingga jangan sampai dipermainkan, bahkan
berdosa (haram) apabila mempermainkannya, namun secara teoritis akad nikah lebih
dominan masuk dalam kategori urusan muamalah (urusan manusia dengan manusia), bukan
termasuk dalam kategori ibadah (urusan manusia dengan Allah), sehingga kesempatan untuk
melakukan pengkajian terhadap masalah muamalah ini lebih luas, bahkan konsep
kemaslahatan pun tampak leluasa digunakan dalam bidang muamalah ini. Oleh karena itu
pula, karena bukan termasuk lapangan ibadah, maka tampaknya tidak berdosa apabila adanya
pemikiran baru tentang cara pelaksanaan akad nikah. Yang dilihat kan, esensi dari akad nikah
tersebut.

Berdasarkan pertimbangan di atas, saya memiliki dua opsi kecenderungan

Kecenderungan pertama, bahwa pada zaman nabi bersama sahabat, telah ada tersirat adanya
perwakilan (taukil) ketika melakukan akad nikah. Perwakilan pada masa nabi ini tidak
dibatasi hanya kepada keluarga, tetapi boleh pula diwakili oleh orang lain dan tidak
ditemukan pula apakah hanya untuk mempelai pria atau termasuk pula wali. Oleh karena itu,
menurut hemat saya, perwakilan ini tidak saja dilakukan untuk mempelai pria, namun dapat
pula dilakukan untuk wali dan bisa dilakukan oleh orang lain.

Artinya di sini adalah, apabila seorang mempelai pria, karena kondisinya tidak bisa datang ke
acara akad nikahnya sendiri, maka ia bisa menghubungi orang yang dikenal olehnya sendiri
dan dikenal pula oleh mempelai perempuan dan kerabatnya untuk mewakili calon mempelai
pria dalam mengucapkan akad nikah atau membacakan surat yang diberikan mempelai pria.
Ketika akad nikah dilangsungkan, maka yang mewakili mengucapkan atau membacakan
qabul yang disampaikan Pegawai Pencatat Nikah. Ini juga termasuk satu majelis (tidak mesti
seperti yang dipahami Imam Syafii).

Selain itu, karena hal ini pernah diisyaratkan Nabi, maka pada zaman sekarang pun kita bisa
melakukannya, bahkan kita pun tidak memerlukan teknologi sekali pun. Jalan seperti ini,
menurut saya tampak lebih aman, dengan syarat, orang yang mewakili ini memang benar-
benar jujur dan didengar dengan baik oleh saksi dan wali bahwa ia memang mengucapkan
atau membacakan surat kuasa untuk akad nikah mempelai pria yang jauh di sana.

Kecenderungan kedua, menurut hemat saya kita perlu pula memperhatikan perkembangan
teknologi, sehingga kita tidak kaku ketika menghadapi segala macam perkembangan. Maksud
saya adalah, kalau sekiranya para mempelai yang melakukan akad nikah online (pengucapan
ijab qabul atau pun perwalian online) dan termasuk pula saksi dapat melihat dan mendengar
dengan jelas apa yang diucapkan mempelai pria, begitu juga wali dapat melihat dan
mendengar dengan jelas apa yang diucapkan mempelai pria, terlebih kedua mempelai,
keduanya dapat saling memandang dan saling mendengarkan, maka tampaknya tidak ada
syarat atau rukun akad nikah yang tertinggal atau dilanggar serta tidak ada pula hal-hal yang
menghalangi dilangsungkannya akad nikah online ini.

Kenapa disebut demikian, karena pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan akad nikah
online ini bisa saling pandang dan saling mendengar seperti halnya ketika kita duduk
berbicara dengan teman di sebelah kita. Hal ini pun, juga termasuk satu majelis, yakni ketika
diucapkannya ijab oleh wali, mempelai pria pun langsung dapat mengucapkan qabulnya.
Artinya akad yang seperti ini, menurut hemat saya adalah sah.

Dilihat dari aturan yang terdapat dalam Instruksi Presiden RI, Nomor 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, pada pasal 28 yang berbunyi :

Akad nikah dilaksanakan secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah
dapat mewakilkan kepada orang lain

Aturan di atas menunjukkan seperti yang saya gambarkan pada opsi pertama bahwa bolehnya
melakukan taukil (perwakilan) wali nikah kepada orang lain. Selanjutnya pada pasal 29 ayat
(1) dan (2) yang berbunyi :

(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi;
(2) Dalam hal-hal tertentu, ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan
ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan
wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

Aturan di atas juga menunjukkan bahwa calon mempelai pria juga dibolehkan mewakilkan
kepada orang lain untuk membacakan kabul untuk diri calon mempelai.

Jadi apabila kita mengikuti opsi pertama seperti yang digambarkan di atas, sebenarnya tanpa
alat teknologi pun, akad nikah dapat dilangsungkan. Artinya tidak mesti harus dilakukan
secara online.

Selanjutnya, perhatikan pula pada pasal 27 Instruksi Presiden RI tentang KHI ini, bahwa
ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu. Aturan ini mengisyaratkan terbukanya peluang untuk melaksanakan akad nikah
online dengan syarat seperti yang digambarkan pada opsi yang kedua di atas.

Dikatakan demikian, karena pada pasal 27 tersebut tidak ditemukan harus satu majelis dalam
pengertian seperti yang dianut mazhab syafii. Sebaliknya, walau jarak yang sangat jauh,
tetapi pengucapan iajb qabul atau perwalian online itu dapat dilakukan seperti yang
digambarkan pada opsi kedua dan seperti yang diatur pada pasal 27 KHI ini, maka akad nikah
online atau perwalian online termasuk akad nikah yang sah.

Kesimpulan saya adalah dua opsi di atas dan kemudian ditambah beberapa ketentuan
peraturan mazhab Indonesia (KHI) tersebut, bukanlah hal yang bertentangan. Justru dapat
bersinergi untuk saling mendukung. Ketika kondisinya mengharuskan untuk mengadakan
akad nikah (pengucapan ijab qabul atau perwalian) jarak jauh, maka upayakan terlebih
dahulu untuk mengadakan taukil atau perwakilan, namun apabila perwakilan ini tidak bisa
diterapkan dengan alasan-alasan yang kuat, maka barulah kita mengadakan akad nikah
(pengucapan ijab qabul atau perwalian) secara online dengan syarat seperti yang telah
digambarkan.
Inilah yang dapat saya share bang Gun, semoga dapat membantu atau setidaknya dapat
dijadikan bahan perbandingan dengan pendapat yang lebih ahli dari saya. Semoga
bermanfaat. Terima kasih.

Home > Khazanah > Fatwa

Akad Nikah Melalui Telepon, Sah Atau Tidak? (Bagian 1)


Rabu, 04 Desember 2013, 05:59 WIB

Komentar : 2

Republika/Agung Supriyanto

Menikah. (ilustrasi)

A+ | Reset | A-

REPUBLIKA.CO.ID, Akad nikah yang dilangsungkan melalui telepon dimana wali


mengucapkan ijabnya di satu tempat dan calon suami mengucapkan kabulnya dari tempat lain
yang jaraknya berjauhan. Meskipun tidak saling melihat, ucapan ijab dari wali dapat didengar
dengan jelas oleh calon suami.

Begitu pula sebaliknya, ucapan kabul calon suami dapat didengar dengan jelas oleh wali
pihak perempuan. Bagaimana kedudukan ijab dan kabul dalam kasus tersebut? Dalam
Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan ulama fikih berpendapat bahwa ijab dan kabul
dipandang sah apabila telah memenuhi beberapa persyaratan.
Meski begitu, mereka berbeda pendapat dalam menginterpretasikan istilah satu majelis
tersebut: apakah satu majelis itu diartikan secara fisik sehingga dua orang yang berakad harus
berada dalam satu ruangan yang tidak dibatasi oleh pembatas yang menghilangkan arti satu
ruangan.

Atau diartikan secara nonfisik sehingga ijab dan kabul harus diucapkan dalam satu upacara
yang tidak dibatasi oleh kegiatan-kegiatan yang menghilangkan arti satu upacara tersebut,
seperti perbuatan atau perkataan yang tidak ada kaitannya dengan acara akad nikah. Antara
ijab dan kabul harus bersambung.

Imam Syafii lebih cenderung memandangnya dalam arti fisik. Wali dan calon suami harus
berada dalam satu ruangan sehingga mereka dapat saling memandang. Hal ini dimaksudkan
agar kedua pihak saling mendengar dan memahami secara jelas ijab dan kabul yang mereka
ucapkan. Sehingga ijab dan kabul benar-benar sejalan dan bersambung.

Kesinambungan ijab dan kabul yang merupakan esensi dari satu ruangan itu merupakan
manifestasi kerelaan dan ketulusan dari kedua pihak yang berakad. Selain itu, bersatunya
ruangan akad erat kaitannya dengan tugas dua orang saksi, yakni memberitahukan pihak lain,
bila diperlukan, bahwa kedua suami istri itu benar-benar telah melakukan akad sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Menurut Imam Syafi'i, dua orang saksi harus melihat secara langsung dua orang yang
berakad. Dua orang saksi tidak cukup hanya mendengar ucapan ijab dan kabul yang
diucapkan oleh mereka. Jadi, Imam Syafii berpendapat bahwa kesaksian tuna netra tidak
dapat diterima karena ia tidak dapat melihat langsung pihak yang berakad.

Pun, akad nikah tidak sah bila dilakukan di malam gelap gulita tanpa alat penerang. Lebih
lanjut Imam Syafii mengatakan tugas saksi adalah memberitahu pihak lain bila diperlukan
bahwa kedua suami istri itu benar-benar telah melakukan akad sesuai dengan ketentuan yang
beriaku. Agar dapat melaksanakan tugas, kedua saksi harus mengetahui secara pasti bahwa
suami istri itu telah melakukan akad.

Kepastian itu diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran yang sempuma. Meskipun
keabsahan suatu ucapan atau perkataan dapat dipastikan dengan pendengaran yang jelas,
namun kepastian itu harus diperoleh dengan melihat secara langsung wali dan calon suami.

Apabila wali berteriak keras mengucapkan ijab dari satu tempat, kemudian disambut oleh
kabul calon suami dengan suara keras pula dari tempat lain, dan masing-masing pihak saling
mendengar ucapan yang lain, maka akad nikad seperti itu tidak sah.

Karena, kedua saksi tidak dapat melihat dua orang yang melakukan ijab dan kabul dalam satu
ruangan. Dengan demikian, menurut Imam Syafii, akad nikah melalui telepon tidak dapat
dipandang sah karena syarat tersebut di atas tidak terpenuhi.

Bersambung...

WANITA-WANITA YANG DILARANG DINIKAHI

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam

Wanita-wanita yang dilarang dinikahi ada dua macam : Wanita yang dilarang dinikahi selama-
lamanya, dan wanita yang dilarang dinikahi hingga waktu tertentu. Kelompok yang pertama ada
tujuh orang karena hubungan nasab, yaitu:

[1]. Ibu dan seterusnya ke jalur atas


[2]. Anak wanita dan seterusnya ke jalur bawah
[3]. Saudara wanita seayah seibu atau seibu atau seayah
[4]. Anak wanita istri (anak tiri)
[5]. Anak wanita saudara
[6]. Bibi dari garis ayah
[7]. Bibi dari garis ibu

Dalam pengharaman mereka, adalah firman Allah.

"Artinya : Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian".. Dan seterusnya [An-Nisa : 23]

Diharamkan pula yang seperti kedudukan mereka ini karena hubungan penyusuan, yang didasarkan
kepada sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, "Diharamkan karena penyusuan seperti yang
diharamkan karena nasab".

Adapun wanita yang haram dinikahi karena hubungan perbesanan adalah.

[1]. Ibu istri dan seterusnya ke jalur atas


[2]. Anak-anak wanita mereka dan seterusnya ke jalur bawah jika istri sudah disetubuhi.
[3]. Istri-istri bapak, kakak dan seterusnya ke jalaur atas
[4]. Istri-istri anak laki-laki dan seterusnya ke jalur bawah

Diharamkan pula yang seperti mereka karena penyusuan. Dalilnya adalah firman Allah : "Ibu istri-istri
kalian".[An-Nisa : 23]

Adapun wanita-wanita yang dilarang dinikahi hingga waktu tertentu, yaitu saudara wanita istri,
bibinya dari garis ayah dan ibu, istri kelima laki-laki merdeka yang sudah memiliki empat istri, wanita
pezina yang sudah bertaubat, wanita yang sudah ditalak tingga hingga dia menikah dengan laki-laki
lain, wanita ihram hingga dia menyelesaikan ihramnya, wanita pada masa iddah hingga habis masa
iddahnya.

Selain yang disebutkan ini halal dinikahi, sebagaimana firman Allah ketika menyebutkan wanita-
wanita yang tidak boleh dinikahi.

"Artinya : Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian".[An-Nisa : 24]


Dalam dua hadits berikut dalam bab ini disebutkan isyarat sebagian yang disampaikan diatas.

"Artinya : Dari ummu Habibah binti Abu Sufyan Radhiyallahu anhuma bahwa dia berkata, "Wahai
Rasulullah, nikahilah saudaraku wanita, putri Abu Sufyan". Beliau bertanya : "Apakah engkau
menyukai hal itu?" Dia menjawab, "Ya. Aku tidak merasa keberatan terhadap engkau dan aku
menyukai orang-orang yang bersekutu denganku dalam kebaikan, yaitu saudariku sendiri". Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya yang demikian itu tidak diperbolehkan
bagiku". Ummu Habibah berkata, "Kami mendengar bahwa engkau hendak menikahi puteri Abu
Salamah". Beliau betanya, "Putri Abu Salamah?" Aku berkata, "Ya". Beliau bersabda, "Sekiranya dia
bukan anak tiriku yang kubesarkan di dalam rumahku, dia tetap saja tidak halal bagiku. Dia juga putri
saudara sesusuanku karena aku dan Abu Salamah sama-sama menyusu kepada Tsuwaibah. Karena
itu janganlah engkau menawarkan lagi kepadaku putri-putri kalian dan tidak pula saudara-saudara
wanita kalian".
Urwah berkata, "Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab. Dulu Abu Lahab memerdekakan dirinya, lalu
dia menyusui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ketika Abu Lahab hendak meninggal, sebagian keluarganya melihatnya dalam kondisi yang lemah.
Dia bertanya, "Apa yang engkau temukan ?" Abu Lahab menjawab, "Aku tidak menemukan kebaikan
sesudah kalian. Hanya saja aku pernah disusui budak yang kumerdekakan ini, yaitu Tsuwaibah".

MAKNA SECARA UMUM


Ummu Habibah binti Abu Sufyan adalah salah seorang Ummahatul Mukminin Radhiyallahu anhuma.
Dia mendapatkan kedudukan yang terpandang dan merasakan kebahagiaan atas pernikahannya
dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Sudah sepantasnya dia merasakan hal itu. Lalu dia
meminta agar beliau menikahi saudarinya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam merasa ta'ajub, karena bagaimana mungkin dia mentolerir
suaminya menikah lagi dengan wanita lain yang akan menjadi madunya, karena wanita memiliki
kecemburuan yang besar dalam hal ini. Maka beliau bertanya dengan rasa heran, "Apakah engkau
menyukai hal itu?"

Dia menjawab, "Ya, aku menyukainya". Kemudian dia menjelaskan sebab kesukaannya sekiranya
beliau mau menikahi saudarinya, bahwa harus ada wanita lain yang bersekutu dengannya dalam
kebaikan dan dia tidak ingin kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Maka apa salahnya jika yang bersekutu
dalam kebaikan ini adalah saudarinya sendiri.

Seakan-akan dia tidak mengetahui pengharaman menikahi dua bersaudara. Karena itulah Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam memberitahunya, bahwa saudarinya itu tidak boleh beliau nikahi. Lalu
Ummu Habibah memberitahukan kepada beliau, bahwa dia mendengar kabar bahwa beliau akan
menikahi putri Abu Salamah.

Lagi-lagi beliau bertanya, "Apakah yang engkau maksudkan putri Ummu Salamah?"

Ummu Habibah menjawab, "Ya".

Maka beliau menjelaskan kebohongan berita itu, "Sesungguhnya putri Ummu Salamah tidak halal
bagiku karena dua sebab.

Pertama : Karena dia anak tiriku yang kuasuh di rumahku, karena dia putri istriku.
Kedua : Karena dia putri saudaraku dari sesusuan, karena aku dan ayahnya, Abu Salamah pernah
menyusu kepada Tsuwaibah, yaitu mantan budak Abu Lahab. Berarti aku juga merupakan
pamannya.

Karena itu janganlah engkau menawarkan putri-putri kalian dan saudari-saudari kalian kepadaku.
Aku lebih tahu dan lebih berhak daripada kalian untuk mengatur urusanku semacam ini".

KESIMPULAN HADITS
[1]. Pengharaman menikahi saudari istri, dan hal itu tidak diperbolehkan
[2]. Pengharaman menikahi anak tiri, yaitu putri istri yang sudah dicampuri.
[3]. Penyebutan rumah ini, di sini bukan merupakan sasaran, tapi penyebutan maksud
penghindaran.
[4]. Larangan menikahi putri saudara sesusuan, karena diharamkan dari sesusuan seperti yang
diharamkan dari nasab
[5]. Seorang mufti harus menyampaikan rincian fatwa jika ditanya tentang suatu masalah yang
hukumnya berbeda-beda, dengan perbedaan semua sisinya.
[6]. Mufti harus mengarahkan penanya dengan penjelasan apa yang harus dipaparkan dan yang
dapat diterima, apalagi terhadap orang yang memang harus dia arahkan dan dia bimbing, seperti
anak dan istri.
[7]. Menurut zhahirnya, Ummu Habibah memahami pembolehan saudari istri bagi Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam, karena hal itu termasuk kekhususan bagi beliau. Yang demikian itu
karena tidak ada qiyas antara saudari istri dan anak tiri. Tapi ketika dia mendengar beliau akan
menikahi anak tirinya, padahl hal itu diharamkan berdasarkan ayat yang mengharamkan penyatuan
dua bersaudara, maka dia mengira adanya pengkhususan dari keumuman ini.

"Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, "Tidak boleh menikahi wanita sekaligus bersama bibinya dari garis ayah dan tidak pula
dari garis ibu".

MAKNA SECARA UMUM


Syariat yang suci ini datang dengan membawa sesuatu yang di dalamnya terkandung kebaikan dan
kemaslahatan, memerangi segala sesuatu yang di dalamnya terkandung kerusakan dan mudharat. Di
antaranya, ia menyuruh kepada cinta dan kasih sayang, melarang pemutusan hubungan,
permusuhan dan kebencian

Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mempebolehkan poligami karena kemaslahatan, ketika
beberapa wanita berhimpun menjadi istri seorang lelaki, maka tidak jarang terjadi permusuhan dan
kebencian di antara mereka, yang pangkalnya adalah kecemburuan. Karena itulah beliau melarang
poligami di antara kerabat, khawatir akan terjadi permusuhan hubungan diantara kerabat.

Beliau melarang dua bersaudara dinikahi, begitu pula bibi dari pihak ayah dengan putri saudara laki-
laki, putri saudara wanita dengan bibi dari pihak ibu dan lain-lainnya, yang sekiranya salah satu di
antara keduanya diberi anak laki-laki dan yang lain wanita, maka diharamkan pernikahan dengannya
menurut perhitungan nasab.

Hadits ini menjadi pengkhususan dari keumuman firman Allah, "Dan, dihalalkan bagi kalian selain
yang demikian". Kita sudah mendapatkan kejelasan hukum-hukumnya sehingga tidak perlu lagi
rinciannya, karena toh maknanya sudah jelas dan tidak lagi umum.

FAIDAH HADITS
Menikahi wanita bersaudara, wanita dengan bibinya dari pihak ayah, wanita dengan bibinya dari
pihak ibu, adalah diharamkan, yang menurut pernyataan Ibnul Mundzir, "Saya tidak melihat
perbedaan pendapat hingga saat ini tentang masalah tersebut. Para ulama sudah menyepakatinya".
Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hazm, Al-Qurthuby dan An-Nawawy menukil ijma' tentang masalah ini,
menurut Ibnu Daqiq Al-Id, itulah yang disimpulkan dari As-Sunnah. Kalau pernyataan Al-Kitab
menetapkan pembolehan, yang didasarkan kepada firman Allah. "Dan, dihalalkan bagi kalian selain
yang demikian", hanya saja para imam di seluruh wilayah mengkhususkan keumuman dalam ayat di
atas dengan hadits ini. Ini merupakan dalil diperbolehkannya mengkhususkan keumuman Al-Kitab
dengan khabar ahad. Ini merupakan pendapat empat imam.

Menurut Ash-Shan'any, yang dimaksudkan khabar ahad di sini bukan pengabaran satu orang, tapi
pengabaran selain mutawatir. Menurut Al-Hafizh Ibnu hajar menyebutkan bahwa hadits ini
diriwayatkan tiga belas sahabat. Ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang beranggapan
bahwa hadits ini hanya diriwayatkan Abu Hurairah.

Faidah lain, menikahi wanita Ahli Kitab diperbolehkan berdasarkan ayat Al-Maidah. Ini merupakan
pendapat jumhur salaf dan khalaf, empat imam dan lain-lainnya. Boleh jadi ada yang berkata, Allah
mensifati mereka (para Ahli Kitab) dengan syirik, dalam firmanNya, "Mereka menjadikan pendeta-
pendeta dan rahibnya sebagai tandingan selain Allah". Hal ini dapat dijawab sebagai berikut : Dalam
dasar agama Ahli Kitab tidak ada syirik. Kalaupun mereka disifati dengan syirik, karena syirik yang
mereka ciptakan. Dasar agama mereka adalah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan, yang
membawa tauhid dan bukan syirik. Ini merupakan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Perempuan yang Haram Dinikahi


Sabtu 28 Rabiulakhir 1435 / 1 Maret 2014 10:00

Laporkan iklan?
Laporkan iklan ?

MENIKAH merupakan sebuah ibadah yang melimpahkan banyak pahala bagi orang yang
melakukannya dengan semata-mata mengharap ridha Allah swt. Pada hakikatnya menikah
adalah salah satu gerbang utama untuk mempersatukan cinta kedua insan dengan tali kasih
sayang yang halal dan suci.

Berbicara tentang halal, tidak semua perempuan dapat dinikahi oleh laki-laki sekalipun
keduanya beragama islam. Sebelum menikahi seorang perempuan, hendaknya laki-laki harus
dapat menelusuri apakah perempuan tersebut halal untuk dinikahi atau tidak. Karena, jika
laki-laki menikahi perempuan yang haram untuk dinikahi maka pernikahannya tidak sah atau
batal. Jika terus dilanjutkan dan sampai melakukan hubungan intim maka hukumnya adalah
zina. Naudzubillaahi min dzaalik.

Agama islam telah menetapkan wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki dikarenakan
beberapa alasan, diantaranya yaitu:

Karena ada hubungan nasab (qoroobah):

1. Ibu dan ibunya ibu (nenek), ibu dari bapak, dan seterusnya sampai ke atas;
2. Anak dan cucu dan seterusnya sampai ke bawah;
3. Saudara perempuan kandung (seibu sebapak), sebapak saja atau seibu saja;
4. Saudara perempuan dari ayah (bibi dari pihak ayah (aammah));
5. Saudara perempuan dari ibu (bibi dari pihak ibu (khoolah));
6. Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan) dan seterusnya;
7. Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan) dan seterusnya.

Karena ada hubungan perkawinan (mushooharoh):


1. Ibu dari istri (mertua);
2. Anak perempuan dari istri yang sudah digauli atau anak tiri, termasuk anak-anak mereka ke
bawah;
3. Istri anak (menantu) atau istri cucu dan seterusnya;
4. istri ayah (ibu tiri).

Karena hubungan susuan (rodhooah):

1. Perempuan yang menyusui (ibu susu);


2. Ibu dari perempuan yang menyusui (nenek susu);
3. Ibu dari suami perempuan yang menyusui;
4. Saudara perempuan dari perempuan yang menyusui;
5. Saudara perempuan dari suami perempuan yang menyusui;
6. Anak dan cucu perempuan dari perempuan yang menyusui;
7. Saudara perempuan , baik saudara kandung, seayah atau seibu.

Larangan menikah untuk sementara (muaqqat), yaitu larangan untuk menikahi perempuan-
perempuan yang masih dalam kondisi tertentu atau keadaan tertentu. maka apabila kondisi
tersebut hilang, hilang pulalah larangan tersebut sehingga perempuan tersebut halal untuk
dinikahi. Mereka itu diantaranya:

1. Menggabungkan untuk menikahi dua perempuan yang bersaudara;


2. Menggabungkan untuk menikahi seorang perempuan dan bibinya;
3. Menikahi lebih dari empat perempuan;
4. Perempuan musyrik;
5. Perempuan yang bersuami;
6. perempuan yang masih dalam masa iddah (menunggu);
7. Perempuan yang sudah dijatuhi talak tiga. Maka bagi yang menalak tiga istrinya, haram
untuk dinikahi kembali kecuali sudah ada yang menyelanya.

Selain empat hal yang di uraikan tadi, masih ada pernikahan yang terlarang, diantaranya yaitu
nikah dengan tujuan untuk mentalaknya, nikah tahlil (seseorang menikahi seorang perempuan
yang telah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan untuk menceraikannya kembali agar
dapat dinikahi lagi oleh mantan suaminya), nikah dengan mantan istri yang sudah ditalak
tiga, nikah shigar (seseorang yang telah menikahkan anaknya dengan seorang laki-laki, agar
ia menikahkan anaknya dengannya tanpa mahar, nikahnya seseorang yang sedang
melaksanakan ihram haji atau umrah, nikah dengan perempuan kafir, dan nikah dengan
perempuan yang tidak beragama islam. Wallahu alam. [retsa/islampos/pendidikan agama
islam dalam keluarga]

Rukun & Syarat Nikah


Posted on 17 Desember 2007 by tafany

By. Agung, M.Santoso, Ahmadi, Nur Muthmainnah, Ayuningtyas

Rukun Nikah
Rukun adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu takkan ada tanpanya.Dengan
demikian, rukun perkawinan adalah ijab dan kabul yang muncul dari keduanya berupa
ungkapan kata (shighah). Karena dari shighah ini secara langsung akan menyebabkan
timbulnya sisa rukun yang lain.

o Ijab: ucapan yang terlebih dahulu terucap dari mulut salah satu kedua belah pihak
untuk menunjukkan keinginannya membangun ikatan.

o Qabul: apa yang kemudian terucap dari pihak lain yang menunjukkan kerelaan/
kesepakatan/ setuju atas apa yang tela siwajibkan oleh pihak pertama.

Dari shighah ijab dan qabul, kemudian timbul sisa rukun lainnya, yaitu:

o Adanya kedua mempelai (calon suami dan calon istri)

o Wali

o Saksi

Shighah akad bisa diwakilkan oleh dua orang yang telah disepakati oleh syariat, yaitu:

o Kedua belah pihak adalah asli: suami dan istri

o Kedua belah pihak adalah wali: wali suami dan wali istri

o Kedua belah pihak adalah wakil: wakil suami dan wakil istri

o Salah satu pihak asli dan pihak lain wali

o Salah satu pihak asli dan pihak lain wakil

o Salah satu pihak wali dan pihak lain wakil

Syarat-syarat Nikah

Akad pernikahan memiliki syarat-syarat syari, yaitu

terdiri dari 4 syarat:

o Syarat-syarat akad

o Syarat-syarat sah nikah

o Syarat-syarat pelaksana akad (penghulu)

o Syarat-syarat luzum (keharusan)

1. Syarat-syarat Akad
a). Syarat-syarat shighah: lafal bermakna ganda, majelis ijab qabul harus bersatu,
kesepakatan kabul dengan ijab, menggunakan ucapan ringkas tanpa menggantukan
ijab dengan lafal yang menunjukkan masa depan.

b). Syarat-syarat kedua orang yang berakad:

keduanya berakal dan mumayyiz

keduanya mendengar ijab dan kabul , serta memahami maksud dari ijab dan qabul
adalah untuk membangun mahligai pernikahan, karena intinya kerelaan kedua
belah pihak.

c). Syarat-syarat kedua mempelai:

o suami disyaratkan seorang muslim

istri disyaratkan bukan wanita yang haram untuk dinikahi, seperti; ibu, anak
perempuan, saudara perempuan, bibi dari bapak dan dari ibunya.

o disyaratkan menikahi wanita yang telah dipastikan kewanitaannya, bukan waria.

2. Syarat-syarat Sah Nikah

a). Calon istri tidak diharamkan menikah dengan calon suami

b). Kesaksian atas pernikahan

keharusan adanya saksi

waktu kesaksian, yaitu kesaksian arus ada saat pembuatan akad

Hikmah adanya kesaksian

Pernikahan mengandung arti penting dalam islam, karena dapat memberi


kemaslahatan dunia dan akhirat. Dengan demikian ia harus diumumkan dan tidak
disembunyikan. Dan cara untuk mengumumkannya adalah dengan menyaksikannya.

Syarat-syarat saksi

berakal, baligh, dan merdeka

para saksi mendengar dan memahami ucapan kedua orang yang berakad

jumlah saksi, yatu dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang
perempuan. Q. S. Al-Baqoroh : 282

Islam
adil

c). Lafal (Shighah) akad perkawinan bersifat kekal

Demi keabsahan akad nikah, shighah disyaratkan untuk selamanya (kekal) dan tidak
bertempo (nikah mutah).

3. Syarat-syarat Pelaksana Akad (Penghulu)

Maksudnya ialah orang yang menjadi pemimpin dalam akad adalah orang yang berhak
melakukannya.

a). Setiap suami istri berakal, baligh, dan merdeka

b). Setiap orang yang berakad harus memiliki sifat syarI : asli, wakil, atau wali dari
salah satu kedua mempelai.

4. Syarat-syarat Luzum (Keharusan)

a). Orang yang mengawinkan orang yang tidak memiliki kemampuan adalah orang yang
dikenal dapat memilihkan pasangan yang baik, seperti keluarga atau kerabat dekat.

b). Sang suami harus setara dengan istri

c). Mas kawin harus sebesar mas kawin yang sepatutnya atau semampunya.

d). Tidak ada penipuan mengenai kemampuan sang suami.

e).Calon suami harus bebas dari sifat-sifat buruk yang menyebabkan diperbolehkannya
tuntutan perpisahan (perceraian).

Pertanyaan-pertanyaan:

1. Bayu

S: Kenapa wali dalam perkawinan harus laki-laki dan bukan perempuan?

J: janganlah perempuan menikahkan perempuan-perempuan lain, dan jangan pula


seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri.

(H.R. Ibnu Majah dan Daruquthni)

2. Zainal

S: a). Apa yang dimaksud telah dipastikan / disahkan kewanitaannya?


b). Apa yang dimaksud mas kawin sepatutnya?

J: a). Maksudnya ialah orang yang akan dijadikan istri adalah benar-benar seorang
wanita, bukan waria. Cara mengetahui bahwa ia seorang wanita atau waria, yaitu
dalam proses taaruf atau masa perkenalan, kita bisa melihat dari sikapnya,
pergaulannya (dngan siapa ia bergaul), dari keluarganya, serta dari tetangga atau
kerabat dekatnya.

b). Sepatutnya disini mas kawin/ mahar yang diberikan dengan kesepakatan dan
keridhaan kedua belah pihak. Definisi sepatutnya biasanya lebih condong ke
permpuan, laki-laki menyesuaikan dengan keadaan perempuan.

Sedangkan semampunya lebih condong ke laki-laki dalam menentukan mahar, tidak


memberatkan pihak laki-laki karena sesuai kemampuan laki-laki.

3. Khadijah

S: Dalam ijab qabul tidak disbutkan yang menikah itu sesame manusia, bagaimana
kalau salah satu pihaknya jin atau syaithan?

J: Kembali lagi ke tujuan menikah, kalau memang tidak tercapai maka tidak bisa.
Menikah adalah ibadah dan kalau ibadah itu sbaiknya dicari yang di perintahkan,
bukan dicari yang dilanggar. Karena sudah menjadi fitrah manusia untuk menyukai
sesama manusia, bukan terhadap hal yang ghaib dan menentang syara. Allah swt.
telah mnciptakan manusia berpasang-pasangan, yaitu manusia dengan manusia yang
brlainan jenisnya (laki-laki dan perempuan).

4. Ibu Sari

S: a). Kenapa rukunnya hanya ijab dan qabul?

b). Bagaimana kalau menikah tetapi wali (ayah kandung) tidak diketahui
keberadaannya?

J: a). Kami meringkas menjadi ijab qabul saja, karena dalam ijab qabul itu sendiri
rukun lainnya sudah pasti termasuk dalam ijab qabul itu. Rukun lengkapnya yaitu:
shighat (Ijab dan Qabul), kedua mempelai (calon suami dan calon istri), wali, dan
saksi.

b). Berusaha mencari ayah kandungnya dulu, karena yang diberi hak menikahkan
anaknya terutama yang perawan adalah ayah kandung. Ayah mmiliki keistimewaan
dari wali yang lain. Jika memang tidak ditemukan maka walinya adalah wali jauh, ika
tidak ada wali jauh maka wali hakim.

5. Maulana

S: a). Bagaimana menikah dengan orang yang berbeda agama?

b). Bagaimana hukumnya menikah dibawah tangan (nikah sirri)?


J: a). Tidak halal perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki musyrik dan sebaliknya
dan uga ahli kitab. Lihat Q.S. Al-mumtahanah: 10 dan Q.S. Al-Baqarah: 22.

b). Menikah dibawah tangan sah hukumnya menurut agama, tetapi tidak tercatat di
KUA. Hendaknya dalam pernikahan dipakai konsep halalan toyyiban. Menikah jenis ini
memang baik dan sah menurut rukun dan syaratnya, tapi konsekuensi dari pernikahan
ini agak lebih berisiko. Selain itu, tujuan adanya pencatatan di KUA agar kedua belah
pihak bisa mempunyai hak yang sama di mata hokum dan tidak ada yang dirugikan.
Selama tujuan dari pemerintah dalam mengadakan pencatatan sipil adalah baik, maka
kita harus mematuhinya.

6. Indah

S: Lebih baik mana ijab qabul secara terpisah atau digabung antara kedua calon
mempelai?

J: Baiknya secara terpisah agar tidak terjadi kontak fisik sebelum menjadi muhrim.
Akan tetapi, dilihat kondisinya, jika dalam kesehariannya calon mempelai biasa
dengan khalwat ataupun tidak memakai syariat Islam dalam membina hubungan
sebelum menikah, maka penggunaan hijab tidak akan ada manfaatnya.

7. Nur Mawadah

S: Bagaimana jika walimatu ursy dipisah antara ikhwan dengan akhwat?

J: Tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak. Jika keduanya sepakat untuk
dipisah atau digabung, pastinya mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Selain
itu, lihatlah kondisi adat (kebiasaan) dan budaya yang biasa dipakai, karena masing-
masing daerah maupun negara mempunyai adat dan budaya yang berbeda dalam hal ini.

Tahu Sama Tahu/Menikah/Akad nikah


Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas

< Tahu Sama Tahu | Menikah

Akad nikah merupakan acara kunci dalam pernikahan. Pada intinya akad nikah adalah
upacara keagamaan untuk pernikahan antara dua insan manusia. Melalui akad nikah, maka
hubungan antara dua insan yang saling bersepakat untuk berumah tangga diresmikan di
hadapan manusia dan Tuhan.

Daftar isi

1 Lokasi
2 Rukun Nikah
3 Ijab & Kabul
o 3.1 Bahasa Indonesia
o 3.2 Bahasa Arab
4 Temu Manten
5 Hal-hal lain

Lokasi

Akad nikah umumnya dilakukan pada tempat-tempat sebagai berikut:

Dalam ruangan masjid (dengan resiko mempelai wanita tidak diperbolehkan mengikuti
prosesi acara ini jika sedang mengalami haid)
Di rumah mempelai wanita (lebih disukai)
Di rumah mempelai pria (jika kediaman mempelai wanita dirasa kurang pas)

Rukun Nikah

Menurut agama Islam, rukun nikah ada 5 poin, yakni:

1. Calon mempelai pria


2. Calon mempelai wanita
3. Wali mempelai wanita
4. Saksi, minimal 2 orang
5. Ijab & kabul

Ijab & Kabul

Ijab & kabul merupakan ucapan dari orangtua/wali mempelai wanita untuk menikahkan
putrinya kepada sang calon mempelai pria. Ijab kabul sebenarnya bukan hanya dikenal dalam
upacara akad nikah, tetapi juga dalam jual beli. Yakni ketika si penjual dan pembeli
melakukan transaksi dan kesepakatan. Mungkin kata lainnya yang lebih mudah adalah
ucapan sepakat antara kedua belah pihak. Orang tua mempelai wanita melepaskan putrinya
untuk dinikahi oleh seorang pria. Sedangkan mempelai pria menerima mempelai wanita
untuk dinikahi.

Pemilihan bahasa untuk pengucapan ijab & kabul diputuskan oleh sang calon mempelai pria.
Di beberapa adat suku Indonesia, penggunaan bahasa Arab dirasakan lebih utama ketimbang
bahasa Indonesia. Meskipun pemilihan bahasa sama sekali tidak berpengaruh terhadap
keabsahan ijab & kabul akad nikah. Barangkali pemilihan bahasa lebih dipengaruhi oleh
budaya dan harga diri.

Bahasa Indonesia

Dalam bahasa Indonesia, pernyataan ijab kurang lebih sebagai berikut:

Saya nikahkan engkau, xxxx <nama calon mempelai pria> bin yyyy <nama ayah calon
mempelai pria> dengan ananda xxxx <nama calon mempelai wanita> binti yyyy <nama ayah
calon mempelai wanita>, dengan mas kawin zzzz <semisal: perhiasan emas 18 karat seberat
20 gram> dibayar <tunai/hutang>
Pernyataan di atas harus segera dijawab oleh calon mempelai pria, tidak boleh ada jeda waktu
yang signifikan (sehingga bisa disela dengan pengucapan kabul oleh pihak selain calon
mempelai pria), yaitu:

Saya terima nikahnya xxxx <nama calon mempelai wanita> binti yyyy <nama ayah calon
mempelai wanita> dengan mas kawin tersebut dibayar <tunai/hutang>

Contoh

Nama-nama di bawah ini merupakan contoh yang sengaja dipilih untuk memudahkan
pemahaman artikel

Calon mempelai pria : Budi Setiawan


Ayah mempelai pria : Darmawan Setiawan
Calon mempelai wanita: Anita
Ayah mempelai wanita : Badrun

Ijab yang diucapkan Bp. Badrun ingin menikahkan putrinya sendiri (tanpa diwakilkan):

Saya nikahkan engkau, Budi Setiawan bin Darmawan Setiawan, dengan putri saya, Anita
binti Badrun dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sejumlah Rp
112.000 dibayar tunai ...

Maka, mas Budi Setiawan harus mengucapkan kabul (menjawab) dengan segera (kalau bisa
dalam satu nafas):

Saya terima nikahnya, Anita binti Badrun dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.

Setelah mas Budi Setiawan mengucapkan kabul, para saksi mengecek apakah pengucapan
ijab dan kabul ini tidak diselingi oleh pernyataan lain. Dengan kata lain, ucapan ijab dari wali
mempelai wanita dengan kabul dari mempelai pria harus sambung menyambung tanpa putus,
tanpa ada jeda. Jika para saksi menganggap ijab dan kabulnya sambung menyambung, maka
biasanya mereka menetapkan bahwa akad nikah yang barusan dilakukan adalah sah, dengan
mempertimbangkan terpenuhinya persyaratan rukun nikah.

Bahasa Arab

Apabila calon mempelai pria memutuskan untuk menggunakan bahasa Arab untuk ijab &
kabul, maka yang perlu dihafalkan adalah lafadz kabul yang harus diucapkan sebagai berikut:

Yang harus segera diucapkan tanpa jeda sedikit pun setelah wali nikah (baik ayah mempelai
wanita sendiri atau diwakilkan) mengucapkan:



<nama mempelai wanita> < nama ayah mempelai wanita> < menyebut mas
kawin>

Temu Manten

Acara ini dilaksanakan apabila dalam prosesi akad nikah, mempelai wanita tidak
disandingkan dengan mempelai pria. Alias sang mempelai pria ketika melakukan ijab kabul
dengan sang ayah mertua, belum dipertemukan dan melihat sang mempelai wanita. Sebagian
adat mensyaratkan hal ini dengan berbagai pertimbangan. Sehingga mempelai wanita
dipersiapkan sedemikian rupa untuk dilihat oleh suaminya yang sah. Bahkan mempelai pria
sama sekali tidak diperbolehkan mengintip mempelai wanita beberapa hari sebelum
pernikahannya.ok juga.!

Namun hal di atas tidak berarti bahwa mempelai pria sama saja membeli kucing dalam
karung. Hanya pada saat acara akad nikahnya saja, mempelai pria tidak boleh melihat calon
istrinya. Meskipun tidak menutup kemungkinan sang calon istri mengintip calon suaminya.
Tentu saja sebelumnya kedua calon mempelai harus diperkenalkan terlebih dahulu satu sama
lain, sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasulullah saw.

Hal-hal lain

Calon mempelai wanita tidak harus disandingkan dengan calon mempelai pria ketika
mengucapkan ijab kabul.
Yang paling utama adalah pengucapan ijab oleh Wali (mempelai wanita), yang dijawab
dengan kabul oleh calon mempelai pria.
Alat solat bukanlah mas kawin yang resmi, sebagai simbol pihak mempelai pria meminang
mempelai wanita. Merupakan bagian dari budaya Indonesia untuk menunjukkan dan
menasihati kepada mempelai wanita untuk taat beribadah.
Sebaiknya mas kawin memiliki nilai nominal yang cukup signifikan bagi pihak mempelai pria
sebagai simbol tanggung jawab menjadi pemimpin keluarga. Misalnya perhiasan emas, uang
tunai, dsb, yang sebenarnya sangat bergantung dari permintaan calon mempelai wanita agar
rela dinikahi oleh calon mempelai pria.
Bagi calon mempelai pria yang memiliki keterbatasan ekonomi, mas kawin dapat dihutang
atau dicicil. Tidak harus dibayar tunai pada saat itu jug

Bolehkah Ayah Angkat Menjadi Wali Nikah?


Assalamualaikum, saya mau tanya, bagaimana hukumnya jika ayah angkat menjadi wali
nikah untuk anak angkatnya? Posisi saya adalah anak adopsi. Menurut pandangan Islam
bagaimana? Kemudian, apa saya mempunyai hak untuk mengetahui asal usul saya? Jika saya
tahu, sebenarnya saya tidak akan meninggalkan keluarga saya sendiri. Terima kasih.
Wassalamualaikum.
me_megi

Jawaban:
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.
Waalaikumsalam wr.wb. Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Perkawinan dalam Islam adalah sah apabila memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam
yakni harus ada [Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam(KHI)]:
1. Calon suami;
2. Calon istri;
3. Wali nikah;
4. Dua orang saksi; dan
5. Ijab dan qabul.

Kami berfokus pada wali nikah sebagaimana yang Anda tanyakan. Dalam perkawinan, adanya wali nikah
merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan, demikian
yang dikatakan dalam Pasal 19 KHI.

Berikut ketentuan-ketentuan mengenai wali nikah yang kami rangkum dari Pasal 20 s.d Pasal 23 KHI:

1. Syarat wali nikah


Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni
muslim, aqil dan baligh.

2. Wali nikah terdiri dari:


a. Wali nasab
Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu
didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon
mempelai wanita.

Kelompok tersebut yakni:


1) Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah
dan seterusnya.
2) Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung, atau saudara laki-laki seayah, dan
keturunan laki-laki mereka.
3) Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah
dan keturunan laki-laki mereka.
4) Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan
keturunan laki-laki mereka.

Dari kelompok-kelompok di atas terdapat ketentuan sebagai berikut:


1. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak
menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat
kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
2. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak
menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
3. Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat
kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali
nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
4. Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali
nikah, atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah
udzur, maka hak wali bergeser ke wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

b. Wali hakim
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak
mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau
enggan.

Dari sejumlah ketentuan mengenai wali nikah di atas bisa kita ketahui bahwa wali nikah yang dimaksud dalam
Islam adalah kerabat laki-laki kandung, baik itu ayah, saudara laki-laki seayah, atau kerabat lain sesuai urutan
kekerabatan yang kami uraikan di atas. Dengan demikian, dalam konteks pertanyaan Anda, ayah angkat Anda
tidak bisa bertindak sebagai wali nikah untuk menikahkan Anda karena ayah angkat tidak memiliki hubungan
kekerabatan kandung dengan Anda sebagaimana yang dipersyaratkan dalam hukum Islam.

Solusinya adalah pertama-tama, Anda perlu mencari tahu asal-usul Anda. Jika memang ayah kandung Anda
tidak ada, maka yang bertindak sebagai wali nikah adalah kelompok wali nasab yang kami sebutkan di atas tadi
sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan Anda sebagai calon mempelai wanita. Jika memang tidak ada,
jalan terakhir adalah wali hakim yang bertindak sebagai wali nikah Anda. Wali hakim berdasarkan Pasal 1
huruf b KHI ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya yang
diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.

Akan tetapi, lebih dari pada itu, dalam praktiknya, apabila anak angkat tersebut tidak diketahui siapa orang tua
kandungnya, maka yang menjadi wali nikah anak perempuan angkat adalah ayah angkatnya. Dalam sebuah
tulisan Anak Istilhaq (Kaitannya Dengan Kewenangan PA tentang Pengangkatan Anak) yang kami peroleh dari
laman resmi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung dikatakan bahwa
anak perempuan yang diangkat kemudian diistilhaqkan/dihubungkan kepada orang tua angkatnya
berdasarkan penetapan hakim pengadilan agama, maka wali nikahnya adalah ayah angkatnya.

Lebih lanjut dikatakan antara lain dalam tulisan tersebut bahwa antara anak angkat yang tidak diketahui siapa
orang tua kandungnya dengan orang tua angkat terjalin hubungan darah/nasab dan hak saling mewaris
sebagaimana hubungan anak kandung dengan orang tuanya. Jika anak angkat itu perempuan, maka wali
nikahnya adalah ayah angkatnya. Kalau ayah angkat telah meninggal dunia, maka wali nikah adalah wali ab'ad
atau wali hakim. Seandainya orang tua angkat adalah perempuan maka wali nikah anak angkat adalah wali
nasab dari ibu angkatnya atau wali hakim. Hal ini didasarkan pada peristiwa dan perbuatan hukum yang timbul
akibat perkembangan dan dinamika masyarakat yang perlu dicari solusi hukumnya.

Kemudian kami akan menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai asal-usul Anda sebagai anak angkat.
Memang, pada dasarnya setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri. Tapi, dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang
anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau
anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku [lihat Pasal 7
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak)].

Menurut penjelasan pasal ini, ketentuan mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dalam arti
asal-usulnya (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah
antara anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya,
dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya.

Jadi, pada dasarnya, Anda berhak untuk dibesarkan dan diasuh oleh orang tua kandung Anda sendiri. Di
samping itu, jika memang pengangkatan anak itu terjadi, pengangkatan anak itu pada dasarnya juga tidak boleh
sampai memutuskan silsilah dan hubungan darah antara Anda dengan orang tua kandung Anda.
Selanjutnya, apakah Anda berhak untuk bertanya mengenai asal-usul Anda? Hal ini berkaitan dengan kewajiban
orang tua angkat Anda yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 40 UU Perlindungan Anak:

(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang
tua kandungnya.
(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

Adapun yang dimaksud dengan kesiapan dalam Pasal 40 ayat (2) UU Perlindungan Anak ini diartikan apabila
secara psikologis dan psikososial diperkirakan anak telah siap. Hal tersebut biasanya dapat dicapai apabila anak
sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun.

Menjawab pertanyaan Anda, ini artinya, jika saat ini Anda telah mendekati usia 18 tahun atau lebih, Anda
berhak diberitahu oleh orang tua angkat Anda mengenai asal-usul Anda dan orang tua kandung Anda.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
2. Kompilasi Hukum Islam.

SEORANG WANITA MENIKAH TANPA WALI, DIA INGIN MENGULANGI


AKADNYA, TAPI SUAMI MENOLAK
enarurrb
Saya menikah beberapa bulan yang lalu tanpa sepengetahuan keluarga saya (keluarga saya
non muslim). Maka kami sepakat pernikahan kami dilakukan secara rahasia hingga keluarga
menyetujui. Pernikahan dilakukan sangat sederhana. Akan tetapi saya baru tahu kemudian
bahwa pernikahan seperti itu tidak benar, karena tidak ada wali bagi saya saat menikah, yang
ada saat itu hanya dua orang saksi. Saya beritahu suami sejak saya mengetahui hal tersebut.
Namun sang suami tidak ingin mengulangi pernikahan karena dia merasa tidak siap menikah.
Problemnya adalah bahwa kini kami telah tinggal bersama dan saya sekarang hamil. Dia
bahkan berkata bahwa anak kami adalah anak zina, dan dia tidak bertanggung jawab atasnya.
Dia menyerahkan kepada saya keputusan tentang anak tersebut dan dia menghendaki agar
saya melakukan aborsi demi kami dan demi anak tersebut.
Mohon nasehatnya. Jika keluarga saya mengetahuinya, mereka akan berlepas diri dari saya
dan tidak ada tempat bernaung bagi saya. Kehamilan saya sekarang masih dalam minggu-
minggu pertama.

Alhamdulillah

Islam mengharamkan wanita menikah tanpa wali dan menyatakan bahwa akad seperti itu
adalah rusak. Seorang kafir tidak berhak menjadi wali bagi wanita. Apabila tidak ada
seorangpun dari keluarganya yang muslim, maka pejabat dari kaum muslim atau mufti atau
ketua lembaga Islam dapat menjadi wali.

Ibnu Qudamah berkata, "Adapun orang kafir, dia tidak dapat menjadi wali sama sekali bagi
wanita muslimah berdasarkan ijmak para ulama." (Al-Mughni, 7/356)
Kami telah sebutkan sebelumnya dalil-dalil dan perkataan para ulama. Lihah jawaban soal
no. 7989, no. 2127.

Akad anda tidak sah, harus dibatalkan dan anda hendaknya menjauh dari suami. Suami harus
mengulangi pernikahan dengan cara yang sesuai syariat jika dia berminat menikah dengan
anda. Saran saya adalah anda hendaknya minta seseorang menengahi problem anda dengan
meminta bantuan orang-orang baik yang dapat meyakinkan suami anda tentang masalah ini
dan meluruskan kesalahannya serta melindungi anda dan anak anda. Jika dia tidak memenuhi
permintaan anda, maka nasehat kami adalah agar anda menjauh darinya, karena ucapannya
menunjukkan dia tidak memiliki akhlak seorang laki-laki gentle. Ucapannya bahwa dia tidak
siap menikah menunjukkan bahwa dirinya hanya ingin bersenang-senang saja dengan anda
dan tidak ingin komitmen dengan ajaran Allah dalam menjalankan syariatnya dan
menunaikan kewajiban sebagai kepala keluarga sebagaimana mestinya.

Lihat jawaban soal no. 13501.

Tidak halal baginya meminta anda melakukan aborsi dan tidak halal bagi anda melakukan
aborsi jika janin telah ditiup ruhnya. Jika anda lakukan, maka anda termasuk orang yang
membunuh satu jiwa.

Lihat jawaban soal no. 12118, 13319, 4038.

Adapun anak, nasabnya dapat dikaitkan kepada sang bapak, tidak dianggap sebagai anak
zina. Perkara ini dianggap para ulama sebagai nikah syubhat (samar). Nikah syubhat dapat
menetapkan nasab seseorang. Lihat Al-Mughni, 11/196.

Sudariku muslimah, ingatlah bahwa Allah lah yang mengatur rizki hamba-Nya, Dia telah
menjanjikan kepada kita bahwa siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Dia akan
memberikan jalan keluarnya.

Yakinlah kepada Allah, bertawakkal dan bertaubatlah kepada-Nya. Di antara bentuk taubat
anda adalah meninggalan orang laki-laki tersebut karena akad nikah anda tidak sah, karena
'Tidak (sah) nikah tanpa wali.' Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dan
ketika anda melakukan hal tersebut, sesungguhnya anda sedang melakukan perintah Allah.

Ketahuilah bahwa siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Dia akan menggantinya
dengan yang lebih baik. Semoga Allah memberi taufiq kepada anda dan memudahkan urusan
anda.

Wallahua'lam.

PERKAWINAN SEDARAH

Dua orang bersaudara sekandung kakak dan adik menikah, sang suami kakak sang istri
adiknya dan mendapatkan 2 orang anak, kronologisnya
"pada waktu kecil umur 3bulan sang kakak di adopsi oleh orang sumatra waktu di rumah
sakit, orang tua kandung dari jawa, selang waktu lama gak ada kabar dari kedua belah pihak
orang tua kandung dan orang tua angkat, karena kedua orang tua asuh meninggal, ketika
kuliah di bandung mereka bertemu dan menjalin cinta hingga kepernikahan dan di karuniai
2org anak, terkuaknyamereka adalah saudara karena sang orang tua kandung melihat tanda
lahir pada punggung anak ada 2 tahi lalat dan akhir berlanjut tes darah serta sidik jari dan
akhirnya membenarkan sebagai saksi 2orang dokter rumah sakit dan perawat bayi...

permasalahanya apa yang harus mereka lakukan setelah tahu kalau saudara kandung dan
bagaimana nasib sang anak atau nasabnya?

JAWABAN
Masaji Antoro Hukum kejadian permasalahan diatas :

PERNIKAHAN : Keduanya harus segera dipisahkan


WANITA (adik dalam pertanyaan diatas) : Diperlakukan masa IDDAH dan berhaka atas
mahar mitsil.

PRIA (kakak dalam pertanyaan diatas) : Tetap terjalin ikatan nasab atas wanita yang telah ia
nikahi karena keduanya saudara mahram.

ANAK : ternasab pada bapaknya dan berhak menjadi wali nikahnya dalam pernikahannya
kelak

Bila seorang pria terlanjur menikahi seorang wanita kemudian keduanya ternyata terjadi
kejelasan masih saudara tunggal susu (*) dengan tanda bukti kuat atau pengakuan maka
mereka harus dipisahkan, bila wanita tersebut hamil maka anaknya ternasab dan
disambungkan pada si penggaul ibunya (bapak biologisnya) dan tidak dapat dipungkiri, bagi
wanita tersebut diperlakukan iddah subhat dan mahar mitsil (mas kawin kebiasaan untuk
wanita sederajatnya didaerah tersebut) bukan mahar yang tersebut didalam pernikahan.

Akibat buah senggama semacam ini diperlakukan hukum pernikahan sebagaimana mestinya
dalam arti terjalinnya ikatan kekeluargaan karena perkawinan dan persaudaraan tidak
mempengaruhi hukum halalnya melihat, berkhalwat serta membatalkan wudhu keduanya,
karenanya bagi si pria haram menikahi biang wanita tersebut (ibu, nenek dan
seterusnya/nasab keatas) juga haram menikahi keturunan anak akibat persetubuhannya,
begitu juga wanita tersebut haram dinikahi oleh biang dan keturunan anak akibat
persetubuhannya namun halal melihat mahram tersebut diatas dengan ketentuan tidak terjadi
syahwat.
Bughyah al-Mustarsyidiin I/419

Catatan (*) : Tidak menjadi ketentuan khusus dalam masalah ini, yang terpenting telah terjadi
pernikahan antara pria-wanita yang masih terjadi ikatan saudara mahram baik persaudaraan
karena keluarga, tunggal susu atau perkawinan.
Wallaahu Alamu Bis showaab

Rasulullah SAW bersabda,


Sungguh Allah akan mengampuni atas umatku karena tiga hal, keliru (tanpa sengaja), lupa,
dan segala sesuatu yang dilakukan karena terpaksa."(HR. Ibnu Majah dan Baihaqi r.a dari
Ibnu Abbas)
Wallaahu A'lamu Bis showaab

Tips Agar Tidak Grogi Saat Ijab Qobul

Ternyata Ijab Qobul itu tak selebay yang orang-orang ceritakan. Harusnya ini aku ceritakan
bulan April 2013 lalu sih, cuma sempatnya baru sekarang. Maklum lah, karena saat itu lagi
dalam suasana gembira yang amat sangat sampe males nulis entri, apalagi kepikiran bahas
yang kayak beginian.

Awalnya saya pikir ijab qobul itu bakal sesusah saat ngucapin kalimat "nembak" ke cewek.
Ternyata, tidak sesusah itu, kawan; meskipun saya sendiri belum pernah nembak cewek.
Alasannya ga pernah cewek simpel banget. Karena saya tidak punya surat ijin memegang
senjata api; jadi ga boleh nembak.

Pas seminggu mau nikah, dulu, kakak kelasku sempat nakut-nakutin diriku dengan
mengatakan bahwa katanya kalo ijab qobul-nya salah ngucapin sampe tiga kali, nikahnya
diundur seminggu kemudian. Gile lu, Ndro!!! Ini sungguh pernyataan yang sangat lebay dan
tidak masuk akal menurutku. Coba bayangin aja, masa mau sih petugas KUA ribet lagi
seminggu kemudian hanya karena ngurusin mempelai laki-laki yang tiba-tiba bisu sementara
karena grogi? Tentu saja tidak.

Pernah kejadian di deket rumahku, kata ibuku, ada tetangga yang dulu saat nikahnya susah
banget ngucapin ijab qobul. Salah terus hingga beberapa kali. Toh juga pihak KUA-nya
dengan sabar menunggu hingga akhirnya mempelai laki-lakinya bisa lancar ngomong.

Ga nyalahin juga sih orang yang grogi saat ijab qobul. Saya pernah lihat rekaman di YouTube
mengenai orang yang grogi saat ijab qobul. Kasian juga liatnya sampe keringetan gitu.

Alhamdulillah sih saat saya ijab qobul 30 Maret 2013 lalu berjalan lancar dan tanpa
pengulangan. Padahal sebelumnya saya tidak pernah latihan ijab qobul. Saya memang sejak
awal tidak mau selebay mempelai pengantin lainnya yang latihan ijab qobul seminggu
sebelum akad nikah berlangsung.

Bagaimana tips-nya agar bisa lancar dan ga grogi saat ijab qobul? Caranya mudah, doa saja
pada Alloh seperti doanya Nabi Musa. "Robbisyrohli shodri, wayassirli amri, wahlul
uqdatam mil lisani, yafqohu qouli". Doa ini lazim dan sering dibaca di TPQ kug. Inti dari
doa ini adalah meminta pada Alloh agar dilapangkan dada kita, dimudahkan urusan kita, dan
dilancarkan lisan kita, agar orang orang lain mengerti apa yang kita ucapkan.

Mudah bukan? Tentu saja mudah. Dan ingat, jangan percaya tentang banyak mitos yang
berkeliaran seputar pernikahan. Saya masih ingat dengan tetangga saya yang mengatakan
bahwa kalo mau akad nikah, sandal si mempelai laki-laki harus disembunyikan. Untuk apa?
Karena takut dicuri kah? Bukan, katanya biar ga dibalik sama orang. Kenapa takut dibalik?
Katanya tetangga saya, kalo sandalnya dibalik mempelai laki-lakinya bisa ga lancar
ngomongnya. Ini benar-benar kedustaan yang nyata. Kalo dipikir logis, apa hubungannya
sandal sama mulut?

Ya begitulah kalo orang terlalu percaya pada mitos, hidupnya ga akan pernah tenang. Isinya
paranoid melulu. Capek kan paranoid melulu? Tentu hal yang seperti ini tidaklah berdasarkan
dalil apa pun, entah itu dalil al-Quran atau hadist, maupun dalil secara nalar. Islam itu mudah,
dan yang berasal dari luar Islam pasti bikin ribet. Ngga percaya? Percayalah :D

Kadang juga kasihan sama orang yang terlalu berpegang dengan adat. Nikahnya pasti ribet
dan banyak protokol. Mulai dari hitung-hitungan weton agar ga dimakan naga, hingga ritual-
ritual aneh yang ujung-ujungnya menyusahkan keluarga. Ada loh yang nikah harus masuk ga
boleh lewat pintu rumah, katanya takut dimakan sama naga. Kalo saya sih, saya sudah
siapkan pawang naganya, tinggal beli susu sapi yang kalengnya gambar beruang, tapi
sponsornya keluar naga, hehe :P

Ya segitu dulu tips agar tidak grogi saat ijab qobul. Saya lapar dan mau makan dulu. Sampai
jumpa di entri berikutnya :D

Saat Ijab Kabul 10 Kali Salah, Penghulu Gregetan!


REP | 25 November 2011 | 04:23 Dibaca: 7904 Komentar: 12 0

Kemaren, tepatnya tanggal 24 november 2011, Ibas Baskoro Yudoyono menikahi Aliyah
hatta rajasa dengan sukses. Saya lihat di televisi, dalam mengucapkan Ijab kabulnya, Ibas
sangat penuh percaya diri dan tanpa terbata-bata sekalipun. Amien rais sebagai saksi
langsung mengacungkan jempolnya, tanda kalau ucapan Ibas dalam akad tersebut sah!.

Okelah,
saya pun sangat meyakini kalau orang sekelas Ibas pasti bisa mengucapkan kalimat saklar
tersebut tanpa kesulitan sama sekali. Wong pendidikan dia sudah tinggi kok, kalangan elite
juga dan merupakan orang yang sangat berkelas di Indonesia ini!.

Mari kita lupakan pernikahan siang kemaren karena tadi malam ada sebuah pernikahan juga
yang berada tepat di sebelah rumah saya di palembang.

Sang pria merupakan duda anak 3 berumur 45 tahun, menikahi seorang gadis yang berumur
36 tahun dan merupakan warga biasa, rakyat jelata yang penghidupannya sangat sederhana
sekali.

Tidak acara tetek bengek seperti yang saya tonton di televisi. Yang ada hanya prosesi akad
nikah, doa, ngaji dan makan seadanya. Saya cukup menikmati, karena tidak ada pengawalan
paspampres dan protokoler ketat. Yang ada hanya tuan rumah pakai peci butut menyuruh
tamu untuk duduk di kursi plastik yang tersedia.

Suara keras speaker menandakan akan segera dimulainya prosesi akad nikah. Penghulu mulai
menguji coba wali nikah untuk menikahkan, setelah itu sang pria menjawabnya,
burhan bin sardin aku nikahkan engkau dengan adikku jamilah binti pardi dengan mas
kawin setengah suku emas dibayar tunai
saya terima menikah dengan mas kawin tersebut!

Gagal!
Karena salah mengucapkan kata nikahnya dengan menikah.
Penghulu mengulang perkataannya untuk diikuti sang pria.
saya terima nikahnya dengan mas kawin tersebut! kata pria agak terbata-bata
Penghulu membisikkan ke pria agar lebih tegas dan jelas. Pria mengangguk tanda mengerti.
Penghulu pun segera bersiap memulai akad nikah.
burhan bin sardin aku nikahkan engkau dengan adikku jamilah binti pardi dengan mas
kawin setengah suku emas dibayar tunai!
saya terima menikah dengan mas kawin tersebut!

tidak sah, kata saksi tegas


akad pun diulang. Namun, sudah 3 kali prosesi, tetap saja, kalimat nikahnya, diucapkan
oleh pria dengan menikah.

Pak RT kalang kabut, karena kakinya sudah kesemutan, maklum sudah tua. Dia lalu
mengambil air minum kemudian dibaca-baca dan diserahkan untuk diminum sang pria
supaya lancar.

Tapi, tetap saja begitu, kalimat nikahnya tetap saja diucapkan menikah Sampai 5 kali
pengulangan. sesepuh kampung mulai memegang kepala mempelai pria untuk di dinginkan.

Bisik-bisik tetangga di sebelah kursi saya mengatakan kalau sang mempelai pria memang
buta huruf. Tapi dia kan pernah menikah sekali alias duda.

Suasana hening,
lidah sang mempelai pria di kerok supaya lentur dalam pengucapan. Aneh tapi nyata,
kejadian semalam baru kali ini saya temui secara langsung.

Setelah satu jam berjalan prosesi akad, mempelai pria mulai bisa. Itupun masih 3 kali
pengulangan.
Penghulu dan wali nikah mengelap keringat masing2,
Alhamdulillah ya, sesuatu, sambil meniru ucapan syahrini
pengunjung pun tergelak, tepuk tangan menggema, meskipun sederhana, acara nikahan
tersebut berlangsung penuh ketegangan dan humoritas tinggi.

Saat bersalaman, saya bertanya ke mempelai pria,


kok gugup bang?
jingok raih penghulu tadi serem nian (takut melihat wajah penghulu)
ai dak pulo bang, biaso bae

sambil salaman saya memberi amplop secara langsung. Walaupun isinya tidak seberapa, yang
penting saya berani, tidak takut seperti pejabat yang memberi amplop kepada kawinan ibas
karena dilarang memberi hadiah oleh SBY.

Adakah Ijab Qabul harus Satu Nafas dalam Islam?

Assalamualaikum, Saya ada 2 prtnyaan pak ustadz

1. apakah benar dlm pengucapan ijab qabul pernikahan saya trma nikah & kawin ny..dst itu
wajib dlm 1x nafas diawal saja?
2. gmn klo di tngh2 pengucapan dy nafas lg yg k2x?apakah tdk sah ijab qabul ny?

Trima kasih pak ustadz


Dari: Anna W.

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ala rasulillah, amma badu,

Salah satu syarat sah akad nikah yang sering kita dengar, jawaban sang suami ketika
melakukan ijab qabul harus diucapkan sekali nafas. Dan tentu saja, ini adalah persyaratan
yang sangat berat. Karena untuk mengucapkan kalimat yang cukup panjang, apalagi dalam
kondisi nervous akan sangat sulit diucapkan dalam satu nafas. Barang kali karena alasan ini,
banyak pemuda yang latihan ilmu pernafasan. Namun apapun itu, persyaratan satu nafas

ketika ijab qabul adalah persyaratan yang terlalu berlebihan.

Untuk itu ada hal yang perlu diluruskan, bagaimana sejatinya penjelasan ulama tentang syarat
dalam melakukan ijab qabul. Sebelumnya perlu dicatat tentang makna ijab qabul,

Ijab adalah pernyataan sang wali perempuan atau yang mewakili: Saya nikahkan anda dst.

Qabul adalah jawaban sang suami atau yang mewakili: Saya terima nikahnya dst

Berikut beberapa rincian keterangan ulama yang bisa membantu memahami syarat
ijab qabul ini,

Pertama, ulama sepakat bahwa ijab qabul harus dilakukan dalam satu majlis. Dalam arti,
antara ijab dan qabul dilakukan dalam konteks keadaan yang sama. Misalnya, di rumah, sang
wali mengatakan kepada suami: Saya nikahkan anda dengan putriku kemudian mereka
berpisah. Lalu ketika ketemu di masjid, si Suami menjawab: Saya terima nikah putri
bapak. Akad nikah semacam ini tidak sah.

Dalam kitab Fikih 4 madzhab dinyatakan,

: :

Para ulama 4 madzhab sepakat ijab qabul harus dilakukan dalam satu majlis akad.

Para ulama 4 madzhab sepakat ijab qabul harus dilakukan dalam satu majlis akad. Sehingga
andaikan wali mengatakan, Saya nikahkan kamu dengan putriku lalu mereka berpisah
sebelum suami mengatakan, Aku terima. Kemudian di majlis yang lain atau di tempat lain,
dia baru menyatakan menerima, ijab qabul ini tidak sah. (al-Fiqh ala al-Madzahib al-
Arbaah, 4/16).

Kedua, ulama berbeda pendapat, apakah jawaban qabul harus segera disampaikan tanpa ada
jeda, ataukah boleh ada jeda beberapa saat, selama masih dalam satu majlis. Dalam kitab
Fikih 4 madzhab dinyatakan,

Mereka berbeda pendapat tentang hukum al-faur (bersegera dalam menyampaikan qabul)
artinya menyampaikan qabul tepat setelah ijab, tanpa ada jeda. (al-Fiqh ala al-Madzahib al-
Arbaah, 4/16).

1. Ulama Hambali dan Hanafi tidak mempersyaratkan harus segera, selama ijab qabul masih
dianggap terjadi dalam satu majlis. Sehingga ketika ada salah satu yang tidak konsentrasi ijab
qabul dan melakukan aktivitas lain yang mengubah konteks pembicaraan, akad nikah tidak
sah.

Hambali dan Hanafi berpendapat bahwa segera bukan syarat, selama masih dalam satu
majlis. Namun jika salah satu sibuk melakukan aktivitas lain, yang memutus konteks
pembicaraan, akad nikah tidak sah. (al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arbaah, 4/16).

Imam Ibnu Qudamah ulama hambali mengatakan,

Apabila kalimat qabul tidak langsung disampaikan setelah ijab, akad tetap sah. Selama
masih dalam satu majlis, dan mereka tidak menyibukkan diri sehingga tidak lagi
membicarakan akad. Karena hukum satu majlis adalah hukum yang sesuai konteks akad. (al-
Mughni, 7/81).

Kemudian Ibnu Qudamah menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad,

. : . :
: . : .

Abu Thalib menukil dari Imam Ahmad, bahwa beliau ditanya, Ada seseorang (si A) yang
didatangi sekelompok rekannya. Gerombolan ini mengatakan, Nikahkan si B (dengan
putrimu). Kemudian si A mengatajan, Aku nikahkan si B dengan putriku, dengan mahar
1000 dirham. Kemudian gerombolan inipun segera menyampaikan kepada si B bahwa si A
telah menikahkannya dengan putrinya. Lalu si B menjawab, Saya terima nikahnya.
Apakah akad nikah semacam ini sah? jawab Imam Ahmad, Ya, sah. (al-Mughni, 7/81).

2. Sementara ulama Syafiiyah dan Malikiyah berpendapat, harus segera (ala al-Faur) dan
tidak boleh ada pemisah, selain jeda ringan yang tidak sampai dianggap pemisah antara ijab
dan qabul.

Syafiiyah dan Malikiyah mempersyaratkan harus segera. Namun tidak masalah jika ada
pemisah ringan, yang tidak sampai dianggap telah memutus sikap segera dalam
menyampaikan qabul. (al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arbaah, 4/16).

Karena itu, sebagian ulama syafiiyah melarang, ketika antara ijab dan qabul diselingi dengan
ucapan apapun yang tidak ada hubungannya dengan akad nikah.

: :
)( :
. )( . : .

Jika antara ijab dan qabul dipisahkan dengan membaca hamdalah dan shalawat, misalnya,
seorang wali mengatakan, Saya nikahkan kamu. Kemudian suami mengucapkan, Bismillah
wal hamdu lillah, was shalatu was salamu ala rasulillah, Saya terima nikahnya. Dalam kasus
ini ada dua pendapat ulama, (pertama) Nikah sah. Dan ini pendapat Syaikh Abu Hamid al-
Isfirayini. Karena bacaan hamdalah dan shalawat disyariatkan ketika akad, sehingga tidak
menghalangi keabsahannya. Sebagaimana orang yang melakukan tayamum di sela-sela antara
dua shalat yang dijamak. (kedua) tidak sah. Karena dia memisahkan antara ijab dan qabul,
sehingga akad nikah tidak sah.

(Fikih Sunah, Sayid Sabiq, 2/35).

Memahami keterangan di atas, sejatinya tidak ada keterangan ijab qabul harus satu nafas.
Yang ada adalah harus satu majlis dan harus bersambung, menurut pendapat Syafiiyah dan
Malikiyah. Meskipun boleh ada pemisah ringan, selama tidak sampai keluar dari sikap
segera.

Dan boleh tidak bersambung, menurut ulama Hambali dan Hanafi.

Karena itu, jika dalam kasus akad nikah ada gangguan sound sistem, kemudian ketika sang
suami hendak mengucapkan qabul, tiba-tiba dia harus memperbaiki mikrofonnya, beberapa
saat kemudian dia mengucapkan qabul, akad nikah tetap dinilai sah.

Allahu alam

Bentuk Nikah yang Terlarang (3)


2 Februari 2013 pukul 19:11

Salah satu bentuk nikah yang terlarang yang kita bahas kali ini adalah nikah di masa iddah.
Masa iddah adalah masa menunggu bagi wanita karena beberapa sebab yang mengakibatkan
ia tidak boleh menikah dulu sampai masa iddah itu selesai. Silakan lihat bahasan berikut.
Keempat: Nikah dalam Masa Iddah

Yang dimaksud iddah adalah masa menunggu bagi wanita dengan tujuan untuk mengetahui
kosongnya rahim, atau dilakukan dalam rangka ibadah, atau dalam rangka berkabung atas
meninggalnya suami. Seorang wanita tidak boleh dinikahi pada masa iddahnya. Allah Taala
berfirman,

Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
iddahnya. (QS. Al Baqarah: 235). Imam Nawawi menyebutkan, Tidak boleh menikahi
wanita yang berada pada masa iddah karena suatu sebab. Salah satu tujuan masa iddah
adalah untuk menjaga nasab. Jika kita membolehkan nikah pada masa tersebut, tentu akan
bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun jadi sia-sia (karena kacaunya nasab). (Al Majmu,
16: 240)

Apa saja masa iddah bagi wanita?

Iddah itu ada tiga macam:

1. Iddah hitungan quru


2. Iddah hitungan bulan
3. Iddah wanita hamil

1. Iddah hitungan quru

Iddah bagi wanita yang masih mengalami haidh (bukan monopause) dan diceraikan
suaminya adalah dengan hitungan quru.

Allah Taala berfirman,

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (QS. Al
Baqarah: 228).

Apa yang dimaksud tiga quru?

Mengenai makna quru, di sini ada khilaf di antara para ulama. Ada yang menganggap quru
adalah suci, berarti setelah tiga kali suci, barulah si wanita yang diceraikan boleh menikah
lagi. Ada pula ulama yang menganggap quru adalah haidh.
Contoh: Wanita ditalak tanggal 1 Ramadhan (01/09). Kapan masa iddahnya jika memakai
tiga kali haidh atau tiga kali suci? Coba perhatikan tabel berikut ini.

01/09 05/09 11/09 11/09 05/10 05/10 11/10 11/10 05/11 05/11 11/11 11/11 Talak
ketika Suci

Haidh

Suci

Haidh

Suci

Haidh

Suci

( Lebih Jelas lihat Tabel klik: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bentuk-nikah-yang-


terlarang-3.html )

Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali suci: masa iddah dimulai dihitung ketika masa
suci saat dijatuhkan talak dan berakhir pada tanggal 5/11 (5 Dzulqodah) saat muncul darah
haidh ketiga. Di sini masa iddah akan melewati dua kali haidh.
Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali haidh: masa iddah dimulai dihitung dari haidh
tanggal 5/9 (5 Ramadhan) dan berakhir pada tanggal 11/11 (11 Dzulqodah) setelah haidh
ketiga selesai secara sempurna. Di sini masa iddah akan melewati tiga kali haidh secara
sempurna.

Jika kita perhatikan, hitungan dengan tiga kali haidh ternyata lebih lama dari tiga kali suci.

Manakah di antara dua pendapat di atas yang lebih kuat? Tiga kali suci ataukah tiga kali
haidh?

Pendapat yang lebih kuat setelah penelusuran dari dalil-dalil yang ada, yaitu makna tiga quru
adalah tiga kali haidh. Pengertian quru dengan haidh telah disebutkan oleh lisan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam sendiri. Beliau berkata kepada wanita yang mengalami
istihadhoh,

Sesungguhnya darah (istihadhoh) adalah urat (yang luka). Lihatlah, jika datang quru,
janganlah shalat. Jika telah berlalu quru, bersucilah kemudian shalatlah di antara masa
quru dan quru. (HR. Abu Daud no. 280, An Nasai no. 211, Ibnu Majah no. 620, dan
Ahmad 6: 420. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud
dalam hadits ini, makna quru adalah haidh. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan ulama salaf
seperti empat khulafaur rosyidin, Ibnu Masud, sekelompok sahabat dan tabiin, para ulama
hadits, ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Imam Ahmad
berkata, Dahulu aku berpendapat bahwa quru bermakna suci. Saat ini aku berpendapat
bahwa quru adalah haidh. (Al Mawsuah Al Fiqhiyyah, 29: 308)

Kami tidak membawakan perselisihan ini lebih panjang. Itulah kesimpulan kami dari dalil-
dalil yang kami pahami. Yang berpendapat seperti ini pula adalah guru kami Syaikh Sholeh
Al Fauzan- (Al Mulakhos Al Fiqhiyyah, 2: 426) dan penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah,
Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 319-322).

Catatan:

Hitungan iddah menggunakan kalender Hijriyah, bukan kalender Masehi.


Talak yang syari jika dilakukan ketika: (1) suci dan (2) belum disetubuhi.

2. Iddah hitungan bulan

Iddah dengan hitungan bulan ada pada dua keadaan:

(1) masa iddah dengan hitungan 3 bulan (hijriyah) yaitu bagi wanita yang ditalak sebagai
ganti hitungan haidh, boleh jadi pada wanita monopause (yang sudah tidak mendapati haidh
lagi) karena sudah beruzur, atau tidak mendapati haidh karena masih kecil, atau sudah
mencapai usia haidh, namun belum juga mendapati haidh.

Sebagaimana firman Allah Taala,

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-


perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka
adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (QS. Ath
Tholaq: 4).

(2) masa iddah selama 4 bulan 10 hari (kalender hijriyah), yaitu bagi wanita yang ditinggal
mati suaminya, baik sebelum disetubuhi ataukah sesudahnya, baik wanita yang dinikahi
sudah haidh ataukah belum pernah haidh, namun dengan syarat wanita yang ditinggal mati
bukanlah wanita hamil. Allah Taala berfirman,




Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat. (QS. Al Baqarah: 234)

Rasul shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya,
yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari. (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)

3. Iddah wanita hamil

Masa iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan baik iddahnya karena talak atau karena
persetubuhan syubhat (seperti karena dihamili karena zina). Karena tujuan dari masa iddah
adalah untuk membuktikan kosongnya rahim, yaitu ditunggu sampai waktu lahir. Allah
Taala berfirman,

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. (QS. Ath Tholaq: 4).

Para ulama berselisih pendapat, bagaimana jika wanita yang ditinggal mati suami dalam
keadaan hamil?

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa masa iddahnya berakhir ketika ia melahirkan,
baik masa tersebut lama atau hanya sebentar. Seandainya ia melahirkan 1 jam setelah
meninggalnya suaminya, masa iddahnya berakhir dan ia halal untuk menikah.

Demikian pembahasan bentuk nikah lainnya yang terlarang. Masih ada beberapa lagi bahasan
tersebut. Moga Allah memudahkan membahasnya kembali pada edisi mendatang.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Artikel Muslim.Or.Id

Dari artikel 'Bentuk Nikah yang Terlarang (3) Muslim.Or.Id'

Lebih Jelasnya Klik: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bentuk-nikah-yang-terlarang-


3.html

Istri Menikah Lagi Sebelum Habis Masa &#039Iddah


Share on facebook Share on twitter Share on email Share on print More Sharing Services

Hasbullah Kamis, 7 Sya'ban 1427 H / 31 Agustus 2006 09:15 WIB

Berita Terkait

Talak kah SMS ini?


Foto dalam Undangan
Hukum Cambuk untuk Zina
Di Mana dan Kepada Siapa Kami Bisa Melaksanakan Nikah Siri?
Menentukan Kebahagiaan Pasangan Berdasarkan Nama

Assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh

Minta maaf sebelumnya karena saya masih pendatang baru. Begini pertanyaan saya pak
ustadz, saya (bujangan) telah menikah dengan seorang gadis secara Islam (nikah sirri), dan
berjalan kurang lebih 2 tahun dan telah dikaruniai seorang putera. Karena suatu masalah yang
tidak bisa lagi dikompromi karena saya kerja di luar negeri sedangkan isteri di tanah air maka
saya mengucapkan kata talak satu via telepon yang disaksikan keluarganya.

Sebulan kemudian saya mendengar dari keluarganya kalau bekas isteri saya menikah lagi
dengan lak-laki lain tanpa menunggu masa iddahnya habis, dan saya pun menikah lagi
dengan perempuan lain yang masih WNI.

Pertanyaan saya:

1. Bagaimanakah hukumnya perceraian/talak satu yang telah saya jatuhkan pada isteri
pertama?
2. Bagaimanakah hukumnya pernikahan kedua bekas isteri saya dengan laki-laki lain?
3. Bagaimanakah hukumnya pernikahan saya dengan isteri kedua?

Mohon dengan sangat penjelasan dari Pak Ustadz.

Terima kasih sebelumnya.

Wassalam,

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kalau anda memang secara sadar dan sepenuh pemahaman telah berniat dan mengucapkan
lafadz talak kepada isteri anda, maka jatuhlah talak satu kepadanya.
Terhitung sejak anda ucapkan lafadz itu dan anda benarkan dalam hati, maka sejak itu
dimulailah masa iddah isteri anda. Tapi isteri anda tetap masih berhak atas nafkah dari Anda,
sebagaimana dia juga masih wajib tinggal di rumah anda. Bahkan masih haram atasnya
menerima pinangan dari laki-laki lain, apalagi sampai menikah, maka pernikahan itu
hukumnya haram.

Batas waktunya adalah hingga isteri anda itu mengalami masa suci dari haidh sebanyak tiga
kali. Pada masa suci yang ketiga, habislah masa iddahnya dan saat itu dia boleh menerima
pinangan laki-laki lain dan boleh juga langsung menikah.

Kalau mengacu dari keterangan anda tentang pernikahan isteri anda dengan laki-laki lain,
maka pernikahan yang dilakukan hanya 1 bulan setelah anda ceraikan adalah pernikahan
yang tidak sah. Karena itu pasangan itu bukan pasangan suami isteri yang sah. Kalau mereka
melakukan hubungan suami isteri, hukumnya zina dan berhak dihukum rajam.

Adapun hukum anda menikah dengan wanita lain, tidak ada masalah. Sebab seorang laki-laki
tidak diharuskan menunggu masa iddah dari perceraiannya,kalau mau kawin lagi. Bahkan
tidak perllu bercerai dulu dengan isterinya, sebab dibolehkan seorang laki-laki menikah lebih
dari satu isteri. Bahkan kebolehannya sampai empat isteri dalam waktu yang bersamaan.

Dan secara hukumnya untuk menikah lagi, sama sekali tidak diperlukan izin isteri-isteri
sebelumnya. Menikahnya lagi suami dengan wanita lain secara diam-diam dengan
merahasiakannya dari isterinya, hukumnya sah selama semua syarat dan rukun nikah
terpenuhi. Dan izin dari isteri tidak termasuk syarat atau rukun nikah.

Namun demikian, bukan berarti menyakiti hati isteri diperbolehkan. Ini adalah masalah lain
lagi yang tidak ada kaitanya dengan sah atau tidak sahnya sebuah perkawinan. Menyakiti hati
isteri karena kawin lagi diam-diam tetap berdosa, meski tidak bisa menggugurkan pernikahan
yang sudah terjadi.

Wallahu alam bishshawab, wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Isi Undang Undang ( UU ) Perkawinan No. 1 Tahun 1974

2:26 AM Politik No comments


Isi Undang Undang ( UU ) Perkawinan No. 1 Tahun 1974 - Sehubungan dengan
mencuatnya kembali kasus perceraian yang telah menceraikan Bambang Triatmojo dengan
Halimah maka pada kesempatan ini kami ingin berbagi tentang isi Undang undang
perkawinan No 1 tahun 1974 yang akan diajukan untuk judical review karena dianggap
melemahkan atau merugikan kaum perempuan. adapun yang akan di tinjau ulang terhadap
pasal 39 Ayat 2 yang menyebutkan bahwa : "Untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan, bahwa antara suami istri tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri". Pasal ini perlu
di rubah karena dengan alasan bahwa seorang suami bisa saja sengaja membuat suasana
rumah tangga timbul pertengkaran dengan berbagai alasan atau cara sehingga perceraian
dapat dikabulkan. Demikian juga sebaliknya, seorang istri yang sudah lebih kaya tidak bisa
semena mena menuntut bercerai kepada suami karena merasa dirumah tangganya sudah tidak
akur lagi.

Dewasa ini atau baru baru ini telah muncul kasus bahwa ada saja seorang istri yang berani
menuntut cerai suami karena merasa di rumah tangga tidak ada ketentraman karena sering
bertengkar karena selisih pendapat atau merasa kekurangan belanja dan akhirnya menuntut
cerai.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974Tentang Perkawinan

BAB I
DASAR PERKAWINAN

Pasal 1

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Pasal 2

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu

(2) Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku

Pasal 3

(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri,
seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami

(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan

Pasal 4

(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3
ayat (2) Undang undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
tempat tinggalnya

(2) Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan pada pengadilan, sebagaiman dimaksud dalam
pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat berikut:

a. adanya persetujuan dari istri/istri

b. adalanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri


dan anak-anak mereka

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka

(2) Persetujuan yang dimaksud apada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya sekurang-kurangnya
2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim
pengadilan

BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dan atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya maka yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak dapat menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah
lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain

Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
wanita

(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut
dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) .Undang-undang ini berlaku juga dalam hal permintaan
dispensasi tersebut dalam ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (6)

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antaraseorang saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya

c. berhubungan semenda yaitu mertua,anak tiri, menantu, ibu/bapak tiri

d. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan

e. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal
seorang suami beristri lebih dari seorang

f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamnya atau peraturn lain yang berlaku dilarang
kawin

Pasal 9

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali
hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang Undang ini

Pasal 10

Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi dengan lain yang telah bercerai lagi untuk
kedua kalinya, maka di antara mreka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang
hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain

Pasal 11

(1) bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu
(2) tenggang waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih
lanjut

Pasal 12

Tata cara pelaksanaan perkawina diatur dalam peraturan perundang undangan sendiri

BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal 13

Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan

Pasal 14

(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas
dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan
pihak-pihak yang berkepentingan

(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungan
perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada dibawah pengampuan,
sehingga dengan perkawinan tersebut
nyata-nyata mengakibatkan kesengasaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang
mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini

Pasal 15

Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah
pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru,
dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini

Pasal 16

(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila


ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 Undang-
undang ini tidak dipenuhi

(2) Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih
lanjut dalam peraturan perundang-undangan

Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan dajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat
perkawinan

(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan


perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan

Pasal 18

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik
kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah

Pasal 19

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut

Pasal 20

Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu


melangsungkan perkawinan bia ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam
pasal 7 ayat 91), Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang undang ini meskipun tidak ada
pencegahan perkawinan

Pasal 21

(1) Jika pegawai pencatan perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada
larangan menurut Undang-undang ini maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan

(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan
perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari
penolakan tersebut disertai dengan alasan alasannya

(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada
pengadilan di dalam wilayah dimana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan
penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat
keterangan penolakan tersebut diatas

(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan cara yang singkat dan akan memberikan
ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar
supaya perkawinan dilangsungkan

(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan


penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan
tentang maksud mereka

BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 22

Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat syarat untuk
melangsungkan pernikahan

Pasal 23

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:

a. Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dari suami atau istri

b. Suami atau istri

c. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini dari setiap orang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus

Pasal 24

Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah
pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan
yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang
ini

Pasal 25

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum


dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri

Pasal 26

(1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak
berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri 2 (dua) orang
saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas
dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri

(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau sitri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini
gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte
perkawinan yang dibuat
pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan diperngaharui supaya
sah

Pasal 27

(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum

(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
pada saat waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
istri

(3) Apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari dari
keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu, masih dalam tetap hidup
sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan
pembatalan, maka haknya gugur

Pasal 28

(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai ketetapan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat dilangsungkannya perkawinan

(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:

a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu

b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila
pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan yang lebih dahulu

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh
hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
hukum tetap

BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan
bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas- batas hukum, agama,
dan kesusilaan

(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan

(4) Selama perkawinan berlangsungnya perjanjian tersebut tidak dapat dirubah kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan persetujuan tidak merugikan
pihak ketiga.

BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI

Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dasar susunan masyarakat

Pasal 31

(1) .Hak dan kedudukan istri adalah seimang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat

(2) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum

(3) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.

Pasal 32

(1) Suami istri harus memiliki tempat kediaman yang tetap

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami
istri bersama

Pasal 33

Suami Istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia serta memberi bantuan lahir
batin kepada yang lain.
juga tidak ada diskriminasi

Pasal 34

(1) .Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuan

(2) Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya

(3) .Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan

BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain
Pasal 36

(1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing

BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38

Perkawinan dapat putus karena:

a. kematian

b. perceraian dan

c. atas keputusan pengadilan

Pasal 39

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak dapat
hidup rukun sebagai suami istri. (Judical Review kasus Bambang Tri vs Halimah)

(3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan peruandangan
sendiri

Pasal 40

(1) gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan

(2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan
pengadilan sendiri

Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perkawinan ialah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-
anak, Pengadilan memberi keputusannya

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan oleh anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban
tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri

BAB IX
KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah

Pasal 43

(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya, keluarga ibunya

(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan
pemerintah

Pasal 44

(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan istrinya bilamana ia dapat
membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat perzinahan tersebut

(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan

BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua putus
Pasal 46

(1) Anak wajib menghormati orang tua dan menta'ati kehendak mereka yang baik

(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan
keluarga dalam garis lurus
ke atas bila mereka itu memerlukan bantuan

Pasal 47

Anak yang belum dewasa mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap
yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum
melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendaki

Pasal 49

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak
atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak
dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal

a. ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya

b. ia berkelakuan buruk sekali

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka tetap berkewajiban untuk memberi
biaya pemeliharaan kepada anak tersebut

BAB XI
PERWALIAN

Pasal 50

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di
bawah kekuasaan wali

(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya
Pasal 51

(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum
ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi

(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang dewasa,
berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik

(3) Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-
baiknya dengan hormat menghormati agama anak dan kepercayaan anak itu

(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada
waktu memulai jabatan dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau
anak-anak itu

Pasal 52

Terhadap wali juga berlaku pasal 48 Undang-undang ini

Pasal 53

(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49
Undang-undang ini

(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini
oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali

Pasal 54

Wali yang telah menyebabkan kerugian harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas
tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan yang bersangkutan
dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian itu.

BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian Pertama
PEMBUKTIAN ASAL USUL ANAK

Pasal 55

(1) Asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang
dikeluarkan pejabat yang berwenang

(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada maka Pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang
teliti berdasarkan bukti bukti yang memenuhi syarat
(3) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini maka instansi pencatat
kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte
kelahiran bagi anak yang bersangkutan

Bagian Kedua
Perkawinan di luar Indonesia

Pasal 56

(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara
Indonesia atau seorang warganegara indonesia dengan warganegara asing adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warga negara indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang
ini

(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal
mereka

Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran

Pasal 57

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini adalah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarganegaraan Indonesia

Pasal 58

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan kawinan campuran,


dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang ditentukan dalam undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku

Pasal 59

(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan
menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum
perdata

(2) Perkawinan camouran yang dilangsungkan di indonesia dilakukan menurut Undang-


undang Perkawinan ini

Pasal 60

(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat
perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah
dipenuhi

(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan
karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh
mereka yang menurut hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat
keterangan bahwa syarat syarat telah dipenuhi

(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka
atas permintaan yang berkepentingan Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak
beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian
surat keterangan itu beralasan atau tidak

(4) Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan maka keputusan tiu
menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3)

(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak memiliki kekuatan lagi jika
perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan setelah keterangan itu
diberikan

Pasal 61

(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang

(2) Barangsiapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan dahulu kepada


pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan yang disebut dalam pasal 60 ayat (4)
Undang-undang ini diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan

(3) Pegawai pencatat perkawinan yang pencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa
keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan

Pasal 62

Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1)
Undang-undang ini

Bagian Keempat
Pengadilan

Pasal 63

(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam undang-undang ini adalah:

a. Pengadilan agama mereka yang beragama Islam

b. Pengadilan umum bagi yang lainnya

(2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum


BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi
sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama
adalah sah

Pasal 65

(1) Dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama
maupun berdasarkaan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlaku ketentua-ketentuan
berikut:

a. Suami wajb memberi jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya

b. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada
sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi

c. Semua istri mempunyai hak yang sama atau harta bersama yang terjadi sejak
perkawinannya masing-masing

(2) Jika pengadilan yang memberi izin untuk menikah lebih dari seorang menurut Undang-
undang ini tidak menentukan lain maka berlakulah ketentuan ketentuan ayat (1) pasal ini.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66

Untuk perkawinan dan segala sesuattu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang- undang ini ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlike Wetboek), Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers, S 1933 No 74),
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemeng de Huwelijken S .1898 no 158)
dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam
Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku

Pasal 67

(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya yang pelaksanaannya
secara selektif lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah

(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan diatur lebih
lajut dengan Peraturan Pemerintah

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


undang ini dengan penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 2 Januari 1974

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR: 1 TAHUN 1974

Bukannya Tak Jadi Nikah, Ini Maksud dari Pembatalan Pernikahan


Arina Yulistara - wolipop
Halaman 1 dari 2

Dok. Thinkstock

Jakarta - Pernikahan dilakukan tidak hanya karena cinta, tapi juga komitmen dan kejujuran.
Mengapa beberapa pasangan menikah masih banyak yang menyembunyikan sesuatu dari
pasangannya, padahal kejujuran merupakan poin penting dalam suatu hubungan asmara.

Terkadang, pasangan tidak bisa terima ketika mengetahui pendamping hidupnya berbohong. Bisa
saja karena hal ini ia mengajukan pembatalan pernikahan ke pengadilan. Apa itu pembatalan
pernikahan?

Pembatalan pernikahan sebenarnya bukan tidak jadi menikah tapi pernikahan yang sudah terjadi
akhirnya dibatalkan oleh pengadilan karena berbagai faktor, salah satunya tidak sesuai dengan UU
Perkawinan. "Jadi dilakukan setelah mereka sudah berumah tangga lalu melakukan pembatalan
pernikahan karena banyak kecacatan di dalamnya," jelas Zuma, selaku Staff Pelayanan Hukum
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, saat diwawancarai Wolipop melalui telepon, Rabu
(27/11/2013).

Zuma juga menegaskan bahwa pembatalan pernikahan dilakukan setelah adanya pernikahan bukan
sesaat sebelum menikah. Selain itu, adanya jangka waktu untuk mengajukan permohonan
pembatalan pernikahan yang disesuaikan dengan alasan pihak terkait.

Misalnya saja suami memalsukan identitasnya atau pernikahan terjadi di bawah ancaman serta
paksaan. Pengajuan pembatalan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah menikah. Jika
lebih dari enam bulan, maka hak untuk mengajukan permohonan pembatalan tersebut dianggap
gugur.

Hal itu tertuang dalam Pasal 27 UU Perkawinan No. 1/1974, 'apabila ancaman telah berhenti atau
yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu
masih tetap hidup sebagai suami-istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan
permohonan pembatalan, maka haknya gugur'.

Berbeda bila alasan pembatalan alasan itu karena suami menikah lagi tanpa sepengetahuan Anda.
Tidak ada batasan waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan pernikahan jika kasusnya
poligami tanpa sepengetahuan istri. Meskipun sudah lewat dari dua tahun umur pernikahan Anda
dan suami tetap bisa membatalkan pernikahan.Next

Selain karena paksaan atau poligami secara tidak resmi, ada beberapa alasan lain yang bisa
membatalkan suatu pernikahan. Seperti yang dikutip dari situs LBH APIK, ini dia faktor-faktor yang
bisa menyebabkan batalnya suatu pernikahan:

1. Salah satu pihak memalsukan identitas dirinya, seperti status, usia, atau agama. (Pasal 27 UU No.
1/1974)
2. Suami atau istri ternyata masih terikat pernikahan dengan orang lain tanpa sepengetahuannya.
(Pasal 24 UU No. 01 tahun 1974)
3. Pernikahan tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (Pasal 22 UU Perkawinan).
4. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama (Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam
(KHI))
5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak (Pasal 71 KHI)
6. Melanggar batas usia perkawinan (Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974).

Kesimpulannya, pembatalan pernikahan itu dilakukan bila ada indikator di atas. Berbeda dengan
perceraian yang dilakukan karena sudah tidak ada kecocokan antara Anda dan pasangan. Akan
tetapi, prosesnya hampir sama dengan perceraian yang juga diajukan ke Pengadilan Agama.
Pembatalan pernikahan yang diajukan ke PA khusus untuk pemeluk agama Islam. Lain hal bila yang
melakukan pembatalan pernikahan non-muslim.

"Persidangan untuk yang muslim dan non-muslim tentu berbeda maka yang Islam ke Pengadilan
Agama, dan non-muslim ke Pengadilan Negeri untuk diproses lebih lanjut," tutup Zuma.

Penjelasan Lengkap Seputar " MAHAR/MAS KAWIN " Part. 1 ( Pra Nikah )
22 Oktober 2010 pukul 12:23

PENJELASAN LENGKAP TENTANG MAHAR

Oleh Aep Saepulloh Darusmanwiati***

Pendahuluan

Pembahasan kali ini sebenarnya merupakan perpanjangan dan perluasan dari pembahasan
pada makalah sebelumnya. Mengingat dalam persoalan ini terdapat ketentuan-ketentuan dan
aturan-aturan tersendiri dan lumayan banyak, maka penulis mencoba membahasnya dalam
bahasan khusus. Dalam pembahasan nanti sebagaimana pembaca akan ikuti, penulis mencoba
memaparkan segala hal yang erat kaitannya dengan mahar, dan resepsi, mulai dari jenis dan
macam mahar, apa saja yang dapat dijadikan mahar, kapan mahar bisa jatuh dan tidak mesti
dibayar, sampai maslah al-Hiba' yakni permohonan sejumlah uang dari kerabat isteri.

Apa itu Mahar?

Mahar atau mas kawin adalah harta atau pekerjaan yang diberikan oleh seorang laki-laki
kepada seorang perempuan sebagai pengganti dalam sebuah pernikahan menurut kerelaan
dan kesepakatan kedua belah pihak, atau berdasarkan ketetapan dari si hakim. Dalam bahasa
Arab, mas kawin sering disebut dengan istilah mahar, shadaq, faridhah dan ajr. Mas kawin
disebut dengan mahar yang secara bahasa berarti pandai, mahir, karena dengan menikah dan
membayar mas kawin, pada hakikatnya laki-laki tersebut sudah pandai dan mahir, baik dalam
urusan rumah tangga kelak ataupun dalam membagi waktu, uang dan perhatian.

Mas kawin juga disebut shadaq yang secara bahasa berarti jujur, lantaran dengan membayar
mas kawin mengisyaratkan kejujuran dan kesungguhan si laki-laki untuk menikahi wanita
tersebut. Mas kawin disebut dengan faridhah yang secara bahasa berarti kewajiban, karena
mas kawin merupakan kewajiban seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang wanita.
Mas kawin juga disebut dengan ajran yang secara bahasa berarti upah, lantaran dengan mas
kawin sebagai upah atau ongkos untuk dapat menggauli isterinya secara halal. Para ulama
telah sepakat bahwa mahar hukumnya wajib bagi seorang laki-laki yang hendak menikah,
baik mahar tersebut disebutkan atau tidak disebutkan sehingga si suami harus membayar
mahar mitsil.

Oleh karena itu, pernikahan yang tidak memakai mahar, maka pernikahannya tidak sah
karena mahar termasuk salah satu syarat sahnya sebuah pernikahan, sebagaimana telah
dijelaskan pada makalah sebelumnya.

Apa saja yang boleh dijadikan mahar?

Mas kawin tidak mesti berupa uang atau harta benda, akan tetapi boleh juga hal-hal lainnya.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini hal-hal yang dapat dijadikan mas kawin atau mahar:

1. Semua benda atau alat tukar (uang) yang dapat dijadikan harga dalam jual beli
seperti uang atau benda-benda lainnya yang biasa diperjualbelikan dengan syarat
benda atau uang tersebut, halal, suci, berkembang, dapat dimanfaatkan dan dapat
diserahkan.

Oleh karena itu, harta hasil curian, tidak dapat dijadikan mas kawin karena ia barang haram
bukan halal. Demikian juga, peternakan babi tidak dapat dijadikan mas kawin karena
bendanya tidak suci. Piutang yang belum jelas kembalinya, juga tidak dapat dijadikan mas
kawin lantaran tidak dapat diserahkan. Point pertama ini didasarkan kepada ayat berikut ini:

Artinya: "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan
hartamu" (QS. An-Nisa: 24).

Kata amwal dalam ayat di atas dipahami oleh para ulama sebagai mas kawin, mahar.

2. Semua pekerjaan yang dapat diupahkan.

Menurut Madzhab Syafi'i dan Hanbali, pekerjaan yang dapat diupahkan, boleh juga dijadikan
mahar. Misalnya, mengajari membaca al-Qur'an, mengajari ilmu agama, bekerja dipabriknya,
menggembalkan ternaknya, membantu membersihkan rumah, ladang atau yang lainnya.
Misalnya, seorang laki-laki berkata: "Saya terima pernikahan saya dengan putri bapak yang
bernama Siti Maimunah dengan mas kawin akan mengajarkan membaca al-Qur'an
kepadanya selama dua tahun, atau dengan mas kawin mengurus ladang dan ternaknya
selama dua bulan". Akan tetapi menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, mahar dengan
pekerjaan yang dapat diupahkan hukumnya makruh (dibenci).

Penulis lebih condong untuk mengambil pendapat madzhab Syafi'i yang membolehkan kerja
sebagai mas kawin. Hal ini sebagaimana telah terjadi ketika Nabi Musa menikahi salah
seorang gadis laki-laki tua (dalam satu riwayat dikatakan laki-laki tua itu adalah Nabi
Syuaib), dengan mas kawin bekerja untuk laki-laki tua itu (calon mertuanya) selama delapan
tahun sebagaimana difirmankan oleh Allah swt dalam surat al-Qashash ayat 27:

Artinya: "Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan
salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun
dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan) dari kamu" (QS. Al-
Qashash:27).

Dalil lain bolehnya kerja dijadikan sebagai shadaq, mas kawin adalah hadits berikut ini:

[ ] (( , : ))

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Pergilah sesungguhnya saya telah menikahkan kamu

dengannya dengan apa ayat-ayat al-Qur'an yang kamu hapal" (HR. Bukhari).

Sebagian ulama menakwilkan kata bima ma'aka minal qur'an dengan akan mengajarkan

satu atau beberapa surat dari al-Qur'an.

3. Membebaskan budak.

Menurut Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Daud ad-Dhahiry, bahwa membebaskan
budak dapat dijadikan sebagai mas kawin. Maksudnya, apabila seseorang hendak menikahi
seorang wainta yang masih menjadi budak belian, kemudian ia membebaskannya dan
menjadikan pembebasannya itu sebagai mas kawinnya, maka boleh-boleh saja. Sedangkan
menurut sebagian ulama lain, membebaskan budak tidak boleh dijadikan sebagai mas kawin.

Dalil kelompok yang membolehkan adalah dalam sebuah hadits dikatakan bahwa
Rasulullah saw menikahi Shafiyyah dengan maskawin membebaskannya dari budak belian
menjadi seorang yang merdeka dan dalam hadits tersebut tidak ada keterangan bahwa hal itu
khusus untuk Rasulullah saw. Karena tidak ada keterangan kekhususan itulah, maka ia berarti
berlaku dan diperbolehkan juga untuk seluruh ummatnya termasuk kita. Hadits dimaksud
adalah sebagai berikut:

(( : ))

[ ]

Artinya: "Dari Anas, bahwasannya Rasulullah saw membebaskan Shafiyyah dan menjadikan
pembebasannya itu sebagai mas kawinnya" (HR. Bukhari Muslim).

Sedangkan bagi yang menolak mengatakan bahwa hadits di atas adalah khusus untuk
Rasulullah saw saja. Artinya, mas kawin dengan membebaskan budak itu hanya
diperbolehkan untuk Rasulullah saw saja dan tidak yang lainnya. Namun demikian, penulis
lebih condong untuk mengambil pendapat yang membolehkan karena sebagaimana telah
dijelaskan di atas, tidak ada keterangan dan dalil lain yang mengatakan bahwa hal itu khusus
untuk Rasulullah saja. Karena tidak ada keterangan yang mengkhususkan itulah, hukum yang
dikandung dalam hadits di atas berlaku umum termasuk juga untuk ummatnya.

4. Masuk Islam.

Bolehkah seorang laki-laki masuk Islam lalu masuk Islamnya itu dijadikan sebagai mas
kawin? Para ulama berbeda pendapat. Bagi Jumhur ulama, masuk Islamnya seseorang boleh
dijadikan mas kawin. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini:

, , : ))

] (( , , : ,
[

Artinya: Anas berkata: "Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mas kawinnya adalah
masuk Islam (masuk Islamnya Abu Thalhah). Ummu Sulaim masuk Islam sebelum Abu
Thalhah. Kemudian Abu Thalhah meminangnya. Ketika meminangnya, Ummu Sulaim
berkata: "Saya sudah masuk Islam, jika kamu masuk Islam juga, maka saya siap menikah
dengan kamu". Abu Thalhah akhirnya masuk Islam dan masuk Islamnya itu dijadikan sebagai
mas kawin keduanya" (HR. Nasa'i).
Sedangkan ulama yang mentidakbolehkan masuk Islamnya seseorang dijadikan mas kawin
adalah Ibnu Hazm. Ibnu Hazm memberikan catatan penting untuk hadits di atas dengan
mengatakan:

Pertama, kejadian dalam hadits di atas terjadi beberapa saat sebelum hijrah ke Madinah,
karena Abu Thalhah termasuk sahabat Rasulullah saw dari golongan Anshar yang masuk
Islam paling awal. Dan pada saat itu, belum ada kewajiban mahar bagi wanita yang hendak
dinikahi.

Kedua, dalam hadits di atas juga tidak disebutkan bahwa kejadian itu diketahui oleh

Rasulullah saw. Karena tidak diketahui oleh Rasulullah saw, maka posisinya tidak
mempunyai ketetapan hokum, karena Rasulullah saw tidak mengiyakannya juga tidak
melarangnya. Karena tidak ada kepastian hokum itulah, maka ia harus dikembalikan kepada
asalnya, bahwa ia tidak bias dijadikan sebagai mas kawin.

Berapa batas minimal dan maksimal mas kawin itu?

Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada batasan maksimal bagi seorang laki-laki dalam
memberikan mas kawinnya. Ia boleh memberikan jumlah yang sangat besar atau lebih besar
lagi. Dalam hal ini Imam Ibnu Taimiyyah berkata dalam bukunya Majmu al-Fatawa:
32/195):

"Bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki kemudian ia bermaksud memberikan mas
kawin dalam jumlah yang sangat besar, maka tidak mengapa dan boleh-boleh saja
sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat an-Nisa ayat 20:

" Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka (isteri-isteri) harta
yang banyak".

Adapun bagi orang yang tidak cukup lapang untuk memberikan mas kawin dalam

jumlah yang banyak, lalu ia memaksakan diri memberikannya karena alasan gengsi atau yang
lainnya, maka hukumnya adalah makruh". Sedangkan mengenai batas minimal mas kawin,
para ulama mengatakan bahwa berapa saja jumlahnya selama itu berupa harta atau hal lain
yang disamakan dengan harta dan disetujui serta direlakan oleh si calon mempelai wanita,
maka hal demikian boleh-boleh saja. Pendapat ini adalah pendapat Jumhur ulama seperti
Imam Syafi'I, Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Imam Auzai dan lainnya. Bahkan Ibn Hazm
membolehkan kurang dari itu. Ibn Hazm mengatakan bahwa setiap hal yang dapat dibagi dua,
boleh dijadikan mas kawin sekalipun ia berupa biji gandum selama ada kerelaan dari calon
isteri.
Dalil yang mengatakan bahwa tidak ada batas minimal dalam mas kawin ini adalah berikut
ini:

1. Keumuman dari ayat berikut ini:

24 : ( (

Artinya: "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina" (QS. An-Nisa: 24).

Kata "harta" dalam ayat di atas mencakup harta yang sedikit juga harta yang banyak. Dalam
ayat di atas juga tidak disebutkan berapa batasa minimal mas kawin, dan karena tidak
dijelaskan batas minimalnya itulah, maka boleh dengan berapa saja selama ada keridhaan dari
si calon isteri.

2. Hadit berikut ini di mana Rasulullah saw berkata kepada laki-laki yang siap menikahi
seorang wanita yang menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Rasulullah saw, namun
Rasulullah saw tidak berkeinginan menikahinya:

] (( : )) , : :
[

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk mas
kawinnya?" Lakilaki itu menjawab: "Tidak" Rasulullah saw bersabda kembali: "Carilah
sekalipun sebuah cincin dari besi" (HR. Muslim).

Dalam hadits di atas juga tegas bahwa mahar boleh dengan apa saja selama ia berupa harta
termasuk sekalipun berupa cincin besi.

Mas Kawin yang berlebihan dan memberatkan.

Bagaimana pandangan hukum Islam tentang mas kawin yang sangat memberatkan dan
berlebihan / mahal? Mungkin untuk konteks Indonesia hal ini tidak banyak terjadi mengingat
di Indonesia, mas kawin umumnya sederhana dan tidak mahal. Namun, untuk konteks
Negara-negara arab semisal Mesir, Saudi Arabia dan yang lainnya, mahar sangatlah mahal
dan memberatkan kaum laki-laki. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila umumnya
kaum laki-laki menikah di atas kepala tiga (umumnya menikah setelah usia 35 tahun), karena
mereka harus mengumpulkan uang sebanyak mungkin demi membayar mahar yang sangat
mencekik. Sebaliknya, akibat mahar yang mahal ini, banyak gadis-gadis tua belum menikah.
Yang terjadi? Mereka gadis-gadis tua "siap" menjadi isteri-isteri kedua, ketiga bahkan isteri
simpanan.

Bukan hanya itu, dengan mahalnya mahar dan biaya pernikahan ini, banyak terjadi
pernikahan Urfi di kalangan anak-anak muda sebagaimana telah disinggung dalam makalah
sebelumnya Meski di Negara Indonesia, persoalan mahalnya mas kawin tidak menjadi
masalah, akan tetapi di beberapa tempat dan daerah, umumnya juga sama dengan adat Arab,
mahalnya mas kawin. Untuk itu, mari kita sama-sama perhatikan bagaimana Islam melihat
masalah di atas.

1. Hal paling pertama yang harus ditegaskan di sini, bahwa dalam ajaran Islam, pada
dasarnya mas kawin itu tidak boleh memberatkan ia harus ringan dan memudahkan.
Perhatikan hadits-hadits berikut ini:

[ (( ] : ))

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Sebaik-baik mas kawin adalah yang paling meringankan"
(HR. Imam Hakim).

: )) :
[ (( ] , ,

Artinya: Dari Siti Aisyah ketika ditanya, berapa mas kawin Rasulullah saw? Siti Aisyah
menjawab: "Mas kawin Rasulullah saw kepada isteri-isterinya adalah dua belas setengah
Uqiyah (nasya' adalah setengah Uqiyah) yang sama dengan lima ratus dirham. Itulah mas
kawin Rasulullah saw kepada isteri-isterinya" (HR. Muslim).

[ ] (( : ))

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang paling banyak berkahnya adalah yang paling
ringan mas kawinnya" (HR. Hakim dan Baihaki).

Demikian juga dengan hadits-hadits sebelumnya yang menerangkan bahwa mas kawin
tersebut dengan cincin dari besi, masuk Islam dan membebaskan budak. Semua ini
menunjukkan bahwa mas kawin yang paling baik adalah yang ringan tidak memberatkan.
Bahkan, dalam hadits di atas disebutkan, mas kawin yang ringan akan membuat rumah
tangganya lebih berkah dan langgeng.
2. Apabila si calon suami berada dalam kelapangan rizki, dan kaya, maka sebaiknya ia
memperbanyak mas kawinnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Shahih
riwayat Imam Abu Daud dan Nasai bahwa Raja Najasyi pernah menikahkan Rasulullah saw
dengan Ummu Habibah dengan mas kawin empat ribu dirham, padahal mas kawin Rasulullah
saw dengan isteri-isterinya yang lain tidak lebih dari 400 dirham.

Ini menunjukkan bahwa apabila calon suaminya memang orang yang kaya, maka sebaiknya
memberikan mahar yang besar, namun apabila tidak mampu dan miskin, maka tidak boleh
memberatkan dan tidak boleh terlalu memaksakan diri. Hadits di atas juga sebagai dalil
bahwa mas kawin boleh bersumber dari pemberian seseorang, tidak mesti dari usaha sendiri,
sebagaimana dalam hadits di atas, mas kawin Rasulullah saw dibayarkan oleh Raja Najasyi.

Mas kawin adalah hak si perempuan bukan hak walinya.

Mahar atau mas kawin dalam ajaran Islam merupakan hak calon mempelai wanita dan bukan
hak wali. Oleh karena itu, besar kecilnya mahar ditentukan oleh wanita bukan oleh walinya.
Namun, tidak mengapa apabila si wanita tersebut berunding dengan walinya untuk
menentukan berapa besarnya mas kawin. Meski demikian, keputusan terakhir tetap di tangan
si wanita. Apabila si wanita menentukan jumlah mahar terntentu kemudian si wali juga
menentukan jumlah tertentu, maka yang diambil adalah ucapan si wanita. Oleh karena mahar
adalah hak si wanita, maka si wali ataupun yang lainnya tidak boleh mengambil seluruh atau
sebagian jumlah mahar tersebut tanpa ada izin dari si wanita. Oleh karena itu, ulama
Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa seorang suami tidak boleh membayar mahar
kecuali kepada isterinya atau kepada orang yang diwakilkan oleh isterinya.

Di antara dalil bahwa mahar itu adalah hak si calon mempelai wanita adalah:

Artinya: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan

penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin
itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya" (QS. An-Nisa: 4).

Artinya: "Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban" (QS. An-Nisa: 24).
Macam-macam mahar

Dari segi jumlah dan besar nilainya, mahar terbagi kepada dua bagian: Musamma (yang
disebutkan, diucapkan) dan Ghair Musamma (tidak disebutkan). Sedangkan dari segi waktu
pembayarannya, mahar terbagi kepada Mu'ajjal / ( dibayar kontan saat itu juga) dan
Muajjal / ( ditangguhkan, dibayar setengahnya dahulu dan sisanya dibayar belakangan).
Sementara dari segi besar atau jumlah mahar yang berhak dimiliki oleh si isteri, mahar
terbagi kepada mahar al-kull (mas kawin di mana si isteri harus mendapatkan semua mahar),
mahar an-nishf (si isteri hanya berhak mendapatkan setengah dari jumlah mahar) dan al-
mut'ah (pemberian biasa bagi setiap wanita yang ditalak sebagai hadiah atau hibah).

Mahar Musamma dan Mahar Ghair Musamma atau Mahar al-Maskut 'Anhu

Mahar Mutsamma adalah mahar yang disebutkan. Maksudnya, antara si wanita dan si calon
suaminya berunding untuk menentukan berapa jumlah mas kawinnya. Apabila kedua belah
pihak sepakat dengan jumlah tertentu, misalnya mahar yang diminta oleh wanita sebesar satu
juta, dan si laki-laki siap memenuhinya, maka mahar tersebut disebut dengan Mahar
Mutsamma karena si isteri menentukan jumlah mas kawinnya secara jelas dan tegas.
Penentuan ini penting dilakukan, agar tidak terjadi pertentangan, perselisihan dan ribut di
kemudian hari. Apabila si calon suami telah menyanggupi untuk

memenuhi mahar yang diminta oleh si wanita tersebut, maka si laki-laki wajib membayarnya
secara penuh dan sempurna tidak boleh kurang sedikit pun. Sedangkan apabila si wanita tidak
menentukan berapa jumlah maharnya secara tegas, misalnya ia mengatakan: "Neneng mah
terserah aa saja, berapa juga mahar yang aa berikan, neneng mah akan terima yang penting
aa sayang sama neneng", maka mahar tersebut disebut Mahar Ghari Musamma atau Mahar
al-Maskut 'Anhu. Ketika si isteri tidak menentukan jumlah nominal maharnya, maka si calon
suami harus membayar Mahar Mitsil.

Mahar Mitsil secara bahasa berarti mahar yang sebanding atau yang sama. Maksudnya, si
calon suami harus melihat berapa besar mas kawin yang diterima oleh bibi atau tante si
wanita tersebut dari pihak ayahnya, atau berapa mas kawin yang diterima oleh bibi bapak
wanita tersebut. Apabila misalnya tante dari pihak bapaknya ketika menikah dahulu
menerima mas kawin sebesar satu juta rupiah, maka si calon suami pun harus membayar mas
kawin untuk wanita tersebut minimal sebesar satu juta rupiah. Apabila, si wanita tersebut
tidak mempunyai bibi dari pihak ayahnya, maka si calon suami tersebut harus melihat berapa
umumnya besar mas kawin yang berlaku di daerah tersebut. Apabila di daerah tersebut
umumnya jumlah mas kawin itu 500 ribu rupiah, maka si calon suami harus membayarnya
minimal sebesar 500 ribu rupiah. Mengapa harus disamakan dengan bibi atau daerah
setempat?
Hal ini agar tidak terjadi saling olok, atau merasa direndahkan dan tidak dihargai. Terutama
apabila si isteri nanti ngobrol sama keluarga atau teman-teman wanita sekampungnya dan
ditanya jumlah mas kawin yang diterimanya, maka apabila mas kawin yang diterimanya
sama dengan mereka, tentu tidak akan menimbulkan perasaan rendah diri atau minder.

Dalam akad nikah, mas kawin boleh tidak disebutkan, apabila ditakutkan pamer atau riya.
Misalnya ketika akad nikah ia hanya mengatakan: "Saya terima pernikahan putri Bapak yang
bernama Siti Karomah". Pernikahan yang tidak disebutkan mas kawinnya ketika akad nikah,
dalam istilah fiqih disebut dengan Nikah Tafwidh dan menurut Ijma para ulama sah serta
boleh-boleh saja.

Mahar Mu'ajjal dan Mahar Muajjal

Mahar Mu'ajjal adalah mahar yang dibayar secara kontan semuanya sebelum suami isteri itu
melakukan hubungan badan (dukhul). Umumnya mahar ini diserahkan ketika akad nikah atau
setelah akad nikah dengan catatan keduanya belum berhubungan badan. Sedangkan apabila
mahar tersebut dihutang atau dibayar sebagian ketika akad dan sisanya dibayar belakangan
setelah berhubungan badan atau setelah berumah tangga, maka mahar ini disebut Mahar
Muajjal (mahar yang ditangguhkan). Mahar Muajjal diperbolehkan dengan catatan ada
keridhaan dan idzin dari calon mempelai wanita. Apabila mahar itu ditangguhkan, maka sisa
mahar yang belum dibayar menjadi hutang bagi si laki-laki dan harus dibayar sampai
kapanpun. Kedua mahar di atas sah-sah saja, hanya lebih utama dilakukan mahar mu'ajjal,
yakni dibayar ketika akad sebelum keduanya menikmati malam pertama. Hal ini didasarkan
pada dalil berikut ini:

( 10 : )

Artinya: "Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya" (QS. Al-Mumtahanah: 20).

Demikian juga dengan hadits berikut ini ketika Ali bin Abi Thalib menikahi putri Rasulullah
saw, Siti Fatimah, Rasulullah saw bersabda:

(( : : : , : . :
[ ]
Artinya: Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib: "Berikanlah sesuatu kepadanya
(sebagai mas kawin)?" Ali menjawab: "Saya tidak mempunyai sesuatu apapun". Rasulullah
saw bersabda kembali:

"Mana baju besimu yang telah retak itu?" Ali menjawab: "Ini ada pada saya". Rasulullah saw
bersabda kembali: "Berikanlah kepadanya (kepada Fathimah bint Rasulullah saw)" (HR. Abu
Dawud dan Imam Nasai).

Kedua keterangan di atas merupakan di antara dalil lebih utamanya membayar mas kawin
mu'ajjal, sesegera mungkin sebelum dukhul. Pertanyaan sekarang, apabila mahar itu muajjal,
yakni sebagiannya dibayar kontan dan sebagiannya lagi ditangguhkan, kapan pembayaran
sisa maharnya yang ditangguhkan itu? Pembayaran sisa maharnya itu tergantung kesiapan si
laki-laki ketika akad atau sebelum akad nikah dahulu. Apabila sebelum akad atau ketika
akad, si laki-laki menyebutkan waktu tertentu untuk membayar sisa mahar misalnya ia
mengatakan bahwa sisa maharnya akan dibayar setahun setelah pernikahan, maka sisa mahar
tersebut harus dibayar persis setelah waktu setahun pernikahan, karena itu yang diucapkan
ketika akad nikah. Dan para ulama sepakat bahwa maharnya sah. Namun apabila, dalam akad
nikah atau sebelum akad nikah ia tidak menyebutkan waktu tertentu untuk membayar sisa
maharnya itu, misalnya dia mengatakan: "Sisa maharnya akan saya bayar sampai saya betul-
betul ada cukup uang", maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:

Menurut Syafi'iyyah, mahar tersebut batal karena dipandang majhul, tidak jelas waktu
pembayaran sisanya; kapan dia memiliki cukup uangnya itu? Ini jelas masih belum jelas dan
tidak tegas. Karena maharnya batal, maka ia harus membayar mahar mitsil. Misalnya, apabila
si suami dan si wanita sepakat dengan mahar satu juta, kemudian si suami membayar
setengahnya yakni 500 ribu ketika akad dan sisanya ia tangguhkan, namun, tidak
menyebutkan waktu tertentu pembayarannya, maka menurut Syafi'iyyah, mahar yang
disepakati tadi tidak sah dan harus dibatalkan. Sebagai gantinya, si suami harus membayar
mahar mitsil. Sedangkan menurut Malikiyyah, apabila ketika akad nikah si laki-laki tidak
menyebutkan waktu tertentu untuk membayar sisa maharnya itu, atau menyebutkan waktu
tertentu tapi ia mengatakan: "sampai isteri saya meninggal atau sampai terjadi perceraian",
maka akadnya menjadi tidak sah. Namun, apabila si suami tersebut telah mendukhul
(menyetubuhi) isterinya, maka si suaminya harus membayar mahar mitsil.

Adapun menurut Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah, mahar muajjal yang tidak disebutkan
waktu tertentu untuk membayar sisa maharnya ketika akad atau sebelum akad, sah-sah saja.
Dan waktu pembayaran sisanya ditangguhkan sampai salah satunya meninggal dunia atau
terjadi perceraian. Pendapat Hanafiyyah dan Hanabilah inilah, hemat penulis, pendapat yang
lebih rajih (lebih kuat) dibandingkan dengan pendapat-pendapat lainnya. Dan pendapat
Hanafiyyah serta Hanabilah ini diterapkan hampir di seluruh Negara-negara Arab termasuk di
Mesir. Untuk konteks Mesir yang hokum perundang-undangan mengenai pernikahannya
berdasarkan madzhab Hanafi sebagaimana telah disinggung dalam makalah sebelumnya, bagi
para calon suami yang ekonominya pas-pasan, umumnya lebih memilih mahar muajjal.
Dalam prakteknya, setengah mahar dibayar sebelum dukhul (bersenggama) atau ketika akad
nikah dan setengahnya lagi ditangguhkan dan dibayarkan ketika nanti terjadi perceraian atau
salah satu pihak ada yang meninggal. Mahar Muajjal ini di Indonesia jarang terjadi
mengingat maharnya yang ringan dan tidak memberatkan. Umumnya masyarakat muslim
Indonesia memilih mahar mu'ajjal, maharnya dibayar kontan sebelum dukhul.
Mahar Penuh (al-Kull) dan Mahar Setengahnya (an-Nishf).

Kapan seorang istri berhak mendapatkan mahar penuh? Sebelum dibahas lebih lanjut, perlu
penulis jelaskan terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan mahar penuh ini. Mahar penuh
adalah mahar yang harus diterima oleh si isteri secara penuh, seluruhnya sesuai dengan
kesepakatan bersama antara si wanita dengan laki-laki. Misalnya, apabila si suami akan
memberikan mahar kepada isterinya itu satu juta rupiah, maka yang dimaksud dengan mahar
penuh adalah si isteri harus mendapatkan mas kawin sebesar satu juta tanpa dikurangi
sedikitpun. Setelah jelas maksud dari mahar penuh ini, kini mari kita bahas bersama kapan
seorang istri berhak mendapatkan mahar penuh itu?

Seorang isteri berhak mendapatkan mahar penuh apabila dalam keadaan berikut ini:

1. Apabila si isteri telah disetubuhi.

Para ulama sepakat bahwa apabila si isteri telah digauli oleh suaminya, maka ia berhak
mendapatkan mahar penuh. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini dalam surat
an-Nisa ayat 20-21:

*
( 21 - 20 : ) *

Artinya: "Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu
mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat" (QS. An-Nisa: 20-21).

Apabila si suami tadi telah mendukhulnya lalu menceraikannya, maka si isteri berhak
mendapatkan mahar penuh, dan si suami tidak boleh meminta atau mengambil sedikitpun
dari mahar tersebut. Hal ini dikarenakan, dalam istilah para ahli fiqih (fuqaha), bahwa mahar
itu sebagai ganti dari telah disetubuhinya si isteri. Demikian juga, apabila si isteri dinikahi
oleh suaminya dengan pernikahan yang batal, misalnya pernikahan tersebut tidak memakai
wali padahal wali merupakan salah satu syarat sah nikah, dan si isteri tersebut telah didukhul,
maka tetap si isteri berhak mendapatkan mahar pernuh.

Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:


: ))

[ ] ((

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Wanita mana saja yang dinikahi tanpa ada idzin dari
walinya, maka pernikahannya adalah batalbeliau sebutkan hal itu sebanyak tiga kali
Apabila ia menggauli isterinya itu, maka si isteri tersebut berhak mendapatkan mahar karena
telah dihalalkan kehormatannya" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Imam Ahmad).

Demikian pula para ulama telah sepakat bahwa si wanita berhak mendapatkan mahar penuh
apabila ia telah disetubuhi meski secara haram, misalnya yang disetubuhinya adalah
duburnya, atau disetubuhinya ketika haid, ketika nifas, ketika ihram, ketika puasa bulan
Ramadhan atau ketika itikaf. Apabila ia menyetubuhinya dalam kondisi di atas, maka haram
hukumnya, namun apabila si isteri kemudian dicerai, maka ia berhak mendapatkan mas
kawin penuh, sekalipun yang disetubuhinya bukan farjnya (vaginanya) tapi duburnya
(anusnya).

2. Apabila salah satu dari suami isteri meninggal dunia sebelum keduanya melakukan
hubungan badan dan keduanya berada dalam pernikahan yang sah, bukan pernikahan
yang batal.

Untuk kondisi seperti ini, ada dua keadaan. Pertama, apabila mahar tersebut disebutkan
ketika akad (yakni si isteri menyebutkan jumalah tertentu maharnya, Mahar Musamma),
kemudian salah satunya meninggal dunia sebelum keduanya melakukan hubungan badan,
maka para ulama sepakat bahwa si isteri berhak mendapatkan mahar penuh. Hal ini karena,
kematian tidak dapat membatalkan akad nikah, akan tetapi ia hanya dapat mengakhiri
pernikahan saja. Karena tidak dapat membatalkan pernikahan itulah, maka si isteri tetap
berhak mendapatkan seluruh hak-haknya termasuk mahar.

Kedua, apabila maharnya tidak disebutkan ketika akad karena si isteri tidak menentukan
jumlah tertentu atau sering disebut dengan Nikah Tafwid (Mahar Ghair Musamma),
kemudian salah satunya meninggal dunia sebelum melakukan hubungan badan, maka para
ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Menurut Madzhab Hanafiyyah, Hanabilah dan Imam
Syafi'I, maka si wanita tersebut berhak mendapatkan mahar mitsil penuh. Di antara dalilnya
adalah bahwa pernikahan adalah akad yang dibatasi oleh umur. Dengan meninggalnya salah
satu pihak, maka akad tersebut berakhir dan si isteri berhak mendapatkan penggantinya yakni
berupa mahar mitsil penuh. Sedangkan menurut Malikiyyah dan sebagian ulama Syafi'iyyah,
bahwa si wanita tersebut tidak berhak mendapatkan sedikitpun dari mahar tersebut. Hal ini
dikarenakan, si isteri belum didukhul bahkan belum disentuh sedikitpun. Hanya saja, penulis
lebih condong untuk mengambil pendapat pertama, bahwa si isteri berhak mendapatkan
semua mahar secara penuh. Hal ini dikarenakan ada sebuah hadits berikut ini:
, :

(( , )) : : ,
: ))

[ ] ((

Artinya: Alqamah berkata: "Ibnu Masud pernah mendatangi seorang wanita yang dinikahi
oleh seorang laki-laki kemudian suaminya ini meninggal dunia, sementara ia belum
menyebutkan dan belum membayar mahar kepada isterinya itu juga belum disetubuhinya.
Alqamah berkata: Orangorang berselisih pendapat. Lalu Ibn Mas'ud berkata: "Menurut saya,
wanita itu berhak mendapatkan mahar mitsil, dan ia juga berhak menerima harta waritsannya
juga ia harus beriddah). Maqal bin Sinan al-Asyja'I berkata: "Bahwasannya Rasulullah saw
memutuskan masalah Barwa' binti Wasyiq persis sama dengan apa yang telah diputuskan
oleh Ibn Mas'ud" (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasai, Ibn Majah dan Imam Ahmad).

3. Antara suami isteri berdua-duaan di tempat sepi dan rahasia sekalipun keduanya
belum melakukan hubungan badan.

Apabila suami isteri setelah melakukan akad nikah berdua-duaan di tempat sepi seperti di
dalam kamar, di dalam rumah, tanpa ada orang lain selain mereka berdua, sehingga karena
berduaduaannya di tempat yang sangat sepi itu diperkirakan keduanya telah melakukan
hubungan badan, maka para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Menurut Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi'I dalam pendapat lamanya, Imam Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya,
bahwa si wanita tersebut berhak mendapatkan seluruh mahar / mahar penuh meskipun
keduanya belum melakukan hubungan badan. Di antara dalil yang dijadikan hujjahnya
adalah:

, : : ))

[ ] ((

Artinya: Zararah bin Aufa berkata: "Para Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar Shidiq, Umar bin
Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) berfatwa bahwasannya barang siapa yang
menutup pintu atau menjulurkan penghalang, maka laki-lakinya wajib membayar mahar dan
si wanita harus beriddah" (HR. Imam Baihaki dengan sanad Munqathi).

: ))
] ((

Artinya: Dari Said bin al-Musayyib bahwasannya Umar bin Khatab memutuskan untuk
seorang wanita apabila ia dinikahi oleh seorang laki-laki lalu dijulurkan kain penghalang,
maka laki-laki itu wajib membayar mas kawin" (HR. Malik dan Imam Baihaki dengan sanad
yang shahih).

Pendapat kedua, bahwasannya ia tidak berhak mendapatkan mahar penuh kecuali betulbetul
yakin bahwa si wanita tersebut telah didukhulnya. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam
Malik, Imam Syafi'I dalam pendapatnya yang baru, Ibnu Taimiyyah serta yang lainnya. Di
antara dalil kelompok ini adalah:

237
: ( (

Artinya: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,
padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari
mahar yang telah kamu tentukan itu" (QS. Al-Baqarah: 237).

Kata al-mass dalam ayat di atas ditafsirkan oleh kelompok ini dengan jima. Oleh karena itu
wanita yang ditalak sebelum disetubuhi, maharnya adalah setengahnya.

[ ] (( :

Artinya: Dari Ibnu Abbas, bahwasannya ia berkata tentang seorang laki-laki yang berdua-
duaan dengan isterinya dan diperkirakan keduanya belum melakukan hubungan badan, maka
Ibnu Abbas berpendapat: "Laki-laki tersebut harus membayar setengah mahar" (HR. Said bin
Mansur dengan sanad yang lemah).

] (( , : ))

[
Artinya: Ibnu Mas'ud berkata: "Si wanita berhak mendapatkan setengah mas kawin,
sekalipun lakilaki itu hanya duduk di antara dua kaki wanita tersebut" (HR. Ibn Hazm dengan
sanad Munqathi).

Dari kedua pendapat di atas, hemat penulis, pendapat pertama yang mengatakan si wanita
berhak mendapatkan mahar penuh merupakan pendapat yang lebih kuat. Karena dalil-dalil
yang dikemukakan oleh kelompok kedua umumnya berupa hadits-hadits dhaif. Namun
demikian, penulis condong untuk menengahi kedua pendapat di atas dengan mengatakan
bahwa apabila si wanita tersebut mengaku betul-betul belum digauli dan dibuktikan dengan
pemeriksaan kesehetan (dokter), maka hemat penulis dapat dibenarkan dan karenanya si
wanita hanya mendapatkan setengah mahar saja. Namun, apabila ia betul-betul telah
disetubuhi, maka ia berhak mendapatkan seluruh mahar. Hal ini dikarenakan bahwa nash baik
ayat al-Qur'an maupun hadits Nabi dengan tegas mengatakan bahwa yang berhak
mendapatkan seluruh mahar itu adalah wanita yang telah disetubuhi. Sementara yang belum
disetubuhi, ia berhak mendapatkan setengah mahar sebagaimana akan dijelaskan di bawah
nanti.

4. Si isteri tinggal selama setahun di rumah suaminya sekalipun tidak disetubuhinya.

Menurut Malikiyyah, apabila seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita kemudian ia
tinggal di rumah suaminya selama satu tahun sekalipun tidak disetubuhi, lalu ia dicerai, maka
ia berhak mendapatkan seluruh mahar / mahar penuh. Hal ini menurut Malikiyyah, karena
waktu satu tahun merupakan sebuah praduga kuat bahwa ia secara umum pasti digauli.
Namun, demikian penulis tidak mengetahui alasan Malikiyyah dalam menentukan waktu satu
tahunnya itu. Tidak ada keterangan satu pun yang menjelaskan mengapa batasan waktunya
adalah satu tahun.

5. Mentalak isteri ketika ia sakaratul maut dan belum didukhul.

Apabila seorang laki-laki menceraikan isterinya ketika laki-laki tersebut sakaratul maut, mau
mati, dan si isteri tersebut belum disetubuhinya, dengan maksud bahwa dengan ditalaknya, si
isteri tidak akan berhak mendapatkan harta warisannya, kemudian laki-laki itu meninggal,
maka menurut Hanabilah wanita tersebut berhak mendapatkan mahar penuh. Hal ini, menurut
Hanabilah, karena wanita tersebut diwajibkan memiliki masa iddah (masa menunggu, tidak
boleh menikah dahulu dan tidak boleh menerima pinangan dulu) selama empat bulan sepuluh
hari. Karena ia harus iddah itulah, maka si wanita tersebut sekalipun belum didukhul, tetap
berhak mendapatkan seluruh mahar.

Kapan si isteri berhak mendapatkan setengah mahar (an-Nishf)?


Apabila di atas telah dijelaskan kondisi-kondisi di mana seorang isteri berhak mendapatkan
mahar penuh, maka dalam kesempatan kali ini, kita akan membahas kondisi di mana si isteri
hanya berhak mendapatkan setengah maharnya. Misalnya, apabila mahar yang disebutkan
dan disepakati bersama antara laki-laki dan wanita tersebut satu juta, maka untuk
pembahasan kali ini si isteri hanya berhak mendapatkan setengah maharnya, yakni sebesar
500 ribu rupiah. Kondisi dimaksud adalah:

Apabila si isteri dicerai sebelum didukhul (sebelum disetubuhi) dan maharnya


ditentukan oleh si isteri atau oleh si suami, juga disebutkan ketika akad.

Para ulama telah sepakat bahwa apabila si isteri telah dinikahi lalu dicerai sebelum disetubuhi
juga sebelum keduanya berdua-duaan (khalwah) di tempat sepi yang diperkirakan akan
terjadinya hubungan badan, maka si isteri berhak mendapatkan setengah mahar. Hal ini
didasarkan kepada dalil berikut ini:

237
: ( (

Artinya: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,
padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari
mahar yang telah kamu tentukan itu" (QS. Al-Baqarah: 237).

Demikian juga apabila ia berpisah bukan karena talak. Misalnya apabila ternyata pernikahan
tersebut masih ada ikatan darah dan keturunan, sehingga harus dipisahkan dan dibatalkan
pernikahan tersebut (dalam istilah fiqh disebut difasakh, dibatalkan) atau karena li'an, ila'
(sebagaimana akan dibahas dalam makalah berikutnya), dan si isteri belum didukhul, maka si
isteri berhak mendapatkan setengah mahar. Namun, apabila mahar tersebut tidak disebutkan
dan tidak ditentukan oleh si wanita (Mahar Ghair Musamma), dan si wanita tersebut belum
didukhul, juga keduanya belum berdua-duaan di tempat sunyi, maka para ulama berbeda
pendapat:

Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'I dan yang lainnya, si wanita tidak berhak
mendapatkan mahar sedikitpun, hanya saja ia wajib mendapatkan Mut'ah. Mut'ah adalah
pemberian sejumlah uang dari si suami kepada isterinya yang diceraikan yang jumlahnya
tidak ditentukan tergantung kondisi masingmasing si suami yang bersangkutan. Di antara
dalil yang dikemukakan oleh madzhab ini adalah:

237 : ( (
Artinya: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,
padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari
mahar yang telah kamu tentukan itu" (QS. Al-Baqarah: 237).


236 : ( (

Artinya: "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-
istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan" (QS. Al-Baqarah: 236).

Juga firman Allah berikut ini:


49 : ( (

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan


yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-
sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka
berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya" (QS.
Al-Ahzab: 49)

Mut'ah dalam ayat di atas maksudnya adalah pemberian dari si suami kepada isteri yang
ditalak yang kadar dan jumlahnya tidak ditentukan tergantung kondisi dan keadaan si suami.
Istilah sekarang sebagai uang penggembira. Menurut kelompok ini, si wanita yang diceraikan
dan belum didukhul hanya mendapatkan setengah mahar apabila dalam akad atau sebelum
akad, maharnya disebutkan dan ditentukan. Namun, apabila maharnya tidak disebutkan dan
tidak ditentukan, maka ia tidak berhak mendapat sedikitpun dari mahar tersebut. Hal ini
dikarenakan dalam surat al-Baqarah ayat 237 di atas disebutkan bahwa wanita yang dicerai
sebelum didukhul berhak mendapatkan setengah mahar itu apabila maharnya disebutkan atau
ditentukan ketika akad atau sebelum akad. Apabila ia tidak disebutkan ketika akad, maka
wanita tidak termasuk dalam ayat di atas yang berhak mendapatkan setengah mahar. Hanya
saja, wanita tersebut wajib mendapatkan mut'ah, karena dia posisinya sebagai isteri yang
ditalak dan semua isteri yang ditalak berhak mendapatkan mut'ah.

Pendapat kedua mengatakan ia tidak mendapatkan setengah mahar juga tidak wajib memberi
mut'ah. Hanya saja, kalau si suami memberikan mut'ah, maka itu sunnah saja. Pendapat ini
adalah pendapatnya Imam Malik dan Imam Laits. Di antara dalil yang dikemukakannya
adalah sebagai berikut:
236 : (
(

Artinya: " Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan" (QS. Al- Baqarah: 236).

Kelompok ini mengatakan, dalam ayat di atas, Allah menggunakan kata 'alal muhsinin', bagi
orang-orang yang baik, ini menunjukkan bahwa mut'ah, pemberian untuk wanita yang ditalak
itu hanyalah sebagai ihsan, kebaikan saja (sunnah saja) dan bukan wajib. Karena kalau ia
wajib hukumnya, tentu tidak akan menggunakan kata ihsan akan tetapi dengan kata lain yang
lebih menunjukkan wajib seperti dengan kata maktuban atau wajiban dan lainnya. Hanya
saja, pendapat ini dapat dibantah dengan mengatakan bukankah memberikan sesuatu yang
wajib juga itu sebuah kebaikan, ihsan? Oleh karena itu, kebaikan tidak mesti untuk hal yang
sunnah saja tapi juga yang wajib. Terlebih dalam ayat di atas Allah memerintahkannya
dengan menggunakan shigat fi'il amer, perintah. Dalam qaidah Ushul Fiqh dikatakan bahwa
asal dalam perintah itu menunjukkan kepada wajib selama tidak ada dalil lain yang
memalingkannya. Dalam hal mut'ah ini, sepengetahuan penulis, tidak ada keterangan satupun
yang memalingkan dari kewajibannya. Untuk itu, memberikan mut'ah kepada wanita yang
ditalak hukumnya adalah wajib.

Pendapat ketiga mengatakan, bahwa wanita tersebut berhak mendapatkan setengah mahar
mitsil. Pendapat ini adalah pendapat keduanya Imam Ahmad bin Hanbal. Di antara dalilnya
adalah karena ia adalah sebuah pernikahan yang sah. Oleh karenanya ia wajib membayar
mahar mitsil setelah didukhul. Namun ketika ia ditalak sebelum didukhul, maka tentu wanita
tersebut berhak mendapatkan setengah dari mahar mitsil tersebut. Pendapat yang penulis
pandang lebih rajih adalah pendapat pertama yang mengatakan bahwa ia hanya berhak
mendapatkan mut'ah, tidak mendapatkan setengah mahar. Hal ini sekali lagi dikarenakan,
yang berhak mendapatkan setengah mahar itu, apabila wanita ditalak sebelum didukhul
dengan catatan maharnya sudah disebutkan dan ditentukan ketika akad ataupun sebelumnya
sebagaimana disebutkan secara sharih (jelas dan tegas) dalam surat al-Baqarah ayat 237 di
atas.

Namun persoalannya kini, bagaimana apabila mahar tersebut tidak disebutkan ketika akad
atau sebelum akad, akan tetapi ketika sudah berumah tangga dan hidup bersama lalu
keduanya sepakat terhadap jumlah tertentu, atau si isteri menentukan jumlah tertentu dan si
suami menyetujui serta menyanggupinya, kemudian isteri tersebut diceraikan sebelum
didukhul, apakah si wanita berhak mendapatkan setengah mahar?

Menurut Hanafiyyah, si wanita tetap tidak dapat mendapatkan setengah mahar, hanya ia
berhak mendapatkan mut'ah saja. Hal ini dikarenakan penentuan jumlah setelah akad nikah
dilangsungkan, tidak dianggap sebagai Mahar Musamma, tidak dipandang sebagai penentuan
mahar. Ia tetap dianggap tidak menentukan mahar (mahar ghair musamma). Dan karenanya,
ketika dicerai sebelum dukhul, ia tidak berhak mendapatkan apa-apa dari maharnya, hanya
mut'ah saja. Sedangkan menurut Jumhur ulama, mas kawin yang ditentukan atau disepakati
setelah akad dipandang sebagai Mahar Musamma. Dan karena dipandang sebagai Mahar
Musamma, maka apabila ia diceraikan sebelum dukhul, si wanita berhak mendapatkan
setengah maharnya. Hal ini dikarenakan kata: 'fanishfu ma faradhtum' (maka setengah dari
apa yang telah kamu tentukan), bersifat umum untuk semua pernikahan yang sah, baik
ditentukan oleh orang yang menikah tersebut ketika akad, maupun setelah akad. Dalam ayat
di atas Allah tidak mengatakan: fanishfu ma faradhtum fi nafsil 'aqd (maka setengah dari
mahar yang telah ditentukan pada waktu akad), akan tetapi Allah menggunakan ta'bir yang
muthlaq, bebas dan tidak dibatasi oleh hal-hal tertentu. Karena ayat tersebut muthlak sifatnya
(tidak dibatasi), maka hukumnya pun muthlak, mencakup baik disebutkan dan ditentukan
ketika akad maupun setelah akad.

Pendapat jumhur ini, hemat penulis, adalah yang lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu,
wanita yang ditalak sebelum didukhul dan mas kawinnya ditentukan atau disepakati bersama
setelah akad nikah berlangsung, maka si wanita berhak mendapatkan setengah maharnya.

Ketentuan Mahar dalam Islam

Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan dengan mas kawin sebesar lima juta rupiah
utang.

Besar juga jumlah mahar yang diberikan oleh mempelai pria kepada calon istrinya,
menunjukkan dia seorang pria yang mapan. Tapi begitu mendengar kata terakhirnya, tahulah
kita bahwa pria ini hanya besar pasak daripada tiang.

Mahar berutang, bolehkah itu? Lalu apa konsekuensinya pada akad nikah? Adakah dia
berimbas pada hubungan suami istri?

Kedudukan Mahar dalam Akad Nikah

Para ulama sepakat bahwa mahar bukanlah rukun ataupun syarat dari akad nikah. Tanpa
penyebutan mahar dalam majlis maka akad nikah tetap sah dan berimplikasi hukum.

Mahar adalah hak istri. Jadi, si istri berhak menentukan mahar apa yang harus diberikan calon
suaminya bila ingin memperistrinya. Ketika sudah diberikan maka mahar tersebut menjadi
hak prerograif sang istri dan tak siapapun yang boleh mencampurinya.

Bentuk mahar adalah harta atau jasa. Yang dinamakan harta adalah barang berguna yang
memiliki nilai harga pada diri si penerima. Sedangkan jasa adalah manfaat abstrak yang
berguna bagi kehidupan penerima (dalam hal ini adalah istri) baik di dunia maupun di
akhirat.

Mahar dalam bentuk jasa misalnya seorang istri atau walinya mensyaratkan suami bekerja
padanya tanpa diupah. Ini seperti yang dilakukan oleh Nabi Syuaib AS kepada Nabi Musa
AS ketika menikahi putrinya. Contoh lain yang lebih kontemporer adalah si istri
mensyaratkan suami untuk membiayai kuliahnya sampai selesai. Itu juga adalah bentuk
mahar yang wajib diberikan suami sampai tuntas.

Contoh lain, si istri meminta suaminya untuk mengajarkan ilmu tertentu kepadanya sampai
dia bisa sebagai mahar perkawinan mereka. Maka wajiblah suami mengajarkan ilmu tersebut
kepada istrinya sampai sang istri bisa. Hal ini senada dengan hadits dari Sahl bin Sad tentang
kisah seorang wanita yang minta dinikahi oleh Nabi SAW tapi beliau tidak bersedia. Lalu
datanglah seorang pria minta dinikahkan dan Rasulullah SAW menyuruhnya membayar
mahar meski hanya cincin besi. Ternyata pria ini tidak punya apa-apa, sampai akhirnya Nabi
SAW memerintahkannya mengajarkan beberapa surah Al-Qur`an yang kebetulan dia hafal
kepada istrinya itu sebagai mahar. (Lihat haditsnya dalam Shahih Al-Bukhari, no. 5149, dan
Shahih Muslim, no. 1425).

Jumlah maksimal dan minimal

Menurut pendapat yang lebih kuat, tidak ada batas atas dan batas bawah bagi mahar. Asalkan
kedua pihak (suami dan istri serta walinya) sudah menyepakati jumlah, maka itulah yang
harus dibayarkan sebagai mahar.

Hanya saja, memang ada anjuran untuk mempermudah mahar. Artinya, mahar yang mudah
dijangkau oleh mempelai pria itulah yang dianjurkan sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
Sesungguhnya pernikahan yang paling besar pahalanya adalah yang paling ringan
biayanya. (HR. Ahmad, no. 23388 dari Aisyah ra). Hadits ini dhaif karena ada rawi
bernama Ibnu Sakhbarah, tapi maknanya dikuatkan oleh hadits lain yang juga dari Aisyah
yaitu, Sesungguhnya wanita yang baik itu adalah yang ringan maharnya, mudah
menikahinya, dan baik budi pekertinya. (HR. Ahmad, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan
Ibnu Hibban dalam shahihnya). Al-Albani menganggap hadits ini hasan dalam Shahih Al-
Jami, no. 2235.

Bolehkah berutang mahar?

Boleh saja seseorang berutang mahar baik disebutkan dalam akad nikah ataupun tidak. Bila
disebutkan maka teksnya akan seperti prolog di atas, meski hal itu akan ditertawakan banyak
orang. Tapi andai itu terjadi maka tak berpengaruh kepada keabsahan akad.

Bahkan, mahar tak mesti disebutkan dalam akad, sehingga akad nikah boleh saja berbunyi
seperti ini, Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan. Selesai sampai di situ dan akadpun
sah lalu mereka resmi menjadi suami-istri. Akan tetapi mahar tetap wajib dibayarkan bila
sudah disepakati oleh kedua pihak jumlahnya sebelum akad, biasanya pada saat lamaran.

Bagaimana bila maharnya belum disepakati dan tidak pula disebutkan dalam akad?

Bila demikian kejadiannya maka pihak wanita berhak mendapatkan mahar mitsl. Mahar mitsl
artinya mahar yang sepadan untuk ukuran wanita seperti si istri bersangkutan. Biasanya
memperhatikan adat yang berlaku setempat, atau memperhatikan berapa mahar yang sudah
dibayarkan untuk kakak atau adiknya yang sudah menikah duluan. Misalnya, untuk ukuran
wanita secantik dia maka biasanya mahar orang-orang sekitar adalah sekian, maka sejumlah
itulah yang wajib dibayarkan oleh suaminya.

Tata cara pembayaran mahar:

Mahar menjadi wajib dibayar ketika sudah terjadi persetubuhan suami istri. Maka si suami
wajib membayar mahar yang telah disepakati atau disebutkan dalam akad seratus persen.
Kalau belum terjadi kesepakatan maka wajib membayar mahar mitsl.
Mahar yang wajib dibayarkan seratus persen adalah dalam kasus sebagai berikut:

Sudah terjadi persetubuhan. Bila si wanita sudah sempat digauli maka tak ada alasan lagi bagi
suami kecuali harus membayar mahar. Meskipun di kemudian hari si suami merasa tertipu
sehingga ingin membatalkan perkawinan, maka dia tetap tidak bisa membatalkan mahar
karena sudah menyetubuhi istrinya itu.

Suami atau istri meninggal dunia sebelum sempat terjadi hubungan suami-istri.

Madzhab Abu Hanifah menambah satu lagi yaitu bila pasangan suami istri ini sudah
berduaan dan tak ada yang tahu lagi keadaan mereka, misalnya mereka sudah masuk kamar
dari malam sampai pagi. Tapi madzhab lain tidak menganggap demikian. Wallahu alam.

Apabila mahar sudah disebutkan sejak akad atau sudah disepakati kedua belah pihak lalu
terjadi perpisahan sebelum terjadi persetubuhan, maka si suami tetap wajib membayarkan
mahar itu setengahnya. Itupun kalau perpisahan itu sebabnya adalah pihak suami. Misalnya,
si suami tiba-tiba saja ingin menceraikan istrinya lantaran dia ingin pulang ke negerinya dan
lain sebagainya. Ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat, 237,

Dan jika kalian menceraikan mereka (istri-istri) sebelum menyentuhnya padahal kalian
sudah menyebutkan jumlah mahar, maka hendaklah kalian membayarkan setengahnya.

Sedangkan bila penyebab perpisahan adalah si istri sendiri maka mahar tidak wajib
dibayarkan sama sekali. Misalnya, si suami mensyaratkan pada saat melamar bahwa istrinya
ini masih perawan atau belum disetubuhi laki-laki lain, lalu kemudian sebelum mereka
bersetubuh si istri menceritakan kejadian sebenarnya bahwa dia telah didahului oleh laki-laki
lain, maka si suami berhak meminta fasakh karena telah ditipu dan tidak wajib membayar
apa-apa. Atau ada cacat dari pihak istri misalnya ternyata istrinya ini gila dan lain sebagainya.

Bolehkah mahar berbentuk mushaf Al-Qur`an?

Tentu saja boleh, karena mushaf adalah harta dan lumayan mahal harganya. Bahkan, isinya
adalah harta paling berharga bagi orang-orang yang beriman.

Bolehkah mahar berbentuk pembacaan ayat suci Al-Qur`an?

Kadang kita melihat ada pasangan menikah lalu si wanita menyebutkan salah satu maharnya
adalah membaca surah-surah tertentu misalnya surah Ar-Rahman. Apakah ini termasuk
mahar? Bila memang si wanita merasa ini adalah jasa dari suami yang dia perlukan maka
tentu saja itu termasuk mahar. Tapi ada kemungkinan dia salah dalam menafsirkan hadits
Sahl bin Sad di atas, sehingga dia menganggap bahwa mahar ayat Al-Qur`an adalah
membacanya di depan penghulu.

Memang ada dua tafsiran dari hadits ini sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar Al-
Asqalani dalam kitab Fath Al-Bari secara panjang lebar. Intinya, menurut pendapat yang
paling terkenal dan didukung oleh versi lain dari hadits di atas bahwa maksud mahar Al-
Qur`an itu adalah mengajarkannya. Sedangkan penafsiran lain adalah bahwa karena orang ini
sudah hafal Al-Qur`an beberapa surah maka dia boleh menikahi wanita itu tanpa mahar.
Insya Allah penafsiran kedua lebih tepat karena didukung oleh beberapa versi riwayat dan
juga sesuai dengan makna mahar itu sendiri. Wallahu alam. (Lihat kitab Fath Al-Bari, juz 9
hal. 261 269).

Anshari Taslim

Nikahilah Aku Tapi Dengan Syarat Tidak Berpoligami!!

20 April 2011

Admin Artikel [Bagus], Bina Rumah Tangga, Fiqh, Tanya Jawab Ustadz Firanda Andirja 8
Komentar

3 Votes

Oleh: Ustadz Abu Abdilmuhsin Firanda, MA

Pertanyaan:

Assalamualaykum Warohmatulloh Wabarokatuh

Ustadz firanda yang semoga ustadz dan keluarga mendapat penjagaan dari Allah, ana seorang
akhwat yang saat ini sedang melakukan proses taaaruf dengan seorang ikhwan yang
menuntut ilmu di Universitas Islam Madinah. Pertanyaan ana, mungkin ustadz sudah bisa
menebak dari judul/subject message ini, yaitu apa boleh menolak untuk dipoligami ?
Apakah seorang wanita boleh memberi syarat kepada seorang lelaki yang hendak
menikahinya agar tidak boleh berpoligami?
Ana selama mengaji hampir 2 tahun, mendapat salah satu kaidah yaitu : lebih diutamakan
menolak mafsadah (kerusakan) daripada mendapat maslahat (manfaat). Ana, jujur
merasa berat kalau nanti harus dipoligami ustadz. Tidak hanya masalah perasaan tapi juga
dari pihak keluarga ana yang sangat memandang rendah terhadap laki-laki yang beristri lebih
dari satu. Selain itu juga, ikhwan yang sedang berproses taaruf dengan ana juga belum punya
pekerjaan alias hanya mengandalkan uang beasiswanya. Ana takut jika nanti ikhwan tersebut
ada niatan untuk poligami dan nekat untuk menikah lagi padahal dari sisi dunia keluarga ana
melihat belum mampu/miskin, keluarga besar ana akan melihat betapa jeleknya orang Islam
yang hanya memikirkan syahwat dan syahwat tanpa memikirkan bagaimana menafkahi nanti.
Ana bukanlah akhwat pondokan dengan background keluarga yang mengenal Islam dengan
baik, saudara ana juga ada yang non-Islam. Ana dulu berkuliah dan mengaji di salafy sejak
semester 6.

Mohon nasehat dari ustadz, wa Jazaakumullohu Khoyro.

Jawab :

Walaikum salam warahmatullahi wa barakaatuh. Dari pertanyaan di atas maka jelas bahwa
ukhti yang bertanya paham betul akan disyariatkannya poligami, dan merupakan sunnah
Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi pertanyaan ukhti; Bolehkah seorang wanita
memberi persyaratan kepada calon suaminya agar tidak berpoligami?

Lantas apakah persayaratan seperti ini tidak melanggar syariat?

Apakah sang suami kelak wajib memenuhi persyaratan seperti ini?, ataukah boleh melanggar
janjinya untuk tidak berpoligami karena ada kemaslahatan yang lain?

Para pembaca yang dirahmati Allah, para ulama dalam buku-buku fikih mereka membedakan
antara dua hal :

Pertama : Syarat-syarat sah nikah

Kedua : Syarat-syarat yang dipersyaratkan dalam nikah yang diajukan oleh salah satu dari
dua belah pihak calon mempelai.

Adapun hal yang pertama yaitu tentang syarat-syarat sah nikah maka hal ini sudah maruuf
seperti : adanya wali dari pihak wanita, keridhoan dua belah pihak calon mempelai, adanya
dua saksi, dan tidak adanya penghalang dari kedua belah pihak yang menghalangi pernikahan
(seperti ternyata keduanya merupakan saudara sepersusuan, atau karena ada hubungan nasab
yang menghalangi seperti ternyata sang wanita adalah putri keponakan calon suami, atau
sang wanita adalah muslimah dan sang lelaki kafir, atau sang wanita adalah dari majusiyah,
atau sang wanita masih dalam masa iddah, atau salah satu dari keduanya dalam kondisi
muhrim, dll)

Namun bukan hal ini yang menjadi pembahasan kita, akan tetapi pembahasan kita adalah
pada poin yang kedua yaitu tentang seroang wanita yang memberi persyaratan tatkala
melangsungkan akad nikah dengan sang lelaki, atau sebaliknya.

Permasalahan ini merupakan salah satu cabang dari permasalahan utama yang diperselisihkan
oleh para ulama, yaitu tentang persyaratan yang disyaratkan dalam akad-akad, baik akad
(transaksi) jual beli maupun akad pernikahan. Dan khilaf para ulama tentang hal ini telah
dijelaskan dengan sangat panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab
beliau Al-Qowaaid An-Nuurooniyah.

Akan tetapi pembicaraan kita terkhususkan kepada permasalahan yang ditanyakan, yaitu
apakah boleh bagi sang wanita tatkala akan menikah memberi persyaratan agar sang lelaki
tidak berpoligami?

Telah terjadi khilaf diantara para ulama dalam permasalahan ini sebagaimana berikut ini:

Madzhab Hanafi

Adapun Madzhab Hanafi maka mereka membolehkan persyaratan seperti ini. Jika seorang
wanita diberi mahar oleh sang calon suami kurang dari mahar para wanita-wanita yang
semisalnya menurut adat maka boleh bagi sang wanita untuk memberi persyaratan, seperti
mempersyaratkan bahwa agar ia tidak dipoligami. Dan persyaratan ini diperbolehkan dan
dianggap termasuk dari mahar karena ada nilai manfaat bagi sang wanita. Akan tetapi
menurut madzhab Hanafi jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus
membayar mahar wanita tersebut secara penuh sebagaimana mahar para wanita yang
semisalnya menurut adat. (lihat Al-Inaayah bi syarh Al-Hidaayah 5/10, fathul Qodiir 7/176
maktabah syamilah)

Madzhab Malikiah

Madzhab Maliki memandang bahwa persayaratan seperti ini merupakan persayaratan yang
makruh. Dan madzhab Maliki memiliki perincian dalam permasalahan ini, sbb :

- Persayaratan seperti ini makruuh, dan tidak lazin/harus untuk dipenuhi oleh sang calon
suami.

- Akan tetapi persayaratan ini wajib dipenuhi oleh sang suami jika persayaratannya disertai
dengan sumpah dari sang calon suami

- Jika persyaratan ini diajukan oleh sang wanita dengan menjatuhkan sebagian maharnya
maka wajib bagi sang suami untuk memenuhinya. Misalnyan mahar nikah sang wanita adalah
20 juta, lantas sang wanita berkata, Aku menjatuhkan 5 juta dari maharku dengan syarat
sang lelaki tidak boleh berpoligami lalu disetujui oleh sang lelaki maka wajib bagi sang
lelaki untuk memenuhi persyaratan tersebut. Jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami
maka ia harus membayar mahar 5 juta tersebut kepada sang wanita. (lihat perincian ini di At-
Taaj wa Al-Ikliil 3/513)

- Bahkan Imam Malik pernah ditanya tentang seorang wanita yang memberi persyaratan
kepada calon suaminya, Jika engkau berpoligami maka hak untuk bercerai ada padaku,
kemudian sang lelakipun berpoligami, lantas sang wanitapun menjatuhkan cerai (talak) tiga.
Akan tetapi sang suami tidak menerima hal ini dan menganggap hanya jatuh talak satu. Maka
apakah jatuh talak tiga tersebut,?, Imam Malik menjawab : Ini merupakan hak sang wanita,
dan adapun pengingkaran sang suami maka tidak ada faedahnya (lhat Al-Mudawwanah
2/75)

Madzhab As-Syafii
Madzhab As-Syafii membagi persyaratan dalam pernikahan menjadi dua, syarat-syarat yang
diperbolehkan dan syarat-syarat yang dilarang.

Pertama : Adapun syarat yang diperbolehkan adalah syarat-syarat yang sesuai dengan
hukum syari tentang mutlaknya akad, contohnya sang lelaki mempersyaratkan kepada sang
wanita untuk bersafar bersamanya, atau untuk menceraikannya jika sang lelaki berkehendak,
atau berpoligami. Sebaliknya misalnya sang wanita mempersyaratkan agar maharnya
dipenuhi, atau memberi nafkah kepadanya sebagaimana nafkah wanita-wanita yang lainnya,
atau mempersyaratkan agar sang lelaki membagi jatah nginapnya dengan adil antara istri-
istrinya. Persyaratan seperti ini diperbolehkan, karena hal-hal yang dipersayratkan di atas
boleh dilakukan meskipun tanpa syarat, maka tentunya lebih boleh lagi jika dengan
persayaratan.

Kedua : Adapun persyaratan yang tidak diperbolehkan maka secara umum ada empat
macam:

- Persyaratan yang membatalkan pernikahan, yaitu persyaratan yang bertentangan dengan


maksud pernikahan. Contohnya jika sang lelaki mempersayaratkan jatuh talak bagi sang
wanita pada awal bulan depan, atau jatuh talak jika si fulan datang, atau hak talak berada di
tangan sang wanita. Maka pernikahan dengan persayaratan seperti ini tidak sah.

- Persyaratan yang membatalkan mahar akan tetapi tidak membatalkan pernikahan.


Contohnya persyaratan dari pihak lelaki, misalnya sang wanita tidak boleh berbicara dengan
ayah atau ibunya atau kakaknya, atau sang lelaki tidak memberi nafkah secara penuh kepada
sang wanita. Demikian juga persayaratan dari pihak wanita, misalnya : sang lelaki tidak boleh
berpoligami atau tidak boleh mengajak sang wanita merantau. Maka ini seluruhnya
merupakan persyaratan yang batil karena mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah atau
sebaliknya menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Dalam kondisi seperti ini maka
batalah mahar sang wanita yang telah ditentukan dalam akad, dan jadilah mahar sang wanita
menjadi mahar al-mitsl (yaitu maharnya disesuaikan dengan mahar para wanita-wanita yang
semisalnya menurut adat istiadat).

- Persyaratan yang hukumnya tergantung siapa yang memberi persayaratan. Misalnya


persyaratan untuk tidak berjimak setelah nikah. Maka jika yang memberi persayratan tersebut
adalah pihak wanita maka hal ini haram, karena jimak adalah hak sang lelaki setelah
membayar mahar. Dan jika sebaliknya persayaratan tersebut dari pihak lelaki itu sendiri maka
menurut madzhab As-Syafii hal tersebut adalah boleh

- Persyaratan yang diperselisihkan oleh ulama madzhab As-Syafii, yaitu persyaratan yang
berkaitan dengan mahar dan nafaqoh. Jika sang wanita mempersyaratkan agar tidak dinafkahi
maka pernikahan tetap sah, karena hak nafkah adalah hak sang wanita. Akan tetapi
persyaratan ini membatalkan mahar yang telah ditentukan, maka jadilah mahar sang wanita
adalah mahar al-mitsl. Akan tetapi jika yang mempersyaratkan adalah dari pihak lelaki maka
para ulama madzhab syafii berselisih pendapat. Ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya
batil, dan ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya sah akan tetapi membatalkan mahar
yang telah ditentukan bagi sang wanita sehingga bagi sang wanita mahar al-mitsl. (lihat Al-
Haawi 9/506-508)

Madzhab Hanbali
Madzhab Hanbali membagi persyaratan dalam nikah menjadi tiga bagian;

Pertama : Persyaratan yang harus ditunaikan, yaitu persayaratan yang manfaatnya dan
faedahnya kembali kepada sang wanita. Misalnya sang wanita mempersayatkan agar sang
suami tidak membawanya merantau atau tidak berpoligami. Maka wajib bagi sang suami
untuk memenuhi dan menunaikan persyaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikan syarat
ini maka sang wanita berhak untuk membatalkan tali pernikahan. Pendapat ini diriwayatkan
dari Umar bin Al-Khottoob, Saad bin Abi Waqqoosh, Muaawiyah, dan Amr bin Al-Aash
radhiallahu anhum. (lihat Al-Mughni 7/448)

Kedua : Persyaratan yang batil dan membatalkan persyaratan itu sendiri akan tetapi
pernikahan tetap sah, seperti jika sang lelaki mempersyaratkan untuk menikah tanpa mahar,
atau tidak menafkahi sang wanita, atau sang wanitalah yang memberi nafkah kepadanya, atau
ia hanya mendatangi sang wanita di siang hari saja. Dan demikian juga jika sang wanita
mepersyaratkan untuk tidak digauli atau agar sang lelaki menjauhinya, atau agar jatah
nginapnya ditambah dengan mengambil sebagian jatah istrinya yang lain. Maka seluruh
persyaratan ini tidak sah dan batil (lihat Al-Mughni 7/449)

Ketiga : Persyaratan yang membatalkan akad nikah, seperti pernikahan mutah (nikah
kontrak sementara setelah itu cerai), atau langsung dicerai setelah nikah, dan nikah syigoor,
atau sang lelaki berkata, Aku menikahi engkau jika ibumu merestui atau si fulan setuju.
(lihat Al-Mughni 7/449)

Dari penjelasan di atas maka jelas bahwa empat madzhab seluruhnya memandang sahnya
persyaratan tersebut dan sama sekali tidak merusak akad nikah. Khilaf hanya timbul pada
hukum memberi persyaratan ini dari pihak wanita. Madzhab Hanafi dan Hanbali memandang
bolehnya persayratatn ini. Madzhab Maliki memandang makruhnya hal ini. Dan hukum
makruh masih masuk dalam kategori halal. Adapun As-Syafii memandang bahwa persyaratan
ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan, hanya saja jika terjadi maka persyaratan
tersebut tetap tidak merusak akad nikah.

Dalil akan bolehnya persyaratan ini :

Para ulama yang memperbolehkan persyaratan agar sang suami tidak poligami, mereka
berdalil dengan banyak dalil, diantaranya:

Pertama : Keumuman dalil-dalil yang memerintahkan seseorang untuk menunaikan janji atau
kesepakatan. Seperti firman Allah

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS Al-Maaidah :1)

Kedua : Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam

Syarat yang palih berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian
menghalalkan kemaluan (para wanita) (HR Al-Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)
Dan persyaratan untuk tidak berpoligami merupakan persyaratan yang diajukan oleh sang
wanita dalam akad nikahnya, sehingga wajib bagi sang lelaki untuk menunaikannya.

Ketiga : Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam

Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelishinya-pen),
kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang
haram (HR At-Thirimidzi no 1352 dan Abu Dawud no 3596 dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani)

Dan jelas bahwasanya seseroang yang menikah dan tidak berpoligami maka hal ini
diperbolehkan dan tidak melanggar persyaratan. Maka jika perkaranya demikian berarti
persyaratan untuk tidak berpoligami diperbolehkan dan harus ditunaikan oleh sang suami.
Adapun persyaratan yang menghalalkan sesuatu yang haram maka tidak diperbolehkan,
seperti seroang wanita yang menikah dengan mempersyaratkan agar calon suaminya
menceraikan istri tuanya. Hal ini jelas diharamkan oleh syariat.

Keempat : Hukum asal dalam masalah akad dan transaksi jika diridhoi oleh kedua belah
pihak- adalah mubaah hingga ada dalil yang mengaharamkan

Adapun dalil yang dijadikan hujjah oleh para ulama yang mengharamkan persyaratan ini
adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam

Barang siapa yang memberi persyaratan yang tidak terdapat di Kitab Allah maka
persyaratan itu batil, meskipun ia mempersyaratkan seratus persyaratan (HR Al-Bukhari no
2155 dan Muslim 1504)

Akan tetapi maksud dari sabda Nabi ini adalah persyaratan yang tidak dihalalkan oleh Allah.
Karena konteks hadits ini secara lengkap menunjukan akan hal ini. Konteks hadits secara
lengkap adalah sebagai berikut :

Aisyah berkata :


:
.


:

.

:



:




Bariroh (seorang budak wanita-pen) datang kepadaku dan berkata, Aku telah membeli
diriku (mukaatabah-pen) dengan harga Sembilan uuqiyah, dan setiap tahun aku membayar
satu uqiyah (40 dirham), maka bantulah aku. Maka aku (Aisyah) berkata, Jika tuanmu suka
maka aku akan menyiapkan bayaran tersebut dengan walamu pindah kepadaku. Maka
pergilah Bariroh kepada tuanya dan menyampaikan hal tersebut, akan tetapi mereka enggan
dan bersikeras bahwasanya walaanya Bariroh tetap pada mereka. Maka Barirohpun kembali
kepada Aisyah dan tatkala itu ada Rasulullah sedang duduk-, lalu Bariroh berkata, Aku
telah menawarkan hal itu kepada mereka (tuannya) akan tetapi mereka enggan kecuali
walaaku tetap pada mereka. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendengar hal itu
(secara global-pen), lalu Aisyah mengabarkan perkaranya kepada Nabi shallallahu alaihi
wasallam. Maka Nabi berkata, Belilah Bariroh (untuk dibebaskan) dari mereka dan beri
persyaratan kepada mereka tentang walaanya, karena walaa adalah kepada orang yang
membebaskan. Maka Aisyahpun melakukannya, lalu Nabi shalallahu alaihi wa sallam
berdiri di hadapan manusia lalu memuji Allah kemudian berkata, Amma Badu, kenapa
orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak terdapat di kitab Allah (Al-Quran),
maka persyaratan apa saja yang tidak terdapat dalam Al-Quran maka merupakan persyaratan
yang batil, meskipun seratus persayratan. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan
persyaratan Allah lebih kuat untuk diikuti, sesungguhnya walaa hanyalah kepada orang yang
membebaskan (HR Al-Bukhari no 2168)

Maka jelaslah dari konteks hadits di atas bahwa yang dimaksud dengan persyaratan yang
terdapat dalam kitab Allah adalah seluruh persyaratan yang diperbolehkan oleh Allah dan
RasulNya, dan bukanlah maksudnya persyaratan yang termaktub dan ternashkan dalam Al-
Quran. Karena permasalahan Walaa itu hanya kepada orang yang membebaskan sama
sekali tidak termaktub dalam Al-Quran, akan tetapi merupakan sabda Nabi shallallahu
alaihi wa sallam.
Oleh karenanya persyaratan yang tidak diperbolehkan adalah persyaratan yang tidak terdapat
dalam kitab Allah, yang maksudnya adalah seluruh perysaratan yang tidak disyariatkan dan
tidak diperbolehkan dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.

Inti dalam masalah persyaratan baik dalam pernikahan maupun dalam akad-akad transaksi
secara umum adalah : Seluruh persyaratan yang hukum asalnya adalah mubaah maka boleh
dijadikan persayratan jika dirihdoi oleh kedua belah pihak. (lihat Al-Qowaad An-Nurroniyah
hal 285)

Karenanya pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini Wallahu Alam- adalah
pendapat madzhab Hambali, bahwasanya persyaratan tersebut diperbolehkan dan wajib untuk
ditunaikan oleh suami jika menerima persyaratan tersebut. dan inilah yang telah dipilih oleh
Ibnu Taimiyyah dalam Al-Qwaaid An-Nurroniyah dan juga Syaikh Al-Utsaimin (lihat As-
Syarh Al-Mumti 12/164, 167)

Kesimpulan :

Para ulama madzhab telah berselisih yang kesimpulannya sebagai berikut:

- Madzhab Hanbali membolehkan persyaratan seperti ini, dan wajib bagi sang suami untuk
menunaikan persyaratan tersebut. Dan persyaratan ini sama sekali tidak merusak akad nikah
dan juga tidak merusak mahar.

- Adapun pendapat Madzhab Hanafi maka persyaratan ini diperbolehkan jika sang wanita
menjatuhkan sebagian nilai maharnya. Dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan
persayaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikannya maka sang wanita mendapatakan
mahr al-mitsl

- Madzhab Maliki memandang persyaratan ini merupakan persyaratan yang makruh

- Adapun pendapat madzhab Syafii maka ini merupakan persyaratan yang tidak
diperbolehkan. Akan tetapi jika terjadi maka persyaratan tersebut tidak merusak akad nikah,
hanya saja merusak mahar yang telah ditentukan, sehingga mahar sang wanita nilainya
berubah menjadi mahar al-mitsl.

Dari sini nampak bahwa jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa persyaratan seperti ini
(agar sang suami tidak berpoligami) merupakan persayratan yang sah dan diperbolehkan.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan :

- Hendaknya para lelaki yang hendak menikah untuk tidak mengajukan persyaratan ini tanpa
dipersyaratkan oleh sang wanita, karena ini merupakan bentuk menjerumuskan diri dalam
kesulitan.

- Demikian juga jika sang wanita mempersyaratkan tidak poligami, maka hendaknya sang
lelaki tidak langsung menerima, dan hendaknya ia berpikir panjang. Karena ia tidak tahu
bagaimana dan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa saja nantinya sang wanita sakit
sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri sebagaimana mestinya atau hal-hal
lain yang nantinya memaksa dia untuk berpoligami. Dan hendaknya sang lelaki ingat bahwa
jika ia menerima persyaratan tersebut maka hendaknya ia menunaikannya karena seorang
mukmin tidak mengingkari janji dan tidak menyelisihi kesepakatan.
- Hendaknya para wanita yang memberi persayratan ini jangan sampai terbetik dalam
benaknya kebencian terhadap syariat poligami, hendaknya ia tetap meyakini bahwa poligami
adalah disyariatkan dan mengandung banyak hikmah di balik itu.

- Hendaknya para wanita tidaklah memberi persyaratan tersebut kecuali jika memang
kondisinya mendesak, karena sesungguhnya dibalik poligami banyak sekali hikmah. Dan
sebaliknya persyaratan seperti ini bisa jadi membawa keburukan. Bisa jadi sang wanita
akhirnya memiliki anak banyak, dan telah mencapi masa monopuse, sedangkan sang suami
masih memiliki syahwat dan ingin menjaga kehormatannya, namun akhirnya ia tidak bisa
berpoligami. Maka jadilah sang lelaki membenci sang wanita namun apa daya ia tidak
mampu untuk berpisah dari sang wanita mengingat kemaslahatan anak-anaknya.

- Jika akhirnya sang lelaki berpoligami maka sang wanita diberi pilihan, yaitu menggugurkan
persyaratannya tersebut dan menerima suaminya yang telah menyelisihi janji sehingga
berpoligami ataukah sang wanita memutuskan tali akad pernikahan. Dan terputusnya tali
pernikahan disini bukanlah perceraian, akan tetapi akad nikahnya batal. Sehingga jika sang
wanita ingin kembali lagi ke suaminya maka harus dengan pernikahan yang baru.

HUKUM SEORANG MUSLIM MENIKAHI WANITA AHLI KITAB

Ditulis oleh: Mujiburrahman Abu Sumayyah

Sebagaimana diuraikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa pernikahan antara seorang


Muslimah dengan laki-laki non-Muslim, baik dari kalangan Ahli Kitab ataupun musyrik,
maka jumhur ulama bersepakat menyatakan hukumnya haram, tidak sah.

Akan tetapi apabila pernikahan tersebut dilakukan antara seorang laki-laki Muslim dengan
wanita Ahli Kitab, maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Apakah seorang Muslim
diperbolehkan menikahi wanita Ahli Kitab secara umum? Atau hanya diperbolehkan
menikahi wanita Ahli Kitab yang berstatus dzimmi saja? Maka dalam permasalahan ini,
penulis akan membagi pembahasan ini menjadi dua, yakni hukum menikahi wanita Ahli
Kitab dari Darul Islam dan hukum menikahi wanita dari Darul Harbi. Berikut penjelasannya:

Hukum Menikahi Wanita Ahli Kitab di Darul Islam

Yang dimaksud dengan Darul Islam adalah suatu negeri yang mana di dalamnya orang-orang
Islam memiliki kekuasaan penuh dan di dalamya ditegakkan serta diterapkan hukum-hukum
Islam.[1]

Dalam masalah pernikahan antara seorang Muslim dengan wanita Ahli Kitab yang berstatus
dzimmi, maka ulama terbagi menjadi tiga pendapat, yaitu:

1. Diperbolehkan menikahi wanita-wanita Ahli Kitab yang berstatus dzimmi.


Ini merupakan pendapat jumhur ulama, baik salaf maupun khalaf. Mereka memperbolehkan
bagi seorang Muslim menikah dengan Ahli Kitab secara mutlak tanpa adanya persyaratan
apapun.[2]

Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut ini:

a. Firman Allah -subhaanahu wa taala-,

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-
Kitab sebelum kamu. [3]

Adapun yang dimaksud dengan pada ayat di atas adalah wanita-wanita yang
merdeka (bukan budak) dan yang mampu menjaga kehormatan (kesucian dirinya) dari
perbuatan zina.[4] Hal ini dimaksudkan agar seorang muslim hendaknya mengawini wanita-
wanita yang mampu menjaga kehormatan dirinya karena akan mewujudkan kasih sayang dan
kelembutan antara suami dan isteri dan menciptakan ketenangan dan ketentraman.[5]

b. Hadits yang diriwayatkan oleh Abdurahman bin Auf radhiyallaahu anhu-, bahwasanya
Rasulullah shallallaahu alahi wa sallam- pernah bersabda tentang orang-orang Majusi,
Hukumilah mereka sebagaimana halnya Ahli Kitab, kecuali dalam masalah pernikahan
dengan wanita-wanita mereka dan memakan sembelihan mereka.[6]

Maka Imam ar-Razi mengatakan, Seandainya menikahi wanita Ahli Kitab tidak
diperbolehkan, maka pengecualian ini tidak ada gunanya (tidak akan disebutkan).[7]

c. Para shahabat mengawini wanita-wanita ahlu dzimmah. Seperti Utsman t yang mengawini
Nailah binti al-Faraafishah al-Kalbiyah yang beragama Nasrani kemudian dirinya masuk
Islam. Hudzaifah radhiyallaahu anhu- dengan wanita Yahudi penduduk Madain.[8]
Begitu juga dengan Jabir radhiyallaahu anhu- ketika ditanya tentang (hukum) pernikahan
antara seorang Muslim dengan Yahudi dan Nasrani, maka ia berkata, Kami mengawini
mereka ketika kami mengadakan peperangan di Kuffah bersama Saad bin Abi Waqqash, dan
(ketika itu) kami hampir tidak mendapatkan wanita-wanita muslimah. Ketika kami akan
mengadakan perjalanan (pulang) dari Irak, kami menceraikan mereka. Dihalalkan wanita-
wanita mereka bagi kita, akan tetapi tidak dihalalkan wanita-wanita kita (muslimah) bagi
(laki-laki) mereka. [9]

Adapun alasan diperbolehkan bagi seorang Muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab
karena keduanya memiliki kesamaan dalam masalah keimanan pada sebagian hal-hal yang
bersifat asasi (pokok), yaitu pengakuan terhadap Illah, keimanan terhadap para Rasul dan hari
Akhir, termasuk hisab dan balasan terhadap segala amal perbuatan. Dengan adanya kesamaan
dan jembatan yang dapat menghubungkan dasar-dasar antara dua agama, maka kemungkinan
besar akan tercapai kehidupan yang istiqamah (lurus) dan tenang. Selain itu juga diharapkan
keislaman seorang wanita Ahli Kitab tersebut karena keimanannya terhadap kitab-kitab para
Nabi dan Rasul.[10] Wallahu mustaan.
2. Dimakruhkan menikahi wanita-wanita dari kalangan Ahli Kitab.

Ini merupakan pendapat kalangan madzhab Hanafi dan asy-Syafii.[11] Adapun hujjah
mereka bahwasanya Umar radhiyallaahu anhu- pernah berkata kepada para shahabatnya
yang menikah dengan wanita Ahli Kitab, Talaklah mereka! Maka merekapun mentalaknya,
kecuali Hudzaifah radhiyallaahu anhu-. Lalu Umar radhiyallaahu anhu- berkata
kepadanya (Hudzaifah), Talaklah ia! Dia (Hudzaifah) berkata, Anda bersaksi bahwa dia
(wanita Kitabiyah) itu haram? Umar radhiyallaahu anhu- berkata, Dia itu khamrah[12]
(peminum khamr), maka talaklah dia. Hudzaifah berkata, Anda bersaksi bahwa dia (wanita
Kitabiyah) itu haram? Umar berkata, Dia itu khamrah. Hudzaifah mengatakan, Saya
mengetahui bahwa dia itu khamrah, akan tetapi dia halal bagiku. Akan tetapi tidak lama
setelah itu Hudzaifah mentalaknya. Maka ada seseorang yang bertanya kepadanya, Kenapa
kamu tidak mentalaknya ketika kamu disuruh Umar? Hudzaifah mengatakan, Aku tidak
suka kalau orang-orang memandang bahwa aku berbuat suatu perkara yang tidak seyogyanya
bagiku. Atau karena barangkali hati Hudzaifah cenderung kepadanya (wanita Kitabiyah itu),
lalu dia terfitnah oleh wanita itu, atau barangkali antara keduanya ada anak, sehingga dirinya
cenderung kepada wanita kitabiyah tersebut.[13] Dalam riwayat yang lain Umar
radhiyallaahu anhu- mengatakan, Diriku khawatir seandainya kalian meninggalkan wanita
Muslimah dan menikahi wanita pelacur. [14]

Disamping itu, mereka memakruhkan pernikahan Muslim dengan wanita-wanita Ahli Kitab
karena beberapa alasan, diantaranya:

a. Dikhawatirkan wanita tersebut akan membawa fitnah, baik bagi dirinya ataupun
agamanya.[15]

b. Wanita Ahli Kitab tidak mengimani risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu
alahi wa sallam-. Dikhawatirkan mereka bisa memalingkan kaum Muslimin dari dien
mereka.

c. Dikhawatirkan wanita Ahli Kitab akan menjerumuskan anak-anak kaum Muslimin kepada
jurang kekafiran atau memperkenalkan budaya-budaya Nasrani, karena seorang ibu adalah
madrasah yang pertama bagi anak-anaknya. Seperti menyembah Nabi Isa alahi as-salaam-
, ke gereja, merayakan pesta Natal dan lain-lain. Maka hal ini akan memperparah kondisi
anak-anak suatu saat nanti.

Walaupun kalangan madzhab asy-Syafii memakruhkan, akan tetapi mereka


memperbolehkan bagi seorang Muslim menikahi wanita Ahli Kitab dengan beberapa
persyaratan, diantaranya:

a. Hanya wanita Ahli Kitab yang berstatus dzimmi saja yang diperbolehkan untuk dinikahi.
Karena wanita yang berstatus harbi akan menimbulkan banyaknya fitnah pada laki-laki
Muslim.[16]

b. Wanita tersebut dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan bukan wanita yang tidak
berpegang kepada kitab Zabur dan shuhuf yang lainnya, seperti shuhuf Syits, Idris dan
Ibrahim alaihi salaam-.[17]

3. Dilarang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab secara mutlak.


Ini merupakan pendapat sebagian ulama. Mereka berdalil dengan atsar yang diriwayatkan
dari Nafi, bahwa Ibnu Umar radhiyallaahu anhuma- pernah ditanya mengenai pernikahan
dengan wanita Kitabiyyah, maka beliau menjawab,

Sesungguhnya Allah telah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-orang yang


beriman dan aku tidak pernah mengetahui sesuatu yang lebih besar (dosanya) pada
kemusyrikan melebihi seorang wanita yang mengucapkan bahwa Rabb-nya adalah Isa,
padahal dia adalah seorang hamba dari hamba-hamba Allah.[18]

Ini juga merupakan pendapat Syiah Imamiyyah Jafariyah. Mereka melarang bagi seorang
Muslim menikah dengan wanita-wanita merdeka dari kalangan Ahli Kitab hanya dalam
pernikahan yang langgeng (selamanya). Akan tetapi mereka menghalalkan pada pernikahan
yang sifatnya sementara (mutah).[19] Hal ini dikarenakan adanya kemampuan untuk
menikahi wanita Muslimah.[20] Mereka berhujjah dengan menggunakan firman Allah -
subhaanahu wa taala-,

Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan wanita-wanita
kafir.[21]

Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-


pemimpin(mu). [22]

Alasan mereka juga, bahwa kitab mereka telah dihapus dan hukum-hukum yang ada di
dalamnya telah dirubah. Sehingga mereka diibaratkan tidak memiliki kitab.[23]

Pendapat yang rajih:

Pendapat yang rajih (benar) dalam masalah ini adalah pendapat yang dianut oleh Jumhur
Ulama, yaitu dihalalkan bagi seorang Muslim untuk menikah dengan wanita Ahli Kitab yang
berstatus dzimmi, karena beberapa alasan. Diantaranya:

1. Pendapat yang melarang pernikahan Muslim dengan wanita Ahli Kitab yang berstatus
dzimmi di luar pendapat mayoritas ulama, yang berlandaskan pada argumentasi yang yang
kuat.[24]
2. Para shahabat dan tabiin menghalalkan pernikahan dengan wanita Ahli Kitab. Diantara
mereka adalah Utsman, Thalhah, Ibnu Abbas, Jabir, Hudzaifah radhiyallaahu anhum-.
Adapun dari kalangan tabiin diantaranya Said bin al-Musayyib, Said bin Jubair, Hasan,
Mujahid, Thawus, Ikrimah, asy-Syabi, Dhahak dan ahli fiqih yang lain.[25]
3. Sebagian kalangan berpendapat bahwa Ahli Kitab pada masa sekarang ini sudah tidak ada
lagi, seiring dengan sudah tidak murninya kitab suci mereka. Pendapat ini memang bisa
dibenarkan. Akan tetapi yang perlu kita ketahui, bahwa perbuatan memalsu isi kitab suci,
memutar-balik ayat dan bahkan menyelewengkannya sudah terjadi sejak sebelum diutus
Nabi Muhammad shallallaahu alahi wa sallam-. Bahkan salah satu hikmah diutusnya Nabi
Muhammad shallallaahu alahi wa sallam- justru karena sudah dipalsukannya kitab-kitab
suci yang turun sebelumnya.

Al-Quran tidak berbicara tentang kesesatan mereka untuk masa sekarang ini saja. Al-Quran
memberikan ancaman bagi Ahli Kitab karena telah merusak keaslian kitab suci, bukan terjadi
pada masa kita sekarang ini saja, melainkan karena hal itu sudah terjadi pada masa Nabi
Muhammad shallallaahu alahi wa sallam- dan bahkan sebelum lahirnya beliau. Artinya,
tidak tepat kalau kita menyimpulkan bahwa Yahudi dan Nasrani pada masa Nabi
shallallaahu alahi wa sallam- tidak memalsukan kitab suci, sehingga wanita mereka halal
dinikahi. Dan juga tidak tepat bila dikatakan bahwa wanita Yahudi dan Nasrani pada zaman
sekarang ini haram dinikahi karena baru sekarang ini mereka memalsu kitab suci.

Namun yang benar (insyaAllah) adalah bahwa Yahudi dan Nasrani sudah memalsukan kitab
suci, merusak isinya, menodainya, bahkan menjualnya dengan harga yang sedikit sejak
sebelum al-Quran ini diturunkan. Namun ketika al-Quran ini turun, di dalamnya
menyebutkan tentang diperbolehkan bagi laki-laki Muslim untuk menikahi wanita Ahli
Kitab.

Adapun Paman Khadijah yang beragama Nasrani yang masih menggunakan Injil yang asli,
tentu tidak mencerminkan bahwa semua pemeluk Nasrani di masa itu masih memegang Injil
asli. Sebab pada masa sekarang ini pun masih ada sekelompok Nasrani tertentu yang disebut-
sebut masih menggunakan Injil yang asli. Misalnya Injil Barnabas. Keberadaan pemeluk
Nasrani pada masa sekarang yang menggunakan Injil Barnabas tidak bisa dijadikan
kesimpulan bahwa orang Nasrani pada masa sekarang masih menggunakan Injil asli.

Sementara al-Quran dengan tegas mengkafirkan pemeluk agama Nasrani, lepas dari urusan
keaslian Injil mereka, yaitu karena mereka telah menuhankan Nabi Isa alaihi salaam- atau
telah mengatakan bahwa Tuhan itu tiga. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-
Nya,



Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, Sesungguhnya Allah itu ialah Al-
Masih putera Maryam. [26]

Dalam firman-Nya yang lain,

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, Bahwasanya Allah salah seorang


dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa.[27]

Sejak masa Nabi Muhammad shallallaahu alahi wa sallam- masih hidup, orang-orang
Nasrani ketika itu sudah mengubah Injil, menyembah Nabi Isa alaihi as-salaam- dan
menganut ajaran trinitas. Dan ketika itu pula, al-Quran memperbolehkan laki-laki Muslim
menikahi wanita Nasrani. Jadi hampir tidak ada bedanya antara kerusakan orang-orang
Nasrani pada masa Nabi shallallaahu alahi wa sallam- dengan masa sekarang. Yang
sekarang pun mengubah Injil, menyembah Nabi Isa alaihi as-salaam- dan menganut ajaran
trinitas. Lalu mengapa hukumnya harus dibedakan?.
Akan tetapi, setelah adanya suatu pertimbangan akan maslahat dan madharat berkenaan
tentang pernikahan antara seorang Muslim dengan wanita Ahli Kitab, maka penulis
memberikan kesimpulan bahwasanya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seorang Muslim dan seorang wanita Ahli Kitab ketika mereka akan melangsungkan
pernikahan. Diantara persyaratan tersebut adalah:

1. Seorang Muslim yang hendak menikah dengan wanita Ahli Kitab, hendaknya dirinya memiliki
aqidah yang kokoh, memahami ilmu-ilmu syariat dan akhlak yang baik. Sehingga dengan hal
itu semua, ia mampu membentengi dirinya dalam mengarungi bahtera rumah tangganya
bersama dengan isteri dan anak-anaknya. Disamping itu, ia mampu untuk mengarahkan
isterinya kepada cahaya Islam, dan tidak ada kekhawatiran baginya dan anak-anaknya untuk
menyimpang dari agama Islam dan berpindah kepada Ahli Kitab.
2. Hendaknya seorang wanita Ahli Kitab tersebut termasuk wanita yang mampu menjaga iffah
(kehormatan) dan kesucian dirinya, serta tidak pernah mengumbar aurat di depan laki-laki
asing yang bukan menjadi mahramnya.
3. Hendaknya seorang wanita Ahli Kitab tersebut berstatus merdeka, bukan budak.

Apabila seorang Muslim dan wanita Ahli Kitab memiliki beberapa kriteria di atas, maka
(insyaAllah) diperbolehkan bagi keduanya untuk melakukan pernikahan. Wallahu taala
alam bi ash-shawab.

Hukum Menikahi Wanita Ahli Kitab dari Darul Harbi (ikhtilaafu ad-darain)[28]

Adapun yang dimaksud dengan Darul Harbi adalah negeri yang kaum Muslimin tidak
memiliki kekuasaan atasnya dan tidak dapat menerapkan hukum-hukum Islam di
dalamnya.[29]

Dalam kaitannya dengan masalah pernikahan seorang Muslim dengan wanita Darul Harbi ini,
maka wanita Darul Harbi ada dua macam, yaitu mereka yang tinggal di Darul Harbi dan
mereka yang mendapatkan jaminan keamanan ketika memasuki Darul Islam untuk keperluan
berdagang atau yang semisalnya, dan ia mempunyai keinginan untuk kembali ke negaranya.
Akan tetapi, dalam masalah hukum pernikahan mereka dengan laki-laki Muslim tidak ada
bedanya.

Dalam permasalahan ini, ulama terbagi menjadi tiga pendapat:

1. Diperbolehkan bagi seorang Muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab dari Darul Harbi,
dan diperbolehkan juga menikah di dalamnya. Akan tetapi ada beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi oleh seorang Muslim tersebut, yaitu:

a. Dirinya tidak khawatir jika isterinya akan menjadi fitnah bagi agamanya.

b. Dirinya juga tidak khawatir jika isterinya akan menguasai anak-anaknya.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam asy-Syafii rahimahullaahu taala-, Aku
tidak membenci wanita dari Darul Harbi kecuali jika ditakutkan terfitnah agamanya dan
anaknya akan dikuasai (oleh isterinya).[30]

Akan tetapi hukumnya menjadi makruh, bahkan haram apabila:


a. Isterinya atau kaumnya akan memfitnah agamanya.

b. Isterinya akan menguasai anaknya.

c. Isterinya akan dijadikan sebagai tawanan perang karena Darul Harbi adalah daerah
peperangan dan ghanimah.[31]

2. Dimakruhkan.

Ini merupakan pendapat kalangan madzhab asy-Syafii, Maliki, Hanbali.[32]

Adapun alasan mereka sebagaimana dikatakan oleh Imam asy-Syafii rahimahullaahu


taala- (pada penjelasan di atas), dan Imam Malik rahimahullaahu taala- diantaranya[33]:

a. Isterinya atau kaumnya kemungkinan besar akan menjadi fitnah bagi agamanya.

b. Isterinya akan berkuasa terhadap anak-anaknya, sehingga anak-anaknya tersebut akan


diarahkan kepada kebiasaan orang-orang kafir.

c. Isteri dan anak keturunannya akan ditinggalkan di daerah tersebut. Sehingga suatu saat
nanti mereka berkesempatan untuk dijadikan sebagai tawanan atau ghanimah.

d. Wanita tersebut pasti (kemungkinan besar) akan berinteraksi dengan khamr (arak) dan
babi.

3. Diharamkan bagi seorang muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab dari Darul Harbi
secara mutlak.

Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma-,[34] dan kalangan madzhab
Hanafi. Adapun alasannya bahwa pernikahan dengan seorang wanita yang berada di Darul
Harbi akan membuka pintu fitnah.[35]

Imam Abu Hanifah rahimahullaahu taala- menjelaskan, bahwa salah satu penyebab
wajibnya seorang isteri diceraikannya dari suaminya adalah ikhtilaaf ad-darain (jika
keduanya berbeda negeri),[36] walaupun agama keduanya sama.[37]

Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma- pernah ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab,
Tidak dihalalkan. Kemudian beliau membaca firman Allah -subhaanahu wa taala-,

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudiansampai akhir ayat. [38]

Dari beberapa pendapat di atas, maka penulis memberikan kesimpulan bahwa pendapat yang
rajih adalah makruh, dan sebaiknya tidak dilakukan. Hal ini disebabkan bahwa pernikahan
seorang Muslim dengan wanita yang berada di Darul Harbi akan memberikan beberapa
dampak yang sangat negatif. Baik dampak terhadap masyarakat, negara ataupun agama.
Diantara dampak-dampak negatif selain yang telah disebutkan di atas adalah:
1. Bagi negara: Wanita tersebut kemungkinan suatu saat akan membocorkan rahasia negara
yang seorang suami tinggal di dalamnya (Darul Islam) kepada negeri kafir. Dan hal ini tentu
akan membawa dampak yang buruk bagi negara dan umat Islam yang tinggal di dalamnya.
2. Bagi masyarakat: Wanita tersebut akan membahayakan kaum Muslimah dengan
perangainya yang tidak baik. Karena terkadang wanita Ahli Kitab akan menularkan
perangainya yang buruk. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi bahwa
Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallaahu anhu- menikah dengan wanita Yahudi. Maka Umar t
kemudian mengirim surat kepadanya agar menceraikan wanita tersebut. Kemudian
Hudzaifah membalas, Apakah wanita tersebut haram bagiku? Maka Umar menjawab,
Tidak haram, akan tetapi aku khawatir seandainya wanita yang engkau nikahi adalah wanita
pelacur.[39]
3. Bagi agama: Wanita Ahli Kitab (terlebih dari Darul Harbi), akan mengarahkan anak-anaknya
kepada kebiasaan-kebiasaan orang kafir. Misalnya, minum khamr, makan babi, pesta Natal
di gereja, menyembah nabi Isa dan lain-lain. Dan hal ini tentunya akan merusak akhlak dan
agama anak yang fitrahnya bertauhid kepada Allah -subhaanahu wa taala-.

Maka hendaknya seorang Muslim agar menghindari untuk menikah dengan wanita Ahli
Kitab yang berada di Darul Harbi. Seandainya dirinya berkeinginan besar untuk menikah
dengan wanita Ahli Kitab dengan alasan yang dapat diterima, maka hendaknya dia menikah
dengan wanita dzimmi. Akan tetapi hal ini juga harus dengan pertimbangan yang matang.
Wallahu taala alam bis shawwab. (dakwahwaljihad.wordpress.com)

Wanita Ahli Kitab

Selasa, 31 Juli 2007 02:17:49 WIB


Kategori : Fiqih : Nikah
HUKUM SEORANG MUSLIM MENIKAHI WANITA AHLI KITAB
[Yang Merdeka, Yang Berstatus Sebagai Ahli Dzimmah [1], Dan Yang Menjaga
Kehormatannya]

Oleh
Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi

Di kalangan para ulama ada dua pendapat dalam masalah ini.

Pendapat Pertama.
Seorang muslim halal menikahi wanita-wanita Ahli Kitb, baik yang merdeka, yang berstatus
sebagai Ahli Dzimmah, ataupun yang menjaga kehormatannya. Ini adalah pendapat jumhur
ulama dari kalangan Hanafiyah [2], Malikiyah [3], Syafiiyah [4], dan Hanabilah (Hanbali)
[5].

Pendapat Kedua.
Seorang muslim haram menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang merdeka, yang
berstatus sebagai Ahli Dzimmah ataupun yang menjaga kehormatannya.

Pendapat ini dinukil dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, dan ia menjadi pendapat
Syiah Imamiyah [6].
Dalil-Dalil Pendapat Di Atas.

Pendapat Pertama : Yaitu pendapat jumhur ulama, mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai
berikut.
[a]. Firman Allah Subhanahu wa Taala.
Artinya : Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu [Al-Maidah
: 5]

[b]. Perilaku para sahabat, karena mereka telah menikahi wanita-wanita yang bersetatus
sebagai Ahli Dzimmah dari Ahli Kitab. Misalnya Utsman Radhiyallahu anhu, beliau telah
menikahi Nailah binti Al-Gharamidhah Al-Kalbiyyah, padahal ia seorang wanita Nasrani,
lalu masuk Islam dengan perantara beliau. Hudzaifah Radhiyallahu anhu menikah dengan
seorang wanita Yahudi dari Al-Madain.

[c]. Jabir Radhiyallahu anhu ditanya tentang hukum seorang muslim menikahi wanita-wanita
Yahudi dan Nasrani. Maka beliau menjawab : Kami telah menikahi mereka pada waktu
penaklukan kota Kufah bersama Saad bin Abi Waqqash [7]

[d]. Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengenai orang-orang Majusi.


Artinya : Berbuatlah kalian kepada mereka seperti yang berlaku bagi Ahli Kitab, selain
menikahi wanita-wanita mereka dan tidak makan daging sembelihan mereka [8]

Sedangkan Pendapat Kedua : Mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.


[a]. Firman Allah Subhanahu wa Taala
Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman
[Al-Baqarah : 221]

Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Taala telah
mengharamkan nikah dengan wanita musyrik dalam ayat ini. Padahal wanita Ahli Kitab
adalah orang musyrik. Dalam menyatakan bahwa wanita Ahli Kitab itu adalah orang
musyrik, mereka berdalil dengan sebuah riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radhiyallahu
anhuma bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum menikah dengan wanita-wanita
Nashrani dan Yahudi. Maka beliau menjawab : Sesungguhnya Allah telah mengharamkan
bagi orang-orang yang beriman menikah dengan wanita-wanita musyrik. Dan, saya tidak
mengetahui ada kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan
Rabb-nya adalah Nabi Isa. Padahal beliau adalah salah seorang hamba Allah Subhanahu wa
Taala [9] [HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya]

[b]. Mereka juga berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Taala.


Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-
perempuan kafir [Al-Mumtahanah : 10]

Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Taala telah
melarang tetap berpegang teguh pada ikatan pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir.
Padahal perempuan-perempuan Ahli Kitab termasuk perempuan-perempuan kafir. Sementara
larangan (An-Nahyu) dalam ayat tersebut bermakna haram.
Diskusi Seputar Dalil-Dalil Di Atas
Jumhur ulama telah mendiskusikan (mengkritisi) dalil-dalil pendapat kedua dengan
penjelasan sebagai berikut.

[1]. Diskusi Dalil Pertama.


Yaitu firman Allah Subhanahu wa Taala.
Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman
[Al-Baqarah : 221]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwasanya ayat tersebut telah
dimansukh (dihapus) dengan ayat yang tertera di dalam surat Al-Maidah, yakni firman Allah
Subhanahu wa Taala.

Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al-Kitab sebelum kamu [Al-Maidah : 5]

Demikian pula bahwa dalil yang dijadikan hujjah oleh mereka adalah bersifat umum (amm),
yang mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan ini adalah
bersifat khusus (khas), yang menyatakan halal menikahi wanita Ahli Kitab. Padahal dalil
yang bersifat khusus itu wajib didahulukan.[10]

[2]. Diskusi Dalil Kedua.


Yaitu tentang pernyataan Ibnu Umar : Saya tidak mengetahui ada kesyirikan yang lebih
besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa. Maka dapat
dijawab : Bahwa ayat ini mengkhususkan wanita-wanita Ahli Kitab dari wanita-wanita
musyrik secara umum. Maka dalil yang bersifat umum harus dibangun di atas dalil yang
bersifat khusus [11]

[3]. Diskusi Dalil Ketiga


Yaitu firman Allah Subhanahu wa Taala.
Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-
perempuan kafir [Al-Mumtahanah : 10]

Ibnu Qudamah mejelaskan : Lafadz musyrikin (orang-orang musyrik) secara mutlak itu
tidak mencakup Ahli Kitab, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Taala berikut.

Artinya : orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa
mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)[Al-Bayyinah : 1]

Allah Subhanahu wa Taala juga berfirman.

Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik [Al-
Bayyinah : 6]

Maka anda akan mendapatkan bahwa Al-Quran sendiri membedakan antara kedua golongan
tersebut. Al-Quran telah menunjukkan bahwa lafadz musyrikin (orang-orang musyrik)
secara mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab.
Jadi firman Allah Subhanahu wa Taala.

Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-
perempuan kafir [Al-Mumtahanah : 10]

Adalah bersifat umum (amm), yang mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan ayat
yang kami bawakan ini adalah bersifat khusus (khash), yang menyatakan halal menikahi
wanita Ahli Kitab. Padahal dalil yang besifat khusus itu wajib didahulukan.

Setelah diskusi singkat ini, jelaslah bagi kita bahwa semua dalil para ulama yang menyatakan
haram menikahi wanita Ahli Kitab adalah lemah, dan tidak ada satupun dalil yang shahih.
Adapun yang lebih rajih (unggul) adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan halal
menikahi wanita-wanita mereka (Ahli Kitab).

Berkaitan : .. Di kalangan para ulama yang menyatakan halal menikahi wanita-wanita Ahli
Kitab sendiri, yaitu jumhur ulama, mereka masih berbeda pendapat tentang menikahi wanita-
wanita Ahli Kitab, apakah hukum halal itu boleh secara muthlak ataukah boleh namun
makruh hukumnya?

Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat.

Pendapat Pertama.
Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh namun makruh hukumnya. Ini adalah
pendapat sebagian madzhab Hanafiyah [12], pendapat madzhab Malikiyah [13], Syafiiyah
[14], dan Hanabilah [15].

Pendapat Kedua
Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh secara mutlak, tidak makruh sama sekali.
Ini adalah pendapat sebagian madzhab Malikiah, di antara mereka ada Ibnu Al-Qasim dan
Khalil, dan itu merupakan pendapat imam Malik [16].

Pendapat Ketiga
Az-Zarkasyi dari kalangan madzhab Syafiiyah berkata : Kadangkala hukumnya menikahi
wanita Ahli Kitab bisa sunnah (istihbab), apabila wanita tersebut dapat diharapkan masuk
Islam. Pasalnya, ada riwayat bahwa Utsman Radhiyallahu anhu telah menikah seorang
wanita Nashrani, kemudian wanita itu masuk Islam dan ke-islamannya pun baik [17]. Ini
adalah pendapat yang marjuh (lemah) dari kalangan madzhab Syafiiyah.

[Disalin dari kitab Akhkaamu Nikaakhu Al-Kuffaar Alaa Al-Madzhabi Al-Arbaah, Penulis
Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi, edisi Indonesia Bolehkah Rumah
Tangga Beda Agama?, Penerbit At-Tibyan, Penerjemah Mutsana Abdul Qahhar

Wali Nikah Anak Angkat

Wali nikah anak angkat merupakan hak orang tua asli. Karena anak angkat tidak berubah
nasabnya. Namun ortu angkat bisa juga jadi wali, dengan syarat mendapat mandat orang
tuanya.

Pertanyaan:
Maaf tadz, ada kasus tetangga saya, anak angkat mau nikah. Orang tua kandungnya masih
ada, hanya saja di tempat yg jauh. Bolehkah diwalikan ortu angkatnya??

Dari: Trenzt

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ala rasulillah, amma badu,

Pertama, anak angkat statusnya berbeda dengan anak kandung. Dalam aturan islam, anak
angkat yang diasuh orang tua angkat, tidak boleh diubah nasabnya. Artinya dia tetap
dinasabkan ke orang tua aslinya. Aturan ini telah Allah tegaskan dalam firman-Nya,

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka;
Itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama atau maulamu. Tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab:
5)

Dulu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memiliki anak angkat namanya zaid. Hingga
masyarakat menyebutnya Zaid bin Muhammad. Padahal Nama ayahnya yang asli: Haritsah.
Sampai akhirnya Allah menurunkan ayat di atas. Kemudian mereka tidak lagi menyebutnya
Zaid bin Muhammad tapi Zaid bin Haritsah. Sebagaimana yang diceritakan Ibnu Umar,

Kami tidak pernah memanggil Zaid bin Haritsah, namun Zaid bin Muhammad, sampai Allah
menurunkan firmannya di surat Al-Ahzab ayat 5. (HR. Bukhari)

Kedua, karena tidak ada hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua angkat
maka tidak berlaku hukum-hukum nasab dalam hal ini. Sehingga mereka tidak bisa saling
mewarisi, tidak bisa menjadi mahram, tidak pula wali nikah. Hukum nasab yang berlaku,
tetap kembali ke bapaknya yang asli. Sehingga yang berhak menjadi wali untuk anak ini
adalah ayah kandungnya dan keluarga ayah kandungnya.

Urutan kerabat ayah yang berhak menjadi wali nikah, dijelaskan Al-Buhuti berikut,

Lebih didahulukan bapak si wanita (pengantin putri) untuk menikahkannya. Karena bapak
adalah orang yang paling paham dan paling kasih sayang kepada putrinya. Setelah itu,
penerima wasiat dari bapaknya (mewakili bapaknya), karena posisinya sebagaimana
bapaknya. Setelah itu, kakek dari bapak ke atas, dengan mendahulukan yang paling dekat,
karena wanita ini masih keturunannya, dalam posisi ini (kakek) disamakan dengan bapaknya.
Setelah kakek adalah anak si wanita (jika janda), kemudian cucunya, dan seterusnya ke
bawah, dengan mendahulukan yang paling dekat. (Ar-Raudhul Murbi, hal. 1/100

Keterangan selengkapnya bisa anda pelajari di: Urutan wali Nikah

Ketiga, jika ayah angkat jadi wali

Ayah angkat bisa jadi wali, jika dia mendapatkan mandat dari ayah kandungnya. Dalam hal
ini, ayah angkat berstatus sebagai penerima wasiat (wakil) si bapak asli. Sebagaimana
keterangan Al-Buhuti di atas.

Namun jika bapak angkat tidak mendapatkan mandat atau tidak izin kepada wali yang sah
maka dia tidak boleh menjadi wali pernikahan anak angkatnya. Jika tetap dinikahkan maka
nikahnya bapak.

Al-Buhuti mengatakan,

Jika wali yang lebih jauh menikahkannya, atau orang lain menjadi walinya, meskipun dia
hakim (pejabat KUA), sementara tidak ada izin dari wali yang lebih dekat maka nikahnya
tidak sah, karena tidak perwalian ketika proses akad, sementara orang yang lebih berhak
(untuk jadi wali) masih ada. (Ar-Raudhul Murbi, 1/10)

Allahu alam

Wali Nikah Ayah Angkat


Andi

Pertanyaan:

Seorang gadis sejak bayi sudah dijadikan anak angkat oleh kelurga B. Ketika dewasa dia
ingin menikah, bapak angkatnya masih ada, begitu juga dgn bapak kandungnya. Diantara
mereka berdua, siapa yang berhak jadi wali nikahnya? Apakah cukup bapak angkatnya yang
jadi wali nikah?

Jawaban:

Assalamu alaikum Wr. Wb. Satu-satunya orang yang berhak untuk menikahkan seorang
gadis tidak lain adalah ayah kandungnya yang sah. Sedangkan bapak angkat seberapapun
besar jasa dan perhatiannya kepada seorang anak gadis yang dipeliharanya sejak kecil, bukan
lah wali yang berhak menikahinya. Bahkan bila gadis itu mulai tumbuh remaja dan aqil
baligh, ayah angkat itu menjadi ajnabi dimana antara mereka berdua berlaku hukum
pergaulan antara laki-laki dan wanita asing. Mereka tidak boleh berduaan, bersentuhan,
melihat aurat dan segala yang dilarang umumnya antara laki-laki dan wanita. Bahkan ayah
angkat ini boleh mengawini anak gadis itu dan membentuk rumah tangga. Karena antara
mereka tidak ada hubungan darah yang membatasi pernikahan mereka.
Sebenarnya Islam tidak mengakui anak angkat atau adopsi. Yang dibenarkan adalah
pemeliharaan dan penjagaan. Sedangkan nasab, garis keturunan serta masalah warisan harus
dikembalikan ke jalur aslinya. Anak angkat atau apapun istilahnya tidak akan pernah
mewarisi harta ayah angkatnya. Termasuk juga urusan menikahkan anak angkat itu. Jadi
urusan menikahkan harus dikembalikan kepada ayah kandung yang sah. Bila ayah kandung
ini sudah wafat, maka walinya adalah kakeknya dan seterusnya.

Wallahu alam bishshowab. Wassalamu alaikum Wr. Wb.


WALI NIKAH ANAK ADOPSI

assalamu'alaikum wr.wb
pak ustad saya mau tanya, bagaimana hukum perwalian anak adopsi (anak perempuan)ketika
menikah.adopsi dari panti asuhan.
tolong penjelasannya.makasih.

TOPIK KONSULTASI ISLAM

1. WALI NIKAH ANAK ADOPSI


2. HUKUM GENDAM ATAU HIPNOTIS DIRI SENDIRI UNTUK TUJUAN
BAIK
3. CARA KONSULTASI SYARIAH ISLAM

JAWABAN

Pertama-tama, saya ingin menganjurkan kepada pasangan suami-istri agar tidak sembarangan
mengadopsi anak. Terutama, jangan mengadopsi dari Panti Asuhan kecuali kalau asal usul
orangtuanya jelas. Karena selain ada resiko genetika (membawa penyakit turunan), dan
resiko bukan mahram (dengan salah satu orang tua yg lawan jenis) juga ada resiko akan
menikah dengan sesama mahramnya kelak ketika dewasa.

Tentang wali nikah anak adopsi atau anak angkat: Dalam Islam, yang dapat menjadi wali
nikah seorang perempuan adalah walinya. Yang dimaksud wali adalah yang punya hubungan
kekerabatan dekat berdasar keturunan dengan calon mempelai perempuan yaitu (secara urut)
1 - Ayah kandung
2 - Kakek, atau ayah dari ayah
3 - Saudara se-ayah dan se-ibu
4 - Saudara se-ayah saja
5 - Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
6 - Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
7 - Saudara laki-laki ayah
8 - Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah

(lihat info detail di sini).

Kalau anak adopsi tersebut diketahui orang tua aslinya, maka yang menjadi wali adalah
ayahnya, dan kerabat dekat lain sesuai ketentuan syariah.

Apabila walinya tidak ketahuan sama sekali, maka yang menjadi walinya adalah hakim atau
pejabat yang berwenang dalam hal ini pejabat KUA (Kantor Urusan Agama) atau
naib/penghulu/PPN.

Kesimpulan: bapak angkat tidak berhak menikahkan anak hasil adopsi. Walinya adalah laki-
laki yang punya hubungan darah yang punya hak untuk menikahkan. Kalau tidak ada, maka
menjadi hak pejabat yang berwenang.

Dasar dalil dan rujukan;

A. Wajib adanya wali

1.


Perempuan yang menikah tanpa ijin walinya, maka nikahnya batil (tidak sah) (HR Zuhri dari
Aisyah).

2.


Perempuan tidak dapat menikahkan perempuan lain dan tidak pula dirinya sendiri (HR Ibnu
Majah dan Daruqutni dari Abu Hurairah).

Dua hadits ini menjadi dalil mayoritas ulama (jumhur) atas wajibnya wali nikah bagi
perempuan.

B. Hakim sebagai ganti Wali Nikah

1.


Penguasa dapat menjadi wali perempuan yang tidak punya wali (HR Abu Dawud dari
Aisyah).

Penguasa dalam konteks Indonesia adalah pejabat KUA atau modin desa.

2.




Artinya sama dengan hadits no. 1 cuma rawinya beda (HR Imam Ahmad, hadits sahih).

ANAK ADOPSI BUKAN MAHRAM


Perlu diketahui bagi yang mengadopsi anak, bahwa anak adopsi secara syariah tidak memiliki
hubungan nasab (kekerabatan) sama sekali dengan orang tua angkatnya. Oleh karena itu,
status mereka adalah bukan mahram. Apabila anak adopsi tersebut maka ia bukan mahram
bagi ayah angkatnya. Apabila laki-laki maka ia bukan mahram bagi ibu angkatnya. Dalam
situasi demikian, berlaku hukum larangan khalwat bagi anak angkat dengan orang tua angkat
yang lawan jenis karena bukan mahram.

Oleh karena itu, bagi yang ingin mengadopsi anak, lakukan cara-cara berikut agar tidak
bertentangan dengan syariah:

(a) Cari anak adopsi yang memiliki hubungan mahram/kekerabatan dengan calon orang tua
angkat yang lawan jenis. Apabila anak adopsi perempuan, maka cari yang ada hubungan
mahram dengan calon ayah angkat. Apabila anak adopsi laki-laki, cari yang ada hubungan
mahram dengan calon ibu angkat. Siapa yang masuk dalam mahram? Lihat detailnya di:
Mahram Muhrim dalam Islam.

(b) Jangan cari anak angkat di Panti Asuhan. Mereka tidak jelas status orang tuanya sehingga
akan menyulitkan ketika akan menikah (apabila perempuan) untuk mencari walinya. Resiko
lainnya, bisa-bisa kelak menikah dengan saudaranya sendiri karena ketidakjelasan asal
usulnya.

(c) Kalau anak yang diadopsi laki-laki dan diadopsi sejak bayi, maka usahakan disusui oleh
ibu angkat (radha'ah) sehingga terjadi hubungan mahram dengan ibu angkatnya. Lihat:
Persusuan dalam Islam.

Baca analisa mendalam: Hukum Anak Adopsi dalam Islam

_____________________________

HUKUM GENDAM ATAU HIPNOTIS DIRI SENDIRI UNTUK TUJUAN BAIK

Assalamu alaikum Uztad, terus terang setelah saya baca-baca terjemahan Al- quran saya jadi
merasa sesat Uztad. sy mau tanya,

1. Apakah maksudnya surat al-mukminun ayat 6? ( yang artinya : kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela)

Apakah sewaktu perang, umat muslim boleh membagi-bagikan dan memperkosa tawanan
wanita kaum kafir yang suaminya tidak ikut tertawan? Saya tidak faham tentang ini.

2. Apa maksud dalam surat Hud ayat 1, ( yang artinya: alif lam raa, (inilah) suatu kitab yang
ayat-ayatnya disusun dengan rapih serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi
yang maha bijaksana lagi maha tahu )

Mengapa ditulis secara terperinci? Padahal saya tidak dapat menemukan banyak detail2
sejarah maupun hukum dalam Al-quran? Bahkan riwayat sahabat2 nabi dan keluarganya pun
banyak yang tidak bisa saya temukan secara lengkap dari berbagai buku/web.
3. Apa yang menyebabkan perang yang sering terjadi pada saat kepemimpinan Abu Bakar
dan Umar bin khatab? Contohnya perang yarmuk.

Setahu saya, karena umat kafir banyak yang melakukan kejahatan, tidak mau mebayar pajak
dan tidak mau memeluk agama islam. Lalu pertanyaannya, apakah kita boleh membunuh atau
minimal perang melawan golongan orang kafir bila mereka berbuat jahat dan tidak mau
memeluk agama islam?

4. Apakah boleh mempelajari dan menggunakan gendam yang kekuatannya bukan dari jin
atau khodam melainkan dari energi manusianya sendiri? Tujuannya hanya untuk
menghipnotis diri sendiri agar selalu rajin, agar istri berkata jujur, menyuruh anak belajar
dengan tekun, untuk berjaga-jaga dari kejahatan.

Trimakasih Uztad

JAWABAN

1. Apakah maksudnya surat al-mukminun ayat 6? ( yang artinya : kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela)

Apakah sewaktu perang, umat muslim boleh membagi-bagikan dan memperkosa tawanan
wanita kaum kafir yang suaminya tidak ikut tertawan? Saya tidak faham tentang ini.

1. Memiliki budak perempuan dibolehkan dalam Islam dan disebut dengan milkul yamin.
Dan budak perempuan boleh diperlakukan sebagaimana istri dalam arti pemilik budak (sayid)
boleh melakukan hubungan intim dengan budaknya. Cara memiliki budak perempuan pada
masa lalu ada dua cara (a) dari tawanan perang yg terjadi antara muslim dan kafir; (b)
membeli dari pemilik budak.

Ketika seorang budak perempuan dimiliki, maka tuannya boleh melakukan hubungan intim
dengannya. Namun, wanita tersebut tidak boleh melakukan hubungan intim dengan lainnya.
Jadi, tuan si budak statusnya mirip dengan suami.

Budak itu ada sebelum Islam. Dan Islam tidak menghapusnya secara total, namun memberi
aturan-aturan ketat terkait cara memperlakukan mereka serta mendorong umat Islam untuk
membebaskan mereka dengan janji pahala yang besar.

Saat ini perbudakan telah dihapus baik di dunia non-muslim maupun di dunia Islam. Maka,
secara faktual, aturan Quran terkait perbudakan tidak lagi dipakai seiring dengan tidak
adanya budak. Baca juga: Perbudakan dalam Islam

2. Al-Husain bin Masud dalam Tafsir Al-Baghawi, hlm. IV/156 menjelaskan maksud ayat
tersebut sebagai berikut:

: ( ) : ( )
. ( )
: . :
: :
: : .
Artinya: (a) kata "Uhkimat" [disusun dengan rapi] menurut Ibnu Abbas maksudnya adalah
bahwa Quran tidak dihapus kandungan isinya dengan kitab lain; tidak sebagaimana kitab-
kitab sebelumnya seperti Taurat dan Injil yang dihapus setelah adanya Al-Quran

(b) Kata "Fussilat" [diperinci] maksudnya adalah bahwa Quran menjelaskan hukum halal dan
haram. Menurut Al-Hasan: Quran mengandung hukum perintah dan larangan lalu diperinci
dengan janji dan ancaman. Menurut Qatadah: ayat-ayat Allah disusun dengan rapi sehingga
tidak ada perbedaan dan pertentangan antara satu dengan yang lain. Menurut Mujahid: kata
"Fussilat" artinya ditafsiri. Menurut pendapat lain: arti Fussilat adalah ayat Quran diturunkan
secara bertahap, sedikit demi sedikit.

3. Perang melawan orang kafir pada zaman Nabi dan para Khalifah yang empat pasca-Nabi
terjadi karena berbagai faktor yang heterogen. Ada faktor pelanggaran kesepahaman antara
kedua pihak, membasmi pemberontakan, atau sebagai langkah preventif. Penaklukan yang
dilakukan pada saat itu lebih banyak sebagai langkah preventif untuk mempertahankan dan
mensolidkan kekuatan Islam yang sudah ada dibanding sebagai ekspansi kekuasaan.

Dalam konteks kekinian, perang melawan orang kafir atau golongan non-muslim yang
berbuat jahat dapat dilakukan oleh negara Islam dalam situasi self-defense apabila negara kita
diserang. Ia harus dilakukan atas nama negara dan diserukan oleh pemimpin sebuah negara
Islam berdaulat. Dan tidak boleh dilakukan oleh individu yang tidak mendapat mandat resmi
sebagai pemimpin negara. Karena, bila individu dibolehkan menyerang muslim, maka yang
akan terjadi adalah terorisme dan anarki. Dalam Islam, perang adalah pilihan kedua. Pilihan
pertama adalah perdamaian dan bagaimana mengisi masa damai itu untuk memaksimalkan
kualitas individu muslim dan umat Islam agar tidak kalah dengan non-muslim dalam segi
kualitas pendidikan, keilmuan, kepribadian dan ekonomi. Dalam situasi damai, jangan
berfikir untuk berperang, tapi berfikirlah untuk meningkatkan kualitas diri, keluarga dan
masyarakat. Itulah tujuan utama Islam.

Dalam pandangan syariah, hukum jihad itu sendiri ada kalanya fardhu ain (QS Al-Baqarah
ayat 216; At-Taubah ayat 41) adakalanya fardhu kifayah (QS An-Nisa' ayat 95; At-Taubah
ayat 122).

Menurut ulama, jihad itu wajib ain bagi semua individu muslim laki-laki dalam dua keadaan:
(a) Apabila diserang musuh; (b) Apabila kepala negara resmi memerintahkan untuk
melakukan jihad (QS At Taubah ayat 38).

Baca artikel berikut:


- Pendidikan di Era Keemasan Islam
- Kemunduran Pendidikan Islam
- Menuju Kebangkitan Islam dengan Pendidikan dan Gemar Membaca
- Buku: Pendidikan Islam
- Buku: Menuju Kebangkitan Islam dengan Pendidikan

4. Mempelajari gendam atau hipnotis yang berasal dari energi sendiri, bukan dari jin, tidak
masalah alias boleh saja. Sepanjang cara-cara yang dipakai tidak ada yang bertentangan
dengan prinsip Islam. Sedangkan pemakaian dari ilmu tersebut juga tergantung dari apakah
dipakai untuk perbuatan tercela atau tidak. Kalau untuk kebaikan atau untuk perkara yang
mubah, maka tidak ada masalah.

POLIGAMI HARAM? (Karena Wanita Tak Ingin Dimadu)


Posted in Sabtu, 11 Juni 2011

by Ibnu MM

0 komentar

Tulisan ini tak hendak berpolemik tentang kontroversi hukum seputar poligami, apalagi berwacana
liberal. Tulisan ini sekedar mengajak pembaca, khususnya para lelaki, agar memahami permasalahan
ini dari sudut pandang realitas, secara sepesifik dari sudut pandang psikologi dan perasaan wanita;
bagaimana perasaan mereka tatkala pasangan terkasihnya membagi cinta? Bayangkan, anda
seorang wanita yang memiliki perasaan peka, yang cinta tulus penuhnya terbalas separuh, sepertiga,
bahkan seperempatnya, karena harus berbagi dengan seorang madu, atau dua bahkan tiga orang
madu lainnya.
Tetapi sebentar, tulisan inipun juga bukan semata refleksi pembelaan kaum hawa tanpa dasar.
Santri dengan segudang referensi kitab kuning tak selayaknya berwacana bebas, apalagi liar.
Karenanya, kepentingan perasaan kaum hawa ini harus ada cantholan-nya dari literatur fuqaha yang
terpercaya. Dan, memang inilah yang menjadi tuntutan dari kaum intelektual sarungan ini; peka
terhadap realitas umat tanpa tercerabut dari kode etik ilmiahnya.
Anda penggemar sastra yang pernah membaca karya-karya Habiburrahman El Shirazy, mungkin
masih ingat kutipan dialog antara Anna Althafunnisa dengan Furqan Andi Hasan saat mereka sepakat
membina rumah tangga. Mari kita segarkan ingatan kita dengan menyimak kutipan dialog mereka!

"Saya punya syarat yang syarat ini menjadi bagian dari sahnya akad nikah " Kata Anna di majelis
musyawarah itu. "Apa itu syaratnya?" Tanya Furqan. " saya mau dinikah dengan syarat selama
saya hidup dan saya masih bisa menunaikan kewajiban saya sebagai isteri, Mas Furqan tidak boleh
menikah dengan perempuan lain!" dengan tegas Anna menjelaskan syarat yang diinginkannya. "Apa
syarat-syarat itu tidak mengada-ada?" Kata Pak Andi Hasan, ayah Furqan. "Tidak. Sama sekali tidak.
Para ulama sudah membahasnya panjang lebar. Dan syarat yang saya ajukan ini sah dan boleh."
Jawab Anna. "Maaf saya belum pernah membaca ada ulama membolehkan syarat seperti itu."
Tukas Furqan Gadis itu masuk ke kamarnya dan mengambil sebuah kitab. Pada halaman yang
ditandainya ia membukanya dan langsung menyodorkannya pada Furqan, "Ini juz 7 dari kitab Al
Mughni karya Ibnu Qudamah, silakan baca di halaman 93!" Furqan menerima kitab itu lalu
membaca pada bagian yang diberi garis tipis dengan pensil oleh Anna. Saat membaca kening Furqan
berkerut. Ia lalu mendesah. Ia diam sesaat. Wajahnya agak bingung.

Mari kita kaji, bahwa ternyata dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, dan literaur fiqh Madzhab
Hanbali yang lain, permasalahan seputar ini telah dibahas. Konteks pembahasan dalam masalah ini
adalah tentang keberadaan syarat atau perjanjian dalam akad nikah. Seberapa berpengaruhkah
perjanjian dalam akad nikah terhadap keabsahan nikah, dan seberapa diperhitungkannya perjanjian
itu untuk ditepati. Ini bermula dari sebuah hadis shahih muttafaq alaih, bahwa Rasulullah shallallhu
alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya perjanjian yang paling berhak untuk ditepati adalah perjanjian yang dengannya kalian
menghalalkan kemaluan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalangan Syafiiyyah mengarahkan hadis ini dalam masalah perjanjian-perjanjian yang tidak
bertentangan dengan prinsip akad nikah. Sedangkan perjanjian untuk menikah lagi selama istri
pertama masih hidup, meniadakan hak seorang lelaki untuk melakukan nikah hingga maksimal
empat orang istri, yang mana hal ini adalah legal secara syara. Dengan adanya perjanjian bahwa
mempelai pria tidak boleh menikah lagi, tentunya aka nada unsur mengharamkan sesuatu yang
halal. Padahal dalam sebuah hadis, Rasul bersabda,


Kaum muslimin harus memenuhi perjanjian diantara mereka, kecuali perjanjian yang
mengharamkan sesuatu yang halal. (HR. Baihaqi)
Sedangkan kalangan Hanabilah memandang, bahwa dalam perjanjian ini, ada kepentingan pihak
mempelai wanita agar tidak dimadu, karena dengan demikian akan merugikan dirinya, karena
cinta dan perhatian suami akan terbagi. Hal ini mirip dengan pensyaratan pihak mempelai wanita
untuk menaikkan nominal atau kadar mahar. Karenanya, perjanjian semacam ini mengikat pihak
suami, dan wajib untuk dipenuhi. Jika tidak, yakni jika suatu saat sang suami menikah lagi atau
berpoligami, maka istri punya hak faskh, yakni mengajukan gugatan cerai pada pengadilan.
Demikianlah jika dalam akad nikah disebutkan secara eksplisit perjanjian tersebut. Nah, bagaimana
jika tidak ada perjanjian secara jelas ketika akad nikah? Sejumlah ulama Hanabilah mewacanakan
sebuah kaidah fiqh yang cukup populer, yang masih menjadi bahan kontroversi di kalangan ulama,
yakni,

Tradisi yang berlaku kontinyu di suatu daerah, apakah diposisikan sama dengan pensyaratan?
Dari kalangan Syafiiyyah, Al-Qaffal adalah ulama yang populer dengan jawaban, ya; bahwa tradisi
yang berlaku sama halnya dengan pensyaratan eksplisit (lafzh). Sedangkan mayoritas Syafiiyyah
menyatakan tidak; tradisi yang berlaku tidak bisa disetarakan dengan pensyaratan secara eksplisit.
Berpijak pada penalaran seperti Al-Qaffl, Kalangan Hanabilah mengkaitkan kaidah ini dengan
permasalahan pensyaratan dalam akad nikah. Secara spesifik, Kasysyf al-Qin mengutip perkataan
Ibnul Qayyim, seandainya seseorang menikah dengan seorang wanita dari sekelompok kaum yang
di kalangan mereka tidak berlaku tradisi memadu istri (baca : poligami), maka tradisi ini sama halnya
dengan pensyaratan untuk tidak memadu istri.
Sehingga jika dalam sebuah komunitas masyarakat, kaum wanitanya tidak biasa dipoligami, maka
jika suatu saat sang suami menikah lagi dan memadukan istri pertamanya, maka istri lama berhak
mengajukan fasakh (gugatan cerai). Coba kita tengok, adakah tradisi poligami berlaku di kalangan
kita? Bagaimanakah tradisi wanita-wanita di Indonesia? Maukah mereka dimadu oleh suaminya?
Anda sudah tahu sendiri, bahwa jawabannya adalah tidak.
Meski berangkat dari pola pendekatan Hanabilah, ketentuan pernikahan di Indonesia yang berasas
satu istri, telah menjadi ketetapan pemerintah. Dalam kaidah lain, dijelaskan bahwa Hukmul imm
yarfaul khilf, kebijakan pemerintah menghapuskan kontroversi pendapat. Artinya, ketentuan
inilah yang harus dipatuhi. Nah, bisa diambil kesimpulan, bahwa seorang suami tidak boleh memadu
istrinya, alias haram berpoligami, kecuali jika istri pertama telah memberikan izin yang jelas.
Cantholan hukum lainnya yang menginspirasi kesimpulan ini, sebenarnya masih banyak. Diantaranya
adalah bahwa secara umum, dalam berumah tangga, suami harus memperlakukan istri dengan
sebaik-baiknya, muasyarah bil marf, sebagaimana diamanatkan dalam Al-Quran. Salah satu
perwujudan muasyarah bil maruf adalah jangan menyakiti pasangan, dengan menikah lagi atau
memadukannya, alias berpoligami. Cukuplah kisah Sayyidah Fathimah puteri Rasulullah berikut
menjadi inspirasi para suami. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib, suami
dari Sayyidah Fathimah, hendak melamar puteri Abu Jahal. Mendengar berita itu, Sayyidah Fathimah
mengadu pada Rasulullah, ayahnya. Bagaimana reaksi Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam ? Beliau
bersabda, Fathimah adalah darah dagingku, barangsiapa menyakiti dia, sama halnya menyakitiku.
Ya istri mana yang tak sakit hatinya, jika sang suami ternyata juga mencintai wanita lain dan
menikah lagi? Hmmm. Camkanlah wahai para lelaki. !!!

0 komentar:
Rasulullah SAW Tidak Rela Putrinya Dimadu

Print

Download

Send

Ahad, 20/04/2014 05:00


Berita Terkait

Klangenan: Hukum dan Norma Memeliharanya


Anak Wajib Menafkahi Orang Tua
Hukum Nikah dan Poligami
Shalat Ghaib dan Jenazah
Hukum dan Etika Pacaran dalam Islam

Dalam hadits Bukhari, Abu Daud dan Al-Wadhihah sebuah cerita menyebutkan bahwa Ali
bin Abi Thalib telah melamar seorang putri Abu Jahal bin Hisyam, lalu Bani Hisyam bin al-
Mughirah meminta restu kepada Rasulullah saw tentang hal itu tetapi beliau tidak
memberikan restu kepada mereka.

Maka keluarlah Rasulullah SAW dalam keadaan marah ke atas mimbar sehingga orang-
orangpun berkumpul di sekelilingnya. Setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT
beliau bersabda:

Bani Hisyam bin al-Mughirah telah meminta restu kepadaku untuk menikahkan putri mereka
dengan Ali bin Abi Thalib tapi aku tidak mengizinkannya, kemudian aku tidak akan
mengizinkannya kecuali jika putra Abu Thalib mau menceraikan putriku dan menikahi putri
mereka, karena sesungguhnya putriku itu adalah bagian dariku, akan menggelisahkanku apa
yang menggelisahkannya dan menyakitiku apa yang menyakitinya, sekali-kali tidak akan
berkumpul putri nabi Allah bersama putri musuh Allah. Sesungguhnya aku khawatir Fatimah
akan mendapatkan fitnah dalam agamanya, namun sesungguhnya tidaklah aku
mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram. Tetapi demi Allah, tidak
berkumpul putri Rasulullah bersama putri musuh Allah di satu tempat selama-lamanya.

Ini adalah kasus spesial yang tidak dapat ditiru oleh siapapun mengingat sejarah kelam Abu
Jahal dan hubungannya dengan Rasulullah SAW pada masa Awal Islam. Juga posisi Abu
Jahal dalam surat al-Lahab seolah merupakan kutukan tiada akhir.

Bentangan sejarah ini menunjukkan betapa poligami dalam Islam semenjak zaman Rasulullah
saw selalu mengandung masalah. Kalimat Rasulullah saw sesungguhnya tidaklah aku
mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram seolah merupakan
konfirmasi kepada umatnya, bahwa Islam memperbolehkan seorang lelaki memiliki istri
lebih daru dua, tetapi harus dengan pertimbangan yang matang. Tidak sekedar pertimbangan
rasa keadilan (seperti yang dituntut dalam al-Quran), tetapi juga estimasi ketersinggungan
keluarga istri pertama. (red. Ulil H)

pakah dlm Islam istri boleh menolak dimadu?


apakah boleh jika istri minta cerai krn suaminya mau memadunya?
Jawaban TerbaikPilihan Penanya

irfan Dijawab 8 bulan yang lalu


1) apa km sudah faham hukum berpoligami berdasarkan syariat?


2) apa km sudah bisa adil ketika berpoligami?
3) apa km memiliki materi yg berlebih unt menafkahi istri2 km?
4) apa km sudah minta izin istri km klo mau berpoligami?
5) izin thd istri adalah mutlak hukumnya sob, klo istri km menolak unt dimadu apa km tetep
memaksakan diri menikah lg?
6) istri menolak unt dimadu bukan krn menentang syariat islam ttg diperbolehkannya berpoligami,
tp istri km menolak/meminta cerai lebih karena proteksi dia agar rumah tangga kalian tetep utuh.
7) taukah kamu klo istrimu minta cerai itu krn dia ingin keluarganya tetap utuh? istri km sgt
mencintaimu, sgt menyayangimu, jng km sia sia kan dg berpoligami.
8) tp klo tetep memaksakan diri utn berpoligami, silahkan... hehe hdp ini pilihan sob... Goodluck

Source:

pengalaman pribadi berumah tangga, pernah ingin berpoligami, tp istri minta cerai, hehe. stelah ak
berfikir panjang, ya istriku adl yg prtama n yg terakhir, alhamd skrg lebih harmonis...

Penilaian & komentar penanya

@irfan: jawabannya bagus, btw bisa tolong kirim alamat emailmu gak k profilku? aku mau
konsul soal RT. trims.


Komentar

Jawaban Lainnya (7)

Berperingkat Tertinggi

Ade Ilyasi Dijawab 8 bulan yang lalu


Dalam pernikahan "hak suara" sebagai istri sangat terbatas. Namun jangan lupa kalau semua
ada pertimbangan dari Allah.
Begitu mudah bagi wanita untuk meraih syurga dalam pernikahan namun tidak ada
kemudahan yang ditawarkan Allah bisa diraih tanpa ujian dan derita.

Sis.
Tidak ada sedikitpun hak bagi istri untuk melarang suaminya menikah lagi, bahkan jika suami
menikah lagi tanpa diketahui istri maka istri terdahulu HARUS menerima untuk di madu.
Begitu pula dengan cerai/rujuk. Seorang istri tidak berhak keberatan untuk dicerai dan
seorang istri tidak punya hak menolak jika suami merujuknya kembali, terkecuali istri yang
meminta dipecahkan.

Yang menjadi masalah adalah apakah suami tsb MAMPU berbuat adil.
Hal ini yang menjadi bermacam penafsiran adil.

Jika wanita di madu maka itu adalah jalan pintas meraih syurga bagi wanita tsb (kemudahan
dari Allah). Menikah adalah kemuliaan tak berharga bagi kaum wanita karena dengan
menikah maka dia telah mendapat jaminan Syurga di akhirat kelak.

Bagi sebagian kecil (sangat kecil) wanita malah ingin mempunyai madu karena tergiur akan
betapa dekatnya syurga bagi mereka. Hal yang sama bagi kaum lelaki yang rela mati
berperang (mati) dijalan Allah karena syurga ada di depan matanya.

Allah menciptakan wanita jumlahnya lebih banyak karena Allah menghendaki kaum wanita
berbagi kemuliaan tsb dengan sesamanya.

Sepintas memang wanita lebih terlihat sebagai objek, namun sesungguhnya dalam Islam
meletakkan posisi wanita sebagai subjek.
Tanpa wanita maka lelaki sulit untuk mencapai syurga.

Sis.
Lelaki bisa poligami jika dia sanggup berlaku ADIL.
Pengertian adil bagiku sangat luas.
Sesuai kedudukannya lelaki adalah pelindung dan wanita adalah yang dilindungi. Jika suami
bisa melindungi istri sehingga istri merasa damai, nyaman, bahagia dan tenang maka
suaminya telah berlaku adil.

Namun jangan lupa, kunci keharmonisan rumah tangga terletak pada istri bukan pada suami.
Dan sesuai firman Allah bahwa yang menyebabkan hancurnya Agama dan dunia adalah
wanita.
Dari firman Allah tsb sangat jelas wanita posisinya sebagai subjek.

Sis.
Namun kaum wanita sering memposisikan dirinya sebagai objek.
Akan sangat luas pemahaman dari keadilan, merambah dan mencakup seluruh aspek
kehidupan, tidak mungkin aku jelaskan semua.
Satu contoh, sunat pada kaum wanita.
Memang dengan disunatnya kaum wanita akan berimbas pada kurangnya kenikmatan
bersetubuh pada wanita, namun secara HAKIKAT bahwa dengan sunat tsb nafsu wanita bisa
diredam.
Seks dalam Islam adalah ibadah bukan exploitasi.

Sis.
Ibarat permainan domino maka mata rantai akibat suatu perlakuan akan memicu perlakuan
yang lain. Dari sifat dasar manusia yang cuma ingin enaknya saja membuat kaum lelaki
memanfaatkan situasi tsb.
Tanpa adanya kesempatan kaum lelaki berusaha mencari celah "numpang enak" apalagi jika
kesempatan tsb secara jelas disediakan.

Menanggapi Rosulullah menolak Ali ketika akan memadu Fatimah.


Jangan pernah sekalipun menelan mentah-mentah atas apa yang dilaksanakan Rosulullah.
Nabi Muhammad selalu meminta petunjuk pada Allah atas apa yang akan dilakukan.
Jangan lupa dalam Islam ada Ilmu Syariat, Hakikat dan Ma'rifat dan tentunya rosulullah
menguasai semua ilmu tsb.
Dalam hidup Rosulullah tidak pernah berbuat kesalahan fatal apalagi melanggar tuntuan
yang beliau sendiri ajarkan. Rosulullah selalu dijaga oleh Malaikat Jibril yang selalu
mengingatkan beliau.
Bahkan pernah malaikat Jibril meminta ijin pada Rosulullah untuk memohon secara khusus
pada Allah agar menimpakan kemalangan pada orang yang berbuat aniaya pada Rosulullah
namun ditolaknya.
Apa yang menjadi penolakan Rosulullah tentu semua ada dasarnya.

Sis.
Sekarang kembali pada kita yang menjalani. Sebagai lelaki aku tidak pernah merasa mampu
untuk berbuat adil. Untuk mendidik istri 1 orang saja aku merasa kewalahan apa lagi harus
memiliki istri lebih dari 1 orang.
Walaupun aku seorang penikmat seks dengan melakukan variasi seks namun aku
memposisikan seks sebagai ibadah bukan expolitasi.

Semua kembali pada diri kita masing-masing dalam menilai kadar keadilan diri pribadi.

Sis.
Ketika suami ditekan untuk mengetahui kesanggupannya berbuat adil sebaliknya pada istri
juga ditekan apakah dia sanggup membuat keluarganya harmonis.
Seorang istri harus bisa (sanggup) menutup kekurangan suami bukan membuka celah tsb
semakin lebar.
Dengan kondisi ditutupinya celah kekurangan oleh istri maka suami akan mengetahui bahwa
dia tidak mampu berbuat adil. Namun yang sering terjadi justru sebaliknya, istri membuat
celah tsb semakin besar sehingga suami merasa terbebani dan berakibat suami "muak" pada
istri.
Sis.
Tidak mudah untuk memadu istri, jika memang suami tidak adil maka istri bisa saja menolak
namun tidak ada hak untuk meminta cerai. Tentunya batasan istri menggugat cerai juga
cukup jelas.

Sumber:

Jadilah istri yang bisa menutupi kekurangan suami maka suami ada ketergantungan pada
istri.
Jangan pernah berpikir sebagai objek, namun berpikirlah bagaimana bisa memposisikan diri
sebagai subjek.
* KOREKSI *
Istri tidak bisa menolak DI rujuk jika masih dalam masa idah

Anda mungkin juga menyukai