Anda di halaman 1dari 15

THERAPY AKTIVITAS KELOMPOK

STIMULASI PERSEPSI: HALUSINASI

A. Latar Belakang

Pada pasien gangguan jiwa dengan kasus Schizoprenia selalu diikuti dengan
gangguan persepsi sensori; halusinasi. Terjadinya halusinasi dapat menyebabkan klien
menjadi menarik diri terhadap lingkungan sosialnya, hanyut dengan kesendirian dan
halusinasinya sehingga semakin jauh dari sosialisasi dengan lingkungan disekitarnya.
Atas dasar tersebut, maka kami menganggap dengan Therapy Aktivitas Kelompok
(TAK) klien dengan gangguan persepsi sensori dapat tertolong dalam hal sosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya, tentu saja klien yang mengikuti therapy ini adalah klien
yang sudah mampu mengontrol dirinya dari halusinasi sehingga pada saat TAK klien dapat
bekerjasama dan tidak mengganggu anggota kelompok yang lain.

B. Manfaat TAK
Terapi aktivitas kelompok mempunyai manfaat :
a. Umum
1. Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan (reality testing) melalui
komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
2. Membentuk sosialisasi
3. Meningkatkan fungsi psikologis, yaitu meningkatkan kesadaran tentang
hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan perilaku defensive
(bertahan terhadap stress) dan adaptasi.
4. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti
kognitif dan afektif.
b. Khusus
1. Meningkatkan identitas diri.
2. Menyalurkan emosi secara konstruktif.
3. Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan sehari-hari.
4. Bersifat rehabilitatif: meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan
sosial, kepercayaan diri, kemampuan empati, dan meningkatkan kemampuan
tentang masalah-masalah kehidupan dan pemecahannya.
(Yosep, 2007)
1. Defenisi

Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain,
saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart & Laraia, 2001 dikutip dari
Cyber Nurse, 2009). Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan
sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau
diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Pedoman
Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia dalam Yosep, 2007). Terapi
kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan
stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal (Yosep, 2008).
2. Tahapan dalam TAK

Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan berkembang.
Kelompok akan berkembang melalui empat fase, yaitu: Fase prakelompok; fase awal
kelompok; fase kerja kelompok; fase terminasi kelompok (Stuart & Laraia, 2001 dalam
Cyber Nurse, 2009).
1. Fase Prakelompok
Dimulai dengan membuat tujuan, menentukan leader, jumlah anggota, kriteria
anggota, tempat dan waktu kegiatan, media yang digunakan. Menurut Dr. Wartono (1976)
dalam Yosep (2007), jumlah anggota kelompok yang ideal dengan cara verbalisasi biasanya
7-8 orang. Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Kriteria anggota yang
memenuhi syarat untuk mengikuti TAK adalah : sudah punya diagnosa yang jelas, tidak
terlalu gelisah, tidak agresif, waham tidak terlalu berat (Yosep, 2007).
2. Fase Awal Kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru, dan peran baru.
Yalom (1995) dalam Stuart dan Laraia (2001) membagi fase ini menjadi tiga fase, yaitu
orientasi, konflik, dan kohesif. Sementara Tukman (1965) dalam Stuart dan Laraia (2001)
juga membaginya dalam tiga fase, yaitu forming, storming, dan norming.
a. Tahap orientasi
Anggota mulai mencoba mengembangkan sistem sosial masing-masing, leader
menunjukkan rencana terapi dan menyepakati kontrak dengan anggota.
b. Tahap konflik
Merupakan masa sulit dalam proses kelompok. Pemimpin perlu memfasilitasi ungkapan
perasaan, baik positif maupun negatif dan membantu kelompok mengenali penyebab konflik.
Serta mencegah perilaku perilaku yang tidak produktif (Purwaningsih & Karlina, 2009).
c. Tahap kohesif
Anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim satu
sama lain (Keliat, 2004).
3. Fase Kerja Kelompok
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim. Kelompok menjadi stabil dan realistis
(Keliat, 2004). Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari produktivitas dan
kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan kemandirian (Yosep, 2007).
4. Fase Terminasi
Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok akan
digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari. Terminasi dapat bersifat sementara
(temporal) atau akhir (Keliat, 2004).
3. TAK: Stimulasi Persepsi

Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi
kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas orientasi realita,
dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat, 2004).
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan
aktivitas sebagai stimulus terkait dengan pengalaman dan atau kehidupan untuk didiskusikan
dalam kelompok (Keliat, 2004).
Fokus terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah membantu pasien yang
mengalami kemunduran orientasi dengan karakteristik: pasien dengan gangguan persepsi;
halusinasi, menarik diri dengan realitas, kurang inisiatif atau ide, kooperatif, sehat fisik, dan
dapat berkomunikasi verbal (Yosep, 2007).
4. Tujuan TAK Stimulasi Persepsi
Adapun tujuan dari TAK stimulasi persepsi adalah pasien mempunyai kemampuan untuk
menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya. Sementara,
tujuan khususnya: pasien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya
dengan tepat dan menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami (Darsana,
2007).
5. Aktivitas TAK Stimulasi Persepsi : Halusinasi
Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata dan respon yang dialami dalam kehidupan,
khususnya untuk pasien halusinasi. Aktivitas dibagi dalam lima sesi yang tidak dapat
dipisahkan, yaitu :
1) Sesi pertama: Mengenal Halusinasi
Tujuan:
1. Pasien dapat mengenal halusinasi.
2. Pasien mengenal waktu terjadinya halusinasi.
3. Pasien mengenal situasi terjadinya halusinasi.
4. Pasien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi.
Langkah kegiatan
1. Persiapan
a. Memilih pasien sesuai dengan indikasi yaitu pasien dengan perubahan sensori
persepsi: halusinasi.
b. Membuat kontrak dengan pasien
c. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

2. Orientasi
a) Salam terapeutik
a. Salam dari terapis kepada pasien.
b. Perkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama).
c. Menanyakan nama dan panggilan semua pasien (beri papan nama).
b) Evaluasi/ validasi
Menanyakan perasaan pasien saat ini.
a) Kontrak
a. Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal
suara-suara yang didengar.
b. terapis menjelaskan aturan main berikut:
 Jika ada pasien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta izin
kepada terapis.
 Lama kegiatan 45 menit
 Setiap pasien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
1. Tahap kerja
a. Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, yaitu mengenal suara-suara
yang didengar (halusinasi) tentang isinya, waktu terjadinya, situasi terjadinya, dan
perasaan pasien pada saat terjadi.
b. Terapis meminta pasien menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya, situasi yang
membuat terjadi, dan perasaan pasien saat terjadi halusinasi. Mulai dari pasien
yang sebelah kanan , secara berurutan sampai semua pasien mendapat giliran.
Hasilnya ditulis di whiteboard.
c. Beri pujian pada pasien yang melakukan dengan baik.
d. Simpulkan isi, waktu terjadi, situasi terjadi, dan perasaan pasien dari suara yang
biasa didengar.
2. Tahap terminasi
a) Evaluasi
1. Terapis menanyakan perasaan pasien setelah mengikuti TAK.
2. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Tindak lanjut
Terapis meminta pasien untuk melaporkan isi, waktu, situasi, dan perasaanya
jika terjadi halusinasi.
c) Kontrak yang akan datang
1. Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu cara mengontrol halusinasi
2. Menyepakati waktu dan tempat.

2) Sesi kedua: Mengontrol Halusinasi dengan Menghardik


Tujuan:
1. Pasien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi
halusinasi.
2. Pasien dapat memahami cara menghardik halusinasi.
3. Pasien dapat memperagakan cara menghardik halusinasi.
Langkah kegiatan
1. Persiapan
a) Mengingatkan kontrak kepada pasien yang telah mengikuti sesi 1.
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a) Salam terapeutik
1. Salam dari terapis kepada pasien.
2. Pasien dan terapis pakai papan nama.
b) Evaluasi/validasi
1. Terapis menanyakan persaan pasien saat ini.
2. Terapis menanyakan pengalaman halusinasi yang terjadi: isi, waktu, situasi, dan
perasaan.
c) Kontrak
1. Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu dengan latihan satu cara mengontrol halusinasi.
2. Menjelaskan aturan main (sama seperti pada sesi 1)
3. Tahap kerja
a) Terapis meminta pasien menceritakan apa yang dilakukan pada saat mengalami
halusinasi, dan bagaimana hasilnya. Ulangi sampai semua pasien mendapat giliran.
b) Berikan pujian setiap pasien selesai bercerita.
c) Terapis menjelaskan cara mengatasi halusinasi dengan menghardik halusinasi saat
halusinasi muncul.
d) Terapis memperagakan cara menghardik halusinasi, yaitu “Pergi jangan ganggu saya”,
“saya mau bercakap-cakap dengan …”
e) Terapis meminta masing-masing pasien memperagakan cara menghardik halusinasi
dimulai dari pasien sebelah kiri terapis, berurutan searah jarum jam sampai semua peserta
mendapat giliran.
f) Terapis memberikan pujian dan mengajak semua pasien bertepuk tangan saat setiap
pasien selesai memperagakan menghardik halusinasi.
4) Tahap terminasi
a) Evaluasi
1. Terapis menayakan perasaan pasien setelah mengikuti TAK.
2. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Tindak lanjut
1. Terapis menganjurkan pasien untuk menerapkan cara yang telah dipelajari jika
halusinasi muncul.
2. Memasukkan kegiatan menghardik dalam jadwal kegiatan harian pasien.
c) Kontrak yang akan datang
1. Terapis membuat kesepakatan dengan pasien untuk TAK yang berikutnya, yaitu
belajar cara mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan.
2. Terapis membuat kesepakatan waktu dan tempat TAK berikutnya.
3. Sesi ketiga: Mengontrol Halusinasi dengan Melakukan Kegiatan
Tujuan:
1. Pasien dapat memahami pentingnya melakukan kegiatan untuk mencegah munculnya
halusinasi.
2. Pasien dapat menyusun jadwal kegiatan untuk mencegah terjadinya halusinasi.

Langkah kegiatan
1. Persiapan
a. Mengingatkan kontrak dengan pasien yang telah mengikuti Sesi 2.
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi

a) Salam terapeutik
1. Salam dari terapis kepada pasien.
2. Pasien dan terapis pakai papan nama.
b) Evaluasi/validasi
1. Terapis menanyakan keadaan pasien saat ini.
2. Terapis menanyakan cara mengontrol halusinasi yang sudah dipelajari.
3. Terapis menanyakan pengalaman pasien menerapkan cara menghardik halusinasi.
c) Kontrak
1. Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mencegah terjadinya halusinasin
dengan melakukan kegiatan.
2. Menjelaskan aturan main (sama seperti sesi sebelumnya).

3. Tahap kerja

a) Terapis menjelaskan cara kedua, yaitu melakukan kegiatan sehari-hari.


Memberi penjelasan bahwa dengan melakukan kegiatan yang teratur akan
mencegah munculnya halusinasi.
b) Terapis meminta tiap pasien menyampaikan kegiatan yang biasa dilakukan setiap
sehari-hari, daan tulis di whiteboard.
c) Terapis membagikan fomulir jadwal kegiatan harian. Terapis menulisn formulir
yang sama di whiteboard.
d) Terapis membimbing satu persatu pasien untuk membuat jadwal kegiatan harian,
dari bangun pagi sampai tidur malam. Pasien menggunakan formulir, terapis
menggunakan whiteboard.
e) Terapis melatih pasien memperagakan kegiatan yang telah disusun.
f) Berikan pujian dengan tepuk tangan bersama kepada pasien yang sudah selesai
membuat jadwal dan memperagakan kegiatan.
4. Tahap terminasi
a) Evaluasi
1. Terapis menanyakan perasaan pasien setelah selesai menyusun jadwal
kegiatan dan memperagakannya.
2. Terapis memberikan pujian atas kebehasilan kelompok.
b) Tindak lanjut
1. Terapis menganjurkan pasien melaksanakan dua cara mengontrol
halusinasi, yaitu menghardik dan melakukan kegiatan.
c) Kontrak yang akan datang
1. Terapis membuat kesepakatan dengan pasien untuk TAK berikutnya, yaitu
mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap.
2. Terapis membuat kesepakatan waktu dan tempat.

3. Sesi keempat: Mencegah Halusinasi dengan Bercakap-Cakap

Tujuan:
1. Pasien memahami pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah
munculnya halusinsi.
2. Pasien dapat bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah halusinasi.

Langkah kegiatan
1. Persiapan
a) Mengingatkan kontrak dengan pasien yang telah mengikuti sesi 3.
b) Terapis membuat kontrak dengan pasien.
c) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.

2. Orientasi
a) Salam terapeutik
1. Salam dari terapis kepada pasien.
2. Pasien dan terapis memakai papan nama.
b) Evaluasi/validasi
1. Menanyakan perasaan pasien saat ini.
2. Menanyakan pengalaman pasien setelah menerapkan dua cara yang telah
dipelajari (mengahardik dan menyibukkan diri dengan kegiatan yang terarah)
untuk mencegah halusinasi.
c) Kontrak
1. Terapis menjelaskan tujuan, yaitu mengontrol halusinasi dengan bercakapcakap.
2. Terapis menjelaskan aturan main (sama dengan sesi sebelumnya).
3. Tahap kerja
a) Terapis menjelaskan pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mengontrol
dan mencegah halusinasi.
b) Terapis meminta tiap pasien menyebutkan orang yang biasa diajak bercakapcakap.
c) Terapis meminta tiap pasien menyebutkan pokok pembicaraan yang biasa dan bisa
dilakukan.
d) Terapis memperagakan cara bercakap-cakap jika halusinasi muncul “Suster, ada suara
di telinga, saya mau ngobrol saja dengan suster” atau “Suster, tentang kapan saya
boleh pulang”.
e) Terapis meminta pasien untuk memperagakan percakapan dengan orang di
sebelahnya.
f) Berikan pujian atas keberhasilan pasien.
g) Ulangi e s/d f sampai semua pasien mendapat giliran.

3. Tahap terminasi
a) Evaluasi

1. Terapis menayakan perasaan pasien setelah mengikuti TAK.


2. Terapis menanyakan TAK mengontrol halusinasi yang sudah dilatih.
3. Memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.

b) Tindak lanjut
Menganjurkan pasien untuk menggunakan tiga cara mengontrol halusinasi, yaitu
menghardik, melakukan kegiatan harian, bercakap-cakap.

c)Kontrak yang akan datang


1. Terapis membuat kesepakatan dengan pasien untuk TAK berikutnya, yaitu belajar
cara mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat.
2. Terapis menyepakati waktu dan tempat.

5. Sesi kelima: Mengontrol Halusinasi dengan Patuh Minum Obat


Tujuan:
1. Pasien mamahami pentingnya patuh minum obat.
2. Pasien memahami akibat tidak patuh minum obat.
3. Pasien dapat menyebutkan lima benar cara minum obat.

Langkah kegiatan
1. Persiapan
a) Mengingatkan kontrak pada pasien yang telah mengikuti sesi 4.
b) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
2. Orientasi
a) Salam terapeutik
1. alam dari terapis kepada pasien.
2. Terapis dan pasien memakai papan nama.
b) Evaluasi/validasi
1. Menanyakan perasaan pasien saat ini.
2. Terapis menanyakan pengalaman pasien mengontrol halusinasi setelah
menggunakan tiga cara yang telah dipelajari (menghardik, menyibukkan diri
dengan kegiatan, dan bercakap-cakap).
c) Kontrak
1. Terapis menjelaskan tujuan, yaitu mengontrol halusinasi dengan patuh minum
obat.
2. Menjelaskan aturan main (sama seperti sesi sebelumnya).
3. Tahap kerja
a) Terapis menjelaskan untungnya patuh minum obat, yaitu mencegah kambuh karena
obat memberi perasaan tenang, memperlambat kambuh.
b) Terapis menjelaskan kerugian tidak patuh minum obat, yaitu penyebab kambuh.
c) Terapis meminta pasien menyampaikan obat yang dimakan dan waktu memakannya.
Buat daftar di whiteboard.
d) Menjelaskan lima benar minum obat yaitu benar obat, benar waktu minum obat,
benar orang yang minum obat,benar cara minum obat, benar dosis obat.
e) Minta pasien menyebutkan lima benar cara minum obat, secara bergiliran.
f) Berikan pujian pada pasien yang benar.
g) Mendiskusikan perasaan pasien sebelum minum obat (catat di whiteboard).
h) Mendiskusikan perasaan pasien setelah teratur minum obat (catat di whiteboard).
i) Menjelaskan keuntungan patuh minum obat, yaitu salah satu mencegah
halusinasi/kambuh.
j) Meminta pasien menyebutkan kembali keuntungan patuh minum obat dan kerugian
tidak patuh minum obat.
k) Memberi pujian tiap kali pasien benar.

4. Tahap terminasi
a) Evaluasi
1. Terapis menanyakan perasaan pasien setelah mengikuti TAK.
2. Terapis menanyakan jumlah cara mengontrol halusinasi yang sudah dipelajari.
3. Terapis membaerikan pujian atas keberhasilan kelompok.
b) Tindak lanjut
Menganjurkan pasien untuk menggunakan empat cara mengontrol halusinasi, yaitu
menghardik, melakukan kegiatan harian, bercakap-cakap, dan patuh minum obat.
c) Kontrak yang akan datang
1. Terapis mengakhiri sesi TAK stimulasi persepsi untuk mengontrol halusinasi.
2. Buat kesepakatan baru untuk TAK yg lain sesuai dengan indikasi pasien (Keliat,
2004).

6.Kemampuan Mengontrol Halusinasi


1) Defenisi
Kemampuan merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan
(Chaplin 1997, dikutip dari Simamora 2002). Kemampuan mengontrol halusinasi
merupakan kesanggupan (potensi) menguasai persepsi sensori secara langsung, atau
merupakan hasil latihan atau praktek (Robbins 2000, dikutip dari Simamora 2002).
Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi eksternal
yang tidak realita atau tidak ada (Videbeck, 2008). Halusinasi adalah suatu keadaan
dimana individu mengalami suatu perubahan dalam jumlah atau pola ransang yang
mendekat (baik yang dimulai secara eksternal maupun internal) disertai dengan respon
yang berkurang, dibesar-besarkan, distorsi atau kerusakan rangsang tertentu (Towsend,
1998 dikutip dari Yosep 2008). Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca
indera tanpa adanya ransangan (stimulus) eksternal (Stuart & Laraia, 2001 dikutip dari
Marlindawany, dkk, 2008).

2) Tahapan halusinasi
Menurut Janice Clack (1962), pasien yang mengalami gangguan jiwa sebagian
besar disertai halusinasi meliputi beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap Comforting
Timbul kecemasan ringan disertai gejala kesepian, perasaan berdosa, pasien
biasanya mengkompensasikan stressornya dengan koping imajinasi sehingga merasa
senang dan terhindar dari ancaman.
2. Tahap Condeming
Timbul kecemasan moderate, cemas biasanya makin meninggi selanjutnya pasien
merasa mendengarkan sesuatu, pasien merasa takut apabila orang lain ikut
mendengarkan apa-apa yang ia rasakan sehingga timbul perilaku menarik diri (With
drawl).
3. Tahap Controling
Timbul kecemasan berat, pasien berusaha memerangi suara yang timbul tetapi suara
tersebut terus menerus mengikuti, sehingga menyebabkan pasien susah berhubungan
dengan orang lain. Apabila suara tersebut hilang pasien merasa sangat
kesepian/sedih.
4. Tahap Conquering
Pasien merasa panik, suara atau ide yang datang mengancam apabila tidak diikuti
perilaku pasien dapat bersifat merusak atau dapat timbul perilaku suicide. (Yosep,
2008)
3) Jenis halusinasi
Berbagai jenis halusinasi antara lain (Cancro & Lehman, 2000):
1. Halusinasi pendengaran
Mendengar suara-suara, paling sering adalah suara orang, berbicara kepada pasien
atau membicarakan pasien. Mungkin ada satu atau banyak suara; dapat berupa suara
orang yang dikenal atau tidak dikenal. Halusinasi pendengaran merupakan jenis
halusinasi yang paling sering terjadi. Halusinasi berupa perintah, suara-suara yang
menyuruh pasien untuk mengambil tindakan, seringkali membahayakan diri sendiri
atau orang lain dan dianggap berbahaya.
2. Halusinasi penglihatan
Melihat bayangan yang sebenarnya tidak ada sama sekali, misalnya cahaya atau
orang yang telah meninggal, atau mungkin sesuatu yang bentuknya rusak. Halusinasi
ini merupakan jenis halusinasi kedua yang sering terjadi.
3. Halusinasi penciuman
Mencium aroma atau bau padahal tidak ada. Bau tersebut dapat berupa bau tertentu
seperti urine atau feses, atau bau yang sifatnya lebih umum , misalnya bau busuk atau
bau yang tidak sedap. Jenis halusinasi ini sering ditemukan pada pasien demensia,
kejang atau stroke.
4. Halusinasi pengecapan
Mencakup rasa yang tetap ada dalam mulut, atau perasaan bahwa makanan terasa
seperti sesuatu yang lain. Rasa tersebut bisa seperti rasa logam atau pahit atau
mungkin seperti rasa tertentu.
5. Halusinasi taktil
Mengacu pada sensasi seperti aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuh atau
seperti binatang kecil yang merayap di kulit. Paling sering ditemukan pada pasien
yang mengalami putus alcohol.
6. Halusinasi kenestetik
Meliputi laporan pasien bahwa ia merasakan fungsi tubuh yang biasanya tidak bisa
dideteksi. Contohnya sensasi pembentukan urine atau impuls yang ditransmisikan
melalui otak.
7. Halusinasi kinestetik
Terjadi ketika pasien tidak bergerak tetapi melaporkan sensasi gerakan tubuh.
Gerakan tubuh kadang kala tidak lazim, misalnya melayang di atas tanah.
(Videbeck, 2008)
4) Etiologi
Adapun etiologi dari halusinasi terbagi menjadi dua yaitu faktor predisposisi dan
presipitasi. Faktor predisposisi dari halusinasi adalah aspek biologis, psikologis, genetik,
sosial dan biokimia. Jika tugas perkembangan terlambat atau hubungan interpersonal
terganggu, maka individu akan mengalami stress atau kecemasan. Beberapa faktor di
masyarakat dapat membuat seseorang terisolasi dan kesepian sehingga menyebabkan
kurangnya rangsangan dari eksternal. Stress yang menggangggu sistem metabolisme
tubuh akan mengeluarkan suatu zat yang bersifat halusinogen (Carson, 2000).
Menurut Cloninger (1989), gangguan jiwa terutama gangguan persepsi sensori:
halusinasi dan gangguan psikotik lainnya erat sekali penyebabnya dengan faktor genetik.
Individu yang memiliki hubungan sebagai ayah, ibu, saudara atau anak dari pasien yang
mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan 10 %, sedangkan keponakan atau
cucu kejadiannya 2-4 %. Individu yang memiliki hubungan sebagai kembar identik
dengan pasien yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan 46-48 %,
sedangkan kembar dizygot memiliki kecenderungan 14-17 % (Yosep, 2008).
Menurut Andreasan (1991), bahwa neurotransmiter dan resptor di sel-sel saraf otak
(neuron) dan interaksi zat neurokimia dopamin dan serotonin, ternyata mempengaruhi
alam pikir, perasaan, dan perilaku yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif dan
negatif skizofrenia (Yosep, 2008).
Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neurokimiawi, dalam penelitian dengan
menggunakan CT Scan otak, ditemukan pula perubahan pada anatomi otak pasien,
terutama pada penderita kronis. Perubahannya ada pada pelebaran lateral ventrikel, atrofi
korteks bagian depan, dan atrofi otak kecil (Yosep, 2008).
Faktor presipitasi adalah stresor sosial dimana stress dan kecemasan akan
meningkat bila terjadinya penurunan stabilitas, keluarga, perpisahan dari orang yang
sangat penting atau diasingkan oleh kelompok/masyarakat; faktor biokimia dapat
meyebabkan partisipasi pasien berinteraksi dengan kelompok kurang, suasana yang
terisolasi (sepi) sehingga dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang mengeluarkan
halusinogenik; faktor psikologis yang juga akan meningkatkan intensitas kecemasan
yang berkepanjangan disertai terbatasnya kemampuan dalam memecahkan masalah
mungkin akan mulai berkembangnya perubahan sensori persepsi pasien, biasanya hal ini
untuk pengembangan koping menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan diganti
dengan hayalan yang menyenangkan (Stuart & Sundeen, 1998 dikutip dari Cyber nurse
2009).

5) Tanda dan gejala


Adapun tanda dan gejala halusinasi adalah sebagai berikut :
a) Berbicara, senyum dan tertawa sendiri.
b) Mengatakan mendengar suara, melihat, menghirup, mengecap dan merasakan
sesuatu yang tidak nyata.
c) Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
d) Tidak dapat membedakan hal yang nyata dan hal tidak nyata, serta tidak mampu
melakukan asuhan keperawatan mandiri seperti mandi, sikat gigi, berganti pakaian
dan berhias yang rapi.
e) Sikap curiga, bermusuhan, menarik diri, sulit membuat keputusan, ketakutan, mudah
tersinggung, jengkel, mudah marah, ekspresi wajah tegang, pembicaraan kacau dan
tidak masuk akal, banyak keringat. (Towsend & Mary, 1995 dikutip dari Cyber
Nurse 2009)

Anda mungkin juga menyukai