Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Oleh:
Pembimbing:
dr. Lukas D. Leatemia, M. Kes M. Pd. Ked
Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada
Lab/SMF Farmakologi Klinik RSUD A. Wahab Sjahranie
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
SAMARINDA
2011
BAB I
Presentasi Kasus
Farmakologi Klinik Tanggal: 13 Oktober 2011
Keluhan Utama :
Terdapat luka terbuka ditumit sebelah kiri, sehingga otot terlihat, bengkak dan
mengandung nanah, luka baru dialami kurang lebih 3 minggu yang lalu. Awalnya pasien
tidak mengetauhi kenapa kakinya bisa luka, lukanya terlihat kering dan tidak terasa sakit,
sehingga pasien dibawa ke UGD oleh keluarganya dan diputuskan oleh dr. jaga untuk di
Selain itu pasien juga mengeluhkan bahwa tangan dan kakinya kesemutan,
penglihatan kabur awalnya pada mata kiri kemudian mata kanan,disertai gatal dan berair.
2
selain itu pasien merasa nyeri pada pinggang seperti ditusuk-tusuk dan tidak ada
penjalaran nyeri.
Pernah luka pada jempol kaki kiri akibat terinjak batu kecil, sehingga jempolnya
Pernah MRS akibat muntah-ber pada tahun 2007, pada saat dilakukan
pemeriksaan darah ternyata gula darah pasien waktu 300 mg/dl, dan didiagnosis
Ada riwayat Dibetes Melitus pada saudara kandung ( adik kandung ke 2 dan Ke 7)
dari 9 bersaudara.
III. Pemeriksaan Fisik (Objektif)
N : 88 x/menit T: 36,4˚C
Thoraks : Pulmo : Bentuk dan gerak simetris, ronkhi -/-, wheezing -/-
-/- -/-
-/- -/-
Cor : S1 S2 tunggal reguler, suara tambahan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, kaki kiri tidak dapat di observasi lebih lanjut karena
3
IV. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
4
3. Laboratorium (7 - 10 -2011)
Pemeriksaan laboratorium kimia darah:
Pemeriksaan yang Hasil yang didapat Nilai normal
dilakukan
GDS 143 mg/dl < 200 mg/dl
G2PP 116 mg/dl < 200 mg/dl
V. Diagnosis (Assesment)
1. Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr
2. RI 3 x 6 IV SC
3. Inj Ranitidin 3 x 1
4. Amlodipin 5 mg 1-0-0
5. Interhistin tab 3 x 1
6. Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
7. Metformin 3 x 500 mg
8. Amikasin 2 x 500 mg
9. Dexanta syr 3 x 1 sdh makan
10. Odansentron 2 x 1 cap
11. Meropenem 3 x 1 amp
4 – 10 2011 S : Nafsu makan menurun, mual (+), A : DM tipe II, abses pedis post debridement
muntah (-), daerah sekitar luka terasa kaki kiri hari ke XIX
hangatO : CM,
P:
TD = 140 / 80 mmHg, N = 80 x/mnt, RR
= 20x/mnt, t = 36,40C - Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr
- RI 3 x 6 IV SC
6
- Inj Ranitidin 3 x 1
- Amlodipin 5 mg 1-0-0
- Interhistin tab 3 x 1
- Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
- Metformin 3 x 500 mg
5 – 10- 2011 S : Mual (+), muntah (+) 2 x, BAB 3 x A : DM tipe II, abses pedis post debridement
sejak kemarin, BAB tidak terasa saat kaki kiri hari ke XX
keluar
P:
O : CM,
- Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr RI 3 x 6 IV
TD = 160 / 80 mmHg, N = 78 x/mnt, RR SC
= 24x/mnt, t = 36,40C - Inj Ranitidin 3 x 1
- Amlodipin 5 mg 1-0-0
- Interhistin tab 3 x 1
- Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
- Metformin 3 x 500 mg
- Amikasin 2 x 500 mg
- Dexametason 3 x 1 sdh makan
S : Muntah 2 xtadi malam, sore kadar A : DM tipe II, abses pedis post debridement
gula darah turun mendadak (53 mg/dl ) kaki kiri hari ke XXII
7– 10-2011
TD = 140 / 80 mmHg, N = 78 x/mnt, RR P:
GDP = 20x/mnt, t = 36,70C
- Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr
143 mg/dl - RI 3 x 6 IV SC
- Inj Ranitidin 3 x 1
GD2PP - Amlodipin 5 mg 1-0-0
- Interhistin tab 3 x 1
116 mg/dl
- Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
- Metformin 3 x 500 mg
- Amikasin 2 x 500 mg
- Dexanta syr 3 x 1 sdh makan.
7
8 – 10 - 2011 S : muntah-muntah tadi malam, kadar A : DM tipe II, abses pedis post debridement
gula darah turun drastic lagi tadi malam kaki kiri hari ke XXIII
(53 mg/dl )
P:
O : CM,
- Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr
TD = 140 / 80 mmHg, N = 78 x/mnt, RR - RI 3 x 6 IV SC
= 18x/mnt, t = 36,50C - Inj Ranitidin 3 x 1
- Amlodipin 5 mg 1-0-0
- Interhistin tab 3 x 1
- Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
- Metformin 3 x 500 mg
- Amikasin 2 x 500 mg
- Dexanta syr 3 x 1 sdh makan
- Odansentron 2 x 1 cap
- Meropenem 3 x 1 amp
10 Oktober 2011 S: gatal (+) mual muntah (+), BAB & A: DM tipe 2+ abses pedis , post
BAK Normal, nyeri ulu hati (+) dan dehidrediment XXIV
nyeri luka (+) P:
O: CM; TD 140/90 mmHg; N 88x/i; RR - Cloramfenikol inj>1 gr 4x1
24x/i; T 36,50C, NTE (-) dan BU(+) - RI 3x6 Iu
- Inj. Ranitidin 3x4
- Amiodipin 5 mg 1-0-0
- Ntrerhistin tab 3x1
- Alprazolam tab 0,5 mg 1x1
- Meropenem 3x1 amp.
- Dexanta syrup 3x1
- Ondancenton 2x1
11 Oktober 2011 S: gatal (+) mual muntah (+), BAB & A: DM tipe 2+ abses pedis , post
BAK Normal, nyeri ulu hati (+) dan dehidrediment XXV
nyeri luka (+)< kesemutan P:
O: CM; TD 130/90 mmHg; N 72x/i; RR - Cloramfenikol inj>1 gr 4x1
22x/i; T 36,50C, NTE (-) dan BU(+) - RI 3x6 Iu
- Inj. Ranitidin 3x4
- Amiodipin 5 mg 1-0-0
- Ntrerhistin tab 3x1
- Alprazolam tab 25 mg 1x1
- Meropenem 3x1 amp.
- Dexanta syrup 3x1
- Ondancenton 2x1
12 Oktober 2011 S: gatal (+) mual muntah (+), BAB & A: DM tipe 2+ abses pedis , post
BAK Normal, nyeri ulu hati (-) dan dehidrediment XXVI
nyeri luka (-) P:
O: CM; TD 130/80 mmHg; N 76x/i; RR - Cloramfenikol inj>1 gr 4x1
21x/i; T 36,50C, NTE (-) dan BU(+) - RI 3x6 Iu
- Inj. Ranitidin 3x4
- Amiodipin 5 mg 1-0-0
- Ntrerhistin tab 3x1
- Alprazolam tab 0,5 mg 1x1
- Meropenem 3x1 amp.
- Dexanta syrup 3x1
- Ondancenton 2x1
8
13-10-2011 S : nyeri pada luka (-), BAB (-), A : DM tipe II, abses pedis post debridement
kesemutan (+), mual (-), muntah (-), luka kaki kiri hari ke XXIV
pada lengan kanan bekas tusukan infuse
P:
O : CM, TD = 120 / 80 mmHg, N = 72
x/mnt, RR = 22x/mnt, t = 36,20C - Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr
- RI 3 x 6 IV SC
Ronki (-), wheezing (-) - Inj Ranitidin 3 x 1
- Amlodipin 5 mg 1-0-0
- Interhistin tab 3 x 1
- Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
- Metformin 3 x 500 mg
- Amikasin 2 x 500 mg
- Dexanta syr 3 x 1 sdh makan
- Odansentron 2 x 1 cap
- Meropenem 3 x 1 amp
14-10-2011 S : kesemutan (+), gatal-gatal (+), nyeri A : DM tipe II, abses pedis post debridement
pada luka (-), mual (-), muntah (-), luka kaki kiri hari ke XXVV.
pada lengan kanan (+)
P:
O : CM, TD = 120 / 80 mmHg, N = 88
x/mnt, RR = 20x/mnt, t = 36,40C - Inj Kloramfenikol 4 x 1 gr
- RI 3 x 6 IV SC
Ronki (-), wheezing (-), luka pada lengan - Inj Ranitidin 3 x 1
dengan permukaan yg sdh mongering - Amlodipin 5 mg 1-0-0
dan bagian bawah luka tampak sedikit - Interhistin tab 3 x 1
bengkak dengan warna kebiru-biruan. - Alprazolam tab 1 x 0,5 1-0-0
- Metformin 3 x 500 mg
- Amikasin 2 x 500 mg
- Dexanta syr 3 x 1 sdh makan
- Odansentron 2 x 1 cap
- Meropenem 3 x 1 amp
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELLITUS
Semua jenis diabetes mellitus memiliki gejala yang mirip dan komplikasi pada
tingkat lanjut. Hiperglisemia sendiri dapat menyebabkan dehidrasi dan ketoasidosis.
Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan
kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan
kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan
risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah
buruk.
DEFINISI
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu.
Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang
muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah
seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah
tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-
39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.
WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus. Pada tahun 1965 WHO
mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood Diabetics,
Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan
klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada
tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin- Dependent Diabetes
Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan
revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap
mempertahankan istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-
Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO
selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul.
Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985
ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa
Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau
Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga
mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau
Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat
dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang
ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan
pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya.
11
Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada tabel.
B. Idiopatik
resistensi insulin
ETIOLOGI
12
dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet
Cell Surface Antibodies), dan antibodi terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase).
Individu yang peka secara genetik akan memberikan respons terhadap kejadian-
kejadian pemicu dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan
mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Manifestasi
klinik diabetes mellitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak. Pada
diabetes mellitus dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta telah dirusak semuanya,
sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan
defisiensi insulin. Bukti untuk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan
dengan tipe-tipe histokompabilitas (human leukocyte antigen [HLA]) spesifik yang
berperan penting dalam interaksi monosit-limfosit. Juga tedapat bukti adanya
peningkatan antibodi-antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans yang ditujukan
terhadap komponen antigenik tertentu dari sel beta.
13
diabetes karena obat/zat kimia (Glukortikoid, hormone tiroid, asam nikotinat,
pentamidin, vacor, tiazid, dilatin, interferon), diabetes karena infeksi, diabetes
imunologi (jarang), dan juga dapat disebabkan karena sindroma genetic seperti Down
syndrome, Klinefelter, Turner, Huntington, Chorea, Prader Will.
e. Pra-diabetes
Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara
kadar normal dan diabetes, lebih tinggu daripada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk
dikategorikan ke dalam diabetes tipe 2. penderita pra-diabetes diperkirakan cukup
banyak, di Amerika diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong pra-diabetes,
disamping 18,2 orang penderita diabetes. Di Indonesia, angkanya belum pernah
dilaporkan, namun diperkirakan cukup tinggi, jauh lebih tinggi daripada penderita
diabetes.
14
Pengelolaan yang Terapi insulin, diet, olahraga Diet, olahraga, hipoglikemik
disarankan oral
Faktor Resiko
Faktor risiko diabetes tipe 2 terbagi atas:
1.) Faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti ras, etnik, riwayat keluarga dengan
diabetes, usia > 45 tahun, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4
kg, riwayat pernah menderita DM Gestasional, riwayat berat badan lahir rendah < 2,5
kg.
2.) Faktor risiko yang dapat diperbaiki: berat badan lebih (indeks massa tubuh > 23kg/m2,
kurang aktivitas fisik, hipertensi(>140/90 mmHg),dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan
atau trigliserida > 250 mg/dl, diet tinggi gula rendah serat.
3.) Faktor risiko lain yang terkait dengan risiko diabetes: penderita sindrom ovarium poli-
kistik, atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin, sindrom
metabolik, riwayat toleransi glukosa terganggu/glukosa darah puasa terganggu, riwayat
penyakit kardiovascular (stroke, penyempitan pembuluh darah koroner jantung,
pembuluh darah arteri kaki).
15
PATOFISIOLOGI TERJADINYA DIABETES MELLITUS
16
GEJALA DAN TANDA DIABETES MELLITUS
Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala
kronik.
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes mellitus adalah sebagai
berikut:
o Kesemutan.
o Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.
o Rasa tebal di kulit.
o Kram.
o Capai.
o Mudah mengantuk.
o Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata.
17
o Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.
o Gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual menurun, bahkan
impotensi.
o Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.
o Disfungsi ereksi pada pria.
18
8. Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT).
Pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk diagnosis DM adalah sebagai
berikut :
a. Tiga hari sebelumnya makan karbohidrat cukup
b. Kegiatan jasmani seprti yang biasa dilakukan
c. Puasa semalam, selama 10-12 jam
d. Periksa glukosa darah puasa
e. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum dalam waktu 5
menit.
f. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap boleh diminum air putih, namun
harus istirahat dan tidak merokok.
g. Untuk tujuan penelitian atau diagnosis DMG (diabetes Mellitus Gestasional),
dilakukan pemeriksaan glukosa darah pada 0, 1, 2, & 3 jam sebelum dan sesudah
minum beban glukosa 75 gram tersebut.
PENATALAKSANAAN
TUJUAN TERAPI DM
1. Edukasi
2. Perencanaan makan
3. Latihan jasmani
4. Obat-obatan
20
segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan
sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah
bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus
untuk itu.
1. EDUKASI
diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada sat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan apartisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Prinsip yang
perlu diperhatikan pada proses edukasi pasien diabet adalah :
- memberi dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya kecemasan
- memberikan informasi secara bertahap dimulai dengan hal yang sederhana
- lakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi
- diskusikan program ppengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan pasien.
Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang pengobatan yang
diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan lab
- lakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat tercapai
- berikan mottivasi dengan memberikan penghargaan
- libatkan keluarga dalam proses edukasi
- perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan
keluarganya
- gunakan alat bantu audiovisual
materi edukasi terdiri dari materi edukasi awal dan materi edukasi tingkat lanjut.
- perjalanan penyakit DM
- makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
- penyulit DM dan risikonya
- intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
21
- interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik dan obat hipoglikemi oral atau
insulin serta obat-obatan lain
- cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri
- mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit atau hipoglikemia
- pentingnya latihan jasmani yang teratur
- masalah khusus yang dihadapi
- pentingnya perawatan kaki
- cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan
sedangkan, materi edukasi tingkat lanjut adalah :
A. Karbohidrat
- sebesar 45-65 % total asupan energi
- pembatasan karbohidrat total <130 gram tidak dianjurkan
- makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi
22
- gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabet dapat makan sama
dengan makanan keluarga lain
- sukrosa tak boleh lebih dari 5 % total asupan energi
- pemanis alternatif dapat digunnakan sebagai pengganti gula asal tak melebihi batas
aman konsumsi harian
- makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai
bagian dari kebutuhan kalori sehari
B. Lemak
- asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25 % kebutuhan kalori . tak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi
- lemak jenuh<7% kebutuhan kalori
- lemak tak jenuh ganda <10% selebihnya dari lemak tak jenuh tunggal
- bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yag banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain daging berlemak dan susu penuh
- anjuran konsumsi kolesterol<300mg/hari
C. Protein
- dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi
- sumber yang baik adalah seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk
susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe
- pada pasien dengan nefropati diperlukan penurunan protein.
D. Natrium
- anjuran asupan natrium sama dengan masyarakat umum yaitu tak lebih dari 3000
mg atau sama dengan 6-7 gram garam dapur
- mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur
- sumber natrium antara lain garam dapur, vetsin, soda dan bahan pengawet seperti
natrium benzoaat dan natrium nitrit
E. Serat
- seperti halnya masyarakan penyandang DM dianjurkan mengkonsumsi cukup serat
- anjuran konsumsi adalah ±25 g/1000 kkal/hari
F. Pemanis alternatif
23
- dalam pemberiannya diberikan gula alkohol yang meliputi isomalt, lactitol, maltitol,
mannitol, sorbitol dan xylitol.
- Pemanis aman digunakan sepanjang tak melebihi batas aman.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
- Karbohidrat 60-70%
Protein 10-15%
Lemak 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan
kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman.
-
Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI)
-
= Indeks Massa Tubuh (IMT).
-
2
- IMTPasific)
Tabel Klasifikasi IMT (Asia = BB(kg)/TB(m )
Lingkar Perut
Risk of co-morbidities
Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status
gizi memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) - 10%
24
Status gizi:
BB kurang bila BB < 90% BBI
BB normal bila BB 90-110% BBI
BB lebih bila BB 110-120% BBI
Gemuk bila BB >120% BBI
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman dikalikan
kebutuhan kalori basal (30 kcal/kgBB untuk laki-laki; 25 kcal/kgBB untuk wanita).
Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktivitas (10-3%); untuk atlet dan
pekerja berat dapat lebih banyak lagi sesuai dengan kalori yang dikeluarkan dalam
kegiatannya), koreksi status gizi (bila gemuk, dikurangi; bila kurus, ditambah) dan kalori
yang dibutuhkan menghadapi stres akut (misalnya infeksi, dsb.) sesuai dengan kebutuhan.
Untuk masa pertumbuhan (anak dan dewasa muda) serta ibu hamil diperlukan perhitungan
tersendiri. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi
makanan ringan (10-15%) di antaranya. Pembagian porsi tersebut sejauh mungkin
disesuaikan dengan kebiasaan pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik.
Untuk pasien DM yang mengidap pula penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan
dengan penyakit penyertanya. Perlu diingatkan bahwa pengaturan makan pasien DM tidak
berbeda dengan orang normal, kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal.
Untuk kelompok sosial ekonomi rendah, makanan dengan komposisi karbohidrat sampai
70-75% juga memberikan hasil yang baik.Jumlah kandungan kolesterol <300 mg/hari.
Diusahakan lemak dari sumber asam lemak tidak jenuh dan menghindari asam lemak
jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hari. Diutamakan serat larut (soluble fibre).
25
pengaturan makan yang baik, adanya pengetahuan mengenai bahan penukar akan sangat
membantu pasien.
Ad Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan:
1. Kadar Glukosa Darah Mendekati Normal,
- Glukosa Puasa Berkisar 90-130 Mg/Dl.
- Glukosa Darah 2 Jam Setelah Makan
- Kadar Alc <7 %
2. Tekanan Darah <130/80 Mmhg
3. Profil Lipid :
- Kolesterol Ldl <100mg/Dl
- Kolesterol Hdl >40 Mg/Dl.
- Trigliserida <150 Mg/Dl
4. Berat Badan Senormal Mungkin.
3. LATIHAN JASMANI
4. Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis yang digunakan adalah OHO (Obat Hipoglikemi Oral) dan
insulin.
Penghambat glukoneogenesis
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glikosa hati , disamping
juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin dikontraindikasikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati serta pasien dengan
kecenderungan hipoksemia. Metformin dapat memberikan efek samping mual
oleh karena itu dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
27
B. Terapi Insulin
Macam Insulin:
29
kehamilan, DM dengan selulitis/gangrene/infeksi lainnya, DM kurus
(underweight), DM dengan fraktur, DM dengan hepatitis, DM dengan TBC
paru, DM pada Operasi, DM dengan grave’s disease, dan DM dengan kanker.
Hingga saat ini dikenal bermacam-macam teknologi pemakaian insulin, dari
yang paling sederhana sampai yang paling canggih, antara lain: insulin subkutan
dengan rotasi rasional, insulin intravena/jam dengan rumus minus satu dan insulin
subkutan/jam dengan rumus kali dua.
- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis
- Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan
puasa sedangkan defisiensi insulin prandial akanmenyebabkan hiperglikemia
setelah makan
- Terapi insulin untuk subtitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi
- Pemberian dapat pula secara kombinasi antar jenis insulin kerja cepat atau insulin
kerja pendek untuk koreksi defisiensi insulin prandial, dengan kerja menengah atau
kerja panjang untuk koreksi defisiensi insulin basal.
- Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemerikasaan kadar
glukosa darah harian
30
- Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4
hari bila sasaran terapi belum tercapai.
- Insulin umumnya disuntikkan dibawha kulit dengan arah alat suntik tegak lurus
terhadap cubitan permukaan kulit
- Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip
- Terdapat campuran insulin antara insulin kerja pendek dan kerja menengah dengan
perbandingan dosis tertentu. Apabila tak terdapat sediaan insulin campuran tersebut
atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri
antara kedua jenis insulin tersebut
- Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara penyimpanan insulin harus
dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik
- Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan
jarumnya dapat dipakai >1 kali oleh penyandang diabetes yang sama
- Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dengan semprit yang dipakai.
Dianjurkan dipakai konsentrasi yang tetap.
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut
dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang sering terjadi dan harus
diwaspadai.
A. Komplikasi Akut
Hipoglikemia
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa
pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi
gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran.
Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian.
Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl,
walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia
pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu
rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energy sehingga tidak
dapat berfungsi bahkan dapat rusak.
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat
dialami 1 – 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di Inggris
diperkirakan 2 – 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan oleh
32
serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih
jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin. Serangan
hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:
- Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)
- Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau ahli
gizi
- Berolah raga terlalu berat
- Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada seharusnya
- Minum alcohol
- Stress
- Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko
Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila
penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:
a) Dosis insulin yang berlebihan
b) Saat pemberian yang tidak tepat
c) Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik berlebihan
d) Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu terhadap insulin,
misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis
Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara
tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan
konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia,
polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila diketahui
dengan cepat, hiperglikemiadapat dicegah tidak menjadi parah.
Hipergikemia dapat memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti
gastroparesis, disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang
berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang
berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan
(HHS), yang keduanya dapat berakibat fatal dan membawa kematian.
Hiperglikemia dapat dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat.
33
B. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik diabetik dapat mengenai semuaalat tubuh mulai dari
kepala sampai ke kaki. Khususnya di bidang Ilmu Penyakit Dalam/ Diabetologi,
komplikasi kronik diabetik dibagi atas dua kelompokbesar yaitu komplikasi
makroangiopati dan komplikasimikroangiopati. Komplikasi kronik
makroangiopatiberarti komplikasi kronik yang mengenai pembuluhdarah besar
(makro) seperti pembuluh darah otak,jantung dan kaki. Sedang komplikasi
kronikmikroangiopati adalah komplikasi kronik yang terjadipada pembuluh darah
halus (mikro) seperti pada matadisebut retinopati diabetik, pada ginjal disebut
nefropatidiabetik dan pada saraf perifer atau neuropati diabetik.
Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1.
Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk
HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh
dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang
mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati,
nefropati, dan neuropati.
Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga
dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat terjadi dua orang yang
memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko komplikasi
mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk perkembangan
komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat keparahan diabetes. Satu-
satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat jalan
perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar gula
darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan suntikan insulin
multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai dengan monitoring kadar gula
darah mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya komplikasi mikrovaskular
sampai 60%.
1.) Retinopati diabetic
Komplikasi diabetes melitus pada mata dapat mengenai seluruh bagian dari
mata, tetapi kebutaan akibat diabetes melitus pada umumnya disebabkan oleh
kelainan pada lensa mata dan retina. Penelitian di negara barat menunjukkan bahwa
34
pada penderita diabetes melitus, kemungkinan mengalami kebutaan mencapai dua
puluh lima kali lebih sering bila dibandingkan dengan populasi non-diabetik.
Retinopati diabetik lebih sering terjadi pada penderita diabetes melitus yang
tergolong “insulin-dependent” dibandingkan dengan mereka yang “non-insulin
dependent”. Walaupun demikian mengingat jumlah penderita yang tergolong “non-
insulin dependent” jauh lebih banyak yaitu mencapai sembilan kali lebih banyak,
maka jumlah penderita “non-insulin dependent” yang mengalami retinopati diabetik
akan lebih banyak.
Dari hasil penelitian klinik di beberapa sentra pendidikan di Indonesia,
dilaporkan retinopati diabetik berkisar antara 13,1%-57,5%. Prevalensi retinopati
diabetik di Indonesia tidak banyak berbeda dengan yang dilaporkan di beberapa
negara ASEAN seperti di Philippine 25,0%, di Thailand 17,0%. Ada kecenderungan
bahwa angka kebutaan akibat diabetes melitus, khususnya akibat retinopati diabetik
di Indonesia akan cukup tinggi. Sedikitnya ada dua alasan yang menunjang
perkiraan tersebut. Pertama, sebagian dari penderita diabetes melitus di Indonesia
baru mengunjungi dokter setelah disertai dengan berbagai komplikasi. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka sebenarnya telah mengidap diabetes melitus bertahun-
tahun sebelum ke dokter. Kedua, pada mereka yang telah didiagnosis diabetes
melitus, oleh karena berbagai hambatan, sebagian besar dari mereka, kontrol
penyakitnya tidak dilakukan secara maksimal. Kedua hal tersebut dapat
mempercepat memburuknya komplikasi kronik yang sudah ada.
Pengobatan retinopati diabetik terdiri atas penatalaksanaan diabetes yang
baik, mencegah faktor resiko seperti hipertensi dan pengobatan fotokoagulasi
khususnya pada mereka dengan retinopati diabetik lanjut. Diperkenalkannya
pengobatan fotokoagulasi merupakan suatu kemajuan pesat di bidang pengobatan
retinopati diabetik. Pengobatan fotokuagulasi untuk retinopati diabetik sangat
menolong untuk mencegah kebutaan. Sangat disayangkan bahwa pengobatan
otokoagulasi di Indonesia baru terbatas pada beberapa kota besar yaitu Surabaya
dan Jakarta. Sedangkan di Indonesia bagian timur belum tersedia fasilitas
otokoagulasi yang menurut hemat kami sudah sangat dibutuhkan.
35
2.) Nefropati diabetic
Komplikasi kronik diabetes melitus pada ginjal dikenal sebagai nefropati
diabetik. Secara klinis dibedakan tiga tahap nefropati diabetik yaitu: a) nefropati
diabetik dini, b) nefropatidiabetik klinik, dan c) gagal ginjal terminal. Pada tahap
dini penderita sama sekali tanpa keluhan, dan tanda yang khas ialah ditemukannya
mikroalbuminuri (mikroalbuminuri = kadar albumin antara 20-250 mg dalam air
seni 24 jam). Pada tahap nefropati diabetik klinik, tanda yang khas ialah adanya
makroalbuminuri (makroalbuminuri = kadar albumin dalam air seni 24 jam > 250
mg). Sedang pada tahap gagal ginjal terminal penderita sudah dengan berbagai
gejala uremi dengan kadar ureum dan kreatinin yang meningkat.
Penelitian di luar negeri pada penderita insulin dependent diabetes melitus,
ternyata sekitar 30-40% dari penderita ini akan menjadi nefropati diabetik dini
dalam waktu 5-15 tahun setelah diketahui menderita diabetes. Setelah menderita
diabetes selama 10-15 tahun maka sekitar 30-40% penderita ini akan menjadi
nefropati diabetik klinik. Apabila telah menjadi nefropati diabetik klinik maka
perjalanan penyakit atau terus dan tidak dapat dihambat lagi. Dengan demikian
setelah 20-30 tahun menderita diabetes maka sekitar 40-50% akan mengalami gagal
ginjal yang membutuhkan cuci darah dan transplantasi ginjal. Pada penderita non-
insulin dependent diabetes melitus diperkirakan sekitar 5-10% dari penderita akan
menjadi gagal ginjal terminal. Secara persentasi tidak terlalu besar, tetapi mengingat
jumlah penderita non-insulin dependent lebih banyak maka secara keseluruhan
jumlah penderita penderita gagal ginjal terminal pada non-insulin dependent akan
lebih banyak.
Pengobatan nefropati diabetik terdiri atas control diabetes melitus yang baik
dan pencegahan terhadap faktor resiko khususnya hipertensi. Sejak lama diketahui
bahwa hipertensi bukan semata-mata sebagai akibat dari nefropati diabetik, tetapi
hipertensi yang menyertai akan mempercepat terjadinya nefropati disamping
memperburuk nefropati yang telah ada. Dari beberapa studi di luar negeri terbukti
bahwa pada penderita nefropati diabetik dini yang disertai hipertensi apabila
hipertensi tidak diobati maka 75-100% dari penderita tersebut, fungsi ginjal akan
memburuk dengan cepat dan akan berakhir dengan gagal ginjal.
36
Oleh karena itu tindakan pengobatan hipertensi sangat penting untuk
mencegah atau mempertahankan fungsi ginjal. Pada nefropati yang telah menjadi
gagal ginjal terminal maka tindakan pengobatan hanya terdiri atas hemodialisa/cuci
darah dan transplantasi ginjal. Tindakan hemodialisa hanya merupakan pengobatan
sementara untuk menunggu tindakan lanjut yaitu transplantasi ginjal. Hemodialisis
merupakan terapi pengganti yang paling banyak digunakan untuk penderita
nefropati dengan gagal ginjal terminal. Salah satu penelitian terakhir di Amerika
Serikat pada tahun 1987 yang dilakukan oleh Renal Data Service, menunjukkan
bahwa dari 26.137 penderita diabetes melitus dengan gagal ginjal terminal ternyata
sebanyak 66,0% atau 17.250 penderita sedang mendapat hemodialisis. Sejak
dimulainya transplantasi ginjal pada tahun 1970, banyak kemajuan yang telah
dicapai. Walaupun demikian sejak saat itu telah terbayangkan bahwa transplantasi
ginjal pada penderita diabetes melitus tidak mempunyai harapan sebaik hasil
transplantasi pada mereka yang bukan penderita diabetes melitus. Hal ini dapat
dimengerti bahwa dengan transplantasi ginjal saja tanpa memperbaiki penyakit
dasar diabetes mellitus maka ginjal yang baru akan mengalami nefropati diabetik
setelah beberapa tahun. Dari salah satu studi angka panjang di University of
Minesotta Hospital di Amerika Serikat antara tahun 1966 sampai tahun 1978,
ternyata dari 265 penderita diabetes melitus yang telah menapat transplantasi ginjal,
sekitar 100 penderita masih hidup setelah 10 tahun transplantasi dan dari jumlah ini
sekitar 41,0% masih hidup sampai 15 tahun dengan keadaan ginjal yang masih baik.
3.) Penyakit arteri koroner
Ada beberapa perbedaan antara penyakit jantung koroner pada penderita
diabetes melitus dan populasi non-diabetes. Perbedaan tersebut meliputi: a)
prevalensi yang lebih tinggi, b) rata-rata umur yang lebih muda, c) wanita lebih
sering dibandingkan pria, d) pada penderita diabetes melitus lebih sering terjadi
sumbatan arteri koroner multipel, e) komplikasi akibat infark miokard akut lebih
berat, dan f) angka kematian infark miokard akut lebih tinggi.
Telah lama diketahui bahwa prevalensi penyakit arteri koroner sangat tinggi
pada penderita diabetes melitus. Penelitian-penelitian terakhir telah membuktikan
bahwa penyakit diabetes melitus merupakan faktor resiko utama penyakit arteri
koroner.
37
Di Indonesia beberapa sentra pendidikan telah melaporkan angka prevalensi
penyakit jantung koroner pada penderita diabetes yang bervariasi antara 8,4%-
24,1%. Makin lama menderita diabetes melitus makin besar kemungkinan
mengalami penyakit arteri koroner. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan pada
penderita diabetes melitus, bahwa umumnya mereka juga “kaya” akan faktor resiko
lain seperti hipertensi, hiperkolesterolemi dan obesitas. Gabungan beberapa faktor
ini dengan sendirinya mempertinggi kecenderungan untuk mengalami penyakit
arteri koroner.
Pengobatan penyakit arteri koroner pada penderita diabetes melitus sama
dengan pada non-diabetes. Bedah jantung bypass pada penderita diabetes ternyata
mempunyai angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang
non-diabetes, disamping itu ketahanan hidup 10 tahun lebih rendah dibandingkan
dengan non-diabetes.
Komplikasi Makrovaskular
3 jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita
diabetes adalah penyakit jantung koroner (coronary heart disease=CAD), penyakit
pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (peripheral vascular
disease = PVD).
Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1,
namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita
DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan.
Kombinasi dari penyakit-penyakit komplikasi makrovaskular dikenal dengan
berbagai nama, antara lain Syndrome X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome,
HyperinsulinemicSyndrome, atau Insulin Resistance Syndrome. Karena penyakit-
penyakit jantung sangat besar risikonya pada penderita diabetes, maka pencegahan
komplikasi terhadap jantung harus dilakukan sangat penting dilakukan, termasuk
pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes
sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk
itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya, termasuk mengupayakan
berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolahraga secara teratur, tidak
merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya.
38
1.) Kaki diabetic
Kaki diabetik adalah suatu komplikasi kronik yang mengenai kaki. Istilah
kaki diabetik menyangkut semua kelainan pada kaki termasuk kelainan pada tulang.
Tetapi yang paling sering ditemukan di klinik ialah kaki diabetik infeksi. Kelainan
kaki diabetik merupakan suatu komplikasi yang paling mengesalkan baik bagi
penderita maupun dokter. Rawat inap yang lama serta kebutuhan antibiotik yang
mahal akan membutuhkan biaya tinggi yang harus ditanggung oleh penderita.
Sebaliknya bagi dokter dibutuhkan kesabaran untuk merawat kaki diabetik. Adanya
komplikasi kaki diabetic sangat menakutkan penderita oleh karena adanya kelainan
tersebut selalu dikaitkan dengan kemungkinan amputasi kaki.
Penelitian klinik dari beberapa sentra di Indonesia melaporkan prevalensi
kaki diabetik berkisar antara 17,3% sampai 32,9% dari seluruh penderita diabetes
melitus yang dirawat di rumah sakit. Penyebab dari kaki diabetik adalah
multifaktor, dimana tiga faktor utama memegang peranan yaitu: a) iskemi akibat
kelainan pembuluh darah, b) neuropati, dan c) infeksi. Ketiga faktor ini saling
mempengaruhi satu sama lain. Iskemi dan neuropati merupakan factor utama yang
memegang peranan terjadinya ulkus pada kaki penderita diabetes. Setiap terjadinya
ulkus pada kaki akan mudah diikuti oleh infeksi, sehingga dapatlah dikatakan
bahwa sangat jarang kaki diabetik tanpa disertai infeksi. Biakkan kuman dari nanah
kaki diabetic sering memperlihatkan pertumbuhan kuman yang lebih dari satu, hal
mana lebih mempersulit pemilihan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman yang
tumbuh.
Pengobatan penderita kaki diabetik sebaiknya dilakukan terpadu antara
seorang ahli penyakit dalam dan seorang ahli bedah. Pengobatan bedah tidaklah
selalu harus berakhir dengan amputasi. Walaupun demikian pada kasus yang berat
memang dengan sangat menyedihkan kaki penderita haruslah direlakan untuk
diamputasi. Dalam hal ini pertimbangan amputasi haruslah didahului dengan
pendekatan yang baik pada penderita agar supaya proses amputasi dapat diterima
sebagai satu-satunya pengobatan penyelamatan jiwa penderita
2.) Tuberkulosis paru
Di negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Australia, tuberkulosis
paru tidak pernah dilaporkan sebagai komplikasi diabetes. Lain halnya di negara
39
yang sedang berkembang atau negara miskin, tuberculosis paru merupakan salah
satu masalah utama penderita diabetes melitus. Penelitian klinik di beberapa sentra
di Indonesia melaporkan prevalensi tuberkulosis paru yang bervariasi antara 15,3%-
29,5%. Di Ujung Pandang telah dilakukan beberapa kali penelitian dan ternyata
prevalensi tuberkulosis paru cukup tinggi bila dibandingkan dengan di tempat lain.
Tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus mempunyai masalah tersendiri
oleh karena selain pengobatan yang berlangsung lama, sebagian besar dari penderita
mempunyai keadaan gizi yang kurus sehingga membutuhkan pengobatan dengan
suntikan insulin. Seperti kita sadari suntikan insulin yang dua sampai tiga kali sehari
selalu merupakan masalah bagi penderita untuk menerima cara pengobatan tersebut.
40
BAB III
Teori Kasus
Didiagnosis DM tipe II bila pasien: Pada Ny.S:
Secara klinis terdapat gejala DM, Pasien memiliki riwayat DM sejak 5
seperti poliuria, polidipsi, polifagi, tahun, namun terkadang pasien dapat
kesemutan, gatal mengontrol makanan yang dimakan
Dikonfirmasi dengan pemeriksaan gula MRS dengan ulkus diabetik di telapak
darah sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl. Atau kaki kiri
hasil gula darah puasa ≥ 126 mg/dl Nilai GDS 306 mg/dl
HbA1c ≤ 7%
Didiagnosis ulkus DM pada pedis bila Luka terbuka pada telapak kaki kiri, yang
pasien: tidak dirasakan, sehingga membengkan
Komplikasi kronik Diabetes mellitus dan timbul nanah..
berupa luka terbuka pada permukaan kulit
yang dapat disertai adanya kematian
jaringan setempat. terjadi insusifiensi
vaskuler dan neuropati, yang lebih lanjut
terdapat luka pada penderita yang sering
tidak dirasakan
Didiagnosis hipertensi menurut JNC 7: Riwayat pernah Hipertensi stage 2,
Pre-Hipertensi (TDS 120-139 mmHg
TD 160/100 mmHg tahun 2007
atau TDD 80-89 mmHg
Follow up TD terakhir tgl 14/10/11
Stage 1 (TDS 140-159 mmHg atau
TD 120/20 (normal)
TDD 90-99 mmHg)
Stage 2 (TDS ≥160 mmHg atau TDD
≥100 mmHg)
Kesimpulan Diagnosis Pasien : Diabetes mellitus tipe II dengan komplikasi ulkus diabetik.
Untuk menetapkan rasional tidaknya terapi yang diberikan, harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
41
1. Obat yang diberikan harus tepat indikasi sesuai dengan standar medis/panduan klinis atau
sesuai dengan penyakit yang dihadapinya. Contoh penggunaan obat tidak rasional: penggunaan
antibiotik untuk diare yang non spesifik, penggunaan antibiotik untuk infeksi virus saluran
nafas akut.
2. Tepat pasien, tidak ada kontra indikasi dan kemungkinan efek yang tidak diinginkan, misal
pasien yang mempunyai gangguan iritasi lambung tidak diberikan analgesik yang mempunyai
efek samping mengiritasi lambung.
3. Tepat obat, obat berdasarkan efektifitasnya, keamanannya dan dosis.
4. Tepat penggunaan obat artinya pasien mendapat informasi yang relevan, penting dan jelas
mengenai kondisinya dan obat yang diberikan (aturan minum, sesudah atau sebelum makan,
dll)
5. Tepat monitoring, artinya efek obat yang diketahui dan tidak diketahui dipantau dengan baik.
Reguler Insulin
Pada pasien ini diberikan Reguler Insulin yang merupakan short acting dapat
meningkatkan penyimpanan lemak dan glukosa dalam sel khusus dan mempengaruhi
pertumbuhan sel serta fungsi metabolisme berbagai macam jaringan melalui ikatan dengan
reseptor insulin di jaringan. Penghentian OHO dilalukan apabila kadar glukosa darah terlalu
tinggi, sehinngga digunakan regular insulin.
No Teori Kasus Rasional
Ya Tidak
1 Indikasi : Diabetes Mellitus Diabetes Melitus tipe II √
tipe I dan tipe II
2 Dosis : 0,2-1 diberikan RI 3x6 iu √
iu/kgBB/hari. Vial 40 IU/ml
x 10 ml, 100 IU/mlx10 ml,
vial cartridge 100 IU/ml x 3
ml. Dapat diberikan SC atau
IV pada kondisi ketoasidosis.
Dosis tergantung kondisi
pasien dan kadar gula darah.
42
3 Interaksi obat: tiroksin m Tidak didapatkan obat √
yang dapat
eningkatkan kebutuhan
menimbulkan interaksi
insulin, bloker, MAO
Inhibitor, kontrasepsi oral,
penggunaan alkohol yang
dapat meyebabkan
hipoglikemi
Ranitidine
Secara kompetitif Ranitidin menghambat ikatan histamin dengan H2 reseptor di
lambung sehingga cAMP intrasel menurun, maka sekresi asam lambung menurun. Pada
kasus ini, terdapat gejala nyeri ulu hati yang yang timbul mulai hari ke-3 dan bersifat
hilang-timbul.
Pada pasien ini ditemukan gejala nyeri ulu hati, sehingga pada pasien ini dibutuhkan
pemberian Ranitidin.
No Teori Kasus rasional
Ya tidak
1 Indikasi: nyeri ulu hati, Nyeri ulu hati √
Ulkus duodenum, ulkus
gaster, GERD
2 Dosis dan sediaan: Tablet Diberikan inj Ranitidin √
150 mg (Acran), Tablet film 3x1 amp
coated 300 mg (Indoran),
150 mg (Radin), Kaplet 300
mg (Acran), Ampul 25
mg/ml (Antid). Dosis: per
43
oral dewasa 150 mg 2x/hari
atau 300 mg 1x/hari sebelum
tidur, pemeliharaan 150 mg
1x/hari sebelum tidur. Anak
2-4 mg/kg/hari dibagi 2
dosis. Maksimal 300
mg/hari. Untuk iv/im dewasa
50 mg/dosis tiap 6-8 jam,
anak 2-4 mg/kg/hari dibagi
3-4 dosis, maksimal 200
mg/hari.
Amlodipin
Penggunaan amlodipin diindikasikan sebagai terapi antihipertensi. Pada pasien ini didapatkan
hasil follow-up hari ke hari mengalami peningkatan tekanan darah. Sehingga memang harus
menggunakan amlodipin sebagai golongan kalsium kanal bloker.
Ya Tidak
1 Indikasi: √
sebagai terapi terhadap
Hipertensi dan angina
hipertensi
stabil
2 Kontraindikasi: √
tidak ada kontraindikasi
sensitive
pada pasien
dihidropiridin
44
3 Dosis: √
4 Efek samping: √
Edema perifer, sakit Pada kasus ini, tidak
ditemukan adanya efek
kepala, flushing, samping dari amlodipin
palpitasi, mual,
-
bradikardia, &
hipotensi
5 Interaksi Obat : √
Penggunaannya tidak Pasien diberikan obat
bias digunakan amlodipin pada pagi hari.
bersamaan dengan β-
bloker (Bisoprolol)
dapat menimburkan
hipotensi dan
gangguan aritmia
jantung
INTERHISTIN
Penggunaan interhistin diindikasikan untuk sebagai terapi anti alergi dan anti histamine
Pada kasus ini, terdapat keluhan gatal-gatal yang timbul mulai hari pertama masuk Rumah
Sakit.
No Teori Kasus rasional
Ya tidak
1 Indikasi: Alergi, rhinitis Gatal-gatal pada √
seluruh badan
dan urtikaria
2 Dosis dan sediaan: tab.& Diberikan tab. 3x1 √
45
syr ( 50 mg/ml) Dws &
anak >10 th: 2-6 tab/hari
atau 10-20 ml/hr, 2,5 th: 1-
3 tab./hari & 5-15 ml/hr
3 Efek samping obat: - √
Sedasi, gangguan GIT,
efek antimuskarinik,
lemas otot, tinnitus,
euphoria dan sakit kepala
Kloramfenokol
Merupakan obat antimikroba yang bersifat bakteriostatik. Pada pasien ini terlihat adanya
luka di bagian tumit yang dialami sejak 3 miggu yang lalu serta ditambah dengan adanya
pus yang menandak bahwa pasien ini terinfeksi.
No Teori Kasus rasional
Ya tidak
1 Indikasi: infeksi, demam Luka pada tumit dan √
timbul pus ( abses)
tifoid,dll
2 Dosis dan sediaan: kaps: Diberikan inj. 1 gr 4x1 √
250 mg dws : 50 mg/kg
BB dbg 3-4 dosis, 60 ml ,
vial dws&anak: 50 mg/ kg
BB/ 4 dosis.
3 Efek samping - √
obat: anemia
aplastik,
kemerahan kulit,
urtikaria,
anafilaksis,
mual, muntah,
diare, depresi
46
delirium dan
sakit kepala
ALPRAZOLAM
Merupakan ansiolitik golongan benzodiazepine yang paling banyak digunakan. Obat ini
telah menggantikan barbiturate dan meprobamat dalam penggobatan ansietas karena
benzodiazepine lebih efektif dan aman.
No Teori Kasus Rasional
Ya Tidak
1 Indikasi: terapi jangka pendek digunakan sebagai terapi √
untuk ansietas sedang atau berat ansiolitik, agar pasien
dan ansietas yg berhubungan dg dapat istirahat dengan
depresi nyaman.
47
AMIKASIN
Golongan antibiotic aminoglikosida, bersifat bakterisid yang dikenal toksik terhadap saraf otak
(VIII kompononen vestibular maupun akustik (ototoksik)) dan nefrotoksik. Aktifitas antibakterinya
tertuju kepada basil-gram negative yang aerobic, mekanisme kerja amikasin, terikat ribosom 30 S
dan menghambat sintesis protein dan menyebabkan salah baca dalam penerjemahan mRNA.
METFORMIN
Merupakan OHO gologan biguanid yang kerjanya menyebebkan meningkatkan sensitifitas jaringan
otot dan adipose terhadap insulin.
48
2 Dosis : awal 2 x 500 mg, maintenance Metformin 3 x 500 √
3 x 500 mg, dosis maksimal 2,5 gram. mg
obat diminum sewaktu makan.
DEXANTA
ODANSENTRON
MEROPENEM
Merupakan antibiotic golongan B-lakktam lain yang tidak tergolong penisilin maupun sefalosporin.
Meropenem derivate dimetilkarbamoil, pirolidil dari tienamisin. Obat ini tidak dirusak oleh enzim
dipeptidase di tubuli ginjal, sehingga tidak perlu dikombinasikan dengan silastatin, obat ini kurang
menyebabkan kejang disbandingkan dengan imepenem.
50
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
1. Penggunaan Reguler Insulin rasional dilihat dari indikasi (rasional), dosis (rasional),
pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
2. Penggunaan Ranitidine rasional dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
3. Penggunaan Amlodipine rasional dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping( rasional).
4. Penggunaan Interhistine rasional dilihat dari Indikasi ( rasional), dosis (rasional),
pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
5. Penggunaan Kloramfenikol rasional dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional),
pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional)
4.1 Saran
Adapun saran yang dapat diperoleh setelah menyelesaikan laporan kasus ini yaitu
sebagai berikut:
1. Diharapkan dokumentasi obat (jenis, dosis, bentuk sediaan dan cara pemberian)
dapat lebih jelas dicantumkan dalam status pasien, sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam follow-up pasien selanjutnya.
2. Hasil dari uji kepekaan anti-biotik sebaiknya segera digunakan dalam pemilihan
terapi anti-biotik, sehingga tidak terjadi multi-drugs terapi anti-biotik yang telah
resisten
51
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswarna, S.G., dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI
MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 9. Jakarta. PT. Infomaster Lisensi dari CMP
Medica. 2009/2010
52