Anda di halaman 1dari 18

Penatalaksanaan Gagal Nafas Akut dengan Asidosis Respiratory pada

Keadaan Emergency
Dian Priscilla Rantetoding

102014192

priskydiann@gmail.com

FAKULTAS KEDOKTERAN KRISTEN KRIDA WACANA

Kampus II Ukrida Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510

PENDAHULUAN

Respirasi adalah pertukaran gas antara makhluk hidup dengan lingkungannya,

sedangkan peran dan fungsi respirasi adalah menyediakan oksigen (O2) serta mengeluarkan

gas karbondioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi respirasi merupakan fungsi yang vital bagi

kehidupan, dimana O2 merupakan sumber tenaga bagi tubuh yang harus dipasok secara

terus-menerus, sedangkan CO2 merupakan bahan toksik yang harus dikeluarkan dari tubuh.1

Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan suatu keadaan

pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan

normal akan menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana sistem pulmoner tidak dapat

mencukupi kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO2 dan oksigenasi darah. Gagal napas

terjadi bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) < 60 mmHg atau tekanan parsial

karbondioksida arterial (PCO2) > 45 mmHg.1,2

Skenario 12

Pasien laki-laki usia 70 tahun dating ke IGD dengan sesak nafas dan penurunan kesadaran.
Dari alloanamnesis didapatkan pasien mempunyai kebiasaan merokok satu bungkus
perhari selama kurang lebih dua puluh tahun.
Kesadaran E3M5V4. Tanda vital: TD; 90/50 mmHg, FN 115x/menit, RR 30x/menit, suhu
37,6C, SpO2 95%, terlihat retraksi suprasternal pada saat inspirasi dan ekspirasi yang
memanjang disertai wheezing pada saat auskultasi. Hasil AGD pH 7,234, PO2 67 mmHg,
PCO2 57 mmHg, BE -5 mEq/L, HCO3 17,4 mEq/L, SaO4 94%.

Komponen Nilai Normal Satuan


pH 7,35-7,45
PaCO2 35-45 mmHg
PaO2 80-100 mmHg
HCO3 20-26 mEq/L
Total CO2 21-27 mEq/L
Base ekses (-)2,5-(+)2,5 mEq/L
Saturasi O2 95-98 %

Anemnesis
Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat penyakit
dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan lengkap
karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan diagnosis.
Sistematika yang lazim dalam anamnesis, yaitu identitas, riwayat penyakit, dan riwayat
perjalanan penyakit.Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis)
atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (allo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak
memungkinkan untuk diwawancarai.Penanganan dari pasien ini harus dimulai dengan
riwayat secara menyeluruh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk melakukan
diagnosis.3
Identitas Pasien
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agma, status perkawinan,
pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut sering berkaitan
dengan masalah klinik maupun gangguan sistem organ tertentu.3
Keluhan Utama

Keluhan utama adalah keluhan terpenting yang membawa pasien minta pertolongan
dokter atau petugas kesehatan lainnya.Keluhan utama biasanya dituliskan secara singkat
beserta lamanya.Sering menjadi alasan untuk meminta pertolongan kesehatan, diikuti oleh
mereka mengalami kesulitan untuk bernapas, retraksi dan sianosis.3
Riwayat Penyakit Sekarang

Adakahsesak nafas, mual, muntah, takipneu, dispneu dan suara mengi saat
bernapas? biasanya berupa pernafasan yang cepat dan dangkal. Batuk kering dan demam
yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai seharian. Kulit terlihat pucat atau biru.3

Riwayat Penyakit Dahulu

Apakah pasien pernah dirawat di rumah sakit?Apakah ada riwayat trauma ? Apakah
ada riwayat perdarahan? Sepsis atau syok? Pneumonia? Aspirasi lambung? Apakah pernah
mengalami hal yang sama? Apakah penyakit kronis pada organ-organ (saluran cerna,
kardiovaskuler, organ pernafasan dan ginjal).3

Obat-obatan

Obat apa yang sedang dikonsumsi pasien? apakah baru-baru ini ada perubahan
penggunaan obat? adakah respons terhadap terapi terdahulu? Kita perlu tanyakan.3

Alergi

Adakah alergi obat atau antigen lingkungan.3

Riwayat Keluarga dan Sosial

Adakah riwayat penyakit dalam keluarga?Apa pekerjaan pasien? Bagaimana


lingkungan tempat tinggalnya? Apakah rutin dalam olahraga? Menanyakan aktivitas,
makanan sehari-hari dan ekonomi.3

Pemeriksaan Fisik

Perhatikan dengan cermat keadaan-keadaan baik yang langsung terlihat, maupun saat
pemeriksaan dengan menggunakan alat bantu. Hal-hal yang harus diperhatikan:3,4

1. Kesadaran umum pasien: Apakah pasien tampak sakit ringan atau berat? Compos
mentis, semua normal?
2. Periksa tanda-tanda vital pasien, seperti frekuensi nadi, frekuensi nafas,
suhu,tekanan darah.3

Pada kasus ARDS penting dilakukan 4 tahap pemeriksaan fisik yaitu :

1. Inspeksi
Dimana pada kondisi ini lihat dengan teliti dan menyeluruh, adakah kelainan yang
Nampak jelas (misalnya benjolan,ketidaksadaran) , adakah daerah yang pucat, bisa
juga dilihat dengan maneuver tertentu seperti batuk,bernafas atau pergerakan.
- Jalan nafas
Apakah jalan nafas tidak terhalang?Tampak nafas melemah?
Apakah pasien bernafas dengan muidah dan berbicara dengan nyaman?
- Warna Kulit.4
2. Palpasi
- Apakah ada nyeri tekan
Dimulai dengan ringan dan lembut,kemudian tekan lebih kuat.
- Adakah gangguan sirkulasi seperti akral dingin dan lainnya?
- Denyut nadi (takikardi,bradikardi)?
3. Perkusi
Dengar dan rasakan adanya perbedaan, dibandingkan pada kedua sisi.
4. Auskultasi
Pola nafas : Adakah murmur,gallop,ronkhi.4

Pemeriksaan Penunjang

 Prosedur Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah)5

Pada pemeriksaan ini diperlukan sedikit sampel darah yang diambil dari pembuluh
darah arteri yang ada di pergelangan tangan, lengan, atau pangkal paha. Oleh sebab itu
prosedur ini disebut juga dengan pemeriksaan analisa gas darah arteri. Dokter atau petugas
lab pertama-tama akan mensterilkan tempat suntikan dengan cairan antiseptik. Setelah
mereka menemukan arteri, mereka akan memasukkan jarum ke dalam arteri dan mengambil
darah. Mungkin Anda akan sedikit merasakan sakit saat jarum suntik masuk ke dalam kulit,
tapi tentu ini tidak begitu menyakitkan. Setelah dirasa cukup, kemudian jarum dicabut, dan
luka tusukan ditutup dengan perban. Sampel darah kemudian akan dianalisa oleh mesin
portabel atau mesin yang ada di laboratorium. Sampel darah harus dianalisis dalam waktu
10 menit dari waktu pengambilan untuk memastikan hasil tes yang akurat.

PO2arteri 100 mmHg menunjukan oksigenisasi darah arteri yang efisien. Fungsi
pengeluaran/eliminasi CO2 yang efektif diperlihatkan dengan kadar PCO2 arterial dibawah
40 mmHg, kadar ini harus pada status asam basa normal. Kondisi yang berbeda ditemukan
pada dua orang pasien yang sama-sama mempunyai PO2 arterial 100 mmHg, tetapi pasien
pertama bernapas pada suasana udara ruangan (F1O2= 0,21), sedangkan pasien kedua
bernapas dengan O2 100% (F1O2 = 1,0). Pasien pertama melakukan pertukaran oksigen
antara atmofser dengan darah arteri secara lebih efisien.

PaO2 mengukur efektivitas oksigenisasi; hubungan antara konsentrasi oksigen inspirasi dan
PaO2 merupakan petunjuk proses oksigenisasi yang efisien. PCO2 arterial menggambarkan
fungsi efektivitas ventilasi. Dua orang pasien yang sama-sama mempunyai PCO2 arterial 40
mmHg mempunyai ventilasi yang sama efektifnya. Tetapi jika pasien pertama
membutuhkan ventilasi semenit yang lebih tinggi (volume udara respirasi dalam 1 menit)
daripada pasien kedua, berarti pasien pertama kurang efisien dalam mengeliminasikan CO2
daripada pasien kedua yang mempunyai ventilasi semenit yang lebih rendah.

Jadi, PaCO2 ialah ukuran efektivitas ventilasi; hubungan antara PaCO2 dan ventilasi
semenit (VE) merefleksikan efisiensi ventilasi.

Dalam keadaan normal tubuh manusia memproduksi asam dari hasil metabolisme sel
(protein, karbohidrat, lemak) dalam bentuk asam volatile (asam karbonat) dan nonvolatile
(metabolic acids, laktat, keton, sulfat, fosfat, dll). Untuk mempertahankan keseimbangan
asambasa (homeostasis), kelebihan asam karbonat akan dikeluarkan melalui paru-paru
dalam bentuk karbondioksida, dan kelebihan asam nonvolatile akan dinetralisasikan oleh
sistem dapar (buffer). Fungsi sel manusia akan berlangsung dengan baik di lingkungan pH
normal (pH 7,35 – 7,45) atau kadar ion hidrogen (H+ ) sekitar 40 nmol/L, suatu kadar yang
sangat kecil sekali. Oleh karena itu tubuh mengaturnya dengan sangat ketat melalui proses
yang sangat kompleks. Untuk mempertahankan pH (ion hidrogen), tubuh mempunyai tiga
sistem utama pengatur keseimbangan asam-basa, yaitu sistem dapar (buffer), paru, dan
ginjal (difasilitasi oleh hati). Sistem dapar hanya untuk meminimalisir perubahan pH,
sedangkan paru dan ginjal yang mempunyai peran penting dalam pengaturan keseimbangan
asam-basa. Pengaturan keseimbangan asam basa oleh paru dilakukan dengat sangat cepat
(menit) melalui pengaturan PaCO2, dan ginjal bekerja lebih lambat (jam) untuk mengatur
kelebihan asam/basa melalui sekresi/reabsorbsi klor dalam bentuk amonium klorida dengan
bantuan ion NH4+ yang difasilitasi oleh hati melalui sekresi/produksi glutamine (Stewart
approach) dan atau sekresi/reabsorbsi bikarbonat (traditional approach). Bila mekanisme
homeostasis ini tidak bekerja dengan sempurna maka akan terjadi gangguan keseimbangan
asam-basa.

Secara klinis gangguan keseimbangan asam-basa yang disebabkan karena asam volatile
disebut respiratorik (asidosis/alkalosis respiratorik) dan asam nonvolatile disebut metabolik
(asidosis/alkalosis metabolik). Penilaian terhadap gangguan asam-basa respiratorik
didasarkan pada kadar karbondioksida (PaCO2).Sedangkan untuk gangguan asam-basa
metabolik, terdapat tiga cara penilaian, yaitu dengan menilai [HCO3- ], SBE (standardized
base excess), dan SID (strong ions difference).

a. Karbondioksida (PaCO2)

Dalam keadaan normal tubuh mempertahankan kadar karbondioksida darah antara 35-
45mmHg (sekitar 40mmHg) dengan mengatur ventilasi alveolar. Bila peningkatan atau
penurunan ventilasi alveolar tidak sebanding dengan produksi karbondioksida, maka akan
terjadi gangguan keseimbangan asam-basa respiratorik. Di dalam darah karbondioksida
akan bereaksi dengan molekul air membentuk H2CO3 yang kemudian berdisosiasi menjadi
ion hidrogen (H+ ) dan ion bikarbonat (HCO3 - ) reaksi tersebut dikatalisasi oleh enzim
karbonat anhidrase, seperti terlihat pada persamaan di bawah ini:

𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛𝑎𝑡𝑎𝑛ℎ𝑖𝑑𝑟𝑎𝑠𝑒
𝐶𝑂2 + 𝐻2 𝑂 ↔ 𝐻2 𝐶𝑂3 ↔ 𝐻 + + 𝐻𝐶𝑂3−
Dari reaksi kimia tersebut diatas, peningkatan PaCO2 akan menaikkan kadar ion hidrogen
dengan demikian menurunkan pH (asidosis). Sebaliknya bila terjadi penurunan PaCO2
akan menurunkan ion hidrogen (pH naik, alkalosis).

b. Ion bikarbonat (HCO3- )

Secara tradisional berdasarkan persamaan Henderson-Hasselbalch (H-H) di bawah ini,

pH = pK x log [HCO3 - /(0,03 x PaCO2)]

ion bikarbonat dapat dipakai sebagai penafsir asidosis/alkalosis metabolik. Bila kadar ion
bikarbonat menurun dari normal menandakan asidosis dan bila kadar ion bikarbonat
meningkat adalah alkalosis. Kadar ion bikarbonat normal antara 22 – 26 mEq/L (sekitar 24
mEq/L). Sebenarnya penggunaan ion bikarbonat (HCO3- ) sebagai petanda
asidosis/alkalosis tidaklah begitu tepat karena ion bikarbonat tidak saja dipengaruhi oleh
asam metabolik tetapi juga oleh asam volatile (PaCO2, respiratorik). Meskipun demikian
hubungan antara kadar ion bikarbonat dan PaCO2 dapat dipakai untuk memperkirakan
besarnya kompensasi tubuh. Perhitungan didasari atas asumsi sistem buffer bikarbonat akan
menetralisir kelebihan asam nonvolatine (asam metabolik), satu ion bikarbonat akan
mengikat satu ion hidrogen asam nonvolatile, ion bikarbonat akan menurun sebanding
dengan ion hidrogen, jumlah total kelebihan asam nonvolatile sama dengan jumlah
penurunan ion bikarbonat dari nilai normal. Kelainan asam-basa yang terjadi dapat
disimpulkan berdasarkan perbandingan bikarbonat atau PaCO2 yang terukur dengan yang
diharapkan dari proses kompensasi.
c. Standardized Base Excess (SBE)

Karena persamaan H-H tidak dapat menentukan beratnya gangguan keseimbangan


asambasa maka beberapa ahli telah menemukan cara untuk mengukur derajat kelainan
asam-basa, yaitu dengan menghitung buffer base (Singer dan Hasting, 1948), base
excess/deficit (SiggardAnderson, 1958), dan standardized base excess/defisit (SBE). 496
Kation Anion Na+ Kation lain K+ ClHCO3 - Protein Sulfat, Fosfat, Anion organik, Anion
tak terukur Anion Gap Buffer base (BB) adalah jumlah ion bikarbonat dan ion nonvolatile
buffer (terutama albumin, fosfat dan hemoglobin). BB secara tidak langsung dihitung dari
selisih jumlah seluruh kation dan anion kuat di dalam darah (pada saat itu yang dapat
diperiksa hanya ion natrium, kalium dan klor), karena menurut kaidah elektronetralitas
selisih jumlah kation dan anion kuat tersebut sama dengan jumlah anion lemah (bikarbonat,
protein, fosfat). Peningkatan BB terjadi pada alkalosis metabolik dan penurunan BB terjadi
pada asidosis metabolik. Kadar BB normal sama dengan Na+ + K+ - Cl

Base excess/deficit (BE/D) adalah cara praktis untuk mengetahui berapa besar kelainan
asam-basa metabolik, yaitu dengan melakukan titrasi invitro pada sediaan darah dengan
asam/basa kuat untuk mengembalikan pH menjadi normal (pH 7.4) dengan syarat faktor
respiratorik ditiadakan (PCO2 contoh darah dibuat 40 mmHg dan suhu 37oC). Perdefinisi
BE/D adalah jumlah asam/basa kuat yang dibutuhkan untuk menaikkan/menurunkan pH
menjadi 7.4 pada PaCO2 40 mmHg dan suhu 37oC. Dengan perkataan lain BE/D adalah
besarnya penyimpangan kadar BB dari nilai normal. Kadar normal BE antara -2 s/d
2mEq/L. Asidosis terjadi pada BE < -2 mEq/L dan alkalosis BE > 2mEq/L.

Sebagaimana telah diuraikan di atas tentang cara analisis hasil pemeriksaan asam-basa.
Secara cepat gangguan keseimbangan asam-basa dapat diketahui bila:

1. pH darah arteri tidak normal (pH: 7,35-7,45), pH7,45 alkalemia.


2. PaCO2 tidak normal (35-45mmHg).
3. Konsentrasi bikarbonat tidak normal (22-26mEq/L).
4. SBE antara 3 dan -3.

Untuk mengetahui apakah kelainan itu sederhana (simple), peran kompensasi, dan
campuran (mixed) diperlukan analisis korelasi antara pH,PaCO2, bikarbonat dan SBE
seperti telah diuraikan sebelumnya. Cara paling mudah untuk analisis asam-basa dibuat
oleh Grogono berdasarkan kombinasi pH, PaCO2 dan SBE, yaitu berdasarkan kombinasi
perhitungan (pH, PaCO2 dan SBE), sebagai berikut:

 Langkah pertama: Lihat pH, pH7,45 alkalemia (alkalosis).


 Langkah ke dua: Lihat PaCO2, apakah perubahan PaCO2 sesuai pH, bila sesuai
respiratorik. Kecuali ada faktor metabolik yang menyebabkan perubahan pada
PaCO2 akibat mekanisme kompensasi.Contoh bila PaCO2 asam (>normal naik) dan
pH asam (turun) adalah asisosis respiratorik, demikian sebaliknya.
 Langkah ke tiga: Lihat SBE (komponen metabolik), apakah nilai SBE sesuai pH,
bila sesuai metabolik. Kecuali ada faktor respiratorik yang menyebabkan perubahan
SBE akibat mekanisme kompensasi. Contoh bila SBE negatif dan pH turun adalah
asidosis metabolik, demikian sebaliknya.
 Langkah ke empat: Lihat berat ringan kelainan dengan melihat kadar PaCO2 dan
SBE (lihat Tabel 4.).
 Langkah ke lima: Lihat kompensasi. Untuk kompensasi penuh (complete
compensation) gunakan rumus setiap 3mEq/L SBE = 5 mm HgPaCO2 (lihat Tabel 5
dan 6.).
 Langkah ke enam padankan dengan keadaan klinis pasien.
Working Diagnosis

Gagal napas akut terjadi bila dengan peningkatan upaya napas dan laju napas, tidak dapat
mempertahankan oksigenasi adekuat atau bila oksigenasi tetap buruk. Dasar patofisiologi
gagal napas menentukan gambaran klinisnya. Pasien gagal napas yang masih mempunyai
kemampuan bernapas normal akan tampak sesak dan gelisah. Sebaliknya, pasien yang telah
menurun kemampuan pusat pernapasannya akan tampak tenang atau bahkan mengantuk.
Peningkatan upaya dan laju napas serta takakirdia akan berkurang bila gagal napas
memburuk, bahkan dapat terjadi henti napas.1

Gagal napas diawali oleh stadium kompensasi. Pada keadaan ini ditemukan peningkatan
upaya napas (work of breathing) yang ditandai dengan adanya distress pernapasan
(pemakaian otot pernapasan tambahan, retraksi, takipnea dan takikardia). Peningkatan
upaya napas terjadi dalam usaha mempertahankan aliran udara walaupun compliance paru
menurun. Sebaliknya, stadium dekompensasi muncul belakangan ditandai dengan
menurunnya upaya napas.1

Gagal napas diklasifikasikan menjadi gagal napas hipoksemia, dan gagal napas

hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2

normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg.

Sedangkan menurut waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas
kronik.Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan

neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler. Gagal

napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan penangan yang

cepat dan tepat1,3

Gagal nafas adalah gangguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi yang terjadi di

pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk keluar paru. Gangguan

pertukaran gas menyebabkan hipoksemia primer, oleh karena kapasitas difusi CO2 jauh

lebih besar dari O2 dan karena daerah yang mengalami hipoventilasi dapat dikompensasi

dengan meningkatkan ventilasi bagian paru yang normal. Hiperkapnia adalah proses

gerakan gas keluar masuk paru yang tidak adekuat (hipoventilasi global atau general) dan

biasanya terjadi bersama dengan hipoksemia.4

2.2. Etiologi

Gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuscular,

dinding thoraks dan diafragma, paru, serta system kardiovaskuler.


Gagal Nafas Hiperkapnia / Gagal Nafas Tipe II/ Gagal Ventilasi

Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar PaCO2
yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 tersisih di alveolus dan
PaO2 menurun. Maka pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersama-
sama, kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada
pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika penyakit utama mengenai bagian
nonparenkim paru seperti dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak. Penyakit paru
obstruktif kronis yang parah sering mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan asma
berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS (Acute Respiratory Distres syndrome) berat dapat
menunjukkan gagal napas hiperkapnia.6

Patofisiologi gagal napas hiperkapnia

Hipoventilasi alveolar

Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO2 dari proses metabolic setiap
menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO2 tersebut dari kedua paru setiap menit. Jika
keluaran semenit CO2 (VCO2) menukarkan CO2 ke ruang pertukaran gas di kedua paru,
sedangkan VA adalah volume udara yang dipertukarkan di alveolus selama semenit (ventilasi
alveolar), didapatkan rumus:

𝟏
𝑽𝑪𝑶𝟐 (𝑳⁄𝒎𝒆𝒏) = 𝑷𝒂𝑪𝒐𝟐 (𝒎𝒎𝑯𝒈)𝒙 𝑽𝑨 (𝑳⁄𝒎𝒆𝒏)𝒙
𝟖𝟔𝟑

Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO2 dan VA menggambarkan
hiperbola ventilasi, dimana PaCO2 danVA berhubungan terbalik. Jadi hiperkapnia selalu
ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveolar.
Karena ventilasi alveolar tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya dapat dibuat
dengan menggunakan PaCO2 rumus diatas.

Ventilasi Semenit
Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang (dan PaCO2 meningkat).
Meskipun VA tidak dapat diukur secara langung, jumlah total udara yang bergerak masuk dan
keluar kedua paru setiap menit dapat diukur dengan mudah. Ini didefinisikan sebagai minute
ventilation (ventilasi semenit, VE, L/men). Konsep fisiologis menganggap bahwa VE merupakan
penjumlahan dari VA (bagian dari VE yang berpartisipasi dalam pertukaran gas) dan ventilasi
ruang rugi (dead spce ventilation, VD)

𝑽𝑬 = 𝑽𝑨 + 𝑽𝑫 → 𝑽 𝑨 = 𝑽𝑬 − 𝑽𝑫

(𝟏− 𝑽𝑷 ⁄𝑽𝑻 )
𝑽𝑪𝑶𝟐 (𝑳⁄𝒎𝒆𝒏) = 𝑷𝒂𝑪𝑶𝟐 (𝒎𝒎𝑯𝒈) 𝒙 𝑽𝑬 (𝑳⁄𝒎𝒆𝒏) 𝒙 𝟖𝟔𝟑

VD/VTmenunjukkan derajat insufisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang normal yang
sedang istirahat sekitar 30% dari ventilasi semenit tidak ikut berpartisipasi dalam pertukaran
udara. Pada kebanyakan penyakit paru proporsi VE yang tidak ikut pertukaran udara meningkat,
maka VD/VT meningkat juga.

Hiperkapnia (hipoventilasi Alveolar) terjadi saat: 7

nilai VE dibawah normal.

nilai VE normal atau tinggi, tetapi rasio VD/VT meningkat.

nilai VE di bawah normal, dan rasio VD/VT meningkat.

Trakea dan saluran pernapasan menjadi penghantar pergerakan udara dari dan ke dalam
paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut berpartisipasi pada pertukaran udara dengan
darah kapiler paru (difusi). Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis. Jalan napas buatan
dan bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui udara inspirasi dan ekspirasi juga
merupakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan penyakit paru, sebagian besar peningkatan
ruang rugi total terdiri dari ruang rugi fisiologis. Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi
regional melebihi jumlah aliran darah regional (ventilation-perfusion [V/Q] mismatching).
Walaupun V/Q mismatching umumnya dianggap sebagai mekanisme hipoksemia dan bukan
hiperkapnia, secara teori V/Q mismatching juga akan menyebabkan peningkatan PaCO2.
Kenyataannnya dalam hampir semua kasus, kecuali dengan V/Q mismatching yang berat,
hiperkapnia merangsang peningkatan ventilasi, mengembalikan PaCO2 ke tingkat normal. Jadi
V/Q mismatching umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan
peningkatan VE.7

Gambaran Klinis

Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan PaCO2
merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan
cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas
dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia
akut.7

Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga bikarbonat serum
dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik.
Kadar PH yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis
lain daripada nilai PaCO2 mutlak.

Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia


menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki
ventilasi semenit yang meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit dasar yang
menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat
berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea.

Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk menentukan
mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnea karena penyakit paru versus
penyakit nonparu. Pasien dengan penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak
sesuai dengan derajad hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO2 alveolar-
arterial. Tetapi pasien dengan masalah nonparu dapat pula mempunyai hipoksemia sekunder
sebagai efek kelemahan neuromuscular (sebagai contoh) yang mengakibatkan atelektasis atau
pneumonia aspirasi. Kelainan pada paru berhubungan dengan peningkatan VD/VT dan karenanya
sering menunjukkan peningkatan VE dan frekuensi pernapasan. Tetapi pasien yang mengalami
kelumpuhan otot pernapasan sering ditemui takipneu. Efek dari hiperkapnea dan hipoksemia
dapat menyamarkan gangguan neurologis, pengobatan berlebih dengan sedative, mixedema, atau
trauma kepala.7,8
Diagnosis Gagal Nafas

Tidak mungkin untuk memperkirakan tingkat hipoksemia dan hiperkapnia dengan


mengamati tanda dan gejala pasien. Gambaran klinis gagal napas sangat bervariasi pada setiap
pasien. Hipoksemia dan hiperkapnia yang ringan dapat pergi tanpa disadari sepenuhnya.
Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam untuk dapat terjadi perubahan dalam bernafas
dan irama jantung. Untuk itu, cara mendiagnosa gagal napas adalah dengan mengukur gas darah
pada arteri (arterial blood gases, ABG), PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan
pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia, yang dapat
menyebabkan hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
underlying disease (penyakit yang mendasarinya).8

Penatalaksanaan Gagal Nafas

Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu, penanganannya
tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di rumah sakit. Perawatan
dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk
menangani gagal napas tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah:
membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta
menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.8

Gangguan keseimbangan asam-basa bukanlah penyakit, melainkan kelainan akibat


penyakit primer, maka tatalaksana ditujukan kepada penyakit primer tersebut. Bila gangguan-
asam-basa berat maka koreksi terhadap gangguan asam-basa perlu dipertimbangkan. Kelainan
yang mengancam0 nyawa pada asidosis respiratorik bukan karena asidosisnya tetapi karena
hipoksemia, oleh karena itu terapi utama adalah terapi oksigen sambil mengatasi penyebab
primer pernapasanr (hipoventilasi). Atasi faktor penyebab seperti kelainan paru, keracunan
narkotik, keracunan salisilat.5

Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana suportif bertujuan


memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga diketahui dan diterapi penyakit yang
mendasari. Kadang-kadang ventilasi alveolar dapat ditingkatkan dengan mengusahakan tetap
terbukanya jalan napas yang efektif, bisa dengan penyedotan sekret, stimulasi batuk, drainase
postural. Atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan selang endotrakeal atau
trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan
ventilasi alveolar yang normal sampai masalah primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis
ventilator mekanik dapat memperbaiki ventilasi sesuai yang diinginkan, namun pada pasien
dengan hiperkapnea kronik harus hati-hati dalam menurunkan hiperkapnia, karena koreksi
PaCO2 hingga batas normal pada kasus tersebut dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan
mengancam nyawa karena sudah terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat
serum.6,8

Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia, terutama yang didasari oleh
penyakit paru, dan pemberian oksigen tambahan seringkali dibutuhkan. Tetapi pada beberapa
pasien dengan hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak dimonitor dan
disesuaikan secara hati-hati.

Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena overdosis obat sedatif atau botulisme, dan
kebanyakan pasien dengan trauma dada akan membaik seiring dengan berjalannya waktu, dan
penatalaksanaan bersifat suportif. Penyakit primer yang membutuhkan terapi khusus ialah
miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru obstruktif, obstructive sleep apnea, dan
miksedema.

Daftar Pustaka

1. Anonim. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal Diakses pada tanggal 15
November 2017dari http://www.faqs.org/health/topics
2. Anonim. (2002). Respiratory Failure Fact Book. Diakses pada Diakses pada tanggal 15
November 2017dari http://www.healthnewsflash.com
3. Gleadle J.At a glace anamnesis dan pemeriksaan fisik.Jakarta:Erlangga;2007.h.17-21.
4. Welsby P.D. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC., 2009. H142-53.
5. Fakultas Kedokteran UNAIR. Gangguan Keseimbangan Asam Basa (Modul).
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/PGD09_Gangguan-
Keseimbangan-Asam-Basa-Q.pdf. 2017. Diakses pada tanggal 15 November 2017.

6. Latief, A. Said. (2002), Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intesif, Jakarta: FK UI.
7. JF Palilingan, Gagal Nafas Dan Udem Paru, Available at : www. Scribd.com/pdf/download/
Diakses 11 Agustus 2011
8. Rahardjo, Sri. (2002). Gagal Napas. Modul Anestesi HSC UGM. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Anda mungkin juga menyukai