Anda di halaman 1dari 52

Bagian Farmakologi Klinik Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

DIABETES MELITUS TIPE II DAN ABSES PEDIS


Dipresentasikan pada tanggal: 15 Oktober 2011

Oleh:

AYU RAHMI SAFARINA


YUNISTIRA SILVIA .S

Pembimbing:
dr. Lukas D. Leatemia, M. Kes M. Pd. Ked
Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada
Lab/SMF Farmakologi Klinik RSUD A. Wahab Sjahranie
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
SAMARINDA
2011
BAB I

Presentasi Kasus
Farmakologi Klinik Tanggal: 13 Oktober 2011

RSUD AWS – FK Unmul

Identitas Pasien Tanggal pemeriksaan: 28 September 2011


I. Nama : Ny. Saliyah P/L Dokter yg memeriksa : dr. jaga IRD
Usia : 51 tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Karang Asam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No RM : 383744

II. Anamnesis (Subjektif)

Keluhan Utama :

Luka terbuka ditumit sebelah kiri, bengkak dan mengandung nanah.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Terdapat luka terbuka ditumit sebelah kiri, sehingga otot terlihat, bengkak dan

mengandung nanah, luka baru dialami kurang lebih 3 minggu yang lalu. Awalnya pasien

tidak mengetauhi kenapa kakinya bisa luka, lukanya terlihat kering dan tidak terasa sakit,

sehingga pasien dibawa ke UGD oleh keluarganya dan diputuskan oleh dr. jaga untuk di

opname dan dilakukan operasi pembersihan abses.

Selain itu pasien juga mengeluhkan bahwa tangan dan kakinya kesemutan,

penglihatan kabur awalnya pada mata kiri kemudian mata kanan,disertai gatal dan berair.

2
selain itu pasien merasa nyeri pada pinggang seperti ditusuk-tusuk dan tidak ada

penjalaran nyeri.

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Pernah luka pada jempol kaki kiri akibat terinjak batu kecil, sehingga jempolnya

terlihat membiru dan membengkak pada tahun 2009.

 Pernah MRS akibat muntah-ber pada tahun 2007, pada saat dilakukan

pemeriksaan darah ternyata gula darah pasien waktu 300 mg/dl, dan didiagnosis

menderita DM oleh dokter serta diberi OHO.

 Riwayat hipertensi, dengan pemeriksaan tekanan darah terakhir yang dilakukan

pasien 160/100 mmHg.

Riwayat Penyakit Keluarga :

 Ada riwayat Dibetes Melitus pada saudara kandung ( adik kandung ke 2 dan Ke 7)
dari 9 bersaudara.
III. Pemeriksaan Fisik (Objektif)

Keadaan umum : Tampak sakit berkurang

Kesadaran : Compos mentis

Vital sign : TD : 120/80 mmHg RR: 20 x/menit

N : 88 x/menit T: 36,4˚C

Kepala dan leher : Anemis (-), Ikterik (-), sianosis (-)

Thoraks : Pulmo : Bentuk dan gerak simetris, ronkhi -/-, wheezing -/-
-/- -/-
-/- -/-
Cor : S1 S2 tunggal reguler, suara tambahan (-)

Abdomen : Flat, soefl, nyeri tekan epigastrium (-),

Ekstremitas : Akral hangat, kaki kiri tidak dapat di observasi lebih lanjut karena

diperban, dan kaki kanan terlihat sedikit kering.

3
IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

1. Laboratorium (03 - 10 -2011)


Pemeriksaan laboratorium kimia darah:
Pemeriksaan yang Hasil yang didapat Nilai normal
dilakukan
GDS 182 mg/dl < 200 mg/dl
G2PP 181 mg/dl < 200 mg/dl
2. Laboratorium (06 - 10 -2011)
Pemeriksaan laboratorium kimia darah:
Pemeriksaan yang Hasil yang didapat Nilai normal
dilakukan
GDS I 161 mg/dl < 200 mg/dl
GDS II 153 mg/dl < 200 mg/dl
GDP 143 mg/dl < 126 mg/dl
G2PP 161 mg/dl < 200 mg/dl
Protein total 7,4 6.6-8.7 mg/dl
Albumin 2,8 3.2-4.5 g/dl
Globulin 4,6 2.3-3.5 g/dl
Pemeriksaan laboratorium darah lengkap:
Pemeriksaan yang Hasil yang didapat Nilai normal
dilakukan
WBC 8,4 K/ul 5.0-10.00 K/ul
RBC 3,56 M/ul 4.00-5.50 M/ul
HGB 10.0 g/dl 12.0-16.0 g/dl
HCT 29.4 % 36.0-48.0%
MCV 82,7 fl 82.0-92.0 fl
MCH 28,1 27.0-31.0 pg
MCHC 34.0 g/dl 32.0-36.0 g/dl
PLT 366 K/ul 200-400 K/ul
LED 60 mm/jam P : < 10 mm/1jam
W : < 10 mm/1jam

4
3. Laboratorium (7 - 10 -2011)
Pemeriksaan laboratorium kimia darah:
Pemeriksaan yang Hasil yang didapat Nilai normal
dilakukan
GDS 143 mg/dl < 200 mg/dl
G2PP 116 mg/dl < 200 mg/dl

4. Laboratorium (10 - 10 -2011)


Pemeriksaan laboratorium kimia darah:
Pemeriksaan yang Hasil yang didapat Nilai normal
dilakukan
GDS 167 mg/dl < 200 mg/dl
G2PP 155 mg/dl < 200 mg/dl

5. Laboratorium (13 - 10 -2011)


Pemeriksaan laboratorium kimia darah:
Pemeriksaan yang Hasil yang didapat Nilai normal
dilakukan
GDS 121 mg/dl < 200 mg/dl
G2PP 129 mg/dl < 200 mg/dl

V. Diagnosis (Assesment)

DM tipe II + abses pedis sinistra

VI. Terapi ( yang diberikan )

1. Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr
2. RI 3 x 6 IV SC
3. Inj Ranitidin 3 x 1
4. Amlodipin 5 mg 1-0-0
5. Interhistin tab 3 x 1
6. Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
7. Metformin 3 x 500 mg
8. Amikasin 2 x 500 mg
9. Dexanta syr 3 x 1 sdh makan
10. Odansentron 2 x 1 cap
11. Meropenem 3 x 1 amp

VII. Pemeriksaan Lanjutan


5
Pemeriksaan laboratorium lanjutan ( kadar gula, dan darah lengkap)

VIII. Perawatan di ruangan (Flamboyan)

Tanggal Subjektif & Objektif Assesment & Planning


28-9-2011 S: gatal pada badan (+) mual(-) muntah (- A: DM tipe 2 + abses pedis post debridement
) nyeri ulu ati (+) nyeri luka hari XIII
O: CM; TD 130/80 mmHg; N 92x/i; RR P:
22x/i; T 36,50C, NTE, Bu (+) karena - Cloramfenikol inj>1 gr 4x1
normal - RI 3x6 Iu
- Inj. Ranitidin 3x4
- Amiodipin 5 mg 1-0-0
- Ntrerhistin tab 3x1
- Alprazolam tab 25 mg 1x1
29-9- 2011 S: gatal (+) mual muntah (+), BAB & A: DM tipe 2+ abses pedis , post
BAK Normal, semalam sempat sakit dehidrediment XIV
perut habis minum susu dari Rumah P:
sakit - Cloramfenikol inj>1 gr 4x1
O: CM; TD 150/80 mmHg; N 80x/i; RR - RI 3x6 Iu
22x/i; T 35,4,10C, NTE (-) dan - Inj. Ranitidin 3x4
BU(+) - Amiodipin 5 mg 1-0-0
- Ntrerhistin tab 3x1
- Alprazolam tab 25 mg 1x1
30-9-2011 S: gatal (+) mual muntah (-), BAB & A: DM tipe 2+ abses pedis , post
BAK Normal, nyeri ulu hati (+) dan dehidrediment XIV
nyeri luka (-) P:
O: CM; TD 130/80 mmHg; N 24x/i; RR - Cloramfenikol inj>1 gr 4x1
224x/i; T 35,4,10C, NTE (-) dan - RI 3x6 Iu
BU(+) - Inj. Ranitidin 3x4
- Amiodipin 5 mg 1-0-0
- Ntrerhistin tab 3x1
- Alprazolam tab 25 mg 1x1
- Meropenem 3x1 amp.
01-10-2011 S: gatal (+) mual muntah (+), BAB & A: DM tipe 2+ abses pedis , post
BAK Normal, nyeri ulu hati (+) dan dehidrediment XVI
nyeri luka (-) P:
O: CM; TD 130/80 mmHg; N 88x/i; RR - Cloramfenikol inj>1 gr 4x1
24x/i; T 35,4,10C, NTE (-) dan - RI 3x6 Iu
BU(+) - Inj. Ranitidin 3x4
- Amiodipin 5 mg 1-0-0
- Ntrerhistin tab 3x1
- Alprazolam tab 25 mg 1x1
- Meropenem 3x1 amp.
03-10-2011 S: gatal (+) mual muntah (+), BAB & A: DM tipe 2+ abses pedis , post
BAK Normal, nyeri ulu hati (+) dan dehidrediment XVII
nyeri luka (+)daerah perifer luka, P:
hamper pingsan - Cloramfenikol inj>1 gr 4x1
O: CM; TD 150/90 mmHg; N 90x/i; RR - RI 3x6 Iu
24x/i; T 36,50C, NTE (-) dan BU(+) - Inj. Ranitidin 3x4
- Amiodipin 5 mg 1-0-0
- Ntrerhistin tab 3x1
- Alprazolam tab 25 mg 1x1
- Meropenem 3x1 amp.

4 – 10 2011 S : Nafsu makan menurun, mual (+), A : DM tipe II, abses pedis post debridement
muntah (-), daerah sekitar luka terasa kaki kiri hari ke XIX
hangatO : CM,
P:
TD = 140 / 80 mmHg, N = 80 x/mnt, RR
= 20x/mnt, t = 36,40C - Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr
- RI 3 x 6 IV SC

6
- Inj Ranitidin 3 x 1
- Amlodipin 5 mg 1-0-0
- Interhistin tab 3 x 1
- Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
- Metformin 3 x 500 mg

5 – 10- 2011 S : Mual (+), muntah (+) 2 x, BAB 3 x A : DM tipe II, abses pedis post debridement
sejak kemarin, BAB tidak terasa saat kaki kiri hari ke XX
keluar
P:
O : CM,
- Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr RI 3 x 6 IV
TD = 160 / 80 mmHg, N = 78 x/mnt, RR SC
= 24x/mnt, t = 36,40C - Inj Ranitidin 3 x 1
- Amlodipin 5 mg 1-0-0
- Interhistin tab 3 x 1
- Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
- Metformin 3 x 500 mg
- Amikasin 2 x 500 mg
- Dexametason 3 x 1 sdh makan

A : DM tipe II, abses pedis post debridement


kaki kiri hari ke XXI
6 – 10-2011 S : Mual (+), muntah (+) 1x, BAB 3 x
sejak kemarin, BAB encer, daerah sekitar P:
luka terasa hangat
- Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr RI 3 x 6 IV
GDS I jam 17.30 O : CM, SC
- Inj Ranitidin 3 x 1
161 mg/dl TD = 148 / 80 mmHg, N = 80 x/mnt, RR - Amlodipin 5 mg 1-0-0
= 22x/mnt, t = 36,50C - Interhistin tab 3 x 1
- Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
GDS II 152 mg/dl - Metformin 3 x 500 mg
- Amikasin 2 x 500 mg
- Dexametason 3 x 1 sdh makan.

S : Muntah 2 xtadi malam, sore kadar A : DM tipe II, abses pedis post debridement
gula darah turun mendadak (53 mg/dl ) kaki kiri hari ke XXII
7– 10-2011
TD = 140 / 80 mmHg, N = 78 x/mnt, RR P:
GDP = 20x/mnt, t = 36,70C
- Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr
143 mg/dl - RI 3 x 6 IV SC
- Inj Ranitidin 3 x 1
GD2PP - Amlodipin 5 mg 1-0-0
- Interhistin tab 3 x 1
116 mg/dl
- Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
- Metformin 3 x 500 mg
- Amikasin 2 x 500 mg
- Dexanta syr 3 x 1 sdh makan.

7
8 – 10 - 2011 S : muntah-muntah tadi malam, kadar A : DM tipe II, abses pedis post debridement
gula darah turun drastic lagi tadi malam kaki kiri hari ke XXIII
(53 mg/dl )
P:
O : CM,
- Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr
TD = 140 / 80 mmHg, N = 78 x/mnt, RR - RI 3 x 6 IV SC
= 18x/mnt, t = 36,50C - Inj Ranitidin 3 x 1
- Amlodipin 5 mg 1-0-0
- Interhistin tab 3 x 1
- Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
- Metformin 3 x 500 mg
- Amikasin 2 x 500 mg
- Dexanta syr 3 x 1 sdh makan
- Odansentron 2 x 1 cap
- Meropenem 3 x 1 amp

10 Oktober 2011 S: gatal (+) mual muntah (+), BAB & A: DM tipe 2+ abses pedis , post
BAK Normal, nyeri ulu hati (+) dan dehidrediment XXIV
nyeri luka (+) P:
O: CM; TD 140/90 mmHg; N 88x/i; RR - Cloramfenikol inj>1 gr 4x1
24x/i; T 36,50C, NTE (-) dan BU(+) - RI 3x6 Iu
- Inj. Ranitidin 3x4
- Amiodipin 5 mg 1-0-0
- Ntrerhistin tab 3x1
- Alprazolam tab 0,5 mg 1x1
- Meropenem 3x1 amp.
- Dexanta syrup 3x1
- Ondancenton 2x1

11 Oktober 2011 S: gatal (+) mual muntah (+), BAB & A: DM tipe 2+ abses pedis , post
BAK Normal, nyeri ulu hati (+) dan dehidrediment XXV
nyeri luka (+)< kesemutan P:
O: CM; TD 130/90 mmHg; N 72x/i; RR - Cloramfenikol inj>1 gr 4x1
22x/i; T 36,50C, NTE (-) dan BU(+) - RI 3x6 Iu
- Inj. Ranitidin 3x4
- Amiodipin 5 mg 1-0-0
- Ntrerhistin tab 3x1
- Alprazolam tab 25 mg 1x1
- Meropenem 3x1 amp.
- Dexanta syrup 3x1
- Ondancenton 2x1

12 Oktober 2011 S: gatal (+) mual muntah (+), BAB & A: DM tipe 2+ abses pedis , post
BAK Normal, nyeri ulu hati (-) dan dehidrediment XXVI
nyeri luka (-) P:
O: CM; TD 130/80 mmHg; N 76x/i; RR - Cloramfenikol inj>1 gr 4x1
21x/i; T 36,50C, NTE (-) dan BU(+) - RI 3x6 Iu
- Inj. Ranitidin 3x4
- Amiodipin 5 mg 1-0-0
- Ntrerhistin tab 3x1
- Alprazolam tab 0,5 mg 1x1
- Meropenem 3x1 amp.
- Dexanta syrup 3x1
- Ondancenton 2x1

8
13-10-2011 S : nyeri pada luka (-), BAB (-), A : DM tipe II, abses pedis post debridement
kesemutan (+), mual (-), muntah (-), luka kaki kiri hari ke XXIV
pada lengan kanan bekas tusukan infuse
P:
O : CM, TD = 120 / 80 mmHg, N = 72
x/mnt, RR = 22x/mnt, t = 36,20C - Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr
- RI 3 x 6 IV SC
Ronki (-), wheezing (-) - Inj Ranitidin 3 x 1
- Amlodipin 5 mg 1-0-0
- Interhistin tab 3 x 1
- Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
- Metformin 3 x 500 mg
- Amikasin 2 x 500 mg
- Dexanta syr 3 x 1 sdh makan
- Odansentron 2 x 1 cap
- Meropenem 3 x 1 amp

14-10-2011 S : kesemutan (+), gatal-gatal (+), nyeri A : DM tipe II, abses pedis post debridement
pada luka (-), mual (-), muntah (-), luka kaki kiri hari ke XXVV.
pada lengan kanan (+)
P:
O : CM, TD = 120 / 80 mmHg, N = 88
x/mnt, RR = 20x/mnt, t = 36,40C - Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr
- RI 3 x 6 IV SC
Ronki (-), wheezing (-), luka pada lengan - Inj Ranitidin 3 x 1
dengan permukaan yg sdh mongering - Amlodipin 5 mg 1-0-0
dan bagian bawah luka tampak sedikit - Interhistin tab 3 x 1
bengkak dengan warna kebiru-biruan. - Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
- Metformin 3 x 500 mg
- Amikasin 2 x 500 mg
- Dexanta syr 3 x 1 sdh makan
- Odansentron 2 x 1 cap
- Meropenem 3 x 1 amp

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kelainan Metabolik yang Terjadi Pada Pasien :

DIABETES MELLITUS

Diabetes mellitus (DM) ( berasal dari kata Yunani διαβαίνειν, diabaínein,


"tembus" atau "pancuran air", dan kata Latin mellitus, "rasa manis") yang umum dikenal
sebagai kencing manis adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglisemia (peningkatan
kadar gula darah) yang terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah makan.
Sumber lain menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan diabetes mellitus adalah keadaan
hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal,
yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, dan pembuluh darah,
disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop electron.

Semua jenis diabetes mellitus memiliki gejala yang mirip dan komplikasi pada
tingkat lanjut. Hiperglisemia sendiri dapat menyebabkan dehidrasi dan ketoasidosis.
Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan
kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan
kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan
risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah
buruk.

DEFINISI

Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan


metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat
insufiensi fungsi insulin. Insufiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau
defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan
oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO,1999).
10
KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS

Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu.
Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang
muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah
seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah
tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-
39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.

Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi


mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected
Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British
Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent
Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes.

WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus. Pada tahun 1965 WHO
mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood Diabetics,
Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan
klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada
tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin- Dependent Diabetes
Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan
revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap
mempertahankan istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-
Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO
selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul.

Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985
ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa
Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau
Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga
mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau
Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat
dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang
ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan
pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya.

11
Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada tabel.

I. Diabetes Melitus Tipe 1 :


Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut

A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)

B. Idiopatik

II. Diabetes Melitus Tipe 2


Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi

insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama

resistensi insulin

III. Diabetes Melitus Tipe Lain :


A. Defek genetik fungsi sel beta:
 kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3),
 kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
 kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1)
 kromosom 13, insulin promoter factor-1 (IPF-1) (dahulu MODY 4)
 kromosom 17, HNF-1 beta (dahulu MODY 5)
 kromosom 2, Neuro DI (dahulu MODY 6)
 DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, leprechanism, sindrom Rabson Mendenhell,
diabetes lipoatropik
C. Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma/prankeatektomi, neoplasma, fibrosis kistik,
hemkromatosis, pankreotpati fibro kalkulus
D. Endokrinopati : akromefali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme somastotatinoma,
aldosteronma,
E. Karena obat / zat kimia : vacor, pentamidin, asam niktinat, glukortikid, hormon tiroid, diazoxid,
interferon alfa
F. Infeksi : rubella congenital, CMV,
G. Imunologi (jarang) : sindrom ”stiff-man”, antibodi anti reseptor insulin
H. Sindrome genetik lain : sindrom down, sindrom klinifelter, sindrom truner, sindrom wolfram’s, ataksia
friedreich’s, chorea huntington, distrofi miotonik, porfiria, sindrom prader willi
IV. Diabetes Kehamilan (diabetes gestational)

ETIOLOGI

a. Diabetes Mellitus Tipe 1


Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.
Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel
β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun adapula yang
disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella,
CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa antibodi yang dihubungkan

12
dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet
Cell Surface Antibodies), dan antibodi terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase).

Individu yang peka secara genetik akan memberikan respons terhadap kejadian-
kejadian pemicu dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan
mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Manifestasi
klinik diabetes mellitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak. Pada
diabetes mellitus dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta telah dirusak semuanya,
sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan
defisiensi insulin. Bukti untuk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan
dengan tipe-tipe histokompabilitas (human leukocyte antigen [HLA]) spesifik yang
berperan penting dalam interaksi monosit-limfosit. Juga tedapat bukti adanya
peningkatan antibodi-antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans yang ditujukan
terhadap komponen antigenik tertentu dari sel beta.

b. Diabetes Mellitus Tipe 2


Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95%
dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi
akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya
meningkat.

Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifactor yang belum sepenuhnya terungkap


dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan
terjadinya DM Tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta
kurang gerak badan. Awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya
sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon
insulin secara normal (Resistensi Insulin). Resistensi insulin banyak terjadi di Negara-
negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya
hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.

c. Diabetes Mellitus Tipe Lain


Diabetes Mellitus Tipe Lain dapat disebabkan oleh karena defek genetic fungsi
sel beta, defek genetic kerja insulin, penyakit endokrin pancreas, endokrinopati,

13
diabetes karena obat/zat kimia (Glukortikoid, hormone tiroid, asam nikotinat,
pentamidin, vacor, tiazid, dilatin, interferon), diabetes karena infeksi, diabetes
imunologi (jarang), dan juga dapat disebabkan karena sindroma genetic seperti Down
syndrome, Klinefelter, Turner, Huntington, Chorea, Prader Will.

d. Diabetes Mellitus Gestational


Diabetes Mellitus gestational (GDM) adalah keadaan diabetes atau intoleransi
glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya
sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan
umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. Wanita yang pernah menderita
GDM akan lebih besar risikonyauntuk menderita lagi diabetes di masa depan.

e. Pra-diabetes
Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara
kadar normal dan diabetes, lebih tinggu daripada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk
dikategorikan ke dalam diabetes tipe 2. penderita pra-diabetes diperkirakan cukup
banyak, di Amerika diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong pra-diabetes,
disamping 18,2 orang penderita diabetes. Di Indonesia, angkanya belum pernah
dilaporkan, namun diperkirakan cukup tinggi, jauh lebih tinggi daripada penderita
diabetes.

Kondisi pradiabetes merupakan factor resiko untuk diabetes, serangan jantung


dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes dapat meningkat
menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun pengaturan diet dan
olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes.

Secara ringkas, perbedaan DM Tipe1 dengan DM Tipe 2 disajikan dalam tabel 2


DM Tipe 1 DM Tipe 2
Mulai Muncul Umumnya masa anak – anak Pada usia tua, umumnya >40
dan remaja, walaupun ada juga tahun
pada dewasa <40 tahun
Keadaan klinis saat Berat Ringan
diagnosis
Kadar insulin darah Rendah, tidak ada Cukup tinggi, normal
Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normal

14
Pengelolaan yang Terapi insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, hipoglikemik
disarankan oral

Faktor Resiko
Faktor risiko diabetes tipe 2 terbagi atas:
1.) Faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti ras, etnik, riwayat keluarga dengan
diabetes, usia > 45 tahun, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4
kg, riwayat pernah menderita DM Gestasional, riwayat berat badan lahir rendah < 2,5
kg.
2.) Faktor risiko yang dapat diperbaiki: berat badan lebih (indeks massa tubuh > 23kg/m2,
kurang aktivitas fisik, hipertensi(>140/90 mmHg),dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan
atau trigliserida > 250 mg/dl, diet tinggi gula rendah serat.
3.) Faktor risiko lain yang terkait dengan risiko diabetes: penderita sindrom ovarium poli-
kistik, atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin, sindrom
metabolik, riwayat toleransi glukosa terganggu/glukosa darah puasa terganggu, riwayat
penyakit kardiovascular (stroke, penyempitan pembuluh darah koroner jantung,
pembuluh darah arteri kaki).

15
PATOFISIOLOGI TERJADINYA DIABETES MELLITUS

16
GEJALA DAN TANDA DIABETES MELLITUS

Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala
kronik.

a. Gejala Akut Penyakit Diabetes mellitus

Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi bahkan,


mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu.

I. Pada permulaan gejala yang ditunjukkan pasien berupa trias DM


- Banyak makan (poliphagia).
- Banyak minum (polidipsia).
- Banyak kencing (poliuria).
II. Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:
- Banyak minum.
- Banyak kencing.
- Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun 5 – 10 kg
dalam waktu 2 – 4 minggu).
- Mudah lelah.
- Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh
koma yang disebut dengan koma diabetik.
b. Gejala Kronik Diabetes mellitus

Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes mellitus adalah sebagai
berikut:

o Kesemutan.
o Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.
o Rasa tebal di kulit.
o Kram.
o Capai.
o Mudah mengantuk.
o Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata.

17
o Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.
o Gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual menurun, bahkan
impotensi.
o Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.
o Disfungsi ereksi pada pria.

KRITERIA DIAGNOSTIK DM (Konsesus PERKENI 2002)


Dinyatakan DM apabila terdapat :
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dl, plus gejala klasik:
poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) > 126 mg/dl, atau
3. Kadar glukosa plasma > 200 mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau beban glukosa
75 gram pada TTGO. Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik.
Untuk penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria
diagnosis kadar glukosa darah puasa. Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria
dignosis yang sama.
Ketiga kriteria diagnosis tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari lain atau esok
harinya, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia yang jelas tinggi dengan
dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.

SKRINING KELOMPOK YANG BERESIKO


Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok tersebut dibawah ini (Committee
Report ADA-2006):
1. Kelompok usia dewasa tua (45 tahun)
2. Obesitas BB (kg) . 110 % BB ideal atau IMT .> 25 (kg/m2)
3. Tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan.
5. Riwayat kehamilan dengan bayi lahir BB >4000 g atau abortus yang berulang.
6. Riwayat dalam kehamilan
7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl)

18
8. Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT).
Pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk diagnosis DM adalah sebagai
berikut :
a. Tiga hari sebelumnya makan karbohidrat cukup
b. Kegiatan jasmani seprti yang biasa dilakukan
c. Puasa semalam, selama 10-12 jam
d. Periksa glukosa darah puasa
e. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum dalam waktu 5
menit.
f. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap boleh diminum air putih, namun
harus istirahat dan tidak merokok.
g. Untuk tujuan penelitian atau diagnosis DMG (diabetes Mellitus Gestasional),
dilakukan pemeriksaan glukosa darah pada 0, 1, 2, & 3 jam sebelum dan sesudah
minum beban glukosa 75 gram tersebut.

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dari pengobatan diabetes adalah untuk mempertahankan kadar


gula darah dalam kisaran yang normal. Kadar gula darah yang benar-benar normal sulit
untuk dipertahankan, tetapi semakin mendekati kisaran yang normal, maka kemungkinan
terjadinya komplikasi sementara maupun jangka panjang adalah semakin berkurang.
Pengobatan diabetes meliputi pengendalian berat badan, olah raga dan diet.
Seseorang yang obesitas yang menderita diabetes tipe II tidak akan memerlukan
pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya dan berolah raga secara teratur. Tetapi
kebanyakan penderita merasa kesulitan menurunkan berat badan dan melakukan olah raga
yang teratur. Karena itu biasanya diberikan terapi sulih insulin atau obat hipoglikemik per-
oral.
Pengaturan diet sangat penting. Biasanya penderita tidak boleh terlalu banyak
makan makanan manis dan harus makan dalam jadwal yang teratur. Penderita diabetes
cenderung memiliki kadar kolesterol yang tinggi, karena itu dianjurkan untuk membatasi
jumlah lemak jenuh dalam makanannya. Tetapi cara terbaik untuk menurunkan kadar
kolesterol adalah mengontrol kadar gula darah dan berat badan. Semua penderita
19
hendaknya memahami bagaimana menjalani diet dan olah raga untuk mengontrol
penyakitnya. Mereka harus memahami bagaimana cara menghindari terjadinya komplikasi.
Mereka juga harus memberikan perhatian khusus terhadap infeksi kaki dan kukunya harus
dipotong secara teratur. Penting untuk memeriksakan matanya supaya bisa diketahui
perubahan yang terjadi pada pembuluh darah di mata

TUJUAN TERAPI DM

1. Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa


nyaman dan sehat.

2. Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati


maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortilitas DM.

3. Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin.

Mengingat mekanisme dasar kelainan DM tipe-2 adalah terdapatnya faktor genetik,


tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel beta pankreas, maka cara-cara
untuk memperbaiki kelainan dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada
langkah pengelolaan.

4. Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan perawatan mandiri dan


melakukan promosi perubahan perilaku.

4 Pilar utama pengelolaan DM :

1. Edukasi
2. Perencanaan makan
3. Latihan jasmani
4. Obat-obatan

Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan


latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar
glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru
dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin
sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat

20
segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan
sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah
bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus
untuk itu.

1. EDUKASI
diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada sat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan apartisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Prinsip yang
perlu diperhatikan pada proses edukasi pasien diabet adalah :

- memberi dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya kecemasan
- memberikan informasi secara bertahap dimulai dengan hal yang sederhana
- lakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi
- diskusikan program ppengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan pasien.
Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang pengobatan yang
diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan lab
- lakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat tercapai
- berikan mottivasi dengan memberikan penghargaan
- libatkan keluarga dalam proses edukasi
- perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan
keluarganya
- gunakan alat bantu audiovisual
materi edukasi terdiri dari materi edukasi awal dan materi edukasi tingkat lanjut.

Adapun materi edukasi tingkat awal adalah :

- perjalanan penyakit DM
- makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
- penyulit DM dan risikonya
- intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
21
- interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik dan obat hipoglikemi oral atau
insulin serta obat-obatan lain
- cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri
- mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit atau hipoglikemia
- pentingnya latihan jasmani yang teratur
- masalah khusus yang dihadapi
- pentingnya perawatan kaki
- cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan
sedangkan, materi edukasi tingkat lanjut adalah :

- mengenal dan mencegah penyulit akut DM


- pengetahuan mengenai penyulit menahun DM
- penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain
- makan diluar rumah
- rencana kegiatan khusus
- hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM
- pemeliharaan atau perawatan kaki
edukasi dapat dilakukan secara individual dengan pendekatan berdasarkan penyelesaian
masalah. Seperti halnya dengan proses edukasi, perubahan perilaku memerlukan
perencanaan yang baik, implementasi, evaluasi dan dokumentasi.

2. TERAPI GIZI MEDIS


Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori
dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang DM perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan.

Komposoisi makanan yang dianjurkan adalah :

A. Karbohidrat
- sebesar 45-65 % total asupan energi
- pembatasan karbohidrat total <130 gram tidak dianjurkan
- makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi

22
- gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabet dapat makan sama
dengan makanan keluarga lain
- sukrosa tak boleh lebih dari 5 % total asupan energi
- pemanis alternatif dapat digunnakan sebagai pengganti gula asal tak melebihi batas
aman konsumsi harian
- makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai
bagian dari kebutuhan kalori sehari
B. Lemak
- asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25 % kebutuhan kalori . tak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi
- lemak jenuh<7% kebutuhan kalori
- lemak tak jenuh ganda <10% selebihnya dari lemak tak jenuh tunggal
- bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yag banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain daging berlemak dan susu penuh
- anjuran konsumsi kolesterol<300mg/hari
C. Protein
- dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi
- sumber yang baik adalah seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk
susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe
- pada pasien dengan nefropati diperlukan penurunan protein.
D. Natrium
- anjuran asupan natrium sama dengan masyarakat umum yaitu tak lebih dari 3000
mg atau sama dengan 6-7 gram garam dapur
- mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur
- sumber natrium antara lain garam dapur, vetsin, soda dan bahan pengawet seperti
natrium benzoaat dan natrium nitrit
E. Serat
- seperti halnya masyarakan penyandang DM dianjurkan mengkonsumsi cukup serat
- anjuran konsumsi adalah ±25 g/1000 kkal/hari
F. Pemanis alternatif

23
- dalam pemberiannya diberikan gula alkohol yang meliputi isomalt, lactitol, maltitol,
mannitol, sorbitol dan xylitol.
- Pemanis aman digunakan sepanjang tak melebihi batas aman.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:

- Karbohidrat 60-70%
Protein 10-15%
Lemak 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan
kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.
-
Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI)
-
= Indeks Massa Tubuh (IMT).
-
2
- IMTPasific)
Tabel Klasifikasi IMT (Asia = BB(kg)/TB(m )

Lingkar Perut

<90cm (Pria) >90cm (Pria)


Klasifikasi IMT (Asia Pasific) <80cm (Wanita) >80cm (Wanita)

Risk of co-morbidities

BB Kurang <18,5 Rendah Rata-rata


BB Normal 18,5-22,9 Rata-rata Meningkat
BB Lebih >23,0 :
- Dengan risiko : 23,0-24,9 Meningkat Sedang
- Obes I : 25,0-29,9 Sedang Berat
- Obes II : ≥ 30 Berat Sangat berat

Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status
gizi memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) - 10%

24
Status gizi:
BB kurang bila BB < 90% BBI
BB normal bila BB 90-110% BBI
BB lebih bila BB 110-120% BBI
Gemuk bila BB >120% BBI

Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman dikalikan
kebutuhan kalori basal (30 kcal/kgBB untuk laki-laki; 25 kcal/kgBB untuk wanita).
Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktivitas (10-3%); untuk atlet dan
pekerja berat dapat lebih banyak lagi sesuai dengan kalori yang dikeluarkan dalam
kegiatannya), koreksi status gizi (bila gemuk, dikurangi; bila kurus, ditambah) dan kalori
yang dibutuhkan menghadapi stres akut (misalnya infeksi, dsb.) sesuai dengan kebutuhan.
Untuk masa pertumbuhan (anak dan dewasa muda) serta ibu hamil diperlukan perhitungan
tersendiri. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi
makanan ringan (10-15%) di antaranya. Pembagian porsi tersebut sejauh mungkin
disesuaikan dengan kebiasaan pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik.
Untuk pasien DM yang mengidap pula penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan
dengan penyakit penyertanya. Perlu diingatkan bahwa pengaturan makan pasien DM tidak
berbeda dengan orang normal, kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal.

Untuk kelompok sosial ekonomi rendah, makanan dengan komposisi karbohidrat sampai
70-75% juga memberikan hasil yang baik.Jumlah kandungan kolesterol <300 mg/hari.
Diusahakan lemak dari sumber asam lemak tidak jenuh dan menghindari asam lemak
jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hari. Diutamakan serat larut (soluble fibre).

Pasien DM dengan tekanan darah yang normal masih diperbolehkan mengkonsumsi


garam seperti orang sehat, kecuali bila mengalami hipertensi, harus mengurangi konsumsi
garam.
Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya. Gula sebagai bumbu masakan tetap diizin-kan.
Pada keadaan kadar glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk meng-konsumsi
sukrosa (gula pasir) sampai 5% kalori. Untuk mendapatkan kepatuhan ter- hadap

25
pengaturan makan yang baik, adanya pengetahuan mengenai bahan penukar akan sangat
membantu pasien.

Tujuan Terapi Gizi Medis

Ad Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan:
1. Kadar Glukosa Darah Mendekati Normal,
- Glukosa Puasa Berkisar 90-130 Mg/Dl.
- Glukosa Darah 2 Jam Setelah Makan
- Kadar Alc <7 %
2. Tekanan Darah <130/80 Mmhg
3. Profil Lipid :
- Kolesterol Ldl <100mg/Dl
- Kolesterol Hdl >40 Mg/Dl.
- Trigliserida <150 Mg/Dl
4. Berat Badan Senormal Mungkin.

3. LATIHAN JASMANI

Latihan jasmani mempunyai peran yang sangat penting dalam penatalaksanaan


diabetes tipe 2. Latihan jasmani dapat memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa dan selain itu dapat pula menurunkan berat badan. Di
samping kegiatan jasmani sehari-hari, dianjurkan juga melakukan latihan jasmani secara
teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit. Kegiatan yang dapat dilakukan
adalah jalan atau bersepeda santai, bermain golf atau berkebun. Bila hendak mencapai
tingkat yang lebih baik dapat dilakukan kegiatan seperti, dansa, jogging, berenang,
bersepeda menanjak atau mencangkul tanah di kebun, atau dengan cara melakukan kegiatan
sebelumnya dengan waktu yang lebih panjang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur, kondisi sosial ekonomi, budaya dan status kesegaran jasmaninya.

4. Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis yang digunakan adalah OHO (Obat Hipoglikemi Oral) dan
insulin.

A. Obat Hipoglikemi Oral (OHO), Dibagi Menjadi 4 Golongan Yaitu :


 Pemicu sekresi insulin.
26
Ada 2 macam yang digunakan yaitu Sulfonilurea dimana obat ini
mempunyai efek utama untuk meningkatkan sekresi insulin. Untuk
menghindari hipoglikemi berkepanjangan maka dianjurkan untuk tak
menggunakan sulfonilurea dalam jangka panjang. Sedangkan Glinid,
mekanisme kerjanya hampir sama dengan sulfonilurea. Obat golongan ini ada
2 macam yaitu Repaglinid (turunan asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin)

 Penambah sensitivitas terhadap insulin


Tiazolidindion, obat ini berikatan dengan Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), yaitu suatu reseptor inti di sel otott dan
sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien dengan
pengguna Tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala

 Penghambat glukoneogenesis
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glikosa hati , disamping
juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin dikontraindikasikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati serta pasien dengan
kecenderungan hipoksemia. Metformin dapat memberikan efek samping mual
oleh karena itu dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.

 Penghambat glukosidase alfa (Aarbose)


Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa sesudah makan.

27
B. Terapi Insulin

Insulin diperlukan dalam keadaan :

- Penurunan berat badan


- Hiperglikemi derat disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemi hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemi dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
- Stress berat
- Kehamilan denga DM yang tak terkendali dengan perencaan makan
- Gangguan fungsi ginjal
28
Yang perlu diperhatikan adalah cara pemberian insulin i.v., i.m., s.c. harus
diketahui indikasi, manfaat, dan efek sampingnya dan insulin harus disimpan di
tempat dingin antara 2-8 derajat celcius atau setaranya. Bila di atas 30 derajat
celcius akan rusak, dan di atas 50 derajat celcius akan menggumpal. Insulin harus
dihindarkan dari cahaya karena dapat menurunkan biologisnya.

Macam Insulin:

1. Insulin konvensional, mengandung komponen a, b, dan c, misalnya: IR = insulin


regular (Novo dan Organon), NPH (Novo), PZI (Novo dan Organon) dan ada juga
campuran IR : PZI = 30 : 70. bentuk ini lebih imunologenik dan alergia, sebetulnya
yang mempunyai efek biologis adalah komponen c saja.
2. Insulin monokomponen = insulin MC (insulin mono-component = highly purified
insulin) = hanya mengandung komponen c (insulin murni), misalnya actrapid (short
action, identik dengan insulin regular), semua dari Novo industries. Ada juga
insulatard (identik dengan NPH) dan mixtard (campuran short dan long acting
insulin dengan perbandingan 30:70), keduanya beredar dalam bentuk novolet @
300 unit, tetapi juga ada dari Eli Lily dengan preparat yang sejenis (humulin-R,
humulin-N, dan humulin-30/70). Insulin MC mempunyai efek alergik dan
imunologik yang minimal bila dibandingkan dengan insulin konvensional.
3. Insulin manusia = human insulin (HM = human monocomponent). Insulin ini
kebanyakan dibuat dari E. coli (rekombinan DNA). Insulin ini disebut juga BHI
(biosynthetic human insulin) dan mempunyai susunan kimiawi sama dengan insulin
manusia. Dikatakan, insulin HM ini mempunyai efek alergik dan imunologik yang
minimal dibandingkan dengan kedua insulin sebelumnya.
4. Insulin analogues: ada dua macam:
a. Rapid-acting insulin analogues: lis pro (R/humalog), glulisin (R/apidra), dan
aspar (R/aspart)
b. Long-acting paekless insulin analogues: insulin glargine (R/lantus), insulin
detemir.
c. Indikasi terapi insulin adalah DM tipe-1, DMTM (MRDM), DM-tipe X
(MTOI=DM tergantung OHO dan insulin), koma diabetic, dan DM tipe-2 pada
keadaan tertentuseperti pada DM dengan secondary failure dari OHO, DM pada

29
kehamilan, DM dengan selulitis/gangrene/infeksi lainnya, DM kurus
(underweight), DM dengan fraktur, DM dengan hepatitis, DM dengan TBC
paru, DM pada Operasi, DM dengan grave’s disease, dan DM dengan kanker.
Hingga saat ini dikenal bermacam-macam teknologi pemakaian insulin, dari
yang paling sederhana sampai yang paling canggih, antara lain: insulin subkutan
dengan rotasi rasional, insulin intravena/jam dengan rumus minus satu dan insulin
subkutan/jam dengan rumus kali dua.

Dasar pemikiran terapi insulin :

- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis
- Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan
puasa sedangkan defisiensi insulin prandial akanmenyebabkan hiperglikemia
setelah makan
- Terapi insulin untuk subtitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi
- Pemberian dapat pula secara kombinasi antar jenis insulin kerja cepat atau insulin
kerja pendek untuk koreksi defisiensi insulin prandial, dengan kerja menengah atau
kerja panjang untuk koreksi defisiensi insulin basal.
- Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemerikasaan kadar
glukosa darah harian

30
- Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4
hari bila sasaran terapi belum tercapai.

Cara penyuntikan insulin

- Insulin umumnya disuntikkan dibawha kulit dengan arah alat suntik tegak lurus
terhadap cubitan permukaan kulit
- Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip
- Terdapat campuran insulin antara insulin kerja pendek dan kerja menengah dengan
perbandingan dosis tertentu. Apabila tak terdapat sediaan insulin campuran tersebut
atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri
antara kedua jenis insulin tersebut
- Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara penyimpanan insulin harus
dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik
- Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan
jarumnya dapat dipakai >1 kali oleh penyandang diabetes yang sama
- Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dengan semprit yang dipakai.
Dianjurkan dipakai konsentrasi yang tetap.

Efek samping insulin :

- efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia


- efek samping yang lain dapat berupa reaksi imunologik terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
31
KOMPLIKASI

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut
dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang sering terjadi dan harus
diwaspadai.
A. Komplikasi Akut
 Hipoglikemia
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa
pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi
gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran.
Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian.
Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl,
walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia
pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu
rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energy sehingga tidak
dapat berfungsi bahkan dapat rusak.
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat
dialami 1 – 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di Inggris
diperkirakan 2 – 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan oleh

32
serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih
jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin. Serangan
hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:
- Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)
- Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau ahli
gizi
- Berolah raga terlalu berat
- Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada seharusnya
- Minum alcohol
- Stress
- Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko
Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila
penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:
a) Dosis insulin yang berlebihan
b) Saat pemberian yang tidak tepat
c) Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik berlebihan
d) Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu terhadap insulin,
misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis
 Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara
tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan
konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia,
polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila diketahui
dengan cepat, hiperglikemiadapat dicegah tidak menjadi parah.
Hipergikemia dapat memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti
gastroparesis, disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang
berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang
berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan
(HHS), yang keduanya dapat berakibat fatal dan membawa kematian.
Hiperglikemia dapat dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat.

33
B. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik diabetik dapat mengenai semuaalat tubuh mulai dari
kepala sampai ke kaki. Khususnya di bidang Ilmu Penyakit Dalam/ Diabetologi,
komplikasi kronik diabetik dibagi atas dua kelompokbesar yaitu komplikasi
makroangiopati dan komplikasimikroangiopati. Komplikasi kronik
makroangiopatiberarti komplikasi kronik yang mengenai pembuluhdarah besar
(makro) seperti pembuluh darah otak,jantung dan kaki. Sedang komplikasi
kronikmikroangiopati adalah komplikasi kronik yang terjadipada pembuluh darah
halus (mikro) seperti pada matadisebut retinopati diabetik, pada ginjal disebut
nefropatidiabetik dan pada saraf perifer atau neuropati diabetik.
 Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1.
Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk
HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh
dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang
mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati,
nefropati, dan neuropati.
Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga
dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat terjadi dua orang yang
memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko komplikasi
mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk perkembangan
komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat keparahan diabetes. Satu-
satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat jalan
perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar gula
darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan suntikan insulin
multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai dengan monitoring kadar gula
darah mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya komplikasi mikrovaskular
sampai 60%.
1.) Retinopati diabetic
Komplikasi diabetes melitus pada mata dapat mengenai seluruh bagian dari
mata, tetapi kebutaan akibat diabetes melitus pada umumnya disebabkan oleh
kelainan pada lensa mata dan retina. Penelitian di negara barat menunjukkan bahwa

34
pada penderita diabetes melitus, kemungkinan mengalami kebutaan mencapai dua
puluh lima kali lebih sering bila dibandingkan dengan populasi non-diabetik.
Retinopati diabetik lebih sering terjadi pada penderita diabetes melitus yang
tergolong “insulin-dependent” dibandingkan dengan mereka yang “non-insulin
dependent”. Walaupun demikian mengingat jumlah penderita yang tergolong “non-
insulin dependent” jauh lebih banyak yaitu mencapai sembilan kali lebih banyak,
maka jumlah penderita “non-insulin dependent” yang mengalami retinopati diabetik
akan lebih banyak.
Dari hasil penelitian klinik di beberapa sentra pendidikan di Indonesia,
dilaporkan retinopati diabetik berkisar antara 13,1%-57,5%. Prevalensi retinopati
diabetik di Indonesia tidak banyak berbeda dengan yang dilaporkan di beberapa
negara ASEAN seperti di Philippine 25,0%, di Thailand 17,0%. Ada kecenderungan
bahwa angka kebutaan akibat diabetes melitus, khususnya akibat retinopati diabetik
di Indonesia akan cukup tinggi. Sedikitnya ada dua alasan yang menunjang
perkiraan tersebut. Pertama, sebagian dari penderita diabetes melitus di Indonesia
baru mengunjungi dokter setelah disertai dengan berbagai komplikasi. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka sebenarnya telah mengidap diabetes melitus bertahun-
tahun sebelum ke dokter. Kedua, pada mereka yang telah didiagnosis diabetes
melitus, oleh karena berbagai hambatan, sebagian besar dari mereka, kontrol
penyakitnya tidak dilakukan secara maksimal. Kedua hal tersebut dapat
mempercepat memburuknya komplikasi kronik yang sudah ada.
Pengobatan retinopati diabetik terdiri atas penatalaksanaan diabetes yang
baik, mencegah faktor resiko seperti hipertensi dan pengobatan fotokoagulasi
khususnya pada mereka dengan retinopati diabetik lanjut. Diperkenalkannya
pengobatan fotokoagulasi merupakan suatu kemajuan pesat di bidang pengobatan
retinopati diabetik. Pengobatan fotokuagulasi untuk retinopati diabetik sangat
menolong untuk mencegah kebutaan. Sangat disayangkan bahwa pengobatan
otokoagulasi di Indonesia baru terbatas pada beberapa kota besar yaitu Surabaya
dan Jakarta. Sedangkan di Indonesia bagian timur belum tersedia fasilitas
otokoagulasi yang menurut hemat kami sudah sangat dibutuhkan.

35
2.) Nefropati diabetic
Komplikasi kronik diabetes melitus pada ginjal dikenal sebagai nefropati
diabetik. Secara klinis dibedakan tiga tahap nefropati diabetik yaitu: a) nefropati
diabetik dini, b) nefropatidiabetik klinik, dan c) gagal ginjal terminal. Pada tahap
dini penderita sama sekali tanpa keluhan, dan tanda yang khas ialah ditemukannya
mikroalbuminuri (mikroalbuminuri = kadar albumin antara 20-250 mg dalam air
seni 24 jam). Pada tahap nefropati diabetik klinik, tanda yang khas ialah adanya
makroalbuminuri (makroalbuminuri = kadar albumin dalam air seni 24 jam > 250
mg). Sedang pada tahap gagal ginjal terminal penderita sudah dengan berbagai
gejala uremi dengan kadar ureum dan kreatinin yang meningkat.
Penelitian di luar negeri pada penderita insulin dependent diabetes melitus,
ternyata sekitar 30-40% dari penderita ini akan menjadi nefropati diabetik dini
dalam waktu 5-15 tahun setelah diketahui menderita diabetes. Setelah menderita
diabetes selama 10-15 tahun maka sekitar 30-40% penderita ini akan menjadi
nefropati diabetik klinik. Apabila telah menjadi nefropati diabetik klinik maka
perjalanan penyakit atau terus dan tidak dapat dihambat lagi. Dengan demikian
setelah 20-30 tahun menderita diabetes maka sekitar 40-50% akan mengalami gagal
ginjal yang membutuhkan cuci darah dan transplantasi ginjal. Pada penderita non-
insulin dependent diabetes melitus diperkirakan sekitar 5-10% dari penderita akan
menjadi gagal ginjal terminal. Secara persentasi tidak terlalu besar, tetapi mengingat
jumlah penderita non-insulin dependent lebih banyak maka secara keseluruhan
jumlah penderita penderita gagal ginjal terminal pada non-insulin dependent akan
lebih banyak.
Pengobatan nefropati diabetik terdiri atas control diabetes melitus yang baik
dan pencegahan terhadap faktor resiko khususnya hipertensi. Sejak lama diketahui
bahwa hipertensi bukan semata-mata sebagai akibat dari nefropati diabetik, tetapi
hipertensi yang menyertai akan mempercepat terjadinya nefropati disamping
memperburuk nefropati yang telah ada. Dari beberapa studi di luar negeri terbukti
bahwa pada penderita nefropati diabetik dini yang disertai hipertensi apabila
hipertensi tidak diobati maka 75-100% dari penderita tersebut, fungsi ginjal akan
memburuk dengan cepat dan akan berakhir dengan gagal ginjal.

36
Oleh karena itu tindakan pengobatan hipertensi sangat penting untuk
mencegah atau mempertahankan fungsi ginjal. Pada nefropati yang telah menjadi
gagal ginjal terminal maka tindakan pengobatan hanya terdiri atas hemodialisa/cuci
darah dan transplantasi ginjal. Tindakan hemodialisa hanya merupakan pengobatan
sementara untuk menunggu tindakan lanjut yaitu transplantasi ginjal. Hemodialisis
merupakan terapi pengganti yang paling banyak digunakan untuk penderita
nefropati dengan gagal ginjal terminal. Salah satu penelitian terakhir di Amerika
Serikat pada tahun 1987 yang dilakukan oleh Renal Data Service, menunjukkan
bahwa dari 26.137 penderita diabetes melitus dengan gagal ginjal terminal ternyata
sebanyak 66,0% atau 17.250 penderita sedang mendapat hemodialisis. Sejak
dimulainya transplantasi ginjal pada tahun 1970, banyak kemajuan yang telah
dicapai. Walaupun demikian sejak saat itu telah terbayangkan bahwa transplantasi
ginjal pada penderita diabetes melitus tidak mempunyai harapan sebaik hasil
transplantasi pada mereka yang bukan penderita diabetes melitus. Hal ini dapat
dimengerti bahwa dengan transplantasi ginjal saja tanpa memperbaiki penyakit
dasar diabetes mellitus maka ginjal yang baru akan mengalami nefropati diabetik
setelah beberapa tahun. Dari salah satu studi angka panjang di University of
Minesotta Hospital di Amerika Serikat antara tahun 1966 sampai tahun 1978,
ternyata dari 265 penderita diabetes melitus yang telah menapat transplantasi ginjal,
sekitar 100 penderita masih hidup setelah 10 tahun transplantasi dan dari jumlah ini
sekitar 41,0% masih hidup sampai 15 tahun dengan keadaan ginjal yang masih baik.
3.) Penyakit arteri koroner
Ada beberapa perbedaan antara penyakit jantung koroner pada penderita
diabetes melitus dan populasi non-diabetes. Perbedaan tersebut meliputi: a)
prevalensi yang lebih tinggi, b) rata-rata umur yang lebih muda, c) wanita lebih
sering dibandingkan pria, d) pada penderita diabetes melitus lebih sering terjadi
sumbatan arteri koroner multipel, e) komplikasi akibat infark miokard akut lebih
berat, dan f) angka kematian infark miokard akut lebih tinggi.
Telah lama diketahui bahwa prevalensi penyakit arteri koroner sangat tinggi
pada penderita diabetes melitus. Penelitian-penelitian terakhir telah membuktikan
bahwa penyakit diabetes melitus merupakan faktor resiko utama penyakit arteri
koroner.

37
Di Indonesia beberapa sentra pendidikan telah melaporkan angka prevalensi
penyakit jantung koroner pada penderita diabetes yang bervariasi antara 8,4%-
24,1%. Makin lama menderita diabetes melitus makin besar kemungkinan
mengalami penyakit arteri koroner. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan pada
penderita diabetes melitus, bahwa umumnya mereka juga “kaya” akan faktor resiko
lain seperti hipertensi, hiperkolesterolemi dan obesitas. Gabungan beberapa faktor
ini dengan sendirinya mempertinggi kecenderungan untuk mengalami penyakit
arteri koroner.
Pengobatan penyakit arteri koroner pada penderita diabetes melitus sama
dengan pada non-diabetes. Bedah jantung bypass pada penderita diabetes ternyata
mempunyai angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang
non-diabetes, disamping itu ketahanan hidup 10 tahun lebih rendah dibandingkan
dengan non-diabetes.
 Komplikasi Makrovaskular
3 jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita
diabetes adalah penyakit jantung koroner (coronary heart disease=CAD), penyakit
pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (peripheral vascular
disease = PVD).
Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1,
namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita
DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan.
Kombinasi dari penyakit-penyakit komplikasi makrovaskular dikenal dengan
berbagai nama, antara lain Syndrome X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome,
HyperinsulinemicSyndrome, atau Insulin Resistance Syndrome. Karena penyakit-
penyakit jantung sangat besar risikonya pada penderita diabetes, maka pencegahan
komplikasi terhadap jantung harus dilakukan sangat penting dilakukan, termasuk
pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes
sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk
itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya, termasuk mengupayakan
berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolahraga secara teratur, tidak
merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya.

38
1.) Kaki diabetic
Kaki diabetik adalah suatu komplikasi kronik yang mengenai kaki. Istilah
kaki diabetik menyangkut semua kelainan pada kaki termasuk kelainan pada tulang.
Tetapi yang paling sering ditemukan di klinik ialah kaki diabetik infeksi. Kelainan
kaki diabetik merupakan suatu komplikasi yang paling mengesalkan baik bagi
penderita maupun dokter. Rawat inap yang lama serta kebutuhan antibiotik yang
mahal akan membutuhkan biaya tinggi yang harus ditanggung oleh penderita.
Sebaliknya bagi dokter dibutuhkan kesabaran untuk merawat kaki diabetik. Adanya
komplikasi kaki diabetic sangat menakutkan penderita oleh karena adanya kelainan
tersebut selalu dikaitkan dengan kemungkinan amputasi kaki.
Penelitian klinik dari beberapa sentra di Indonesia melaporkan prevalensi
kaki diabetik berkisar antara 17,3% sampai 32,9% dari seluruh penderita diabetes
melitus yang dirawat di rumah sakit. Penyebab dari kaki diabetik adalah
multifaktor, dimana tiga faktor utama memegang peranan yaitu: a) iskemi akibat
kelainan pembuluh darah, b) neuropati, dan c) infeksi. Ketiga faktor ini saling
mempengaruhi satu sama lain. Iskemi dan neuropati merupakan factor utama yang
memegang peranan terjadinya ulkus pada kaki penderita diabetes. Setiap terjadinya
ulkus pada kaki akan mudah diikuti oleh infeksi, sehingga dapatlah dikatakan
bahwa sangat jarang kaki diabetik tanpa disertai infeksi. Biakkan kuman dari nanah
kaki diabetic sering memperlihatkan pertumbuhan kuman yang lebih dari satu, hal
mana lebih mempersulit pemilihan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman yang
tumbuh.
Pengobatan penderita kaki diabetik sebaiknya dilakukan terpadu antara
seorang ahli penyakit dalam dan seorang ahli bedah. Pengobatan bedah tidaklah
selalu harus berakhir dengan amputasi. Walaupun demikian pada kasus yang berat
memang dengan sangat menyedihkan kaki penderita haruslah direlakan untuk
diamputasi. Dalam hal ini pertimbangan amputasi haruslah didahului dengan
pendekatan yang baik pada penderita agar supaya proses amputasi dapat diterima
sebagai satu-satunya pengobatan penyelamatan jiwa penderita
2.) Tuberkulosis paru
Di negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Australia, tuberkulosis
paru tidak pernah dilaporkan sebagai komplikasi diabetes. Lain halnya di negara

39
yang sedang berkembang atau negara miskin, tuberculosis paru merupakan salah
satu masalah utama penderita diabetes melitus. Penelitian klinik di beberapa sentra
di Indonesia melaporkan prevalensi tuberkulosis paru yang bervariasi antara 15,3%-
29,5%. Di Ujung Pandang telah dilakukan beberapa kali penelitian dan ternyata
prevalensi tuberkulosis paru cukup tinggi bila dibandingkan dengan di tempat lain.
Tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus mempunyai masalah tersendiri
oleh karena selain pengobatan yang berlangsung lama, sebagian besar dari penderita
mempunyai keadaan gizi yang kurus sehingga membutuhkan pengobatan dengan
suntikan insulin. Seperti kita sadari suntikan insulin yang dua sampai tiga kali sehari
selalu merupakan masalah bagi penderita untuk menerima cara pengobatan tersebut.

Kriteria Pengendalian DM untuk mencegah komplikasi Kronik

40
BAB III

PEMBAHASAN DAN DISKUSI


Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini,
maka pasien didiagnosa diabetes mellitus tipe II + ulkus DM
3.1 Tinjauan Diagnosis

Teori Kasus
Didiagnosis DM tipe II bila pasien: Pada Ny.S:
 Secara klinis terdapat gejala DM,  Pasien memiliki riwayat DM sejak 5
seperti poliuria, polidipsi, polifagi, tahun, namun terkadang pasien dapat
kesemutan, gatal mengontrol makanan yang dimakan
 Dikonfirmasi dengan pemeriksaan gula  MRS dengan ulkus diabetik di telapak
darah sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl. Atau kaki kiri
hasil gula darah puasa ≥ 126 mg/dl  Nilai GDS 306 mg/dl
 HbA1c ≤ 7%
Didiagnosis ulkus DM pada pedis bila Luka terbuka pada telapak kaki kiri, yang
pasien: tidak dirasakan, sehingga membengkan
Komplikasi kronik Diabetes mellitus dan timbul nanah..
berupa luka terbuka pada permukaan kulit
yang dapat disertai adanya kematian
jaringan setempat. terjadi insusifiensi
vaskuler dan neuropati, yang lebih lanjut
terdapat luka pada penderita yang sering
tidak dirasakan
Didiagnosis hipertensi menurut JNC 7:  Riwayat pernah Hipertensi stage 2,
 Pre-Hipertensi (TDS 120-139 mmHg
TD 160/100 mmHg tahun 2007
atau TDD 80-89 mmHg
 Follow up TD terakhir tgl 14/10/11
 Stage 1 (TDS 140-159 mmHg atau
TD 120/20 (normal)
TDD 90-99 mmHg)
 Stage 2 (TDS ≥160 mmHg atau TDD
≥100 mmHg)
Kesimpulan Diagnosis Pasien : Diabetes mellitus tipe II dengan komplikasi ulkus diabetik.

3.2 Tinjauan Terapi Farmakologis

Untuk menetapkan rasional tidaknya terapi yang diberikan, harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:

41
1. Obat yang diberikan harus tepat indikasi sesuai dengan standar medis/panduan klinis atau
sesuai dengan penyakit yang dihadapinya. Contoh penggunaan obat tidak rasional: penggunaan
antibiotik untuk diare yang non spesifik, penggunaan antibiotik untuk infeksi virus saluran
nafas akut.
2. Tepat pasien, tidak ada kontra indikasi dan kemungkinan efek yang tidak diinginkan, misal
pasien yang mempunyai gangguan iritasi lambung tidak diberikan analgesik yang mempunyai
efek samping mengiritasi lambung.
3. Tepat obat, obat berdasarkan efektifitasnya, keamanannya dan dosis.
4. Tepat penggunaan obat artinya pasien mendapat informasi yang relevan, penting dan jelas
mengenai kondisinya dan obat yang diberikan (aturan minum, sesudah atau sebelum makan,
dll)
5. Tepat monitoring, artinya efek obat yang diketahui dan tidak diketahui dipantau dengan baik.

Reguler Insulin
Pada pasien ini diberikan Reguler Insulin yang merupakan short acting dapat
meningkatkan penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan mempengaruhi
pertumbuhan sel serta fungsi metabolisme berbagai macam jaringan melalui ikatan dengan
reseptor insulin di jaringan. Penghentian OHO dilalukan apabila kadar glukosa darah terlalu
tinggi, sehinngga digunakan regular insulin.
No Teori Kasus Rasional
Ya Tidak
1 Indikasi : Diabetes Mellitus Diabetes Melitus tipe II √
tipe I dan tipe II
2 Dosis : 0,2-1 diberikan RI 3x6 iu √
iu/kgBB/hari. Vial 40 IU/ml
x 10 ml, 100 IU/mlx10 ml,
vial cartridge 100 IU/ml x 3
ml. Dapat diberikan SC atau
IV pada kondisi ketoasidosis.
Dosis tergantung kondisi
pasien dan kadar gula darah.

42
3 Interaksi obat: tiroksin m Tidak didapatkan obat √
yang dapat
eningkatkan kebutuhan
menimbulkan interaksi
insulin,  bloker, MAO
Inhibitor, kontrasepsi oral,
penggunaan alkohol yang
dapat meyebabkan
hipoglikemi

4 Efek samping obat : - √


resisten terhadap insulin,
reaksi alergi lokal atau
umum dan Hipoglikemi

5 Cara Pemakaian: dapat Pada pasien ini √


digunakan secara diberikan secara
parenteral parenteral

Ranitidine
Secara kompetitif Ranitidin menghambat ikatan histamin dengan H2 reseptor di
lambung sehingga cAMP intrasel menurun, maka sekresi asam lambung menurun. Pada
kasus ini, terdapat gejala nyeri ulu hati yang yang timbul mulai hari ke-3 dan bersifat
hilang-timbul.
Pada pasien ini ditemukan gejala nyeri ulu hati, sehingga pada pasien ini dibutuhkan
pemberian Ranitidin.
No Teori Kasus rasional
Ya tidak
1 Indikasi: nyeri ulu hati, Nyeri ulu hati √
Ulkus duodenum, ulkus
gaster, GERD
2 Dosis dan sediaan: Tablet Diberikan inj Ranitidin √
150 mg (Acran), Tablet film 3x1 amp
coated 300 mg (Indoran),
150 mg (Radin), Kaplet 300
mg (Acran), Ampul 25
mg/ml (Antid). Dosis: per

43
oral dewasa 150 mg 2x/hari
atau 300 mg 1x/hari sebelum
tidur, pemeliharaan 150 mg
1x/hari sebelum tidur. Anak
2-4 mg/kg/hari dibagi 2
dosis. Maksimal 300
mg/hari. Untuk iv/im dewasa
50 mg/dosis tiap 6-8 jam,
anak 2-4 mg/kg/hari dibagi
3-4 dosis, maksimal 200
mg/hari.

3 Efek samping obat: sakit - √


kepala, konstipasi, rush
4 Cara Pemakaian: Pada pasien ini √
digunakan secara oral, diberikan secara
parenteral parenteral

Amlodipin

Penggunaan amlodipin diindikasikan sebagai terapi antihipertensi. Pada pasien ini didapatkan
hasil follow-up hari ke hari mengalami peningkatan tekanan darah. Sehingga memang harus
menggunakan amlodipin sebagai golongan kalsium kanal bloker.

No Teori Kasus Rasional

Ya Tidak

1 Indikasi: √
sebagai terapi terhadap
Hipertensi dan angina
hipertensi
stabil

2 Kontraindikasi: √
tidak ada kontraindikasi
sensitive
pada pasien
dihidropiridin

44
3 Dosis: √

Dewasa awal 5 mg/hr 5 mg 1-0-0


single dose. Max 10
mg/hr

Lansia 2,5 mg/hr

4 Efek samping: √
Edema perifer, sakit Pada kasus ini, tidak
ditemukan adanya efek
kepala, flushing, samping dari amlodipin
palpitasi, mual,
-
bradikardia, &
hipotensi

5 Interaksi Obat : √
Penggunaannya tidak Pasien diberikan obat
bias digunakan amlodipin pada pagi hari.
bersamaan dengan β-
bloker (Bisoprolol)
dapat menimburkan
hipotensi dan
gangguan aritmia
jantung

INTERHISTIN

Penggunaan interhistin diindikasikan untuk sebagai terapi anti alergi dan anti histamine
Pada kasus ini, terdapat keluhan gatal-gatal yang timbul mulai hari pertama masuk Rumah
Sakit.
No Teori Kasus rasional
Ya tidak
1 Indikasi: Alergi, rhinitis Gatal-gatal pada √
seluruh badan
dan urtikaria
2 Dosis dan sediaan: tab.& Diberikan tab. 3x1 √
45
syr ( 50 mg/ml) Dws &
anak >10 th: 2-6 tab/hari
atau 10-20 ml/hr, 2,5 th: 1-
3 tab./hari & 5-15 ml/hr
3 Efek samping obat: - √
Sedasi, gangguan GIT,
efek antimuskarinik,
lemas otot, tinnitus,
euphoria dan sakit kepala

4 Cara Pemakaian: Pada pasien ini √


digunakan secara oral, diberikan secara oral
(tablet dan syrop) (tablet)

Kloramfenokol

Merupakan obat antimikroba yang bersifat bakteriostatik. Pada pasien ini terlihat adanya
luka di bagian tumit yang dialami sejak 3 miggu yang lalu serta ditambah dengan adanya
pus yang menandak bahwa pasien ini terinfeksi.
No Teori Kasus rasional
Ya tidak
1 Indikasi: infeksi, demam Luka pada tumit dan √
timbul pus ( abses)
tifoid,dll
2 Dosis dan sediaan: kaps: Diberikan inj. 1 gr 4x1 √
250 mg dws : 50 mg/kg
BB dbg 3-4 dosis, 60 ml ,
vial dws&anak: 50 mg/ kg
BB/ 4 dosis.
3 Efek samping - √
obat: anemia
aplastik,
kemerahan kulit,
urtikaria,
anafilaksis,
mual, muntah,
diare, depresi

46
delirium dan
sakit kepala

4 Cara Pemakaian: Pada pasien ini √


digunakan secara oral dan diberikan secara injeksi
injeksi

ALPRAZOLAM
Merupakan ansiolitik golongan benzodiazepine yang paling banyak digunakan. Obat ini
telah menggantikan barbiturate dan meprobamat dalam penggobatan ansietas karena
benzodiazepine lebih efektif dan aman.
No Teori Kasus Rasional
Ya Tidak
1 Indikasi: terapi jangka pendek digunakan sebagai terapi √
untuk ansietas sedang atau berat ansiolitik, agar pasien
dan ansietas yg berhubungan dg dapat istirahat dengan
depresi nyaman.

2 Dosis : Dewasa 0,25 mg-0.5 mg Pada kasus ini diberikan √


3x/hr, dpt ditingkatkan dg interfal alprazolam tab 1 x 0,5
3-4 hr s/d maks 4 mg dlm dosis mg selama > 3hr
terbagi. lansia, pasien lemah fisik
& disfungsi hati berat 0. 25 mg 2-
3x/hr, dpt ditingkatkan scr
bertahap.
3 Efek samping: mengantuk, lemah Tidak terdapat ESO √ penggunaan jangka
otot, ataksia, amnesia, depresi, yang berarti panjang dpt
kepala terasa ringan, binggung, menyebabkan
halusinasi, penglihatan kabur. ketergantungan, &
Jarang : sakit kepala, insomnia, penghentian
reaksi paradoksial, tremor, mendadak dpt
hipotensi, gg GI, ruam kulit, timbul gx putus
perubahan libido, menstruasi tdk obat, binggung,
teratur, retensi urin, ikterus. ansietas, agitasi,
gelisah, insomnis
& stress.

4 Cara Pemakaian: tab Pada pasien ini diberikan √


secara oral.

47
AMIKASIN

Golongan antibiotic aminoglikosida, bersifat bakterisid yang dikenal toksik terhadap saraf otak
(VIII kompononen vestibular maupun akustik (ototoksik)) dan nefrotoksik. Aktifitas antibakterinya
tertuju kepada basil-gram negative yang aerobic, mekanisme kerja amikasin, terikat ribosom 30 S
dan menghambat sintesis protein dan menyebabkan salah baca dalam penerjemahan mRNA.

No Teori Kasus Rasional


Ya Tidak
1 Indikasi: infeksi nasokomial, Profilaksis untuk √
bakteremia & septicemia termaksuk mencegah infeksi
spsis neonates, infeksi serius pada pasaca operasi
saluran napas, tulang & sendi, SSP
termaksuk meningitis, kulit & jar
lunak, intraabdominal termasuk
peritonitis, luka bakar & infeksi pasca
operasi, ISK serius dg komplikasi &
ISK berulang
2 Dosis : Dewasa 15 mg/kgBB?hari dlm Amikasin 2 x 500 √
2-3 dosis terbagi setara dengan 500 mg selama 8 hari
mg 2x/hr maks 1,5 g.

3 Efek samping: ototoksisitas Tidak terdapat ESO √


ireversibel seperti tinnitus, vertigo, gg yang berarti
pendengaran dan kehilangan
keseimbangan; nefrotoksisitas seperti
azotemia, oliguria, ruam kulit, demam
akibat obat, eosinofilia, artralgia,
anemia, sakit kepala, parastesia, mual-
muntah, tremor, anemia & hipotensi.

4 Cara Pemakaian: tab Pada pasien ini √


diberikan secara
oral.

METFORMIN

Merupakan OHO gologan biguanid yang kerjanya menyebebkan meningkatkan sensitifitas jaringan
otot dan adipose terhadap insulin.

No Teori Kasus Rasional


Ya Tidak
1 Indikasi: terapi diabetes dewasa Digunakan sebagai √
terapi kombinasi
bersama dengan
insulin

48
2 Dosis : awal 2 x 500 mg, maintenance Metformin 3 x 500 √
3 x 500 mg, dosis maksimal 2,5 gram. mg
obat diminum sewaktu makan.

3 Efek samping: asidosis laktat


- -
4 Cara Pemakaian: tab Pada pasien ini √
diberikan secara
oral.

DEXANTA

No Teori Kasus Rasional


Ya Tidak
1 indikasi: hiperasiditas, tukak Digunakan untuk √
lambung, kembung, dyspepsia, heart membuffer produksi
burn. asam yg >> akbt
penggunaan
metformin
2 Dosis : tab 1-2 tab 3x/hr, susp 1-2 sdt 3-4 Dexanta syr 3 x 1 √
x/hr sdh makan

3 Efek samping: konstipasi, diare, - -


obstruksi intestinal (dosis besar),.
4 Cara Pemakaian: tab, susp Pada pasien ini √
diberikan secara
oral.

ODANSENTRON

Ondansetron memiliki aksi antiemetik sentral dengan menghambat reflex muntah,


yang disebabkan stimulasi vagus. Pada kasus ini, terdapat gejala mual dan muntah yang
timbul sejak hari hari pertama pasien dirawat sehingga diberikan Ondansetron.
No Teori Kasus rasional
Ya tidak
1 Indikasi: Mual dan muntah
Mual dan muntah terkait kemoterapi, √
radioterapi, atau pasca operasi
2 Dosis dan sediaan: Diberikan
Tablet 8 mg (Cedantron), Tablet film Ondansetron 2 x 1
coated 4 mg & 8 mg (Vomceran), cap
Kaplet film coated 4 mg & 8 mg
(Frazon), Ampul: 4 mg/2 ml, & √
8mg/4ml (Zofran). Dosis: per oral
dewasa, tua & anak >11thn 24 mg
dosis tunggal 10-20 mg 3-4x/hari ac;
49
Dosis 1-2 jam sebelum kemoterapi 8
mg (garam HCl 2 aq), lalu tiap 12
jam 8 mg selama 5 hari.
3 Interaksi obat: Tidak didapatkan
Beberapa obat lain yang menurunkan obat yang dapat √
kelarens hepar dari antagonis 5HT3, menimbulkan
akan merubah T ½ obat tersebut interaksi
4 Efek samping obat:
Nyeri kepala, obstipasi, rasa panas
di muka (flushes) dan perut bagian √
-
atas, jarang sekali gangguan ekstra-
piramidal dan reaksi
hipersensitivitas
5 Cara Pemakaian: Pada pasien ini
dapat digunakan secara oral dan diberikan secara √
parenteral oral

MEROPENEM
Merupakan antibiotic golongan B-lakktam lain yang tidak tergolong penisilin maupun sefalosporin.
Meropenem derivate dimetilkarbamoil, pirolidil dari tienamisin. Obat ini tidak dirusak oleh enzim
dipeptidase di tubuli ginjal, sehingga tidak perlu dikombinasikan dengan silastatin, obat ini kurang
menyebabkan kejang disbandingkan dengan imepenem.

No Teori Kasus Rasional


Ya Tidak
1 indikasi: dws pneumonia, ISK, Antibiotic yang √
endometritis, peritonitis, infeksi paling sensitive
struktur kulit, , pneumonia digunakan oleh
nasokomial, dugaan infeksi pada pasien stlh test
pasien neutropenia, septicemia. resistensi.
2 Dosis : 500 mg scr IV tiap 8 jam 3 x 1 ampul √
untuk pneumonia, ISK, endometritis,
peritonitis, infeksi struktur kulit. 1 g
tiap 8 jam untuk dugaan infeksi pada
pasien neutropenia, septicemia.
3 Efek samping: sakit kepala, - -
tromboflebitis, diare, mual, muntah,
kejang, kandidiasis oral, dyspepsia,
eritema, NTE, pruritus vagina
4 Cara Pemakaian: injeksi Pada pasien ini √
diberikan
secarainjeksi.

50
BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

1. Penggunaan Reguler Insulin rasional dilihat dari indikasi (rasional), dosis (rasional),
pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
2. Penggunaan Ranitidine rasional dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
3. Penggunaan Amlodipine rasional dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping( rasional).
4. Penggunaan Interhistine rasional dilihat dari Indikasi ( rasional), dosis (rasional),
pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
5. Penggunaan Kloramfenikol rasional dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional)
4.1 Saran
Adapun saran yang dapat diperoleh setelah menyelesaikan laporan kasus ini yaitu
sebagai berikut:
1. Diharapkan dokumentasi obat (jenis, dosis, bentuk sediaan dan cara pemberian)
dapat lebih jelas dicantumkan dalam status pasien, sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam follow-up pasien selanjutnya.
2. Hasil dari uji kepekaan anti-biotik sebaiknya segera digunakan dalam pemilihan
terapi anti-biotik, sehingga tidak terjadi multi-drugs terapi anti-biotik yang telah
resisten

51
DAFTAR PUSTAKA

Perkumpulan Endokrinologi (PERKENI). 1998. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus


di Indonesia. Jakarta: Perkeni.
Sudoyo AW, setiyohadi B. 2006 . buku ajar ilmu penyakit dalam . jakarta : Depertemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Soegondo, Sidartawan. 2005. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini. Dalam:
Subekti, Imam et al. 2005. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: FKUI.
Tjokroprawiro A, Hendromartono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : FK
Unair dan RS. Pendidikan DR. Soetomo
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus.
Jakarta : Departemen Kesehatan.
Depertemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium untuk Penyakit
Diabetes Mellitus. Jakarta : Departemen Kesehatan.
Price & Wilson. 2003. Patofisiologi Volume 2 Edisi 6. EGC : Jakarta.

Ganiswarna, S.G., dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI

MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 9. Jakarta. PT. Infomaster Lisensi dari CMP
Medica. 2009/2010

52

Anda mungkin juga menyukai