by Agatha Christie
BABAK PERTAMA
KECURIGAAN
BAB I
MR. SATTERTHWAITE duduk di teras
Crow's Nest dan memandang pemilik
rumah, Sir Charles Cartwright, yang
sedang mendaki jalan setapak dari arah
laut. Crow's Nest adalah sebuah bungalo
modern. Bangunan itu tidak mempunyai
ciri-ciri kuno, misalnya atap kayu, gable,
dan lengkungan-lengkungan yang disukai
pembuat-pembuat rumah, tapi merupakan
sebuah bangunan sederhana, kokoh, putih,
dengan ukuran menyesatkan karena jauh
lebih besar dari yang kelihatan. Namanya
disesuaikan dengan letaknya yang ada di
ketinggian, menghadap Pelabuhan
Loomouth. Salah satu sudut teras
terlindung pagar kuat, berbatasan
langsung dengan laut yang jauh di bawah.
Lewat jalan darat, Crow's Nest hanya
satu mil dari kota. Jalan itu menjorok ke
daratan, lalu berkelok-kelok naik sampai
ke bukit yang tinggi di atas laut. Dengan
berjalan kaki, bungalo itu bisa dicapai
dalam waktu tujuh menit lewat jalan
setapak curam yang sedang dilalui Sir
Charles Cartwright saat itu.
Sir Charles adalah laki-laki setengah baya
dengan tubuh tegap dan kulit kecokelatan.
Ia memakai celana flanel tua berwarna
abu-abu dan sweater putih. Gayanya
berjalan seperti menggelinding dan
tangannya setengah terkepal pada waktu
berjalan. Sembilan dari sepuluh orang
akan mengatakan, "Pasti pensiunan
angkatan laut." Orang kesepuluh dari
mereka yang lebih cermat pasti ragu-ragu,
sebab ada yang tidak sesuai dengan
pernyataan itu. Lalu mungkin akan timbul
suatu gambaran-dek sebuah kapal, tapi
bukan kapal sungguhan-sebuah kapal yang
terkait pada tirai tebal dan seorang lelaki,
Charles Cartwright, berdiri di atas dek
itu, dengan cahaya menyinari dirinya, tapi
bukan cahaya matahari, dan tangan yang
setengah tergenggam, sikap yang luwes
dan suara-suara pelaut Inggris dan suara
orang baik-baik yang enak-dengan nada
agak dibesarkan.
"Tidak," kata Charles Cartwright.
"Rasanya aku tak bisa memberi jawaban
untuk pertanyaan itu."
Dan tirai tebal itu pun diturunkan, lampu-
lampu menyorot terang, orkestra
memainkan lagu terakhir, gadis-gadis
dengan pita besar menghias rambut
mereka, berkata, "Cokelat? Limun?" Babak
pertama Panggilan Laut dengan Charles
Cartwright sebagai Komandan Vanstone
pun berakhir.
Dari tempat duduknya, Mr. Satterthwaite
memandang ke bawah dan tersenyum.
Mr. Satterthwaite seorang ahli seni
drama bertubuh kecil, seorang snob yang
menyenangkan dan suka bersikap tegas,
sering terlibat dalam pesta-pesta dan
kegiatan sosial kalangan atas. Kata-kata
"dan Mr. Satterthwaite" selalu menjadi
ujung daftar tamu banyak undangan. Mr.
Satterthwaite pengamat yang tajam dan
cerdas.
Ia bergumam sekarang, sambil
menggelengkan kepala, "Kurasa tidak.
Kukira tidak."
Di teras terdengar suara langkah kaki,
dan ia pun menoleh. Laki-laki bertubuh
besar dan berambut abu-abu yang menarik
kursi lalu duduk itu seolah-olah mempunyai
cap profesi yang tertera jelas di wajahnya
yang cerdas dan ramah. "Dokter" dan
"Harley Street". Sir Bartholomew
Strange adalah orang yang sangat sukses
dalam profesinya. Ia spesialis penyakit
saraf yang terkenal dan baru-baru ini
menerima anugerah gelar bangsawan.
Ia menarik kursinya ke dekat Mr.
Satterthwaite dan berkata, "Apa yang
kaukira tidak, eh? Coba ceritakan."
Sambil tersenyum, Mr. Satterthwaite
mengalihkan pandangan ke bawah, pada
sosok yang sedang mendaki jalan setapak
itu dengan cepat.
"Kurasa Sir Charles tidak akan selamanya
puas dalam... eh... pembuangan."
"Ya Tuhan, tentu saja!" sahut kawan
bicaranya sambil tertawa dan
melemparkan kepalanya ke belakang. "Aku
sudah kenal dia sejak kecil. Kami sama-
sama sekolah di Oxford dulu. Dan dia
tetap saja begitu. Dia aktor yang lebih
baik dalam kehidupan pribadinya daripada
di atas panggung! Charles selalu
bersandiwara. Memang begitu-sudah
mendarah daging. Istilahnya, dia tak
pernah keluar dari sebuah ruangan; dia
'mengakhiri satu babak', dan biasanya dia
harus punya peran baik. Dia juga suka
ganti-ganti peran. Dua tahun lalu dia
pensiun dari panggung-katanya ingin
menikmati hidup sederhana di desa, jauh
dari keramaian kota, dan mewujudkan
impiannya tinggal di dekat laut. Dia datang
ke sini dan mendirikan tempat ini.
Beginilah idenya tentang sebuah pondok
desa sederhana. Dengan tiga kamar mandi
dan perlengkapan mutakhir! Aku pun punya
pikiran sama, Satterthwaite. Kurasa ini
tak akan lama. Bagaimanapun, Charles
manusia. Dia memerlukan penonton. Dua
atau tiga pensiunan kapten, segerombol
wanita tua, dan seorang pendeta-itu tidak
cukup. Kurasa 'laki-laki sederhana dengan
cintanya pada laut' akan habis dalam enam
bulan. Terus terang, kurasa dia akan bosan
dengan peran itu. Mungkin selanjutnya dia
akan menjadi seorang laki-laki capek di
Monte Carlo atau seorang tuan tanah di
pegunungan-dia sangat pandai memainkan
perannya itu. Ya, itu."
Dokter itu berhenti. Bicaranya memang
panjang. Matanya memancarkan rasa
sayang dan perasaan setengah geli ketika
memandang lelaki di bawah sana. Dua
menit lagi lelaki itu pasti sudah sampai di
depan mereka.
"Tapi," Sir Bartholomew melanjutkan,
"kelihatannya kita keliru. Ada sesuatu
yang menarik. Sesuatu yang sederhana
dalam hidup ini."
"Orang yang suka bersandiwara biasanya
sulit diterka," kata Mr. Satterthwaite.
"Walaupun jujur, orang sulit menerimanya
dengan serius." Dokter itu mengangguk.
"Ya. Betul," katanya sambil merenung.
Sambil menyapa riang, Charles Cartwright
muncul di tangga teras. "Mirabelle luar
biasa," katanya. "Seharusnya kau ikut,
Satterthwaite."
Mr. Satterthwaite menggelengkan kepala.
Ia sudah terlalu sering menderita ketika
menyeberangi Channel-Selat Inggris-dan
tahu kekuatan perutnya di laut. Ia telah
memperhatikan Mirabelle dari jendela
kamarnya pagi itu. Angin cukup baik untuk
berlayar, dan Mr. Satterthwaite
bersyukur tetap berpijak di daratan yang
kering.
Sir Charles minta minum.
"Kau seharusnya ikut, Tollie," katanya
pada temannya. "Bukankah separo umurmu
kaupakai untuk duduk di Harley Street,
menasihati para pasienmu bahwa ombak
laut baik untuk kesehatan mereka?"
"Keuntungan dokter," sahut Sir
Bartholomew, "adalah tak perlu mengikuti
nasihatnya sendiri."
Sir Charles tertawa. Tanpa sadar ia masih
memainkan peran seorang pelaut yang
bebas. Ia memang pria tampan, dengan
proporsi tubuh indah dan wajah penuh
humor. Rambut yang mulai memutih di
pelipisnya membuatnya tambah menarik.
Ia memang kelihatan seperti dulu-
pertama, pria terhormat, kemudian aktor.
"Kau pergi sendiri?" tanya si Dokter.
"Tidak." Sir Charles berpaling untuk
mengambil minuman dari seorang pelayan
berpakaian rapi yang mengulurkan nampan.
"Aku punya pembantu. Si Egg."
Ada sesuatu, sebuah tekanan pada
suaranya, yang membuat Mr.
Satterthwaite menatapnya dengan tajam.
"Miss Lytton Gore? Dia tahu cukup banyak
tentang pelayaran, ya, kan?" Sir Charles
tertawa agak sedih.
"Dia berhasil membuatku merasa seperti
orang darat, tapi aku mampu juga karena
bantuannya." Bermacam-macam pikiran
berkelebat dalam kepala Mr.
Satterthwaite:
"Apa benar... Egg Lytton Gore... Barangkali
itu sebabnya Charles masih belum bosan
dengan tempat ini. Gadis itu memang
menarik."
Sir Charles melanjutkan, "Laut-ah, begitu
indah. Tak ada duanya. Matahari, angin,
dan laut. Dan sebuah gubuk sederhana
untuk pulang."
Ia memandang senang pada bangunan
putih di belakangnya yang dilengkapi
dengan tiga kamar mandi, air dingin dan
panas di semua kamar tidur, sistem
pemanasan sentral yang mutakhir,
peralatan listrik terbaru, dan staf rumah
tangga yang terdiri atas pelayan kamar,
pelayan rumah, koki, dan pelayan dapur.
Interpretasi Sir Charles tentang hidup
sederhana barangkali terlalu berlebihan.
Seorang wanita jangkung dan tidak
menarik muncul dari dalam rumah dan
mendekati mereka.
"Selamat pagi, Miss Milray."
"Selamat pagi, Sir Charles. Selamat pagi."
Ia menoleh dan menganggukkan kepala
sedikit pada kedua laki-laki lainnya. "Ini
menu untuk makan malam. Barangkali ada
yang perlu diganti?" Sir Charles
mengambilnya dan bergumam,
"Coba lihat. Melon cantaloupe, borsch
soup, mackerel segar, grouse, souffle
Surprise, canape Diane... Tidak, sudah
bagus, Miss Milray. Semua akan datang
dengan kereta pukul 16.30."
"Saya sudah memberi instruksi pada
Holgate. Oh ya, Sir Charles, kalau Anda
tidak keberatan, saya juga ingin ikut
makan malam nanti."
Sir Charles kelihatan terkejut, tapi ia
berkata dengan sopan,
"Tentu saja, Miss Milray. Saya akan
senang, tapi, eh..."
Miss Milray dengan tenang menjelaskan,
"Kalau tidak, semuanya akan berjumlah
tiga belas di meja makan. Dan banyak
orang yang masih percaya takhayul."
Dari nada suaranya, bisa disimpulkan
bahwa Miss Milray tidak akan peduli
apabila harus makan bertiga belas di satu
meja makan setiap malam. Ia melanjutkan,
"Saya kira semuanya sudah diatur. Saya
telah memberitahu Holgate bahwa
mobilnya untuk menjemput Lady Mary
serta Mr. dan Mrs. Babbington. Betul
begitu?"
"Persis. Itulah yang ingin saya katakan
pada Anda."
Dengan senyum tipis yang agak angkuh di
wajah buruknya, Miss Milray meninggalkan
mereka. "Dia memang wanita luar biasa,"
kata Sir Charles penuh tekanan. "Aku
takut suatu kali nanti dia akan datang dan
menggosokkan gigiku."
"Efisiensi dalam wujud manusia," kata
Strange.
"Dia sudah enam tahun bekerja padaku,"
kata Sir Charles. "Pertama-tama sebagai
sekretarisku di London, dan di sini, dia
menjadi semacam pimpinan rumah tangga
yang dihormati. Dia mengatur segalanya.
Dia melakukan tugas-tugasnya dengan
tepat, seperti jam. Dan sekarang dia akan
pergi."
"Kenapa?"
"Dia bilang," Sir Charles menggosok
hidungnya dengan sikap ragu-ragu,
"katanya dia punya ibu yang invalid. Aku
sendiri tak percaya. Wanita seperti dia
pasti tak punya ibu. Dia bisa tiba-tiba
muncul dari sebuah dinamo. Pasti ada hal
lain."
"Bisa jadi," kata Sir Bartholomew. "Aku
dengar omongan orang." "Omongan?" sang
aktor bertanya penuh rasa ingin tahu.
"Omongan apa?" "Charles, kau kan tahu
apa artinya omongan."
"Maksudmu omongan tentang dia-dan aku?
Dengan wajah seperti itu? Dan seumur
dia?" "Barangkali dia belum lima puluh."
"Ya, barangkali." Sir Charles
mempertimbangkan pernyataan itu. "Tapi
ini serius, Tollie. Apa kau pernah
memperhatikan wajahnya? Memang
matanya dua, hidungnya satu, dan
mulutnya juga, tapi itu bukan seraut
wajah- wajah wanita. Orang yang paling
suka gosip pun tak akan menghubungkan
suatu skandal dengan wajah seperti itu."
"Kau menganggap enteng imajinasi
perawan tua Inggris."
Sir Charles menggelengkan kepalanya.
"Aku tak percaya. Ada sesuatu yang
membuat Miss Milray disegani orang, yang
pasti diketahui perawan tua Inggris. Dia
baik, terhormat, dan berguna. Aku selalu
memilih sekretaris yang berpenampilan
biasa." "Kau bijaksana."
Sir Charles diam beberapa menit. Untuk
mengalihkannya, Sir Bartholomew
bertanya,
"Siapa yang datang nanti sore?"
"Angie."
"Angela Sutcliffe? Bagus."
Mr. Satterthwaite mencondongkan badan
ke depan, penuh rasa ingin tahu, siapa saja
tamu yang diundang. Angela Sutcliffe
adalah aktris terkenal, tidak lagi muda,
tapi masih populer dan dikagumi orang.
Mereka menyukainya karena
kemampuannya bicara dan daya tariknya.
Orang menganggapnya pengganti Ellen
Terry.
"Lalu suami-istri Dacres."
Mr. Satterthwaite mengangguk lagi. Mrs.
Dacres adalah Ambrosine, Ltd.-sebuah
perusahaan garmen yang sukses. Di dalam
program-program akan terlihat: "Pakaian
Miss Blank dalam babak pertama adalah
kreasi Ambrosine, Ltd., Brook Street."
Suaminya, Kapten Dacres, adalah penjudi
berat yang gemar bertaruh di arena balap
kuda. Ia menghabiskan banyak waktu di
tempat-tempat seperti itu. Bertahun-
tahun yang lalu ia ikut babak Grand
National. Pernah terjadi keributan-tak
seorang pun benar-benar tahu-tapi
beritanya sudah tersebar ke mana-mana.
Tak ada pemeriksaan atau penjelasan, tapi
begitu nama Freddie Dacres disebut,
orang-orang akan menaikkan alis mereka
sedikit.
"Lalu Anthony Astor, si penulis naskah
drama."
"Tentu," kata Mr. Satterthwaite. "Dia
menulis One Way Traffic. Aku melihatnya
dua kali. Benar-benar sukses." Ia agak
senang menunjukkan pada temannya bahwa
ia tahu, Anthony Astor adalah wanita.
"Ya," kata Sir Charles. "Aku lupa namanya
yang sebenarnya-Wills, barangkali. Aku
cuma pernah bertemu sekali dengannya.
Aku mengundangnya untuk menyenangkan
Angela. Itu orang-orang yang kuundang
malam nanti." "Dan orang sini?" tanya
Dokter.
"Oh, orang sini? Suami-istri Babbington;
dia pendeta, orangnya baik. Tidak terlalu
kaku, dan istrinya sangat baik. Dia
mengajari aku berkebun. Mereka akan
datang kemari-serta Lady Mary dan Egg.
Sudah... Oh ya, ada seorang pemuda.
Namanya Manders. Seorang wartawan
atau apa. Ganteng. Itu saja undangannya."
Mr. Satterthwaite memang orang yang
praktis. Ia segera menghitung.
"Miss Sutcliffe, satu; suami-istri Dacres,
tiga; Anthony Astor, empat; Lady Mary
dan putrinya, enam; Pak Pendeta dan
istrinya, delapan; pemuda itu, sembilan;
kita, dua belas. Kalau bukan kau, pasti
Miss Milray yang salah hitung, Charles."
"Pasti bukan Miss Milray," kata Sir
Charles yakin. "Dia tak pernah salah.
Sebentar. Ya, wah-kau benar. Terlewat
satu tamu. Namanya lolos dari ingatanku."
Ia tertawa geli. "Orang yang sulit
dipuaskan. Dia orang paling angkuh yang
pernah kukenal."
Mata Mr. Satterthwaite berkedip. Ia
berpendapat orang yang paling sombong
adalah aktor. Dan ia pun tak
mengecualikan Sir Charles Cartwright.
Apa yang baru saja dikatakan Sir Charles
sangat menarik baginya. "Siapa orang
egois ini?" tanyanya.
"Orang aneh," kata Sir Charles. "Tapi
terkenal. Barangkali kau pernah dengar
namanya. Hercule Poirot. Orang Belgia."
"Si detektif," kata Mr. Satterthwaite.
"Aku pernah bertemu dengannya.
Pribadinya luar biasa." "Dia memang unik,"
kata Sir Charles.
"Aku belum pernah bertemu dia," kata Sir
Bartholomew, "tapi cukup banyak dengar
tentang dia. Dia sudah pensiun, kan?
Barangkali cerita-cerita yang banyak
kudengar itu sebagian hanya legenda. Hm,
moga-moga tak ada tindak kriminal akhir
pekan ini."
"Kenapa? Karena ada detektif di antara
kita? Jangan memasang kereta di depan
kuda, Tollie!"
"Ya-karena itu adalah salah satu teoriku."
"Apa teorimu, Dok?" tanya Mr.
Satterthwaite.
"Kejadian mendatangi manusia, bukan
sebaliknya. Kenapa ada orang yang
hidupnya mengasyikkan dan ada yang
membosankan? Karena lingkungannya?
Sama sekali tidak. Orang bisa saja pergi
ke ujung dunia dan tidak terjadi apa-apa
atas dirinya. Padahal terjadi pembunuhan
massal satu minggu sebelum dia datang
dan gempa bumi sehari setelah dia pergi,
dan kapal yang tadinya akan dinaikinya
ternyata tenggelam. Orang lain yang
tinggal di Balham dan pergi ke kota setiap
hari mengalami sesuatu. Dia terlibat dalam
komplotan pemeras, gadis-gadis cantik,
dan bandit-bandit bersepeda motor. Ada
orang-orang yang punya tendensi
tenggelam dalam kapal karam walaupun
mereka hanya berada di danau buatan.
Ada saja yang terjadi pada mereka.
Begitu juga dengan orang-orang seperti
Hercule Poirot. Mereka tak perlu pergi
mencari tindak kriminal. Kejahatan itu
sendiri yang datang pada mereka."
"Kalau begitu," kata Mr. Satterthwaite,
"barangkali baik juga kalau Miss Milray
makan dengan kita, supaya jumlahnya
tidak tiga belas."
"Hm," kata Sir Charles ramah, "kau boleh
mengalaminya kalau suka, Tollie. Aku
hanya ingin mengajukan satu syarat-aku
tak ingin jadi mayat."
Sambil tertawa, mereka bertiga masuk ke
dalam rumah.
BAB II
BAB III
"BISA ke sini sebentar, Satterthwaite?"
Sir Charles menjulurkan kepalanya ke luar
pintu.
Satu setengah jam telah lewat. Keributan
telah usai, diganti ketenangan. Lady Mary
membawa Mrs. Babbington yang menangis
ke luar ruangan dan akhirnya
mengantarnya pulang. Miss Milray sangat
efisien dengan teleponnya. Dokter
setempat datang dan memeriksa. Makan
malam sederhana disajikan. Setelah itu,
dengan persetujuan bersama, para tamu
masuk ke kamar masing-masing untuk
beristirahat. Mr. Satterthwaite baru akan
kembali ke kamarnya ketika Sir Charles
memanggilnya dari pintu ruang kapal,
tempat terjadinya peristiwa kematian itu.
Mr. Satterthwaite masuk sambil menekan
rasa takutnya. Ia tak suka melihat
kematian. Karena tak lama lagi ia pun
mungkin dapat giliran. Tapi kenapa ia
berpikir tentang hal itu?
"Aku masih kuat hidup dua puluh tahun
lagi," kata Mr. Satterthwaite pada dirinya
sendiri dengan gagah. Satu-satunya orang
lain di ruangan itu adalah Bartholomew
Strange. Ia mengangguk lega melihat
kedatangan Mr. Satterthwaite.
"Orang yang baik," katanya. "Kita bisa
melakukannya dengan Satterthwaite. Dia
mengerti hidup."
Dengan heran Mr. Satterthwaite duduk di
sebuah kursi dekat si Dokter. Sir Charles
berjalan mondar-mandir. Ia lupa sikap
tangan yang setengah mengepal dan tidak
kelihatan seperti pelaut lagi.
"Charles tidak suka," kata Sir
Bartholomew. "Maksudku, tentang
kematian Babbington yang malang."
Mr. Satterthwaite berpendapat bahwa
pernyataan itu tidak tepat. Tentu saja tak
seorang pun "suka" pada kejadian yang
baru saja terjadi. Tapi ia tahu Strange
punya maksud lain.
"Sangat menyedihkan," kata Mr.
Satterthwaite dengan hati-hati. "Betul-
betul menyedihkan," katanya, bulu
kuduknya meremang.
"Hm-ya, agak menyakitkan," kata Dokter.
Aksen profesinya muncul dalam suaranya.
Cartwright berhenti mondar-mandir.
"Pernah lihat orang meninggal seperti itu,
Tollie?"
"Tidak," kata Sir Bartholomew. "Belum
pernah. Tapi," ia menambahkan beberapa
saat kemudian, "aku memang tak pernah
melihat kematian sebanyak yang kauduga.
Seorang spesialis saraf tidak membunuh
banyak pasien. Dia menjaga agar pasien
tetap hidup dan mendapat uang dari
mereka. Aku yakin MacDougal lebih sering
melihat orang mati daripada aku."
Dokter MacDougal adalah dokter di
Loomouth yang dipanggil Miss Milray.
"Dia tidak melihat Babbington meninggal.
Babbington sudah mati waktu dia datang.
Kitalah yang bercerita padanya. Dia bilang
Babbington kena serangan mendadak. Dia
sudah tua dan kesehatannya kurang baik.
Aku tidak puas."
"Barangkali dia juga tidak puas," lawan
bicaranya mengomel. "Tapi seorang dokter
harus mengatakan sesuatu. 'Serangan'
memang kata yang bagus-tak ada artinya,
tapi memuaskan pikiran awam. Babbington
sendiri memang sudah tua dan
kesehatannya belakangan ini memang
terganggu. Istrinya pernah cerita begitu.
Barangkali ada suatu kelemahan yang
tidak diketahui."
"Apakah itu serangan khas?"
"Khas apa?"
"Khas untuk penyakit tertentu?"
"Kalau kau pernah belajar ilmu
kedokteran," kata Sir Bartholomew, "kau
akan tahu kasus tipikal seperti itu tak
pernah ada."
"Apa sebenarnya yang ingin kaukatakan?"
tanya Mr. Satterthwaite pada Sir
Charles. Cartwright tidak menjawab. Ia
membuat isyarat samar dengan tangannya.
Strange geli dan tertawa kecil. "Charles
tidak tahu apa yang akan dikatakannya,"
katanya. "Pikirannya sedang berbelok pada
kemungkinan-kemungkinan dramatis."
Sir Charles membuat isyarat kesal.
Wajahnya serius, penuh pikiran. Ia
menggelengkan kepalanya sedikit dengan
sikap linglung.
Sebuah gambar muncul di kepala Mr.
Satterthwaite. Gambar itu menjadi jelas.
Aristide Duval, kepala agen rahasia,
membongkar jaringan ruwet Kabel Bawah
Tanah. Pada menit berikutnya ia jadi
yakin. Sir Charles berjalan pincang tanpa
ia sadari. Aristide Duval memang dikenal
sebagai si Pincang.
Sir Bartholomew melanjutkan
komentarnya dengan terus terang,
mengomentari kecurigaan Sir Charles,
"Ya, apa yang kaucurigai, Charles? Bunuh
diri? Pembunuhan? Siapa mau membunuh
seorang pendeta tua yang begitu baik?
Fantastis sekali. Bunuh diri? Hm,
barangkali ada alasannya. Mungkin kita
bisa membayangkan alasan kenapa dia
bunuh diri."
"Alasan apa?"
Sir Bartholomew menggelengkan
kepalanya perlahan.
"Bagaimana mungkin kita menebak rahasia
pikiran manusia? Satu ide-seandainya
Babbington diberitahu dia menderita
penyakit yang tak bisa disembuhkan,
kanker misalnya. Itu bisa jadi motif.
Barangkali dia tak ingin istrinya
menyaksikan penderitaannya yang
berkepanjangan. Ini cuma gagasan, tentu
saja. Setahu kita, tak ada alasan bagi
Babbington untuk menghabisi dirinya."
"Aku tidak berpikir tentang bunuh diri,"
kata Sir Charles.
Sekali lagi Bartholomew Strange tertawa
pelan.
"Benar, Charles. Idemu bukan sesuatu
yang ada di luar kemungkinan. Kau
menginginkan sensasi-racun baru yang tak
bisa dilacak dalam koktail." Sir Charles
menyeringai.
"Rasanya aku tidak menginginkan itu. Kau
ingat, akulah yang mencampur koktail itu,
Tollie."
"Serangan tiba-tiba seorang maniak?
Untuk kita, barangkali tanda-tandanya
tertunda. Tapi kita semua akan mati
sebelum fajar menyingsing besok."
"Leluconmu tak lucu, tapi...," Sir Charles
menyela marah. "Aku sebenarnya tidak
sedang melucu," kata si Dokter. Suaranya
berubah, sedih dan simpatik.
"Aku tidak bercanda dengan kematian
Babbington. Aku cuma mencemooh idemu,
Charles, karena... ya, karena aku tak ingin
kau menyakiti orang tanpa sadar."
"Menyakiti?" tanya Sir Charles. "Kau
mengerti maksudku, Satterthwaite?"
"Kurasa aku bisa menebak," kata Mr.
Satterthwaite.
"Begini, Charles," lanjut Sir Bartholomew,
"kecurigaanmu yang tak berdasar itu
gampang beredar. Suatu ide samar
sekalipun tentang adanya ketidakberesan
atau penyelewengan bisa menyakitkan
Mrs. Babbington. Aku tahu hal semacam
itu pernah satu atau dua kali terjadi.
Kematian yang tiba-tiba, lalu beberapa
lidah asal bicara, dan akhirnya gosip
menyebar ke mana-mana. Gosip-gosip itu
terus berkembang dan tak seorang pun
bisa menyetopnya. Kau lihat kan, Charles,
betapa kejam dan tak perlu hal seperti
itu? Kau terlalu memanjakan imajinasimu
dan membuatnya berkembang ke arah hal-
hal yang spekulatif."
Sebuah kesadaran baru muncul di wajah
sang aktor.
"Aku memang tidak berpikir sejauh itu,"
katanya.
"Kau memang baik, Charles, tapi kau suka
membiarkan imajinasimu lari ke mana-
mana. Coba pikir sekarang. Apa kau
percaya ada orang-siapa pun dia-yang ingin
membunuh laki-laki tua tak berdosa itu?"
"Kurasa tidak," kata Charles. "Ya, seperti
yang kaukatakan, itu aneh. Maaf, Tollie,
tapi ini bukannya berimajinasi. Aku punya
perasaan kuat bahwa ada sesuatu yang
tidak beres."
Mr. Satterthwaite batuk-batuk kecil.
"Boleh aku menambahkan? Mr. Babbington
tiba-tiba sakit beberapa saat setelah
masuk ruangan dan tepat setelah minum
koktail. Kebetulan aku melihat mukanya
yang kesakitan ketika dia minum. Kupikir
itu karena dia tidak biasa dengan minuman
itu. Tapi seandainya dugaan Sir
Bartholomew benar-bahwa Mr. Babbington
barangkali sengaja bunuh diri-kurasa itu
masih mungkin. Tapi ide tentang
pembunuhan... rasanya tak masuk akal."
"Aku merasa hal itu bisa terjadi, walaupun
tak mungkin-bahwa Mr. Babbington
memasukkan sesuatu ke dalam gelasnya
tanpa kita ketahui. Rasanya tak ada
barang-barang yang disentuh dalam
ruangan ini. Gelas-gelas koktail itu masih
di tempatnya. Ini gelas Mr. Babbington.
Kurasa sebaiknya Sir Bartholomew
membawa gelas itu untuk dianalisis isinya.
Itu bisa dilakukan diam-diam, tanpa
menyebabkan keributan."
Sir Bartholomew berdiri dan mengambil
gelas itu.
"Benar," katanya. "Aku akan bercanda
denganmu, Charles, dan aku akan bertaruh
sepuluh pound bahwa tak ada apa-apa
dalam gelas itu kecuali gin dan vermouth. "
"Oke," kata Sir Charles. Lalu ia
menambahkan sambil tersenyum sedih,
"Sebenarnya kau juga ikut bertanggung
jawab atas imajinasiku kali ini."
"Aku?"
"Ya. Tadi pagi kau bicara tentang
kriminalitas. Kau bilang si Hercule Poirot
adalah orang yang selalu dicari oleh
kriminalitas. Tak lama setelah dia datang,
ada kematian yang mencurigakan. Tentu
saja pikiranku segera melayang ke
pembunuhan."
"Hm, bagaimana kalau...," kata Mr.
Satterthwaite, lalu berhenti.
"Ya," kata Charles Cartwright. "Aku tadi
juga berpikir tentang itu. Apa
pendapatmu, Tollie? Bisakah kita bertanya
padanya bagaimana pendapatnya tentang
ini? Maksudku, apakah itu etis?" "Alasan
yang bagus," gumam Mr. Satterthwaite.
"Aku tahu etika medis, tapi aku tak tahu
tentang etika detektif."
"Kita tak bisa menyuruh seorang penyanyi
profesional untuk bernyanyi," gumam Mr.
Satterthwaite. "Bisakah kita meminta
seorang detektif profesional untuk
menyelidiki? Ya. Ini bagus." "Hanya
pendapat," kata Sir Charles.
Terdengar ketukan halus di pintu, dan
wajah Hercule Poirot muncul dengan
ekspresi minta maaf. "Eh, masuklah!" seru
Sir Charles sambil meloncat berdiri. "Kami
baru saja bicara tentang Anda." "Saya
takut kalau-kalau mengganggu." "Sama
sekali tidak. Ayo minum."
"Terima kasih, tidak usah. Saya jarang
minum wiski. Kalau ada sirop... "
Tapi sirop tidak termasuk daftar Sir
Charles tentang cairan yang bisa diminum.
Setelah tamunya duduk, sang aktor
langsung bicara ke pokok persoalannya.
"Saya tidak perlu bertele-tele," katanya.
"Kami baru saja bicara tentang Anda, M.
Poirot, dan... dan apa yang terjadi malam
ini. Apakah ada yang tidak beres tentang
hal itu?"
Alis mata Poirot naik. Ia berkata,
"Tidak beres? Apa maksud Anda-tidak
beres?"
Bartholomew Strange berkata, "Teman
saya ini punya ide, jangan-jangan
Babbington dibunuh orang." "Padahal Anda
tidak berpikir begitu?" "Kami ingin tahu
pendapat Anda." Poirot berkata sambil
berpikir,
"Dia memang sakit, dengan sangat tiba-
tiba-sangat mendadak." "Ya, begitu."
Mr. Satterthwaite menerangkan teori
bunuh diri dan pendapatnya sendiri agar
gelas koktail itu dianalisis. Poirot
mengangguk setuju.
"Ya, itu tak ada salahnya. Sebagai orang
yang tahu banyak soal-soal kemanusiaan,
sulit rasanya percaya ada orang yang ingin
menyingkirkan seorang laki-laki yang baik
dan ramah. Juga motivasi bunuh diri itu
rasanya masih sulit diterima. Tapi gelas
koktail itu akan menunjukkan pada kita
nanti."
"Dan hasil analisis itu kira-kira apa?"
Poirot mengangkat bahu.
"Saya? Saya hanya bisa menebak. Anda
ingin saya menebak hasil analisis itu?"
"Ya."
"Saya kira mereka akan menemukan sisa
dry Martini yang enak." Ia membungkuk
pada Sir Charles. "Untuk meracuni orang
dengan koktail-salah satu dari begitu
banyak gelas yang diedarkan-yah, ini
merupakan teknik yang amat sangat sulit.
Dan kalau pendeta yang baik itu ingin
bunuh diri, saya rasa dia tak akan
melakukannya dalam sebuah pesta. Itu
akan menunjukkan dia tidak memikirkan
orang lain. Padahal setahu saya, Mr.
Babbington orang yang penuh perhatian
pada orang lain." Ia diam. "Karena Anda
bertanya, itulah pendapat saya."
Mereka semua diam sesaat. Lalu Sir
Charles menarik napas panjang. Ia
membuka sebuah jendela dan memandang
ke luar.
"Angin telah bertiup ke satu arah,"
katanya.
Si pelaut muncul kembali, dan detektif
agen rahasia lenyap.
Tapi dalam pengamatan Mr. Satterthwaite
yang cermat, Sir Charles berdiam sejenak
setelah meninggalkan peran yang tak
dimainkannya itu.
BAB IV
"YA, tapi apa pendapat Anda, Mr.
Satterthwaite? Pendapat Anda sendiri?"
Mr. Satterthwaite menoleh ke kanan dan
ke kiri. Ia tak bisa menghindar. Egg
Lytton Gore memojokkannya di sudut
dermaga pemancingan. Wanita-wanita
muda ini memang tak kenal ampun dan
menakutkan. "Rupanya Sir Charles yang
menyebabkan Anda berpikir begitu,"
katanya.
"Tidak. Ide itu memang sudah ada. Sudah
ada sejak awal. Sungguh mengerikan,
sangat tiba-tiba." "Dia sudah tua. Dan
kesehatannya buruk..." Egg memotong
dengan cepat,
"Omong kosong. Dia sakit saraf dan
rematik. Itu tidak menyebabkan orang
jatuh dan mendapat stroke tiba-tiba. Dia
tak pernah dapat stroke. Dia tipe orang
yang lembut dan lemah, tapi akan hidup
sampai umur sembilan puluhan. Apa
pendapat Anda tentang pemeriksaan itu?"
"Kelihatannya semua... normal."
"Apa pendapat Anda tentang bukti-bukti
Dokter MacDougal? Semua serba teknis,
deskripsi tentang organ tubuh, tapi apa
Anda tidak merasa dia menyembunyikan
sesuatu di balik keterangannya yang
bertubi-tubi? Yang dia katakan kurang-
lebih begini-tak ada yang menunjukkan
kematian itu bukan disebabkan oleh hal
yang wajar. Dia tidak mengatakan
kematian itu disebabkan oleh sesuatu yang
wajar."
"Kau ingin memerinci secara detail?"
"Dialah sebenarnya yang melakukannya.
Dia bingung, tapi dia tak tahu mesti
bagaimana meneruskannya. Jadi, dia
berpaling pada keterangan yang sangat
medis. Apa pendapat Sir Bartholomew
Strange?"
Mr. Satterthwaite mengulangi sebagian
dari apa yang pernah dikatakan dokter
dari London itu.
"Hanya melecehkan?" tanya Egg dengan
kening berkerut. "Tentu saja. Dia sangat
hati-hati. Saya rasa dokter top dari
Harley Street harus begitu."
"Tak ada apa-apa dalam gelas koktail
kecuali gin dan vermouth, " Mr.
Satterthwaite mengingatkannya.
"Kelihatannya itu sudah bisa membereskan
persoalan. Tapi sesuatu yang terjadi
setelah pemeriksaan membuat saya
bertanya."
"Sesuatu yang dia katakan pada Anda?"
Mr. Satterthwaite mulai menikmati rasa
ingin tahu gadis ini.
"Bukan pada saya-pada Oliver-Oliver
Manders. Dia datang malam itu, tapi Anda
barangkali lupa." "Ah, saya ingat dia.
Teman baik Anda?"
"Dulu. Sekarang kami bertengkar terus.
Dia sudah bekerja, ikut pamannya di kota,
dan dia menjadi... agak besar kepala.
Selalu bilang ingin jadi wartawan. Dia
memang bisa menulis cukup baik. Tapi
sekarang ini, itu tak lebih dari omongan.
Dia ingin kaya. Rasanya semua orang jadi
menjijikkan kalau sudah bicara soal uang.
Bukankah begitu, Mr. Satterthwaite?"
Kemudaan gadis itu muncul sekarang-
kasar, congkak, dan kekanak-kanakan.
"Nak," kata Mr. Satterthwaite, "banyak
orang menjijikkan karena banyak hal."
"Pada umumnya manusia memang bejat,"
kata Egg, menyetujui dengan riang.
"Karena itu, saya benar-benar sedih
karena kasus Mr. Babbington. Sebab dia
begitu baik. Dia menyiapkan saya untuk
sidi. * (* penerimaan menjadi anggota
resmi Gereja Protestan) Walaupun urusan
itu agak tidak masuk akal, dia sangat baik.
Mr. Satterthwaite, saya percaya pada
kekristenan-bukan seperti ibu yang selalu
membawa-bawa buku kecil dan ikut
kebaktian pagi dan sebagainya, tapi secara
logis saja dan dari sudut sejarah. Gereja
memang sibuk dengan tradisi Pauline-bisa
dibilang gereja itu berantakan. Tapi
kekristenan sendiri tidak apa-apa. Karena
itu, saya tak bisa jadi komunis seperti
Oliver. Dalam prakteknya, kepercayaan
kami akan searah-semua untuk semua,
kepemilikan, dan sebagainya. Tapi
perbedaannya... saya tak perlu
menjelaskannya. Tapi keluarga Babbington
itu benar-benar Kristen, mereka tidak
curiga, tidak menyumpahi, dan tak pernah
jahat pada orang lain atau makhluk lain.
Mereka baik, dan Robin..."
"Robin?"
"Anak mereka. Dia dulu pergi ke India dan
terbunuh di sana. Saya... saya
menyukainya."
Egg mengejap-ngejapkan matanya.
Pandangannya terarah ke laut. Lalu
perhatiannya kembali ke Mr.
Satterthwaite dan keadaan saat itu.
"Jadi, saya memang merasa sangat
terpukul dengan kejadian ini. Seandainya
ini bukan kematian yang wajar..."
"Anakku!"
"Saya menganggapnya aneh. Dan Anda
harus mengakuinya!"
"Tapi Anda sendiri mengakui keluarga
Babbington tak punya musuh di dunia ini."
"Itulah anehnya. Saya tak bisa
menemukan motif yang masuk akal."
"Fantastis! Dan tak ada apa-apa di dalam
koktail."
"Barangkali ada orang yang menusuknya
dengan jarum suntik."
"Barangkali racun panah orang Indian
Amerika Selatan," kata Mr. Satterthwaite
berolok-olok. Egg menyeringai.
"Itulah. Barang bagus yang tak bisa
diketahui jejaknya. Oh, sudahlah. Anda
tahu lebih baik tentang hal itu. Barangkali
suatu hari nanti Anda menemukan kami
benar." "Kami?"
"Sir Charles dan saya." Wajah gadis itu
agak merah.
Mr. Satterthwaite berpikir dengan kata-
kata dan ukuran generasinya, ketika buku
Kutipan untuk Segala Kesempatan bisa
ditemukan dalam setiap rak buku:
Lebih dari dua kali usianya.
Dijahit dengan luka lama di pipi,
Penuh memar dan kulit cokelat, gadis itu
mengangkat matanya. Dan mencintai pria
itu dengan cinta yang membawa petaka.
Ia agak malu pada dirinya sendiri karena
memikirkan kutipan itu. Tak banyak yang
mendalami Tennyson sekarang ini. Dan
lagi, walaupun Sir Charles berkulit gelap,
ia tidak punya bekas luka, dan Egg Lytton
Gore, walaupun gadis yang sehat, sama
sekali tidak kelihatan bisa hancur karena
cinta dan hanyut dalam sampan, mengikuti
aliran sungai. Tak ada tanda-tanda
kepribadian seperti Lily Maid dari
Astolat-seperti yang digubah Tennyson.
Yang seperti itu tak ada padanya.
"Kecuali," pikir Mr. Satterthwaite,
"kemudaannya."
Gadis-gadis selalu tertarik pada laki-laki
setengah baya yang punya masa lalu
menarik. Egg pun tak terkecuali. "Kenapa
dia menikah?" tanya Egg tiba-tiba.
"Hm," kata Mr. Satterthwaite, lalu diam.
Jawabannya kalau dikeluarkan secara
kasar akan berbunyi, "Waspada." Tapi ia
tahu bahwa kata itu tak bisa diterima oleh
Egg Lytton Gore.
Sir Charles telah mempunyai banyak
affair dengan wanita, aktris, dan lainnya,
tapi ia selalu bisa membebaskan diri dari
ikatan perkawinan. Dan Egg jelas
menginginkan penjelasan yang lebih
romantis.
"Gadis yang meninggal karena paru-paru
itu-seorang aktris yang namanya diawali
huruf R-dia kan amat sayang padanya?"
Mr. Satterthwaite teringat pada wanita
yang disebutkan itu. Memang ada gosip
yang mengaitkan Charles Cartwright
dengan namanya, tapi hanya sekilas, dan
Mr. Satterthwaite tidak yakin Sir Charles
tetap sendirian hanya karena ingin setia
pada kenangan akan wanita itu. Mr.
Satterthwaite diam saja.
"Saya rasa dia punya banyak affair, " kata
Egg.
"Hm... barangkali," kata Mr.
Satterthwaite yang berpandangan kuno.
"Saya senang dengan laki-laki yang
begitu," kata Egg. "Itu menunjukkan
mereka tidak aneh."
Mr. Satterthwaite yang berpandangan
kuno merasa terpukul. Ia tak bisa berkata
apa-apa. Egg tidak melihat pria itu merasa
tak enak. Ia melanjutkan bicaranya
dengan santai,
"Sir Charles itu lebih pintar dari yang
Anda kira. Dia memainkan macam-macam
peran, mendramatisasi diri sendiri, tapi di
balik itu otaknya sangat cerdas. Dia bisa
mengemudikan perahu lebih baik dari yang
dia ceritakan atau yang Anda dengar.
Kalau mendengar dia bicara, Anda mengira
dia sedang memainkan suatu peran, tapi
sebenarnya tidak. Sama juga dengan
urusan ini. Anda pikir semua ini terjadi
untuk menimbulkan efek tertentu,
sehingga dia bisa memerankan dirinya
sebagai detektif yang hebat. Saya rasa
dia memainkannya dengan baik."
"Bisa jadi," Mr. Satterthwaite
sependapat.
Nada suaranya menunjukkan perasaannya
dengan jelas. Egg langsung menghantam
dan mengekspresikannya dengan kata-
kata,
"Tapi menurut Anda Kematian Seorang
Pendeta tidak terlalu seru. Hanya sebuah
Lnsiden yang Tak Seharusnya Terjadi di
Pesta Makan Malam. Sebuah kecelakaan
biasa dalam suatu kegiatan sosial. Apa
pendapat M. Poirot? Dia seharusnya tahu."
"M. Poirot menasihatkan agar kami
menunggu hasil analisis koktail, tapi dia
berpendapat segalanya baik-baik saja."
"Oh, baiklah," kata Egg. "Dia sudah tua.
Sudah harus istirahat." Mr.
Satterthwaite mengedipkan matanya. Egg
melanjutkan bicaranya tanpa menyadari
kekasarannya, "Ayo ikut saya pulang. Anda
bisa minum teh dengan Ibu. Dia bilang
suka pada Anda."
Mr. Satterthwaite menerima undangan
itu. Diam-diam ia merasa tersanjung.
Setelah tiba, Egg langsung menelepon Sir
Charles dan memamitkan tamunya.
Mr. Satterthwaite duduk di sebuah ruang
tamu kecil dengan perabot bersih dan
terawat, walaupun tua. Ruangan itu
ruangan zaman Victoria, seperti yang
dibayangkan Mr. Satterthwaite tentang
ruangan seorang wanita.
Percakapannya dengan Lady Mary
menyenangkan. Bukan percakapan berat,
tapi mereka menyukainya. Mereka bicara
tentang Sir Charles. Apakah Mr.
Satterthwaite kenal baik dengan Sir
Charles? Tidak terlalu dekat, jawab Mr.
Satterthwaite. Ia pernah punya bisnis
dengan salah satu pertunjukan Sir Charles
beberapa tahun yang lalu. Sejak itu
mereka berteman.
"Dia punya daya tarik yang kuat," kata
Lady Mary sambil tersenyum. "Saya
maupun Egg merasakannya. Saya rasa
Anda juga tahu, saat ini Egg sedang
menderita hero worship. "* (* tergila-gila
pada tokoh idola)
Mr. Satterthwaite ingin tahu, apakah
sebagai ibu, Lady Mary tak merasa
kerepotan dengan hero worship itu. Tapi
kelihatannya tidak.
"Egg hanya melihat sebagian kecil dunia
ini," katanya sambil menarik napas. "Kami
begitu miskin. Salah seorang sepupu saya
pernah mengajaknya ke kota dan
menunjukkan serta membelikan beberapa
barang. Tapi sejak itu dia tak pernah
pergi jauh dari tempat ini, kecuali untuk
beberapa kunjungan. Saya merasa orang
muda seharusnya banyak keluar, melihat,
serta bertemu banyak orang dan tempat-
terutama orang. Kalau tidak, hm, kurang
pergaulan kadang-kadang sangat
berbahaya."
Mr. Satterthwaite sependapat. Ia
berpikir tentang Sir Charles dan pergi
berlayar, tapi rupanya bukan itu yang ada
dalam pikiran Lady Mary, sebagaimana
diungkapkannya kemudian.
"Kedatangan Sir Charles sangat
berpengaruh pada Egg. Dia memperluas
cakrawalanya. Di sini tidak banyak orang
muda, terutama pemuda. Saya khawatir
Egg nanti menikah dengan seseorang
hanya karena dia tak mengenal orang lain."
Mr. Satterthwaite mempunyai intuisi
tajam.
"Maksud Anda Oliver Manders?"
Wajah Lady Mary menjadi merah dan
heran.
"Oh, Mr. Satterthwaite. Anda begitu
cepat tanggap! Saya memang berpikir
tentang dia. Dia dan Egg sering bersama-
sama. Saya memang kuno, tapi saya tidak
suka beberapa pendapatnya." "Pemuda
harus menentukan pandangan mereka,"
kata Mr. Satterthwaite. Lady Mary
menggelengkan kepala.
"Saya sangat khawatir. Tentu saja mereka
serasi; saya kenal dia dengan baik,
pamannya yang mengajaknya bekerja amat
kaya. Tapi bukan itu. Saya memang tolol,
tapi..."
Ia menggelengkan kepala dan tak kuasa
menjelaskan lebih lanjut.
Mr. Satterthwaite jadi merasa dekat. Ia
berkata dengan tenang dan santai,
"Tapi Anda pasti juga tak suka kalau anak
Anda menikah dengan orang yang umurnya
dua kali lipat." Jawaban Lady Mary
membuatnya terkejut.
"Mungkin itu lebih aman. Kalau Anda
melakukan hal itu, setidaknya Anda tahu
posisi Anda. Laki-laki seumur itu biasanya
tidak lagi gila-gilaan, dan tidak akan
melakukannya kemudian." Sebelum Mr.
Satterthwaite sempat menanggapi, Egg
sudah datang. "Kenapa lama sekali?" tanya
ibunya.
"Aku bicara dengan Sir Charles. Dia
sedang sendiri." Ia berpaling dan merajuk
pada Mr. Satterthwaite. "Anda tidak
cerita tamu-tamu itu sudah pulang."
"Mereka pulang kemarin-semuanya, kecuali
Sir Bartholomew Strange. Dia akan pulang
besok, tapi dia mendapat telegram tadi
pagi. Salah seorang pasiennya dalam
keadaan kritis."
"Sayang," kata Egg. "Sebenarnya saya
ingin menyelidiki tamu-tamu itu.
Barangkali ada petunjuk."
"Petunjuk tentang apa, Sayang?"
"Mr. Satterthwaite tahu. Oh, sudahlah,
tak apa-apa. Oliver masih ada di sini. Kita
ajak dia. Dia punya otak kalau lagi mau."
Ketika Mr. Satterthwaite sampai di
Crow's Nest, tuan rumahnya sedang duduk
di teras sambil memandangi laut.
"Halo, Satterthwaite. Baru minum teh
dengan keluarga Lytton Gore, ya?"
"Ya. Kau tidak keberatan, kan?"
"Tentu saja tidak. Egg telepon. Aneh gadis
itu."
"Menarik," kata Mr. Satterthwaite.
"Hm, ya, kurasa begitu."
Ia berdiri dan berjalan mondar-mandir.
"Kalau saja aku tidak datang ke tempat
terkutuk ini," katanya tiba-tiba dengan
nada pahit.
BAB V
BABAK KEDUA
KEPASTIAN
BAB VI
Sir Charles,
Saya tak tahu kapan surat ini akan sampai.
Mudah-mudahan dapat cepat sampai. Saya
begitu khawatir dan tak tahu harus
berbuat apa. Saya rasa Anda pasti
membaca berita itu di koran-bahwa Sir
Bartholomew Strange sudah meninggal.
Dan ia meninggal dengan cara yang sama
seperti Mr. Babbington. Ini pasti bukan
kebetulan-pasti bukan. Saya sangat
khawatir.
Apakah Anda tidak dapat pulang dan
melakukan sesuatu? Rasanya kasar saya
mengucapkan hal ini-tapi Anda dulu pernah
curiga dan tak seorang pun mau
mendengar Anda. Dan sekarang, kawan
Anda yang terbunuh. Kalau Anda tidak
pulang, tak seorang pun akan menemukan
hal yang sebenarnya. Saya percaya Anda
bisa melakukannya. Saya sangat yakin.
Dan ada satu hal lagi. Saya sangat
mengkhawatirkan seseorang. Dia tak ada
hubungannya dengan soal itu, tapi
barangkali ada juga. Oh, saya tak bisa
menjelaskannya di surat. Anda bisa pulang,
kan? Anda bisa menemukan kebenaran itu.
Saya percaya.
Yang terburu-buru,
EGG.
"Hm," kata Sir Charles tak sabar. "Agak
acak-acakan. Tapi bisa dimaklumi. Dia
menulis terburu-buru. Bagaimana?"
Mr. Satterthwaite melipat surat itu
pelan-pelan dan berpikir sejenak sebelum
menjawab.
Ia setuju bahwa surat itu acak-acakan,
tapi pasti tidak ditulis dalam keadaan
terburu-buru. Ia berpendapat surat itu
justru merupakan hasil pemikiran yang
hati-hati. Surat itu dibuat untuk
memancing keangkuhan, sikap ksatria, dan
sportivitas Sir Charles.
Karena mengenal Sir Charles dengan baik,
Mr. Satterthwaite tahu surat itu
merupakan pancingan yang berhasil. "Siapa
kira-kira yang dia maksud dengan
'seseorang' dan 'dia'?" tanyanya. "Kurasa
Manders."
"Kalau begitu, dia juga ada di pesta itu?"
"Tentunya. Aku tak tahu kenapa. Tollie tak
pernah bertemu dengannya, kecuali di
pestaku dulu. Kenapa dia memintanya
datang, aku tak tahu."
"Apa dia sering mengadakan pesta-pesta
seperti itu?"
"Tiga atau empat kali setahun. Selalu
mengadakan pesta pada peringatan St.
Leger." "Dia sering menghabiskan
waktunya di Yorkshire?"
"Punya sanatorium besar atau rumah
perawatan, atau apalah namanya. Dia
membeli Melfort Abbey-sebuah bangunan
kuno yang kemudian dipugarnya dan
diubahnya menjadi sanatorium." "Hm."
Mr. Satterthwaite diam sejenak, lalu
berkata, "Siapa saja ya yang datang di
pesta itu?"
Sir Charles menjawab, barangkali tentang
itu ada beritanya di koran lainnya. Mereka
kemudian mencari-cari koran lain.
"Ini dia," kata Sir Charles. Ia membaca
keras-keras,
"Sir Bartholomew Strange mengadakan
pesta di rumahnya seperti biasa, untuk
memperingati St. Leger. Di antara para
tamu ada Lord dan Lady Eden, Lady Mary
Lytton Gore, Sir Jocelyn dan Lady
Cambell, Kapten dan Mrs. Dacres, serta
Miss Angela Sutcliffe, aktris terkenal. "
Sir Charles dan Mr. Satterthwaite
berpandangan.
"Suami-istri Dacres dan Angela
Sutcliffe," kata Sir Charles. "Tidak ada
Oliver Manders."
"Coba kita baca Continental Daily Mail
hari ini," kata Mr. Satterthwaite.
"Barangkali ada berita tambahan."
Sir Charles memandang koran itu sekilas.
Tiba-tiba ia menjadi tegang. "Dengar ini,
Satterthwaite."
"Kematian Sir Bartholomew Strange.
Dalam pemeriksaan atas kematian Sir
Bartholomew Strange hari ini diputuskan
bahwa penyebab kematian adalah
keracunan nikotin. Belum ada bukti yang
menunjukkan bagaimana atau siapa yang
melakukan peracunan itu. "
Ia mengernyitkan dahi.
"Keracunan nikotin. Kedengarannya agak
terlalu halus-bukan hal yang biasa
dilakukan untuk membuat orang stroke.
Aku tak mengerti."
"Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku lakukan? Aku akan memesan tempat
di Blue Train malam ini." "Hm, aku juga
akan pesan tempat kalau begitu," kata Mr.
Satterthwaite. "Kau?" Sir Charles
memutar badannya dan kelihatan heran.
"Aku menyukai hal-hal seperti ini," kata
Mr. Satterthwaite merendah. "Aku
pernah punya... eh... sedikit pengalaman. Di
samping itu, aku juga kenal kepala polisi
daerah itu-Kolonel Johnson. Itu akan
membantu." "Bagus!" seru Sir Charles.
"Kita pesan tempat sekarang." Mr.
Satterthwaite berpikir,
"Gadis itu berhasil. Dia membuat Sir
Charles kembali. Dia sudah mengatakan
itu. Aku tak tahu apa semua suratnya
benar."
Yang jelas, Egg Lytton Gore seorang
oportunis.
Ketika Sir Charles pergi memesan tempat,
Mr. Satterthwaite berjalan-jalan di
taman. Pikirannya masih penuh dengan
persoalan Egg Lytton Gore. Ia mengagumi
akal dan semangat gadis itu, tapi sikap
kunonya tak bisa menerima kenyataan
bahwa seorang wanita bisa mengambil
langkah-langkah inisiatif dalam urusan
cinta.
Mr. Satterthwaite seorang pengamat yang
cermat. Di tengah renungannya tentang
wanita secara umum dan Egg Lytton Gore
secara khusus, ia tak bisa menahan untuk
berkata pada diri sendiri,
"Hm, di mana aku pernah melihat bentuk
kepala yang khas seperti itu?"
Pemilik kepala itu sedang duduk di kursi
sambil melamun. Ia seorang laki-laki kecil
dengan kumis terlalu besar untuk ukuran
tubuhnya.
Seorang anak Inggris yang tampak kesal
sedang berdiri di dekatnya. Mula-mula ia
berdiri dengan kaki sebelah. Lalu dengan
kaki yang lain, dan akhirnya menyepak-
nyepakkan kakinya ke tanaman bunga di
dekat situ. "Jangan begitu, Sayang," kata
ibunya yang sedang asyik membaca
majalah mode. "Aku tidak ada kegiatan,"
kata si anak.
Laki-laki kecil itu menolehkan kepalanya
ke arah si wanita, dan Mr. Satterthwaite
pun mengenalinya. "M. Poirot," katanya,
"senang sekali berjumpa dengan Anda." M.
Poirot berdiri dan membungkuk.
"Enchante, Monsieur. "
Mereka bersalaman dan Mr.
Satterthwaite duduk.
"Kelihatannya semua orang ada di Monte
Carlo. Belum setengah jam yang lalu saya
bertemu Sir Charles Cartwright.
Sekarang Anda."
"Sir Charles? Dia juga ada di sini?"
"Dia berpesiar terus dengan perahu. Anda
tahu dia telah menjual rumahnya yang di
Loomouth, kan?" "Ah, tidak. Saya tidak
tahu. Kenapa, ya?"
"Saya tak tahu. Dia bekerja keras, lalu
sakit sebentar dan harus istirahat. Tapi
saya rasa dia bukan tipe orang yang suka
tinggal di tempat sepi dan mengucilkan
diri terus-menerus."
"Ah, benar. Saya sependapat dengan Anda
dalam hal ini. Saya heran karena hal lain.
Kelihatannya Sir Charles punya alasan
khusus untuk tinggal di Loomouth-alasan
yang menyenangkan. Apakah saya benar?
Demoiselle mungil yang namanya lucu itu?"
Matanya bersinar lembut.
"Oh, jadi Anda tahu?"
"Tentu saja. Saya tahu. Hati saya sangat
sensitif untuk hal-hal seperti itu-saya kira
Anda juga. Dan la jeunesse selalu
mengharukan."
Ia menarik napas panjang.
"Saya kira," kata Mr. Satterthwaite,
"Anda benar tentang Sir Charles. Itu yang
menyebabkan dia pergi dari Loomouth. Dia
melarikan diri."
"Dari Mademoiselle Egg? Tapi kan jelas
gadis itu mencintainya? Kenapa dia lari?"
"Ah," kata Mr. Satterthwaite, "Anda
tidak mengerti keruwetan orang-orang
Anglo-Saxon rupanya."
M. Poirot mengikuti cara berpikirnya
sendiri.
"Tentu saja," katanya, "memburu memang
tindakan bagus. Lari dari seorang wanita.
Nanti dia akan mengejar. Dengan
pengalamannya yang banyak, Sir Charles
pasti tahu itu." Mr. Satterthwaite agak
heran.
"Saya rasa tidak begitu," katanya.
"Kenapa Anda berada di sini? Liburan?"
"Setiap hari saya liburan sekarang. Saya
sudah sukses. Saya kaya. Saya pensiun.
Sekarang saya jalan-jalan, melihat dunia."
"Bagus," kata Mr. Satterthwaite.
"N'est-ce pas?"
"Mama," kata anak kecil Inggris itu, "apa
tak ada yang bisa kulakukan?"
"Sayang," jawab ibunya dengan agak kesal,
"bukankah menyenangkan pergi ke luar
negeri dan menikmati sinar matahari?"
"Ya. Tapi tak ada yang bisa kukerjakan."
"Kau bisa lari-lari dan main sendiri. Pergi
dan main sana ke laut." "Maman, " kata
seorang anak Prancis yang tiba-tiba
muncul, "joue avec moi. " Seorang ibu
Prancis memandang anaknya dari balik
buku.
"Amuse-toi avec ta balle, Marcelle."
Anak itu menurut. Ia memainkan bolanya
sambil merengut. "Je m 'amuse, " kata
Hercule Poirot dengan ekspresi aneh di
wajahnya.
Lalu, seolah-olah menjawab pertanyaan
yang dibacanya di wajah Mr.
Satterthwaite, ia berkata, "Ah, ya. Anda
punya persepsi yang tajam. Memang
seperti yang Anda pikirkan." Ia diam satu
atau dua menit, lalu berkata,
"Waktu kecil, saya amat miskin. Kami
bersaudara banyak. Kami harus berjuang
untuk hidup. Saya masuk kesatuan polisi.
Saya bekerja keras. Pelan-pelan saya naik.
Nama saya mulai dikenal. Saya mulai
mempunyai reputasi internasional.
Akhirnya saya pensiun. Lalu perang pecah.
Saya terluka. Saya sampai di Inggris
dalam keadaan lemah dan menyedihkan
sebagai pengungsi. Seorang wanita yang
baik hati dengan ramah menerima saya.
Dia meninggal; secara tak wajar; bukan,
dia dibunuh. Eh bien, saya mengerahkan
segala kemampuan untuk menyelidiki. Saya
gunakan sel-sel kelabu saya sebaik
mungkin. Saya menemukan pembunuhnya.
Ternyata itu belum selesai. Saya bahkan
lebih kuat dari sebelumnya. Lalu mulailah
karier kedua saya-yaitu agen penyelidik
swasta di Inggris. Saya berhasil
memecahkan persoalan-persoalan yang
sulit dan luar biasa. Ah, saya jadi hidup!
Psikologi manusia memang luar biasa. Saya
menjadi kaya. 'Suatu hari nanti,' begitu
saya berkata pada diri sendiri, 'aku akan
punya uang yang kuperlukan. Semua
mimpiku akan menjadi kenyataan.'"
Ia meletakkan tangannya pada lutut Mr.
Satterthwaite.
"Kawan, hati-hatilah apabila mimpi-mimpi
Anda jadi kenyataan. Anak itu juga punya
mimpi pergi ke luar negeri. Dia merasa
penuh gairah karena akan melihat segala
sesuatu yang lain. Anda mengerti?" "Saya
mengerti," kata Mr. Satterthwaite, "Anda
tidak sedang bersenang-senang." Poirot
mengangguk. "Persis."
Ada saat-saat Mr. Satterthwaite
kelihatan seperti Puck. Seperti saat ini
misalnya. Wajahnya yang kecil dan keriput
bergetar tak terkendali. Ia ragu-ragu.
Haruskah? Atau tak usah? Pelan-pelan ia
membuka koran yang masih dipegangnya.
"Anda sudah baca ini, M. Poirot?"
Ia menunjukkan paragraf yang
dimaksudnya dengan jari telunjuknya.
Laki-laki Belgia kecil itu mengambil koran
tersebut. Mr. Satterthwaite
memperhatikannya membaca. Tak ada
perubahan pada wajahnya, tapi ia merasa
badan laki-laki itu menegang seperti
anjing terrier yang mengendus lubang
tikus.
Hercule Poirot membaca artikel itu dua
kali, lalu melipat koran tersebut dan
mengembalikannya pada Mr.
Satterthwaite.
"Menarik," katanya.
"Ya. Kelihatannya Sir Charles Cartwright
yang benar dan kita keliru."
"Ya," kata Poirot. "Ya, kelihatannya kita
salah. Saya menyukainya, kawan. Saya tak
bisa percaya seorang laki-laki tua yang
begitu baik dan ramah dibunuh orang. Hm,
barangkali saya memang salah. Walaupun
kematian yang ini mungkin kebetulan.
Kebetulan memang ada dan terjadi-juga
yang paling luar biasa. Saya, Hercule
Poirot, telah melihat dan mengalami
kebetulan-kebetulan yang
mencengangkan."
Ia diam, lalu melanjutkan,
"Insting Sir Charles mungkin benar. Dia
seniman-sensitif, mudah dipengaruhi. Dia
lebih bisa merasakan daripada berpikir
logis. Cara seperti itu dalam kehidupan
memang sering membuat semua jadi
berantakan, tapi kadang-kadang bisa
dibenarkan. Di mana Sir Charles
sekarang?"
Mr. Satterthwaite tersenyum.
"Saya bisa menjawab pertanyaan itu. Dia
ada di kantor Wagons-Lits. Dia dan saya
akan kembali ke Inggris malam ini."
"Aha!" Poirot sengaja memberi tekanan
khusus pada seruannya. Matanya yang
cerah, cerdas, nakal, dan ingin tahu
bertanya. "Alangkah bersemangatnya Sir
Charles kita. Kalau begitu, dia benar-
benar mau memainkan peran itu- peran
polisi amatir? Atau ada alasan lain?"
Mr. Satterthwaite tidak menjawab.
Tetapi Poirot menarik kesimpulan dari
sikap pria itu.
"Hm," katanya. "Mata gadis yang
bercahaya itu rupanya. Bukan hanya
peristiwa kriminal ini rupanya yang
memanggil dia."
"Gadis itu menyuratinya," kata Mr.
Satterthwaite, "meminta dia kembali."
Poirot mengangguk.
"Hm, saya tak mengerti sekarang..."
Mr. Satterthwaite menyela,
"Anda tak mengerti gadis Inggris
modern? Itu tidak aneh. Saya sendiri
tidak selalu bisa memahami mereka. Gadis
seperti Miss Lytton Gore..." Kali ini Poirot
yang menyela,
"Maaf. Anda salah mengerti. Saya bisa
memahami Miss Lytton Gore dengan baik.
Saya pernah bertemu yang seperti itu-
banyak. Anda menganggapnya bertipe
modern, tapi bagaimana saya
mengatakannya? Sudah kuno."
Mr. Satterthwaite agak tersinggung. Ia
merasa hanya dirinya yang bisa memahami
Egg. Orang asing gila ini tak tahu apa-apa
tentang wanita Inggris.
Poirot masih bicara. Nada suaranya
seperti orang melamun.
"Pengetahuan tentang sifat manusia bisa
berbahaya."
"Berguna," Mr. Satterthwaite
membetulkan.
"Barangkali. Tergantung dari mana sudut
pandangnya."
"Hm," kata Mr. Satterthwaite ragu-ragu
sambil berdiri. Ia agak kecewa. Ia telah
melempar umpan, tapi ikan itu belum
muncul. Ia merasa pengetahuannya akan
sifat manusia keliru. "Selamat berlibur,
kalau begitu." "Terima kasih."
"Kalau Anda ke London kapan-kapan, saya
harap Anda bisa singgah di tempat saya."
Ia mengeluarkan kartunya. "Ini alamat
saya."
"Anda sangat baik, Mr. Satterthwaite.
Saya akan senang." "Selamat berpisah,
kalau begitu." "Selamat berpisah dan...
bon voyage. "
Mr. Satterthwaite berjalan pergi. Poirot
memandangnya sesaat, lalu menatap lurus
ke depan, ke Laut Tengah yang biru.
Ia duduk begitu kira-kira sepuluh menit.
Anak Inggris itu datang lagi.
"Aku sudah melihat laut, Ma. Apa yang
akan kulakukan sekarang?"
"Pertanyaan yang mengagumkan," kata
Hercule Poirot.
Ia berdiri dan berjalan pergi perlahan-ke
arah kantor Wagons-Lits.
BAB VII
Tamu:
Lord dan Lady Eden, Cadogan Square,
London.
Sir Jocelyn dan Lady Cambell, Harley
Street, London.
Miss Angela Sutcliffe, Cantrell Mansions,
London, S. W. 3.
Kapten dan Mrs. Dacres, St. John 's
House, London, W. 1. Mrs. Dacres
mempunyai usaha di Ambrosine, Ltd.,
Bruton Street, London.
Lady Mary dan Miss Hermione Lytton
Gore. Rose Cottage, Loomouth.
Miss Muriel Wills, Upper Cathcart Road,
Tooting.
Mr. Oliver Manders, Messrs. Speir &
Ross, Old Broad Street, E. C.
BAB VIII
KETIKA mereka sedang dijalan, Sir
Charles berkata, "Apa pendapatmu,
Satterthwaite?"
"Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya
Mr. Satterthwaite. Ia senang menyimpan
pendapatnya sampai saat terakhir. Tapi
Sir Charles tidak begitu. Ia berkata
dengan simpati,
"Mereka keliru, Satterthwaite. Mereka
cuma memikirkan pelayan itu. Pelayan itu
berbuat sesuatu-ergo, pelayan itu adalah
pembunuh. Tidak cocok. Tidak cocok. Kita
tak bisa mengesampingkan kematian
satunya-yang terjadi di rumahku."
"Kau masih menganggap keduanya
berhubungan?"
Mr. Satterthwaite menanyakan hal itu,
walaupun jawabannya telah ada dalam
hatinya.
"Ah, jelas ada hubungannya. Semua
menunjuk ke arah itu. Kita harus
menemukan faktor yang sama-orang yang
berada di kedua pesta itu."
"Ya," kata Mr. Satterthwaite. "Dan itu
bukan hal sederhana seperti yang
diperkirakan orang. Ada cukup banyak
faktor yang sama. Hampir semua orang
yang datang ke pestamu ada di tempat
ini." Sir Charles mengangguk.
"Tentu saja aku tahu itu. Tapi kau tahu
deduksi apa yang bisa diambil dari hal
itu?" "Aku kurang mengerti, Cartwright."
"Ah, kan jelas sekali. Kauanggap itu
kebetulan? Tidak. Memang disengaja.
Kenapa semua orang yang ada di kematian
pertama ada pula di kematian kedua?
Kebetulan? Pasti tidak. Itu direncanakan-
rencana Tollie." "Oh!" kata Mr.
Satterthwaite. "Ya, bisajadi."
"Itu pasti. Kau tidak mengenal Tollie
sebaik aku, Satterthwaite. Dia suka
merahasiakan rencananya dan juga amat
sabar. Selama aku mengenalnya, dia tak
pernah memberikan pendapat
serampangan.
"Babbington dibunuh seseorang-ya,
dibunuh, aku tak mau memperluas istilah-
dia dibunuh di rumahku pada suatu malam.
Tollie mengejekku, karena aku curiga. Tapi
sebetulnya dia sendiri juga curiga. Dia tak
mengatakan hal itu, itu bukan caranya.
Tapi diam-diam dia membentuk sebuah
kasus. Aku tak tahu kasus apa itu. Tapi
kurasa bukanlah kasus yang ditujukan
pada satu orang saja. Dia yakin salah satu
dari orang-orang itu bertanggung jawab
atas tindak kriminal itu, dan dia membuat
rencana. Boleh dikatakan suatu tes, untuk
mengetahui siapa orangnya."
"Bagaimana dengan tamu-tamu lain?
Suami-istri Eden atau Cambell?"
"Kamuflase. Itu membuat tujuan
sebenarnya jadi tersamar."
"Dan apa kira-kira rencana itu?"
Sir Charles mengangkat bahu-isyarat
asing yang dibesar-besarkan. Ia menjadi
Aristide Duval, otak agen rahasia itu. Kaki
kirinya tiba-tiba timpang.
"Bagaimana aku tahu? Aku bukan tukang
sulap. Aku tak bisa menebak. Tapi jelas
ada rencana. Rencana itu tidak jalan
karena si pembunuh satu tingkat lebih
pandai dari yang diperkirakan Tollie. Dia
memukul lebih dulu."
"Laki-laki?"
"Bisa juga wanita. Yang lebih suka
memakai senjata racun biasanya wanita."
Mr. Satterthwaite diam. Sir Charles
berkata,
"Ayolah, kau tak setuju? Atau kau lebih
setuju dengan opini publik. 'Pelayan itu
orangnya. Dia yang membunuh.'" "Apa
penjelasanmu tentang pelayan itu?"
"Aku belum berpikir. Kurasa dia tak
berarti. Aku bisa membuat cerita tentang
dia." "Misalnya?"
"Seandainya polisi memang benar; Ellis
seorang kriminal profesional, bekerja
sama dengan-misalnya saja- komplotan
perampok. Ellis mendapat posisi itu
dengan surat-surat keterangan palsu. Lalu
Tollie dibunuh. Bagaimana posisi Ellis?
Seseorang dibunuh, dan di rumah itu ada
orang yang sidik jarinya disimpan Scotland
Yard dan dikenal mereka. Tentu saja dia
takut dan lari."
"Tapi lorong rahasia itu?"
"Peduli amat dengan lorong rahasia. Dia
kabur dari rumah itu ketika salah seorang
polisi penjaga itu ngantuk." "Itu memang
lebih bisa diterima." "Jadi, apa
pendapatmu?"
"Pendapatku?" kata Mr. Satterthwaite.
"Oh, sama dengan pendapatmu. Sejak awal
sudah sama. Menurut pendapatku, pelayan
itu hanya kambing hitam untuk
mengalihkan perhatian. Aku yakin Sir
Bartholomew dan Babbington yang malang
itu dibunuh orang yang sama."
"Salah seorang tamu?"
"Salah seorang tamu."
Mereka diam sejenak. Lalu Mr.
Satterthwaite bertanya sambil lalu, "Yang
mana menurut pendapatmu?" "Ya Tuhan.
Bagaimana aku tahu?"
"Tentu saja engkau tidak tahu," kata Mr.
Satterthwaite pelan. "Kupikir kau punya
ide-tak perlu yang muluk-muluk atau
ilmiah. Sekadar tebakan."
"Wah, aku tak tahu." Ia diam sebentar,
lalu berkata, "Kalau kita pikir-pikir,
rasanya tak mungkin salah seorang dari
mereka yang melakukannya."
"Kurasa teorimu benar," kata Mr.
Satterthwaite. "Maksudku, tentang
orang-orang yang tak punya faktor sama.
Kau, aku, dan Mrs. Babbington, misalnya.
Juga si Manders. Dia tak perlu
diperhitungkan."
"Manders?"
"Ya. Kedatangannya ke situ kan kebetulan
saja. Dia tidak diminta atau diundang ke
situ. Jadi, dia bebas dari kecurigaan."
"Juga penulis naskah drama itu-Anthony
Astor." "Tidak. Dia juga datang. Miss
Muriel Wills dari Tooting." "Oh, dia. Aku
lupa nama aslinya Wills."
Ia mengernyitkan dahi. Mr. Satterthwaite
memang pandai membaca pikiran orang. Ia
memperkirakan dengan cukup tepat apa
yang melintas di benak sang aktor. Ketika
temannya bicara, Mr. Satterthwaite diam-
diam memuji dirinya sendiri.
"Kau benar, Satterthwaite. Kurasa yang
diundangnya bukan hanya orang-orang
yang dicurigai, sebab Lady Mary dan Egg
kan juga di sana. Kurasa dia ingin membuat
reproduksi kasus yang pertama. Dia
mencurigai seseorang, tapi juga
memerlukan saksi-saksi untuk meyakinkan
hal itu. Begitulah kira-kira."
"Ya. Begitu kira-kira," kata Tuan
Satterthwaite setuju. "Pada saat ini,
orang baru bisa melihat patokan-patokan
umum saja. Baiklah. Keluarga Lytton Gore
keluar dari grup itu; juga kau, aku, Mrs.
Babbington, serta Oliver Manders. Tinggal
siapa? Angela Sutcliffe?"
"Angie? Ya Tuhan. Dia kawan lama Tollie."
"Kalau begitu, suami-istri Dacres.
Sebenarnya kau kan curiga pada mereka.
Terus terang sajalah."
Sir Charles memandangnya. Mr.
Satterthwaite kelihatan seperti orang
yang menang bertaruh.
"Aku memang mencurigai mereka," kata
Sir Charles pelan-pelan, "karena mereka
lebih masuk akal daripada yang lain.
Sebenarnya aku tidak terlalu kenal
mereka. Tapi rasanya aku juga tak bisa
mengerti kenapa Freddie Dacres yang
dedengkot taruhan pacuan kuda itu, atau
Cynthia, yang terkenal dengan desain
baju-baju mahalnya ingin membunuh
seorang pendeta tua yang tak berdosa."
Ia menggelengkan kepala, kemudian
wajahnya berubah cerah.
"Oh ya, si Wills. Aku hampir lupa. Apa sih
yang membuat orang cenderung
melupakannya? Dia memang orang yang
paling sulit dijelaskan." Mr. Satterthwaite
tersenyum.
"Kupikir dia seperti yang dikatakan Burns,
'Seorang anak di antaramu menulis.'
Kurasa Miss Wills seperti itu. Dia orang
yang sibuk mencatat. Ada mata tajam di
balik kacamatanya. Kurasa hal-hal yang
perlu diketahui dalam urusan ini telah
diketahui Miss Wills."
"Benarkah?" kata Sir Charles ragu-ragu.
"Pokoknya sekarang kita makan siang.
Setelah itu, kita ke sana untuk melihat-
lihat atau mencari sesuatu di situ." "Kau
kelihatannya senang dengan urusan ini,
Satterthwaite," kata Sir Charles sambil
mengedipkan matanya. "Penyelidikan kasus
kejahatan bukan barang baru bagiku,"
kata Mr. Satterthwaite. "Suatu kali,
ketika mobilku rusak dan aku terpaksa
menginap di penginapan terpencil..." Ia tak
melanjutkan ceritanya.
"Aku ingat," kata Sir Charles dengan
suara tinggi dan jelas, membawakan suara
seorang aktor, "ketika aku keliling pada
tahun 1921..." Sir Charles menang.
BAB IX
BAB X
BAB XI
BAB XII
BABAK KETIGA
PENEMUAN
BAB XIII
MRS. BABBINGTON telah pindah ke
pondok nelayan kecil yang tak jauh dari
pelabuhan. Ia sedang menunggu adik
perempuannya datang dari Jepang dalam
enam bulan ini. Ia baru akan membuat
rencana masa depan kalau adiknya sudah
datang. Pondok itu kebetulan kosong dan
ia menyewanya untuk enam bulan. Ia masih
takut pergi jauh dari Loomouth karena
kehilangan yang begitu mendadak.
Stephen Babbington telah melayani gereja
St. Petroch, Loomouth, selama tujuh belas
tahun. Mereka menikmati tujuh belas
tahun yang bahagia dan penuh damai,
walaupun putra mereka, Robin, meninggal.
Anak-anak yang masih hidup adalah
Edward, yang ada di Sri Lanka; Lloyd di
Afrika Selatan; dan Stephen, perwira
militer di Angola. Mereka sering menulis
surat yang hangat dan penuh sayang, tapi
tak seorang pun bisa menawarkan rumah
atau menemani ibunya.
Margaret Babbington sangat kesepian.
Bukan karena ia membuang-buang waktu
dengan melamun. Ia masih tetap aktif di
gereja (pendeta yang baru belum
menikah), dan Margaret menghabiskan
banyak waktunya dengan merawat halaman
sempit di depan pondoknya. Ia tipe wanita
yang menganggap bunga adalah bagian dari
hidupnya.
Ia sedang merawat tanamannya di halaman
sore itu, ketika mendengar derit pintu
pagar dan melihat Sir Charles Cartwright
masuk bersama Egg Lytton Gore.
Margaret tidak heran melihat Egg. Ia
tahu gadis itu dan ibunya akan segera
kembali. Tapi ia heran melihat Sir Charles.
Ia mendengar laki-laki itu telah pergi dan
takkan kembali lagi. Koran-koran juga
memberitakan apa yang ia lakukan di
Prancis Selatan. Di halaman Crow's Nest
ada sebuah papan yang bertuliskan
DIJUAL. Tak seorang pun membayangkan
ia akan kembali lagi. Tapi nyatanya ia
datang kembali.
Mrs. Babbington menepis rambut dari
dahinya yang kepanasan dan memandang
sedih pada tangannya yang kotor penuh
tanah.
"Saya tak bisa bersalaman," katanya.
"Seharusnya saya memakai sarung tangan.
Kadang-kadang saya memang memakainya,
tapi sarung tangan itu selalu robek.
Dengan tangan saja rasanya lebih enak."
Ia mengajak mereka masuk rumah. Ruang
duduk mungil itu kelihatan nyaman dengan
sejumlah hiasan dari kain. Di situ ada
foto-foto dan sejumlah jambangan berisi
bunga seruni.
"Kedatangan Anda sangat mengejutkan,
Sir Charles. Saya kira Anda telah
meninggalkan Crow's Nest untuk
selamanya."
"Saya pikir juga begitu," kata aktor itu
terus terang. "Tapi kadang-kadang, Mrs.
Babbington, nasib menentukan lain."
Mrs. Babbington tidak menanggapi. Ia
memandang Egg, tapi gadis itu menahan
kata-katanya di bibir.
"Begini, Mrs. Babbington. Ini bukan
sekadar kunjungan. Sir Charles dan saya
ingin membicarakan sesuatu yang serius.
Tapi saya... saya tak ingin membuat Anda
sedih."
Mrs. Babbington memandang gadis itu, lalu
ganti memandang Sir Charles. Wajahnya
berubah agak keabu-abuan dan sedikit
berkerut.
"Pertama-tama," kata Sir Charles, "saya
ingin bertanya apakah Anda telah
menerima informasi itu." Mrs. Babbington
menganggukkan kepalanya.
"Hm. Mungkin itu akan membuat
percakapan kita nanti jadi lebih mudah."
"Itukah maksud kedatangan Anda?
Perintah penggalian kembali?" "Ya.
Tentunya... sangat menyedihkan bagi
Anda." Hatinya melembut mendengar
suara Sir Charles yang penuh simpati.
"Barangkali tidak apa-apa. Bagi beberapa
orang tertentu, penggalian kembali pasti
mengerikan, tapi tidak buat saya. Bukan
tanah liat mati yang penting bagi saya.
Suami saya ada di suatu tempat, penuh
damai, tempat tak seorang pun bisa
mengganggunya. Bukan, bukan itu. Yang
mengejutkan saya adalah ide itu. Ide
kematian Stephen bukan kematian yang
wajar. Rasanya begitu tak masuk akal-
sangat tak masuk akal."
"Saya mengerti. Anda pasti merasa
demikian. Kami sendiri juga merasakan hal
yang demikian-pertama-tama."
"Apa maksud Anda dengan 'pertama-
tama', Sir Charles?"
"Karena suatu kecurigaan menyelinap di
hati saya pada malam kematian suami
Anda, Mrs. Babbington. Seperti Anda,
saya pun merasa itu tak mungkin, sehingga
saya mengesampingkannya." "Saya juga
berpikir begitu," kata Egg.
"Anda juga?" tanya Mrs. Babbington. Ia
memandang gadis itu dengan heran. "Anda
pikir ada orang yang tega membunuh
Stephen?"
Keraguan dalam suaranya begitu besar,
sehingga kedua tamunya tak tahu
bagaimana harus melanjutkan. Akhirnya
Sir Charles melanjutkan,
"Seperti Anda ketahui, Mrs. Babbington,
saya pergi ke luar negeri. Ketika masih di
Prancis Selatan, saya membaca dari koran
tentang kematian teman saya, Sir
Bartholomew Strange, dalam situasi yang
hampir sama. Saya juga menerima surat
dari Miss Lytton Gore."
Egg mengangguk.
"Saya datang di pesta itu. Menginap di
rumahnya. Mrs. Babbington, kejadiannya
sama-persis sama. Dia minum anggur, lalu
wajahnya berubah, dan... dan... ya, sama.
Dia meninggal dua atau tiga menit
kemudian." Mrs. Babbington
menggelengkan kepalanya pelan.
"Saya tidak mengerti. Stephen! Sir
Bartholomew-dokter yang cerdas dan
baik! Siapa yang tega menyakiti mereka?
Itu pasti kekeliruan."
"Sir Bartholomew terbukti keracunan,
ingat," kata Sir Charles. "Kalau begitu, ini
pasti pekerjaan orang gila." Sir Charles
melanjutkan,
"Mrs. Babbington, saya ingin benar-benar
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
di balik peristiwa ini. Dan saya merasa kita
tak boleh membuang-buang waktu. Sekali
berita tentang penggalian itu tersebar, si
penjahat akan menjadi waspada. Untuk
menghemat waktu, saya ingin membuat
asumsi bahwa kematian Mr. Babbington
juga diakibatkan keracunan nikotin.
Pertama-tama, apakah Anda atau Mr.
Babbington tahu tentang penggunaan
nikotin murni?"
"Saya selalu menggunakan larutan nikotin
untuk menyemprot mawar. Saya tak tahu
larutan itu beracun."
"Saya pikir-tadi malam saya membaca hal
itu-dalam kedua kasus ini, dipergunakan
alkaloid murni. Kasus peracunan dengan
nikotin memang tidak biasa."
Mrs. Babbington menggelengkan kepala.
"Saya benar-benar tidak tahu apa-apa
tentang peracunan nikotin. Saya kira
hanya pecandu rokok yang mungkin
menderita karenanya."
"Apa suami Anda merokok?" "Ya."
"Coba sekarang Anda jelaskan. Anda tadi
menunjukkan rasa heran karena ada orang
yang tega membunuh suami Anda. Apakah
itu berarti-setahu Anda-dia tak punya
musuh?"
"Saya yakin Stephen tak punya musuh.
Setiap orang menyukainya. Kadang-kadang
orang-orang bahkan memburunya." Ia
tersenyum sedih. "Dia memang sudah tua
dan kadang-kadang takut pada penemuan-
penemuan baru, tapi setiap orang
menyukainya. Orang tak bisa tidak
menyukai dia."
"Apakah Mr. Babbington meninggalkan
banyak uang?"
"Tidak. Hampir tak ada. Dia tak bisa
menabung. Dia memberi terlalu banyak.
Saya biasanya marah karenanya." "Dia
juga tidak mengharap mendapat sesuatu
dari orang lain? Dia bukan ahli waris?"
"Oh, tidak. Stephen tak punya banyak
kerabat. Dia punya seorang saudara
perempuan yang menikah dengan pendeta
di Northumberland, tapi mereka miskin.
Semua paman dan bibinya sudah
meninggal." "Kalau begitu, tak ada orang
yang akan mendapatkan sesuatu karena
kematian Mr. Babbington?" "Sama sekali
tidak."
"Saya ingin kembali pada soal musuh,
sebentar saja. Kata Anda Mr. Babbington
tak punya musuh. Bagaimana dengan ketika
dia masih muda?" Mrs. Babbington tampak
skeptis.
"Rasanya tidak mungkin. Dia bukan tipe
orang yang suka bermusuhan. Dia selalu
baik pada orang lain." "Saya tak ingin
memberi kesan melodramatis," Sir Charles
berkata sambil berdeham-deham karena
agak gugup, "tapi... eh... ketika dia
bertunangan dengan Anda, misalnya, apa
tak ada pihak lain yang kecewa?" Mata
Mrs. Babbington bersinar sekejap.
"Stephen adalah kurator ayah saya. Dia
pemuda pertama yang saya lihat ketika
saya pulang setelah menamatkan sekolah.
Kami saling jatuh cinta. Kami bertunangan
selama empat tahun, lalu dia punya
pekerjaan dan tempat tinggal di Kent, dan
kami bisa menikah. Kisah cinta kami
sangat sederhana, Sir Charles, dan sangat
bahagia."
Sir Charles menganggukkan kepala.
Kewibawaan Mrs. Babbington yang
sederhana itu sangat menarik.
Egg menggantikan peran penanya,
"Mrs. Babbington, apakah Mr. Babbington
pernah bertemu dengan salah seorang
tamu di pesta itu sebelumnya?"
Mrs. Babbington kelihatan agak heran.
"Ibu Anda dan Anda sendiri, lalu Oliver
Manders."
"Tamu-tamu lainnya?"
"Kami pernah melihat Angela Sutcliffe
dalam suatu pertunjukan di London lima
tahun yang lalu. Stephen dan saya senang
karena akan bertemu langsung
dengannya." "Anda sebelumnya tak pernah
bertemu dengannya?"
"Tidak. Kami tak pernah bertemu aktris
atau aktor, sampai Sir Charles datang
kemari. Dan itu," kata Mrs. Babbington,
"membuat kami merasa menggebu-gebu.
Saya kira Sir Charles tidak tahu hal itu
merupakan sesuatu yang luar biasa bagi
kami. Seperti embusan roman dalam hidup
kami."
"Anda belum pernah bertemu Kapten dan
Mrs. Dacres?"
"Apa dia laki-laki kecil dengan wanita
berbaju bagus itu?"
"Ya."
"Tidak. Juga wanita yang satunya-yang
menulis drama. Kasihan. Kelihatannya dia
tak bisa masuk lingkungan itu."
"Anda yakin belum pernah bertemu
dengan mereka sebelumnya?"
"Saya yakin belum pernah. Dan saya juga
yakin Stephen juga belum pernah. Kami
selalu melakukan segalanya bersama-
sama."
"Dan Mr. Babbington tidak berkata apa-
apa pada Anda? Tidak sama sekali,
tentang orang-orang yang akan Anda
temui atau yang Anda temui ketika dia
telah melihat mereka?" tanya Egg ngotot.
"Tidak, tak ada. Kami hanya
membayangkan akan menikmati malam
yang menarik. Dan ketika kami sampai di
sana... hm, tak banyak waktu..." Tiba-tiba
wajahnya gemetar.
Sir Charles menyela dengan cepat,
"Maaf, kami telah mengganggu Anda
seperti ini. Tapi kami merasa pasti ada
sesuatu. Pasti ada alasan untuk
pembunuhan yang begitu brutal dan
kejam."
"Ya," kata Mrs. Babbington. "Seandainya
ini memang suatu pembunuhan, harus ada
alasannya. Tapi saya tahu- saya tak bisa
membayangkan-alasan apa yang menjadi
sebab."
Mereka diam sejenak. Lalu Sir Charles
berkata,
"Bisakah Anda memberikan gambaran
sekilas tentang karier suami Anda?"
Mrs. Babbington mempunyai ingatan kuat
atas tanggal-tanggal. Demikianlah yang
dicatat Sir Charles:
Stephen Babbington, lahir di Islington,
Devon, 1868.
Bersekolah di St. Paul's School dan
Oxford. Ditahbiskan di Hoxton, 1891.
Dikukuhkan tahun 1892. Jadi kurator di
Elsington, Surrey, pada Pendeta Vernon
Lorrimer 1894 - 1899. Menikah dengan
Margaret Lorrimer, 1899, menjadi
pendeta di St. Mary's, Gilling. Pindah ke
St. Petroch, Loomouth, 1916.
BAB XIV
MR. SATTERTHWAITE datang ke Crow's
Nest dengan Sir Charles. Ketika tuan
rumah pergi dengan Egg Lytton Gore
mengunjungi Mrs. Babbington, Mr.
Satterthwaite minum teh dengan Lady
Mary.
Lady Mary menyukai Mr. Satterthwaite.
Walaupun sikapnya lembut, ia mempunyai
pandangan tegas tentang siapa yang
disukainya dan yang tidak.
Mr. Satterthwaite menghirup teh Cina
dari sebuah cangkir Dresden dan makan
sepotong sandwich mungil sambil
mengobrol. Dalam kunjungannya yang
terakhir, mereka ternyata mempunyai
kenalan dan teman-teman yang sama.
Sekarang keduanya bicara tentang
mereka, tapi pelan-pelan pembicaraan itu
beralih pada hal-hal yang lebih akrab. Mr.
Satterthwaite adalah pribadi yang
simpatik; ia mendengarkan keluhan orang
lain dan tidak mengganggu mereka dengan
persoalannya sendiri. Dalam kunjungannya
yang terakhir pun Lady Mary bisa bicara
bebas tentang kekhawatirannya akan masa
depan anaknya. Dan ia sekarang bicara
padanya, seolah-olah pada orang yang
sudah bertahun-tahun ia kenal.
"Egg itu keras kepala," katanya. "Dia biasa
melakukan apa yang disukainya.
Sebenarnya saya tak suka melihat dia
terlibat dalam urusan yang... menyedihkan
ini. Egg pasti akan menertawakan saya.
Tapi rasanya itu bukan hal yang pantas
dilakukan wanita."
Mukanya berubah merah ketika ia bicara.
Matanya yang cokelat, lembut, dan jujur
memandang Mr. Satterthwaite seperti
anak yang minta tolong.
"Saya tahu apa yang Anda maksud,"
katanya. "Terus terang, saya sendiri juga
tidak suka. Saya tahu hal itu merupakan
prasangka kuno. Tapi ya... apa boleh buat,"
ia mengedipkan matanya, "kita tak bisa
mengharap gadis-gadis muda itu bisa
duduk diam, menjahit, dan menjadi
ketakutan mendengar berita pembunuhan
seperti itu."
"Saya tidak suka berpikir tentang
pembunuhan," kata Lady Mary. "Saya tak
pernah... tak pernah sekali pun bermimpi
akan terlibat dalam urusan ini. Sangat
mengerikan." Ia gemetar. "Kasihan Sir
Bartholomew."
"Anda tidak terlalu mengenal dia?" tanya
Mr. Satterthwaite.
"Saya cuma bertemu dia dua kali. Yang
pertama kira-kira satu tahun yang lalu,
ketika dia datang menginap di rumah Sir
Charles pada suatu akhir pekan. Dan yang
kedua adalah pada malam mengerikan
ketika Mr. Babbington meninggal. Saya
heran ketika mendapat undangan darinya.
Saya menerimanya karena saya berpikir
Egg akan menyukainya. Tak banyak yang
bisa saya berikan. Kasihan Egg-apalagi dia
agak murung waktu itu, seolah-olah dia
tidak tertarik pada apa-apa. Saya pikir
pesta di rumah besar begitu akan
membuatnya gembira."
Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Coba Anda ceritakan tentang Oliver
Manders," katanya. "Saya tertarik pada
anak itu." "Saya kira dia cerdas," kata
Lady Mary. "Memang semuanya sulit buat
dia." Wajahnya merah. Lalu ia menjawab
pandangan bertanya Mr. Satterthwaite.
Lanjutnya, "Ayahnya tidak menikah
dengan ibunya." "Benarkah? Saya tak tahu
itu."
"Setiap orang di sini tahu. Kalau tidak,
saya tak akan bicara tentang hal itu. Mrs.
Manders tua, nenek Oliver, tinggal di
Dunboyne, rumah besar di jalan ke
Plymouth itu. Suaminya pengacara. Anak
laki-lakinya bekerja di sebuah perusahaan
di kota. Dia orang kaya. Anak
perempuannya cantik, dan terpikat pada
laki-laki yang sudah beristri. Pada
akhirnya, setelah terjadi banyak
keributan, mereka pergi bersama. Tapi
istri laki-laki itu tak mau menceraikan
suaminya. Gadis itu meninggal tak lama
setelah Oliver lahir. Pamannya yang ada di
London itu memeliharanya, karena dia tak
punya anak. Oliver membagi waktunya
untuk paman dan neneknya. Dia selalu ke
sini pada liburan musim panas."
Ia diam, lalu melanjutkan,
"Saya selalu kasihan padanya. Saya pikir
sikapnya yang sombong itu hanya dibuat-
buat."
"Saya tak heran," kata Mr. Satterthwaite.
"Hal begitu sangat biasa. Apabila ada
orang yang kelihatan memikirkan dirinya
sendiri dan selalu menyombong, saya tahu
di baliknya ada rasa rendah diri yang
tersembunyi." "Rasanya aneh."
"Kompleks rendah diri memang aneh.
Crippen, misalnya, dia menderita perasaan
itu. Dan bisa menjadi latar belakang
terjadinya kriminalitas. Keinginan untuk
memaksakan kepribadian seseorang."
"Rasanya aneh bagi saya," gumam Lady
Mary.
Ia kelihatan agak berkerut. Mr.
Satterthwaite melihatnya dengan mata
sentimentil. Pria itu menyukai tubuhnya
yang luwes dengan bahu melekuk halus,
mata cokelat yang lembut, dan wajahnya
yang tanpa makeup. Ia berpikir, "Dia pasti
cantik ketika muda."
Bukan kecantikan yang menonjol dan
segera menarik perhatian. Bukan
kecantikan bunga mawar, tapi kecantikan
sekuntum bunga violet yang sederhana
namun menawan, yang menyembunyikan
kemanisannya. Pikirannya diam-diam
kembali ke masa mudanya.
Tanpa sadar ia menceritakan kisah
cintanya di waktu muda kepada Lady
Mary-satu-satunya kisah cinta yang
dialaminya. Kisah cinta yang biasa-biasa
saja untuk ukuran sekarang, tapi amat
khusus bagi Mr. Satterthwaite.
Ia bercerita tentang gadis yang
dicintainya, kecantikannya, dan kepergian
mereka bersama melihat bunga-bunga
bluebell di Kew. Ia bermaksud melamarnya
hari itu. Ia sudah membayangkan gadis itu
akan membalas perasaannya. Dan
kemudian, ketika mereka berdiri
berdekatan sambil memandangi bunga-
bunga itu, si gadis bercerita kepadanya.
Akhirnya ia tahu bahwa gadis itu
mencintai orang lain. Ia menyembunyikan
pikiran dan perasaannya serta berganti
peran menjadi sahabat setia.
Mungkin itu bukan kisah cinta yang hebat,
tapi cerita itu terdengar menarik di ruang
Lady Mary yang dilengkapi perabot
berlapis kain katun yang sudah pudar
warnanya dan hiasan keramik tua.
Setelah itu, Lady Mary bercerita tentang
kehidupannya sendiri-kehidupan
perkawinannya yang tidak begitu bahagia.
"Saya dulu gadis tolol-gadis-gadis memang
tolol, Mr. Satterthwaite. Mereka begitu
percaya pada diri sendiri, yakin mereka
tahu yang paling baik. Orang menulis dan
bicara banyak tentang insting wanita, tapi
saya tak percaya hal itu. Rasanya tak ada
sesuatu yang mengingatkan gadis-gadis
tentang tipe laki-laki tertentu. Maksud
saya dari dalam diri mereka sendiri.
Orangtua mereka mengingatkan mereka,
tapi tidak mereka hiraukan, mereka tak
percaya. Rasanya menyedihkan, tapi
seorang gadis justru semakin tertarik
kalau ada yang memberitahu bahwa
pacarnya bukan pria baik-baik. Dia merasa
cintanya akan bisa mengubah laki-laki itu."
Mr. Satterthwaite mengangguk pelan.
"Orang biasanya tahu begitu sedikit. Saat
dia tahu lebih banyak, sudah terlambat."
Lady Mary menarik napas.
"Sebenarnya semua salah saya. Keluarga
saya tak setuju saya menikah dengan
Ronald. Dia dari keluarga baik-baik, tapi
reputasinya buruk. Ayah saya dengan
terus terang menasihati saya, dan
mengatakan dia bukan pemuda baik-baik.
Tapi saya tak percaya. Saya pikir dia akan
berubah karena dia mencintai saya."
Ia diam sesaat, mengenang hal-hal yang
telah lewat.
"Ronald laki-laki yang menarik. Apa yang
dikatakan Ayah tentang dia memang
benar. Saya segera melihatnya.
Sebetulnya hal itu kuno-tapi dia membuat
saya sedih. Ya, dia membuat saya sedih.
Saya selalu takut dengan apa yang terjadi
kemudian."
Mr. Satterthwaite, yang selalu tertarik
pada kehidupan orang lain, menggumamkan
tanggapan simpatik yang hati-hati.
"Mungkin ini hal yang kejam, Mr.
Satterthwaite, tapi saya lega ketika dia
menderita pneumonia dan akhirnya
meninggal. Bukan karena saya tidak lagi
mencintainya-saya tetap mencintai dia
sampai meninggal-tapi saya sudah sadar
dan tak punya ilusi lagi tentang dirinya.
Lalu ada Egg."
Suaranya melembut.
"Dia sangat lucu. Berguling-guling waktu
belajar berdiri. Seperti telur-karena itu
dijuluki Egg." Ia diam lagi.
"Beberapa buku yang saya baca beberapa
tahun terakhir ini membuat saya tenang.
Buku-buku tentang psikologi. Buku-buku
itu menunjukkan bahwa dalam banyak hal,
orang memang sering tak bisa berbuat
apa-apa. Seperti suatu kekusutan. Kadang-
kadang dalam keluarga yang berpendidikan
baik, hal itu terjadi. Waktu masih muda,
Ronald mencari uang di sekolah-uang yang
sebenarnya tidak dia perlukan. Saya bisa
merasakan dia memang tak bisa melawan
kebiasaan itu. Dia lahir dengan kekusutan
itu."
Dengan lembut Lady Mary mengusap
matanya dengan saputangan kecil.
"Hal itu tak bisa diterima dalam prinsip
pendidikan saya," katanya. "Saya diajar
bahwa setiap orang tahu membedakan
antara salah dan benar. Tapi rupanya
tidak selalu begitu."
"Pikiran manusia memang suatu misteri,"
kata Mr. Satterthwaite lembut. "Kita
hanya bisa berusaha mengerti. Memang
ada pribadi-pribadi yang kurang atau tidak
mempunyai kekuatan untuk mengerem.
Seandainya saya atau Anda berkata, 'Saya
benci seseorang. Mudah-mudahan dia
mati.' Hal itu akan lepas dari pikiran kita
begitu kata-kata itu kita ucapkan. Rem itu
akan bekerja secara otomatis. Tapi untuk
orang-orang tertentu, ide atau obsesi itu
jalan terus. Mereka tak melihat apa-apa
kecuali realisasi ide itu."
"Rasanya," kata Lady Mary, "itu terlalu
tinggi untuk saya pahami."
"Maaf. Saya memang bicara berdasarkan
buku saja."
"Maksud Anda, apakah anak-anak muda itu
terlalu kurang kontrol sekarang ini?"
"Bukan, sama sekali bukan itu maksud
saya. Kurang kontrol-saya kira itu bagus-
bebas mengekspresikan diri. Anda
berpikir tentang Miss... Egg."
"Saya kira sebaiknya Anda panggil dia Egg
saja," kata Lady Mary tersenyum. "Terima
kasih. Miss Egg memang kedengarannya
agak aneh."
"Egg sangat impulsif. Sekali dia
memutuskan sesuatu, tak ada yang bisa
menghalanginya. Seperti yang saya
katakan tadi, saya tak suka dia terlibat
dengan urusan itu. Tapi dia tak mau
mendengarkan saya." Mr. Satterthwaite
tersenyum mendengar kesedihan pada
nada suara Lady Mary. Ia berpikir,
"Bagaimana kalau dia tahu minat Egg
dalam kriminalitas itu hanya alasan untuk
melakukan taktik kuno itu- permainan si
wanita mengejar si laki-laki? Ah, Lady
Mary pasti cemas kalau tahu yang
sebenarnya."
"Egg bilang, Mr. Babbington juga diracun.
Anda pikir itu benar, Mr. Satterthwaite?
Apa itu hanya salah satu kata-kata Egg
yang suka gegabah?"
"Kita akan tahu pasti setelah penggalian."
"Oh, apa akan ada penggalian?" Lady Mary
gemetar. "Kasihan Mrs. Babbington! Tak
ada yang lebih menyedihkan bagi seorang
wanita selain hal seperti itu."
"Anda kenal dekat dengan Mrs.
Babbington?" "Ya, tentu saja. Kami
bersahabat."
"Anda tahu seseorang yang barangkali
tidak suka pada Pak Pendeta?" "Tidak."
"Dia tak pernah bicara tentang hal itu?"
"Tidak."
"Hubungan suami-istri itu baik-baik saja?"
"Ya. Mereka bahagia. Suami, istri, dan
anak-anak. Tentu saja hidup mereka pas-
pasan, dan Mr. Babbington menderita
rematik. Itu saja kesulitan mereka."
"Bagaimana hubungan Oliver Manders
dengan Pak Pendeta?"
"Ya..." Lady Mary ragu-ragu. "Bisa
dikatakan tidak terlalu baik. Keluarga
Babbington kasihan pada Oliver, dan anak
itu dulu suka ke tempat mereka, bermain-
main dengan anak-anak mereka pada waktu
libur, walaupun saya kira
dia tidak terlalu akrab dengan mereka.
Oliver bukanlah pemuda yang populer. Dia
suka menyombongkan uangnya, sekolahnya,
dan kesenangan-kesenangan lain yang
diperolehnya di London. Anak laki-laki
memang suka begitu." "Ya... bagaimana
akhir-akhir ini setelah dia dewasa?"
"Saya kira mereka tidak sering bertemu.
Oliver pernah bersikap agak kasar pada
Mr. Babbington di sini, di rumah saya.
Kejadiannya kira-kira dua tahun yang lalu."
"Apa yang terjadi?"
"Oliver menyatakan pendapatnya yang
menyerang kekristenan. Mr. Babbington
sangat hormat dan sabar padanya, tapi itu
justru membuat Oliver tambah ganas. Dia
berkata, 'Semua orang beragama
menghinaku karena ayah-ibuku tidak
menikah. Barangkali kalian menyebutku
anak haram. Hm, aku mengagumi orang-
orang yang punya keberanian untuk
menyatakan apa yang mereka percayai dan
aku tak peduli pada apa yang dipikirkan
pendeta-pendeta atau para hipokrit
lainnya.' Mr. Babbington tidak menjawab.
Tapi Oliver melanjutkan, 'Anda tak mau
menjawab itu. Seluruh dunia ini
berantakan karena eklesiastisme dan
takhayul. Rasanya aku ingin menyapu
semua gereja di dunia ini.' Mr. Babbington
tersenyum dan berkata, 'Dan pendetanya
juga?' Saya kira senyum itulah yang
menyakitkan hati Oliver. Dia merasa
dianggap main-main. Dia berkata, 'Aku
benci semua yang ada di gereja.
Keangkuhan, keamanan, kemunafikan.
Berantas saja semuanya.' Mr. Babbington
tersenyum-senyumnya sangat manis-dan
dia berkata, 'Anakku, kalaupun kau bisa
menghancurkan semua gereja yang telah
dibangun atau direncanakan, kau masih
harus berhadapan dengan Tuhan.'"
"Lalu dia bilang apa?"
"Dia kelihatan terkejut, lalu kembali ke
sikap lamanya yang suka menghina, sinis,
dan menjengkelkan. "Dia bilang,
'Barangkali apa yang kukatakan tadi tidak
terekspresikan dengan baik dan tidak bisa
dicerna dengan mudah oleh generasi
Anda.'"
"Anda tak suka pada Oliver Manders, Lady
Mary?" "Saya kasihan padanya," kata Lady
Mary membela diri. "Tapi Anda tak setuju
dia menikah dengan Egg?" "Tidak."
"Kenapa sebenarnya?"
"Karena... karena dia tidak baik. Dan
karena..."
"Ya?"
"Karena ada sesuatu pada dirinya yang
tidak saya mengerti. Sesuatu yang dingin."
Mr. Satterthwaite memandangnya
sejenak, kemudian berkata,
"Bagaimana pendapat Sir Bartholomew
Strange tentang dia? Pernahkah dia
bicara tentang Oliver?"
"Saya ingat, dia mengatakan Oliver
Manders merupakan kasus yang menarik.
Katanya anak itu mengingatkannya pada
satu kasus yang sedang ditanganinya di
rumah sakitnya. Saya katakan Oliver
kelihatan kuat dan sehat. Dan dia berkata,
'Ya, kesehatannya memang baik, tapi dia
menuju kehancuran.'"
Ia diam, lalu berkata,
"Saya rasa Sir Bartholomew dokter yang
cerdas." "Kolega-koleganya sangat
menghormati dia." "Saya menyukainya,"
kata Lady Mary.
"Pernahkah dia mengatakan sesuatu pada
Anda tentang kematian Mr. Babbington?"
"Tidak."
"Sama sekali tidak?" "Saya rasa tidak."
"Menurut Anda-pasti ini sulit bagi Anda,
karena Anda tidak terlalu kenal dia-
menurut Anda, apakah ada sesuatu di
dalam pikirannya?"
"Dia kelihatan riang, bahkan geli akan
sesuatu hal-leluconnya sendiri. Dia
mengatakan pada makan malam itu akan
membuat kejutan." "Benarkah?"
Mr. Satterthwaite merenungkan hal itu
dalam perjalanan pulang.
Kejutan apa kira-kira yang akan diberikan
Sir Bartholomew pada tamu-tamunya?
Apakah memang akan lucu, seperti yang ia
perkirakan?
Atau sikap riang merupakan topeng dari
tujuan yang sulit dikontrol? Apakah ada
yang tahu?
BAB XV
BAB XVI
BAB XVII
"IKANNYA sudah muncul," kata Hercule
Poirot.
Mr. Satterthwaite, yang memperhatikan
pintu ditutup oleh kedua orang itu,
terkejut ketika menoleh memandang
Poirot. Pria itu sedang tersenyum dengan
wajah agak mencemooh.
"Ya, ya. Jangan membantah. Anda dengan
sengaja menunjukkan umpan itu pada saya
waktu di Monte Carlo. Iya, kan? Anda
menunjukkan artikel di koran. Anda
berharap saya tertarik, sehingga saya
melibatkan diri dalam urusan itu."
"Memang benar," kata Mr. Satterthwaite
mengaku. "Tapi saya pikir saya gagal."
"Tidak, tidak. Anda tidak gagal. Anda
pengamat watak manusia yang amat tajam.
Saya bosan, seperti anak kecil yang di
pantai itu-tak ada yang dia kerjakan. Anda
datang tepat pada waktunya-dan memang,
banyak tindak kriminal yang ditentukan
oleh saat yang tepat. Tapi kita kembali
saja ke domba kita. Tindak kejahatan ini
sangat menarik, sangat membingungkan."
"Yang mana-pertama atau kedua?"
"Hanya ada satu; yang pertama adalah
separo dan yang kedua juga separo dari
satu tindak kriminal. Separo yang kedua
sangat sederhana-motifnya, cara yang
digunakannya..." Mr. Satterthwaite
menyela,
"Rasanya caranya sama-sama sulit. Tak
ada racun yang ditemukan dalam anggur,
dan makanannya dimakan semua orang."
"Tidak, tidak, sama sekali lain. Dalam
kasus pertama, kelihatannya tak seorang
pun bisa meracuni Stephen Babbington.
Kalau mau, Sir Charles bisa saja meracuni
salah satu tamunya, tapi bukan tamu
tertentu. Temple bisa saja menyelipkan
sesuatu ke dalam gelas terakhir, tapi
gelas Mr. Babbington bukan gelas
terakhir. Pembunuhan Mr. Babbington
kelihatannya amat tak masuk akal,
sehingga saya masih merasa mungkin hal
itu memang tak masuk akal -jadi, dia
memang meninggal secara wajar. Tapi itu
akan kita ketahui tak lama lagi. Kasus yang
kedua lain. Setiap tamu yang hadir, atau
kepala pelayan, atau pelayan lain, bisa saja
meracuni Bartholomew Strange. Itu tidak
sulit."
"Saya tidak melihat...," kata Mr.
Satterthwaite.
Poirot melaju terus,
"Nanti akan saya buktikan pada Anda
dengan eksperimen kecil. Kita bicarakan
hal yang lebih penting dulu. Nanti akan
Anda lihat-dan ketahui. Anda memiliki hati
yang penuh simpati dan penuh pengertian.
Saya tak akan memainkan peranan anak
manja."
"Maksud Anda...," kata Mr. Satterthwaite,
mulai tersenyum.
"Sir Charles harus memainkan peran
seorang bintang! Dia sudah terbiasa. Dan
lagi, ada orang lain yang mengharapkan dia
memainkan peran itu. Saya tak salah, kan?
Keikutsertaan saya dalam urusan ini tidak
menyenangkan hati gadis itu."
"Anda memang orang yang cepat tanggap,
M. Poirot."
"Ah, itu kan jelas kelihatan di depan mata!
Saya cukup perasa. Saya ingin memberi
peluang bagi sebuah kisah cinta, bukan
menghalanginya. Anda dan saya-kita harus
bekerja sama-untuk kemuliaan Sir Charles
Cartwright. Bukan begitu? Bila kasus itu
sudah terselesaikan..."
"Jika...," kata Mr. Satterthwaite ragu.
"Bila! Saya tak akan membiarkannya
gagal."
"Tak pernah?" tanya Mr. Satterthwaite
menyelidik.
"Ada saat-saat saya tidak cepat tanggap,"
kata Poirot dengan penuh wibawa. "Saya
tak bisa merasakan kebenaran secepat
yang biasa saya rasakan."
"Tapi Anda tak pernah gagal sama sekali?"
Desakan Mr. Satterthwaite ini memang
sekadar rasa ingin tahu yang sederhana.
Ia bertanya-tanya. "Eh, bien, " kata
Hercule Poirot. "Suatu waktu. Sudah lama
sekali dulu. Ketika saya di Belgia. Kita tak
perlu bicara tentang hal itu."
Rasa ingin tahu dan kenakalan Mr.
Satterthwaite rupanya telah terpuaskan.
Ia cepat-cepat mengganti arah
pembicaraan,
"Ah, ya. Anda tadi bilang, jika kasus ini
terpecahkan..."
"Sir Charles yang akan menyelesaikannya.
Itu penting. Saya hanya akan menjadi gigi
sebuah roda bergigi." Ia mengembangkan
kedua tangannya. "Sekali-sekali, di sana-
sini-saya akan berkata sedikit-sedikit-
hanya sedikit kata-kata-petunjuk-tak
lebih. Saya tak ingin penghormatan atau
kepopuleran. Saya sudah punya."
Mr. Satterthwaite mengamati pria itu
dengan rasa ingin tahu. Ia senang melihat
kesombongan yang naif dan egoisme yang
begitu besar dalam diri laki-laki kecil itu.
Tapi ia memang tidak omong kosong. Pria
Inggris biasanya bersikap merendah
dengan apa yang telah berhasil ia lakukan
dengan baik, dan kadang-kadang senang
dengan apa yang tidak dikerjakan dengan
baik. Tapi pria Latin lebih bisa menghargai
kekuatannya sendiri. Kalau memang pandai
ia tak perlu mencari alasan untuk
menutup-nutupi fakta itu.
"Saya ingin tahu," kata Mr.
Satterthwaite. "Ini menarik untuk saya
ketahui-apa sebenarnya yang ingin Anda
dapatkan dari urusan ini? Apakah kasus ini
menarik?"
Poirot menggelengkan kepala.
"Bukan, bukan, bukan itu. Seperti chien de
chasse, saya hanya mengikuti penciuman,
dan saya menjadi tertarik. Sekali mencium
sesuatu, saya tak bisa membuangnya. Itu
memang benar. Tapi ada yang lebih dari
itu. Bagaimana saya mengatakannya?
Suatu nafsu untuk mengetahui kebenaran.
Di dunia ini tak ada yang lebih
menimbulkan rasa ingin tahu, lebih
menarik, dan lebih indah kecuali
kebenaran."
Mereka diam sejenak setelah Poirot
berkata-kata.
Lalu ia mengambil kertas Mr.
Satterthwaite yang berisi tujuh nama dan
membacanya,
"Mrs. Dacres, Kapten Dacres, Miss Wills,
Miss Sutcliffe, Lady Mary Lytton Gore,
Miss Lytton Gore, Oliver Manders.
"Ya," katanya. "Bisa disimpulkan, kan?"
"Apanya?"
"Urutan nama-nama itu."
"Rasanya tak ada yang bisa disimpulkan.
Kami menulis nama-nama itu tanpa urutan
tertentu."
"Tepat. Daftar itu mulai dengan Mrs.
Dacres. Saya menyimpulkan dialah orang
yang dianggap paling punya kemungkinan
untuk melakukan kejahatan itu."
"Bukan yang paling punya kemungkinan,"
kata Mr. Satterthwaite. "Yang paling
kecil-itu kemungkinannya lebih cocok."
"Dan kalimat ketiga barangkali lebih
cocok. Barangkali dia orang yang Anda
sekalian pilih sebagai orang yang punya
kemungkinan besar."
Mr. Satterthwaite membuka mulutnya
tanpa sadar, lalu menatap mata Poirot
yang hijau, lembut, dan aneh. Ia tidak jadi
mengucapkan kata-katanya dan
menggantinya dengan,
"Bagaimana, ya? M. Poirot, barangkali
Anda benar. Tanpa disadari, itu memang
benar."
"Saya ingin menanyakan sesuatu, Mr.
Satterthwaite."
"Tentu saja, silakan," kata Mr.
Satterthwaite sambil merenung.
"Dari yang Anda ceritakan, saya
mengambil kesimpulan bahwa Sir Charles
dan Mrs. Lytton Gore bersama-sama
menginterview Mrs. Babbington." "Ya."
"Anda tidak pergi bersama mereka?"
"Tidak. Tiga orang terlalu ramai." Poirot
tersenyum.
"Dan barangkali Anda punya keinginan
pergi ke tempat lain. Barangkali Anda
punya ikan lain untuk digoreng. Anda ke
mana, Mr. Satterthwaite?"
"Saya minum teh dengan Lady Mary
Lytton Gore," jawab Mr. Satterthwaite
kaku. "Apa yang Anda bicarakan?"
"Dia baik sekali. Mau menceritakan
kesulitan-kesulitannya ketika baru
menikah." Ia mengulang dengan singkat
cerita Lady Mary. Poirot menganggukkan
kepala penuh simpati. "Itu memang
terjadi-cerita seorang gadis idealis yang
menikah dengan laki-laki brengsek dan tak
mau mendengar nasihat orang lain. Apa
Anda tidak bicara tentang hal-hal lain?
Misalnya saja bicara tentang Oliver
Manders?" "Ya, betul."
"Dan Anda tahu sesuatu tentang... apa?"
Mr. Satterthwaite mengulangi apa yang
diceritakan Lady Mary. Lalu ia berkata,
"Kenapa Anda bertanya apa kami bicara
tentang dia?"
"Karena Anda ke sana dengan tujuan itu...
jangan protes dulu. Anda mungkin
berharap Mrs. Dacres atau suaminya yang
melakukan tindak kriminal. Tapi Anda juga
berpikir si Manders punya kemungkinan."
Ia menenangkan protes Mr.
Satterthwaite.
"Ya... ya. Anda memang suka diam-diam.
Anda punya ide-ide, tapi suka
menyimpannya sendiri. Saya bersimpati
pada Anda. Saya sendiri juga begitu."
"Saya tidak mencurigainya. Itu aneh. Saya
hanya ingin tahu lebih banyak tentang
dia."
"Sama saja dengan yang saya katakan. Dia
adalah pilihan Anda berdasarkan insting.
Saya juga tertarik padanya pada waktu
pesta di sini itu, karena saya lihat..."
"Apa yang Anda lihat?" tanya Mr.
Satterthwaite ingin tahu.
"Saya lihat paling tidak ada dua orang-
barangkali juga lebih-yang memainkan
suatu peran. Satu adalah Sir Charles." Ia
tersenyum. "Dia memainkan peran seorang
perwira angkatan laut; benar, kan? Itu
sangat wajar. Seorang aktor besar tak
akan berhenti berperan hanya karena dia
tidak berada di panggung lagi. Tapi
pemuda Manders itu-dia juga memainkan
sebuah peran. Peran seorang pemuda yang
bosan, walaupun sebenarnya tidak. Dia
orang yang penuh semangat hidup. Karena
itu, saya melihatnya."
"Bagaimana Anda tahu saya sedang
mencari tahu tentang dia?"
"Banyak caranya. Anda tertarik pada
kecelakaan yang membawanya ke Melfort
Abbey malam itu. Anda tidak pergi
berkunjung ke tempat Mrs. Babbington
dengan Sir Charles dan Miss Lytton Gore.
Mengapa? Karena Anda ingin mencari tahu
sesuatu yang lain tanpa diketahui orang
lain. Anda pergi ke kediaman Lady Mary
untuk bertanya tentang seseorang. Siapa?
Pasti orang sini. Oliver Manders. Lalu-ini
sangat khas-Anda meletakkan namanya di
daftar paling bawah. Siapa orang-orang
yang paling tidak Anda curigai-Lady Mary
dan Miss Egg?-tapi Anda menulis nama
Manders setelah nama mereka, karena
dialah orang yang Anda incar dan Anda
ingin menyimpan hal itu sendiri."
"Ya ampun," kata Mr. Satterthwaite. "Apa
benar saya seperti itu?"
"Precisement. Penglihatan Anda tajam dan
pertimbangan Anda sangat cermat, dan
Anda suka menyimpan hasilnya untuk diri
Anda sendiri. Opini Anda tentang pribadi
manusia merupakan pengetahuan yang
tidak akan Anda pamerkan pada orang
lain."
"Saya kira...," Mr. Satterthwaite memulai,
tapi dia terhenti oleh kedatangan Sir
Charles.
Aktor itu masuk dengan langkah ringan.
"Br-r-r," katanya. "Malam yang ganas."
Ia menuang wiski campur soda untuk
dirinya sendiri.
Mr. Satterthwaite dan Poirot tidak mau
minum.
"Hm," kata Sir Charles, "sekarang kita
buat saja rencana penyelidikan. Mana
daftar itu, Satterthwaite? Ah, terima
kasih. Nah, Pak Penasihat, bagaimana
sebaiknya kita melakukannya?"
"Apa pendapat Anda sendiri, Sir Charles?"
"Hm, kita bisa membagi-bagi orang untuk
tugas yang berbeda. Pembagian tugas.
Pertama, ini ada Mrs. Dacres. Egg
kelihatannya ingin menangani dia. Dia
berpendapat orang yang berbusana begitu
sempurna tak akan puas dengan sekadar
pujian dari pihak laki-laki. Kelihatannya
bagus juga melakukan pendekatan dari sisi
profesinya. Satterthwaite dan saya akan
melakukan hal yang sama kalau mungkin.
Lalu Dacres. Saya kenal beberapa
temannya yang sering ikut balap.
Kelihatannya ada yang bisa diambil dari
mereka. Lalu Angela Sutcliffe."
"Itu juga bagianmu, Cartwright," kata Mr.
Satterthwaite. "Kau kenal dia dengan baik
sekali, kan?"
"Ya, karena itu sebaiknya orang lain saja
yang menangani dia. Pertama," ia
tersenyum sedih, "saya akan dituduh tidak
bekerja dengan baik, dan yang kedua... hm,
dia teman saya. Kalian mengerti?"
"Parfaitement, parfaitement. Anda pasti
merasa tak enak. Sangat bisa dimaklumi.
Mr. Satterthwaite yang baik ini -dia akan
menggantikan Anda."
"Lady Mary dan Egg-tentu saja mereka
tidak termasuk. Bagaimana dengan si
Manders? Kedatangannya ke tempat Tollie
itu karena kecelakaan, tapi rasanya dia
tetap perlu diperhitungkan."
"Mr. Satterthwaite yang akan menangani
dia," kata Poirot. "Tapi, Sir Charles, masih
ada yang ketinggalan dalam daftar itu.
Miss Murriel Wills masih ketinggalan."
"Oh, ya. Nah, kalau Satterthwaite
menangani Manders, saya akan ambil Miss
Wills. Setuju? Bagaimana, Poirot? Ada
saran?"
"Tidak, tak ada. Saya akan tertarik
mendengar hasilnya."
"Tentu saja. Tentu kami akan lapor. Satu
hal lagi. Kalau kita bisa mendapatkan foto
orang-orang ini, kita bisa menanyai orang
di Gilling."
"Bagus," kata Poirot. "Ada satu hal... ah,
ya. Teman Anda, Sir Bartholomew. Dia
tidak minum koktail, tapi minum anggur,
ya?"
"Ya. Dia suka anggur."
"Aneh juga, ya, dia tidak merasa apa-apa.
Nikotin murni seharusnya menimbulkan
rasa yang khas, rasa tidak enak."
"Barangkali saja tidak ada nikotin di dalam
anggur," kata Sir Charles. "Ingat, isi gelas
itu sudah dianalisis." "Oh, ya," kata Poirot
dengan tololnya. "Tolol saya. Tapi kalau
dipakai, nikotin rasanya tidak enak." "Saya
tidak tahu apa itu penting," kata Sir
Charles pelan. "Musim semi yang lalu,
Tollie kena flu berat. Dia jadi kurang peka
pada rasa dan penciuman."
"Ah, ya," kata Poirot sambil merenung.
"Itu yang menyebabkannya. Jadi, ada
alasannya." Sir Charles berjalan ke
jendela dan memandang ke luar.
"Badai masih bertiup. Saya akan suruh
ambil barang-barang Anda, M. Poirot. The
Rose and Crown memang bagus untuk para
aktris yang antusias, tapi saya rasa Anda
menyukai tempat yang lebih bersih dan
tempat tidur yang nyaman."
"Anda baik sekali, Sir Charles."
"Ah, terima kasih. Biar saya urus dulu."
Ia keluar ruangan.
Poirot memandang Mr. Satterthwaite.
"Boleh saya membuat saran?" "Ya?"
Poirot membungkuk ke depan dan bicara
dengan suara rendah,
"Tanyakan pada Manders, kenapa dia
membuat kecelakaan tipuan. Katakan polisi
mencurigai dia dan perhatikan reaksinya."
"Anda pikir..."
"Saya belum memikirkan apa-apa. Tapi
dalam buku harian itu tertulis: 'Aku
khawatir dengan M.' Barangkali saja yang
dimaksud memang Manders. Barangkali
juga sama sekali tak ada hubungannya
dengan kasus ini." "Kita lihat saja nanti,"
kata Mr. Satterthwaite. "Ya. Kita lihat
nanti."
BAB XVIII
BAB XX
BAB XXI
BAB XXII
DI KANTOR Messrs. Speir & Ross, Mr.
Satterthwaite mengatakan ingin bertemu
dengan Mr. Oliver Manders dan
memberikan kartu namanya.
Ia dibawa masuk ke sebuah ruangan kecil.
Oliver sedang duduk di belakang meja
tulis. Pemuda itu berdiri dan mengulurkan
tangan menyalaminya. "Anda baik sekali
mau menengok saya," katanya. Nada
suaranya menyatakan,
"Saya harus mengatakan itu, walaupun
sebenarnya saya bosan." Tapi Mr.
Satterthwaite tak mudah dipatahkan.
Ia duduk, bersin dengan sengaja, dan
mengintip dari atas saputangannya sambil
berkata, "Baca cerita tadi pagi?"
"Maksud Anda berita situasi keuangan
yang baru? Hm, dolar..."
"Bukan dolar," kata Mr. Satterthwaite.
"Kematian. Hasil penggalian di Loomouth.
Babbington ternyata diracun. Dengan
nikotin."
"Oh, itu. Ya. Saya membacanya. Dan Egg
yang energik itu pasti senang. Dia selalu
ngotot itu kasus pembunuhan." "Anda
tidak tertarik?"
"Selera saya tidak kasar. Dan
pembunuhan..." Ia mengangkat bahunya.
"Begitu keras dan tidak artistik." "Tidak
selalu tidak artistik," kata Mr.
Satterthwaite. "Tidak? Yah, barangkali
memang tidak."
"Itu tergantung siapa yang melakukan
pembunuhan. Anda misalnya-saya yakin-
akan melakukannya secara artistik."
"Terima kasih, Anda baik sekali," geram
Oliver.
"Tapi terus terang saja, Nak, saya tidak
terlalu terkesan dengan kecelakaan yang
Anda buat. Saya kira polisi pun
berpendapat sama."
Mereka diam sesaat, lalu terdengar suara
pena jatuh ke lantai.
Oliver berkata,
"Maaf. Saya tidak mengerti."
"Ah, pertunjukan Anda yang tidak artistik
di Melfort Abbey itu. Saya cuma ingin
tahu, kenapa Anda melakukan itu."
Mereka diam lagi. Lalu Oliver berkata,
"Anda bilang polisi curiga?" Mr.
Satterthwaite mengangguk.
"Kelihatannya agak mencurigakan, kan?"
katanya manis. "Tapi barangkali Anda
punya penjelasan yang baik."
"Saya punya penjelasan," kata Oliver
pelan. "Saya tak tahu penjelasan itu baik
atau tidak."
"Boleh saya menilainya?"
Hening sejenak, lalu Oliver berkata,
"Saya ke sana dengan cara begitu atas
permintaan Sir Bartholomew sendiri."
"Apa?" Mr. Satterthwaite heran.
"Aneh, kan? Tapi itulah yang sebenarnya.
Saya menerima surat darinya, dengan
saran agar saya membuat kecelakaan dan
minta bantuan. Dia bilang tak bisa
menerangkan alasannya secara tertulis,
tapi akan memberitahu saya pada
kesempatan pertama."
"Dan dia sudah memberitahu?"
"Belum. Saya sampai di sana tepat
sebelum makan malam. Dia tidak sendirian.
Selesai makan malam dia... dia meninggal."
Keletihan tidak lagi terlihat pada sikap
Oliver. Matanya yang hitam memandang
tajam pada Mr. Satterthwaite.
Kelihatannya ia ingin mengetahui reaksi
yang ditimbulkan kata-katanya. "Surat itu
masih ada?" "Tidak. Sudah saya robek-
robek."
"Sayang," kata Mr. Satterthwaite datar.
"Dan Anda tidak mengatakan apa-apa pada
polisi?" "Tidak. Semuanya kelihatan... hm,
agak fantastis." "Memang fantastis."
Mr. Satterthwaite menggelengkan
kepalanya. Mungkinkah Bartholomew
Strange menulis surat seperti itu?
Rasanya aneh. Cerita itu punya sentuhan
melodramatis yang bertolak belakang
dengan sifat dokter itu yang periang dan
berakal sehat.
Ia memandang pemuda itu. Oliver masih
memandanginya, Mr. Satterthwaite
berpikir, "Dia ingin tahu, apa aku percaya
pada ceritanya."
Ia berkata, "Dan Sir Bartholomew tidak
menyebutkan alasan permintaannya?"
"Sama sekali tidak."
"Cerita yang luar biasa."
Oliver tidak berkata apa-apa.
"Tapi Anda mau memenuhi permintaan
itu?"
Sikapnya yang lama, seperti orang letih,
muncul kembali.
"Ya, kelihatannya aneh. Terus terang saja,
saya jadi ingin tahu."
"Ada yang lainnya?" tanya Mr.
Satterthwaite.
"Apa maksud Anda-yang lainnya?"
Mr. Satterthwaite sendiri tidak tahu
betul apa yang dimaksudnya. Ia hanya
bicara secara spontan.
"Maksud saya," katanya, "apa ada hal lain
yang memberatkan Anda?" Mereka diam.
Lalu pemuda itu mengangkat bahu.
"Sebaiknya saya ceritakan semua saja.
Wanita itu pasti tak akan bisa menahan
lidahnya." Mr. Satterthwaite memandang
dengan wajah bertanya.
"Itu pada pagi hari setelah terjadi
pembunuhan. Saya bicara dengan Anthony
Astor. Saya mengeluarkan buku catatan
saya dan ada sesuatu yang jatuh dari
dalamnya. Dia mengambil benda itu dan
mengembalikannya pada saya." "Dan benda
itu?"
"Sialnya, dia melihatnya sebelum
mengembalikannya pada saya. Guntingan
koran tentang nikotin-nikotin itu
berbahaya, dan sebagainya."
"Bagaimana Anda bisa tertarik pada hal
itu?"
"Sebetulnya saya tidak tertarik.
Barangkali sudah lama saya menyimpan
guntingan itu, tapi saya tak ingat. Aneh,
ya?"
Mr. Satterthwaite berpikir, "Ceritanya
tidak meyakinkan."
"Saya kira dia menceritakan itu pada
polisi," lanjut Oliver Manders.
Mr. Satterthwaite menggelengkan kepala.
"Saya kira tidak. Kelihatannya dia wanita
yang... hm, suka menyimpan untuk dirinya
sendiri. Dia mengumpulkan pengetahuan."
Tiba-tiba Oliver Manders mencondongkan
badannya ke depan. "Saya tidak bersalah,
Sir-benar-benar tak bersalah."
"Saya belum pernah mengatakan Anda
bersalah," kata Mr. Satterthwaite samar-
samar.
"Tapi ada orang yang mengatakan begitu-
seseorang pasti telah melakukannya. Dan
menceritakannya pada polisi." Mr.
Satterthwaite menggelengkan kepalanya.
"Tidak, tidak."
"Kalau begitu, kenapa Anda datang
kemari?"
"Sebagian karena hasil penyelidikan saya
di sana," kata Mr. Satterthwaite dengan
sombong. "Dan sebagian karena saran
seorang kawan." "Kawan yang mana?"
"Hercule Poirot."
"Orang itu!" Pernyataan itu langsung
keluar dari mulut Oliver. "Apa dia sudah
kembali ke Inggris?" "Ya."
"Kenapa dia kembali?"
Mr. Satterthwaite berdiri.
"Kenapa seekor anjing memburu?"
tanyanya.
Ia puas dengan kata-kata itu. Lalu keluar.
BAB XXIII
MARGARET DE RUSHBRIDGER
BAB XXIV
BAB XXV
SEBELUM naik kereta, Hercule Poirot dan
Mr. Satterthwaite mewawancarai Miss
Lyndon, sekretaris Sir Bartholomew
Strange. Miss Lyndon sangat bersedia
membantu, tapi tak ada hal penting yang
bisa diberikannya pada mereka. Dalam
buku kasus Sir Bartholomew, nama Mrs.
de Rushbridger hanya disebut dalam
kaitannya dengan profesinya. Sir
Bartholomew tak pernah menyebut-
nyebut namanya, kecuali jika berhubungan
dengan soal perawatan.
Kedua orang itu tiba di sanatorium kira-
kira pukul dua belas. Pelayan yang
membukakan pintu kelihatan gembira. Mr.
Satterthwaite menanyakan kepala
perawat.
"Saya tidak tahu apa dia bisa menemui
Anda hari ini," kata gadis itu ragu-ragu.
Mr. Satterthwaite mengeluarkan sehelai
kartu dan menuliskan sesuatu di situ.
"Tolong berikan ini padanya."
Mereka akhirnya duduk di ruang tunggu
kecil. Lima menit kemudian pintu terbuka
dan kepala perawat itu masuk. Ia tidak
kelihatan cekatan seperti biasanya. Mr.
Satterthwaite berdiri.
"Mudah-mudahan Anda masih ingat saya,"
katanya. "Saya pernah kemari bersama Sir
Charles Cartwright, tak lama setelah
kematian Sir Bartholomew Strange."
"Ya, tentu, Mr. Satterthwaite. Saya masih
ingat. Dan Sir Charles menanyakan Mrs.
de Rushbridger waktu itu. Rasanya seperti
suatu kebetulan saja."
"Ini M. Hercule Poirot."
Poirot membungkuk, dan perawat itu
membalasnya dengan acuh tak acuh. Ia
melanjutkan,
"Saya tidak mengerti bagaimana Anda
bisa memperoleh telegram seperti itu.
Semua kelihatan amat misterius. Tentunya
tak bisa dikaitkan dengan kematian Pak
Dokter. Pasti ada orang gila di sekitar
sini-itu saja yang bisa masuk akal saya.
Polisi-polisi ke sini dan macam-macam
lainnya. Bikin pusing saja."
"Polisi?" tanya Mr. Satterthwaite heran.
"Ya, mereka di sini sejak jam sepuluh."
"Polisi?" tanya Hercule Poirot.
"Barangkali kami bisa bertemu dengan
Mrs. de Rushbridger sekarang," kata
Satterthwaite. "Dia yang meminta agar
kami kemari,"
Kepala perawat itu menyela,
"Oh, Mr. Satterthwaite, Anda belum tahu
kalau begitu?" "Tahu apa?" tanya Poirot
tajam. "Mrs. de Rushbridger. Dia
meninggal."
"Meninggal?" seru Poirot. "Mille
tonnerres! Ya. Jelas. Jelas sekarang.
Seharusnya saya..." Ia diam. "Bagaimana
meninggalnya?"
"Sangat misterius. Dia mendapat kiriman
satu kotak cokelat-cokelat dengan liqueur
di dalamnya, dikirim lewat pos. Dia makan
satu; pasti rasanya tak enak, tapi dia cuma
terkejut saya kira, lalu dia menelannya.
Orang biasanya tak suka mengeluarkan
barang yang telah dimakannya."
"Oui, oui. Dan benda cair yang tiba-tiba
turun ke dalam kerongkongan sulit
mengeluarkannya."
"Jadi, dia menelannya dan menjerit.
Perawat segera datang, tapi tak bisa apa-
apa. Dia meninggal dua menit kemudian.
Lalu dokter memanggil polisi. Mereka
datang dan memeriksa cokelat itu. Semua
yang ada di lapisan atas telah diolesi racun
rupanya. Yang bawah tidak apa-apa."
"Dan racun yang dipakai?"
"Mereka memperkirakan itu nikotin."
"Ya," kata Poirot. "Nikotin lagi. Ini suatu
pukulan! Pukulan yang berani!"
"Kita sangat terlambat," kata Mr.
Satterthwaite. "Kita tak akan tahu
sekarang, apa yang akan dia ceritakan.
Kecuali... kecuali jika dia mempercayakan
rahasianya pada orang lain." Ia melirik
pada kepala perawat. Poirot
menggelengkan kepala. "Tak akan ada
rahasia. Kita harus mencarinya."
"Barangkali kita dapat menanyai salah
seorang perawat?" kata Mr.
Satterthwaite. "Bisa saja," kata Poirot
tanpa banyak berharap.
Mr. Satterthwaite berbicara kepada
kepala perawat yang segera memanggil
dua perawat yang menjaga Mrs. de
Rushbridger siang dan malam. Tapi tak
seorang pun bisa memberikan informasi.
Mrs. de Rushbridger tak pernah
menyebut-nyebut kematian Sir
Bartholomew, dan mereka pun tak tahu
tentang pengiriman telegram itu.
Atas permintaan Poirot, mereka diantar
ke kamar wanita itu. Mereka bertemu
dengan Inspektur Crossfield. Mr.
Satterthwaite memperkenalkannya pada
Poirot.
Kedua laki-laki itu kemudian mendekati
tempat tidur dan berdiri memandang
wanita malang itu. Ia berumur empat
puluhan, berambut hitam, dan berkulit
pucat. Wajahnya tidak damai, tapi masih
menunjukkan rasa sakit yang dideritanya.
Mr. Satterthwaite berkata pelan,
"Kasihan."
Ia memandang Hercule Poirot. Ada suatu
ekspresi aneh pada wajah orang Belgia
kecil itu. Sesuatu yang membuat Mr.
Satterthwaite merinding. Ia berkata,
"Ada yang tahu dia akan bicara, lalu dia
dibunuh. Dia dibunuh untuk mencegahnya
bicara." Poirot mengangguk. "Ya, benar."
"Dia dibunuh untuk mencegahnya
bercerita pada kita apa yang
diketahuinya."
"Atau yang tidak diketahuinya. Tapi kita
jangan membuang waktu. Banyak yang
perlu dilakukan. Jangan sampai ada
kematian lagi. Kita harus mencegahnya."
Mr. Satterthwaite bertanya, penuh ingin
tahu,
"Apa hal ini cocok dengan ide Anda
tentang identitas si pembunuh?"
"Ya, cocok. Tapi saya sadar akan satu hal.
Pembunuh ini lebih berbahaya dari yang
saya perkirakan. Kita harus hati-hati."
Inspektur Crossfield mengikuti mereka
keluar kamar dan mendengar cerita
tentang telegram yang mereka terima.
Telegram itu dikirim dari Kantor Pos
Melfort. Setelah dicek di sana, mereka
mendapat keterangan bahwa telegram itu
dikirim oleh seorang anak laki-laki. Wanita
pegawai pos itu ingat karena isinya sangat
mengejutkannya, yaitu berkaitan dengan
kematian Sir Bartholomew Strange.
Setelah makan siang dengan inspektur
polisi itu dan mengirim telegram pada Sir
Charles, mereka melanjutkan penyelidikan.
Pada pukul enam sore, anak laki-laki yang
mengirim telegram itu ditemukan. Ia
langsung bercerita. Ia menerima telegram
itu dari seorang laki-laki berpakaian
rombeng. Orang itu mengatakan telegram
tersebut diberikan oleh seorang "wanita
gila" di "rumah taman". Ia
melemparkannya dari jendela. Telegram
itu dibungkus dan diikat dengan dua
keping uang setengah crown. Laki-laki itu
takut terlibat urusan yang tidak-tidak. Ia
pergi ke orang lain. Ia memberikan
telegram dan uang pada anak itu,
menyuruh anak itu mengambil
kembaliannya.
Mereka mengerahkan orang untuk mencari
laki-laki itu. Karena tak ada lagi yang
dilakukan, Poirot dan Satterthwaite
kembali ke London.
Mereka sampai di London hampir pukul dua
belas malam. Egg telah kembali pada
ibunya, tapi Sir Charles ada, dan mereka
membicarakan keadaan yang mereka
hadapi.
"Mon ami, " kata Poirot, "perhatikan saran
saya. Hanya satu hal yang bisa
menyelesaikan soal ini-sel kelabu kecil
yang ada di otak. Untuk bolak-balik pergi
ke suatu tempat, berharap orang ini atau
orang itu akan membantu kita, cara itu
sangat amatir dan aneh. Kebenaran hanya
bisa dilihat dari dalam."
Sir Charles kelihatan agak skeptis.
"Apa yang ingin Anda lakukan, kalau
begitu?"
"Saya ingin berpikir. Saya ingin minta
Anda menyediakan 24 jam untuk berpikir."
Sir Charles menggelengkan kepala sambil
tersenyum kecil.
"Apa dengan berpikir kita jadi tahu apa
sebenarnya yang akan dikatakan wanita itu
seandainya dia masih hidup?" "Saya rasa
begitu."
"Rasanya tak mungkin. Tapi, M. Poirot,
silakan Anda bekerja dengan cara Anda.
Kalau Anda bisa melihat misteri ini lebih
daripada saya, saya kalah dan
mengakuinya. Sementara itu, saya punya
ikan lain untuk digoreng."
Barangkali ia berharap mendapat
pertanyaan, tapi harapan itu kosong. Mr.
Satterthwaite memang bersikap waspada,
tapi Poirot tetap diam, hanyut dalam
pikirannya.
"Baiklah, saya agak khawatir dengan Miss
Wills," kata sang aktor.
"Kenapa dia?"
"Pergi."
Poirot memandangnya. "Pergi? Pergi ke
mana?"
"Tak ada yang tahu. Saya berpikir-pikir
setelah menerima telegram Anda. Seperti
telah saya katakan, saya yakin wanita itu
tahu sesuatu yang tidak dikatakannya
pada kita. Saya pikir, saya akan coba
mengoreknya dari dia. Saya pergi ke
rumahnya. Kira-kira jam setengah sepuluh
saya sampai di sana. Tapi dia sudah pergi
tadi pagi-ke London. Itu yang dia katakan.
Orang-orang di rumah mendapat telegram,
mengatakan dia tak akan pulang satu atau
dua hari ini, dan memberitahu agar
mereka tidak khawatir."
"Apa mereka khawatir?"
"Ya, saya kira begitu. Dia membawa tas."
"Aneh," gumam Poirot.
"Ya. Kelihatannya seperti... ah, entahlah.
Saya merasa tak enak."
"Saya sudah mengingatkan dia," kata
Poirot. "Saya telah mengingatkan semua
orang. Anda ingat saya bicara, 'Silakan
berkata sekarang.'" "Ya, ya. Anda pikir dia
juga..."
"Saya punya ide," kata Poirot. "Sekarang,
sebaiknya itu saya simpan dulu."
"Pertama, kepala pelayan, si Ellis. Lalu
Miss Wills. Di mana Ellis? Aneh, polisi tak
bisa menemukannya." "Mereka tidak
mencari mayatnya di tempat yang benar,"
kata Poirot. "Kalau begitu, Anda setuju
dengan Egg. Anda pikir dia sudah mati?"
"Ellis tak akan kelihatan hidup lagi."
"Ini benar-benar mimpi buruk!" kata Sir
Charles. "Semuanya tak bisa dimengerti!"
"Tidak, tidak. Sebaliknya, justru sangat
logis dan masuk akal." Sir Charles
memandangnya. "Anda berpendapat
begitu?"
"Tentu saja. Pikiran saya selalu bekerja
dengan rapi." "Saya tidak mengerti."
Mr. Satterthwaite juga memandang
detektif kecil itu dengan penuh ingin tahu.
"Kalau begitu, pikiran saya bagaimana?"
kata Sir Charles agak tersinggung.
"Anda mempunyai pikiran seorang aktor,
Sir Charles. Kreatif, orisinal, dan selalu
melihat pada nilai-nilai dramatisnya. Mr.
Satterthwaite punya pikiran seorang
penonton drama; dia memperhatikan
karakter, punya kepekaan terhadap
situasi. Tapi saya, pikiran saya sangat
biasa. Saya hanya melihat fakta, tanpa
perangkap-perangkap dramatis atau lampu
sorot."
"Jadi, kami serahkan saja ini pada Anda?"
"Itulah keinginan saya. Untuk 24 jam."
"Mudah-mudahan Anda berhasil. Selamat
malam."
Ketika mereka keluar bersama, Sir
Charles berkata kepada Mr.
Satterthwaite, "Orang itu sombong
sekali." Suaranya dingin.
BAB XXVI
BAB XXVII