Anda di halaman 1dari 450

THREE ACT TRAGEDY

by Agatha Christie

TRAGEDI TIGA BABAK


Alihbahasa: Mareta

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama


Cetakan kedua: Agustus 1995

BABAK PERTAMA
KECURIGAAN

BAB I
MR. SATTERTHWAITE duduk di teras
Crow's Nest dan memandang pemilik
rumah, Sir Charles Cartwright, yang
sedang mendaki jalan setapak dari arah
laut. Crow's Nest adalah sebuah bungalo
modern. Bangunan itu tidak mempunyai
ciri-ciri kuno, misalnya atap kayu, gable,
dan lengkungan-lengkungan yang disukai
pembuat-pembuat rumah, tapi merupakan
sebuah bangunan sederhana, kokoh, putih,
dengan ukuran menyesatkan karena jauh
lebih besar dari yang kelihatan. Namanya
disesuaikan dengan letaknya yang ada di
ketinggian, menghadap Pelabuhan
Loomouth. Salah satu sudut teras
terlindung pagar kuat, berbatasan
langsung dengan laut yang jauh di bawah.
Lewat jalan darat, Crow's Nest hanya
satu mil dari kota. Jalan itu menjorok ke
daratan, lalu berkelok-kelok naik sampai
ke bukit yang tinggi di atas laut. Dengan
berjalan kaki, bungalo itu bisa dicapai
dalam waktu tujuh menit lewat jalan
setapak curam yang sedang dilalui Sir
Charles Cartwright saat itu.
Sir Charles adalah laki-laki setengah baya
dengan tubuh tegap dan kulit kecokelatan.
Ia memakai celana flanel tua berwarna
abu-abu dan sweater putih. Gayanya
berjalan seperti menggelinding dan
tangannya setengah terkepal pada waktu
berjalan. Sembilan dari sepuluh orang
akan mengatakan, "Pasti pensiunan
angkatan laut." Orang kesepuluh dari
mereka yang lebih cermat pasti ragu-ragu,
sebab ada yang tidak sesuai dengan
pernyataan itu. Lalu mungkin akan timbul
suatu gambaran-dek sebuah kapal, tapi
bukan kapal sungguhan-sebuah kapal yang
terkait pada tirai tebal dan seorang lelaki,
Charles Cartwright, berdiri di atas dek
itu, dengan cahaya menyinari dirinya, tapi
bukan cahaya matahari, dan tangan yang
setengah tergenggam, sikap yang luwes
dan suara-suara pelaut Inggris dan suara
orang baik-baik yang enak-dengan nada
agak dibesarkan.
"Tidak," kata Charles Cartwright.
"Rasanya aku tak bisa memberi jawaban
untuk pertanyaan itu."
Dan tirai tebal itu pun diturunkan, lampu-
lampu menyorot terang, orkestra
memainkan lagu terakhir, gadis-gadis
dengan pita besar menghias rambut
mereka, berkata, "Cokelat? Limun?" Babak
pertama Panggilan Laut dengan Charles
Cartwright sebagai Komandan Vanstone
pun berakhir.
Dari tempat duduknya, Mr. Satterthwaite
memandang ke bawah dan tersenyum.
Mr. Satterthwaite seorang ahli seni
drama bertubuh kecil, seorang snob yang
menyenangkan dan suka bersikap tegas,
sering terlibat dalam pesta-pesta dan
kegiatan sosial kalangan atas. Kata-kata
"dan Mr. Satterthwaite" selalu menjadi
ujung daftar tamu banyak undangan. Mr.
Satterthwaite pengamat yang tajam dan
cerdas.
Ia bergumam sekarang, sambil
menggelengkan kepala, "Kurasa tidak.
Kukira tidak."
Di teras terdengar suara langkah kaki,
dan ia pun menoleh. Laki-laki bertubuh
besar dan berambut abu-abu yang menarik
kursi lalu duduk itu seolah-olah mempunyai
cap profesi yang tertera jelas di wajahnya
yang cerdas dan ramah. "Dokter" dan
"Harley Street". Sir Bartholomew
Strange adalah orang yang sangat sukses
dalam profesinya. Ia spesialis penyakit
saraf yang terkenal dan baru-baru ini
menerima anugerah gelar bangsawan.
Ia menarik kursinya ke dekat Mr.
Satterthwaite dan berkata, "Apa yang
kaukira tidak, eh? Coba ceritakan."
Sambil tersenyum, Mr. Satterthwaite
mengalihkan pandangan ke bawah, pada
sosok yang sedang mendaki jalan setapak
itu dengan cepat.
"Kurasa Sir Charles tidak akan selamanya
puas dalam... eh... pembuangan."
"Ya Tuhan, tentu saja!" sahut kawan
bicaranya sambil tertawa dan
melemparkan kepalanya ke belakang. "Aku
sudah kenal dia sejak kecil. Kami sama-
sama sekolah di Oxford dulu. Dan dia
tetap saja begitu. Dia aktor yang lebih
baik dalam kehidupan pribadinya daripada
di atas panggung! Charles selalu
bersandiwara. Memang begitu-sudah
mendarah daging. Istilahnya, dia tak
pernah keluar dari sebuah ruangan; dia
'mengakhiri satu babak', dan biasanya dia
harus punya peran baik. Dia juga suka
ganti-ganti peran. Dua tahun lalu dia
pensiun dari panggung-katanya ingin
menikmati hidup sederhana di desa, jauh
dari keramaian kota, dan mewujudkan
impiannya tinggal di dekat laut. Dia datang
ke sini dan mendirikan tempat ini.
Beginilah idenya tentang sebuah pondok
desa sederhana. Dengan tiga kamar mandi
dan perlengkapan mutakhir! Aku pun punya
pikiran sama, Satterthwaite. Kurasa ini
tak akan lama. Bagaimanapun, Charles
manusia. Dia memerlukan penonton. Dua
atau tiga pensiunan kapten, segerombol
wanita tua, dan seorang pendeta-itu tidak
cukup. Kurasa 'laki-laki sederhana dengan
cintanya pada laut' akan habis dalam enam
bulan. Terus terang, kurasa dia akan bosan
dengan peran itu. Mungkin selanjutnya dia
akan menjadi seorang laki-laki capek di
Monte Carlo atau seorang tuan tanah di
pegunungan-dia sangat pandai memainkan
perannya itu. Ya, itu."
Dokter itu berhenti. Bicaranya memang
panjang. Matanya memancarkan rasa
sayang dan perasaan setengah geli ketika
memandang lelaki di bawah sana. Dua
menit lagi lelaki itu pasti sudah sampai di
depan mereka.
"Tapi," Sir Bartholomew melanjutkan,
"kelihatannya kita keliru. Ada sesuatu
yang menarik. Sesuatu yang sederhana
dalam hidup ini."
"Orang yang suka bersandiwara biasanya
sulit diterka," kata Mr. Satterthwaite.
"Walaupun jujur, orang sulit menerimanya
dengan serius." Dokter itu mengangguk.
"Ya. Betul," katanya sambil merenung.
Sambil menyapa riang, Charles Cartwright
muncul di tangga teras. "Mirabelle luar
biasa," katanya. "Seharusnya kau ikut,
Satterthwaite."
Mr. Satterthwaite menggelengkan kepala.
Ia sudah terlalu sering menderita ketika
menyeberangi Channel-Selat Inggris-dan
tahu kekuatan perutnya di laut. Ia telah
memperhatikan Mirabelle dari jendela
kamarnya pagi itu. Angin cukup baik untuk
berlayar, dan Mr. Satterthwaite
bersyukur tetap berpijak di daratan yang
kering.
Sir Charles minta minum.
"Kau seharusnya ikut, Tollie," katanya
pada temannya. "Bukankah separo umurmu
kaupakai untuk duduk di Harley Street,
menasihati para pasienmu bahwa ombak
laut baik untuk kesehatan mereka?"
"Keuntungan dokter," sahut Sir
Bartholomew, "adalah tak perlu mengikuti
nasihatnya sendiri."
Sir Charles tertawa. Tanpa sadar ia masih
memainkan peran seorang pelaut yang
bebas. Ia memang pria tampan, dengan
proporsi tubuh indah dan wajah penuh
humor. Rambut yang mulai memutih di
pelipisnya membuatnya tambah menarik.
Ia memang kelihatan seperti dulu-
pertama, pria terhormat, kemudian aktor.
"Kau pergi sendiri?" tanya si Dokter.
"Tidak." Sir Charles berpaling untuk
mengambil minuman dari seorang pelayan
berpakaian rapi yang mengulurkan nampan.
"Aku punya pembantu. Si Egg."
Ada sesuatu, sebuah tekanan pada
suaranya, yang membuat Mr.
Satterthwaite menatapnya dengan tajam.
"Miss Lytton Gore? Dia tahu cukup banyak
tentang pelayaran, ya, kan?" Sir Charles
tertawa agak sedih.
"Dia berhasil membuatku merasa seperti
orang darat, tapi aku mampu juga karena
bantuannya." Bermacam-macam pikiran
berkelebat dalam kepala Mr.
Satterthwaite:
"Apa benar... Egg Lytton Gore... Barangkali
itu sebabnya Charles masih belum bosan
dengan tempat ini. Gadis itu memang
menarik."
Sir Charles melanjutkan, "Laut-ah, begitu
indah. Tak ada duanya. Matahari, angin,
dan laut. Dan sebuah gubuk sederhana
untuk pulang."
Ia memandang senang pada bangunan
putih di belakangnya yang dilengkapi
dengan tiga kamar mandi, air dingin dan
panas di semua kamar tidur, sistem
pemanasan sentral yang mutakhir,
peralatan listrik terbaru, dan staf rumah
tangga yang terdiri atas pelayan kamar,
pelayan rumah, koki, dan pelayan dapur.
Interpretasi Sir Charles tentang hidup
sederhana barangkali terlalu berlebihan.
Seorang wanita jangkung dan tidak
menarik muncul dari dalam rumah dan
mendekati mereka.
"Selamat pagi, Miss Milray."
"Selamat pagi, Sir Charles. Selamat pagi."
Ia menoleh dan menganggukkan kepala
sedikit pada kedua laki-laki lainnya. "Ini
menu untuk makan malam. Barangkali ada
yang perlu diganti?" Sir Charles
mengambilnya dan bergumam,
"Coba lihat. Melon cantaloupe, borsch
soup, mackerel segar, grouse, souffle
Surprise, canape Diane... Tidak, sudah
bagus, Miss Milray. Semua akan datang
dengan kereta pukul 16.30."
"Saya sudah memberi instruksi pada
Holgate. Oh ya, Sir Charles, kalau Anda
tidak keberatan, saya juga ingin ikut
makan malam nanti."
Sir Charles kelihatan terkejut, tapi ia
berkata dengan sopan,
"Tentu saja, Miss Milray. Saya akan
senang, tapi, eh..."
Miss Milray dengan tenang menjelaskan,
"Kalau tidak, semuanya akan berjumlah
tiga belas di meja makan. Dan banyak
orang yang masih percaya takhayul."
Dari nada suaranya, bisa disimpulkan
bahwa Miss Milray tidak akan peduli
apabila harus makan bertiga belas di satu
meja makan setiap malam. Ia melanjutkan,
"Saya kira semuanya sudah diatur. Saya
telah memberitahu Holgate bahwa
mobilnya untuk menjemput Lady Mary
serta Mr. dan Mrs. Babbington. Betul
begitu?"
"Persis. Itulah yang ingin saya katakan
pada Anda."
Dengan senyum tipis yang agak angkuh di
wajah buruknya, Miss Milray meninggalkan
mereka. "Dia memang wanita luar biasa,"
kata Sir Charles penuh tekanan. "Aku
takut suatu kali nanti dia akan datang dan
menggosokkan gigiku."
"Efisiensi dalam wujud manusia," kata
Strange.
"Dia sudah enam tahun bekerja padaku,"
kata Sir Charles. "Pertama-tama sebagai
sekretarisku di London, dan di sini, dia
menjadi semacam pimpinan rumah tangga
yang dihormati. Dia mengatur segalanya.
Dia melakukan tugas-tugasnya dengan
tepat, seperti jam. Dan sekarang dia akan
pergi."
"Kenapa?"
"Dia bilang," Sir Charles menggosok
hidungnya dengan sikap ragu-ragu,
"katanya dia punya ibu yang invalid. Aku
sendiri tak percaya. Wanita seperti dia
pasti tak punya ibu. Dia bisa tiba-tiba
muncul dari sebuah dinamo. Pasti ada hal
lain."
"Bisa jadi," kata Sir Bartholomew. "Aku
dengar omongan orang." "Omongan?" sang
aktor bertanya penuh rasa ingin tahu.
"Omongan apa?" "Charles, kau kan tahu
apa artinya omongan."
"Maksudmu omongan tentang dia-dan aku?
Dengan wajah seperti itu? Dan seumur
dia?" "Barangkali dia belum lima puluh."
"Ya, barangkali." Sir Charles
mempertimbangkan pernyataan itu. "Tapi
ini serius, Tollie. Apa kau pernah
memperhatikan wajahnya? Memang
matanya dua, hidungnya satu, dan
mulutnya juga, tapi itu bukan seraut
wajah- wajah wanita. Orang yang paling
suka gosip pun tak akan menghubungkan
suatu skandal dengan wajah seperti itu."
"Kau menganggap enteng imajinasi
perawan tua Inggris."
Sir Charles menggelengkan kepalanya.
"Aku tak percaya. Ada sesuatu yang
membuat Miss Milray disegani orang, yang
pasti diketahui perawan tua Inggris. Dia
baik, terhormat, dan berguna. Aku selalu
memilih sekretaris yang berpenampilan
biasa." "Kau bijaksana."
Sir Charles diam beberapa menit. Untuk
mengalihkannya, Sir Bartholomew
bertanya,
"Siapa yang datang nanti sore?"
"Angie."
"Angela Sutcliffe? Bagus."
Mr. Satterthwaite mencondongkan badan
ke depan, penuh rasa ingin tahu, siapa saja
tamu yang diundang. Angela Sutcliffe
adalah aktris terkenal, tidak lagi muda,
tapi masih populer dan dikagumi orang.
Mereka menyukainya karena
kemampuannya bicara dan daya tariknya.
Orang menganggapnya pengganti Ellen
Terry.
"Lalu suami-istri Dacres."
Mr. Satterthwaite mengangguk lagi. Mrs.
Dacres adalah Ambrosine, Ltd.-sebuah
perusahaan garmen yang sukses. Di dalam
program-program akan terlihat: "Pakaian
Miss Blank dalam babak pertama adalah
kreasi Ambrosine, Ltd., Brook Street."
Suaminya, Kapten Dacres, adalah penjudi
berat yang gemar bertaruh di arena balap
kuda. Ia menghabiskan banyak waktu di
tempat-tempat seperti itu. Bertahun-
tahun yang lalu ia ikut babak Grand
National. Pernah terjadi keributan-tak
seorang pun benar-benar tahu-tapi
beritanya sudah tersebar ke mana-mana.
Tak ada pemeriksaan atau penjelasan, tapi
begitu nama Freddie Dacres disebut,
orang-orang akan menaikkan alis mereka
sedikit.
"Lalu Anthony Astor, si penulis naskah
drama."
"Tentu," kata Mr. Satterthwaite. "Dia
menulis One Way Traffic. Aku melihatnya
dua kali. Benar-benar sukses." Ia agak
senang menunjukkan pada temannya bahwa
ia tahu, Anthony Astor adalah wanita.
"Ya," kata Sir Charles. "Aku lupa namanya
yang sebenarnya-Wills, barangkali. Aku
cuma pernah bertemu sekali dengannya.
Aku mengundangnya untuk menyenangkan
Angela. Itu orang-orang yang kuundang
malam nanti." "Dan orang sini?" tanya
Dokter.
"Oh, orang sini? Suami-istri Babbington;
dia pendeta, orangnya baik. Tidak terlalu
kaku, dan istrinya sangat baik. Dia
mengajari aku berkebun. Mereka akan
datang kemari-serta Lady Mary dan Egg.
Sudah... Oh ya, ada seorang pemuda.
Namanya Manders. Seorang wartawan
atau apa. Ganteng. Itu saja undangannya."
Mr. Satterthwaite memang orang yang
praktis. Ia segera menghitung.
"Miss Sutcliffe, satu; suami-istri Dacres,
tiga; Anthony Astor, empat; Lady Mary
dan putrinya, enam; Pak Pendeta dan
istrinya, delapan; pemuda itu, sembilan;
kita, dua belas. Kalau bukan kau, pasti
Miss Milray yang salah hitung, Charles."
"Pasti bukan Miss Milray," kata Sir
Charles yakin. "Dia tak pernah salah.
Sebentar. Ya, wah-kau benar. Terlewat
satu tamu. Namanya lolos dari ingatanku."
Ia tertawa geli. "Orang yang sulit
dipuaskan. Dia orang paling angkuh yang
pernah kukenal."
Mata Mr. Satterthwaite berkedip. Ia
berpendapat orang yang paling sombong
adalah aktor. Dan ia pun tak
mengecualikan Sir Charles Cartwright.
Apa yang baru saja dikatakan Sir Charles
sangat menarik baginya. "Siapa orang
egois ini?" tanyanya.
"Orang aneh," kata Sir Charles. "Tapi
terkenal. Barangkali kau pernah dengar
namanya. Hercule Poirot. Orang Belgia."
"Si detektif," kata Mr. Satterthwaite.
"Aku pernah bertemu dengannya.
Pribadinya luar biasa." "Dia memang unik,"
kata Sir Charles.
"Aku belum pernah bertemu dia," kata Sir
Bartholomew, "tapi cukup banyak dengar
tentang dia. Dia sudah pensiun, kan?
Barangkali cerita-cerita yang banyak
kudengar itu sebagian hanya legenda. Hm,
moga-moga tak ada tindak kriminal akhir
pekan ini."
"Kenapa? Karena ada detektif di antara
kita? Jangan memasang kereta di depan
kuda, Tollie!"
"Ya-karena itu adalah salah satu teoriku."
"Apa teorimu, Dok?" tanya Mr.
Satterthwaite.
"Kejadian mendatangi manusia, bukan
sebaliknya. Kenapa ada orang yang
hidupnya mengasyikkan dan ada yang
membosankan? Karena lingkungannya?
Sama sekali tidak. Orang bisa saja pergi
ke ujung dunia dan tidak terjadi apa-apa
atas dirinya. Padahal terjadi pembunuhan
massal satu minggu sebelum dia datang
dan gempa bumi sehari setelah dia pergi,
dan kapal yang tadinya akan dinaikinya
ternyata tenggelam. Orang lain yang
tinggal di Balham dan pergi ke kota setiap
hari mengalami sesuatu. Dia terlibat dalam
komplotan pemeras, gadis-gadis cantik,
dan bandit-bandit bersepeda motor. Ada
orang-orang yang punya tendensi
tenggelam dalam kapal karam walaupun
mereka hanya berada di danau buatan.
Ada saja yang terjadi pada mereka.
Begitu juga dengan orang-orang seperti
Hercule Poirot. Mereka tak perlu pergi
mencari tindak kriminal. Kejahatan itu
sendiri yang datang pada mereka."
"Kalau begitu," kata Mr. Satterthwaite,
"barangkali baik juga kalau Miss Milray
makan dengan kita, supaya jumlahnya
tidak tiga belas."
"Hm," kata Sir Charles ramah, "kau boleh
mengalaminya kalau suka, Tollie. Aku
hanya ingin mengajukan satu syarat-aku
tak ingin jadi mayat."
Sambil tertawa, mereka bertiga masuk ke
dalam rumah.

BAB II

YANG paling menarik perhatian Mr.


Satterthwaite adalah manusia. Tapi ia
lebih tertarik pada wanita daripada pria.
Sebagai laki-laki jantan, Mr.
Satterthwaite sangat paham soal wanita.
Ada sesuatu di dalam dirinya yang
membuatnya bisa mengerti seorang wanita
dengan baik. Banyak wanita sering
membuka hati padanya, tapi tidak
menerimanya dengan serius. Kadang-
kadang ia sedih karena hal itu. Ia selalu
merasa berada di kursi penonton dan
melihat pertunjukan, tapi tak pernah
berada di panggung dan ikut main. Tapi
sebenarnya peran penonton memang cocok
untuknya.
Malam ini ia duduk di ruangan besar yang
menghadap teras. Dekornya dibuat oleh
sebuah perusahaan modern, menjadi
seperti sebuah kabin kapal yang mewah.
Ia sangat tertarik dan memperhatikan
warna cat rambut Cynthia Dacres.
Kelihatannya warna baru-baru datang dari
Paris, ia menebak-nebak-warna bronze
kehijauan yang aneh tapi enak dilihat.
Sulit mengatakan bagaimana penampilan
Mrs. Dacres malam itu. Wanita itu tinggi,
dengan bentuk tubuh yang memang cocok
untuk saat-saat seperti itu. Leher dan
lengannya terlihat cokelat. Sulit
mengatakan apakah warna cokelat itu asli
didapat dari sinar matahari yang tercurah
di musim panas di pedesaan itu. Rambut
bronze kehijauan itu jelas ditata oleh
penata rambut terbaik di London. Alis
matanya dicabut, bulu matanya
dihitamkan, wajahnya dipoles makeup
halus dan indah, dan bibirnya dihiasi
lipstik yang melengkung tidak mengikuti
garis bibirnya-semua menambah
kesempurnaan gaun malamnya yang
berwarna biru gelap berpotongan
sederhana, tapi kelihatannya- walaupun
sebenarnya tidak-dari bahan luar biasa,
yaitu bahan yang tampak kusam sekaligus
menampilkan kilau-kilau tersembunyi.
"Wanita cerdik," kata Mr. Satterthwaite
sambil memandang wanita itu dengan
kagum. "Bagaimana ya orangnya?" Kali ini
yang ia maksud adalah pikirannya, bukan
tubuhnya. Kata-kata Cynthia Dacres
bernada lamban. Pada saat itu ia berkata,
"Ah, kurasa itu tak mungkin. Maksudku,
sesuatu itu bisa mungkin atau tidak. Yang
ini tidak mungkin. Hanya merasuk."
Kata itu memang tepat. Segalanya
kelihatan "merasuk" saat itu.
Sir Charles mengguncang-guncang koktail
sambil bicara pada Angela Sutcliffe,
wanita jangkung berambut abu-abu dengan
mulut nakal dan mata indah.
Dacres sedang bicara dengan
Bartholomew Strange.
"Setiap orang tahu apa yang terjadi pada
Ladisbourne. Semua tahu."
Laki-laki kecil berkulit kemerahan dan
berwajah licik itu bicara dengan suara
tinggi. Kumisnya pendek dan matanya agak
kecil.
Di samping Mr. Satterthwaite duduk Miss
Wills, pengarang One Way Traffic yang
dianggap sebagai drama paling berani dan
bagus di London. Miss Wills bertubuh
jangkung dan kurus, dagunya tertarik ke
belakang, dan rambutnya yang berombak
kelihatan sangat jelek. Ia memakai
kacamata tanpa gagang dan bajunya dari
bahan sifon hijau yang kelihatan
kedodoran. Suaranya tinggi dan tidak
mengesankan.
"Saya ke Prancis Selatan," katanya. "Tapi
sebenarnya saya tidak terlalu menikmati.
Sama sekali tidak ramah. Tapi tentu saja
berguna untuk pekerjaan saya. Saya perlu
tahu apa-apa yang terjadi."
Mr. Satterthwaite berpikir, "Kasihan.
Karena sukses, dia terpisah dari
rumahnya-sebutan untuk pondokan di
Bournemouth. Itulah sebenarnya tempat
yang dia sukai." Laki-laki itu kemudian
berpikir tentang perbedaan antara karya-
karya tulis dan penulisnya. Kesan jantan
yang mewarnai drama-drama Anthony
Astor-di mana itu bisa didapat pada
pribadi Miss Wills? Akhirnya ia melihat
mata biru pucat di balik kacamata tanpa
gagang itu memang sangat cerdas. Mata
itu sekarang terarah padanya dan
memberikan penilaian yang membuatnya
bingung. Kelihatannya Miss Wills sedang
mempelajari dirinya baik-baik.
Sir Charles sedang menuang koktail.
"Saya ambilkan Anda koktail," kata Mr.
Satterthwaite sambil berdiri. Miss Wills
tertawa.
"Saya tidak keberatan kalau diberi,"
katanya.
Pintu terbuka dan Temple mengumumkan
kedatangan Lady Mary Lytton Gore, Mr.
dan Mrs. Babbington, serta Miss Lytton
Gore.
Mr. Satterthwaite memberikan koktail
pada Miss Wills, lalu menyelinap
mendekati Lady Mary Lytton Gore. Ia
memang pengagum gelar bangsawan.
Selain snob, Mr. Satterthwaite menyukai
wanita-wanita lembut, dan Lady Mary
memang termasuk golongan itu.
Sebagai janda yang tidak terlalu kaya
dengan seorang anak berumur tiga tahun,
ia datang ke Loomouth dan menempati
sebuah pondok kecil, ditemani seorang
pelayan setia. Wanita itu tinggi kurus,
kelihatan lebih tua dari umurnya yang lima
puluh tahun. Ekspresi wajahnya manis dan
agak malu-malu. Ia sangat menyayangi
anak perempuannya, tapi agak khawatir
dengannya.
Hermione Lytton Gore, yang entah kenapa
dipanggil Egg, amat berbeda dari ibunya.
Ia sangat penuh vitalitas. Dalam penilaian
Mr. Satterthwaite, gadis itu tidak cantik,
tapi jelas sangat menarik. Dan
menurutnya, hal yang membuatnya
menarik adalah vitalitasnya. Ia kelihatan
dua kali lebih hidup daripada orang-orang
lain di ruangan itu. Rambutnya hitam,
matanya abu-abu, dan tinggi tubuhnya
sedang. Ada sesuatu pada rambutnya yang
digelung di tengkuk, pada pandangan
matanya yang lurus, pada lekukan pipinya
dan cara tertawanya yang menimbulkan
kesan muda dan penuh vitalitas.
Ia berdiri dan bicara pada Oliver Manders
yang baru saja datang.
"Aku tidak mengerti kenapa kau bosan
berlayar. Kau dulu kan suka sekali."
"Egg, orang kan tumbuh dewasa."
Ia menaikkan alis matanya.
Oliver Manders adalah pemuda tampan
berumur kira-kira 25 tahun. Ada yang
sedikit aneh pada wajah tampannya.
Sesuatu yang... bukan Inggris... sesuatu
yang asing?
Ada orang lain yang memperhatikan Oliver
Manders. Seorang laki-laki berkepala
seperti telur dengan kumis yang kelihatan
asing. Mr. Satterthwaite mengenalinya
sebagai Mr. Hercule Poirot. Laki-laki kecil
itu amat ramah, dan Mr. Satterthwaite
menilai ia terlalu melebih-lebihkan sikap
asingnya. Matanya yang kecil dan bersinar
seolah-olah berkata, "Anda ingin saya
membantu? Melawak untuk Anda? Bien,
silakan!"
Tapi saat ini tak ada sinar pada mata
Hercule Poirot. Ia kelihatan murung dan
agak sedih.
Mr. Stephen Babbington, pendeta di
Loomouth, datang mendekati Lady Mary
dan Mr. Satterthwaite. Umurnya sekitar
enam puluh, matanya ramah dan baik,
sikapnya agak malu.
Ia berkata pada Mr. Satterthwaite, "Kami
beruntung punya warga seperti Sir
Charles. Dia sangat baik dan murah hati.
Tetangga yang menyenangkan. Pasti Lady
Mary setuju."
Lady Mary tersenyum.
"Saya menyukainya. Sukses hidupnya tidak
membuatnya manja, walaupun"-senyumnya
bertambah lebar "dalam banyak hal dia
masih kekanak-kanakan."
Seorang pelayan mendekat dengan nampan
berisi koktail. Mr. Satterthwaite berpikir,
wanita memang tak bisa berhenti bersikap
keibuan. Karena masih merupakan generasi
Victoria, ia sangat menyetujui sikap
seperti itu.
"Ibu boleh minum koktail," kata Egg tiba-
tiba, dengan gelas di tangan. "Satu gelas
saja."
"Terima kasih, Sayang," kata Lady Mary
menurut.
"Saya rasa," kata Mr. Babbington, "istri
saya membolehkan saya minum satu gelas
juga." Ia tertawa perlahan dan sopan.
Mr. Satterthwaite melirik Mrs.
Babbington yang sedang bicara serius
dengan Sir Charles mengenai soal
memupuk. Matanya bagus, pikirnya.
Mrs. Babbington bertubuh besar dan
tidak rapi. Ia kelihatan kuat dan tak
berpikiran picik. Charles Cartwright
memang benar. Ia wanita yang baik.
"Maaf," kata Lady Mary sambil
mencondongkan tubuhnya ke depan. "Siapa
wanita yang Anda ajak bicara ketika kami
datang tadi? Itu, yang berbaju hijau."
"Dia Anthony Astor-penulis naskah
drama."
"Apa? Wanita pucat itu? Oh," ia kemudian
sadar, "ah, saya memang keterlaluan! Tapi
ini benar-benar kejutan. Dia tidak
kelihatan... maksud saya, dia kelihatan
seperti pengasuh anak yang tidak
cekatan."
Deskripsi penampilan Miss Wills memang
cocok, sehingga Mr. Satterthwaite
tertawa. Mr. Babbington memperhatikan
sekelilingnya dengan mata ramah yang
tidak terlalu awas. Ia mencicipi koktailnya
dan batuk-batuk sedikit. Dia tidak biasa
minum koktail, pikir Mr. Satterthwaite
geli. Mungkin koktail agak berbau modern
baginya, tapi dia tak suka. Mr. Babbington
memaksa minum sekali lagi. Ia meneguk
dengan ekspresi aneh dan berkata,
"Apakah wanita itu? ...Oh..." Tangannya
memegangi lehernya.
Suara Egg Lytton Gore terdengar nyaring,
"Oliver, kau memang keterlaluan..."
"Tentu saja. Itu rupanya. Bukan asing-
Yahudi!" pikir Mr. Satterthwaite.
Cocok sekali mereka berdua. Sama-sama
muda dan menarik, serta suka ribut. Suatu
tanda yang sehat. Perhatiannya beralih
karena suara di dekatnya. Mr. Babbington
berdiri, badannya bergoyang ke kiri ke
kanan. Wajahnya aneh.
Suara Egg yang nyaringlah yang menarik
perhatian orang-orang di ruangan itu,
walaupun pada saat itu Lady Mary sudah
berdiri dan mengulurkan tangannya dengan
sikap khawatir. "Lihat," kata Egg. "Mr.
Babbington sakit."
Sir Bartholomew Strange melangkah
mendekat dengan cepat, disangganya Mr.
Babbington dan dipapahnya pria itu ke
sofa di sisi ruangan. Yang lain mengelilingi
dan ingin membantu, tapi tidak tahu apa
yang harus dilakukan.
Dua menit kemudian Strange menegakkan
diri dan menggelengkan kepala. Ia bicara
terus terang, karena tahu tak ada gunanya
bertele-tele.
"Kasihan. Dia meninggal."

BAB III
"BISA ke sini sebentar, Satterthwaite?"
Sir Charles menjulurkan kepalanya ke luar
pintu.
Satu setengah jam telah lewat. Keributan
telah usai, diganti ketenangan. Lady Mary
membawa Mrs. Babbington yang menangis
ke luar ruangan dan akhirnya
mengantarnya pulang. Miss Milray sangat
efisien dengan teleponnya. Dokter
setempat datang dan memeriksa. Makan
malam sederhana disajikan. Setelah itu,
dengan persetujuan bersama, para tamu
masuk ke kamar masing-masing untuk
beristirahat. Mr. Satterthwaite baru akan
kembali ke kamarnya ketika Sir Charles
memanggilnya dari pintu ruang kapal,
tempat terjadinya peristiwa kematian itu.
Mr. Satterthwaite masuk sambil menekan
rasa takutnya. Ia tak suka melihat
kematian. Karena tak lama lagi ia pun
mungkin dapat giliran. Tapi kenapa ia
berpikir tentang hal itu?
"Aku masih kuat hidup dua puluh tahun
lagi," kata Mr. Satterthwaite pada dirinya
sendiri dengan gagah. Satu-satunya orang
lain di ruangan itu adalah Bartholomew
Strange. Ia mengangguk lega melihat
kedatangan Mr. Satterthwaite.
"Orang yang baik," katanya. "Kita bisa
melakukannya dengan Satterthwaite. Dia
mengerti hidup."
Dengan heran Mr. Satterthwaite duduk di
sebuah kursi dekat si Dokter. Sir Charles
berjalan mondar-mandir. Ia lupa sikap
tangan yang setengah mengepal dan tidak
kelihatan seperti pelaut lagi.
"Charles tidak suka," kata Sir
Bartholomew. "Maksudku, tentang
kematian Babbington yang malang."
Mr. Satterthwaite berpendapat bahwa
pernyataan itu tidak tepat. Tentu saja tak
seorang pun "suka" pada kejadian yang
baru saja terjadi. Tapi ia tahu Strange
punya maksud lain.
"Sangat menyedihkan," kata Mr.
Satterthwaite dengan hati-hati. "Betul-
betul menyedihkan," katanya, bulu
kuduknya meremang.
"Hm-ya, agak menyakitkan," kata Dokter.
Aksen profesinya muncul dalam suaranya.
Cartwright berhenti mondar-mandir.
"Pernah lihat orang meninggal seperti itu,
Tollie?"
"Tidak," kata Sir Bartholomew. "Belum
pernah. Tapi," ia menambahkan beberapa
saat kemudian, "aku memang tak pernah
melihat kematian sebanyak yang kauduga.
Seorang spesialis saraf tidak membunuh
banyak pasien. Dia menjaga agar pasien
tetap hidup dan mendapat uang dari
mereka. Aku yakin MacDougal lebih sering
melihat orang mati daripada aku."
Dokter MacDougal adalah dokter di
Loomouth yang dipanggil Miss Milray.
"Dia tidak melihat Babbington meninggal.
Babbington sudah mati waktu dia datang.
Kitalah yang bercerita padanya. Dia bilang
Babbington kena serangan mendadak. Dia
sudah tua dan kesehatannya kurang baik.
Aku tidak puas."
"Barangkali dia juga tidak puas," lawan
bicaranya mengomel. "Tapi seorang dokter
harus mengatakan sesuatu. 'Serangan'
memang kata yang bagus-tak ada artinya,
tapi memuaskan pikiran awam. Babbington
sendiri memang sudah tua dan
kesehatannya belakangan ini memang
terganggu. Istrinya pernah cerita begitu.
Barangkali ada suatu kelemahan yang
tidak diketahui."
"Apakah itu serangan khas?"
"Khas apa?"
"Khas untuk penyakit tertentu?"
"Kalau kau pernah belajar ilmu
kedokteran," kata Sir Bartholomew, "kau
akan tahu kasus tipikal seperti itu tak
pernah ada."
"Apa sebenarnya yang ingin kaukatakan?"
tanya Mr. Satterthwaite pada Sir
Charles. Cartwright tidak menjawab. Ia
membuat isyarat samar dengan tangannya.
Strange geli dan tertawa kecil. "Charles
tidak tahu apa yang akan dikatakannya,"
katanya. "Pikirannya sedang berbelok pada
kemungkinan-kemungkinan dramatis."
Sir Charles membuat isyarat kesal.
Wajahnya serius, penuh pikiran. Ia
menggelengkan kepalanya sedikit dengan
sikap linglung.
Sebuah gambar muncul di kepala Mr.
Satterthwaite. Gambar itu menjadi jelas.
Aristide Duval, kepala agen rahasia,
membongkar jaringan ruwet Kabel Bawah
Tanah. Pada menit berikutnya ia jadi
yakin. Sir Charles berjalan pincang tanpa
ia sadari. Aristide Duval memang dikenal
sebagai si Pincang.
Sir Bartholomew melanjutkan
komentarnya dengan terus terang,
mengomentari kecurigaan Sir Charles,
"Ya, apa yang kaucurigai, Charles? Bunuh
diri? Pembunuhan? Siapa mau membunuh
seorang pendeta tua yang begitu baik?
Fantastis sekali. Bunuh diri? Hm,
barangkali ada alasannya. Mungkin kita
bisa membayangkan alasan kenapa dia
bunuh diri."
"Alasan apa?"
Sir Bartholomew menggelengkan
kepalanya perlahan.
"Bagaimana mungkin kita menebak rahasia
pikiran manusia? Satu ide-seandainya
Babbington diberitahu dia menderita
penyakit yang tak bisa disembuhkan,
kanker misalnya. Itu bisa jadi motif.
Barangkali dia tak ingin istrinya
menyaksikan penderitaannya yang
berkepanjangan. Ini cuma gagasan, tentu
saja. Setahu kita, tak ada alasan bagi
Babbington untuk menghabisi dirinya."
"Aku tidak berpikir tentang bunuh diri,"
kata Sir Charles.
Sekali lagi Bartholomew Strange tertawa
pelan.
"Benar, Charles. Idemu bukan sesuatu
yang ada di luar kemungkinan. Kau
menginginkan sensasi-racun baru yang tak
bisa dilacak dalam koktail." Sir Charles
menyeringai.
"Rasanya aku tidak menginginkan itu. Kau
ingat, akulah yang mencampur koktail itu,
Tollie."
"Serangan tiba-tiba seorang maniak?
Untuk kita, barangkali tanda-tandanya
tertunda. Tapi kita semua akan mati
sebelum fajar menyingsing besok."
"Leluconmu tak lucu, tapi...," Sir Charles
menyela marah. "Aku sebenarnya tidak
sedang melucu," kata si Dokter. Suaranya
berubah, sedih dan simpatik.
"Aku tidak bercanda dengan kematian
Babbington. Aku cuma mencemooh idemu,
Charles, karena... ya, karena aku tak ingin
kau menyakiti orang tanpa sadar."
"Menyakiti?" tanya Sir Charles. "Kau
mengerti maksudku, Satterthwaite?"
"Kurasa aku bisa menebak," kata Mr.
Satterthwaite.
"Begini, Charles," lanjut Sir Bartholomew,
"kecurigaanmu yang tak berdasar itu
gampang beredar. Suatu ide samar
sekalipun tentang adanya ketidakberesan
atau penyelewengan bisa menyakitkan
Mrs. Babbington. Aku tahu hal semacam
itu pernah satu atau dua kali terjadi.
Kematian yang tiba-tiba, lalu beberapa
lidah asal bicara, dan akhirnya gosip
menyebar ke mana-mana. Gosip-gosip itu
terus berkembang dan tak seorang pun
bisa menyetopnya. Kau lihat kan, Charles,
betapa kejam dan tak perlu hal seperti
itu? Kau terlalu memanjakan imajinasimu
dan membuatnya berkembang ke arah hal-
hal yang spekulatif."
Sebuah kesadaran baru muncul di wajah
sang aktor.
"Aku memang tidak berpikir sejauh itu,"
katanya.
"Kau memang baik, Charles, tapi kau suka
membiarkan imajinasimu lari ke mana-
mana. Coba pikir sekarang. Apa kau
percaya ada orang-siapa pun dia-yang ingin
membunuh laki-laki tua tak berdosa itu?"
"Kurasa tidak," kata Charles. "Ya, seperti
yang kaukatakan, itu aneh. Maaf, Tollie,
tapi ini bukannya berimajinasi. Aku punya
perasaan kuat bahwa ada sesuatu yang
tidak beres."
Mr. Satterthwaite batuk-batuk kecil.
"Boleh aku menambahkan? Mr. Babbington
tiba-tiba sakit beberapa saat setelah
masuk ruangan dan tepat setelah minum
koktail. Kebetulan aku melihat mukanya
yang kesakitan ketika dia minum. Kupikir
itu karena dia tidak biasa dengan minuman
itu. Tapi seandainya dugaan Sir
Bartholomew benar-bahwa Mr. Babbington
barangkali sengaja bunuh diri-kurasa itu
masih mungkin. Tapi ide tentang
pembunuhan... rasanya tak masuk akal."
"Aku merasa hal itu bisa terjadi, walaupun
tak mungkin-bahwa Mr. Babbington
memasukkan sesuatu ke dalam gelasnya
tanpa kita ketahui. Rasanya tak ada
barang-barang yang disentuh dalam
ruangan ini. Gelas-gelas koktail itu masih
di tempatnya. Ini gelas Mr. Babbington.
Kurasa sebaiknya Sir Bartholomew
membawa gelas itu untuk dianalisis isinya.
Itu bisa dilakukan diam-diam, tanpa
menyebabkan keributan."
Sir Bartholomew berdiri dan mengambil
gelas itu.
"Benar," katanya. "Aku akan bercanda
denganmu, Charles, dan aku akan bertaruh
sepuluh pound bahwa tak ada apa-apa
dalam gelas itu kecuali gin dan vermouth. "
"Oke," kata Sir Charles. Lalu ia
menambahkan sambil tersenyum sedih,
"Sebenarnya kau juga ikut bertanggung
jawab atas imajinasiku kali ini."
"Aku?"
"Ya. Tadi pagi kau bicara tentang
kriminalitas. Kau bilang si Hercule Poirot
adalah orang yang selalu dicari oleh
kriminalitas. Tak lama setelah dia datang,
ada kematian yang mencurigakan. Tentu
saja pikiranku segera melayang ke
pembunuhan."
"Hm, bagaimana kalau...," kata Mr.
Satterthwaite, lalu berhenti.
"Ya," kata Charles Cartwright. "Aku tadi
juga berpikir tentang itu. Apa
pendapatmu, Tollie? Bisakah kita bertanya
padanya bagaimana pendapatnya tentang
ini? Maksudku, apakah itu etis?" "Alasan
yang bagus," gumam Mr. Satterthwaite.
"Aku tahu etika medis, tapi aku tak tahu
tentang etika detektif."
"Kita tak bisa menyuruh seorang penyanyi
profesional untuk bernyanyi," gumam Mr.
Satterthwaite. "Bisakah kita meminta
seorang detektif profesional untuk
menyelidiki? Ya. Ini bagus." "Hanya
pendapat," kata Sir Charles.
Terdengar ketukan halus di pintu, dan
wajah Hercule Poirot muncul dengan
ekspresi minta maaf. "Eh, masuklah!" seru
Sir Charles sambil meloncat berdiri. "Kami
baru saja bicara tentang Anda." "Saya
takut kalau-kalau mengganggu." "Sama
sekali tidak. Ayo minum."
"Terima kasih, tidak usah. Saya jarang
minum wiski. Kalau ada sirop... "
Tapi sirop tidak termasuk daftar Sir
Charles tentang cairan yang bisa diminum.
Setelah tamunya duduk, sang aktor
langsung bicara ke pokok persoalannya.
"Saya tidak perlu bertele-tele," katanya.
"Kami baru saja bicara tentang Anda, M.
Poirot, dan... dan apa yang terjadi malam
ini. Apakah ada yang tidak beres tentang
hal itu?"
Alis mata Poirot naik. Ia berkata,
"Tidak beres? Apa maksud Anda-tidak
beres?"
Bartholomew Strange berkata, "Teman
saya ini punya ide, jangan-jangan
Babbington dibunuh orang." "Padahal Anda
tidak berpikir begitu?" "Kami ingin tahu
pendapat Anda." Poirot berkata sambil
berpikir,
"Dia memang sakit, dengan sangat tiba-
tiba-sangat mendadak." "Ya, begitu."
Mr. Satterthwaite menerangkan teori
bunuh diri dan pendapatnya sendiri agar
gelas koktail itu dianalisis. Poirot
mengangguk setuju.
"Ya, itu tak ada salahnya. Sebagai orang
yang tahu banyak soal-soal kemanusiaan,
sulit rasanya percaya ada orang yang ingin
menyingkirkan seorang laki-laki yang baik
dan ramah. Juga motivasi bunuh diri itu
rasanya masih sulit diterima. Tapi gelas
koktail itu akan menunjukkan pada kita
nanti."
"Dan hasil analisis itu kira-kira apa?"
Poirot mengangkat bahu.
"Saya? Saya hanya bisa menebak. Anda
ingin saya menebak hasil analisis itu?"
"Ya."
"Saya kira mereka akan menemukan sisa
dry Martini yang enak." Ia membungkuk
pada Sir Charles. "Untuk meracuni orang
dengan koktail-salah satu dari begitu
banyak gelas yang diedarkan-yah, ini
merupakan teknik yang amat sangat sulit.
Dan kalau pendeta yang baik itu ingin
bunuh diri, saya rasa dia tak akan
melakukannya dalam sebuah pesta. Itu
akan menunjukkan dia tidak memikirkan
orang lain. Padahal setahu saya, Mr.
Babbington orang yang penuh perhatian
pada orang lain." Ia diam. "Karena Anda
bertanya, itulah pendapat saya."
Mereka semua diam sesaat. Lalu Sir
Charles menarik napas panjang. Ia
membuka sebuah jendela dan memandang
ke luar.
"Angin telah bertiup ke satu arah,"
katanya.
Si pelaut muncul kembali, dan detektif
agen rahasia lenyap.
Tapi dalam pengamatan Mr. Satterthwaite
yang cermat, Sir Charles berdiam sejenak
setelah meninggalkan peran yang tak
dimainkannya itu.

BAB IV
"YA, tapi apa pendapat Anda, Mr.
Satterthwaite? Pendapat Anda sendiri?"
Mr. Satterthwaite menoleh ke kanan dan
ke kiri. Ia tak bisa menghindar. Egg
Lytton Gore memojokkannya di sudut
dermaga pemancingan. Wanita-wanita
muda ini memang tak kenal ampun dan
menakutkan. "Rupanya Sir Charles yang
menyebabkan Anda berpikir begitu,"
katanya.
"Tidak. Ide itu memang sudah ada. Sudah
ada sejak awal. Sungguh mengerikan,
sangat tiba-tiba." "Dia sudah tua. Dan
kesehatannya buruk..." Egg memotong
dengan cepat,
"Omong kosong. Dia sakit saraf dan
rematik. Itu tidak menyebabkan orang
jatuh dan mendapat stroke tiba-tiba. Dia
tak pernah dapat stroke. Dia tipe orang
yang lembut dan lemah, tapi akan hidup
sampai umur sembilan puluhan. Apa
pendapat Anda tentang pemeriksaan itu?"
"Kelihatannya semua... normal."
"Apa pendapat Anda tentang bukti-bukti
Dokter MacDougal? Semua serba teknis,
deskripsi tentang organ tubuh, tapi apa
Anda tidak merasa dia menyembunyikan
sesuatu di balik keterangannya yang
bertubi-tubi? Yang dia katakan kurang-
lebih begini-tak ada yang menunjukkan
kematian itu bukan disebabkan oleh hal
yang wajar. Dia tidak mengatakan
kematian itu disebabkan oleh sesuatu yang
wajar."
"Kau ingin memerinci secara detail?"
"Dialah sebenarnya yang melakukannya.
Dia bingung, tapi dia tak tahu mesti
bagaimana meneruskannya. Jadi, dia
berpaling pada keterangan yang sangat
medis. Apa pendapat Sir Bartholomew
Strange?"
Mr. Satterthwaite mengulangi sebagian
dari apa yang pernah dikatakan dokter
dari London itu.
"Hanya melecehkan?" tanya Egg dengan
kening berkerut. "Tentu saja. Dia sangat
hati-hati. Saya rasa dokter top dari
Harley Street harus begitu."
"Tak ada apa-apa dalam gelas koktail
kecuali gin dan vermouth, " Mr.
Satterthwaite mengingatkannya.
"Kelihatannya itu sudah bisa membereskan
persoalan. Tapi sesuatu yang terjadi
setelah pemeriksaan membuat saya
bertanya."
"Sesuatu yang dia katakan pada Anda?"
Mr. Satterthwaite mulai menikmati rasa
ingin tahu gadis ini.
"Bukan pada saya-pada Oliver-Oliver
Manders. Dia datang malam itu, tapi Anda
barangkali lupa." "Ah, saya ingat dia.
Teman baik Anda?"
"Dulu. Sekarang kami bertengkar terus.
Dia sudah bekerja, ikut pamannya di kota,
dan dia menjadi... agak besar kepala.
Selalu bilang ingin jadi wartawan. Dia
memang bisa menulis cukup baik. Tapi
sekarang ini, itu tak lebih dari omongan.
Dia ingin kaya. Rasanya semua orang jadi
menjijikkan kalau sudah bicara soal uang.
Bukankah begitu, Mr. Satterthwaite?"
Kemudaan gadis itu muncul sekarang-
kasar, congkak, dan kekanak-kanakan.
"Nak," kata Mr. Satterthwaite, "banyak
orang menjijikkan karena banyak hal."
"Pada umumnya manusia memang bejat,"
kata Egg, menyetujui dengan riang.
"Karena itu, saya benar-benar sedih
karena kasus Mr. Babbington. Sebab dia
begitu baik. Dia menyiapkan saya untuk
sidi. * (* penerimaan menjadi anggota
resmi Gereja Protestan) Walaupun urusan
itu agak tidak masuk akal, dia sangat baik.
Mr. Satterthwaite, saya percaya pada
kekristenan-bukan seperti ibu yang selalu
membawa-bawa buku kecil dan ikut
kebaktian pagi dan sebagainya, tapi secara
logis saja dan dari sudut sejarah. Gereja
memang sibuk dengan tradisi Pauline-bisa
dibilang gereja itu berantakan. Tapi
kekristenan sendiri tidak apa-apa. Karena
itu, saya tak bisa jadi komunis seperti
Oliver. Dalam prakteknya, kepercayaan
kami akan searah-semua untuk semua,
kepemilikan, dan sebagainya. Tapi
perbedaannya... saya tak perlu
menjelaskannya. Tapi keluarga Babbington
itu benar-benar Kristen, mereka tidak
curiga, tidak menyumpahi, dan tak pernah
jahat pada orang lain atau makhluk lain.
Mereka baik, dan Robin..."
"Robin?"
"Anak mereka. Dia dulu pergi ke India dan
terbunuh di sana. Saya... saya
menyukainya."
Egg mengejap-ngejapkan matanya.
Pandangannya terarah ke laut. Lalu
perhatiannya kembali ke Mr.
Satterthwaite dan keadaan saat itu.
"Jadi, saya memang merasa sangat
terpukul dengan kejadian ini. Seandainya
ini bukan kematian yang wajar..."
"Anakku!"
"Saya menganggapnya aneh. Dan Anda
harus mengakuinya!"
"Tapi Anda sendiri mengakui keluarga
Babbington tak punya musuh di dunia ini."
"Itulah anehnya. Saya tak bisa
menemukan motif yang masuk akal."
"Fantastis! Dan tak ada apa-apa di dalam
koktail."
"Barangkali ada orang yang menusuknya
dengan jarum suntik."
"Barangkali racun panah orang Indian
Amerika Selatan," kata Mr. Satterthwaite
berolok-olok. Egg menyeringai.
"Itulah. Barang bagus yang tak bisa
diketahui jejaknya. Oh, sudahlah. Anda
tahu lebih baik tentang hal itu. Barangkali
suatu hari nanti Anda menemukan kami
benar." "Kami?"
"Sir Charles dan saya." Wajah gadis itu
agak merah.
Mr. Satterthwaite berpikir dengan kata-
kata dan ukuran generasinya, ketika buku
Kutipan untuk Segala Kesempatan bisa
ditemukan dalam setiap rak buku:
Lebih dari dua kali usianya.
Dijahit dengan luka lama di pipi,
Penuh memar dan kulit cokelat, gadis itu
mengangkat matanya. Dan mencintai pria
itu dengan cinta yang membawa petaka.
Ia agak malu pada dirinya sendiri karena
memikirkan kutipan itu. Tak banyak yang
mendalami Tennyson sekarang ini. Dan
lagi, walaupun Sir Charles berkulit gelap,
ia tidak punya bekas luka, dan Egg Lytton
Gore, walaupun gadis yang sehat, sama
sekali tidak kelihatan bisa hancur karena
cinta dan hanyut dalam sampan, mengikuti
aliran sungai. Tak ada tanda-tanda
kepribadian seperti Lily Maid dari
Astolat-seperti yang digubah Tennyson.
Yang seperti itu tak ada padanya.
"Kecuali," pikir Mr. Satterthwaite,
"kemudaannya."
Gadis-gadis selalu tertarik pada laki-laki
setengah baya yang punya masa lalu
menarik. Egg pun tak terkecuali. "Kenapa
dia menikah?" tanya Egg tiba-tiba.
"Hm," kata Mr. Satterthwaite, lalu diam.
Jawabannya kalau dikeluarkan secara
kasar akan berbunyi, "Waspada." Tapi ia
tahu bahwa kata itu tak bisa diterima oleh
Egg Lytton Gore.
Sir Charles telah mempunyai banyak
affair dengan wanita, aktris, dan lainnya,
tapi ia selalu bisa membebaskan diri dari
ikatan perkawinan. Dan Egg jelas
menginginkan penjelasan yang lebih
romantis.
"Gadis yang meninggal karena paru-paru
itu-seorang aktris yang namanya diawali
huruf R-dia kan amat sayang padanya?"
Mr. Satterthwaite teringat pada wanita
yang disebutkan itu. Memang ada gosip
yang mengaitkan Charles Cartwright
dengan namanya, tapi hanya sekilas, dan
Mr. Satterthwaite tidak yakin Sir Charles
tetap sendirian hanya karena ingin setia
pada kenangan akan wanita itu. Mr.
Satterthwaite diam saja.
"Saya rasa dia punya banyak affair, " kata
Egg.
"Hm... barangkali," kata Mr.
Satterthwaite yang berpandangan kuno.
"Saya senang dengan laki-laki yang
begitu," kata Egg. "Itu menunjukkan
mereka tidak aneh."
Mr. Satterthwaite yang berpandangan
kuno merasa terpukul. Ia tak bisa berkata
apa-apa. Egg tidak melihat pria itu merasa
tak enak. Ia melanjutkan bicaranya
dengan santai,
"Sir Charles itu lebih pintar dari yang
Anda kira. Dia memainkan macam-macam
peran, mendramatisasi diri sendiri, tapi di
balik itu otaknya sangat cerdas. Dia bisa
mengemudikan perahu lebih baik dari yang
dia ceritakan atau yang Anda dengar.
Kalau mendengar dia bicara, Anda mengira
dia sedang memainkan suatu peran, tapi
sebenarnya tidak. Sama juga dengan
urusan ini. Anda pikir semua ini terjadi
untuk menimbulkan efek tertentu,
sehingga dia bisa memerankan dirinya
sebagai detektif yang hebat. Saya rasa
dia memainkannya dengan baik."
"Bisa jadi," Mr. Satterthwaite
sependapat.
Nada suaranya menunjukkan perasaannya
dengan jelas. Egg langsung menghantam
dan mengekspresikannya dengan kata-
kata,
"Tapi menurut Anda Kematian Seorang
Pendeta tidak terlalu seru. Hanya sebuah
Lnsiden yang Tak Seharusnya Terjadi di
Pesta Makan Malam. Sebuah kecelakaan
biasa dalam suatu kegiatan sosial. Apa
pendapat M. Poirot? Dia seharusnya tahu."
"M. Poirot menasihatkan agar kami
menunggu hasil analisis koktail, tapi dia
berpendapat segalanya baik-baik saja."
"Oh, baiklah," kata Egg. "Dia sudah tua.
Sudah harus istirahat." Mr.
Satterthwaite mengedipkan matanya. Egg
melanjutkan bicaranya tanpa menyadari
kekasarannya, "Ayo ikut saya pulang. Anda
bisa minum teh dengan Ibu. Dia bilang
suka pada Anda."
Mr. Satterthwaite menerima undangan
itu. Diam-diam ia merasa tersanjung.
Setelah tiba, Egg langsung menelepon Sir
Charles dan memamitkan tamunya.
Mr. Satterthwaite duduk di sebuah ruang
tamu kecil dengan perabot bersih dan
terawat, walaupun tua. Ruangan itu
ruangan zaman Victoria, seperti yang
dibayangkan Mr. Satterthwaite tentang
ruangan seorang wanita.
Percakapannya dengan Lady Mary
menyenangkan. Bukan percakapan berat,
tapi mereka menyukainya. Mereka bicara
tentang Sir Charles. Apakah Mr.
Satterthwaite kenal baik dengan Sir
Charles? Tidak terlalu dekat, jawab Mr.
Satterthwaite. Ia pernah punya bisnis
dengan salah satu pertunjukan Sir Charles
beberapa tahun yang lalu. Sejak itu
mereka berteman.
"Dia punya daya tarik yang kuat," kata
Lady Mary sambil tersenyum. "Saya
maupun Egg merasakannya. Saya rasa
Anda juga tahu, saat ini Egg sedang
menderita hero worship. "* (* tergila-gila
pada tokoh idola)
Mr. Satterthwaite ingin tahu, apakah
sebagai ibu, Lady Mary tak merasa
kerepotan dengan hero worship itu. Tapi
kelihatannya tidak.
"Egg hanya melihat sebagian kecil dunia
ini," katanya sambil menarik napas. "Kami
begitu miskin. Salah seorang sepupu saya
pernah mengajaknya ke kota dan
menunjukkan serta membelikan beberapa
barang. Tapi sejak itu dia tak pernah
pergi jauh dari tempat ini, kecuali untuk
beberapa kunjungan. Saya merasa orang
muda seharusnya banyak keluar, melihat,
serta bertemu banyak orang dan tempat-
terutama orang. Kalau tidak, hm, kurang
pergaulan kadang-kadang sangat
berbahaya."
Mr. Satterthwaite sependapat. Ia
berpikir tentang Sir Charles dan pergi
berlayar, tapi rupanya bukan itu yang ada
dalam pikiran Lady Mary, sebagaimana
diungkapkannya kemudian.
"Kedatangan Sir Charles sangat
berpengaruh pada Egg. Dia memperluas
cakrawalanya. Di sini tidak banyak orang
muda, terutama pemuda. Saya khawatir
Egg nanti menikah dengan seseorang
hanya karena dia tak mengenal orang lain."
Mr. Satterthwaite mempunyai intuisi
tajam.
"Maksud Anda Oliver Manders?"
Wajah Lady Mary menjadi merah dan
heran.
"Oh, Mr. Satterthwaite. Anda begitu
cepat tanggap! Saya memang berpikir
tentang dia. Dia dan Egg sering bersama-
sama. Saya memang kuno, tapi saya tidak
suka beberapa pendapatnya." "Pemuda
harus menentukan pandangan mereka,"
kata Mr. Satterthwaite. Lady Mary
menggelengkan kepala.
"Saya sangat khawatir. Tentu saja mereka
serasi; saya kenal dia dengan baik,
pamannya yang mengajaknya bekerja amat
kaya. Tapi bukan itu. Saya memang tolol,
tapi..."
Ia menggelengkan kepala dan tak kuasa
menjelaskan lebih lanjut.
Mr. Satterthwaite jadi merasa dekat. Ia
berkata dengan tenang dan santai,
"Tapi Anda pasti juga tak suka kalau anak
Anda menikah dengan orang yang umurnya
dua kali lipat." Jawaban Lady Mary
membuatnya terkejut.
"Mungkin itu lebih aman. Kalau Anda
melakukan hal itu, setidaknya Anda tahu
posisi Anda. Laki-laki seumur itu biasanya
tidak lagi gila-gilaan, dan tidak akan
melakukannya kemudian." Sebelum Mr.
Satterthwaite sempat menanggapi, Egg
sudah datang. "Kenapa lama sekali?" tanya
ibunya.
"Aku bicara dengan Sir Charles. Dia
sedang sendiri." Ia berpaling dan merajuk
pada Mr. Satterthwaite. "Anda tidak
cerita tamu-tamu itu sudah pulang."
"Mereka pulang kemarin-semuanya, kecuali
Sir Bartholomew Strange. Dia akan pulang
besok, tapi dia mendapat telegram tadi
pagi. Salah seorang pasiennya dalam
keadaan kritis."
"Sayang," kata Egg. "Sebenarnya saya
ingin menyelidiki tamu-tamu itu.
Barangkali ada petunjuk."
"Petunjuk tentang apa, Sayang?"
"Mr. Satterthwaite tahu. Oh, sudahlah,
tak apa-apa. Oliver masih ada di sini. Kita
ajak dia. Dia punya otak kalau lagi mau."
Ketika Mr. Satterthwaite sampai di
Crow's Nest, tuan rumahnya sedang duduk
di teras sambil memandangi laut.
"Halo, Satterthwaite. Baru minum teh
dengan keluarga Lytton Gore, ya?"
"Ya. Kau tidak keberatan, kan?"
"Tentu saja tidak. Egg telepon. Aneh gadis
itu."
"Menarik," kata Mr. Satterthwaite.
"Hm, ya, kurasa begitu."
Ia berdiri dan berjalan mondar-mandir.
"Kalau saja aku tidak datang ke tempat
terkutuk ini," katanya tiba-tiba dengan
nada pahit.
BAB V

Mr. SATTERHWAITE berpikir. "Dia kena


batunya."
Tiba-tiba saja ia merasa kasihan pada
tuan rumahnya. Pada umur 52, Charles
Cartwright si periang, si tampan yang
membuat banyak orang patah hati, telah
jatuh cinta. Dan rupanya ia sendiri
menyadari akan menemui kekecewaan.
Anak muda suka pada anak muda.
"Gadis-gadis tidak akan suka pada orang
tua," pikir Mr. Satterthwaite. "Egg
memang mendemonstrasikan perasaannya
pada Sir Charles. Tapi dia pasti tak akan
berbuat begitu kalau benar-benar cinta
padanya. Yang dituju pasti si Manders
yang masih muda itu."
Mr. Satterthwaite biasanya punya
pandangan tajam dalam asumsi-asumsinya.
Tapi barangkali ada satu hal yang lepas
dari perhitungannya, karena ia sendiri
tidak menyadarinya. Yaitu nilai tambah
yang diberikan karena usia. Bagi Mr.
Satterthwaite yang sudah tua, kenyataan
bahwa Egg lebih memilih seorang laki-laki
setengah baya daripada seorang pemuda
sangat tidak masuk akal. Baginya usia
muda merupakan anugerah yang sangat
berarti.
Ia bertambah yakin ketika Egg menelepon
sehabis makan malam dan minta izin untuk
"berkonsultasi" sambil membawa Oliver.
Tentu saja ia membolehkan gadis itu
mengajak seorang pemuda tampan
bermata gelap dan berbulu mata lentik,
yang gaya berjalannya ringan namun penuh
keyakinan. Pemuda itu memang serasi
dengan Egg, tapi sikapnya secara
keseluruhan skeptis.
"Bisakah Anda bercerita?" katanya pada
Sir Charles. "Egg terbiasa dengan hidup
sehat di desa, dan itu membuatnya
menjadi gadis yang energik. Tahu tidak,
Egg, seleramu kekanak-kanakan-
kriminalitas, sensasi, dan sebagainya."
"Anda skeptis, Manders?"
"Hm, begini, Sir. Bagi saya memang
fantastis kalau ada ide yang menyatakan
kematian pak tua yang baik hati itu
disebabkan hal yang tidak wajar."
"Kurasa Anda benar," kata Sir Charles.
Mr. Satterthwaite menolehkan kepalanya.
Peran apa yang sedang dimainkan Charles
Cartwright malam ini? Bukan bekas pelaut,
bukan detektif internasional. Peran baru
yang belum diketahuinya.
Dan Mr. Satterthwaite terkejut sendiri
ketika mengetahui peran itu. Sir Charles
sedang memainkan peran yang kurang
penting. Kurang penting dibanding dengan
peran Oliver Manders.
Ia duduk dengan kepala dalam bayang-
bayang, memperhatikan kedua anak muda
itu, Egg dan Oliver, ketika mereka
berdebat-Egg dengan sikap berapi-api,
sedangkan Oliver kalem-kalem saja.
Sir Charles kelihatan lebih tua dari
biasanya-tua dan letih.
Kadang-kadang Egg menarik dia ke dalam
pembicaraan, tapi responsnya tidak ada.
Mereka pulang pukul sebelas. Sir Charles
keluar ke teras bersama mereka dan
menawarkan senter untuk menuruni
jalanan kecil berbatu.
Tapi senter itu tak diperlukan. Cahaya
bulan yang terang membantu mereka
malam itu. Mereka pergi, dan suara
mereka terdengar semakin samar.
Terang bulan atau tidak, Mr.
Satterthwaite tak akan ambil risiko
kedinginan. Ia kembali ke ruang kapal. Sir
Charles masih ada di teras.
Ketika masuk, ia mengunci jendela di
belakangnya, berjalan ke meja samping,
serta menuang wiski dan soda.
"Satterthwaite," katanya, "aku besok mau
pergi dari sini-untuk selama-lamanya."
"Apa?" seru Mr. Satterthwaite kaget.
Suatu kegembiraan samar muncul di wajah
Charles Cartwright ketika ia tahu akibat
perkataannya. "Itu Satu-satunya Hal yang
Bisa Dilakukan, " katanya, jelas berbicara
dalam huruf-huruf besar. "Aku akan jual
tempat ini. Apa artinya ini bagiku, tak
seorang pun akan tahu." Suaranya jatuh,
berdengung dengan efektif. Setelah
mengalah menjadi orang kedua, ego Sir
Charles muncul kembali.
Ini merupakan adegan penolakan besar
yang sering kali dimainkannya dalam drama
serba-serbi. Mengembalikan istri laki-laki
lain, menolak gadis yang dicintainya.
Terdengar nada sembrono dalam
ucapannya berikut,
"Hentikan kerugian; itu satu-satunya
jalan. Yang muda untuk yang muda. Mereka
memang diciptakan, yang satu untuk yang
lain. Aku akan mundur." "Ke mana?" tanya
Mr. Satterthwaite. Aktor itu memberikan
jawaban tak pasti.
"Ke mana saja. Aku tak peduli." Lalu ia
menambahkan dengan suara berbeda,
"Barangkali Monte Carlo." Dan
menambahkan lagi untuk membuat
antiklimaks, "Di jantung padang pasir atau
di tengah kematian, semua sama saja.
Bagian terdalam seorang manusia ialah
kesendirian, kesepian. Aku selalu
kesepian."
Ini jelas baris terakhir sebelum pemain
keluar dari panggung.
Ia mengangguk pada Satterthwaite, lalu
pergi meninggalkan ruangan.
Mr. Satterthwaite berdiri, siap mengikuti
sang tuan rumah pergi tidur.
"Tapi pasti bukan jantung padang pasir,"
pikirnya geli.
Paginya Sir Charles minta maaf pada Mr.
Satterthwaite karena ia harus ke kota.
"Jangan buru-buru pergi. Kau akan tinggal
sampai besok, kan? Kau akan ke
Harbertons di Tavistock. Mobilku akan
mengantarmu ke sana. Karena telah
membuat keputusan, aku tak akan menoleh
kembali. Aku tak akan menoleh kembali."
Sir Charles menegakkan kedua bahunya
dengan gagah, menjabat tangan Mr.
Satterthwaite dengan penuh semangat,
dan menyerahkannya pada Miss Milray
yang cekatan.
Miss Milray kelihatannya siap menghadapi
situasi, seperti biasanya. Ia tidak
menunjukkan rasa heran atau emosi
terhadap keputusan Sir Charles yang
mendadak. Mr. Satterthwaite juga tidak
ditanggapinya secara luar biasa. Baik
kematian yang tiba-tiba ataupun
perubahan rencana yang mendadak tak
bisa mengguncangkan Miss Milray. Ia
menerima apa pun yang terjadi sebagai
suatu fakta dan akan menghadapi
persoalan itu dengan cara efisien. Ia
menelepon agen rumah, mengirim telegram
ke luar negeri, dan sibuk mengetik. Mr.
Satterthwaite melarikan diri dari situasi
yang begitu efisien dengan berjalan-jalan
ke dermaga. Ia sedang berjalan mondar-
mandir tanpa tujuan ketika tiba-tiba
tangannya dipegang seseorang. Ketika
berbalik, ia berhadapan dengan seorang
gadis berwajah pucat.
"Apa maksudnya semua ini?" tanya Egg
menuntut jawab.
"Semua apa?" jawab Mr. Satterthwaite.
"Semua orang di desa sudah tahu Sir
Charles akan pergi-dia akan menjual
Crow's Nest."
"O ya, benar."
"Apa dia akan pergi?"
"Dia sudah pergi."
"Oh!" Egg melepaskan tangannya. Tiba-
tiba ia kelihatan seperti anak kecil yang
disakiti hatinya.
Mr. Satterthwaite tak tahu harus berkata
apa.
"Dia pergi ke mana?"
"Ke luar negeri. Prancis Selatan."
"Oh!"
Ia masih tetap tak tahu apa yang harus
dikatakan. Sebab jelas ia melihat lebih
dari sekadar hero worship. Dengan
kasihan ia mencoba mengingat-ingat kata-
kata penghibur yang sesuai, tapi ketika
gadis itu bicara, ia jadi terkejut.
"Wanita sialan mana yang
menyebabkannya?" tanya Egg dengan
galak.
Mr. Satterthwaite memandangnya,
mulutnya ternganga heran. Egg
menggandeng lengannya lagi dan
mengguncangkannya keras-keras.
"Anda pasti tahu!" serunya. "Yang mana?
Yang rambut abu-abu atau satunya?" "Oh,
saya tak tahu apa maksudmu."
"Anda tahu! Pasti tahu! Pasti karena
wanita. Dia menyukai saya-itu saya tahu.
Salah satu dari kedua wanita yang hadir
malam itu pasti tahu dan berniat merebut
dia dari saya. Saya benci wanita. Kucing
licik. Anda perhatikan gaunnya? Yang
rambutnya hijau? Mereka membuat saya
geram karena iri. Wanita dengan gaun
seperti itu punya daya pikat-Anda pasti
tidak membantah hal ini. Dia sudah tua
dan jelek, tapi peduli apa? Dia membuat
orang lain jadi seperti perempuan
kampung. Apa dia orangnya? Atau yang
berambut abu-abu? Dia menarik-itu bisa
dilihat. Dia memanggilnya Angie. Pasti
bukan wanita yang seperti kol layu itu.
Yang menor atau si Angie?"
"Ah, rupanya ide-ide luar biasa telah
memasuki kepalamu. Dia... eh... Charles
Cartwright sama sekali tidak tertarik
pada kedua wanita itu."
"Saya tak percaya. Tapi mereka pasti
tertarik padanya."
"Tidak... tidak. Kau keliru. Semua itu
hanya imajinasi. Kau pasti salah mengerti."
"Kalau begitu, kenapa dia pergi seperti
itu?"
Mr. Satterthwaite berdehem.
"Barangkali... dia berpikir... eh... itu yang
terbaik?"
Egg memandangnya dengan tajam.
"Maksud Anda sayalah yang
menyebabkannya?"
"Hm, barangkali begitu."
"Hm, barangkali saya agak terlalu
demonstratif, ya? Laki-laki tidak suka
dikejar-kejar, kan? Ibu benar rupanya.
Anda pasti tak bisa membayangkan betapa
manisnya dia kalau bicara soal laki-laki.
Selalu disebut dengan sebutan pihak
ketiga-begitu kuno dan sopan. 'Laki-laki
tidak dikejar-kejar, seorang gadis harus
memberi kesempatan pada laki-laki untuk
mengejarnya.' Bukankah ini ekspresi yang
manis-'memberi kesempatan pada laki-laki
untuk mengejarnya'? Kedengarannya
seperti kebalikan dari artinya. Sebetulnya
itulah yang dikerjakan Charles-mengejar.
Dia pergi menjauhi saya. Dia takut. Tapi
sialnya saya tak bisa mengejarnya. Kalau
saya mengejar, dia pasti lari ke Afrika
atau ke tempat lain."
"Hermione," kata Mr. Satterthwaite, "apa
kau serius dengan Sir Charles?"
Gadis itu memandangnya dengan mata tak
sabar.
"Tentu saja."
"Bagaimana dengan Oliver Manders?"
Egg mengusir Oliver Manders dengan
gelengan kepala. Ia melamun.
"Bagaimana kalau saya menulis surat
padanya? Tak usah yang menakutkan.
Hanya hal-hal yang biasa diobrolkan gadis.
Supaya dia tenang, tidak ketakutan."
Gadis itu mengerutkan kening.
"Tolol benar saya. Ibu pasti bisa
menangani soal ini dengan lebih baik.
Orang-orang kuno itu tahu trik-triknya.
Saya keliru selama ini. Saya pikir dia perlu
didorong. Dia kelihatan... hm... kelihatan
perlu bantuan. Anda tahu," ia tiba-tiba
berpaling pada Mr. Satterthwaite, "apa
dia melihat saya mencium Oliver tadi
malam?"
"Saya tak tahu. Kapan?"
"Di terang bulan. Ketika kami menuruni
jalanan kecil itu. Saya pikir dia masih ada
di teras, melihat saya dan Oliver -hm,
saya pikir itu akan membuatnya penasaran.
Karena dia menyukai saya. Saya yakin itu."
"Bukankah itu menyakitkan Oliver?" Egg
menggelengkan kepala penuh keyakinan.
"Sama sekali tidak. Oliver berpikir
seorang gadis pasti merasa beruntung
kalau dia cium. Memang tak baik buat
kesombongannya. Tapi orang kan tak bisa
mau semuanya. Saya cuma ingin memanas-
manasi Charles. Akhir-akhir ini dia agak
lain-lebih banyak diam."
"Nak," kata Mr. Satterthwaite, "saya rasa
engkau tak mengerti kenapa Sir Charles
pergi begitu mendadak. Dia pikir kau suka
pada Oliver. Dia pergi karena tak ingin
sakit hati."
Egg menoleh dan memutar badannya. Ia
memegang bahu pria itu dan
memandangnya dengan tajam.
"Benarkah? Apa benar begitu? Oh,
bodohnya saya!"
Tiba-tiba ia melepaskan Mr.
Satterthwaite dan berjalan di sampingnya
dengan gerakan meloncat-loncat. "Kalau
begitu, dia akan kembali," katanya. "Dia
akan kembali. Kalau tidak..." "Kalau tidak,
bagaimana?" Egg tertawa.
"Saya akan membuatnya kembali. Lihat
saja nanti."
Rasanya memang ada perbedaan dalam
kata-kata. Egg dan lily maid dari Astolat
punya banyak kesamaan, tapi Mr.
Satterthwaite merasa cara Egg akan lebih
praktis dari cara yang dipakai Elaine, dan
kematian karena patah hati tak akan
terjadi.

BABAK KEDUA
KEPASTIAN

BAB VI

Mr. SATTERHWAITE datang ke Monte


Carlo. Pesta-pesta yang banyak didatangi
sudah lewat. Riviera pada bulan
September merupakan tempat yang
menyenangkan baginya.
Ia duduk di taman, menikmati matahari
sambil membaca koran Daily Mail dua hari
lalu.
Tiba-tiba sebuah nama menarik
perhatiannya: "Strange". "Kematian Sir
Bartholomew Strange". Ia membaca
artikel
Dengan rasa duka kami umumkan
kepergian Sir Bartholomew Strange,
spesialis saraf terkenal. Sir Bartholomew
mengadakan suatu pesta untuk menjamu
teman-teman di tempat tinggalnya, di
Yorkshire. Sir Bartholomew kelihatan
sehat dan kematiannya terjadi dengan
tiba-tiba setelah makan malam. Ia sedang
bercakap-cakap dengan teman-temannya
dan minum segelas anggur ketika
mendapat stroke dan meninggal sebelum
memperoleh pertolongan medis. Sir
Bartholomew akan selalu dikenang. Ia
adalah...
Kalimat itu diikuti dengan deskripsi karier
Sir Bartholomew.
Mr. Satterthwaite membiarkan koran itu
meluncur dari tangannya. Ia sangat
terkesan. Bayangan dokter itu melintas di
benaknya-besar, riang, dan sangat sehat.
Dan sekarang mati. Ada kata-kata
tertentu dalam koran itu yang terpisah
dari konteksnya dan melayang-layang di
benak Mr. Satterthwaite. "Minum segelas
anggur... stroke... meninggal sebelum
memperoleh pertolongan medis...."
Anggur, bukan koktail, tapi anehnya
mengingatkannya akan peristiwa kematian
di Cornwall. Mr. Satterthwaite seolah-
olah melihat lagi wajah pendeta tua yang
kesakitan itu.
Seandainya itu...
Ia mengangkat kepalanya dan melihat Sir
Charles berjalan melintasi rerumputan ke
arahnya.
"Satterthwaite, wah, luar biasa! Kau
memang orang yang paling ingin kutemui
saat ini. Sudah lihat berita tentang Tollie
yang malang?"
"Aku baru saja membacanya."
Sir Charles duduk di sampingnya. Ia masih
memakai pakaian pelayarnya. Ia tak lagi
mengenakan celana flanel abu-abu dan
sweater tuanya. Kini ia kapten sebuah
yacht yang berpengalaman dari Prancis
Selatan.
"Satterthwaite, Tollie dalam keadaan
sehat. Dia tidak sakit dan tak punya
penyakit. Apakah aku orang bodoh yang
suka berimajinasi? Urusan ini apa tidak
mengingatkanmu pada... pada..."
"Pada urusan di Loomouth? Ya, memang.
Tapi bisa saja kita keliru. Persamaannya
barangkali cuma di kulit. Bagaimanapun,
kematian mendadak memang bisa terjadi
karena bermacam-macam sebab."
Sir Charles mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia berkata,
"Aku baru dapat surat dari Egg Lytton
Gore."
Mr. Satterthwaite tersenyum tertahan.
"Yang pertama dari dia?"
Sir Charles tidak curiga.
"Tidak. Aku dapat surat tak lama setelah
sampai di sini. Isinya biasa, sekadar
berita. Aku tidak membalasnya. Aku tak
berani. Gadis itu pasti tak tahu apa-apa,
tapi aku tak mau jadi orang tolol." Mr.
Satterthwaite menutup mulutnya yang
masih tersenyum. "Dan yang ini?"
tanyanya. "Ini lain. Imbauan minta tolong."
"Imbauan minta tolong?" Alis mata Mr.
Satterthwaite tertarik ke atas. "Dia ada
di sana-di rumah itu-ketika ada kejadian
itu."
"Maksudmu dia menginap di rumah Sir
Bartholomew Strange ketika tuan
rumahnya meninggal?" "Ya."
"Apa yang dia katakan?"
Sir Charles mengeluarkan sepucuk surat
dari sakunya. Ia ragu-ragu sejenak, lalu
memberikannya pada Mr. Satterthwaite.
"Sebaiknya kaubaca sendiri."
Mr. Satterthwaite membukanya dengan
penuh rasa ingin tahu.

Sir Charles,
Saya tak tahu kapan surat ini akan sampai.
Mudah-mudahan dapat cepat sampai. Saya
begitu khawatir dan tak tahu harus
berbuat apa. Saya rasa Anda pasti
membaca berita itu di koran-bahwa Sir
Bartholomew Strange sudah meninggal.
Dan ia meninggal dengan cara yang sama
seperti Mr. Babbington. Ini pasti bukan
kebetulan-pasti bukan. Saya sangat
khawatir.
Apakah Anda tidak dapat pulang dan
melakukan sesuatu? Rasanya kasar saya
mengucapkan hal ini-tapi Anda dulu pernah
curiga dan tak seorang pun mau
mendengar Anda. Dan sekarang, kawan
Anda yang terbunuh. Kalau Anda tidak
pulang, tak seorang pun akan menemukan
hal yang sebenarnya. Saya percaya Anda
bisa melakukannya. Saya sangat yakin.
Dan ada satu hal lagi. Saya sangat
mengkhawatirkan seseorang. Dia tak ada
hubungannya dengan soal itu, tapi
barangkali ada juga. Oh, saya tak bisa
menjelaskannya di surat. Anda bisa pulang,
kan? Anda bisa menemukan kebenaran itu.
Saya percaya.

Yang terburu-buru,
EGG.
"Hm," kata Sir Charles tak sabar. "Agak
acak-acakan. Tapi bisa dimaklumi. Dia
menulis terburu-buru. Bagaimana?"
Mr. Satterthwaite melipat surat itu
pelan-pelan dan berpikir sejenak sebelum
menjawab.
Ia setuju bahwa surat itu acak-acakan,
tapi pasti tidak ditulis dalam keadaan
terburu-buru. Ia berpendapat surat itu
justru merupakan hasil pemikiran yang
hati-hati. Surat itu dibuat untuk
memancing keangkuhan, sikap ksatria, dan
sportivitas Sir Charles.
Karena mengenal Sir Charles dengan baik,
Mr. Satterthwaite tahu surat itu
merupakan pancingan yang berhasil. "Siapa
kira-kira yang dia maksud dengan
'seseorang' dan 'dia'?" tanyanya. "Kurasa
Manders."
"Kalau begitu, dia juga ada di pesta itu?"
"Tentunya. Aku tak tahu kenapa. Tollie tak
pernah bertemu dengannya, kecuali di
pestaku dulu. Kenapa dia memintanya
datang, aku tak tahu."
"Apa dia sering mengadakan pesta-pesta
seperti itu?"
"Tiga atau empat kali setahun. Selalu
mengadakan pesta pada peringatan St.
Leger." "Dia sering menghabiskan
waktunya di Yorkshire?"
"Punya sanatorium besar atau rumah
perawatan, atau apalah namanya. Dia
membeli Melfort Abbey-sebuah bangunan
kuno yang kemudian dipugarnya dan
diubahnya menjadi sanatorium." "Hm."
Mr. Satterthwaite diam sejenak, lalu
berkata, "Siapa saja ya yang datang di
pesta itu?"
Sir Charles menjawab, barangkali tentang
itu ada beritanya di koran lainnya. Mereka
kemudian mencari-cari koran lain.
"Ini dia," kata Sir Charles. Ia membaca
keras-keras,
"Sir Bartholomew Strange mengadakan
pesta di rumahnya seperti biasa, untuk
memperingati St. Leger. Di antara para
tamu ada Lord dan Lady Eden, Lady Mary
Lytton Gore, Sir Jocelyn dan Lady
Cambell, Kapten dan Mrs. Dacres, serta
Miss Angela Sutcliffe, aktris terkenal. "
Sir Charles dan Mr. Satterthwaite
berpandangan.
"Suami-istri Dacres dan Angela
Sutcliffe," kata Sir Charles. "Tidak ada
Oliver Manders."
"Coba kita baca Continental Daily Mail
hari ini," kata Mr. Satterthwaite.
"Barangkali ada berita tambahan."
Sir Charles memandang koran itu sekilas.
Tiba-tiba ia menjadi tegang. "Dengar ini,
Satterthwaite."
"Kematian Sir Bartholomew Strange.
Dalam pemeriksaan atas kematian Sir
Bartholomew Strange hari ini diputuskan
bahwa penyebab kematian adalah
keracunan nikotin. Belum ada bukti yang
menunjukkan bagaimana atau siapa yang
melakukan peracunan itu. "
Ia mengernyitkan dahi.
"Keracunan nikotin. Kedengarannya agak
terlalu halus-bukan hal yang biasa
dilakukan untuk membuat orang stroke.
Aku tak mengerti."
"Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku lakukan? Aku akan memesan tempat
di Blue Train malam ini." "Hm, aku juga
akan pesan tempat kalau begitu," kata Mr.
Satterthwaite. "Kau?" Sir Charles
memutar badannya dan kelihatan heran.
"Aku menyukai hal-hal seperti ini," kata
Mr. Satterthwaite merendah. "Aku
pernah punya... eh... sedikit pengalaman. Di
samping itu, aku juga kenal kepala polisi
daerah itu-Kolonel Johnson. Itu akan
membantu." "Bagus!" seru Sir Charles.
"Kita pesan tempat sekarang." Mr.
Satterthwaite berpikir,
"Gadis itu berhasil. Dia membuat Sir
Charles kembali. Dia sudah mengatakan
itu. Aku tak tahu apa semua suratnya
benar."
Yang jelas, Egg Lytton Gore seorang
oportunis.
Ketika Sir Charles pergi memesan tempat,
Mr. Satterthwaite berjalan-jalan di
taman. Pikirannya masih penuh dengan
persoalan Egg Lytton Gore. Ia mengagumi
akal dan semangat gadis itu, tapi sikap
kunonya tak bisa menerima kenyataan
bahwa seorang wanita bisa mengambil
langkah-langkah inisiatif dalam urusan
cinta.
Mr. Satterthwaite seorang pengamat yang
cermat. Di tengah renungannya tentang
wanita secara umum dan Egg Lytton Gore
secara khusus, ia tak bisa menahan untuk
berkata pada diri sendiri,
"Hm, di mana aku pernah melihat bentuk
kepala yang khas seperti itu?"
Pemilik kepala itu sedang duduk di kursi
sambil melamun. Ia seorang laki-laki kecil
dengan kumis terlalu besar untuk ukuran
tubuhnya.
Seorang anak Inggris yang tampak kesal
sedang berdiri di dekatnya. Mula-mula ia
berdiri dengan kaki sebelah. Lalu dengan
kaki yang lain, dan akhirnya menyepak-
nyepakkan kakinya ke tanaman bunga di
dekat situ. "Jangan begitu, Sayang," kata
ibunya yang sedang asyik membaca
majalah mode. "Aku tidak ada kegiatan,"
kata si anak.
Laki-laki kecil itu menolehkan kepalanya
ke arah si wanita, dan Mr. Satterthwaite
pun mengenalinya. "M. Poirot," katanya,
"senang sekali berjumpa dengan Anda." M.
Poirot berdiri dan membungkuk.
"Enchante, Monsieur. "
Mereka bersalaman dan Mr.
Satterthwaite duduk.
"Kelihatannya semua orang ada di Monte
Carlo. Belum setengah jam yang lalu saya
bertemu Sir Charles Cartwright.
Sekarang Anda."
"Sir Charles? Dia juga ada di sini?"
"Dia berpesiar terus dengan perahu. Anda
tahu dia telah menjual rumahnya yang di
Loomouth, kan?" "Ah, tidak. Saya tidak
tahu. Kenapa, ya?"
"Saya tak tahu. Dia bekerja keras, lalu
sakit sebentar dan harus istirahat. Tapi
saya rasa dia bukan tipe orang yang suka
tinggal di tempat sepi dan mengucilkan
diri terus-menerus."
"Ah, benar. Saya sependapat dengan Anda
dalam hal ini. Saya heran karena hal lain.
Kelihatannya Sir Charles punya alasan
khusus untuk tinggal di Loomouth-alasan
yang menyenangkan. Apakah saya benar?
Demoiselle mungil yang namanya lucu itu?"
Matanya bersinar lembut.
"Oh, jadi Anda tahu?"
"Tentu saja. Saya tahu. Hati saya sangat
sensitif untuk hal-hal seperti itu-saya kira
Anda juga. Dan la jeunesse selalu
mengharukan."
Ia menarik napas panjang.
"Saya kira," kata Mr. Satterthwaite,
"Anda benar tentang Sir Charles. Itu yang
menyebabkan dia pergi dari Loomouth. Dia
melarikan diri."
"Dari Mademoiselle Egg? Tapi kan jelas
gadis itu mencintainya? Kenapa dia lari?"
"Ah," kata Mr. Satterthwaite, "Anda
tidak mengerti keruwetan orang-orang
Anglo-Saxon rupanya."
M. Poirot mengikuti cara berpikirnya
sendiri.
"Tentu saja," katanya, "memburu memang
tindakan bagus. Lari dari seorang wanita.
Nanti dia akan mengejar. Dengan
pengalamannya yang banyak, Sir Charles
pasti tahu itu." Mr. Satterthwaite agak
heran.
"Saya rasa tidak begitu," katanya.
"Kenapa Anda berada di sini? Liburan?"
"Setiap hari saya liburan sekarang. Saya
sudah sukses. Saya kaya. Saya pensiun.
Sekarang saya jalan-jalan, melihat dunia."
"Bagus," kata Mr. Satterthwaite.
"N'est-ce pas?"
"Mama," kata anak kecil Inggris itu, "apa
tak ada yang bisa kulakukan?"
"Sayang," jawab ibunya dengan agak kesal,
"bukankah menyenangkan pergi ke luar
negeri dan menikmati sinar matahari?"
"Ya. Tapi tak ada yang bisa kukerjakan."
"Kau bisa lari-lari dan main sendiri. Pergi
dan main sana ke laut." "Maman, " kata
seorang anak Prancis yang tiba-tiba
muncul, "joue avec moi. " Seorang ibu
Prancis memandang anaknya dari balik
buku.
"Amuse-toi avec ta balle, Marcelle."
Anak itu menurut. Ia memainkan bolanya
sambil merengut. "Je m 'amuse, " kata
Hercule Poirot dengan ekspresi aneh di
wajahnya.
Lalu, seolah-olah menjawab pertanyaan
yang dibacanya di wajah Mr.
Satterthwaite, ia berkata, "Ah, ya. Anda
punya persepsi yang tajam. Memang
seperti yang Anda pikirkan." Ia diam satu
atau dua menit, lalu berkata,
"Waktu kecil, saya amat miskin. Kami
bersaudara banyak. Kami harus berjuang
untuk hidup. Saya masuk kesatuan polisi.
Saya bekerja keras. Pelan-pelan saya naik.
Nama saya mulai dikenal. Saya mulai
mempunyai reputasi internasional.
Akhirnya saya pensiun. Lalu perang pecah.
Saya terluka. Saya sampai di Inggris
dalam keadaan lemah dan menyedihkan
sebagai pengungsi. Seorang wanita yang
baik hati dengan ramah menerima saya.
Dia meninggal; secara tak wajar; bukan,
dia dibunuh. Eh bien, saya mengerahkan
segala kemampuan untuk menyelidiki. Saya
gunakan sel-sel kelabu saya sebaik
mungkin. Saya menemukan pembunuhnya.
Ternyata itu belum selesai. Saya bahkan
lebih kuat dari sebelumnya. Lalu mulailah
karier kedua saya-yaitu agen penyelidik
swasta di Inggris. Saya berhasil
memecahkan persoalan-persoalan yang
sulit dan luar biasa. Ah, saya jadi hidup!
Psikologi manusia memang luar biasa. Saya
menjadi kaya. 'Suatu hari nanti,' begitu
saya berkata pada diri sendiri, 'aku akan
punya uang yang kuperlukan. Semua
mimpiku akan menjadi kenyataan.'"
Ia meletakkan tangannya pada lutut Mr.
Satterthwaite.
"Kawan, hati-hatilah apabila mimpi-mimpi
Anda jadi kenyataan. Anak itu juga punya
mimpi pergi ke luar negeri. Dia merasa
penuh gairah karena akan melihat segala
sesuatu yang lain. Anda mengerti?" "Saya
mengerti," kata Mr. Satterthwaite, "Anda
tidak sedang bersenang-senang." Poirot
mengangguk. "Persis."
Ada saat-saat Mr. Satterthwaite
kelihatan seperti Puck. Seperti saat ini
misalnya. Wajahnya yang kecil dan keriput
bergetar tak terkendali. Ia ragu-ragu.
Haruskah? Atau tak usah? Pelan-pelan ia
membuka koran yang masih dipegangnya.
"Anda sudah baca ini, M. Poirot?"
Ia menunjukkan paragraf yang
dimaksudnya dengan jari telunjuknya.
Laki-laki Belgia kecil itu mengambil koran
tersebut. Mr. Satterthwaite
memperhatikannya membaca. Tak ada
perubahan pada wajahnya, tapi ia merasa
badan laki-laki itu menegang seperti
anjing terrier yang mengendus lubang
tikus.
Hercule Poirot membaca artikel itu dua
kali, lalu melipat koran tersebut dan
mengembalikannya pada Mr.
Satterthwaite.
"Menarik," katanya.
"Ya. Kelihatannya Sir Charles Cartwright
yang benar dan kita keliru."
"Ya," kata Poirot. "Ya, kelihatannya kita
salah. Saya menyukainya, kawan. Saya tak
bisa percaya seorang laki-laki tua yang
begitu baik dan ramah dibunuh orang. Hm,
barangkali saya memang salah. Walaupun
kematian yang ini mungkin kebetulan.
Kebetulan memang ada dan terjadi-juga
yang paling luar biasa. Saya, Hercule
Poirot, telah melihat dan mengalami
kebetulan-kebetulan yang
mencengangkan."
Ia diam, lalu melanjutkan,
"Insting Sir Charles mungkin benar. Dia
seniman-sensitif, mudah dipengaruhi. Dia
lebih bisa merasakan daripada berpikir
logis. Cara seperti itu dalam kehidupan
memang sering membuat semua jadi
berantakan, tapi kadang-kadang bisa
dibenarkan. Di mana Sir Charles
sekarang?"
Mr. Satterthwaite tersenyum.
"Saya bisa menjawab pertanyaan itu. Dia
ada di kantor Wagons-Lits. Dia dan saya
akan kembali ke Inggris malam ini."
"Aha!" Poirot sengaja memberi tekanan
khusus pada seruannya. Matanya yang
cerah, cerdas, nakal, dan ingin tahu
bertanya. "Alangkah bersemangatnya Sir
Charles kita. Kalau begitu, dia benar-
benar mau memainkan peran itu- peran
polisi amatir? Atau ada alasan lain?"
Mr. Satterthwaite tidak menjawab.
Tetapi Poirot menarik kesimpulan dari
sikap pria itu.
"Hm," katanya. "Mata gadis yang
bercahaya itu rupanya. Bukan hanya
peristiwa kriminal ini rupanya yang
memanggil dia."
"Gadis itu menyuratinya," kata Mr.
Satterthwaite, "meminta dia kembali."
Poirot mengangguk.
"Hm, saya tak mengerti sekarang..."
Mr. Satterthwaite menyela,
"Anda tak mengerti gadis Inggris
modern? Itu tidak aneh. Saya sendiri
tidak selalu bisa memahami mereka. Gadis
seperti Miss Lytton Gore..." Kali ini Poirot
yang menyela,
"Maaf. Anda salah mengerti. Saya bisa
memahami Miss Lytton Gore dengan baik.
Saya pernah bertemu yang seperti itu-
banyak. Anda menganggapnya bertipe
modern, tapi bagaimana saya
mengatakannya? Sudah kuno."
Mr. Satterthwaite agak tersinggung. Ia
merasa hanya dirinya yang bisa memahami
Egg. Orang asing gila ini tak tahu apa-apa
tentang wanita Inggris.
Poirot masih bicara. Nada suaranya
seperti orang melamun.
"Pengetahuan tentang sifat manusia bisa
berbahaya."
"Berguna," Mr. Satterthwaite
membetulkan.
"Barangkali. Tergantung dari mana sudut
pandangnya."
"Hm," kata Mr. Satterthwaite ragu-ragu
sambil berdiri. Ia agak kecewa. Ia telah
melempar umpan, tapi ikan itu belum
muncul. Ia merasa pengetahuannya akan
sifat manusia keliru. "Selamat berlibur,
kalau begitu." "Terima kasih."
"Kalau Anda ke London kapan-kapan, saya
harap Anda bisa singgah di tempat saya."
Ia mengeluarkan kartunya. "Ini alamat
saya."
"Anda sangat baik, Mr. Satterthwaite.
Saya akan senang." "Selamat berpisah,
kalau begitu." "Selamat berpisah dan...
bon voyage. "
Mr. Satterthwaite berjalan pergi. Poirot
memandangnya sesaat, lalu menatap lurus
ke depan, ke Laut Tengah yang biru.
Ia duduk begitu kira-kira sepuluh menit.
Anak Inggris itu datang lagi.
"Aku sudah melihat laut, Ma. Apa yang
akan kulakukan sekarang?"
"Pertanyaan yang mengagumkan," kata
Hercule Poirot.
Ia berdiri dan berjalan pergi perlahan-ke
arah kantor Wagons-Lits.

BAB VII

Sir CHARLES dan Mr. Satterthwaite


duduk di kamar kerja Kolonel Johnson.
Kepala polisi itu seorang laki-laki besar
berwajah merah dengan suara keras dan
sikap ramah.
Ia menyambut Mr. Satterthwaite dengan
gembira dan jelas tampak senang bisa
berkenalan dengan Charles Cartwright
yang terkenal.
"Istri saya senang melihat drama. Dia
salah seorang-bagaimana orang Amerika
menyebutnya?-fans Anda. Ya, fans. Saya
sendiri suka nonton drama. Pertunjukan
yang bagus. Ada juga pertunjukan-
pertunjukan panggung yang... huh!"
Sir Charles sadar akan kebenaran kata-
kata itu. Ia sendiri tak pernah memainkan
peran yang terlalu berani, tapi hanya
mengikuti sikapnya yang luwes dan
menarik. Ketika akhirnya mereka
mengatakan tujuan kedatangan mereka,
Kolonel Johnson pun segera menyampaikan
apa yang diketahuinya dan menyanggupi
untuk membantu sebisanya.
"Kawan Anda, ya? Kasihan... kasihan. Ya,
dia memang populer di sini. Sanatoriumnya
sangat dikenal. Kecuali itu, Sir
Bartholomew warga masyarakat
terhormat dan ahli top yang sedang ada di
puncak karier. Dia baik, murah hati,
populer. Sulit percaya ada orang yang tega
membunuhnya. Tapi kelihatannya memang
itulah yang terjadi- pembunuhan. Tak ada
petunjuk adanya maksud bunuh diri.
Kecelakaan juga tidak mungkin."
"Satterthwaite dan saya baru saja pulang
dari luar negeri," kata Sir Charles. "Kami
hanya membaca secuil berita di sana-sini
dari koran."
"Dan tentunya Anda ingin tahu yang
sebenarnya. Hm, saya akan menceritakan
kejadian itu secara keseluruhan. Saya kira
tak perlu diragukan lagi kepala pelayan itu
harus kita cari. Dia orang baru. Dia
bekerja pada Sir Bartholomew baru dua
minggu. Setelah kejadian itu dia hilang-
lenyap begitu saja. Kelihatannya aneh,
kan? Eh, apa?"
"Anda tak tahu ke mana dia pergi?"
Wajah Kolonel Johnson yang memang
merah itu bertambah merah.
"Anda pasti menganggap itu kelalaian
kami. Memang kelihatannya seperti itu.
Orang ini tentunya juga diperiksa, sama
seperti yang lain. Dia menjawab
pertanyaan kami dengan memuaskan,
memberi nama agen di London yang
menempatkannya. Majikannya yang
terakhir Sir Horace Bird. Sangat sopan
dan tidak gugup. Kemudian dia pergi, dan
kami memeriksa rumah itu. Orang-orang
saya sudah mencari di semua sudut, tapi
mereka tak menemukannya."
"Luar biasa," kata Satterthwaite.
"Tapi lucu juga," kata Sir Charles sambil
berpikir-pikir. "Rasanya yang dia lakukan
itu sangat tolol. Sebetulnya dia kan tidak
dicurigai. Tapi dengan menghilang, orang
malah curiga padanya."
"Benar. Dan tak ada harapan untuk lari.
Deskripsi orang itu telah diedarkan. Kita
tunggu waktunya saja."
"Aneh," kata Sir Charles. "Saya tidak
mengerti."
"Oh, sebabnya sudah jelas. Dia takut.
Tiba-tiba bingung."
"Biasanya orang yang berani membunuh
juga punya kemampuan duduk tenang
sesudahnya."
"Tergantung, tergantung. Saya tahu para
kriminal. Banyak yang kecil nyalinya. Dia
pikir dia dicurigai, lalu lari."
"Apa Anda sudah mengecek cerita tentang
dirinya?"
"Tentu saja, Sir Charles. Itu memang
pekerjaan rutin. Agen London itu
membenarkannya. Dia punya referensi
tertulis dari Sir Horace Bird yang
memberinya rekomendasi bagus. Sir
Horace sendiri sekarang di Afrika Barat."
"Jadi, referensi itu mungkin palsu?"
"Benar," kata Kolonel Johnson dengan
senang pada Sir Charles, seperti kepala
sekolah memberi selamat pada muridnya
yang pandai. "Tentu saja kami telah
mengirim telegram pada Sir Horace, tapi
mungkin perlu sedikit waktu untuk
mendapat jawaban. Dia sedang bersafari."
"Kapan orang itu menghilang?"
"Pagi hari setelah kematian. Ada seorang
dokter yang hadir dalam pesta itu-Sir
Jocelyn Cambell-saya dengar dia ahli
racun. Dia dan Davis-ahli di daerah ini-
memang memastikan kasus itu, dan kami
segera diberitahu. Malam itu kami
mewawancarai setiap orang. Dan Ellis-
nama kepala pelayan itu-masuk ke
kamarnya malam itu. Paginya dia tak ada
lagi. Tempat tidurnya belum dipakai."
"Dia menyelinap pergi malam itu?"
"Kelihatannya begitu. Salah seorang tamu
yang tinggal di situ-Miss Sutcliffe, aktris
itu-Anda tahu dia barangkali?" "Tentu
saja."
"Miss Sutcliffe memberitahu kami. Dia
bilang orang itu keluar lewat jalan
rahasia." Ia bersin sebentar.
"Kedengarannya seperti cerita Edgar
Wallace, tapi rupanya memang ada lorong
rahasia. Sir Bartholomew bangga dengan
lorong itu. Dia menunjukkannya pada Miss
Sutcliffe. Ujung lorong itu tembus di
sebuah rumah rusak yang jaraknya kira-
kira setengah mil."
"Itu merupakan kemungkinan," Sir Charles
setuju. "Tapi, apakah kepala pelayan itu
tahu?"
"Ya, itulah persoalannya. Istri saya selalu
bilang, pelayan biasanya tahu segalanya.
Kelihatannya dia benar."
"Saya dengar racunnya adalah nikotin,"
kata Mr. Satterthwaite.
"Benar. Tidak biasa, jarang sekali terjadi.
Saya dengar, pada perokok berat seperti
dokter itu, memang bisa timbul komplikasi
berbahaya. Maksud saya, dokter itu
mungkin saja meninggal karena keracunan
nikotin, tapi kematiannya wajar. Tapi
kejadiannya begitu mendadak."
"Bagaimana peracunan itu dilakukan?"
"Kami tidak tahu," kata Kolonel Johnson.
"Itulah hal paling lemah dalam kasus ini.
Menurut bukti-bukti medis, racun itu
pasti ditelan beberapa menit sebelum
dokter itu meninggal." "Saya dengar
mereka minum anggur?"
"Ya, betul. Kelihatannya racun itu ada di
dalam anggur. Tapi ternyata tidak. Kami
menganalisis gelasnya. Isinya hanya
anggur. Gelas-gelas anggur lainnya tentu
juga diperiksa. Tapi semua ada di sebuah
nampan di dapur, belum dicuci, dan tak
sebuah pun berisi sesuatu yang
mencurigakan. Apa yang dia makan juga
sama dengan yang dimakan para tamu.
Sup, ikan bakar, kentang, cokelat souffle,
telur ikan. Kokinya sudah bekerja selama
lima belas tahun padanya. Kelihatannya
tak mungkin dia meminum racun itu, tapi
barang itu ada di dalam perutnya. Sulit."
Sir Charles berpaling pada Mr.
Satterthwaite.
"Hal yang sama," katanya penuh semangat,
"sama seperti yang itu."
Ia berpaling lagi pada kepala polisi itu.
"Saya harus cerita. Pernah terjadi
kematian di rumah saya di Cornwall..."
Kolonel Johnson kelihatan tertarik.
"Saya kira saya pernah mendengar cerita
itu. Dari seorang gadis-Miss Lytton Gore."
"Ya, waktu itu dia hadir di sana. Dia
bercerita pada Anda?"
"Ya. Dia yakin pada teorinya. Tapi, Sir
Charles, saya tak percaya pada teori itu.
Karena tidak menjelaskan kepergian
pelayan itu. Apa pelayan Anda juga
menghilang?" "Oh, tidak. Dia pelayan
wanita." "Bagaimana kalau dia laki-laki
yang menyamar?"
Sir Charles tersenyum ketika
membayangkan Temple yang rapi dan
feminin itu. Kolonel Johnson juga
tersenyum minta maaf.
"Hanya gagasan ngawur saja," katanya.
"Itu karena saya tak bisa yakin dengan
teori Miss Lytton Gore. Saya dengar yang
meninggal itu pendeta tua. Siapa yang
ingin membunuh pendeta seperti itu?"
"Justru itulah yang membuat bingung,"
kata Sir Charles.
"Saya kira ini cuma kebetulan. Tapi kepala
pelayan yang menghilang itu harus
dicurigai. Bisa jadi dia memang pembunuh.
Sayang kami tak bisa menemukan sidik
jarinya. Ada ahli sidik jari yang melihat-
lihat kamar dan dapurnya, tapi tak bisa
menemukannya."
"Kalau pembunuh itu benar si pelayan,
motif apa yang mendorongnya berbuat
begitu?"
"Itulah salah satu kesulitan kami," kata
Kolonel Johnson. "Orang itu barangkali
ada di sini dengan maksud mencuri, dan
Sir Bartholomew mungkin menangkap
basah."
Baik Sir Charles maupun Mr.
Satterthwaite dengan sopan tidak
berkomentar. Kolonel Johnson sendiri
kemudian merasa alasan yang
dikemukakannya tidak kuat.
"Kenyataannya, kita hanya bisa berteori.
Kalau kita sudah bisa menangkap John
Ellis dan tahu siapa dia sebenarnya serta
apakah dia pernah dipenjara sebelumnya,
barangkali motifnya akan menjadi jelas."
"Tentunya Anda telah memeriksa surat-
surat dan dokumen-dokumen Sir
Bartholomew, ya?"
"Tentu saja, Sir Charles. Kami telah
memberi perhatian penuh pada sisi itu
dalam kasus ini. Saya harus mengenalkan
Anda pada Inspektur Crossfield yang
menangani kasus ini. Dia bisa dipercaya.
Saya menunjukkan padanya, dan dia
langsung setuju, bahwa profesi Sir
Bartholomew barangkali ada hubungannya
dengan kematian itu. Seorang dokter tahu
banyak rahasia profesional. Dokumen-
dokumen Sir Bartholomew ternyata
disimpan rapi. Miss Lyndon, sekretarisnya,
bersama-sama Crossfield memeriksa
dokumen-dokumen itu."
"Dan tak ada apa-apa?"
"Tak ada yang mencurigakan, Sir Charles."
"Apa ada barang yang hilang dari rumah-
perhiasan, perak-barang-barang seperti
itu?"
"Tidak, sama sekali tidak."
"Siapa-siapa saja yang tinggal di rumah
itu?"
"Saya punya daftar... eh, mana, ya? Ah,
saya rasa ada di Crossfield. Anda harus
bertemu dengan Crossfield. Sebenarnya
sekarang ini saya sedang menunggu-nunggu
dia untuk melapor..." Terdengar suara bel.
"Ah, itu dia barangkali."
Inspektur Crossfield berbadan besar dan
tegap. Bicaranya pelan, tapi matanya yang
biru kelihatan tajam. Ia memberi hormat
pada atasannya, lalu diperkenalkan pada
kedua tamu itu.
Seandainya Mr. Satterthwaite datang
sendiri, barangkali ia akan kesulitan
menghadapi Crossfield. Ia tidak terlalu
acuh pada seorang tamu dari London yang
datang sebagai amatir yang punya "ide".
Tapi Sir Charles lain. Inspektur
Crossfield mempunyai rasa hormat yang
kekanak-kanakan pada daya tarik
panggung. Ia pernah melihat Sir Charles
dalam dua pertunjukan. Tapi sekarang ia
berhadapan langsung dengan pemain
pujaannya-dan itu membuatnya ramah dan
terbuka.
"Saya pernah melihat Anda di London,
sungguh, dengan istri saya. Kami nonton
Lord Aintree's Dilemma-itu dramanya.
Orang penuh sesak, dan kami dapat
tempat di bawah. Sebelumnya kami harus
antre dua jam. Tapi istri saya bersikeras.
Dia bilang, 'Aku harus melihat Sir Charles
Cartwright dalam Lord Aintree's
Dilemma.' Waktu itu di Pall Mall Theatre."
"Ah," kata Sir Charles, "saya sudah
pensiun dari panggung sekarang. Saya
bekerja terlalu keras dan akhirnya sakit
dua tahun yang lalu. Tapi orang-orang Pall
Mall masih ingat nama saya." Ia
mengeluarkan sebuah kartu dan menulis
beberapa kata di atasnya. "Ini bisa Anda
berikan pada orang di loket, kalau Anda
dan istri Anda ke kota. Mereka akan
memberikan dua tempat duduk terbaik."
"Oh, terima kasih sekali, Sir Charles.
Anda begitu baik. Terima kasih."
Setelah itu, Inspektur Crossfield seperti
sebuah lilin di tangan sang aktor.
"Kasus ini aneh. Belum pernah saya
menangani keracunan nikotin. Juga Dokter
Davis."
"Saya selalu berpikir ini akibat penyakit
yang disebabkan karena terlalu banyak
merokok."
"Terus terang, saya juga berpikir begitu.
Tapi dokter bilang alkaloid murni
merupakan cairan tak berbau dan
beberapa tetes saja bisa membunuh
orang." Sir Charles bersiul. "Barang
poten."
"Benar. Padahal barang itu dipakai sehari-
hari. Misalnya untuk pencampur obat
penyemprot mawar. Dan tentu saja bisa
disaring dari tembakau biasa."
"Mawar," kata Sir Charles. "Hm, di mana
saya dengar..." Ia mengernyitkan dahi, lalu
menggelengkan kepala.
"Ada yang baru yang perlu dilaporkan,
Crossfield?" tanya Kolonel Johnson.
"Tak ada yang pasti, Sir. Ada laporan
bahwa buron kita, Ellis, terlihat di
Durham, Ipswich, Balham, Land's End, dan
beberapa tempat lainnya. Tapi semua itu
harus disaring." Ia kembali menghadap ke
kedua tamunya. "Pada waktu deskripsi
seorang buron diumumkan, orang itu
seolah-olah kelihatan di semua tempat di
Inggris."
"Bagaimana deskripsinya?" tanya Sir
Charles.
Johnson mengambil selembar kertas.
"John Ellis, tinggi sedang, agak bungkuk,
rambut abu-abu, cambang kecil, mata
hitam, suara serak, gigi atas patah dan
kelihatan bila dia tersenyum, tak ada
tanda-tanda atau karakteristik khusus."
"Hm," kata Sir Charles. "Sangat biasa,
kecuali cambang dan giginya. Cambang itu
pasti sudah hilang sekarang, dan sulit
menyuruhnya tersenyum."
"Persoalannya," kata Crossfield, "tak
seorang pun memperhatikan sesuatu.
Kesulitan saya adalah bagaimana cara
mendapat deskripsi yang amat samar dari
pembantu-pembantu. Selalu begitu. Saya
punya deskripsi tentang satu orang yang
sama, dan orang menyebutnya tinggi,
kurus, pendek, gemuk, sedang, tegap,
ramping. Tak seorang pun dalam umur lima
puluhan menggunakan matanya sebaik-
baiknya."
"Anda yakin benar, Inspektur, Ellis-lah
pelakunya?"
"Kalau tidak, kenapa dia lari? Tak ada
penjelasan lain rasanya."
"Memang sulit," kata Sir Charles sambil
berpikir.
Mr. Satterthwaite mengulangi pertanyaan
tentang dokumen Bartholomew Strange
yang telah ditanyakan Sir Charles.
"Tak ada apa-apa, Sir. Semua kelihatannya
bersih dan tak perlu dicurigai." "Ya,
betul," kata Johnson. "Saya sendiri juga
memeriksanya. Tapi tak ada apa-apa."
"Rasanya saya pernah melihat sekretaris
Tollie," kata Sir Charles. "Gadis itu biasa,
tapi sangat efisien." "Betul. Seorang gadis
yang baik dan sangat efisien. O ya, kami
juga memeriksa agenda Sir Bartholomew.
Sebetulnya catatan biasa. Saya simpan di
sini."
"Oh." Sir Charles mengulurkan tangannya
dengan cepat. Inspektur itu memberinya
sebuah buku hijau kecil yang agak kumal.
Mr. Satterthwaite mengintip dari balik
bahu Sir Charles ketika pria itu membuka-
buka halaman buku tersebut. Tulisannya
dengan pensil, seperti ini:

Sale Mr. Lathom. Anggur bagus. Harus


pergi. Beritahu L supaya beli alas meja.
Rasanya semua bersih. Istirahat segera.
Catatan-pecat si tukang kebun bodoh.
Kenapa dia tidak menanam tulip rapat-
rapat?

Tulisan terakhir bertanggal sehari


sebelum ia meninggal. Begini bunyinya:

Aku khawatir tentang M-ada yang tidak


beres. Beritahu L per sofa lepas.

"L ialah Miss Lyndon," kata Inspektur.


"Dan M?"
"Kami tidak tahu. Barangkali salah seorang
pasiennya."
Sir Charles kemudian minta daftar orang-
orang yang ada di tempat pesta malam itu.
Daftarnya seperti berikut:

Martha Leckie, juru masak. Beatrice


Church, pelayan utama. Doris Cocker,
pelayan biasa. Victoria Ball, pelayan
kamar. Violet Bassington, pelayan dapur.
Semuanya sudah lama bekerja pada
almarhum dan mempunyai karakter-
karakter yang baik. Mrs. Leckie sudah
bekerja lima belas tahun.
Gladys Lyndon, sekretarisnya yang
berumur 33, telah bekerja selama tiga
tahun pada Sir Bartholomew Strange. Ia
tak bisa memberikan informasi tentang
motif pembunuhan itu.

Tamu:
Lord dan Lady Eden, Cadogan Square,
London.
Sir Jocelyn dan Lady Cambell, Harley
Street, London.
Miss Angela Sutcliffe, Cantrell Mansions,
London, S. W. 3.
Kapten dan Mrs. Dacres, St. John 's
House, London, W. 1. Mrs. Dacres
mempunyai usaha di Ambrosine, Ltd.,
Bruton Street, London.
Lady Mary dan Miss Hermione Lytton
Gore. Rose Cottage, Loomouth.
Miss Muriel Wills, Upper Cathcart Road,
Tooting.
Mr. Oliver Manders, Messrs. Speir &
Ross, Old Broad Street, E. C.

"Hm," kata Sir Charles. "Yang ada di


Tooting ini tidak masuk koran. Si Manders
ada di sini juga." "Itu karena kebetulan
saja," kata Inspektur Crossfield. "Sepeda
motor pemuda ini menabrak sebuah
dinding dekat rumah itu. Dan Sir
Bartholomew yang kenal dia memintanya
tinggal malam itu." "Ah. Sembrono amat,"
kata Sir Charles ringan.
"Memang begitu kejadiannya," kata
Inspektur. "Dia pasti minum terlalu
banyak-itu membuatnya menabrak dinding.
Saya tidak tahu, apa dia sadar waktu itu."
"Terlalu banyak alkohol, kelihatannya,"
kata Sir Charles. "Ya, saya pikir juga
alkohol."
"Hm, terima kasih, Inspektur. Apa kami
bisa melihat-lihat rumah itu, Kolonel
Johnson?" "Tentu saja. Tapi rasanya
takkan banyak yang dapat Anda pelajari
lagi." "Ada orang di sana?"
"Hanya para pelayan. Tamu-tamu pulang
segera setelah pemeriksaan, dan Miss
Lyndon telah kembali ke Harley Street."
"Kami boleh juga bertemu Dr. Davis?"
tanya Mr. Satterthwaite. "Bagus."
Mereka memperoleh alamat dokter itu,
dan setelah mengucapkan terima kasih
pada Kolonel Johnson, mereka pergi.

BAB VIII
KETIKA mereka sedang dijalan, Sir
Charles berkata, "Apa pendapatmu,
Satterthwaite?"
"Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya
Mr. Satterthwaite. Ia senang menyimpan
pendapatnya sampai saat terakhir. Tapi
Sir Charles tidak begitu. Ia berkata
dengan simpati,
"Mereka keliru, Satterthwaite. Mereka
cuma memikirkan pelayan itu. Pelayan itu
berbuat sesuatu-ergo, pelayan itu adalah
pembunuh. Tidak cocok. Tidak cocok. Kita
tak bisa mengesampingkan kematian
satunya-yang terjadi di rumahku."
"Kau masih menganggap keduanya
berhubungan?"
Mr. Satterthwaite menanyakan hal itu,
walaupun jawabannya telah ada dalam
hatinya.
"Ah, jelas ada hubungannya. Semua
menunjuk ke arah itu. Kita harus
menemukan faktor yang sama-orang yang
berada di kedua pesta itu."
"Ya," kata Mr. Satterthwaite. "Dan itu
bukan hal sederhana seperti yang
diperkirakan orang. Ada cukup banyak
faktor yang sama. Hampir semua orang
yang datang ke pestamu ada di tempat
ini." Sir Charles mengangguk.
"Tentu saja aku tahu itu. Tapi kau tahu
deduksi apa yang bisa diambil dari hal
itu?" "Aku kurang mengerti, Cartwright."
"Ah, kan jelas sekali. Kauanggap itu
kebetulan? Tidak. Memang disengaja.
Kenapa semua orang yang ada di kematian
pertama ada pula di kematian kedua?
Kebetulan? Pasti tidak. Itu direncanakan-
rencana Tollie." "Oh!" kata Mr.
Satterthwaite. "Ya, bisajadi."
"Itu pasti. Kau tidak mengenal Tollie
sebaik aku, Satterthwaite. Dia suka
merahasiakan rencananya dan juga amat
sabar. Selama aku mengenalnya, dia tak
pernah memberikan pendapat
serampangan.
"Babbington dibunuh seseorang-ya,
dibunuh, aku tak mau memperluas istilah-
dia dibunuh di rumahku pada suatu malam.
Tollie mengejekku, karena aku curiga. Tapi
sebetulnya dia sendiri juga curiga. Dia tak
mengatakan hal itu, itu bukan caranya.
Tapi diam-diam dia membentuk sebuah
kasus. Aku tak tahu kasus apa itu. Tapi
kurasa bukanlah kasus yang ditujukan
pada satu orang saja. Dia yakin salah satu
dari orang-orang itu bertanggung jawab
atas tindak kriminal itu, dan dia membuat
rencana. Boleh dikatakan suatu tes, untuk
mengetahui siapa orangnya."
"Bagaimana dengan tamu-tamu lain?
Suami-istri Eden atau Cambell?"
"Kamuflase. Itu membuat tujuan
sebenarnya jadi tersamar."
"Dan apa kira-kira rencana itu?"
Sir Charles mengangkat bahu-isyarat
asing yang dibesar-besarkan. Ia menjadi
Aristide Duval, otak agen rahasia itu. Kaki
kirinya tiba-tiba timpang.
"Bagaimana aku tahu? Aku bukan tukang
sulap. Aku tak bisa menebak. Tapi jelas
ada rencana. Rencana itu tidak jalan
karena si pembunuh satu tingkat lebih
pandai dari yang diperkirakan Tollie. Dia
memukul lebih dulu."
"Laki-laki?"
"Bisa juga wanita. Yang lebih suka
memakai senjata racun biasanya wanita."
Mr. Satterthwaite diam. Sir Charles
berkata,
"Ayolah, kau tak setuju? Atau kau lebih
setuju dengan opini publik. 'Pelayan itu
orangnya. Dia yang membunuh.'" "Apa
penjelasanmu tentang pelayan itu?"
"Aku belum berpikir. Kurasa dia tak
berarti. Aku bisa membuat cerita tentang
dia." "Misalnya?"
"Seandainya polisi memang benar; Ellis
seorang kriminal profesional, bekerja
sama dengan-misalnya saja- komplotan
perampok. Ellis mendapat posisi itu
dengan surat-surat keterangan palsu. Lalu
Tollie dibunuh. Bagaimana posisi Ellis?
Seseorang dibunuh, dan di rumah itu ada
orang yang sidik jarinya disimpan Scotland
Yard dan dikenal mereka. Tentu saja dia
takut dan lari."
"Tapi lorong rahasia itu?"
"Peduli amat dengan lorong rahasia. Dia
kabur dari rumah itu ketika salah seorang
polisi penjaga itu ngantuk." "Itu memang
lebih bisa diterima." "Jadi, apa
pendapatmu?"
"Pendapatku?" kata Mr. Satterthwaite.
"Oh, sama dengan pendapatmu. Sejak awal
sudah sama. Menurut pendapatku, pelayan
itu hanya kambing hitam untuk
mengalihkan perhatian. Aku yakin Sir
Bartholomew dan Babbington yang malang
itu dibunuh orang yang sama."
"Salah seorang tamu?"
"Salah seorang tamu."
Mereka diam sejenak. Lalu Mr.
Satterthwaite bertanya sambil lalu, "Yang
mana menurut pendapatmu?" "Ya Tuhan.
Bagaimana aku tahu?"
"Tentu saja engkau tidak tahu," kata Mr.
Satterthwaite pelan. "Kupikir kau punya
ide-tak perlu yang muluk-muluk atau
ilmiah. Sekadar tebakan."
"Wah, aku tak tahu." Ia diam sebentar,
lalu berkata, "Kalau kita pikir-pikir,
rasanya tak mungkin salah seorang dari
mereka yang melakukannya."
"Kurasa teorimu benar," kata Mr.
Satterthwaite. "Maksudku, tentang
orang-orang yang tak punya faktor sama.
Kau, aku, dan Mrs. Babbington, misalnya.
Juga si Manders. Dia tak perlu
diperhitungkan."
"Manders?"
"Ya. Kedatangannya ke situ kan kebetulan
saja. Dia tidak diminta atau diundang ke
situ. Jadi, dia bebas dari kecurigaan."
"Juga penulis naskah drama itu-Anthony
Astor." "Tidak. Dia juga datang. Miss
Muriel Wills dari Tooting." "Oh, dia. Aku
lupa nama aslinya Wills."
Ia mengernyitkan dahi. Mr. Satterthwaite
memang pandai membaca pikiran orang. Ia
memperkirakan dengan cukup tepat apa
yang melintas di benak sang aktor. Ketika
temannya bicara, Mr. Satterthwaite diam-
diam memuji dirinya sendiri.
"Kau benar, Satterthwaite. Kurasa yang
diundangnya bukan hanya orang-orang
yang dicurigai, sebab Lady Mary dan Egg
kan juga di sana. Kurasa dia ingin membuat
reproduksi kasus yang pertama. Dia
mencurigai seseorang, tapi juga
memerlukan saksi-saksi untuk meyakinkan
hal itu. Begitulah kira-kira."
"Ya. Begitu kira-kira," kata Tuan
Satterthwaite setuju. "Pada saat ini,
orang baru bisa melihat patokan-patokan
umum saja. Baiklah. Keluarga Lytton Gore
keluar dari grup itu; juga kau, aku, Mrs.
Babbington, serta Oliver Manders. Tinggal
siapa? Angela Sutcliffe?"
"Angie? Ya Tuhan. Dia kawan lama Tollie."
"Kalau begitu, suami-istri Dacres.
Sebenarnya kau kan curiga pada mereka.
Terus terang sajalah."
Sir Charles memandangnya. Mr.
Satterthwaite kelihatan seperti orang
yang menang bertaruh.
"Aku memang mencurigai mereka," kata
Sir Charles pelan-pelan, "karena mereka
lebih masuk akal daripada yang lain.
Sebenarnya aku tidak terlalu kenal
mereka. Tapi rasanya aku juga tak bisa
mengerti kenapa Freddie Dacres yang
dedengkot taruhan pacuan kuda itu, atau
Cynthia, yang terkenal dengan desain
baju-baju mahalnya ingin membunuh
seorang pendeta tua yang tak berdosa."
Ia menggelengkan kepala, kemudian
wajahnya berubah cerah.
"Oh ya, si Wills. Aku hampir lupa. Apa sih
yang membuat orang cenderung
melupakannya? Dia memang orang yang
paling sulit dijelaskan." Mr. Satterthwaite
tersenyum.
"Kupikir dia seperti yang dikatakan Burns,
'Seorang anak di antaramu menulis.'
Kurasa Miss Wills seperti itu. Dia orang
yang sibuk mencatat. Ada mata tajam di
balik kacamatanya. Kurasa hal-hal yang
perlu diketahui dalam urusan ini telah
diketahui Miss Wills."
"Benarkah?" kata Sir Charles ragu-ragu.
"Pokoknya sekarang kita makan siang.
Setelah itu, kita ke sana untuk melihat-
lihat atau mencari sesuatu di situ." "Kau
kelihatannya senang dengan urusan ini,
Satterthwaite," kata Sir Charles sambil
mengedipkan matanya. "Penyelidikan kasus
kejahatan bukan barang baru bagiku,"
kata Mr. Satterthwaite. "Suatu kali,
ketika mobilku rusak dan aku terpaksa
menginap di penginapan terpencil..." Ia tak
melanjutkan ceritanya.
"Aku ingat," kata Sir Charles dengan
suara tinggi dan jelas, membawakan suara
seorang aktor, "ketika aku keliling pada
tahun 1921..." Sir Charles menang.

BAB IX

TAK ada yang lebih tenang dan damai dari


halaman dan gedung Melfort Abbey
seperti terlihat oleh kedua laki-laki itu
pada suatu sore di bulan September yang
cerah.
Sebagian dari biara itu merupakan
bangunan abad kelima belas. Bangunan itu
dipugar dan ditambah dengan satu sayap
baru. Sanatorium yang baru tidak
kelihatan dari rumah itu, karena punya
halaman sendiri.
Sir Charles dan Mr. Satterthwaite
diterima oleh Mrs. Leckie, juru masak
yang berbaju hitam dan menangis
tersedu-sedu. Ia sudah kenal Sir Charles,
dan kepadanyalah sebagian besar
ceritanya ditujukan.
"Anda pasti tahu apa artinya bagi saya,
Sir. Kematian Dokter. Polisi di mana-mana,
menyelinap di sana-sini. Mereka juga
memeriksa tempat-tempat sampah. Dan
pertanyaan-pertanyaan-mereka tak
berhenti bertanya-tanya. Oh, saya tak
tahan lagi rasanya. Tuan Dokter-beliau
pendiam dan tenang seperti biasa.
Beatrice dan saya pasti ingat benar, walau
saya dua tahun lebih dulu bekerja di sini
dibandingkan dia. Dan polisi itu-dia begitu
ribut dan kasar. Saya tak tahu apa dia
inspektur polisi atau bukan."
Mrs. Leckie diam, menarik napas, dan
melepaskan diri dari pembicaraan konyol
itu. "Pertanyaan tentang para pelayan
yang ada di rumah ini-padahal mereka
semua baik-baik, walaupun Doris suka
bandel dan saya harus mengingatkannya
paling tidak sekali seminggu; dan Vickie
yang suka tidak sopan-tapi anak-anak
muda itu memang begitu. Apa yang bisa
diharapkan dari mereka? Ibu mereka
tidak memberikan pendidikan cukup. Tapi
mereka gadis baik-baik, dan tak seorang
polisi pun bisa membuat saya mengatakan
yang sebaliknya. 'Ya,' kata saya padanya,
'jangan dikira saya mau mengatakan hal
yang memberatkan gadis-gadis itu.
Mereka gadis baik-baik, dan kalau Anda
mencurigai mereka melakukan
pembunuhan, itu jahat namanya.'"
Mrs. Leckie diam.
"Mr. Ellis itu lain. Saya tak tahu apa-apa
tentang dia dan tak bisa menjawab
pertanyaan tentang dia. Dia datang dari
London dan masih asing di tempat ini. Dia
datang ketika Mr. Baker berlibur."
"Baker?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Mr. Baker dulu kepala pelayan Sir
Bartholomew. Dia sudah tujuh tahun
bekerja di sini. Dia sering ada di London,
di Harley Street. Anda ingat dia?"
tanyanya pada Sir Charles yang kemudian
mengangguk. "Sir Bartholomew biasa
membawanya ke sini kalau ada pesta. Tapi
dia sakit-sakitan belakangan ini. Jadi, Sir
Bartholomew memberinya libur,
membayari liburannya di suatu tempat
dekat Brighton. Dokter sungguh baik hati.
Dan beliau untuk sementara menyewa
tenaga Mr. Ellis. Jadi, saya tak bisa cerita
apa-apa, walaupun seperti ceritanya, Mr.
Ellis selalu bekerja pada keluarga baik-
baik. Dia sendiri juga kelihatan
berpendidikan."
"Tak ada yang aneh tentang dia?" tanya
Sir Charles berharap.
"Ah, aneh rasanya yang Anda katakan
tadi, sebab saya merasa ya dan tidak."
Sir Charles memberi semangat dan Mrs.
Leckie melanjutkan,
"Saya tak tahu persis apa itu, tapi ada
sesuatu..."
"Biasanya begitu setelah ada kejadian,"
pikir Mr. Satterthwaite. Walaupun tak
suka polisi, Mrs. Leckie tidak menolak ide-
ide. Kalau Ellis ternyata kriminal, Mrs.
Leckie pasti telah melihat sesuatu.
"Pertama-tama, dia suka menyendiri, tidak
terbuka. Oh, sangat sopan-amat sangat
sopan-karena dia sudah biasa dengan
keluarga-keluarga baik-baik. Tapi dia
selalu menyendiri, lebih banyak tinggal di
kamarnya. Tapi dia... ah, saya tak tahu
bagaimana mengatakannya, saya yakin...
dia... dia, ada sesuatu..."
"Anda tak curiga dia bukan kepala pelayan
betulan?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Oh, dia kelihatan berpengalaman, Sir. Dia
banyak tahu-juga tentang orang-orang
terkenal di masyarakat." "Misalnya?"
tanya Sir Charles halus.
Tapi Mrs. Leckie jadi lupa dan bingung. Ia
tak akan bergosip tentang soal-soal
pelayan, tidak baik. Supaya Mrs. Leckie
tidak kagok, Mr. Satterthwaite berkata,
"Barangkali Anda bisa menjelaskan seperti
apa dia." Wajah Mrs. Leckie menjadi
cerah.
"Ya, tentu, Sir. Dia kelihatan terhormat-
bercambang, agak bungkuk, rambut abu-
abu. Dia juga mulai gemuk-itu yang
membuatnya khawatir. Tangannya juga
agak gemetar, tapi bukan karena hal yang
Anda bayangkan. Dia tidak suka minum-
tidak seperti kebanyakan orang yang saya
tahu. Matanya sedikit lemah, saya rasa.
Sinar terang membuat matanya sakit,
mengeluarkan air. Kalau keluar dengan
kami, dia memakai kacamata, tapi kalau
sedang bertugas, tidak."
"Tak ada tanda-tanda khas?" tanya Sir
Charles. "Bekas luka? Jari yang putus?
Atau tanda-tanda bawaan?" "Oh, tidak,
Sir, tak ada."
"Hm, cerita-cerita detektif itu begitu
luar biasa," kata Sir Charles, menarik
napas. "Dalam fiksi selalu ada ciri-ciri
yang menonjol."
"Ada giginya yang hilang," kata Mr.
Satterthwaite. "Saya rasa begitu. Tapi
saya tak pernah melihatnya."
"Bagaimana sikapnya pada malam itu?"
tanya Mr. Satterthwaite dengan agak
kaku.
"Wah, saya tidak bisa cerita, Sir. Saya
sibuk di dapur waktu itu. Saya tak punya
waktu untuk memperhatikan macam-
macam hal." "Ya, ya, tentu saja."
"Ketika mendengar Tuan meninggal, kami
kaget sekali dan menangis. Saya menangis
tak berhenti. Juga Beatrice. Para pelayan
yang masih muda, walaupun merasa seru,
juga bingung. Tentu saja Mr. Ellis yang
masih baru itu tidak bingung seperti kami.
Tapi dia sangat baik. Dia menyuruh saya
dan Beatrice minum anggur untuk
mengurangi kekagetan kami. Tak tahunya
dia sendirilah yang ternyata buronan itu..."
Mrs. Leckie tak kuasa meneruskan kata-
katanya. Matanya bersinar marah.
"Dia menghilang malam itu juga, saya
dengar."
"Ya, Sir. Dia masuk kamarnya seperti kami
semua, dan pagi harinya dia sudah tak ada.
Itulah sebabnya polisi memburunya."
"Ya, ya, memang tolol. Anda tahu kira-kira
bagaimana dia meninggalkan rumah?"
"Sama sekali tidak. Rasanya polisi
mengawasi rumah ini sepanjang malam dan
mereka tidak melihatnya pergi- tapi
namanya juga orang. Biarpun polisi, ya
sama saja, walaupun tampangnya seram."
"Saya dengar ada lorong rahasia," kata Sir
Charles. Mrs. Leckie mendengus. "Itu yang
dikatakan polisi." "Apa memang ada?"
"Saya memang pernah dengar," kata Mrs.
Leckie hati-hati. "Anda tahu dari mana
awalnya?"
"Tidak tahu, Sir. Lorong rahasia sendiri
tidak apa-apa, tapi bukan hal yang baik
untuk dibicarakan di antara pelayan.
Mereka akan berpikir untuk menyelinap
keluar lewat jalan itu. Gadis-gadis pelayan
keluar-masuk lewat pintu belakang."
"Bagus, Mrs. Leckie. Saya rasa Anda
bijaksana."
Wajah Mrs. Leckie cerah mendengar
pujian Sir Charles.
"Apa kami bisa bertanya-tanya pada
pembantu-pembantu lainnya?"
"Tentu saja, Sir. Tapi mereka tak bisa
cerita lebih banyak daripada saya."
"Oh, saya tahu. Maksud saya, kami tak
ingin tanya-tanya tentang Ellis. Lebih
penting tentang Sir Bartholomew sendiri-
sikapnya malam itu, dan sebagainya. Anda
tahu, kan dia teman saya."
"Ya, saya tahu. Saya mengerti, Sir. Ada
Beatrice dan Doris. Dia melayani di meja
makan." "Ya, saya ingin bicara dengan
Doris."
Tapi Mrs. Leckie mengutamakan
senioritas. Yang muncul pertama adalah
Beatrice Church, pelayan rumah yang lebih
senior.
Ia seorang wanita tinggi kurus dengan
mulut menciut, serta kelihatannya agresif
dan terhormat. Setelah menanyakan
beberapa hal yang tak penting, Sir
Charles menanyakan sikap para tamu pada
malam naas itu. Apa mereka sangat
bingung dan sedih? Apa yang mereka
katakan atau lakukan? Beatrice jadi
bersemangat. Ia senang menceritakan
tragedi itu.
"Miss Sutcliffe sangat terpukul. Dia
wanita yang hangat. Pernah menginap di
sini sebelumnya. Saya menanyakan apa dia
mau minum sedikit brendi atau secangkir
teh, tapi dia tak mau. Dia minum aspirin.
Katanya dia yakin takkan bisa tidur. Tapi
esok paginya, ketika saya mengantarkan
sarapannya, dia tidur seperti anak kecil."
"Dan Mrs. Dacres?"
"Saya rasa tak ada hal yang bisa
membuatnya bingung."
Dari nada suaranya, sepertinya Beatrice
tak suka pada Cynthia Dacres.
"Dia cuma ingin segera pergi. Katanya
usahanya bisa berantakan. Kata Mr. Ellis,
dia pembuat baju terkenal di London."
Bagi Beatrice, pembuat baju berarti
"dagang", dan ia menganggap rendah hal
itu. "Dan suaminya?" Beatrice mendengus.
"Menenangkan dirinya dengan brendi.
Atau barangkali justru tidak
menenangkan." "Bagaimana dengan Lady
Mary Lytton Gore?"
"Sangat baik," suaranya melembut.
"Nenek saya pernah bekerja pada ayahnya
di istana. Kata orang, semasa mudanya dia
cantik. Walaupun tidak kaya, dia kelihatan
terhormat, dia sangat baik. Tak pernah
membuat susah dan bicaranya selalu
manis. Putrinya juga baik. Mereka tidak
terlalu kenal Mr. Bartholomew, tapi
mereka sedih dengan kejadian itu."
"Miss Wills?"
Beatrice menjadi kaku lagi.
"Rasanya saya tak bisa mengatakan
bagaimana perasaan Miss Wills tentang
kejadian itu."
"Bagaimana pendapat Anda tentang dia?"
tanya Sir Charles. "Ayolah, Beatrice.
Masa Anda tak bisa cerita. Biasa sajalah."
Tanpa diduga, senyum merekah di wajah
Beatrice. Sikap Sir Charles yang kekanak-
kanakan itu terasa lucu. Beatrice pun
tidak kebal terhadap daya tarik yang
dirasakan penonton penggemar Sir
Charles setiap malam. "Saya tak tahu apa
yang Anda ingin saya katakan." "Bagaimana
pendapat dan perasaan Anda tentang Miss
Wills?" "Tak ada... tak ada, Sir. Tentu saja
dia tidak..." Beatrice ragu-ragu.
"Teruskan, Beatrice."
"Hm, dia memang tidak sekelas dengan
yang lain, Sir. Saya tahu dia memang
begitu-dari sananya," kata Beatrice
dengan sopan. "Tapi dia melakukan hal-hal
yang tidak seharusnya dilakukan wanita-
wanita terhormat. Dia mengintip, ingin
tahu, dan suka ikut campur."
Sir Charles berusaha keras mendapat
penjelasan atas pernyataan itu, tapi
Beatrice tetap bicara samar-samar. Miss
Wills suka mengintip, mengintai. Tapi
ketika disuruh memberi contoh, ia tak
bisa. Ia hanya mengulang-ulang,
mengatakan Miss Wills mengintip dan
menyelidiki hal-hal yang bukan urusannya.
Akhirnya mereka menyerah dan Mr.
Satterthwaite berkata,
"Mr. Manders katanya tiba-tiba datang?"
"Ya, benar. Dia mengalami kecelakaan
dengan sepeda motornya-dekat pintu
gerbang luar sana. Dia bilang beruntung
karena terjadinya di sini. Kamar-kamar
memang sudah penuh semua, tapi Miss
Lyndon menyediakan tempat tidur di
ruang kerja."
"Apa orang-orang lain heran melihat dia?"
"Oh ya. Tentu saja, Sir."
Ketika ditanya pendapatnya tentang Ellis,
Beatrice tak bisa berkata apa-apa. Ia tak
banyak berhubungan dengan Ellis. Caranya
lari dari rumah itu memang jelek. Ia pun
tak tahu kenapa Ellis mencelakakan
tuannya. Tak seorang pun tahu.
"Bagaimana Tuan Dokter? Apa dia senang
merencanakan pesta itu? Apa ada rencana
tertentu?"
"Tuan sangat gembira. Tersenyum-senyum
sendiri, seolah-olah punya rahasia lucu.
Saya bahkan mendengar Tuan bercanda
dengan-atau mencemooh-Mr. Ellis, padahal
Tuan tak pernah begitu dengan Mr. Baker.
Tuan biasanya sedikit keras pada pelayan-
pelayan. Dia baik, tapi tidak banyak
bicara."
"Apa yang mereka bicarakan?" tanya Mr.
Satterthwaite ingin tahu.
"Saya sudah lupa, Sir. Mr. Ellis datang
pada Tuan dengan membawa pesan
telepon, dan Tuan bertanya apa nama-
namanya sudah betul. Mr. Ellis menjawab
dengan yakin-tentu saja dengan sikap
hormat. Tuan Dokter tertawa sambil
berkata, 'Kau memang baik, Ellis, kepala
pelayan kelas satu. Eh, Beatrice, apa
pendapatmu?' Saya terkejut karena Tuan
bicara seperti itu-tidak seperti biasanya-
saya tak tahu mau bilang apa."
"Dan Ellis?"
"Dia kelihatan tidak begitu suka. Seolah-
olah dia tidak biasa dengan hal seperti itu.
Dia sepertinya kaku." "Pesan telepon itu
apa isinya?" tanya Sir Charles.
"Pesan itu? Oh, itu dari sanatorium.
Tentang seorang pasien yang datang ke
sana dan berhasil melewati perjalanan
dengan baik."
"Ingat nama pasien itu?"
"Namanya aneh, Sir," kata Beatrice ragu-
ragu. "Kalau tidak salah, Mrs. de
Rushbridger-seperti itu kira-kira." "Ah,
ya," kata Sir Charles penuh pengertian.
"Pasti sulit menerima nama seperti itu
lewat telepon. Baik, terima kasih,
Beatrice. Bolehkah kami bicara dengan
Doris sekarang?"
Ketika Beatrice sudah keluar, Sir Charles
dan Mr. Satterthwaite berpandangan.
"Miss Wills mengintip dan menyelidik.
Kapten Dacres mabuk. Mrs. Dacres tidak
menunjukkan emosi. Ada sesuatu di sini?
Sedikit sekali."
"Ya, cuma begitu," kata Mr. Satterthwaite
sependapat. "Kita harap Doris bisa
memberi lebih banyak."
Doris seorang wanita berumur tiga puluh,
sopan, dan bermata hitam. Ia senang
bicara.
Ia sendiri tak yakin Mr. Ellis terlibat
dalam peristiwa itu. Ia terlalu terhormat.
Polisi mengatakan ia penjahat biasa. Tapi
Doris yakin ia bukan orang jahat.
"Anda yakin dia kepala pelayan biasa yang
jujur?" tanya Sir Charles.
"Bukan biasa, Sir. Dia tidak seperti
kepala-kepala pelayan lain yang pernah
saya kenal. Caranya mengatur
pekerjaannya lain."
"Tapi Anda beranggapan bukan dia yang
meracuni Tuan?"
"Oh, Sir, saya tak tahu bagaimana dia bisa
melakukan hal itu. Saya melayani di meja
dengan dia. Dan dia tak akan bisa menaruh
sesuatu dalam makanan Tuan tanpa saya
lihat." "Dan minumannya?"
"Dia berkeliling mengedarkan anggur.
Pertama-tama sherry dengan sup, lalu
hock dan claret. Tapi apa yang bisa dia
lakukan? Kalau ada sesuatu dalam anggur
itu, pasti semua tamu akan keracunan-atau
setidaknya tamu-tamu yang minum anggur.
Rasanya Tuan tidak makan atau minum
sesuatu yang lain dari apa yang dimakan
dan diminum tamu. Juga anggur. Semua
tamu pria minum anggur. Dan beberapa
tamu wanita."
"Gelas-gelas anggur itu disingkirkan
dengan satu nampan?"
"Ya, Sir. Saya memegangi nampannya dan
Mr. Ellis meletakkan gelas-gelas di
atasnya, lalu saya membawa nampan ke
belakang. Gelas-gelas itu masih ada ketika
polisi datang memeriksa. Gelas-gelas
anggur masih ada di meja. Dan polisi tidak
menemukan apa-apa."
"Anda yakin Tuan tidak minum atau makan
sesuatu yang tidak dimakan atau diminum
tamu-tamu lainnya?"
"Setahu saya tidak, Sir. Ya, saya tahu
itu."
"Tak ada tamu yang memberinya sesuatu
untuk dimakan?"
"Oh, tidak, Sir."
"Anda tahu tentang adanya lorong rahasia,
Doris?"
"Salah seorang tukang kebun pernah
memberitahu saya. Ujungnya ada di hutan,
dekat bangunan tua yang sudah bobrok.
Tapi saya belum pernah melihat apa-apa di
rumah ini." "Ellis tak pernah bicara
tentang soal itu?" "Oh, tidak, Sir. Saya
yakin dia tak tahu tentang hal itu."
"Menurut pendapat Anda, siapa yang
membunuh Tuan Dokter, Doris?"
"Saya tak tahu, Sir. Rasanya sulit
dipercaya ada orang yang tega membunuh
Tuan. Saya kira kecelakaan." "Hm, terima
kasih, Doris."
"Seandainya tak ada kasus kematian
Babbington," kata Sir Charles setelah
Doris keluar, "kita bisa mencurigai gadis
itu. Dia cukup cantik. Dan melayani di
meja.... Tidak, tidak cocok. Babbington
dibunuh. Dan lagi, Tollie tak pernah
memperhatikan gadis-gadis cantik. Dia
memang begitu."
"Tapi umurnya 55," kata Mr.
Satterthwaite sambil merenung.
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Itu umur saat seorang lelaki bisa lupa
daratan karena seorang gadis, walaupun
sebelumnya dia tak pernah begitu."
"Omong kosong, Satterthwaite. Aku... eh...
juga mau 55." "Ya, ya," kata Mr.
Satterthwaite.
Dipandangnya Sir Charles dengan mata
berkedip nakal. Sir Charles tertunduk. Ia
kelihatan bingung.

BAB X

"BAGAIMANA kalau kita lihat kamar


Ellis?" tanya Mr. Satterthwaite, setelah
memuaskan diri melihat wajah Sir Charles
menjadi merah karena malu.
Aktor itu langsung menyambar ide yang
membelokkan persoalan itu.
"Bagus, bagus. Aku baru saja mau usul."
"Tentu saja polisi telah memeriksanya
dengan saksama."
"Polisi..."
Aristide Duval mengenyahkan pikiran
tentang polisi dengan sebal. Karena ingin
melupakan rasa malunya, ia menyebut
peran barunya dengan bersemangat.
"Polisi-polisi itu bodoh," katanya kasar.
"Apa yang mereka cari di kamar Ellis?
Bukti-bukti kesalahan. Kita akan mencari
bukti-buktinya dengan mengamati Ellis
yang tampaknya tak berdosa itu. Suatu hal
yang sama sekali lain."
"Kau yakin Ellis tidak bersalah dalam hal
ini?"
"Kalau kita benar tentang Babbington,
Ellis pasti tak bersalah."
"Ya, di samping itu..."
Mr. Satterthwaite tidak menyelesaikan
kalimatnya. Ia akan mengatakan bahwa
seandainya Ellis pembunuh profesional
yang dikenali Sir Bartholomew, dan
kemudian membunuhnya sebagai
akibatnya, seluruh kejadian itu benar-
benar suatu kejadian yang buruk.
Untunglah ia ingat Sir Bartholomew teman
Charles Cartwright.
Sekilas kamar Ellis tak menjanjikan apa-
apa. Tak mungkin menemukan hal penting
di sana. Baju-baju yang digantung di
lemari maupun dilipat dalam laci semua
rapi. Baju-baju itu potongannya bagus dan
buatan macam-macam penjahit. Jelas baju
pemberian orang dalam situasi yang
berbeda-beda. Baju-baju dalamnya pun
kelihatan begitu. Sepatu-sepatunya
disemir dan dijajar rapi.
Mr. Satterthwaite mengambil sebuah
sepatu bot dan bergumam, "Sembilan-
nomor sembilan." Memang tak ada jejak
kaki dalam kasus itu, tapi itu tak berarti
sepatu itu tak ada gunanya.
Jelas kelihatan bahwa ketika pergi, Ellis
masih mengenakan baju kerjanya. Mr.
Satterthwaite menunjukkan hal ini pada
Sir Charles sebagai fakta yang agak luar
biasa.
"Siapa pun akan berganti dengan baju
biasa dalam keadaan seperti itu."
"Ya. Aneh juga kelihatannya. Hampir
seperti... walaupun itu aneh... seolah-olah
dia tidak pergi ke mana-mana. Tapi
tentunya tidak begitu."
Mereka melanjutkan pemeriksaan. Tak ada
surat, tak ada dokumen, kecuali sebuah
guntingan koran tentang penyembuhan
penyakit katimumul dan sebuah artikel
tentang perkawinan seorang putri
bangsawan yang akan dilangsungkan dalam
waktu dekat.
Di situ ada satu bundel kertas penyerap
tinta dan sebotol tinta kecil di meja
samping. Tak ada pennya. Sir Charles
mengambil penyerap tinta itu dan
menempelkannya ke kaca, tapi tanpa hasil.
Satu halamannya terlihat sudah sering
dipakai, acak-acakan, dan tintanya
kelihatan sudah lama.
"Dia tak pernah menulis surat sejak
datang kemari atau tidak menyerapkan
tintanya," kata Mr. Satterthwaite
menyimpulkan. "Ini penyerap tinta tua. Ah,
ya." Ia menunjuk ke tulisan "L. Baker"
yang hampir-hampir tak terbaca.
"Kurasa Ellis belum memakainya sama
sekali."
"Aneh, ya?" kata Sir Charles.
"Apa maksudmu?"
"Pria biasanya menulis surat."
"Kecuali jika dia kriminal."
"Ya. Barangkali kau benar. Pasti ada
sesuatu yang tidak beres, yang
membuatnya lari seperti itu. Tapi
pokoknya dia tidak membunuh Tollie."
Mereka sibuk memeriksa lantai,
mengangkat karpet, memeriksa kolong
tempat tidur. Tak ada apa-apa di situ,
kecuali noda tinta di dekat perapian.
Kamar itu kosong.
Mereka meninggalkan kamar itu dengan
agak malu. Semangat mereka sebagai
detektif langsung berkurang.
Barangkali di benak mereka terlintas
pikiran bahwa di buku-buku cerita semua
teratur dengan lebih baik.
Mereka bicara sebentar dengan beberapa
pelayan junior yang takut pada Mrs.
Leckie dan Beatrice Church. Tapi mereka
tak memberikan harapan apa-apa.
Akhirnya keduanya pergi.
"Bagaimana, Satterthwaite, ada sesuatu
yang menarik?" kata Sir Charles ketika
mereka berjalan melintasi taman, menuju
mobil Mr. Satterthwaite yang diparkir di
dekat pintu masuk.
Mr. Satterthwaite berpikir. Ia tak bisa
menjawab dengan terburu-buru, apalagi
kalau ada sesuatu yang menarik
perhatiannya. Mengakui apa yang mereka
lakukan sia-sia tidaklah baik. Ia
menimbang-nimbang bukti-bukti yang
dikatakan para pelayan. Informasi mereka
benar-benar tak bernilai.
Seperti baru saja dikatakan Sir Charles,
mereka hanya tahu Miss Wills mengintip
dan menyelidiki, Miss Sutcliffe bingung,
Mrs. Dacres sama sekali tak peduli, dan
Kapten Dacres mabuk. Rasanya tak ada
apa-apa, kecuali kalau kelakuan Freddie
Dacres merupakan akibat dari rasa
bersalah. Tapi Mr. Satterthwaite tahu
Freddie Dacres memang sering mabuk.
"Bagaimana?" ulang Sir Charles tak sabar.
"Tak ada apa-apa," Mr. Satterthwaite
mengakui dengan enggan, "kecuali... kecuali
dari kliping koran itu kita bisa menarik
kesimpulan, si Ellis itu sakit katimumul."
Sir Charles tersenyum masam. "Deduksi
yang masuk akal. Apa lanjutannya?" Mr.
Satterthwaite mengaku tidak tahu. "Satu-
satunya yang lain," katanya, lalu ia diam.
"Ya? Teruskan saja, barangkali ada
gunanya."
"Rasanya aneh cara Sir Bartholomew
mencemooh kepala pelayannya seperti
yang diceritakan pelayan itu. Rasanya kok
aneh."
"Ya, aneh," kata Sir Charles penuh
tekanan. "Aku kenal Tollie dengan baik-
lebih baik dari kau-dan dia bukan orang
yang suka bercanda. Dia tak akan bicara
seperti itu, kecuali... kecuali untuk alasan
tertentu, saat dia tidak dalam keadaan
normal. Kau benar, Satterthwaite; itu
satu hal penting. Jadi, ke mana arahnya?"
"Hm...," Mr. Satterthwaite mulai. Tapi
jelas pertanyaan Sir Charles tak perlu
dijawab. Ia bukan ingin mendengar
pendapat Mr. Satterthwaite, tapi ingin
mengeluarkan pendapatnya.
"Kau ingat ketika insiden itu terjadi,
Satterthwaite? Setelah Ellis
menyampaikan pesan telepon itu. Kurasa
kita bisa menyimpulkan pesan lewat
telepon itulah yang membuat Tollie geli.
Kau masih ingat, kan? Aku bertanya pada
pelayan itu tentang isi pesan itu."
Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Ya, dia bilang seorang wanita bernama
Mrs. de Rushbridger datang ke
sanatorium," katanya, untuk menunjukkan
ia juga menaruh perhatian terhadap hal
itu. "Tidak terlalu seru kedengarannya."
"Benar. Tapi kalau alasan kita benar, pasti
ada sesuatu dalam pesan itu." "Ya... a,"
kata Mr. Satterthwaite ragu-ragu.
"Tentunya," kata Sir Charles, "kita harus
mencari tahu, apa sesuatu yang penting itu
dan yang terkandung dalam pesan
tersebut. Barangkali itu kode yang
terdengar biasa, tapi sebenarnya punya
arti lain. Kalau Tollie menyelidiki kasus
kematian Babbington, hal itu mungkin ada
hubungannya. Barangkali, misalnya, dia
justru akan mengupah detektif swasta
untuk menemukan fakta-faktanya. Orang
itu mungkin memberitahu dia bahwa
kecurigaannya memang terbukti. Lalu dia
menelepon dan mengatakan pesan khusus
itu; kalimat yang tidak berarti apa-apa
bagi orang lain. Hal itu bisa menjelaskan
sikapnya yang luar biasa gembira. Juga
kenapa dia bertanya pada Ellis apakah
nama itu betul, karena dia sendiri tahu
sebenarnya nama itu tak ada. Sebetulnya
dia sendiri menunjukkan sikap kurang
seimbang, yang terjadi bila orang berhasil
dalam sesuatu."
"Kauanggap tak ada orang yang bernama
Mrs. de Rushbridger?"
"Kurasa kita harus mengeceknya dulu."
"Bagaimana?"
"Kita bisa ke sanatorium sekarang dan
bertanya pada pimpinannya." "Bisajadi dia
akan berpikir ini aneh." Sir Charles
tertawa.
"Biar aku yang melakukannya," katanya.
Mereka berbelok ke arah sanatorium. Mr.
Satterthwaite berkata,
"Bagaimana denganmu, Cartwright? Ada
yang aneh menurut pendapatmu? Dari
kunjungan kita ke rumah, maksudku."
Sir Charles menjawab perlahan, "Ya, ada
sesuatu. Sialnya, aku tak ingat apa itu."
Mr. Satterthwaite memandangnya heran.
Yang dipandang hanya mengernyitkan dahi.
"Bagaimana aku bisa menjelaskannya? Ada
sesuatu-sesuatu yang saat itu kurasa
tidak beres, atau aneh-tapi aku tak
sempat berpikir tentang hal itu tadi. Aku
menyimpannya saja dalam pikiranku." "Dan
sekarang kau tak ingat?" "Tidak. Waktu
itu aku hanya berpikir 'Ini aneh.'" "Apa
mungkin waktu menanyai para pelayan?
Pelayan yang mana?"
"Aku tak ingat lagi. Tambah kupikir,
tambah lupa aku. Barangkali kalau
dibiarkan akan ingat sendiri nanti."
Mereka sampai di sanatorium, sebuah
bangunan modern bercat putih, yang
dipisahkan dari taman dengan pagar.
Mereka melewati pintu pagar itu dan
memijat bel depan serta minta bertemu
dengan pimpinannya.
Pimpinan sanatorium itu seorang wanita
jangkung setengah baya, berwajah cerdas,
dan tampak cekatan. Ia pernah mendengar
Sir Charles adalah kawan almarhum Sir
Bartholomew Strange.
Sir Charles menjelaskan bahwa ia baru
saja pulang dari luar negeri dan terkejut
mendengar kematian kawannya. Ia juga
curiga atas kejadian tersebut dan telah
datang ke rumah untuk melihat dan
bertanya-tanya. Wanita itu menyatakan
dengan halus arti kepergian Sir
Bartholomew bagi mereka dan kariernya
yang baik sebagai dokter. Sir Charles
sendiri ingin tahu bagaimana selanjutnya
nasib sanatorium itu. Pimpinan itu
mengatakan Sir Bartholomew punya dua
partner, keduanya dokter yang mempunyai
reputasi, dan yang satu tinggal di
sanatorium.
"Bartholomew memang bangga dengan
tempat ini," kata Sir Charles.
"Ya. Perawatannya merupakan sukses
besar."
"Banyak kasus-kasus saraf, ya?"
"Benar."
"Itu mengingatkan saya pada seseorang di
Monte Carlo yang punya hubungan dengan
seseorang di sini. Saya lupa namanya-
namanya aneh-Rushbridger-Rushbridger-
seperti itu kira-kira." "Maksud Anda Mrs.
de Rushbridger?" "Ya, betul. Apa dia di
sini?"
"Oh, ya. Tapi saya kira dia tak bisa
menemui Anda-untuk sementara ini. Dia
sedang menjalani istirahat total yang
amat ketat." Wanita itu tersenyum. "Tak
boleh terima surat atau tamu dulu." "Wah.
Mudah-mudahan sakitnya tidak terlalu
serius."
"Dia mengalami gangguan saraf yang agak
berat-kehilangan ingatan dan letih mental
yang berat. Oh, dia bisa pulih kembali
pada waktunya nanti." Wanita itu
tersenyum penuh keyakinan.
"Sebentar. Rasanya saya pernah dengar
Tollie-Sir Bartholomew-bicara tentang
dia. Dia teman sekaligus pasiennya, kan?"
"Bukan, Sir Charles. Setidaknya, Dokter
tak pernah bilang begitu. Dia baru saja
datang dari Hindia Barat. Sebenarnya
lucu. Para pelayan sulit mengingat
namanya-pelayan kamar di sini agak bodoh.
Dia datang dan bilang pada saya, 'Mrs.
Hindia Barat sudah datang.' Saya rasa
nama itu memang agak berbau Hindia
Barat, tapi memang kebetulan saja dia
baru datang dari Hindia."
"Ya, memang agak lucu. Suaminya ada?"
"Dia masih di sana."
"Ah, ya, ya. Saya pasti keliru dengan orang
lain. Itu merupakan kasus yang menarik
bagi Pak Dokter."
"Kasus amnesia sebenarnya cukup banyak.
Tapi kasus-kasus seperti itu selalu
menarik perhatian orang-orang medis -
maksud saya variasinya. Jarang ada dua
kasus yang sama."
"Buat saya semua aneh. Baiklah kalau
begitu. Terima kasih kami bisa ngobrol
sebentar. Tollie selalu bangga dengan
Anda. Dia sering bicara tentang Anda,"
kata Sir Charles berbohong.
"Oh, terima kasih. Syukurlah." Muka
wanita itu menjadi merah. "Dia begitu
baik. Kami benar-benar kehilangan. Kami
semua terkejut-seperti mau pingsan
rasanya. Pembunuh! 'Siapa sih yang tega
membunuh Dokter Strange?' kata saya.
Luar biasa. Kepala pelayan itu benar-benar
kurang ajar. Saya harap polisi bisa
menangkapnya. Dan tanpa motif atau apa-
apa."
Sir Charles menggelengkan kepala dengan
sedih, lalu pamit. Mereka keluar dan
berjalan ke arah mobil.
Sebagai balas dendam karena terpaksa
diam selama percakapan di sanatorium
tadi, Mr. Satterthwaite menunjukkan
perhatiannya pada tempat Oliver Manders
mendapat kecelakaan. Ia menanyai
penjaga gerbang yang sudah tua dan yang
bicaranya pelan.
Ya, itulah tempatnya, dindingnya retak.
Pemuda itu naik sepeda motor. Tidak, ia
tak melihat kecelakaan itu. Tapi ia
mendengarnya. Lalu keluar dan melihat.
Pemuda itu berdiri-tepat di tempat tuan
yang satunya itu berdiri. Kelihatannya ia
tidak terluka. Hanya kelihatan sedih
memandangi sepeda motornya yang
berantakan. Ia menanyakan nama tempat
itu, dan ketika mendengar itu rumah Sir
Bartholomew Strange, ia bilang, 'Untung,'
lalu berjalan ke rumah itu. Pemuda itu
kalem, kelihatan capek. Bagaimana sampai
terjadi kecelakaan itu, si penjaga gerbang
tak tahu. Tapi memang kadang-kadang hal
yang tak disangka bisa terjadi.
"Kecelakaan yang aneh," pikir Mr.
Satterthwaite.
Ia memperhatikan jalan yang lebar dan
lurus itu. Tak ada tikungan, tak ada
persimpangan, tak ada hal yang bisa
membuat pengendara motor terpaksa
menabrak dinding yang tingginya tiga
meter. Ya, kecelakaan aneh. "Apa yang
kaupikirkan, Satterthwaite?" tanya Sir
Charles ingin tahu. "Tak ada," kata Mr.
Satterthwaite. "Tak ada apa-apa."
"Memang aneh," kata Sir Charles. Ia juga
memandang tempat terjadinya kecelakaan
itu dengan bingung. Mereka masuk ke
dalam mobil dan pergi.
Mr. Satterthwaite sibuk berpikir. Mrs. de
Rushbridger... teori Cartwright tidak
jalan; itu bukan pesan dalam bentuk kode.
Orangnya ada. Mungkinkah ada sesuatu
yang berhubungan dengan wanita itu
sendiri? Mungkinkah ia saksi? Ataukah ia
merupakan kasus yang menarik, sehingga
Bartholomew Strange menunjukkan sikap
seperti itu? Apakah ia wanita cantik?
Jatuh cinta pada usia 55-seperti
diperhatikan Mr. Satterthwaite berkali-
kali-memang bisa mengubah karakter
manusia. Hal itu barangkali membuatnya
suka bercanda, walaupun sebelumnya ia
pendiam.
Renungannya terusik. Sir Charles
mencondongkan badannya ke depan.
"Satterthwaite," katanya, "kau tidak
keberatan kalau kita kembali?"
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung
memberi perintah. Mobil itu berjalan
pelan, berhenti, dan sopir mulai mengganti
arah. Satu-dua menit kemudian mereka
melaju dijalan, ke arah berlawanan. "Ada
apa?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Aku baru ingat hal yang kuanggap aneh,"
kata Sir Charles. "Noda tinta di lantai
kamar kepala pelayan itu."

BAB XI

Mr. SATTERTHWAITE memandang


kawannya dengan heran.
"Noda tinta? Apa maksudmu, Cartwright?"
"Kau masih ingat?"
"Aku memang ingat ada noda tinta."
"Kau ingat posisinya?"
"Tidak, bagaimana tepatnya tidak."
"Dekat perapian."
"Ya. Aku ingat sekarang."
"Bagaimana noda itu bisa terjadi,
Satterthwaite?" Mr. Satterthwaite
berpikir sejenak.
"Noda itu tidak terlalu besar," katanya.
"Pasti bukan karena tumpah dari botol.
Kemungkinannya, menurut pendapatmu,
orang itu menjatuhkan penanya di situ.
Kau ingat tidak, di kamar itu tak ada
pena." ("Dia akan tahu aku juga
memperhatikan hal-hal seperti itu," pikir
Mr. Satterthwaite.) "Jadi, jelas dia
memang punya pena, walaupun tak ada
bukti dia pernah menulis."
"Ya, benar, Satterthwaite. Ada noda tinta
di situ."
"Dia mungkin tak pernah menulis," kata
Mr. Satterthwaite. "Barangkali dia cuma
menjatuhkan penanya di lantai." "Tapi
pasti tak akan ada noda, kecuali jika tutup
pena itu dibuka."
"Kau benar," kata Mr. Satterthwaite.
"Tapi aku tidak melihat keanehan apa-apa
dalam hal itu."
"Barangkali memang tak ada yang aneh,"
kata Sir Charles. "Aku tak bisa bilang apa-
apa sampai aku kembali ke tempat itu dan
melihatnya sendiri."
Mereka berbelok masuk ke pintu pagar.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai
di rumah. Sir Charles membelokkan
kecurigaan penghuni rumah akan
kedatangannya kembali dengan
mengatakan pensilnya ketinggalan di
kamar Ellis.
Setelah berhasil mengusir Mrs. Leckie
yang siap membantu, Sir Charles menutup
pintu kamar Ellis dan berkata, "Sekarang
kita lihat apakah aku orang tolol, atau
memang ada sesuatu dalam ideku."
Menurut pendapat Mr. Satterthwaite,
alternatif pertama lebih mungkin, tapi ia
terlalu sopan untuk mengatakan hal itu. Ia
duduk di tempat tidur dan memandang
kawannya.
"Ini dia nodanya," kata Sir Charles sambil
menunjuk dengan kakinya. "Tepat di bawah
papan pembatas dinding, di arah yang
berlawanan dengan meja tulis. Dalam
situasi apa orang menjatuhkan pena di
tempat itu?"
"Kita bisa menjatuhkan pena di mana
saja," kata Mr. Satterthwaite.
"Memang bisa saja melemparkannya ke
seberang ruangan," kata Sir Charles
setuju. "Tapi orang biasanya tidak
memperlakukan penanya seperti itu. Aku
tak tahu. Pena bertinta buatku sangat
menyebalkan. Suka kering tintanya, tidak
keluar pada waktu kita sedang
memerlukan. Barangkali inilah jawabannya.
Ellis marah dan berkata, 'Sialan,' sambil
melempar penanya."
"Kurasa bisa ada banyak penjelasan," kata
Mr. Satterthwaite. "Dia mungkin
meletakkan penanya di atas perapian, lalu
pena itu jatuh."
Sir Charles melakukan eksperimen dengan
pensil. Ia membiarkan pensil itu
menggelinding di ujung perapian. Pensil itu
jatuh ke lantai kira-kira satu meter dari
noda tinta, terus menggelinding ke dalam
perapian yang memakai gas.
"Hm," kata Mr. Satterthwaite, "apa
penjelasannya?" "Aku sedang mencarinya."
Dari tempat duduknya, Mr. Satterthwaite
menyaksikan pertunjukan yang
menyenangkan.
Sir Charles mencoba menjatuhkan
pensilnya sambil berjalan ke arah
perapian. Ia mencoba duduk di ujung
tempat tidur dan menulis di situ, lalu
menjatuhkan pensil. Agar pensil itu dapat
jatuh di tempat noda itu, ia harus duduk
atau berdiri merapat ke dinding dalam
posisi yang tak menyenangkan.
"Itu tak mungkin," kata Sir Charles keras.
Ia berdiri memandang dinding, noda tinta,
dan perapian.
"Seandainya dia membakar kertas,"
katanya sambil berpikir. "Tapi orang tidak
membakar kertas di perapian yang
dinyalakan dengan gas."
Tiba-tiba Sir Charles menarik napas
panjang.
Satu menit kemudian, Mr. Satterthwaite
menyaksikan profesi Sir Charles dalam
gambaran hidup.
Charles Cartwright menjadi Ellis, si kepala
pelayan. Ia duduk di meja tulis. Ia
kelihatan penuh rahasia, sesekali
mengangkat mata dan melirik ke kiri ke
kanan. Tiba-tiba ia seperti mendengar
sesuatu. Mr. Satterthwaite bahkan bisa
menebak apa kira-kira yang didengar-
langkah kaki sepanjang lorong. Laki-laki
itu merasa bersalah. Ia meloncat dengan
kertas di satu tangan dan pena di tangan
lainnya. Ia cepat-cepat berjalan ke
perapian, kepalanya setengah menoleh,
masih dalam sikap waspada,
mendengarkan, setengah takut. Ia
mencoba menyelipkan kertas ke dalam
perapian yang menyala. Supaya dapat
menggunakan kedua tangannya, ia
melemparkan penanya dengan tak sabar.
Pensil Sir Charles jatuh tepat di noda
tinta.
"Bravo!" seru Mr. Satterthwaite memberi
aplaus.
Begitu bagus pertunjukan itu, sehingga ia
mendapat kesan memang itulah
sebenarnya yang dilakukan Ellis.
"Begitulah kira-kira," kata Sir Charles,
kembali menjadi dirinya dan bicara dengan
suara merendah. "Kalau dia mendengar
polisi, atau orang yang dikiranya polisi
datang, dan harus menyembunyikan apa
yang ditulisnya-nah, di mana dia akan
menyembunyikannya? Bukan di laci atau di
bawah kasur. Kalau polisi menggeledah
kamar, pasti segera ditemukan. Dia tak
punya waktu untuk mengangkat papan
lantai. Tempat di balik perapian itu yang
paling tepat."
"Yang kemudian harus kita lakukan," kata
Mr. Satterthwaite, "ialah mengecek
apakah ada sesuatu yang tersembunyi di
balik perapian."
"Tepat. Tapi bisa saja yang dia takutkan
tidak terjadi, dan dia bisa mengambil
kembali benda-benda itu. Tapi siapa tahu.
Kita lihat saja."
Sir Charles membuka baju hangatnya dan
menggulung lengan bajunya, lalu bertiarap
di lantai sambil mengintip celah di
perapian.
"Ada sesuatu di bawah sana," katanya
melapor. "Warnanya putih. Bagaimana
mengambilnya? Kita perlu benda semacam
jepit topi wanita."
"Zaman sekarang wanita tidak memakai
jepit topi," kata Mr. Satterthwaite sedih.
"Barangkali bisa pakai pisau lipat."
Tapi ternyata tidak bisa.
Akhirnya Mr. Satterthwaite keluar dan
meminjam jarum rajut dari Beatrice.
Walaupun pelayan itu ingin tahu kenapa
Mr. Satterthwaite meminjam benda itu,
rasa sopan santun mencegahnya
menanyakan hal itu.
Jarum rajut itu membawa hasil. Sir
Charles menarik kira-kira enam gumpalan
kertas yang kelihatannya dimasukkan ke
dalam perapian dengan tergesa-gesa.
Dengan menggebu-gebu ia dan Mr.
Satterthwaite meluruskan lembaran-
lembaran itu. Kertas-kertas itu ternyata
merupakan beberapa konsep surat yang
ditulis dengan tulisan kecil dan rapi. Yang
pertama isinya:
Ini suatu pernyataan bahwa penulis tak
ingin menyebabkan hal-hal yang tidak enak
dan mungkin kekeliruan akan apa yang
dilihatnya malam ini, tapi...

Di sini penulis jelas tidak puas dan mulai


menulis lagi:

John Ellis, kepala pelayan, dengan senang


hati bersedia menjalani wawancara
sehubungan dengan tragedi malam ini,
sebelum pergi ke polisi dengan informasi
yang diketahuinya...

Orang itu kelihatannya masih belum puas


dan mencoba menulis lagi:

John Ellis, kepala pelayan, mempunyai


beberapa fakta tentang kematian dokter
itu. Ia belum memberikan fakta-fakta itu
pada polisi...
Pada konsep yang lain, penggunaan bentuk
orang ketiga tunggal sudah ditinggalkan:

Aku sangat memerlukan uang. Seribu


pound akan membereskan persoalanku.
Ada beberapa hal yang bisa kukatakan
pada polisi, tapi aku tak ingin membuat
ribut...

Yang terakhir kelihatan lebih terbuka:

Saya tahu bagaimana dokter itu


meninggal. Saya belum mengatakan apa-
apa pada polisi. Kalau Anda bersedia
menemui saya...

Surat yang ini putus dengan cara


berbeda-beda; setelah kata "saya", pena
bergoyang dan lima kata terakhir buram
dan hurufnya membengkok. Rupanya waktu
menulis surat itulah Ellis mendengar suara
yang membuatnya khawatir. Ia meremas
kertas itu dan cepat-cepat
menyembunyikannya.
Mr. Satterthwaite menarik napas.
"Selamat, Cartwright," katanya.
"Instingmu tentang noda tinta itu
ternyata benar. Bagus. Sekarang kita lihat
di mana kita berada." Ia diam sesaat.
"Seperti kita perkirakan, Ellis rupanya
memang penjahat. Dia bukan pembunuh,
tapi tahu siapa pembunuhnya, dan dia siap
memeras orang itu, laki-laki atau
perempuan."
"Laki-laki atau perempuan," kata Sir
Charles. "Menyebalkan juga kita tak tahu
yang mana. Kenapa dia tidak memulai
suratnya dengan 'Sir' atau 'Madam' saja.
Ellis kelihatannya cukup artistik. Dia
susah payah menulis banyak surat
pemerasan. Kalau saja ada satu petunjuk-
satu petunjuk kecil yang sederhana-
misalnya pada siapa surat itu ditujukan."
"Tak apa," kata Mr. Satterthwaite. "Kita
sudah mendapat kemajuan. Kau sendiri
yang mengatakan apa yang ingin kaucari
dalam kamar ini adalah bukti
ketidakterlibatan Ellis. Kita sudah
menemukannya. Surat-surat ini
menunjukkan dia tidak terlibat. Dia
memang penjahat, tapi bukan pembunuh
Sir Bartholomew Strange. Orang lain yang
melakukannya. Orang yang juga membunuh
Babbington, kelihatannya. Kurasa polisi
terpaksa akan sependapat dengan kita."
"Kau akan memberitahu mereka tentang
ini?" suara Sir Charles menunjukkan rasa
tak puas. "Kurasa kita tak bisa
membiarkannya. Kenapa?"
"Hm..." Sir Charles duduk di tempat tidur.
Dahinya berkerut. "Bagaimana aku harus
mengatakannya? Pada saat ini kita tahu
sesuatu yang tak diketahui orang lain.
Polisi sedang mencari Ellis. Mereka pikir
dialah pembunuhnya. Setiap orang tahu
polisi menganggap dia pembunuhnya. Jadi,
si pembunuh yang sesungguhnya merasa
aman. Dia-entah laki-laki entah
perempuan-tak akan jadi sembrono, tapi
dia akan merasa aman. Bukankah sayang
kalau kita mengaduk-aduk situasi itu?
Bukankah ini merupakan kesempatan untuk
kita? Maksudku kesempatan kita untuk
mencari hubungan antara Babbington dan
salah satu dari orang-orang itu. Mereka
tak tahu ada orang yang
menghubungkan kematian ini dengan
kematian Babbington. Mereka tak akan
curiga. Ini kesempatan satu dalam seribu."
"Ah, aku mengerti," kata Mr.
Satterthwaite. "Aku setuju. Ini
kesempatan. Tapi sama saja, kurasa kita
tak bisa melakukannya. Kewajiban kita
sebagai warga negara ialah melaporkan
penemuan ini dengan segera pada polisi.
Kita tak punya hak untuk menyimpannya
sendiri."
Sir Charles memandangnya dengan sorot
mata aneh.
"Kau memang contoh warga negara yang
baik, Satterthwaite. Aku tahu hal yang
ortodoks itu harus dilakukan. Tapi aku
bukanlah warga negara yang baik. Rasanya
aku takkan merasa terlalu bersalah kalau
menyimpannya sampai satu atau dua hari
lagi. Cuma satu-dua hari, kan? Tidak?
Baiklah, aku menyerah. Kita harus
menghormati hukum dan peraturan."
"Johnson adalah kawanku," Mr.
Satterthwaite menjelaskan, "dan dia amat
baik-membolehkan kita ikut-ikut tahu,
memberi informasi lengkap, dan
sebagainya."
"Oh, kau benar," kata Sir Charles. "Benar.
Hanya saja, cuma aku rupanya yang punya
pikiran untuk mencari-cari di bawah
perapian itu. Hal itu tak terpikir oleh
polisi-polisi tolol itu. Tapi sudahlah.
Terserah kau saja, Satterthwaite. Jadi,
di mana Ellis sekarang, kira-kira?"
"Kurasa," kata Mr. Satterthwaite, "dia
mendapat apa yang dicarinya. Dia diupah
untuk menghilang, dan dia menghilang
dengan baik."
"Ya," kata Sir Charles, "kurasa itulah
penjelasannya."
Ia gemetar.
"Aku tak suka kamar ini, Satterthwaite.
Ayo keluar."

BAB XII

Sir CHARLES dan Mr. Satterthwaite


sampai di London kembali esok malamnya.
Wawancara dengan Kolonel Johnson harus
dilakukan dengan taktis. Inspektur
Crossfield tidak terlalu gembira, sebab
"orang-orang biasa" itu menemukan
sesuatu yang seharusnya ditemukan
dirinya dan bawahannya. Ia berusaha
tidak kehilangan muka.
"Bagus sekali, Sir. Saya akui saya memang
tak pernah berpikir untuk memeriksa
tempat itu. Terus terang, saya ingin tahu
apa yang membuat Anda mencari sesuatu
di tempat itu."
Kedua laki-laki itu memang tidak bercerita
secara mendetail tentang teori mereka
yang didasarkan pada setitik noda tinta.
"Hanya melongok-longok," itulah yang
dikatakan Sir Charles.
"Tapi Anda berhasil," kata inspektur itu,
"walaupun apa yang Anda temukan tidak
terlalu mengejutkan bagi saya. Memang
bisa dimengerti kalau Ellis bukan
pembunuhnya, dia pasti menghilang karena
sebab-sebab tertentu. Saya sudah lama
juga berpikir, bisajadi pemerasan
merupakan profesinya."
Satu hal memang muncul karena penemuan
tersebut. Kolonel Johnson bermaksud
mengadakan komunikasi dengan polisi
Loomouth. Kematian Stephen Babbington
harus diperiksa.
"Dan kalau mereka menemukan dia juga
meninggal karena keracunan nikotin, si
Crossfield akan terpaksa mengakui kedua
kematian itu berhubungan," kata Sir
Charles ketika mereka ngebut ke London.
Ia masih kesal karena terpaksa
menyerahkan penemuannya kepada polisi.
Mr. Satterthwaite menghiburnya dengan
mengatakan informasi itu tak akan
dipublikasikan pada wartawan. "Orang
yang bersalah tak akan khawatir, dan
pencarian Ellis tetap dilakukan." Sir
Charles mengakui hal itu benar.
Setelah sampai di London, Sir Charles
berkata pada Mr. Satterthwaite bahwa ia
akan menghubungi Egg Lytton Gore. Surat
gadis itu ditulis dari sebuah alamat di
Belgrave Square. Ia berharap gadis itu
masih ada di sana.
Mr. Satterthwaite menyetujui hal itu
dengan sikap sungguh-sungguh. Ia sendiri
ingin bertemu Egg. Sir Charles memang
berjanji akan menelepon gadis itu begitu
mereka sampai di London.
Egg ternyata masih di situ. Ia dan ibunya
tinggal di rumah saudara mereka dan baru
akan kembali ke Loomouth seminggu
kemudian. Egg dengan mudah diajak keluar
untuk makan malam dengan kedua pria itu.
"Tentunya dia tak bisa datang ke tempat
ini," kata Sir Charles sambil memandang
berkeliling flatnya yang mewah. "Ibunya
tak akan senang. Kita bisa saja
mengundang Miss Milray, tapi rasanya tak
perlu. Terus terang, Miss Milray
membuatku jadi kaku dan kagok. Dia
begitu efisien, sehingga aku jadi rendah
diri."
Mr. Satterthwaite menawarkan rumahnya.
Akhirnya mereka memutuskan makan di
Berkeley. Setelah itu, kalau Egg suka,
mereka bisa melanjutkan obrolan di suatu
tempat.
Mr. Satterthwaite seketika melihat gadis
itu tampak lebih kurus, matanya kelihatan
lebih besar, dan dagunya lebih tegas.
Mukanya pucat dan di bawah matanya
terlihat lingkaran-lingkaran. Tapi daya
tariknya tetap sama, begitu pula
semangatnya yang kekanak-kanakan.
Ia berkata pada Sir Charles, "Saya tahu
Anda pasti datang."
Nada suaranya berbunyi, "Karena kau
sudah tiba, semuanya pasti beres."
Mr. Satterthwaite berpikir, "Tapi dia tak
yakin Sir Charles akan datang; dia sama
sekali tak yakin. Dia begitu khawatir.
Banyak pikiran." Dan ia berpikir lagi,
"Apakah Sir Charles tidak merasa? Aktor
biasanya sensitif. Apa dia tak tahu gadis
itu mencintainya setengah mati?"
Situasi ini aneh, pikirnya. Bahwa Sir
Charles jatuh cinta pada gadis itu, sudah
jelas terlihat. Gadis itu pun mencintainya.
Dan hubungan di antara mereka-hubungan
yang mendekatkan mereka-adalah tindak
kriminal ganda yang luar biasa.
Mereka tak banyak bicara selama makan.
Sir Charles bercerita tentang
pengalamannya di luar negeri. Egg
bercerita tentang Loomouth. Mr.
Satterthwaite membuat mereka bicara
lagi ketika pembicaraan mulai tersendat-
sendat. Setelah selesai makan malam,
mereka pergi ke rumah Mr.
Satterthwaite.
Rumah Mr. Satterthwaite ada di Chelsea
Embankment. Rumah besar itu berisi
banyak karya seni. Di situ banyak lukisan,
patung, porselen Cina, tembikar
prasejarah, gading, miniatur dan
perabotan Chippendale dan Heppelwhite
asli. Terasa suasana matang serta penuh
pengertian di situ.
Tapi Egg Lytton Gore tidak melihat apa-
apa. Ia melemparkan mantel malamnya di
sebuah kursi dan berkata,
"Nah, sekarang ceritakan semuanya."
Ia mendengarkan dengan penuh perhatian
ketika Sir Charles menceritakan
pengalaman mereka di Yorkshire, dan
menarik napas dalam-dalam ketika pria itu
menjelaskan tentang penemuan surat-
surat pemerasan itu.
"Apa yang terjadi setelah itu hanya bisa
kita bayangkan," kata Sir Charles
mengakhiri. "Barangkali Ellis dibayar
untuk menjaga lidahnya, dan kepergiannya
justru mendapat bantuan."
Tapi Egg menggelengkan kepala.
"Oh, tidak," katanya. "Ellis pasti sudah
mati."
Kedua laki-laki itu terkejut, tapi Egg
begitu yakin dengan idenya.
"Tentu saja dia sudah mati. Itu sebabnya
dia berhasil menghilang begitu lama,
sampai tak seorang pun bisa menemukan
jejaknya. Dia tahu terlalu banyak, jadi dia
dibunuh. Ellis adalah korban ketiga."
Walaupun kedua laki-laki itu tak pernah
memikirkan kemungkinan itu sebelumnya,
mereka terpaksa mengakui teori itu
sangat masuk akal.
"Tapi begini," kata Sir Charles. "Memang
bisa saja Ellis sudah mati. Persoalannya, di
mana mayatnya? Kepala pelayan dengan
tubuh seberat itu tentunya harus
diperhitungkan."
"Saya tak tahu di mana mayatnya," kata
Egg. "Pasti banyak tempat." "Justru
sebaliknya," gumam Mr. Satterthwaite.
"Sulit."
"Banyak," ulang Egg. "Coba," katanya, lalu
diam sejenak. "Di ruang bawah atap-
banyak ruangan di bawah atap yang tak
pernah dilihat orang. Barangkali dia ada di
dalam peti di sana."
"Kelihatannya tak masuk akal," kata Sir
Charles. "Tapi mungkin saja. Mungkin
untuk menunda penemuan... eh... atau
untuk mengulur waktu."
Tapi Egg bukanlah orang yang suka
menghindari rasa tak enak. Ia langsung
menghadapi hal yang dipikirkan Sir
Charles.
"Bau busuk menguap ke atas, tidak ke
bawah. Keberadaan mayat lebih cepat
diketahui apabila diletakkan di ruang
bawah tanah, bukan di ruang bawah atap.
Dan lagi, kalau orang mencium baunya,
pikiran mereka pertama-tama akan
tertuju pada tikus-tikus mati."
"Kalau teorimu benar, berarti si pembunuh
laki-laki. Wanita tak bisa menyeret-
nyeret mayat seputar rumah. Bagi laki-laki
saja susah."
"Ada beberapa kemungkinan lain. Ada
sebuah lorong rahasia di sana. Miss
Sutcliffe yang cerita pada saya. Dan Sir
Bartholomew berjanji akan
menunjukkannya pada saya. Pembunuh itu
mungkin memberi Ellis uang dan
menunjukkan jalan keluar lewat lorong itu.
Mereka bersama-sama menyusuri lorong,
dan si pembunuh membunuhnya di sana.
Seorang wanita bisa melakukan hal itu.
Lalu dia bisa meninggalkan mayatnya di
situ dan kembali lagi. Tak ada seorang pun
tahu."
Sir Charles menggelengkan kepala dengan
ragu-ragu, tapi ia tidak membantah teori
Egg.
Mr. Satterthwaite yakin kecurigaan
seperti itu telah dirasakannya ketika ia
masuk ke kamar Ellis untuk kedua kalinya.
Ia teringat Sir Charles yang bergidik.
Kemungkinan bahwa Ellis sudah meninggal
pasti muncul dalam pikiran Sir Charles
saat itu.
Mr. Satterthwaite berpikir, "Kalau Ellis
benar telah meninggal, berarti kami
berhadapan dengan pembunuh yang amat
berbahaya. Ya, orang yang amat
berbahaya." Tiba-tiba bulu kuduknya
meremang. Orang yang pernah membunuh
tiga kali takkan ragu-ragu membunuh lagi.
Mereka dalam bahaya-ketiganya-Sir
Charles, Egg, dan ia sendiri. Kalau mereka
tahu terlalu banyak... Lamunannya
terputus ketika mendengar suara Sir
Charles.
"Ada satu hal yang tidak kumengerti
dalam suratmu, Egg. Kau mengatakan ada
seseorang yang dalam bahaya- polisi
mencurigainya. Aku tak mengerti kenapa
polisi bisa mencurigai seseorang."
Mr. Satterthwaite melihat Egg agak
bingung. Ia bahkan melihat wajah gadis itu
memerah. "Aha," kata Mr. Satterthwaite
pada dirinya sendiri. "Coba lihat apa
jawabmu, nona muda."
"Saya memang tolol," kata Egg. "Bingung.
Saya pikir Oliver, dengan alasan
kedatangannya yang seperti itu, akan
menimbulkan kecurigaan polisi."
Sir Charles menerima penjelasan itu.
"Hm, begitu," katanya.
Mr. Satterthwaite berbicara.
"Apakah alasan itu masuk akal?" katanya.
Egg berpaling padanya.
"Apa maksud Anda?"
"Kecelakaan itu aneh," kata Mr.
Satterthwaite. "Saya merasa alasan itu
tak masuk akal. Barangkali kau bisa
menjelaskan."
Egg menggelengkan kepala.
"Saya tidak tahu. Saya tak pernah
berpikir tentang hal itu. Tapi kenapa
Oliver harus berpura-pura mendapat
kecelakaan?"
"Barangkali dia punya alasan," kata Sir
Charles. "Alasan yang wajar." Ia
tersenyum pada Egg. Gadis itu menjadi
merah mukanya. "Oh, tidak," katanya.
"Tidak."
Sir Charles menarik napas panjang. Mr.
Satterthwaite merasa kawannya salah
menginterpretasikan rasa malu gadis itu.
Sir Charles kelihatan lebih tua dan lebih
sedih ketika bicara lagi.
"Hm, kalau kawan kita Manders tidak
dalam bahaya, apa hubungannya dengan
saya?" Egg maju ke depan dengan cepat
dan memegang lengan mantel Sir Charles.
"Jangan pergi lagi. Jangan menyerah.
Carilah kebenaran itu-kebenaran itu. Saya
kira hanya Andalah yang bisa
menemukannya. Anda bisa, dan akan
menemukannya."
Gadis itu kelihatan sangat serius.
Gelombang vitalitas yang ditimbulkannya
seolah-olah masuk dan berputar di dalam
ruangan itu.
"Kau percaya padaku?" kata Sir Charles.
Ia terharu.
"Ya, ya, ya. Kita akan menemukan
kebenaran itu. Anda dan saya bersama-
sama." "Dan Satterthwaite."
"Tentu saja. Dan Mr. Satterthwaite," kata
Egg tanpa antusias.
Mr. Satterthwaite tersenyum diam-diam.
Ia akan tetap melanjutkan penyelidikan,
walaupun Egg tidak mengikutsertakan
dirinya. Ia suka misteri, ia suka
memperhatikan tingkah laku manusia, dan
ia bisa memahami orang-orang yang
sedang jatuh cinta. Ketiga hal itu
kelihatannya ada dalam kasus yang sedang
mereka hadapi.
Sir Charles duduk. Suaranya berubah. Ia
yang memegang pimpinan dan mengatur
sebuah produksi.
"Pertama-tama kita harus menjernihkan
situasi. Kita yakin atau tidak bahwa
pembunuh Babbington sama dengan
pembunuh Bartholomew Strange?"
"Ya," kata Egg.
"Ya," kata Mr. Satterthwaite.
"Apa kita yakin pembunuhan kedua
merupakan akibat langsung dari
pembunuhan pertama? Maksud saya, apa
kita percaya Bartholomew Strange
dibunuh dengan tujuan mencegah dia
membukakan fakta tentang pembunuhan
pertama atau kecurigaannya tentang hal
itu?"
"Ya," kata Egg dan Mr. Satterthwaite
bersama-sama.
"Kalau begitu, yang kita selidiki adalah
pembunuhan pertama, bukan kedua." Egg
mengangguk.
"Menurut saya, kita hanya bisa
menemukan si pembunuh apabila kita tahu
motif pembunuhan pertama. Motif itu
sulit diketahui, karena Babbington orang
tua yang lembut, menyenangkan, dan bisa
dikatakan tak punya musuh di dunia. Tapi
dia terbunuh, dan pasti ada penjelasan
untuk itu. Kita harus menemukan
penjelasan itu."
Ia diam, lalu berkata dengan suaranya
yang biasa,
"Kita perinci saja kalau begitu. Sebab-
sebab apa saja yang bisa dijadikan alasan
untuk membunuh orang? Pertama, untuk
mendapatkan sesuatu." "Balas dendam,"
kata Egg.
"Homicidal mania-pembunuh gila," kata
Mr. Satterthwaite. "Crime passionnel-
suka tindak kejahatan-tak akan cocok
untuk kasus ini. Tapi ada rasa takut."
Charles Cartwright mengangguk. Ia
mencoret-coret selembar kertas.
"Kira-kira itu sudah cukup," katanya.
"Pertama, ingin mendapatkan sesuatu. Apa
ada yang beruntung dengan kematian
Babbington? Apa dia punya uang atau dia
calon ahli waris?" "Saya rasa tidak," kata
Egg.
"Aku sependapat. Tapi sebaiknya kita
dekati Mrs. Babbington untuk mengetahui
hal ini."
"Lalu balas dendam. Apa Babbington
menyakiti seseorang-barangkali pada
waktu muda? Apa dia menikahi gadis yang
diinginkan laki-laki lain? Kita harus
mencari tahu hal itu juga."
"Lalu homicidal mania. Baik Babbington
maupun Tollie dibunuh orang gila. Kurasa
teori itu tak bisa diterapkan. Orang gila
pun masih mempunyai hal yang masuk akal
dalam kriminalitasnya. Maksudku, seorang
gila bisa saja berpikir dia merupakan
pilihan Tuhan untuk membunuh dokter
atau pendeta, tapi tidak untuk membunuh
keduanya. Kurasa kita bisa menghilangkan
teori homicidal mania. Yang tinggal adalah
ketakutan.
"Terus terang saja, kelihatannya ini yang
paling cocok. Babbington tahu sesuatu
tentang seseorang, atau dia mengenali
seseorang. Dia dibunuh untuk
mencegahnya mengatakan sesuatu itu."
"Sulit bagiku membayangkan hal apa yang
diketahui Mr. Babbington yang
membahayakan seseorang yang hadir
dalam pesta malam itu."
"Barangkali," kata Sir Charles, "dia tahu
sesuatu, tapi tak sadar akan hal itu."
Ia melanjutkan penjelasannya,
"Sulit mengatakan apa yang kumaksud.
Seandainya, misalnya-ini hanya contoh-
Babbington melihat seseorang pada suatu
tempat tertentu. Sepanjang dia tahu, tak
ada salahnya orang itu berada di situ. Tapi
seandainya orang itu sedang membuat alibi
untuk maksud tertentu, yang menyatakan
dia berada di suatu tempat lain yang amat
jauh... nah, Babbington bisa saja
menggagalkan rencana itu tanpa maksud
apa-apa, hanya karena dia tidak tahu."
"Hm, begitu," kata Egg. "Jadi, misalnya
ada pembunuhan di London, lalu
Babbington melihat si pembunuh itu di
Stasiun Paddington, tapi orang itu punya
alibi yang menunjukkan dia ada di Leeds
waktu pembunuhan itu terjadi. Maka
Babbington mungkin saja akan
menggagalkan rencana itu."
"Itulah yang kumaksud. Tentu saja itu
hanya contoh. Bisa saja hal lain yang
terjadi. Seseorang yang dijumpainya
malam itu yang dikenalnya dengan nama
lain."
"Mungkin ada hubungannya dengan
perkawinan," kata Egg. "Pendeta kan
mengawinkan banyak orang. Mungkin ada
seseorang yang melakukan bigami."
"Atau ada hubungannya dengan kelahiran
dan kematian," kata Mr. Satterthwaite.
"Sangat luas kemungkinannya," kata Egg
sambil mengerutkan dahi. "Kita harus
melihatnya dengan cara lain. Kita mulai
dari orang-orang yang datang ke pesta.
Kita buat daftar dulu. Siapa-siapa yang
datang di rumah Anda, dan siapa-siapa
yang datang di rumah Sir Bartholomew."
Ia mengambil kertas dan pensil dari Sir
Charles.
"Suami-istri Dacres. Mereka hadir di
kedua pesta itu. Wanita yang seperti kol
layu itu-siapa namanya?-Wills. Miss
Sutcliffe."
"Tak perlu memasukkan Angela dalam
daftar itu. Aku sudah lama mengenalnya,"
kata Sir Charles. Egg mengerutkan kening
tak setuju.
"Kita tak bisa melakukan hal seperti itu,"
katanya. "Menyisihkan seseorang karena
kita mengenalnya. Kita harus adil. Kecuali
itu, saya tak tahu siapa Angela Sutcliffe.
Dia bisa saja melakukan hal yang dilakukan
orang lain- kemungkinannya bahkan lebih
banyak. Semua aktris punya masa lalu.
Secara keseluruhan, saya merasa dialah
yang paling punya kemungkinan untuk itu."
Ia memandang Sir Charles dengan gagah.
Ada jawaban dalam kilatan matanya.
"Kalau begitu, kita juga tak bisa
menyisihkan Oliver Manders."
"Bagaimana mungkin dia melakukannya?
Dia begitu sering bertemu dengan Mr.
Babbington sebelumnya." "Dia ada di
kedua pesta itu, dan alasan kedatangannya
agak mencurigakan."
"Baik," kata Egg. Ia diam, lalu berkata,
"Kalau begitu, saya akan menulis nama Ibu
dan nama saya juga. Semuanya ada tujuh
orang." "Kurasa..."
"Kita melakukannya dengan benar atau
tidak sama sekali," kata Egg dengan sorot
mata marah. Mr. Satterthwaite
memerankan juru damai dengan
menawarkan makanan kecil. Ia
membunyikan bel untuk minta minum.
Sir Charles berjalan ke sebuah sudut dan
mengagumi sebuah patung kepala Negro.
Egg mendekati Mr. Satterthwaite dan
menyelipkan lengannya, menggandeng pria
itu.
"Bodoh saya, kenapa jadi panas begini?"
gumamnya. "Saya tolol. Tapi kenapa wanita
itu diperlakukan lain? Kenapa dia begitu
ngotot? Ya ampun. Kenapa saya jadi
cemburu begini?" Mr. Satterthwaite
tersenyum dan menepuk-nepuk tangannya.
"Kecemburuan tak ada gunanya, Nak,"
katanya. "Kalau kau cemburu, jangan
diperlihatkan. O ya, apa kau benar-benar
berpikir si Manders itu mungkin
dicurigai?" Egg menyeringai, ramah dan
kekanak-kanakan.
"Tentu saja tidak. Saya sengaja menulis
hal itu supaya tidak terlalu mengejutkan
dia." Ia menolehkan kepalanya. Sir Charles
masih mengamati kepala Negro itu dengan
pandangan sedih. "Saya tak ingin dia
merasa dikejar. Tapi saya tak ingin dia
berpikir saya mencintai Oliver, karena
memang tidak. Kenapa sulit begini, ya?
Sekarang dia kembali bersikap 'Kurestui
kau, Nak.' Saya tak mau itu."
"Sabar," kata Mr. Satterthwaite.
"Semuanya akan beres nanti."
"Saya tidak sabaran," kata Egg. "Saya
ingin semuanya cepat atau cepat sekali."
Mr. Satterthwaite tertawa. Sir Charles
berbalik dan mendekati mereka.
Sambil meneguk minuman, mereka
membuat rencana untuk bertindak. Sir
Charles akan kembali ke Crow's Nest yang
belum laku dijual. Egg dan ibunya akan
kembali ke Rose Cottage, lebih cepat dari
yang mereka rencanakan. Mrs. Babbington
masih tinggal di Loomouth. Mereka akan
mencari informasi sebanyak mungkin dari
wanita itu, kemudian baru bertindak.
"Kita akan berhasil," kata Egg. "Saya tahu.
Kita akan berhasil."
Ia membungkuk ke arah Sir Charles
dengan mata bersinar. Ia mengulurkan
gelasnya dan menyentuh gelas Sir Charles.
"Kita minum untuk keberhasilan," kata
Egg.
Pelan-pelan mata Sir Charles menatap
mata Egg, dan ia mengangkat gelasnya ke
bibir. "Demi sukses," katanya, "dan masa
depan."

BABAK KETIGA
PENEMUAN

BAB XIII
MRS. BABBINGTON telah pindah ke
pondok nelayan kecil yang tak jauh dari
pelabuhan. Ia sedang menunggu adik
perempuannya datang dari Jepang dalam
enam bulan ini. Ia baru akan membuat
rencana masa depan kalau adiknya sudah
datang. Pondok itu kebetulan kosong dan
ia menyewanya untuk enam bulan. Ia masih
takut pergi jauh dari Loomouth karena
kehilangan yang begitu mendadak.
Stephen Babbington telah melayani gereja
St. Petroch, Loomouth, selama tujuh belas
tahun. Mereka menikmati tujuh belas
tahun yang bahagia dan penuh damai,
walaupun putra mereka, Robin, meninggal.
Anak-anak yang masih hidup adalah
Edward, yang ada di Sri Lanka; Lloyd di
Afrika Selatan; dan Stephen, perwira
militer di Angola. Mereka sering menulis
surat yang hangat dan penuh sayang, tapi
tak seorang pun bisa menawarkan rumah
atau menemani ibunya.
Margaret Babbington sangat kesepian.
Bukan karena ia membuang-buang waktu
dengan melamun. Ia masih tetap aktif di
gereja (pendeta yang baru belum
menikah), dan Margaret menghabiskan
banyak waktunya dengan merawat halaman
sempit di depan pondoknya. Ia tipe wanita
yang menganggap bunga adalah bagian dari
hidupnya.
Ia sedang merawat tanamannya di halaman
sore itu, ketika mendengar derit pintu
pagar dan melihat Sir Charles Cartwright
masuk bersama Egg Lytton Gore.
Margaret tidak heran melihat Egg. Ia
tahu gadis itu dan ibunya akan segera
kembali. Tapi ia heran melihat Sir Charles.
Ia mendengar laki-laki itu telah pergi dan
takkan kembali lagi. Koran-koran juga
memberitakan apa yang ia lakukan di
Prancis Selatan. Di halaman Crow's Nest
ada sebuah papan yang bertuliskan
DIJUAL. Tak seorang pun membayangkan
ia akan kembali lagi. Tapi nyatanya ia
datang kembali.
Mrs. Babbington menepis rambut dari
dahinya yang kepanasan dan memandang
sedih pada tangannya yang kotor penuh
tanah.
"Saya tak bisa bersalaman," katanya.
"Seharusnya saya memakai sarung tangan.
Kadang-kadang saya memang memakainya,
tapi sarung tangan itu selalu robek.
Dengan tangan saja rasanya lebih enak."
Ia mengajak mereka masuk rumah. Ruang
duduk mungil itu kelihatan nyaman dengan
sejumlah hiasan dari kain. Di situ ada
foto-foto dan sejumlah jambangan berisi
bunga seruni.
"Kedatangan Anda sangat mengejutkan,
Sir Charles. Saya kira Anda telah
meninggalkan Crow's Nest untuk
selamanya."
"Saya pikir juga begitu," kata aktor itu
terus terang. "Tapi kadang-kadang, Mrs.
Babbington, nasib menentukan lain."
Mrs. Babbington tidak menanggapi. Ia
memandang Egg, tapi gadis itu menahan
kata-katanya di bibir.
"Begini, Mrs. Babbington. Ini bukan
sekadar kunjungan. Sir Charles dan saya
ingin membicarakan sesuatu yang serius.
Tapi saya... saya tak ingin membuat Anda
sedih."
Mrs. Babbington memandang gadis itu, lalu
ganti memandang Sir Charles. Wajahnya
berubah agak keabu-abuan dan sedikit
berkerut.
"Pertama-tama," kata Sir Charles, "saya
ingin bertanya apakah Anda telah
menerima informasi itu." Mrs. Babbington
menganggukkan kepalanya.
"Hm. Mungkin itu akan membuat
percakapan kita nanti jadi lebih mudah."
"Itukah maksud kedatangan Anda?
Perintah penggalian kembali?" "Ya.
Tentunya... sangat menyedihkan bagi
Anda." Hatinya melembut mendengar
suara Sir Charles yang penuh simpati.
"Barangkali tidak apa-apa. Bagi beberapa
orang tertentu, penggalian kembali pasti
mengerikan, tapi tidak buat saya. Bukan
tanah liat mati yang penting bagi saya.
Suami saya ada di suatu tempat, penuh
damai, tempat tak seorang pun bisa
mengganggunya. Bukan, bukan itu. Yang
mengejutkan saya adalah ide itu. Ide
kematian Stephen bukan kematian yang
wajar. Rasanya begitu tak masuk akal-
sangat tak masuk akal."
"Saya mengerti. Anda pasti merasa
demikian. Kami sendiri juga merasakan hal
yang demikian-pertama-tama."
"Apa maksud Anda dengan 'pertama-
tama', Sir Charles?"
"Karena suatu kecurigaan menyelinap di
hati saya pada malam kematian suami
Anda, Mrs. Babbington. Seperti Anda,
saya pun merasa itu tak mungkin, sehingga
saya mengesampingkannya." "Saya juga
berpikir begitu," kata Egg.
"Anda juga?" tanya Mrs. Babbington. Ia
memandang gadis itu dengan heran. "Anda
pikir ada orang yang tega membunuh
Stephen?"
Keraguan dalam suaranya begitu besar,
sehingga kedua tamunya tak tahu
bagaimana harus melanjutkan. Akhirnya
Sir Charles melanjutkan,
"Seperti Anda ketahui, Mrs. Babbington,
saya pergi ke luar negeri. Ketika masih di
Prancis Selatan, saya membaca dari koran
tentang kematian teman saya, Sir
Bartholomew Strange, dalam situasi yang
hampir sama. Saya juga menerima surat
dari Miss Lytton Gore."
Egg mengangguk.
"Saya datang di pesta itu. Menginap di
rumahnya. Mrs. Babbington, kejadiannya
sama-persis sama. Dia minum anggur, lalu
wajahnya berubah, dan... dan... ya, sama.
Dia meninggal dua atau tiga menit
kemudian." Mrs. Babbington
menggelengkan kepalanya pelan.
"Saya tidak mengerti. Stephen! Sir
Bartholomew-dokter yang cerdas dan
baik! Siapa yang tega menyakiti mereka?
Itu pasti kekeliruan."
"Sir Bartholomew terbukti keracunan,
ingat," kata Sir Charles. "Kalau begitu, ini
pasti pekerjaan orang gila." Sir Charles
melanjutkan,
"Mrs. Babbington, saya ingin benar-benar
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
di balik peristiwa ini. Dan saya merasa kita
tak boleh membuang-buang waktu. Sekali
berita tentang penggalian itu tersebar, si
penjahat akan menjadi waspada. Untuk
menghemat waktu, saya ingin membuat
asumsi bahwa kematian Mr. Babbington
juga diakibatkan keracunan nikotin.
Pertama-tama, apakah Anda atau Mr.
Babbington tahu tentang penggunaan
nikotin murni?"
"Saya selalu menggunakan larutan nikotin
untuk menyemprot mawar. Saya tak tahu
larutan itu beracun."
"Saya pikir-tadi malam saya membaca hal
itu-dalam kedua kasus ini, dipergunakan
alkaloid murni. Kasus peracunan dengan
nikotin memang tidak biasa."
Mrs. Babbington menggelengkan kepala.
"Saya benar-benar tidak tahu apa-apa
tentang peracunan nikotin. Saya kira
hanya pecandu rokok yang mungkin
menderita karenanya."
"Apa suami Anda merokok?" "Ya."
"Coba sekarang Anda jelaskan. Anda tadi
menunjukkan rasa heran karena ada orang
yang tega membunuh suami Anda. Apakah
itu berarti-setahu Anda-dia tak punya
musuh?"
"Saya yakin Stephen tak punya musuh.
Setiap orang menyukainya. Kadang-kadang
orang-orang bahkan memburunya." Ia
tersenyum sedih. "Dia memang sudah tua
dan kadang-kadang takut pada penemuan-
penemuan baru, tapi setiap orang
menyukainya. Orang tak bisa tidak
menyukai dia."
"Apakah Mr. Babbington meninggalkan
banyak uang?"
"Tidak. Hampir tak ada. Dia tak bisa
menabung. Dia memberi terlalu banyak.
Saya biasanya marah karenanya." "Dia
juga tidak mengharap mendapat sesuatu
dari orang lain? Dia bukan ahli waris?"
"Oh, tidak. Stephen tak punya banyak
kerabat. Dia punya seorang saudara
perempuan yang menikah dengan pendeta
di Northumberland, tapi mereka miskin.
Semua paman dan bibinya sudah
meninggal." "Kalau begitu, tak ada orang
yang akan mendapatkan sesuatu karena
kematian Mr. Babbington?" "Sama sekali
tidak."
"Saya ingin kembali pada soal musuh,
sebentar saja. Kata Anda Mr. Babbington
tak punya musuh. Bagaimana dengan ketika
dia masih muda?" Mrs. Babbington tampak
skeptis.
"Rasanya tidak mungkin. Dia bukan tipe
orang yang suka bermusuhan. Dia selalu
baik pada orang lain." "Saya tak ingin
memberi kesan melodramatis," Sir Charles
berkata sambil berdeham-deham karena
agak gugup, "tapi... eh... ketika dia
bertunangan dengan Anda, misalnya, apa
tak ada pihak lain yang kecewa?" Mata
Mrs. Babbington bersinar sekejap.
"Stephen adalah kurator ayah saya. Dia
pemuda pertama yang saya lihat ketika
saya pulang setelah menamatkan sekolah.
Kami saling jatuh cinta. Kami bertunangan
selama empat tahun, lalu dia punya
pekerjaan dan tempat tinggal di Kent, dan
kami bisa menikah. Kisah cinta kami
sangat sederhana, Sir Charles, dan sangat
bahagia."
Sir Charles menganggukkan kepala.
Kewibawaan Mrs. Babbington yang
sederhana itu sangat menarik.
Egg menggantikan peran penanya,
"Mrs. Babbington, apakah Mr. Babbington
pernah bertemu dengan salah seorang
tamu di pesta itu sebelumnya?"
Mrs. Babbington kelihatan agak heran.
"Ibu Anda dan Anda sendiri, lalu Oliver
Manders."
"Tamu-tamu lainnya?"
"Kami pernah melihat Angela Sutcliffe
dalam suatu pertunjukan di London lima
tahun yang lalu. Stephen dan saya senang
karena akan bertemu langsung
dengannya." "Anda sebelumnya tak pernah
bertemu dengannya?"
"Tidak. Kami tak pernah bertemu aktris
atau aktor, sampai Sir Charles datang
kemari. Dan itu," kata Mrs. Babbington,
"membuat kami merasa menggebu-gebu.
Saya kira Sir Charles tidak tahu hal itu
merupakan sesuatu yang luar biasa bagi
kami. Seperti embusan roman dalam hidup
kami."
"Anda belum pernah bertemu Kapten dan
Mrs. Dacres?"
"Apa dia laki-laki kecil dengan wanita
berbaju bagus itu?"
"Ya."
"Tidak. Juga wanita yang satunya-yang
menulis drama. Kasihan. Kelihatannya dia
tak bisa masuk lingkungan itu."
"Anda yakin belum pernah bertemu
dengan mereka sebelumnya?"
"Saya yakin belum pernah. Dan saya juga
yakin Stephen juga belum pernah. Kami
selalu melakukan segalanya bersama-
sama."
"Dan Mr. Babbington tidak berkata apa-
apa pada Anda? Tidak sama sekali,
tentang orang-orang yang akan Anda
temui atau yang Anda temui ketika dia
telah melihat mereka?" tanya Egg ngotot.
"Tidak, tak ada. Kami hanya
membayangkan akan menikmati malam
yang menarik. Dan ketika kami sampai di
sana... hm, tak banyak waktu..." Tiba-tiba
wajahnya gemetar.
Sir Charles menyela dengan cepat,
"Maaf, kami telah mengganggu Anda
seperti ini. Tapi kami merasa pasti ada
sesuatu. Pasti ada alasan untuk
pembunuhan yang begitu brutal dan
kejam."
"Ya," kata Mrs. Babbington. "Seandainya
ini memang suatu pembunuhan, harus ada
alasannya. Tapi saya tahu- saya tak bisa
membayangkan-alasan apa yang menjadi
sebab."
Mereka diam sejenak. Lalu Sir Charles
berkata,
"Bisakah Anda memberikan gambaran
sekilas tentang karier suami Anda?"
Mrs. Babbington mempunyai ingatan kuat
atas tanggal-tanggal. Demikianlah yang
dicatat Sir Charles:
Stephen Babbington, lahir di Islington,
Devon, 1868.
Bersekolah di St. Paul's School dan
Oxford. Ditahbiskan di Hoxton, 1891.
Dikukuhkan tahun 1892. Jadi kurator di
Elsington, Surrey, pada Pendeta Vernon
Lorrimer 1894 - 1899. Menikah dengan
Margaret Lorrimer, 1899, menjadi
pendeta di St. Mary's, Gilling. Pindah ke
St. Petroch, Loomouth, 1916.

"Ini bisa menjadi petunjuk penyelidikan,"


kata Sir Charles. "Yang ada hubungannya
mungkin ketika Mr. Babbington masih
menjadi pendeta di St. Mary's, Gilling.
Sejarahnya yang lebih awal mungkin tidak
terlalu berhubungan dengan teman-teman
yang datang ke tempat saya."
Mrs. Babbington gemetar.
"Apa benar salah seorang dari mereka..."
"Saya tak tahu harus berpikir apa," kata
Sir Charles. "Bartholomew Strange
kelihatannya melihat sesuatu atau
menebak sesuatu. Dan dia meninggal
dengan cara yang sama, dan lima..."
"Tujuh," kata Egg.
"...dari orang-orang itu juga datang ke
pestanya. Salah seorang dari mereka pasti
bersalah."
"Tapi kenapa?" seru Mrs. Babbington.
"Kenapa? Motif apa yang membuat
seseorang ingin membunuh Stephen?"
"Itu," kata Sir Charles, "yang ingin kami
ketahui."

BAB XIV
MR. SATTERTHWAITE datang ke Crow's
Nest dengan Sir Charles. Ketika tuan
rumah pergi dengan Egg Lytton Gore
mengunjungi Mrs. Babbington, Mr.
Satterthwaite minum teh dengan Lady
Mary.
Lady Mary menyukai Mr. Satterthwaite.
Walaupun sikapnya lembut, ia mempunyai
pandangan tegas tentang siapa yang
disukainya dan yang tidak.
Mr. Satterthwaite menghirup teh Cina
dari sebuah cangkir Dresden dan makan
sepotong sandwich mungil sambil
mengobrol. Dalam kunjungannya yang
terakhir, mereka ternyata mempunyai
kenalan dan teman-teman yang sama.
Sekarang keduanya bicara tentang
mereka, tapi pelan-pelan pembicaraan itu
beralih pada hal-hal yang lebih akrab. Mr.
Satterthwaite adalah pribadi yang
simpatik; ia mendengarkan keluhan orang
lain dan tidak mengganggu mereka dengan
persoalannya sendiri. Dalam kunjungannya
yang terakhir pun Lady Mary bisa bicara
bebas tentang kekhawatirannya akan masa
depan anaknya. Dan ia sekarang bicara
padanya, seolah-olah pada orang yang
sudah bertahun-tahun ia kenal.
"Egg itu keras kepala," katanya. "Dia biasa
melakukan apa yang disukainya.
Sebenarnya saya tak suka melihat dia
terlibat dalam urusan yang... menyedihkan
ini. Egg pasti akan menertawakan saya.
Tapi rasanya itu bukan hal yang pantas
dilakukan wanita."
Mukanya berubah merah ketika ia bicara.
Matanya yang cokelat, lembut, dan jujur
memandang Mr. Satterthwaite seperti
anak yang minta tolong.
"Saya tahu apa yang Anda maksud,"
katanya. "Terus terang, saya sendiri juga
tidak suka. Saya tahu hal itu merupakan
prasangka kuno. Tapi ya... apa boleh buat,"
ia mengedipkan matanya, "kita tak bisa
mengharap gadis-gadis muda itu bisa
duduk diam, menjahit, dan menjadi
ketakutan mendengar berita pembunuhan
seperti itu."
"Saya tidak suka berpikir tentang
pembunuhan," kata Lady Mary. "Saya tak
pernah... tak pernah sekali pun bermimpi
akan terlibat dalam urusan ini. Sangat
mengerikan." Ia gemetar. "Kasihan Sir
Bartholomew."
"Anda tidak terlalu mengenal dia?" tanya
Mr. Satterthwaite.
"Saya cuma bertemu dia dua kali. Yang
pertama kira-kira satu tahun yang lalu,
ketika dia datang menginap di rumah Sir
Charles pada suatu akhir pekan. Dan yang
kedua adalah pada malam mengerikan
ketika Mr. Babbington meninggal. Saya
heran ketika mendapat undangan darinya.
Saya menerimanya karena saya berpikir
Egg akan menyukainya. Tak banyak yang
bisa saya berikan. Kasihan Egg-apalagi dia
agak murung waktu itu, seolah-olah dia
tidak tertarik pada apa-apa. Saya pikir
pesta di rumah besar begitu akan
membuatnya gembira."
Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Coba Anda ceritakan tentang Oliver
Manders," katanya. "Saya tertarik pada
anak itu." "Saya kira dia cerdas," kata
Lady Mary. "Memang semuanya sulit buat
dia." Wajahnya merah. Lalu ia menjawab
pandangan bertanya Mr. Satterthwaite.
Lanjutnya, "Ayahnya tidak menikah
dengan ibunya." "Benarkah? Saya tak tahu
itu."
"Setiap orang di sini tahu. Kalau tidak,
saya tak akan bicara tentang hal itu. Mrs.
Manders tua, nenek Oliver, tinggal di
Dunboyne, rumah besar di jalan ke
Plymouth itu. Suaminya pengacara. Anak
laki-lakinya bekerja di sebuah perusahaan
di kota. Dia orang kaya. Anak
perempuannya cantik, dan terpikat pada
laki-laki yang sudah beristri. Pada
akhirnya, setelah terjadi banyak
keributan, mereka pergi bersama. Tapi
istri laki-laki itu tak mau menceraikan
suaminya. Gadis itu meninggal tak lama
setelah Oliver lahir. Pamannya yang ada di
London itu memeliharanya, karena dia tak
punya anak. Oliver membagi waktunya
untuk paman dan neneknya. Dia selalu ke
sini pada liburan musim panas."
Ia diam, lalu melanjutkan,
"Saya selalu kasihan padanya. Saya pikir
sikapnya yang sombong itu hanya dibuat-
buat."
"Saya tak heran," kata Mr. Satterthwaite.
"Hal begitu sangat biasa. Apabila ada
orang yang kelihatan memikirkan dirinya
sendiri dan selalu menyombong, saya tahu
di baliknya ada rasa rendah diri yang
tersembunyi." "Rasanya aneh."
"Kompleks rendah diri memang aneh.
Crippen, misalnya, dia menderita perasaan
itu. Dan bisa menjadi latar belakang
terjadinya kriminalitas. Keinginan untuk
memaksakan kepribadian seseorang."
"Rasanya aneh bagi saya," gumam Lady
Mary.
Ia kelihatan agak berkerut. Mr.
Satterthwaite melihatnya dengan mata
sentimentil. Pria itu menyukai tubuhnya
yang luwes dengan bahu melekuk halus,
mata cokelat yang lembut, dan wajahnya
yang tanpa makeup. Ia berpikir, "Dia pasti
cantik ketika muda."
Bukan kecantikan yang menonjol dan
segera menarik perhatian. Bukan
kecantikan bunga mawar, tapi kecantikan
sekuntum bunga violet yang sederhana
namun menawan, yang menyembunyikan
kemanisannya. Pikirannya diam-diam
kembali ke masa mudanya.
Tanpa sadar ia menceritakan kisah
cintanya di waktu muda kepada Lady
Mary-satu-satunya kisah cinta yang
dialaminya. Kisah cinta yang biasa-biasa
saja untuk ukuran sekarang, tapi amat
khusus bagi Mr. Satterthwaite.
Ia bercerita tentang gadis yang
dicintainya, kecantikannya, dan kepergian
mereka bersama melihat bunga-bunga
bluebell di Kew. Ia bermaksud melamarnya
hari itu. Ia sudah membayangkan gadis itu
akan membalas perasaannya. Dan
kemudian, ketika mereka berdiri
berdekatan sambil memandangi bunga-
bunga itu, si gadis bercerita kepadanya.
Akhirnya ia tahu bahwa gadis itu
mencintai orang lain. Ia menyembunyikan
pikiran dan perasaannya serta berganti
peran menjadi sahabat setia.
Mungkin itu bukan kisah cinta yang hebat,
tapi cerita itu terdengar menarik di ruang
Lady Mary yang dilengkapi perabot
berlapis kain katun yang sudah pudar
warnanya dan hiasan keramik tua.
Setelah itu, Lady Mary bercerita tentang
kehidupannya sendiri-kehidupan
perkawinannya yang tidak begitu bahagia.
"Saya dulu gadis tolol-gadis-gadis memang
tolol, Mr. Satterthwaite. Mereka begitu
percaya pada diri sendiri, yakin mereka
tahu yang paling baik. Orang menulis dan
bicara banyak tentang insting wanita, tapi
saya tak percaya hal itu. Rasanya tak ada
sesuatu yang mengingatkan gadis-gadis
tentang tipe laki-laki tertentu. Maksud
saya dari dalam diri mereka sendiri.
Orangtua mereka mengingatkan mereka,
tapi tidak mereka hiraukan, mereka tak
percaya. Rasanya menyedihkan, tapi
seorang gadis justru semakin tertarik
kalau ada yang memberitahu bahwa
pacarnya bukan pria baik-baik. Dia merasa
cintanya akan bisa mengubah laki-laki itu."
Mr. Satterthwaite mengangguk pelan.
"Orang biasanya tahu begitu sedikit. Saat
dia tahu lebih banyak, sudah terlambat."
Lady Mary menarik napas.
"Sebenarnya semua salah saya. Keluarga
saya tak setuju saya menikah dengan
Ronald. Dia dari keluarga baik-baik, tapi
reputasinya buruk. Ayah saya dengan
terus terang menasihati saya, dan
mengatakan dia bukan pemuda baik-baik.
Tapi saya tak percaya. Saya pikir dia akan
berubah karena dia mencintai saya."
Ia diam sesaat, mengenang hal-hal yang
telah lewat.
"Ronald laki-laki yang menarik. Apa yang
dikatakan Ayah tentang dia memang
benar. Saya segera melihatnya.
Sebetulnya hal itu kuno-tapi dia membuat
saya sedih. Ya, dia membuat saya sedih.
Saya selalu takut dengan apa yang terjadi
kemudian."
Mr. Satterthwaite, yang selalu tertarik
pada kehidupan orang lain, menggumamkan
tanggapan simpatik yang hati-hati.
"Mungkin ini hal yang kejam, Mr.
Satterthwaite, tapi saya lega ketika dia
menderita pneumonia dan akhirnya
meninggal. Bukan karena saya tidak lagi
mencintainya-saya tetap mencintai dia
sampai meninggal-tapi saya sudah sadar
dan tak punya ilusi lagi tentang dirinya.
Lalu ada Egg."
Suaranya melembut.
"Dia sangat lucu. Berguling-guling waktu
belajar berdiri. Seperti telur-karena itu
dijuluki Egg." Ia diam lagi.
"Beberapa buku yang saya baca beberapa
tahun terakhir ini membuat saya tenang.
Buku-buku tentang psikologi. Buku-buku
itu menunjukkan bahwa dalam banyak hal,
orang memang sering tak bisa berbuat
apa-apa. Seperti suatu kekusutan. Kadang-
kadang dalam keluarga yang berpendidikan
baik, hal itu terjadi. Waktu masih muda,
Ronald mencari uang di sekolah-uang yang
sebenarnya tidak dia perlukan. Saya bisa
merasakan dia memang tak bisa melawan
kebiasaan itu. Dia lahir dengan kekusutan
itu."
Dengan lembut Lady Mary mengusap
matanya dengan saputangan kecil.
"Hal itu tak bisa diterima dalam prinsip
pendidikan saya," katanya. "Saya diajar
bahwa setiap orang tahu membedakan
antara salah dan benar. Tapi rupanya
tidak selalu begitu."
"Pikiran manusia memang suatu misteri,"
kata Mr. Satterthwaite lembut. "Kita
hanya bisa berusaha mengerti. Memang
ada pribadi-pribadi yang kurang atau tidak
mempunyai kekuatan untuk mengerem.
Seandainya saya atau Anda berkata, 'Saya
benci seseorang. Mudah-mudahan dia
mati.' Hal itu akan lepas dari pikiran kita
begitu kata-kata itu kita ucapkan. Rem itu
akan bekerja secara otomatis. Tapi untuk
orang-orang tertentu, ide atau obsesi itu
jalan terus. Mereka tak melihat apa-apa
kecuali realisasi ide itu."
"Rasanya," kata Lady Mary, "itu terlalu
tinggi untuk saya pahami."
"Maaf. Saya memang bicara berdasarkan
buku saja."
"Maksud Anda, apakah anak-anak muda itu
terlalu kurang kontrol sekarang ini?"
"Bukan, sama sekali bukan itu maksud
saya. Kurang kontrol-saya kira itu bagus-
bebas mengekspresikan diri. Anda
berpikir tentang Miss... Egg."
"Saya kira sebaiknya Anda panggil dia Egg
saja," kata Lady Mary tersenyum. "Terima
kasih. Miss Egg memang kedengarannya
agak aneh."
"Egg sangat impulsif. Sekali dia
memutuskan sesuatu, tak ada yang bisa
menghalanginya. Seperti yang saya
katakan tadi, saya tak suka dia terlibat
dengan urusan itu. Tapi dia tak mau
mendengarkan saya." Mr. Satterthwaite
tersenyum mendengar kesedihan pada
nada suara Lady Mary. Ia berpikir,
"Bagaimana kalau dia tahu minat Egg
dalam kriminalitas itu hanya alasan untuk
melakukan taktik kuno itu- permainan si
wanita mengejar si laki-laki? Ah, Lady
Mary pasti cemas kalau tahu yang
sebenarnya."
"Egg bilang, Mr. Babbington juga diracun.
Anda pikir itu benar, Mr. Satterthwaite?
Apa itu hanya salah satu kata-kata Egg
yang suka gegabah?"
"Kita akan tahu pasti setelah penggalian."
"Oh, apa akan ada penggalian?" Lady Mary
gemetar. "Kasihan Mrs. Babbington! Tak
ada yang lebih menyedihkan bagi seorang
wanita selain hal seperti itu."
"Anda kenal dekat dengan Mrs.
Babbington?" "Ya, tentu saja. Kami
bersahabat."
"Anda tahu seseorang yang barangkali
tidak suka pada Pak Pendeta?" "Tidak."
"Dia tak pernah bicara tentang hal itu?"
"Tidak."
"Hubungan suami-istri itu baik-baik saja?"
"Ya. Mereka bahagia. Suami, istri, dan
anak-anak. Tentu saja hidup mereka pas-
pasan, dan Mr. Babbington menderita
rematik. Itu saja kesulitan mereka."
"Bagaimana hubungan Oliver Manders
dengan Pak Pendeta?"
"Ya..." Lady Mary ragu-ragu. "Bisa
dikatakan tidak terlalu baik. Keluarga
Babbington kasihan pada Oliver, dan anak
itu dulu suka ke tempat mereka, bermain-
main dengan anak-anak mereka pada waktu
libur, walaupun saya kira
dia tidak terlalu akrab dengan mereka.
Oliver bukanlah pemuda yang populer. Dia
suka menyombongkan uangnya, sekolahnya,
dan kesenangan-kesenangan lain yang
diperolehnya di London. Anak laki-laki
memang suka begitu." "Ya... bagaimana
akhir-akhir ini setelah dia dewasa?"
"Saya kira mereka tidak sering bertemu.
Oliver pernah bersikap agak kasar pada
Mr. Babbington di sini, di rumah saya.
Kejadiannya kira-kira dua tahun yang lalu."
"Apa yang terjadi?"
"Oliver menyatakan pendapatnya yang
menyerang kekristenan. Mr. Babbington
sangat hormat dan sabar padanya, tapi itu
justru membuat Oliver tambah ganas. Dia
berkata, 'Semua orang beragama
menghinaku karena ayah-ibuku tidak
menikah. Barangkali kalian menyebutku
anak haram. Hm, aku mengagumi orang-
orang yang punya keberanian untuk
menyatakan apa yang mereka percayai dan
aku tak peduli pada apa yang dipikirkan
pendeta-pendeta atau para hipokrit
lainnya.' Mr. Babbington tidak menjawab.
Tapi Oliver melanjutkan, 'Anda tak mau
menjawab itu. Seluruh dunia ini
berantakan karena eklesiastisme dan
takhayul. Rasanya aku ingin menyapu
semua gereja di dunia ini.' Mr. Babbington
tersenyum dan berkata, 'Dan pendetanya
juga?' Saya kira senyum itulah yang
menyakitkan hati Oliver. Dia merasa
dianggap main-main. Dia berkata, 'Aku
benci semua yang ada di gereja.
Keangkuhan, keamanan, kemunafikan.
Berantas saja semuanya.' Mr. Babbington
tersenyum-senyumnya sangat manis-dan
dia berkata, 'Anakku, kalaupun kau bisa
menghancurkan semua gereja yang telah
dibangun atau direncanakan, kau masih
harus berhadapan dengan Tuhan.'"
"Lalu dia bilang apa?"
"Dia kelihatan terkejut, lalu kembali ke
sikap lamanya yang suka menghina, sinis,
dan menjengkelkan. "Dia bilang,
'Barangkali apa yang kukatakan tadi tidak
terekspresikan dengan baik dan tidak bisa
dicerna dengan mudah oleh generasi
Anda.'"
"Anda tak suka pada Oliver Manders, Lady
Mary?" "Saya kasihan padanya," kata Lady
Mary membela diri. "Tapi Anda tak setuju
dia menikah dengan Egg?" "Tidak."
"Kenapa sebenarnya?"
"Karena... karena dia tidak baik. Dan
karena..."
"Ya?"
"Karena ada sesuatu pada dirinya yang
tidak saya mengerti. Sesuatu yang dingin."
Mr. Satterthwaite memandangnya
sejenak, kemudian berkata,
"Bagaimana pendapat Sir Bartholomew
Strange tentang dia? Pernahkah dia
bicara tentang Oliver?"
"Saya ingat, dia mengatakan Oliver
Manders merupakan kasus yang menarik.
Katanya anak itu mengingatkannya pada
satu kasus yang sedang ditanganinya di
rumah sakitnya. Saya katakan Oliver
kelihatan kuat dan sehat. Dan dia berkata,
'Ya, kesehatannya memang baik, tapi dia
menuju kehancuran.'"
Ia diam, lalu berkata,
"Saya rasa Sir Bartholomew dokter yang
cerdas." "Kolega-koleganya sangat
menghormati dia." "Saya menyukainya,"
kata Lady Mary.
"Pernahkah dia mengatakan sesuatu pada
Anda tentang kematian Mr. Babbington?"
"Tidak."
"Sama sekali tidak?" "Saya rasa tidak."
"Menurut Anda-pasti ini sulit bagi Anda,
karena Anda tidak terlalu kenal dia-
menurut Anda, apakah ada sesuatu di
dalam pikirannya?"
"Dia kelihatan riang, bahkan geli akan
sesuatu hal-leluconnya sendiri. Dia
mengatakan pada makan malam itu akan
membuat kejutan." "Benarkah?"
Mr. Satterthwaite merenungkan hal itu
dalam perjalanan pulang.
Kejutan apa kira-kira yang akan diberikan
Sir Bartholomew pada tamu-tamunya?
Apakah memang akan lucu, seperti yang ia
perkirakan?
Atau sikap riang merupakan topeng dari
tujuan yang sulit dikontrol? Apakah ada
yang tahu?

BAB XV

"ADA kemajuan?" tanya Sir Charles. Ini


merupakan sebuah rapat penting.
Sir Charles, Mr. Satterthwaite, dan Egg
Lytton Gore duduk di ruang kapal. Mereka
sedang rapat. Perapian di ruangan itu
menyala, dan di luar angin badai meraung-
raung. Mr. Satterthwaite dan Egg
menjawab hampir bersamaan. "Tidak,"
kata Mr. Satterthwaite. "Ya," kata Egg.
Sir Charles memandang mereka berganti-
ganti. Mr. Satterthwaite memberi isyarat
dengan berwibawa bahwa sebaiknya
wanita yang bicara lebih dulu. Egg diam
sejenak, berpikir.
"Kita ada kemajuan," katanya akhirnya.
"Kita maju karena belum menemukan apa-
apa. Kedengarannya tidak masuk akal, tapi
sebenarnya tidak. Maksud saya begini.
Sebelumnya kita sudah punya bayangan,
dan sekarang kita tahu pasti bahwa
beberapa bagian dari bayangan itu tidak
benar."
"Melangkah maju dengan menyingkirkan
hal-hal yang tidak benar," kata Sir
Charles.
"Itulah."
Mr. Satterthwaite berdeham.
"Ide kemajuan itu sekarang bisa kita
singkirkan," katanya, "rasanya tak ada
orang yang-seperti dalam buku-buku
detektif-mendapat keuntungan dari
kematian Stephen Babbington. Motif
balas dendam bisa dikesampingkan. Selain
sikapnya yang amat baik dan disukai orang,
saya ragu apakah dia cukup penting untuk
dimusuhi. Jadi, kembali lagi pada bayangan
kita, yaitu ketakutan. Dengan kematian
Stephen Babbington, ada seseorang yang
memperoleh rasa aman."
"Bagus sekali cara Anda mengatakannya,"
kata Egg.
Mr. Satterthwaite kelihatan senang,
namun tetap bersikap rendah hati. Sir
Charles tampak marah. Seharusnya dialah
yang jadi bintang, bukan Satterthwaite.
"Persoalannya sekarang," kata Egg, "apa
yang akan kita lakukan kemudian-yang
benar-benar kita lakukan? Apa kita akan
memata-matai orang? Atau menyamar dan
membuntuti mereka?"
"Saya tidak suka main jadi orang tua
berjenggot, dan saya tak akan
melakukannya sekarang."
"Lalu apa...," kata Egg memulai.
Tapi ada interupsi. Pintu ruangan itu
terbuka dan Temple menyerukan, "Mr.
Hercule Poirot."
M. Poirot masuk dengan wajah berseri
sambil menyalami ketiga orang yang
terpana keheranan itu.
"Bolehkah saya membantu dalam rapat
ini?" katanya dengan mata berkedip. "Ini
benar rapat, kan?"
"Ah, kami senang bertemu Anda kembali,"
kata Sir Charles setelah sadar dari
kekagetannya. Ia menyalami tamunya
dengan hangat dan mendorongnya ke
sebuah kursi besar yang nyaman. "Dari
mana Anda muncul, begini tiba-tiba?"
"Saya mengunjungi kawan baik saya, Mr.
Satterthwaite, di London. Mereka bilang
dia pergi-ke Cornwall. Eh bien, saya bisa
menduga ke mana perginya. Saya langsung
naik kereta ke Loomouth. Dan akhirnya
saya sampai di sini."
"Ya," kata Egg, "tapi kenapa Anda ke sini?
Maksud saya," kata Egg dengan muka
merah, karena merasa tak sopan,
"tentunya Anda datang dengan maksud
tertentu."
"Saya datang untuk mengakui kesalahan
saya," kata Poirot dengan tangan terbuka
dan senyum menawan kepada Sir Charles.
"Monsieur, di ruangan inilah Anda
menyatakan tidak puas. Dan saya berpikir,
itu hanya insting dramatis Anda yang
bicara. Saya berkata pada diri saya
sendiri, 'Dia aktor besar; dia harus selalu
memainkan sebuah drama, apa pun
risikonya.' Kelihatannya-saya akui-hal ini
sangat luar biasa, ada seorang bapak tua
yang baik hati yang meninggal bukan
dengan cara wajar. Sekarang pun saya
masih belum mengerti bagaimana racun itu
bisa masuk ke dalam tubuhnya.
Kelihatannya aneh-fantastis. Tapi setelah
itu terjadi kematian lain-kematian dalam
situasi yang sama, sehingga sulit dikatakan
sebagai kebetulan. Tidak. Pasti ada
hubungan antara keduanya. Jadi, Sir
Charles, saya datang untuk minta maaf
karena saya, Hercule Poirot, telah keliru,
dan minta agar boleh ikut serta dalam
kelompok Anda."
Sir Charles membersihkan
tenggorokannya dengan agak gugup. Ia
kelihatan malu.
"Anda baik sekali, M. Poirot. Bagaimana,
ya... meminta waktu Anda begitu banyak...
saya..."
Ia berhenti, kelihatannya tak tahu akan
bicara apa. Matanya minta bantuan pada
Mr. Satterthwaite.
"Anda sangat baik," kata Mr.
Satterthwaite.
"Tidak... tidak. Saya bukannya baik. Ini
hanya rasa ingin tahu dan... ya,
menyinggung harga diri saya. Saya harus
memperbaiki kesalahan saya. Waktu
saya... itu tak jadi soal. Kenapa saya harus
jalan-jalan? Bahasa orang memang
berbeda, tapi sifat dasar manusia sama di
mana-mana. Tapi tentu saja, kalau saya
terlalu mengganggu dan kurang bisa
diterima..."
Kedua laki-laki itu bicara bersamaan.
"Tentu saja tidak."
"Ah, tidak."
Poirot mengalihkan matanya pada gadis
itu. "Dan Anda?"
Sejenak Egg tidak berkata apa-apa. Ini
memberi kesan yang sama pada ketiga
laki-laki itu: Egg tidak ingin bantuan M.
Poirot.
Mr. Satterthwaite merasa tahu sebabnya.
Ini adalah drama pribadi Sir Charles
Cartwright dengan Egg Lytton Gore. Mr.
Satterthwaite diperbolehkan ikut hanya
sebagai pembantu-orang ketiga yang tidak
berperan besar. Tapi Hercule Poirot lain.
Ia akan memainkan peran utama.
Barangkali Sir Charles pun nantinya akan
terpaksa pensiun. Lalu rencana Egg jadi
berantakan.
Ia memandang gadis itu, kasihan karena
kesulitan yang sedang dihadapinya. Kedua
laki-laki yang lain tidak mengerti. Tapi
dia-dengan kepekaan yang mirip kepekaan
kaum wanita-mengerti dilema itu. Egg
sedang berjuang merebut kebahagiaannya.
Apa yang akan dikatakannya?
Lagi pula, apa lagi yang bisa ia katakan?
Apa yang ia pikirkan? "Pergi! Pergi!
Kedatanganmu merusak segalanya. Aku tak
ingin kau ada di sini."
Egg Lytton Gore mengatakan satu-satunya
hal yang bisa ia katakan. "Tentu saja,"
katanya sambil tersenyum kecil. "Kami
akan senang sekali."

BAB XVI

"BAGUS," kata Poirot. "Kita semua kolega.


Eh bien, saya bisajadi au courantdalam
situasi ini."
Ia mendengarkan dengan penuh perhatian
ketika Mr. Satterthwaite menceritakan
langkah-langkah yang telah mereka ambil
sejak kembali ke Inggris. Mr.
Satterthwaite narator yang baik. Ia punya
kemampuan menciptakan suatu atmosfer
dan menghidupkan suatu gambaran.
Deskripsinya tentang rumah, pelayan-
pelayan, dan kepala polisi sangat
mengagumkan. Poirot menanggapi dengan
hangat penemuan Sir Charles akan surat-
surat yang belum selesai, yang
disembunyikan di celah perapian.
"Ah, mais c'est magnifique, gal" serunya
senang. "Deduksi dan rekonstruksi itu-
sempurna! Anda seharusnya menjadi
detektif besar, Sir Charles. Bukan aktor
besar."
Sir Charles menanggapi pujian itu dengan
kerendahan hati-khas dia. Berkat
pengalaman panggungnya yang bertahun-
tahun, ia mengasah kemahirannya dalam
menerima pujian dengan luwes.
"Observasi Anda juga tajam," kata Poirot
pada Mr. Satterthwaite. "Keramahannya
yang tiba-tiba pada kepala pelayan itu."
"Apa pendapat Anda mengenai urusan
dengan Mrs. Rushbridger itu?" tanya Sir
Charles dengan penuh semangat. "Itu
sebuah ide. Ide itu menunjukkan... ya,
menunjukkan beberapa hal, bukan?"
Tak seorang pun yakin akan beberapa hal
itu, tapi tak ada yang mau mengatakannya.
Jadi, mereka hanya bergumam.
Kemudian Sir Charles ganti bercerita. Ia
menjelaskan kunjungannya dengan Egg
pada Mrs. Babbington dan hasilnya yang
agak negatif.
"Anda sudah tahu semua sekarang,"
katanya. "Anda tahu apa yang kami
lakukan. Bagaimana pendapat Anda?" Ia
membungkuk ke depan dengan penuh rasa
ingin tahu. Poirot diam sejenak. Ketiga
orang lainnya memperhatikannya. Akhirnya
ia berkata,
"Apakah Anda masih ingat, Mademoiselle,
gelas anggur yang bagaimana yang dipakai
Sir Bartholomew di meja?" Sir Charles
menyela ketika Egg menggelengkan kepala.
"Saya bisa menceritakan."
Ia berdiri dan berjalan ke lemari,
mengambil beberapa gelas sherryyang
berat.
"Gelas-gelas itu tentu saja agak lain
modelnya-lebih bulat-bentuknya lebih
sempurna untuk anggur. Dia membelinya di
Lammersfield waktu ada obral-satu set
gelas. Saya mengagumi gelas-gelas itu.
Karena dia tidak memerlukan semuanya,
dia berikan beberapa pada saya. Bagus,
ya?"
Poirot mengambil gelas itu dan mengamat-
amatinya.
"Ya," katanya. "Contoh yang bagus. Saya
kira gelas seperti ini yang dipakai."
"Kenapa?" seru Egg.
Poirot hanya tersenyum padanya.
"Ya," katanya, "kematian Sir Bartholomew
Strange bisa dijelaskan dengan mudah,
tapi kematian Stephen Babbington lebih
sulit. Ah, kalau saja terjadi yang
sebaliknya!"
"Apa maksud Anda-yang sebaliknya?"
tanya Mr. Satterthwaite. Poirot berbalik,
memandangnya.
"Coba Anda pikirkan. Sir Bartholomew
dokter terkenal. Ada beberapa
kemungkinan yang menyebabkan kematian
dokter terkenal. Dokter tahu banyak
rahasia, rahasia-rahasia penting.
Bayangkan seorang pasien yang ada dalam
batas garis kewarasan. Satu kata keluar
dari mulut dokter itu, dan orang tersebut
akan dikucilkan dunia. Ini godaan bagi otak
yang tak seimbang. Seorang dokter bisa
punya rasa curiga tentang kematian
mendadak salah seorang pasiennya. Ya,
banyak motif yang bisa ditemukan pada
kematian seorang dokter.
"Tadi saya katakan, kalau saja terjadi
yang sebaliknya. Seandainya Sir
Bartholomew Strange dulu yang
meninggal, kemudian Stephen Babbington.
Kematian Stephen Babbington mungkin
karena dia melihat sesuatu-mencurigai
sesuatu tentang kematian pertama."
Ia menarik napas, lalu berkata,
"Tapi kita tak bisa punya kasus seperti
yang kita inginkan. Kita harus menghadapi
sebuah kasus seperti apa adanya. Saya
hanya ingin menyarankan satu hal kecil.
Saya kira kematian Stephen Babbington
bukan kecelakaan-racun itu- seandainya
ada racun-sebetulnya ditujukan untuk Sir
Bartholomew Strange, tapi keliru diminum
orang lain."
"Ide yang luar biasa," kata Sir Charles.
Tapi wajahnya yang sejenak gembira
berubah jadi muram lagi. "Tapi saya kira
teori itu tidak jalan. Babbington masuk ke
dalam ruangan ini kira-kira empat menit
sebelum dia sakit. Selama itu satu-
satunya minuman atau makanan yang
ditelannya hanyalah setengah gelas
koktail; dan tak ada apa-apa dalam koktail
itu..."
Poirot menyela,
"Itu sudah Anda ceritakan. Tapi
seandainya, ini kita omong-omong saja,
seandainya ada sesuatu dalam koktail itu.
Mungkinkah itu ditujukan pada Sir
Bartholomew Strange tapi keliru diminum
Mr. Babbington?" Sir Charles
menggelengkan kepalanya.
"Kalau orang kenal baik dengan Tollie, dia
tak akan memasukkan racun ke dalam
koktailnya." "Kenapa?"
"Karena dia tak pernah minum koktail."
"Tak pernah?" "Tak pernah."
Poirot membuat gerakan jengkel.
"Ah, urusan ini salah semua. Rasanya tak
masuk akal."
"Di samping itu," lanjut Sir Charles, "saya
tak bisa membayangkan bagaimana gelas
itu bisa tertukar. Temple mengedarkan
gelas-gelas itu dengan nampan, dan setiap
orang mengambil gelas yang dipilihnya
sendiri."
"Benar," gumam Poirot. "Orang tak bisa
memaksa orang minum koktail seperti
dalam permainan kartu. Seperti apa dia, si
Temple ini? Dia pelayan yang tadi
membukakan saya pintu?"
"Ya, betul. Dia sudah tiga atau empat
tahun ikut saya-gadis yang baik, tahu
tugasnya. Saya tak tahu asal-usulnya. Tapi
Miss Milray pasti tahu."
"Miss Milray-dia sekretaris Anda? Wanita
jangkung yang agak seperti serdadu itu?"
"Memang seperti serdadu," kata Sir
Charles setuju.
"Saya pernah makan bersama Anda dalam
beberapa kesempatan, tapi rasanya belum
pernah bertemu dia sampai malam itu."
"Biasanya dia tidak makan malam dengan
kita. Dia ada karena angka tiga belas
saja." Sir Charles menjelaskan dan Poirot
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Jadi, dia sendiri yang mengusulkan ikut
makan malam." Ia diam merenung sampai
satu menit, lalu berkata, "Boleh saya
bicara dengan pelayan itu-si Temple?"
"Tentu saja."
Sir Charles menekan sebuah bel.
Jawabannya cepat, "Tuan memanggil?"
Temple seorang gadis jangkung berumur
32 atau 33. Ia kelihatan bersih,
rambutnya tersisir rapi dan berkilat, tapi
tidak cantik. Sikapnya tenang dan efisien.
"M. Poirot ingin menanyakan beberapa
hal," kata Sir Charles. Temple
mengalihkan pandangannya yang angkuh
pada Poirot.
"Kami sedang bicara tentang malam ketika
Mr. Babbington meninggal di sini," kata
Poirot. "Kau masih ingat?" "Oh, ya, Sir."
"Saya ingin tahu dengan pasti bagaimana
koktail itu dihidangkan." "Maaf, Sir."
"Saya ingin tahu tentang koktail itu. Apa
kau yang mencampurnya?"
"Bukan. Sir Charles suka melakukan hal itu
sendiri. Saya yang membawa botol-
botolnya-vermuth, gin, dan sebagainya."
"Di mana kauletakkan botol-botol itu?" "Di
meja sana, Sir."
Ia menunjuk sebuah meja dekat dinding.
"Nampan dan gelas-gelasnya ada di sana,
Sir. Setelah selesai mencampur dan
mengocok, Sir Charles menuang koktail itu
ke gelas-gelas. Lalu saya membawa nampan
itu berkeliling, mengedarkannya pada
tamu-tamu." "Apa semua koktail dalam
gelas itu kau yang mengulurkannya?"
"Sir Charles memberikan satu gelas untuk
Miss Lytton Gore, Sir-mereka sedang
berbicara pada saat itu. Sir Charles juga
mengambil koktail sendiri. Dan Mr.
Satterthwaite"-matanya berpindah
memandang Mr. Satterthwaite -"datang
dan mengambil satu untuk seorang tamu
wanita-kalau tak salah Miss Wills."
"Betul," kata Mr. Satterthwaite.
"Yang lain saya edarkan. Saya kira setiap
tamu mengambil satu, kecuali Sir
Bartholomew."
"Kau mau mengulangi semuanya, Temple?
Kita taruh saja bantal-bantal itu untuk
mengganti tamu-tamu. Saya berdiri di sini,
saya masih ingat; Miss Sutcliffe di sana."
Dengan bantuan Mr. Satterthwaite,
mereka membuat rekonstruksi. Mr.
Satterthwaite memang teliti. Ia ingat
dengan baik di mana setiap orang dalam
ruangan itu pada waktu pesta. Lalu Temple
mengedarkan gelas-gelas minuman.
Mereka memastikan ia mendatangi Mrs.
Dacres lebih dulu, lalu Miss Sutcliffe dan
Poirot, kemudian Mr. Babbington, Lady
Mary, dan Mr. Satterthwaite yang duduk
bersama-sama.
Ini cocok dengan apa yang diingat Mr.
Satterthwaite.
Akhirnya Temple disuruh keluar.
"Pah!" seru Poirot. "Tak mungkin. Temple
orang terakhir yang memegang koktail itu.
Tapi tak mungkin dia memasukkan sesuatu,
dan kita tak bisa memaksa orang
mengambil koktail tertentu." "Biasanya
orang mengambil yang paling dekat," kata
Sir Charles.
"Teori itu cocok bila kita mengedarkan
nampan pertama-tama pada orang itu, tapi
itu juga tak bisa dipastikan. Gelas-gelas
itu rapat. Sebetulnya tidak bisa dikatakan
satu gelas lebih dekat pada seseorang
dari gelas lainnya. Tidak. Cara begitu tak
bisa dipakai. Mr. Satterthwaite, apa Anda
ingat, Mr. Babbington terus memegang
gelasnya atau meletakkannya di meja?"
"Dia meletakkannya di meja."
"Ada yang datang mendekati mejanya
setelah itu?"
"Tidak, saya orang terdekat dengan dia,
tapi saya tidak memasukkan apa-apa ke
dalam koktailnya, walaupun saya bisa
melakukannya tanpa diketahui orang lain."
Mr. Satterthwaite bicara dengan agak
kaku. Poirot cepat-cepat meminta maaf,
"Tidak! Tidak! Saya bukannya membuat
tuduhan-quelle ideel! Tapi saya ingin
meyakinkan fakta-fakta saya. Menurut
analisis, tak ada apa-apa di dalam koktail
itu. Sekarang, di luar hasil analisis itu,
kelihatannya tak mungkin seseorang
membubuhkan sesuatu ke dalam koktail.
Hasil yang sama dari dua tes yang
berbeda. Tapi Mr. Babbington tidak minum
atau makan apa-apa. Dan kalau dia diracun
dengan nikotin murni, kematian
berlangsung cepat. Anda lihat ke mana
arahnya?"
"Tidak ke mana-mana. Sialan," kata Sir
Charles.
"Saya tak akan berkata begitu-tidak, saya
tak akan mengatakan hal itu. Itu akan
memberi ide yang mengerikan- yang saya
harap dan yakin tidak benar. Tidak, tentu
saja tidak benar-kematian Sir
Bartholomew membuktikannya, tapi..."
Ia mengernyitkan dahi dan berpikir. Yang
lain memandangnya dengan ingin tahu.
Poirot memandang ke atas. "Anda
mengerti maksud saya, kan? Mrs.
Babbington tidak ada di Melfort Abbey.
Karena itu, kita tak bisa mencurigai Mrs.
Babbington."
"Mrs. Babbington-tapi tak seorang pun
bermimpi akan mencurigai dia." Poirot
tersenyum.
"Tidak? Aneh sekali. Pikiran itu masuk di
kepala saya dengan segera-segera. Kalau
pria malang itu tidak diracuni lewat
koktail, dia pasti diracuni beberapa menit
sebelum masuk rumah. Caranya
bagaimana? Sebutir kapsul? Barangkali
sesuatu untuk mencegah sakit perut. Tapi
siapa yang memberikannya? Cuma seorang
istri. Siapa, barangkali, yang punya motif
sehingga tak seorang pun curiga terhadap
hal itu? Sekali lagi, seorang istri."
"Tapi mereka saling mencintai!" seru Egg
marah. "Anda sama sekali tak tahu!"
Poirot tersenyum manis padanya.
"Ya. Itu memang penting. Anda tahu, tapi
saya tidak. Saya lihat faktanya tidak
menjadi miring karena adanya hal-hal yang
telah dipertimbangkan lebih dahulu. Dan
saya ingin memberitahukan sesuatu,
Mademoiselle. Selama pengalaman saya
sebagai detektif, saya menjumpai lima
kasus wanita yang dibunuh oleh suami yang
sangat mencintai mereka, dan 22 suami
yang dibunuh oleh istri yang mencintai
mereka. Les femmes, mereka kelihatannya
bisa menyembunyikan muka dengan lebih
baik."
"Anda benar-benar keterlaluan," kata Egg.
"Saya tahu suami-istri Babbington tidak
begitu. Itu... itu mengerikan."
"Pembunuhan memang mengerikan,
Mademoiselle," kata Poirot dengan nada
keras.
Ia melanjutkan dengan suara lebih ringan,
"Tapi saya, yang hanya melihat fakta,
setuju bahwa Mrs. Babbington tidak
melakukan hal itu. Dia tak ada di Melfort
Abbey. Seperti dikatakan Sir Charles, hal
itu pasti dilakukan oleh orang yang ada
dalam kedua kejadian-satu dari tujuh
orang dalam daftar Anda."
Mereka diam.
"Jadi, sebaiknya bagaimana kita
bertindak?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Anda pasti sudah punya rencana," kata
Poirot. Sir Charles berdeham.
"Satu-satunya yang bisa kita lakukan
kelihatannya adalah melakukan proses
eliminasi," katanya. "Maksud saya,
mengasumsikan semua orang dalam daftar
itu sebagai tersangka, sampai benar-benar
terbukti mereka tak bersalah. Maksud
saya, kita harus yakin dulu orang itu
mempunyai hubungan dengan Stephen
Babbington. Kita harus menggunakan
segala akal untuk mengetahui hubungan
itu. Kalau tidak ada, kita lanjutkan dengan
mengecek tamu-tamu lainnya."
"Itu psikologi yang bagus," kata Poirot.
"Caranya?"
"Itu belum kami bicarakan. Kami akan
senang menerima saran dan nasihat Anda,
M. Poirot. Barangkali Anda sendiri..."
Poirot mengangkat tangannya.
"Kawan, jangan minta saya melakukan
sesuatu gerakan aktif. Saya selalu yakin,
setiap persoalan sebaiknya diselesaikan
dengan berpikir. Saya beri nama saja
sebagai 'gerakan pasif. Silakan
melanjutkan penyelidikan yang sudah
dipimpin Sir Charles dengan bagus."
"Bagaimana dengan aku?" pikir Mr.
Satterthwaite. "Aktor-aktor ini! Semua
menyoroti mereka, dan peran bintang pun
mereka mainkan."
"Barangkali Anda sewaktu-waktu bisa
minta pendapat pengacara. Saya
pengacaranya."
Ia tersenyum pada Egg.
"Bagaimana pendapat Anda,
Mademoiselle?"
"Bagus," kata Egg. "Saya yakin pengalaman
Anda akan sangat membantu kami." Wajah
gadis itu kelihatan lega. Ia melirik jam
tangannya dan berseru, "Saya harus
pulang. Ibu bisa pingsan nanti." "Biar
kuantar pulang," kata Sir Charles. Mereka
keluar bersama-sama.

BAB XVII
"IKANNYA sudah muncul," kata Hercule
Poirot.
Mr. Satterthwaite, yang memperhatikan
pintu ditutup oleh kedua orang itu,
terkejut ketika menoleh memandang
Poirot. Pria itu sedang tersenyum dengan
wajah agak mencemooh.
"Ya, ya. Jangan membantah. Anda dengan
sengaja menunjukkan umpan itu pada saya
waktu di Monte Carlo. Iya, kan? Anda
menunjukkan artikel di koran. Anda
berharap saya tertarik, sehingga saya
melibatkan diri dalam urusan itu."
"Memang benar," kata Mr. Satterthwaite
mengaku. "Tapi saya pikir saya gagal."
"Tidak, tidak. Anda tidak gagal. Anda
pengamat watak manusia yang amat tajam.
Saya bosan, seperti anak kecil yang di
pantai itu-tak ada yang dia kerjakan. Anda
datang tepat pada waktunya-dan memang,
banyak tindak kriminal yang ditentukan
oleh saat yang tepat. Tapi kita kembali
saja ke domba kita. Tindak kejahatan ini
sangat menarik, sangat membingungkan."
"Yang mana-pertama atau kedua?"
"Hanya ada satu; yang pertama adalah
separo dan yang kedua juga separo dari
satu tindak kriminal. Separo yang kedua
sangat sederhana-motifnya, cara yang
digunakannya..." Mr. Satterthwaite
menyela,
"Rasanya caranya sama-sama sulit. Tak
ada racun yang ditemukan dalam anggur,
dan makanannya dimakan semua orang."
"Tidak, tidak, sama sekali lain. Dalam
kasus pertama, kelihatannya tak seorang
pun bisa meracuni Stephen Babbington.
Kalau mau, Sir Charles bisa saja meracuni
salah satu tamunya, tapi bukan tamu
tertentu. Temple bisa saja menyelipkan
sesuatu ke dalam gelas terakhir, tapi
gelas Mr. Babbington bukan gelas
terakhir. Pembunuhan Mr. Babbington
kelihatannya amat tak masuk akal,
sehingga saya masih merasa mungkin hal
itu memang tak masuk akal -jadi, dia
memang meninggal secara wajar. Tapi itu
akan kita ketahui tak lama lagi. Kasus yang
kedua lain. Setiap tamu yang hadir, atau
kepala pelayan, atau pelayan lain, bisa saja
meracuni Bartholomew Strange. Itu tidak
sulit."
"Saya tidak melihat...," kata Mr.
Satterthwaite.
Poirot melaju terus,
"Nanti akan saya buktikan pada Anda
dengan eksperimen kecil. Kita bicarakan
hal yang lebih penting dulu. Nanti akan
Anda lihat-dan ketahui. Anda memiliki hati
yang penuh simpati dan penuh pengertian.
Saya tak akan memainkan peranan anak
manja."
"Maksud Anda...," kata Mr. Satterthwaite,
mulai tersenyum.
"Sir Charles harus memainkan peran
seorang bintang! Dia sudah terbiasa. Dan
lagi, ada orang lain yang mengharapkan dia
memainkan peran itu. Saya tak salah, kan?
Keikutsertaan saya dalam urusan ini tidak
menyenangkan hati gadis itu."
"Anda memang orang yang cepat tanggap,
M. Poirot."
"Ah, itu kan jelas kelihatan di depan mata!
Saya cukup perasa. Saya ingin memberi
peluang bagi sebuah kisah cinta, bukan
menghalanginya. Anda dan saya-kita harus
bekerja sama-untuk kemuliaan Sir Charles
Cartwright. Bukan begitu? Bila kasus itu
sudah terselesaikan..."
"Jika...," kata Mr. Satterthwaite ragu.
"Bila! Saya tak akan membiarkannya
gagal."
"Tak pernah?" tanya Mr. Satterthwaite
menyelidik.
"Ada saat-saat saya tidak cepat tanggap,"
kata Poirot dengan penuh wibawa. "Saya
tak bisa merasakan kebenaran secepat
yang biasa saya rasakan."
"Tapi Anda tak pernah gagal sama sekali?"
Desakan Mr. Satterthwaite ini memang
sekadar rasa ingin tahu yang sederhana.
Ia bertanya-tanya. "Eh, bien, " kata
Hercule Poirot. "Suatu waktu. Sudah lama
sekali dulu. Ketika saya di Belgia. Kita tak
perlu bicara tentang hal itu."
Rasa ingin tahu dan kenakalan Mr.
Satterthwaite rupanya telah terpuaskan.
Ia cepat-cepat mengganti arah
pembicaraan,
"Ah, ya. Anda tadi bilang, jika kasus ini
terpecahkan..."
"Sir Charles yang akan menyelesaikannya.
Itu penting. Saya hanya akan menjadi gigi
sebuah roda bergigi." Ia mengembangkan
kedua tangannya. "Sekali-sekali, di sana-
sini-saya akan berkata sedikit-sedikit-
hanya sedikit kata-kata-petunjuk-tak
lebih. Saya tak ingin penghormatan atau
kepopuleran. Saya sudah punya."
Mr. Satterthwaite mengamati pria itu
dengan rasa ingin tahu. Ia senang melihat
kesombongan yang naif dan egoisme yang
begitu besar dalam diri laki-laki kecil itu.
Tapi ia memang tidak omong kosong. Pria
Inggris biasanya bersikap merendah
dengan apa yang telah berhasil ia lakukan
dengan baik, dan kadang-kadang senang
dengan apa yang tidak dikerjakan dengan
baik. Tapi pria Latin lebih bisa menghargai
kekuatannya sendiri. Kalau memang pandai
ia tak perlu mencari alasan untuk
menutup-nutupi fakta itu.
"Saya ingin tahu," kata Mr.
Satterthwaite. "Ini menarik untuk saya
ketahui-apa sebenarnya yang ingin Anda
dapatkan dari urusan ini? Apakah kasus ini
menarik?"
Poirot menggelengkan kepala.
"Bukan, bukan, bukan itu. Seperti chien de
chasse, saya hanya mengikuti penciuman,
dan saya menjadi tertarik. Sekali mencium
sesuatu, saya tak bisa membuangnya. Itu
memang benar. Tapi ada yang lebih dari
itu. Bagaimana saya mengatakannya?
Suatu nafsu untuk mengetahui kebenaran.
Di dunia ini tak ada yang lebih
menimbulkan rasa ingin tahu, lebih
menarik, dan lebih indah kecuali
kebenaran."
Mereka diam sejenak setelah Poirot
berkata-kata.
Lalu ia mengambil kertas Mr.
Satterthwaite yang berisi tujuh nama dan
membacanya,
"Mrs. Dacres, Kapten Dacres, Miss Wills,
Miss Sutcliffe, Lady Mary Lytton Gore,
Miss Lytton Gore, Oliver Manders.
"Ya," katanya. "Bisa disimpulkan, kan?"
"Apanya?"
"Urutan nama-nama itu."
"Rasanya tak ada yang bisa disimpulkan.
Kami menulis nama-nama itu tanpa urutan
tertentu."
"Tepat. Daftar itu mulai dengan Mrs.
Dacres. Saya menyimpulkan dialah orang
yang dianggap paling punya kemungkinan
untuk melakukan kejahatan itu."
"Bukan yang paling punya kemungkinan,"
kata Mr. Satterthwaite. "Yang paling
kecil-itu kemungkinannya lebih cocok."
"Dan kalimat ketiga barangkali lebih
cocok. Barangkali dia orang yang Anda
sekalian pilih sebagai orang yang punya
kemungkinan besar."
Mr. Satterthwaite membuka mulutnya
tanpa sadar, lalu menatap mata Poirot
yang hijau, lembut, dan aneh. Ia tidak jadi
mengucapkan kata-katanya dan
menggantinya dengan,
"Bagaimana, ya? M. Poirot, barangkali
Anda benar. Tanpa disadari, itu memang
benar."
"Saya ingin menanyakan sesuatu, Mr.
Satterthwaite."
"Tentu saja, silakan," kata Mr.
Satterthwaite sambil merenung.
"Dari yang Anda ceritakan, saya
mengambil kesimpulan bahwa Sir Charles
dan Mrs. Lytton Gore bersama-sama
menginterview Mrs. Babbington." "Ya."
"Anda tidak pergi bersama mereka?"
"Tidak. Tiga orang terlalu ramai." Poirot
tersenyum.
"Dan barangkali Anda punya keinginan
pergi ke tempat lain. Barangkali Anda
punya ikan lain untuk digoreng. Anda ke
mana, Mr. Satterthwaite?"
"Saya minum teh dengan Lady Mary
Lytton Gore," jawab Mr. Satterthwaite
kaku. "Apa yang Anda bicarakan?"
"Dia baik sekali. Mau menceritakan
kesulitan-kesulitannya ketika baru
menikah." Ia mengulang dengan singkat
cerita Lady Mary. Poirot menganggukkan
kepala penuh simpati. "Itu memang
terjadi-cerita seorang gadis idealis yang
menikah dengan laki-laki brengsek dan tak
mau mendengar nasihat orang lain. Apa
Anda tidak bicara tentang hal-hal lain?
Misalnya saja bicara tentang Oliver
Manders?" "Ya, betul."
"Dan Anda tahu sesuatu tentang... apa?"
Mr. Satterthwaite mengulangi apa yang
diceritakan Lady Mary. Lalu ia berkata,
"Kenapa Anda bertanya apa kami bicara
tentang dia?"
"Karena Anda ke sana dengan tujuan itu...
jangan protes dulu. Anda mungkin
berharap Mrs. Dacres atau suaminya yang
melakukan tindak kriminal. Tapi Anda juga
berpikir si Manders punya kemungkinan."
Ia menenangkan protes Mr.
Satterthwaite.
"Ya... ya. Anda memang suka diam-diam.
Anda punya ide-ide, tapi suka
menyimpannya sendiri. Saya bersimpati
pada Anda. Saya sendiri juga begitu."
"Saya tidak mencurigainya. Itu aneh. Saya
hanya ingin tahu lebih banyak tentang
dia."
"Sama saja dengan yang saya katakan. Dia
adalah pilihan Anda berdasarkan insting.
Saya juga tertarik padanya pada waktu
pesta di sini itu, karena saya lihat..."
"Apa yang Anda lihat?" tanya Mr.
Satterthwaite ingin tahu.
"Saya lihat paling tidak ada dua orang-
barangkali juga lebih-yang memainkan
suatu peran. Satu adalah Sir Charles." Ia
tersenyum. "Dia memainkan peran seorang
perwira angkatan laut; benar, kan? Itu
sangat wajar. Seorang aktor besar tak
akan berhenti berperan hanya karena dia
tidak berada di panggung lagi. Tapi
pemuda Manders itu-dia juga memainkan
sebuah peran. Peran seorang pemuda yang
bosan, walaupun sebenarnya tidak. Dia
orang yang penuh semangat hidup. Karena
itu, saya melihatnya."
"Bagaimana Anda tahu saya sedang
mencari tahu tentang dia?"
"Banyak caranya. Anda tertarik pada
kecelakaan yang membawanya ke Melfort
Abbey malam itu. Anda tidak pergi
berkunjung ke tempat Mrs. Babbington
dengan Sir Charles dan Miss Lytton Gore.
Mengapa? Karena Anda ingin mencari tahu
sesuatu yang lain tanpa diketahui orang
lain. Anda pergi ke kediaman Lady Mary
untuk bertanya tentang seseorang. Siapa?
Pasti orang sini. Oliver Manders. Lalu-ini
sangat khas-Anda meletakkan namanya di
daftar paling bawah. Siapa orang-orang
yang paling tidak Anda curigai-Lady Mary
dan Miss Egg?-tapi Anda menulis nama
Manders setelah nama mereka, karena
dialah orang yang Anda incar dan Anda
ingin menyimpan hal itu sendiri."
"Ya ampun," kata Mr. Satterthwaite. "Apa
benar saya seperti itu?"
"Precisement. Penglihatan Anda tajam dan
pertimbangan Anda sangat cermat, dan
Anda suka menyimpan hasilnya untuk diri
Anda sendiri. Opini Anda tentang pribadi
manusia merupakan pengetahuan yang
tidak akan Anda pamerkan pada orang
lain."
"Saya kira...," Mr. Satterthwaite memulai,
tapi dia terhenti oleh kedatangan Sir
Charles.
Aktor itu masuk dengan langkah ringan.
"Br-r-r," katanya. "Malam yang ganas."
Ia menuang wiski campur soda untuk
dirinya sendiri.
Mr. Satterthwaite dan Poirot tidak mau
minum.
"Hm," kata Sir Charles, "sekarang kita
buat saja rencana penyelidikan. Mana
daftar itu, Satterthwaite? Ah, terima
kasih. Nah, Pak Penasihat, bagaimana
sebaiknya kita melakukannya?"
"Apa pendapat Anda sendiri, Sir Charles?"
"Hm, kita bisa membagi-bagi orang untuk
tugas yang berbeda. Pembagian tugas.
Pertama, ini ada Mrs. Dacres. Egg
kelihatannya ingin menangani dia. Dia
berpendapat orang yang berbusana begitu
sempurna tak akan puas dengan sekadar
pujian dari pihak laki-laki. Kelihatannya
bagus juga melakukan pendekatan dari sisi
profesinya. Satterthwaite dan saya akan
melakukan hal yang sama kalau mungkin.
Lalu Dacres. Saya kenal beberapa
temannya yang sering ikut balap.
Kelihatannya ada yang bisa diambil dari
mereka. Lalu Angela Sutcliffe."
"Itu juga bagianmu, Cartwright," kata Mr.
Satterthwaite. "Kau kenal dia dengan baik
sekali, kan?"
"Ya, karena itu sebaiknya orang lain saja
yang menangani dia. Pertama," ia
tersenyum sedih, "saya akan dituduh tidak
bekerja dengan baik, dan yang kedua... hm,
dia teman saya. Kalian mengerti?"
"Parfaitement, parfaitement. Anda pasti
merasa tak enak. Sangat bisa dimaklumi.
Mr. Satterthwaite yang baik ini -dia akan
menggantikan Anda."
"Lady Mary dan Egg-tentu saja mereka
tidak termasuk. Bagaimana dengan si
Manders? Kedatangannya ke tempat Tollie
itu karena kecelakaan, tapi rasanya dia
tetap perlu diperhitungkan."
"Mr. Satterthwaite yang akan menangani
dia," kata Poirot. "Tapi, Sir Charles, masih
ada yang ketinggalan dalam daftar itu.
Miss Murriel Wills masih ketinggalan."
"Oh, ya. Nah, kalau Satterthwaite
menangani Manders, saya akan ambil Miss
Wills. Setuju? Bagaimana, Poirot? Ada
saran?"
"Tidak, tak ada. Saya akan tertarik
mendengar hasilnya."
"Tentu saja. Tentu kami akan lapor. Satu
hal lagi. Kalau kita bisa mendapatkan foto
orang-orang ini, kita bisa menanyai orang
di Gilling."
"Bagus," kata Poirot. "Ada satu hal... ah,
ya. Teman Anda, Sir Bartholomew. Dia
tidak minum koktail, tapi minum anggur,
ya?"
"Ya. Dia suka anggur."
"Aneh juga, ya, dia tidak merasa apa-apa.
Nikotin murni seharusnya menimbulkan
rasa yang khas, rasa tidak enak."
"Barangkali saja tidak ada nikotin di dalam
anggur," kata Sir Charles. "Ingat, isi gelas
itu sudah dianalisis." "Oh, ya," kata Poirot
dengan tololnya. "Tolol saya. Tapi kalau
dipakai, nikotin rasanya tidak enak." "Saya
tidak tahu apa itu penting," kata Sir
Charles pelan. "Musim semi yang lalu,
Tollie kena flu berat. Dia jadi kurang peka
pada rasa dan penciuman."
"Ah, ya," kata Poirot sambil merenung.
"Itu yang menyebabkannya. Jadi, ada
alasannya." Sir Charles berjalan ke
jendela dan memandang ke luar.
"Badai masih bertiup. Saya akan suruh
ambil barang-barang Anda, M. Poirot. The
Rose and Crown memang bagus untuk para
aktris yang antusias, tapi saya rasa Anda
menyukai tempat yang lebih bersih dan
tempat tidur yang nyaman."
"Anda baik sekali, Sir Charles."
"Ah, terima kasih. Biar saya urus dulu."
Ia keluar ruangan.
Poirot memandang Mr. Satterthwaite.
"Boleh saya membuat saran?" "Ya?"
Poirot membungkuk ke depan dan bicara
dengan suara rendah,
"Tanyakan pada Manders, kenapa dia
membuat kecelakaan tipuan. Katakan polisi
mencurigai dia dan perhatikan reaksinya."
"Anda pikir..."
"Saya belum memikirkan apa-apa. Tapi
dalam buku harian itu tertulis: 'Aku
khawatir dengan M.' Barangkali saja yang
dimaksud memang Manders. Barangkali
juga sama sekali tak ada hubungannya
dengan kasus ini." "Kita lihat saja nanti,"
kata Mr. Satterthwaite. "Ya. Kita lihat
nanti."

BAB XVIII

RUANG pamer Ambrosine, Ltd., itu


kelihatan pucat. Dindingnya berwarna
putih tua, karpetnya yang tebal berwarna
netral, hampir tak berwarna. Juga
perabotannya. Di sana-sini terpantul
cahaya kromium. Di salah satu dinding
terdapat lukisan geometris raksasa dalam
warna biru dan kuning menyala. Ruang itu
didesain oleh Mr. Sydney Sandford,
desainer termuda dan terbaru saat itu.
Egg Lytton Gore duduk di sebuah kursi
berdesain modern yang mirip dengan kursi
pasien dokter gigi, dan memandang
wanita-wanita cantik kemilau seperti ular
dengan wajah-wajah bosan yang
melenggang lewat di depannya. Egg
berusaha kelihatan agar uang sejumlah
lima atau enam puluh pound untuk
sepotong baju tidak terlalu berarti
baginya.
Mrs. Dacres-seperti biasa, kelihatan
cantik dan aneh-sedang menjalankan
tugasnya.
"Anda suka ini? Lihat simpul di bahu ini-
lucu, ya? Dan garis pinggangnya agak
menerawang. Tapi yang merah ini saya
tidak terlalu suka. Lebih bagus warna
baru-Espanol-sangat menarik. Seperti
warna moster dengan campuran sedikit
cabe merah. Anda suka ini? Vin Ordinaire,
agak aneh, ya? Menerawang dan aneh. Tapi
di zaman sekarang model baju memang
santai."
"Sulit memilihnya," kata Egg. "Begini," ia
berpura-pura membuka rahasia,
"sebelumnya saya tak punya uang untuk
beli baju-baju. Kami sangat miskin. Saya
masih ingat, Anda tampak begitu cantik
pada malam di Crow's Nest itu. Jadi saya
berpikir, 'Nah, mumpung ada uang, aku
mau menemui dan konsultasi dengan Mrs.
Dacres. Aku akan minta saran padanya.'
Saya benar-benar kagum pada Anda
malam itu."
"Ah, Anda baik sekali. Saya sebenarnya
senang mendandani gadis muda. Gadis-
gadis tidak seharusnya kelihatan
sembarangan dengan pakaian mereka.
Anda pasti mengerti maksud saya."
"Oh, jadi kau tidak berpakaian
sembarangan," pikir Egg kasar. "Seperti
ondel-ondel begitu kok."
"Anda punya kepribadian yang menonjol,"
lanjut Mrs. Dacres. "Jadi, jangan
berpakaian terlalu sederhana. Pilih baju-
baju bermodel biasa tapi menerawang.
Sedikit lain, begitu. Berapa yang Anda
perlukan?"
"Saya ingin empat gaun malam dan dua
baju untuk siang hari, lalu satu atau dua
setelan sport-itu dulu."
Sikap Mrs. Dacres bertambah manis.
Untunglah ia tak tahu bahwa simpanan Egg
di bank tinggal lima belas pound dua belas
shilling. Itu pun harus dihemat sampai
bulan Desember.
Bertambah banyak gadis-gadis yang
melewati Egg dengan pakaian macam-
macam. Di sela-sela percakapan tentang
pakaian, Egg menyelipkan persoalan lain.
"Pasti Anda belum ke Crow's Nest lagi
sejak peristiwa itu," katanya.
"Ya. Saya tidak bisa. Peristiwa itu sangat
mengguncangkan. Dan lagi saya
menganggap terlalu banyak artis di
Cornwall. Rasanya mereka aneh di mata
saya."
"Ya. Urusan itu menyebalkan, ya?" kata
Egg. "Padahal Mr. Babbington sangat
baik."
"Dan sudah tua," kata Mrs. Dacres.
"Anda pernah bertemu dia sebelumnya,
kan?"
"Pak tua itu? Apa iya? Saya lupa."
"Kalau tak salah, dia pernah bilang
begitu," kata Egg. "Tapi bukan di Cornwall.
Kalau tak salah di Gilling." "Apa iya?" Mata
Mrs. Dacres menjadi kabur. "Bukan,
Marcelle. Saya mau Petite Scandale-
dengan model Jenny -lalu Patou biru."
"Dan luar biasa, ya," kata Egg, "peristiwa
peracunan Sir Bartholomew?"
"Wah, kata-kata Anda terlalu blak-blakan!
Tapi baik juga untuk saya. Banyak wanita
datang memesan baju di sini karena ingin
mendengar sensasi saja. Nah, model Patou
ini pasti pas buat Anda. Lihat lipit-lipit
yang tidak ada gunanya tapi lucu itu;
membuat baju ini kelihatan tambah manis.
Muda tanpa kelihatan menyebalkan. Ya,
kematian Sir Bartholomew memang
menjadi berkat buat saya. Sebenarnya
saya juga punya kesempatan melakukan
pembunuhan itu, lho. Saya lebih suka
peran itu. Ada seorang wanita gemuk yang
datang dan membelalakkan matanya.
Terlalu blak-blakan. Tapi..."
Tapi pembicaraannya disela suara
beraksen Amerika yang kelihatannya
merupakan pelanggan penting.
Ketika si Amerika sibuk menguraikan
keperluan-keperluannya yang kelihatan
macam-macam dan mahal, Egg berhasil
menyingkir tanpa mengganggu. Ia
meninggalkan pesan pada pegawai muda
yang menggantikan Mrs. Dacres
melayaninya bahwa ia akan berpikir dulu
sebelum memberi keputusan.
Egg melirik jam tangannya ketika muncul
di Bruton Street. Pukul 12.40. Tak lama
lagi ia mungkin bisa melakukan rencananya
yang kedua.
Ia berjalan sampai di Berkeley Square,
lalu kembali lagi pelan-pelan. Pada pukul
satu ia berdiri diam memandang sebuah
jendela toko yang memajang barang-
barang kesenian Cina.
Miss Doris Sims masuk ke Bruton Street
dengan cepat dan berbelok ke arah
Berkeley Square. Sebelum ia sampai,
terdengar sebuah suara.
"Maaf," kata Egg, "boleh saya bicara
sebentar?"
Gadis itu menoleh dan terkejut.
"Anda salah seorang gadis model di
Ambrosine, kan? Saya melihat Anda tadi
pagi. Maaf, ya, tapi saya ingin mengatakan,
menurut pendapat saya, perawakan Anda
sangat sempurna." Doris Sims tidak
tersinggung. Ia hanya bingung. "Terima
kasih, Anda baik sekali," katanya.
"Dan Anda juga kelihatannya baik," kata
Egg. "Karena itu, saya ingin minta tolong.
Anda mau makan siang dengan saya di
Berkeley atau Ritz? Saya akan cerita
nanti."
Setelah ragu-ragu sebentar, Doris Sims
setuju. Ia ingin tahu dan ia suka makan
enak. Begitu mereka duduk, Egg mulai
dengan keterangannya.
"Saya harap Anda bisa menyimpan hal ini
untuk diri Anda sendiri," katanya. "Begini.
Saya dapat pekerjaan- menulis macam-
macam profesi wanita. Saya ingin Anda
menceritakan segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan urusan busana."
Doris kelihatan agak kecewa, tapi ia
menjawab dengan ramah dan memberikan
jawaban-jawaban yang berani tentang jam
kerja, gaji, hal-hal yang menyenangkan
dan tidak menyenangkan di tempat
kerjanya. Egg mencatat hal-hal yang
penting di buku catatannya.
"Anda sangat baik," katanya. "Saya
memang bodoh. Ini merupakan pekerjaan
baru bagi saya. Saya sedang bangkrut,
tapi hasil tulisan ini nanti akan membantu."
Ia melanjutkan lagi,
"Saya juga nekat masuk Ambrosine dan
berpura-pura ingin membeli baju-baju
mahal itu. Sebenarnya uang saku saya
untuk membeli baju tinggal beberapa
pound saja sampai Natal nanti. Mrs.
Dacres pasti marah kalau tahu yang
sebenarnya."
Doris tertawa.
"Pasti."
"Bagaimana, apa saya berhasil? Berhasil
kelihatan seperti orang yang punya uang
banyak?" "Anda sangat berhasil, Miss
Lytton Gore. Mrs. Dacres mengira Anda
akan memesan banyak baju." "Dia pasti
kecewa," kata Egg.
Doris tertawa lagi. Ia menikmati
makanannya dan tertarik pada Egg.
"Barangkali dia orang kalangan atas,"
pikirnya. "Tapi dia tak banyak lagak. Dan
tingkahnya wajar."
Setelah hubungan baik itu berjalan, Egg
tak punya banyak kesulitan memancing
lawan bicaranya tentang apa saja yang
berhubungan dengan bosnya.
"Saya pikir Mrs. Dacres itu seperti kucing
yang menakutkan. Apa betul?" pancing
Egg.
"Tak satu pun dari kami menyukainya, Miss
Lytton Gore. Itu fakta. Tapi dia pandai
dan pintar berbisnis. Tidak seperti para
wanita kalangan atas lainnya, yang
bangkrut karena pelanggannya tak mau
membayar utang. Dia sangat licin dan
gigih. Dia memang fair dan seleranya
bagus. Dia tahu barang bagus dan pintar
memilihkan yang cocok untuk
pelanggannya."
"Kalau begitu, uangnya pasti banyak."
Mata Doris memancarkan sinar aneh, tapi
penuh pengertian.
"Ah, saya tak mau berkomentar atau
bergosip."
"Tentu saja tidak," kata Egg. "Lanjutkan."
"Tapi kalau Anda tanya, perusahaan itu
tak jauh dari Queer Street. Ada seorang
laki-laki Yahudi yang menemui Madam, dan
ada satu atau dua hal yang terjadi-saya
kira Madam meminjam uang agar usahanya
bisa jalan, dengan harapan dagangannya
laku. Tapi Madam kadang-kadang kelihatan
jelek sekali. Sangat cemas. Saya tak tahu
bagaimana wajahnya tanpa makeup. Saya
rasa dia sering kali tak bisa tidur."
"Suaminya seperti apa?"
"Oh, aneh. Bukan orang baik-baik. Kami
jarang bertemu dia. Teman-teman tak
setuju dengan pendapat saya, tapi saya
merasa Madam masih mencintainya. Tentu
saja banyak hal tak enak yang keluar dari
mulut." "Misalnya?" tanya Egg.
"Ah, saya tak suka mengulang-ulang. Tak
pernah." "Tentu saja tidak. Teruskan.
Anda tadi bilang..."
"Hm, banyak yang dikatakan teman-teman.
Tentang seorang pemuda, sangat kaya dan
sangat lembek. Bukan bodoh, tapi... ya...
gampanganlah. Madam mengejar-ngejar
dia setengah mati. Dia mungkin bisa
membereskan persoalannya, karena
pemuda itu begitu lembek, penurut, tapi
tiba-tiba dia disuruh pergi berlayar.
Begitu mendadak."
"Disuruh siapa? Dokter?"
"Ya. Dari Harley Street. Kalau tak salah,
dia itu yang dibunuh di Yorkshire-diracun,
kata orang." "Sir Bartholomew Strange?"
"Ya, benar. Madam juga sedang ada di
pestanya waktu itu, dan kami, teman-
teman, bercanda sendiri, tertawa-tawa
dan berkhayal, barangkali Madam yang
melakukan-karena balas dendam! Ya, itu
sih cuma lelucon."
"Tentu saja. Lelucon gadis-gadis," kata
Egg. "Saya mengerti. Saya sendiri
berpendapat Mrs. Dacres memang pantas
jadi pembunuh-kelihatannya amat kejam."
"Ya. Dan suka marah! Kalau dia tidak
menahan emosinya, wah, tak ada yang
berani mendekat. Orang bilang suaminya
saja ketakutan-tidak heran."
"Anda pernah dengar dia bicara tentang
seseorang bernama Babbington atau suatu
tempat bernama Gilling?"
"Wah, sulit mengingatnya. Rasanya sih
tidak."
Doris melihat jamnya dan berseru,
"Wah, saya mesti cepat-cepat kembali.
Terlambat nanti."
"Sampai ketemu. Terima kasih, ya!"
"Ah, ini menyenangkan. Sampai ketemu,
Miss Lytton Gore. Mudah-mudahan artikel
itu sukses. Akan saya cari nanti."
"Usahamu akan sia-sia, kawan," pikir Egg
sambil minta bon. Dalam buku catatannya
ia menulis:

Cynthia Dacres. Diperkirakan dalam


kesulitan finansial. Punya temperamen
"kejam ". Seorang pemuda yang
diperkirakan punya affair dengannya
disuruh berlayar oleh Sir Bartholomew
Strange. Tidak menunjukkan reaksi apa-
apa ketika nama Gilling disebut. Ia juga
tak pernah bertemu dengan Mr.
Babbington sebelumnya.

"Tidak banyak yang kudapat," kata Egg


pada diri sendiri. "Ada motif untuk
melakukan pembunuhan atas Sir
Bartholomew, tapi tipis. M. Poirot
barangkali bisa memakai info ini. Aku
tidak."
BAB XIX

TAPI Egg belum selesai dengan


programnya hari itu. Langkah berikutnya
adalah pergi ke apartemen suami-istri
Dacres. Gedung apartemen itu sebuah
bangunan baru yang mahal. Jendela-
jendelanya kelihatan mewah dan penjaga-
penjaga pintunya memakai seragam
seperti jenderal-jenderal asing.
Egg tidak memasuki gedung itu. Ia
berjalan mondar-mandir di seberang jalan.
Setelah kurang-lebih satu jam, ia
menghitung langkahnya sudah mencapai
beberapa mil. Saat itu pukul setengah
enam.
Sebuah taksi melaju dan berhenti di
depan apartemen itu. Kapten Dacres
keluar dari dalamnya. Egg memberi waktu
tiga menit, lalu ia menyeberang jalan dan
masuk ke gedung itu.
Ia memijat bel pintu nomor tiga. Kapten
Dacres sendiri yang membukakan pintu. Ia
kelihatan sedang akan melepas mantel
luarnya.
"Oh," kata Egg. "Apa kabar? Anda masih
ingat saya, kan? Kita pernah bertemu di
Cornwall, dan bertemu lagi di Yorkshire."
"Ya... ya. Di dua tempat yang terjadi
kematian, kan? Silakan masuk, Miss Lytton
Gore." "Saya ingin bertemu dengan istri
Anda. Bisa?" "Dia masih di Bruton Street,
di tokonya."
"Ya, saya tahu. Saya tadi ke sana. Saya
pikir dia sudah pulang, dan barangkali
tidak keberatan kalau saya datangi. Tapi
jangan-jangan kedatangan saya akan
mengganggunya." Egg diam, mencoba
menarik perhatian. Freddie Dacres
berkata pada dirinya sendiri, "Gadis
manis. Sangat manis." Lalu ia berkata,
"Cynthia tak akan pulang sampai jam enam
lebih. Saya baru datang dari Newbury.
Menjengkelkan. Saya sedang sial dan
cepat-cepat pergi. Kita tunggu saja di
klub. Minum-minum dulu."
Egg menerima undangan itu, walaupun ia
menduga Dacres kelihatannya sudah
minum beberapa gelas alkohol sebelumnya.
Egg duduk di keremangan tempat minum.
Sambil mencicipi Martini, ia berkata,
"Menyenangkan juga tempat ini. Saya
belum pernah kemari."
Freddie Dacres tersenyum ramah. Ia suka
gadis-gadis muda dan cantik. Barangkali
tidak sesuka hal-hal tertentu lainnya, tapi
cukup menyukai hal itu.
"Saat-saat yang membingungkan, ya?"
katanya. "Maksud saya, di Yorkshire itu.
Aneh juga, ya. Seorang dokter diracun.
Mengerti maksud saya? Rasanya terbalik,
begitu. Dokter kan orang yang meracuni
orang lain."
Ia tertawa terkekeh-kekeh,
menertawakan leluconnya sendiri, lalu
memesan segelas pink gin lagi.
"Anda bisa saja," kata Egg. "Saya tak
pernah berpikir begitu."
"Ah, cuma bercanda," kata Freddie
Dacres.
"Aneh juga, ya," kata Egg. "Tiap kali kita
bertemu, ada kematian."
"Ya, memang," kata Kapten Dacres.
"Maksud Anda kematian pendeta tua itu-
siapa namanya-di rumah aktor terkenal
itu?"
"Ya. Aneh juga caranya meninggal. Begitu
mendadak."
"Ya. Membuat kacau saja," kata Dacres.
"Membuat kitajadi senewen. Orang-orang
muncul di mana-mana, dan kita jadi
berpikir, 'Giliranku berikutnya.' Huh. Kita
jadi merinding." "Anda pernah kenal Mr.
Babbington, kan? Di Gilling?"
"Tak pernah ke tempat itu. Tidak. Tak
pernah ketemu bapak tua itu. Lucu juga.
Dia meninggal seperti si Strange itu.
Aneh. Bukan karena dikerjai orang juga,
kan?" "Hm. Apa pendapat Anda?" Dacres
menggelengkan kepalanya.
"Pasti tidak," katanya pasti. "Tak ada
orang membunuh pendeta. Kalau dokter
lain." "Ya, dokter memang lain," kata Egg.
"Tentu saja. Masuk akal. Dokter itu setan-
setan yang suka campur tangan." Ia
menelan sedikit kata-katanya, lalu
mencondongkan badannya ke depan. "Tak
mau membiarkan orang lain. Tahu maksud
saya?" "Tidak," kata Egg.
"Mereka meributkan hidup orang lain.
Kekuasaannya terlalu besar. Seharusnya
dibatasi." "Saya tidak terlalu mengerti
maksud Anda."
"Nona manis, ini maksud saya. Mereka
mengunci hidup orang lain, memenjarakan
orang. Mereka jahat. Mengucilkan orang
lain dan menyembunyikan barang-
barangnya. Bagaimanapun kita meminta
dan memohon, mereka tak akan
memberikannya. Sama sekali tak mau tahu
penderitaan orang lain. Itu yang namanya
dokter."
Wajahnya gemetar dan kelihatan
menderita. Matanya memandang jauh
menerawang.
"Neraka... benar-benar neraka! Dan
mereka bilang itu penyembuhan! Berpura-
pura melakukan hal terpuji. Bedebah!"
"Apa Sir Bartholomew Strange...," kata
Egg hati-hati. Freddie Dacres langsung
menyambar,
"Sir Bartholomew Strange. Sir
Bartholomew sialan. Saya ingin tahu apa
yang sebenarnya terjadi dalam sanatorium
yang amat berharga itu. Kasus-kasus
penyakit saraf. Itu kata mereka. Orang
ada di dalamnya dan tak bisa keluar. Dan
mereka bilang orang-orang itu datang atas
kemauan sendiri. Kemauan sendiri. Hanya
karena mereka bisa menguasai orang-
orang itu pada waktu mereka ketakutan."
Ia gemetar sekarang. Mulutnya tiba-tiba
melengkung ke bawah.
"Saya kalut. Berantakan," katanya dengan
nada minta maaf. Ia memanggil pelayan
dan menyuruh Egg minum lagi. Ketika gadis
itu menolak, ia memesan untuk dirinya
sendiri.
"Hm. Lebih enak sekarang," katanya
sambil menghabiskan isi gelasnya.
"Sudah baik sekarang. Urusan brengsek
membuat saya gelisah. Saya gelisah. Saya
tak boleh membuat Cynthia marah. Dia
pesan supaya saya tidak cerita-cerita." Ia
mengangguk-anggukkan kepala satu-dua
kali. "Tak baik bercerita soal ini pada
polisi," katanya. "Mereka akan mengira
saya yang menghabisi si Strange. Eh?
Anda tahu, kan, pasti ada seseorang yang
melakukannya? Salah satu dari kita pasti
telah membunuh dia. Ah, lucu. Yang mana?
Siapa? Itu pertanyaannya."
"Barangkali Anda tahu?" kata Egg.
"Kenapa Anda bilang begitu? Kenapa saya
yang tahu?"
Ia memandang gadis itu dengan marah dan
curiga.
"Saya tak tahu apa-apa tentang soal itu.
Dan saya tak ingin menjalani perawatan
brengsek itu. Apa pun yang dikatakan
Cynthia, saya tak akan mau. Dokter itu
memang punya rencana-mereka berdua
sama-sama punya rencana. Tapi mereka
tak akan bisa membodohi saya."
Ia menarik badannya.
"Saya orang yang kuat, Miss Lytton Gore."
"Saya percaya," kata Egg. "O ya, Anda
kenal dengan seseorang bernama Mrs. de
Rushbridger yang ada di sanatorium?"
"Rushbridger? Rushbridger? Rasanya si
Strange pernah bicara tentang dia. Soal
apa, ya? Ah... apa, ya? Saya lupa." Freddie
Dacres menarik napas dan menggelengkan
kepala.
"Ingatan saya hilang. Ya, itu dia. Dan saya
punya musuh. Banyak musuh. Barangkali
mereka sedang mengintai saya sekarang."
Ia memandang berkeliling dengan gelisah.
Lalu ia mencondongkan badannya ke depan
pada Egg. "Apa yang dilakukan wanita itu
di kamar saya?" "Wanita mana?"
"Wanita berwajah kelinci. Yang menulis
drama. Waktu itu esok paginya-setelah
kematian itu. Saya baru saja sarapan. Dia
keluar dari kamar dan berjalan ke pintu di
ujung lorong, masuk ke ruang pelayan-
pelayan. Aneh, ya? Kenapa dia masuk
kamar saya? Apa yang dia kira akan
ditemukannya di kamar saya?" Ia
mencondongkan badan ke depan dengan
sungguh-sungguh. "Atau, menurut Anda,
apa yang dikatakan Cynthia memang
benar?"
"Apa yang dikatakan Mrs. Dacres?"
"Dia bilang saya cuma mengada-ada. Itu
katanya." Ia tertawa tak yakin. "Saya
memang kadang-kadang suka 'melihat'.
Tikus berwarna merah muda, ular-
semacam itulah. Tapi melihat wanita kan
lain. Saya memang melihat wanita itu.
Orang aneh-wanita itu. Matanya
menakutkan. Menembus tajam sampai ke
dalam."
Ia menyandarkan diri di punggung kursi
yang empuk. Kelihatannya ia mulai
tertidur.
Egg berdiri.
"Saya harus pergi. Terima kasih, Kapten
Dacres."
"Jangan berterima kasih. Saya senang-
sangat senang." Suaranya melemah.
"Sebaiknya aku pergi sebelum dia benar-
benar tertidur," pikir Egg.
Ia keluar dari keremangan ruangan yang
penuh asap rokok itu, ke udara malam yang
sejuk.
Beatrice, si pelayan, berkata bahwa Miss
Wills suka menyelidik dan mengintip.
Sekarang ada cerita begini dari mulut
Freddie Dacres. Apa yang dicari Miss
Wills? Apa yang ia temukan? Mungkinkah
Miss Wills tahu sesuatu?
Apakah ada sesuatu pada kasus Sir
Bartholomew Strange yang agak
membingungkan ini? Apa Freddie Dacres
diam-diam takut dan membencinya?
Kelihatannya mungkin.
Tapi dalam hal ini tak ada rasa bersalah
karena kasus Babbington.
"Aneh rasanya kalau dia tidak mati
terbunuh," kata Egg pada dirinya sendiri.
Lalu ia menarik napas tertahan ketika
matanya membaca kata-kata ini dari koran
tak jauh dari situ: HASIL PENGGALIAN
KASUS DI CORNWALL.
Cepat-cepat ia merogoh uang dan membeli
koran itu. Tanpa sengaja ia menabrak
seorang wanita yang kebetulan melakukan
hal yang sama. Ketika Egg minta maaf,
barulah ia sadar bahwa wanita itu
sekretaris Sir Charles, Miss Milray yang
efisien.
Mereka berdiri berjajar dan membaca.
Ya, berita itu ada di sana.
HASIL PENGGALIAN DI CORNWALL.
Kata-kata itu menari di depan mata Egg.
Analisis atas organ-organ tubuh... nikotin...
"Jadi, dia dibunuh," kata Egg.
"Ya ampun," kata Miss Milray. "Ini
mengerikan... mengerikan."
Wajahnya yang kurang menarik itu tambah
tidak menarik karena emosinya. Egg
memandangnya heran. Ia selalu
menganggap Miss Milray kurang
manusiawi.
"Membuat saya sedih," Miss Milray
menjelaskan. "Saya sudah lama
mengenalnya." "Mr. Babbington?"
"Ya. Ibu saya tinggal di Gilling, dulu dia
pendeta di sana. Sangat menyedihkan."
"Ya, tentu saja."
"Tapi persoalannya," kata sekretaris Sir
Charles, "saya tak tahu harus berbuat
apa." Mukanya merah ketika Egg
memandangnya dengan heran.
"Saya akan menulis ke Mrs. Babbington,"
katanya cepat. "Tapi rasanya tidak... hm...
saya tak tahu mau apa." Bagi Egg,
penjelasan itu tidak memuaskan.

BAB XX

"SEBENARNYA Anda ini kawan atau


lawan?"
Miss Sutcliffe memandang dengan mata
mencemooh sambil bicara. Ia duduk di
sebuah kursi berpunggung lurus. Rambut
abu-abunya tersisir rapi dan amat pantas
untuknya, kakinya menyilang. Mr.
Satterthwaite mengagumi kakinya yang
indah dan pergelangan kakinya yang
ramping. Miss Sutcliffe memang wanita
yang sangat menarik, karena tak pernah
benar-benar serius.
"Apa itu adil?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Ah, tentu saja adil. Anda datang ke sini
untuk mengagumi mata saya yang indah,
seperti kata orang Prancis itu, atau
sebagai laki-laki jahat yang ingin
memompa informasi dari saya tentang
pembunuhan-pembunuhan?"
"Apa Anda ragu-ragu bahwa alternatif
Anda yang pertama yang benar?" tanya
Mr. Satterthwaite sambil sedikit
membungkukkan badan.
"Bisa saja. Anda tipe orang yang
kelihatannya halus, tapi bergelimang
darah," kata sang aktris penuh emosi.
"Tidak, tidak."
"Ya, ya. Yang masih saya ragukan ialah,
kalau seseorang dianggap sebagai
pembunuh potensial, ini merupakan hinaan
atau pujian? Tapi secara keseluruhan, ini
suatu pujian."
Ia memiringkan kepalanya sedikit dan
melepas senyumnya yang amat menawan.
Mr. Satterthwaite berpikir, "Makhluk
yang menggemaskan."
Ia berkata, "Terus terang, Miss, kematian
Sir Bartholomew Strange sangat menarik
perhatian saya. Barangkali Anda tahu saya
pernah mencoba melibatkan diri dalam
urusan seperti itu."
Ia diam sejenak, barangkali berharap Miss
Sutcliffe tahu sedikit tentang
kegiatannya. Tapi wanita itu hanya
bertanya,
"Saya ingin tahu, apa benar yang
dikatakan gadis itu?" "Gadis mana dan apa
yang dia katakan?"
"Si Lytton Gore itu. Yang sangat
terpesona pada Charles. Kasihan si
Charles, dia akan melakukannya. Gadis itu
mengira lelaki tua di Cornwall itu juga
mati terbunuh." "Apa pendapat Anda
sendiri?"
"Ya, memang kejadiannya sama. Gadis itu
cerdas. Oh ya, apa Charles serius?"
"Saya kira pendapat Anda tentang soal itu
lebih berarti daripada pendapat saya,"
kata Mr. Satterthwaite. "Anda
menjengkelkan dan suka berahasia!" seru
Miss Sutcliffe. "Sekarang saya"-ia
menarik napas-"benar-benar blak-blakan."
Miss Sutcliffe mengerling tajam pada Mr.
Satterthwaite.
"Saya kenal Charles dengan baik. Saya
kenal baik bagaimana laki-laki itu.
Kelihatannya dia menunjukkan keinginan
untuk hidup tenang. Dia kelihatan tidak
main-main. Dia akan hidup seperti laki-laki
biasa. Hm, laki-laki begitu rasanya
menjemukan. Tak ada daya tariknya lagi."
"Saya justru heran, kenapa Sir Charles
belum menikah juga."
"Dia memang tak pernah menunjukkan
keinginan untuk menikah. Dia bukan tipe
seorang suami. Tapi dia laki-laki yang amat
menarik." Ia menarik napas panjang. Ada
kilatan pada matanya ketika ia memandang
Mr. Satterthwaite. "Dia dan saya pernah...
hm... apa gunanya menyangkal hal yang
telah diketahui orang? Sangat
menyenangkan ketika hal itu masih
berlangsung. Tapi kami masih tetap teman
baik. Saya rasa itu yang menyebabkan si
Lytton Gore itu memandang saya dengan
garang. Dia curiga saya masih punya
perasaan pada Charles. Apa benar?
Barangkali ya. Tapi saya belum menuliskan
memori saya secara detail seperti teman-
teman saya lainnya. Gadis-gadis modern
gampang terkejut. Ibunya pasti tidak.
Orang tak akan bisa mengejutkan wanita
Zaman Victoria. Mereka tak banyak
bicara, tapi selalu memikirkan
kemungkinan yang paling jelek."
Mr. Satterthwaite hanya berkata,
"Saya rasa kecurigaan Anda benar-Egg
Lytton Gore keliru menafsirkan sikap
Anda." Miss Sutcliffe merengut.
"Saya sendiri tak yakin saya tidak
cemburu padanya. Kami, kaum wanita,
memang seperti kucing. Berkelahi melulu...
krk... krk... meong-meong." Ia tertawa.
"Kenapa Charles tidak datang dan
menasihati saya tentang soal ini? Karena
terlalu baik barangkali. Dia pasti mengira
saya yang bersalah. Apa saya bersalah?
Apa pendapat Anda?" Ia berdiri dan
mengulurkan satu tangannya.
"Semua wewangian Arab tak akan
mengharumkan tangan kecil ini. "
Ia terdiam, lalu tiba-tiba berkata,
"Bukan. Saya bukan Lady Macbeth. Bagian
saya adalah komedi." "Kelihatannya juga
tak ada motif," kata Mr. Satterthwaite.
"Benar. Saya suka Bartholomew Strange.
Kami berteman. Dan tak ada alasan bagi
saya untuk menyingkirkan dia. Karena kami
teman, saya ingin berperan aktif memburu
si pembunuh. Tolong beritahu saya, apa
yang bisa saya lakukan."
"Begini, Miss Sutcliffe, barangkali Anda
melihat atau mendengar sesuatu yang ada
hubungannya dengan kriminalitas itu."
"Semua sudah saya ceritakan pada polisi.
Tamu-tamu baru saja datang waktu itu.
Kematiannya terjadi pada malam
pertama."
"Kepala pelayan?"
"Saya tidak memperhatikan dia."
"Ada sikap aneh dari salah seorang tamu?"
"Tidak. Cuma anak itu-siapa?-Manders.
Dia muncul begitu mendadak." "Apa Sir
Bartholomew kelihatan terkejut?"
"Ya, saya kira begitu. Dia berkata pada
saya sebelum kami makan malam.
'Kejadian itu aneh-cara baru merusak
pagar,' begitu katanya. 'Tapi,' lanjutnya,
'yang dia rusak tembok saya, bukan pagar
saya.'" "Sir Bartholomew kelihatan
riang?" "Dia amat gembira!"
"Bagaimana dengan lorong rahasia yang
Anda ceritakan pada polisi itu?"
"Kelihatannya berawal dari perpustakaan.
Sir Bartholomew berjanji akan
menunjukkannya pada saya. Tapi dia
keburu meninggal."
"Bagaimana dia bisa bicara sampai ke soal
itu?"
"Kami ngobrol tentang lemari yang baru
dibelinya. Saya bertanya, apa ada laci
rahasianya. Saya cerita saya suka laci
rahasia. Suka sekali. Dia bilang tidak ada,
dia tak punya laci rahasia di rumah itu."
"Sir Bartholomew tak pernah menyebut-
nyebut seorang pasiennya-Mrs. de
Rushbridger?" "Tidak."
"Anda kenal tempat bernama Gilling?"
"Gilling? Gilling? Ah, rasanya tidak.
Kenapa?"
"Ya... Anda pernah bertemu Mr.
Babbington sebelumnya, kan?"
"Siapa dia?"
"Orang yang meninggal di Crow's Nest."
"Oh, Pak Pendeta. Saya sudah lupa
namanya. Tidak, saya tak pernah bertemu
dia sebelumnya. Siapa yang mengatakan
pada Anda saya sudah kenal dia?"
"Seseorang yang seharusnya tahu," kata
Mr. Satterthwaite blak-blakan. Miss
Sutcliffe kelihatan senang.
"Pak tua itu. Apa mereka pikir saya punya
affair dengannya? Saya harus meluruskan
soal ini. Saya tak pernah melihat dia
sebelumnya."
Mr. Satterthwaite mau tak mau harus
puas dengan pernyataan itu.

BAB XXI

FIVE UPPER CATHCART ROAD, Tooting,


kelihatannya kurang pantas sebagai rumah
seorang penulis drama satire. Tembok di
ruangan tempat Sir Charles menunggu
kelihatan kotor, berwarna kecokelatan
dengan gambar pohon berbunga kuning di
bagian atasnya. Gordennya dari beludru
merah, dan banyak foto serta hiasan
keramik berbentuk anjing. Telepon yang
ada di situ terlindung hiasan boneka
bergaun lebar. Di situ banyak meja kecil
dan hiasan-hiasan tembaga berbentuk
aneh dari Birmingham, dan dijual sebagai
barang kerajinan dari Timur Jauh.
Miss Wills masuk ke dalam ruangan tanpa
suara, sehingga Sir Charles, yang sedang
terpaku melihat boneka panjang yang
berbaring di sofa, tidak mendengarnya.
Suaranya yang tipis berkata, "Apa kabar,
Sir Charles? Wah, ini benar-benar luar
biasa."
Sir Charles menoleh.
Miss Wills mengenakan rok lembut dan
mantel yang menggantung di tubuhnya
yang tidak luwes. Kaus kakinya agak kusut
dan sandalnya bertumit tinggi, terbuat
dari kulit.
Sir Charles menyalaminya, menerima
uluran rokok, dan duduk di sofa dekat
boneka panjang itu. Miss Wills duduk di
depannya. Cahaya yang masuk lewat
jendela dipantulkan kacamatanya yang tak
bergagang.
"Aneh rasanya Anda datang kemari," kata
Miss Wills. "Ibu saya pasti senang. Dia
suka melihat teater, terutama kalau
cerita-ceritanya romantis. Dia sering
berbicara tentang drama di mana Anda
bermain sebagai pangeran, di universitas.
Dia pergi melihat pertunjukan siang dan
makan cokelat-itu hobinya. Dia sangat
menyukainya."
"Ah, menyenangkan sekali," kata Sir
Charles. "Barangkali Anda belum pernah
mengalami bagaimana rasanya masih
diingat orang. Ingatan publik biasanya
tidak lama."
Sir Charles menarik napas panjang.
"Dia pasti senang bertemu dengan Anda,"
kata Miss Wills. "Miss Sutcliffe pernah
kemari, dan dia senang sekali bertemu
dengannya." "Angela ke sini?"
"Ya. Dia akan memainkan drama saya.
Anjing Kecil Tertawa. "
"Ah, ya," kata Sir Charles. "Saya sudah
baca. Judulnya membuat orang
penasaran."
"Syukurlah Anda suka. Miss Sutcliffe juga
suka. Itu sebuah versi modern dari
nyanyian anak-anak-banyak embel-
embelnya dan tak masuk akal-skandal hey
diddle-diddle. Tentu saja semuanya
berpusat pada peran yang dimainkan Miss
Sutcliffe-semua menari mengitarinya, itu
saja."
Sir Charles berkata,
"Lumayan. Dunia saat ini memang dalam
kondisi seperti yang digambarkan lagu
anak-anak yang gila. 'Si anjing kecil
tertawa melihatnya,' eh?" Dan tiba-tiba ia
berpikir, "Tentu saja. Wanita inilah anjing
kecil itu. Dia melihat dan tertawa."
Cahaya itu beralih dari kacamata Miss
Wills. Sir Charles melihat mata biru pucat
itu menembusnya dengan tajam. "Wanita
ini punya rasa humor yang kejam," pikir
Sir Charles. Ia berkata,
"Apa kira-kira Anda tahu kenapa saya
datang kemari?"
"Hm, saya kira bukan sekadar menjenguk
saya," katanya nakal.
Sir Charles membandingkan sejenak
perbedaan antara kata-kata yang ditulis
dan diucapkan. Di kertas, Miss Wills
kelihatan cerdas dan sinis; di dalam
ucapan ia kedengaran nakal dan tak
berdosa.
"Sebenarnya Satterthwaite yang mulai,"
kata Sir Charles. "Dia menganggap dirinya
ahli pengamat kepribadian manusia."
"Dia memang punya pandangan luas dan
tajam tentang manusia," kata Miss Wills.
"Saya kira itu memang hobinya."
"Dan dia sangat yakin kalau ada sesuatu
yang penting untuk diketahui waktu di
Melfort Abbey itu, Anda pasti tahu."
"Itu yang dia katakan?" "Ya."
"Terus terang, saya memang tertarik,"
kata Miss Wills pelan. "Karena sebelumnya
saya tak pernah mengalami berada di
tempat pembunuhan dan begitu dekat.
Seorang penulis harus merekam semuanya,
kan?" "Saya rasa itu dalil yang amat
terkenal." "Jadi, tentu saja saya
memperhatikan sebisa saya."
Ini rupanya yang dikatakan Beatrice, Miss
Wills suka menyelidik dan mengintip.
"Tentang tamu?"
"Tentang tamu-tamu."
"Dan apa yang Anda perhatikan?"
Kacamata itu bergeser.
"Sebenarnya saya tak menemukan apa-apa.
Kalau ada, pasti saya beritahukan pada
polisi," katanya. "Tapi Anda
memperhatikan banyak hal."
"Saya memang begitu. Memperhatikan
macam-macam. Lucu juga, ya?" Ia tertawa.
"Dan Anda memperhatikan-apa?"
"Oh, tak ada apa-apa. Maksud saya, tak
ada yang bisa dianggap penting. Hanya
beberapa sikap aneh manusia. Saya pikir,
orang itu menarik. Masing-masing sangat
khas." "Khas dalam hal apa?"
"Khas karena kepribadiannya sendiri. Oh,
saya tak bisa menjelaskannya. Saya sulit
bicara." Ia tertawa lagi.
"Pena Anda lebih berbahaya dari lidah
Anda," kata Sir Charles sambil tersenyum.
"Terima kasih, Sir Charles."
"Ya. Dengan pena di tangan, Anda bisa
bersikap tanpa ampun."
"Anda jahat, Sir Charles. Saya kira
Andalah yang tak kenal ampun pada saya."
"Aku harus keluar dari hubungan ini," pikir
Sir Charles. Ia berkata,
"Jadi, Anda tidak menemukan sesuatu
yang konkret, Miss Wills?"
"Tidak, tidak. Setidaknya ada satu hal.
Sesuatu yang saya lihat dan seharusnya
saya laporkan pada polisi, tapi saya lupa."
"Apa itu?"
"Kepala pelayan. Di pergelangan tangan
kirinya ada semacam tanda, seperti kena
strawberry. Saya melihatnya ketika dia
menyodorkan sayuran. Saya rasa itu bisa
dianggap penting."
"Pasti sangat penting. Polisi sedang
bekerja keras melacak si Ellis. Ah, Anda
benar-benar luar biasa, Miss Wills. Tak
ada seorang tamu pun atau seorang
pelayan pun yang menyebut-nyebut hal
itu."
"Biasanya orang tidak menggunakan mata
mereka dengan baik, kan?" kata Miss
Wills.
"Di mana tepatnya tanda itu? Dan
seberapa besarnya?"
"Coba Anda ulurkan pergelangan Anda."
Sir Charles mengulurkan tangannya.
"Terima kasih. Di sini letaknya." Miss
Wills menunjukkan jarinya dengan yakin.
"Besarnya kira-kira seperti sekeping uang
penny, dan bentuknya seperti Australia."
"Terima kasih. Itu sangat jelas," kata Sir
Charles sambil menarik tangannya dan
menutup kancing lengan bajunya. "Apa
saya perlu memberitahu polisi?"
"Tentu saja. Itu mungkin hal yang paling
penting untuk melacak si pembunuh," kata
Sir Charles sungguh-sungguh. "Di buku-
buku detektif biasanya ada tanda-tanda
khusus untuk mengidentifikasi penjahat.
Tapi dalam kenyataan kok sulit, ya?"
"Dalam cerita-cerita, tandanya biasanya
bekas luka," kata Miss Wills. "Tanda yang
dibawa sejak lahir juga bagus," kata Sir
Charles. Ia kelihatan gembira.
"Persoalannya adalah," katanya
melanjutkan, "orang biasanya tak bisa
dipastikan. Tak ada patokannya." Miss
Wills memandangnya dengan wajah
bertanya.
"Misalnya Mr. Babbington," lanjut Sir
Charles. "Kepribadiannya meragukan. Sulit
dipastikan." "Tangannya sangat khas,"
kata Miss Wills. "Saya sebut saja tangan
orang terpelajar. Sedikit cacat karena
rematik, tapi jari dan kukunya bagus."
"Ah, Anda benar-benar pengamat yang
luar biasa. Tapi... tentu saja. Anda sudah
kenal dia sebelumnya, kan?" "Kenal Mr.
Babbington?"
"Ya. Saya ingat dia bilang begitu. Di mana
ya, dia pernah kenal Anda?" Miss Wills
menggelengkan kepalanya dengan pasti.
"Bukan saya. Anda pasti keliru. Saya
belum pernah melihat dia sebelum itu."
"Ya, pasti suatu kekeliruan. Kalau tak
salah di Gilling."
Ia memandang Miss Wills dengan tajam,
tapi wanita itu kelihatan tenang-tenang
saja. "Tidak," katanya.
"Anda pernah berpikir ada kemungkinan
dia juga dibunuh?"
"Saya tahu Anda dan Miss Lytton Gore
berpikir begitu-atau setidaknya Anda
yang berpikir begitu." "Oh... dan... eh... apa
pendapat Anda?" "Rasanya tak mungkin,"
kata Miss Wills.
Sir Charles bingung karena Miss Wills
jelas tak berminat pada pembicaraan itu.
Ia membelokkan percakapan. "Apa Sir
Bartholomew pernah menyebut-nyebut
nama Mrs. de Rushbridger?" "Rasanya
tidak."
"Dia salah seorang pasien di sanatorium.
Menderita tekanan mental dan kehilangan
ingatan." "Dia pernah menyebut suatu
kasus tentang kehilangan ingatan," kata
Miss Wills. "Dia bilang, Anda bisa
menghipnotis orang dan mengembalikan
ingatan yang hilang itu." "Benarkah? Apa
itu punya arti?"
Sir Charles mengernyitkan kening,
berpikir. Miss Wills diam saja. "Tak ada
lagi yang bisa Anda ceritakan? Tentang
tamu-tamu itu?" Sir Charles merasa Miss
Wills perlu berpikir sejenak sebelum
menjawab. "Tidak."
"Tentang Mrs. Dacres? Atau Kapten
Dacres? Atau Miss Sutcliffe? Atau Mr.
Manders?" Ia memperhatikan wanita itu
baik-baik ketika menyebut nama-nama itu
satu per satu. Ia merasa mata wanita itu
berkejap sekali, tapi ia tidak terlalu yakin.
"Rasanya tak ada lagi yang bisa saya
ceritakan, Sir Charles." "Oh, baiklah." Ia
berdiri. "Satterthwaite pasti kecewa."
"Sayang sekali," kata Miss Wills dengan
tegas.
"Maaf. Saya telah mengganggu Anda. Pasti
Anda sedang sibuk menulis." "Memang
benar." "Sebuah drama?"
"Ya. Terus terang saya berpikir untuk
memakai beberapa karakter yang ada di
pesta di Melfort Abbey itu." "Apa itu
bukan fitnah?"
"Jangan khawatir, Sir Charles. Orang
biasanya tidak mengenal diri mereka
sendiri." Ia tertawa. "Apabila-seperti
yang Anda katakan tadi-orang itu jahat."
"Maksud Anda, kita semua mempunyai ide
yang berlebihan tentang kepribadian
masing-masing dan tidak akan mengenali
kepribadian sebenarnya apabila
digambarkan secara cukup brutal? Kalau
begitu, saya benar rupanya. Anda wanita
jahat."
Miss Wills tertawa.
"Anda tak perlu takut, Sir Charles.
Wanita biasanya tidak jahat pada laki-
laki, kecuali pada laki-laki tertentu.
Mereka hanya jahat pada wanita lain."
"Anda rupanya sudah memakai pisau
analisis Anda untuk membedah seorang
wanita. Yang mana? Ah, barangkali saya
bisa menebak. Cynthia bukanlah orang
yang dicintai sesama jenisnya."
Miss Wills tidak berkata apa-apa. Ia
hanya tersenyum. Senyum seekor kucing.
"Anda biasanya mendiktekan atau menulis
sendiri naskah Anda?"
"Oh, saya menulisnya, lalu mengirimnya
untuk diketik."
"Seharusnya Anda punya sekretaris."
"Barangkali. Apa Anda masih
mempekerjakan Miss... Miss Milray yang
pandai itu?"
"Ya, masih. Dia pergi sebentar untuk
menjenguk ibunya di desa, tapi sekarang
sudah kembali. Wanita yang sangat
efisien."
"Ya, saya kira begitu. Dan agak impulsif."
"Impulsif? Miss Milray?"
Sir Charles memandang heran. Tak pernah
terlintas di benaknya untuk
mengasosiasikan impuls dengan Miss
Milray,
"Barangkali kadang-kadang saja," kata
Miss Wills. Sir Charles menggelengkan
kepalanya.
"Miss Milray robot yang sempurna. Sampai
ketemu lagi, Miss Wills. Maaf saya telah
mengganggu Anda. Jangan lupa
memberitahu polisi tentang tanda itu."
"Tanda di pergelangan tangan kanan
kepala pelayan minum? Tidak, saya takkan
lupa." "Sampai ketemu. Sebentar! Anda
bilang tangan kanannya Tadi Anda bilang
tangan kirinya.. " "Masa? Ah, saya memang
tolol." "Yang mana yang benar?"
Miss Wills mengernyitkan dahi dan
setengah menutup matanya.
"Sebentar. Saya duduk begitu... dan dia...
Anda tidak keberatan memberikan piring
tembaga itu, Sir Charles? Pura-pura itu
piring sayuran. Sebelah kiri."
Sir Charles memberikan piring itu seperti
diminta. "Kubis, Madam?"
"Terima kasih," kata Miss Wills. "Saya
yakin sekarang. Tangan kirinya, seperti
saya katakan mula-mula. Tolol amat saya."
"Tidak, tidak," kata Sir Charles. "Kanan
dan kiri memang selalu membingungkan."
Ia pamit untuk ketiga kalinya.
Ketika menutup pintu, ia menoleh ke
belakang. Miss Wills tidak melihatnya.
Wanita itu berdiri di tempat ia
meninggalkannya tadi. Matanya
menerawang ke perapian dan bibirnya
menyunggingkan senyum puas penuh
dengki. Sir Charles terkejut.
"Dia tahu sesuatu," katanya pada dirinya
sendiri. "Dia pasti tahu sesuatu. Dan dia
tak mau mengatakannya-tapi apa yang dia
ketahui?"

BAB XXII
DI KANTOR Messrs. Speir & Ross, Mr.
Satterthwaite mengatakan ingin bertemu
dengan Mr. Oliver Manders dan
memberikan kartu namanya.
Ia dibawa masuk ke sebuah ruangan kecil.
Oliver sedang duduk di belakang meja
tulis. Pemuda itu berdiri dan mengulurkan
tangan menyalaminya. "Anda baik sekali
mau menengok saya," katanya. Nada
suaranya menyatakan,
"Saya harus mengatakan itu, walaupun
sebenarnya saya bosan." Tapi Mr.
Satterthwaite tak mudah dipatahkan.
Ia duduk, bersin dengan sengaja, dan
mengintip dari atas saputangannya sambil
berkata, "Baca cerita tadi pagi?"
"Maksud Anda berita situasi keuangan
yang baru? Hm, dolar..."
"Bukan dolar," kata Mr. Satterthwaite.
"Kematian. Hasil penggalian di Loomouth.
Babbington ternyata diracun. Dengan
nikotin."
"Oh, itu. Ya. Saya membacanya. Dan Egg
yang energik itu pasti senang. Dia selalu
ngotot itu kasus pembunuhan." "Anda
tidak tertarik?"
"Selera saya tidak kasar. Dan
pembunuhan..." Ia mengangkat bahunya.
"Begitu keras dan tidak artistik." "Tidak
selalu tidak artistik," kata Mr.
Satterthwaite. "Tidak? Yah, barangkali
memang tidak."
"Itu tergantung siapa yang melakukan
pembunuhan. Anda misalnya-saya yakin-
akan melakukannya secara artistik."
"Terima kasih, Anda baik sekali," geram
Oliver.
"Tapi terus terang saja, Nak, saya tidak
terlalu terkesan dengan kecelakaan yang
Anda buat. Saya kira polisi pun
berpendapat sama."
Mereka diam sesaat, lalu terdengar suara
pena jatuh ke lantai.
Oliver berkata,
"Maaf. Saya tidak mengerti."
"Ah, pertunjukan Anda yang tidak artistik
di Melfort Abbey itu. Saya cuma ingin
tahu, kenapa Anda melakukan itu."
Mereka diam lagi. Lalu Oliver berkata,
"Anda bilang polisi curiga?" Mr.
Satterthwaite mengangguk.
"Kelihatannya agak mencurigakan, kan?"
katanya manis. "Tapi barangkali Anda
punya penjelasan yang baik."
"Saya punya penjelasan," kata Oliver
pelan. "Saya tak tahu penjelasan itu baik
atau tidak."
"Boleh saya menilainya?"
Hening sejenak, lalu Oliver berkata,
"Saya ke sana dengan cara begitu atas
permintaan Sir Bartholomew sendiri."
"Apa?" Mr. Satterthwaite heran.
"Aneh, kan? Tapi itulah yang sebenarnya.
Saya menerima surat darinya, dengan
saran agar saya membuat kecelakaan dan
minta bantuan. Dia bilang tak bisa
menerangkan alasannya secara tertulis,
tapi akan memberitahu saya pada
kesempatan pertama."
"Dan dia sudah memberitahu?"
"Belum. Saya sampai di sana tepat
sebelum makan malam. Dia tidak sendirian.
Selesai makan malam dia... dia meninggal."
Keletihan tidak lagi terlihat pada sikap
Oliver. Matanya yang hitam memandang
tajam pada Mr. Satterthwaite.
Kelihatannya ia ingin mengetahui reaksi
yang ditimbulkan kata-katanya. "Surat itu
masih ada?" "Tidak. Sudah saya robek-
robek."
"Sayang," kata Mr. Satterthwaite datar.
"Dan Anda tidak mengatakan apa-apa pada
polisi?" "Tidak. Semuanya kelihatan... hm,
agak fantastis." "Memang fantastis."
Mr. Satterthwaite menggelengkan
kepalanya. Mungkinkah Bartholomew
Strange menulis surat seperti itu?
Rasanya aneh. Cerita itu punya sentuhan
melodramatis yang bertolak belakang
dengan sifat dokter itu yang periang dan
berakal sehat.
Ia memandang pemuda itu. Oliver masih
memandanginya, Mr. Satterthwaite
berpikir, "Dia ingin tahu, apa aku percaya
pada ceritanya."
Ia berkata, "Dan Sir Bartholomew tidak
menyebutkan alasan permintaannya?"
"Sama sekali tidak."
"Cerita yang luar biasa."
Oliver tidak berkata apa-apa.
"Tapi Anda mau memenuhi permintaan
itu?"
Sikapnya yang lama, seperti orang letih,
muncul kembali.
"Ya, kelihatannya aneh. Terus terang saja,
saya jadi ingin tahu."
"Ada yang lainnya?" tanya Mr.
Satterthwaite.
"Apa maksud Anda-yang lainnya?"
Mr. Satterthwaite sendiri tidak tahu
betul apa yang dimaksudnya. Ia hanya
bicara secara spontan.
"Maksud saya," katanya, "apa ada hal lain
yang memberatkan Anda?" Mereka diam.
Lalu pemuda itu mengangkat bahu.
"Sebaiknya saya ceritakan semua saja.
Wanita itu pasti tak akan bisa menahan
lidahnya." Mr. Satterthwaite memandang
dengan wajah bertanya.
"Itu pada pagi hari setelah terjadi
pembunuhan. Saya bicara dengan Anthony
Astor. Saya mengeluarkan buku catatan
saya dan ada sesuatu yang jatuh dari
dalamnya. Dia mengambil benda itu dan
mengembalikannya pada saya." "Dan benda
itu?"
"Sialnya, dia melihatnya sebelum
mengembalikannya pada saya. Guntingan
koran tentang nikotin-nikotin itu
berbahaya, dan sebagainya."
"Bagaimana Anda bisa tertarik pada hal
itu?"
"Sebetulnya saya tidak tertarik.
Barangkali sudah lama saya menyimpan
guntingan itu, tapi saya tak ingat. Aneh,
ya?"
Mr. Satterthwaite berpikir, "Ceritanya
tidak meyakinkan."
"Saya kira dia menceritakan itu pada
polisi," lanjut Oliver Manders.
Mr. Satterthwaite menggelengkan kepala.
"Saya kira tidak. Kelihatannya dia wanita
yang... hm, suka menyimpan untuk dirinya
sendiri. Dia mengumpulkan pengetahuan."
Tiba-tiba Oliver Manders mencondongkan
badannya ke depan. "Saya tidak bersalah,
Sir-benar-benar tak bersalah."
"Saya belum pernah mengatakan Anda
bersalah," kata Mr. Satterthwaite samar-
samar.
"Tapi ada orang yang mengatakan begitu-
seseorang pasti telah melakukannya. Dan
menceritakannya pada polisi." Mr.
Satterthwaite menggelengkan kepalanya.
"Tidak, tidak."
"Kalau begitu, kenapa Anda datang
kemari?"
"Sebagian karena hasil penyelidikan saya
di sana," kata Mr. Satterthwaite dengan
sombong. "Dan sebagian karena saran
seorang kawan." "Kawan yang mana?"
"Hercule Poirot."
"Orang itu!" Pernyataan itu langsung
keluar dari mulut Oliver. "Apa dia sudah
kembali ke Inggris?" "Ya."
"Kenapa dia kembali?"
Mr. Satterthwaite berdiri.
"Kenapa seekor anjing memburu?"
tanyanya.
Ia puas dengan kata-kata itu. Lalu keluar.
BAB XXIII

HERCULE POIROT duduk di kursinya yang


nyaman di kamar mewah Hotel Ritz. Ia
mendengarkan. Egg duduk di tangan
sebuah kursi, Sir Charles berdiri di depan
perapian, dan Mr. Satterthwaite duduk
agak jauh, memperhatikan mereka.
"Semua gagal," kata Egg. Poirot
menggelengkan kepalanya pelan-pelan.
"Tidak, tidak. Anda terlalu membesar-
besarkan. Tentang hubungan dengan Mr.
Babbington, Anda memang tidak mendapat
apa-apa. Tapi Anda telah mengumpulkan
informasi lain yang lebih baik." "Miss Wills
tahu sesuatu," kata Sir Charles. "Saya
berani sumpah."
"Kapten Dacres juga tak sadar. Mrs.
Dacres sedang memerlukan uang, dan Sir
Bartholomew menutup kemungkinan
baginya untuk memperoleh uang itu."
"Apa pendapat Anda tentang cerita si
Manders?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Kelihatannya aneh dan sama sekali tidak
menunjukkan sikap Sir Bartholomew yang
biasanya."
"Maksud Anda dia bohong?" kata Sir
Charles terus terang.
"Ada banyak macam kebohongan," kata
Hercule Poirot.
Ia diam sesaat, lalu berkata,
"Miss Wills-apa dia menulis drama untuk
Miss Sutcliffe?"
"Ya, malam pertamanya nanti Rabu depan."
"Ah!"
Ia diam lagi. Egg berkata,
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan?"
Laki-laki kecil itu tersenyum padanya.
"Hanya ada satu hal yang perlu dilakukan-
berpikir."
"Berpikir?" seru Egg. Suaranya terdengar
sebal.
Poirot memandangnya.
"Ya, memang itu. Berpikir! Dengan
berpikir, semua persoalan bisa
diselesaikan." "Apa kita tak bisa
melakukan sesuatu?"
"Kegiatan untuk Anda, Mademoiselle?
Tentu saja banyak yang bisa Anda lakukan.
Misalnya Gilling. Tempat Mr. Babbington
tinggal cukup lama. Anda bisa melakukan
penyelidikan di sana. Anda bilang ibu Miss
Milray tinggal di sana dan menderita
cacat. Seorang cacat tahu banyak. Dia
banyak mendengar dan tidak akan
melupakan sesuatu. Coba Anda tanyai dia.
Barangkali Anda akan mendapat sesuatu.
Siapa tahu?"
"Anda sendiri tak akan melakukan apa-
apa?" tanya Egg ngotot.
Poirot mengedipkan matanya.
"Anda ingin saya juga aktif? Eh bien, saya
akan melakukan keinginan Anda. Tapi saya
tak akan meninggalkan tempat ini. Di sini
nyaman. Tapi akan saya ceritakan apa yang
akan saya lakukan. Saya akan membuat
pesta. Pesta sherry. Itu populer, kan?"
"Pesta sherry?"
"Precisement. Dan saya akan mengundang
Mrs. Dacres, Kapten Dacres, Miss
Sutcliffe, Miss Wills, Mr. Manders, dan
ibu Anda yang baik, Mademoiselle." "Dan
saya?"
"Tentu saja. Kita semua termasuk."
"Hore!" seru Egg. "Anda tak bisa
mengelabui saya, M. Poirot. Ada sesuatu
yang akan terjadi pada pesta itu, kan?"
"Lihat saja nanti," kata Poirot. "Tapi
jangan terlalu berharap, Mademoiselle.
Sekarang saya ingin bicara dengan Sir
Charles, sebab saya ingin meminta
beberapa nasihat."
Ketika sedang berdiri menunggu lift
bersama Mr. Satterthwaite, Egg berkata
penuh semangat,
"Bagus sekali-seperti di buku-buku
detektif. Semua orang akan berkumpul.
Kemudian dia akan mengatakan siapa yang
melakukannya."
"Entahlah," kata Mr. Satterthwaite.
Pesta sherry itu diadakan Senin malam.
Undangan itu diterima semua orang.
Miss Sutcliffe yang menawan dan suka
blak-blakan itu tersenyum nakal sambil
melihat sekelilingnya.
"Ini sarang labah-labah, M. Poirot. Dan
kami ini lalat-lalat kecil yang sedang
masuk perangkap. Saya yakin Anda akan
memberikan ringkasan kasus itu, lalu
dengan tiba-tiba Anda akan menunjuk saya
dan berkata, 'Engkaulah wanita itu,' dan
semua orang akan berkata, 'Dia yang
melakukannya,' lalu saya akan
mencucurkan air mata dan mengaku
karena saya mudah dipengaruhi kata-kata.
Oh, M. Poirot, saya takut pada Anda."
"Quelle historie!" seru Poirot. Ia sibuk
dengan gelas-gelas dan tempat minuman.
Ia memberikan segelas sherry pada Miss
Sutcliffe sambil membungkuk padanya.
"Ini pesta kecil yang akrab. Janganlah kita
bicara tentang pembunuhan, darah, dan
racun. La, la! Wah, hal itu merusak selera."
Ia memberikan segelas sherry pada Miss
Milray yang murung, yang menemani Sir
Charles dan berdiri dengan wajah
menakutkan.
"Voila, " kata Poirot setelah selesai
membagi-bagi keramahannya. "Mari kita
lupakan kejadian yang menyedihkan ketika
kita bertemu pertama kali. Kita sambut
pesta dengan semangat. Kita makan,
minum, dan bersenang-senang karena
besok kita mati. Ah, malheur. Saya sebut-
sebut kematian lagi. Madam," ia
membungkuk pada Mrs. Dacres, "boleh
saya memberi ucapan selamat pada Anda
dan gaun Anda yang indah?"
"Buat kau, Egg," kata Sir Charles.
"Cheerio, " kata Freddie Dacres.
Setiap orang menggumamkan sesuatu.
Kegembiraan itu kelihatannya dipaksakan.
Setiap orang berusaha tampak gembira
dan tak peduli. Hanya Poirot sendiri yang
kelihatan wajar. Ia berkata dengan riang,
"Saya lebih memilih sherry daripada
koktail dan ini seribu kali lebih baik dari
wiski. Ah, quelle horreur, wiski. Tapi
dengan minum wiski kita sebenarnya
merusak-sangat merusak-selera. Anggur
Prancis yang halus-untuk menikmatinya,
Anda tak boleh-Ah, qu'est-ce qu'il ya?"
Sebuah suara aneh terdengar, seperti
suara orang tersedak. Semua mata
memandang Sir Charles karena ia berdiri
dengan badan limbung dan wajah pucat.
Gelas di tangannya jatuh ke karpet. Ia
melangkah seperti orang buta, lalu
pingsan.
Mereka diam terpaku. Lalu Angela
Sutcliffe berteriak dan Egg berjalan ke
depan. "Charles!" seru Egg. "Charles!"
Ia berusaha maju mendekat. Dengan
lembut Mr. Satterthwaite menahannya.
"Oh, Tuhan!" jerit Lady Mary. "Jangan
lagi!" Angela Sutcliffe berseru,
"Diajuga diracun! Mengerikan! Oh, Tuhan.
Ini mengerikan!"
Tiba-tiba sambil berguling di sofa ia mulai
menangis dan tertawa-suaranya
mengerikan.
Poirot segera menguasai keadaan. Ia
berjongkok di dekat pria yang tak
berdaya itu. Yang lain mundur ketika ia
memeriksa. Ia berdiri dan menjentikkan
debu di lutut celananya. Ia memandang
berkeliling pada orang-orang itu. Mereka
semua diam, hanya terdengar isak tangis
Angela Sutcliffe.
"Kawan saya...," Hercule Poirot mulai
bicara.
Tapi ia tak bisa melanjutkan karena Egg
langsung menyelanya,
"Tolol! Anda benar-benar sok tahu dan
tolol! Pura-pura jago dan tahu segalanya!
Sekarang Anda biarkan ini terjadi! Satu
pembunuhan lagi! Di depan hidung Anda
sendiri! Kalau semua dibiarkan, pasti tak
akan terjadi hal ini! Andalah yang
membunuh Charles... Anda... Anda...
Anda..."
Ia diam, tak bisa mengeluarkan kata-kata
lagi.
Poirot menganggukkan kepalanya dengan
sedih.
"Benar, Mademoiselle. Saya mengakuinya.
Sayalah yang membunuh Sir Charles. Tapi,
Mademoiselle, saya pembunuh khusus.
Saya bisa membunuh, dan saya bisa
menghidupkan." Ia berbalik dan dengan
nada suara berbeda, dengan suara biasa
sehari-hari, ia berkata,
"Sebuah pertunjukan yang luar biasa, Sir
Charles. Selamat untuk kehebatan Anda.
Barangkali sekarang Anda bersedia
membuka tirai."
Sambil tertawa aktor itu meloncat
berdiri, lalu membungkuk dengan sikap
mencemooh.
Egg tersentak.
"M. Poirot, Anda... Anda keterlaluan!"
"Charles!" jerit Angela Sutcliffe. "Kau
memang sialan!"
"Tapi kenapa..."
"Bagaimana..."
"Kok..."
Poirot meminta mereka diam dengan
mengangkat tangannya.
"Messieurs, Mesdames, saya mohon maaf
pada Anda semua. Sandiwara ini penting
untuk membuktikan pada Anda semua, dan
juga pada diri saya sendiri, suatu fakta
yang menurut pemikiran saya memang
benar.
"Begini. Di nampan gelas-gelas ini saya
mencampurkan satu sendok teh air biasa.
Air itu pura-pura nikotin murni. Gelas-
gelas ini sama seperti gelas milik Sir
Charles Cartwright dan Sir Bartholomew
Strange. Karena bentuknya yang berat,
setitik cairan tak berwarna yang
dimasukkan ke dalamnya jadi tidak
kelihatan. Kemudian bayangkan gelas
anggur Sir Bartholomew Strange. Setelah
diletakkan di meja, seseorang
memasukkan sejumlah nikotin murni ke
dalamnya. Itu bisa dilakukan siapa saja-
kepala pelayan, pelayan yang lain, atau
tamu yang menyelinap ke ruang makan
ketika dia akan turun ke bawah. Makanan
pencuci mulut datang, anggur diedarkan,
dan gelas diisi. Sir Bartholomew minum,
dan dia meninggal.
"Malam ini kita memainkan tragedi ketiga-
tragedi pura-pura. Saya minta Sir Charles
memainkan peran korban. Dan dia telah
melakukannya dengan luar biasa.
Sekarang, seandainya ini bukan pura-pura,
tapi sebenarnya... Sir Charles meninggal.
Tindakan apa yang akan dilakukan polisi?"
Miss Sutcliffe berteriak,
"Tentu saja gelas itu." Ia menganggukkan
kepala pada gelas yang tergeletak di
lantai, yang jatuh dari tangan Sir Charles.
"Anda cuma memberi air. Tapi kalau ada
nikotinnya..."
"Kita anggap saja itu nikotin." Poirot
menyentuh gelas itu pelan-pelan dengan
ujung kakinya. "Anda berpendapat polisi
akan menganalisis gelas ini dan menemukan
bekas nikotin?"
"Tentu saja."
Poirot menggelengkan kepalanya perlahan-
lahan. "Anda keliru. Tak akan ada nikotin
di situ." Mereka semua terpana
memandangnya.
"Begini," ia tersenyum, "itu bukanlah gelas
yang tadi dipegang Sir Charles." Dengan
senyum minta maaf ia mengeluarkan
sebuah gelas dari dalam kantong belakang
jasnya yang panjang. "Ini gelas yang
dipakainya tadi." Ia melanjutkan,
"Ini merupakan teori sederhana tukang
sulap. Perhatian tak bisa ada di dua
tempat pada waktu yang sama. Untuk main
sulap, saya harus mengalihkan perhatian
ke tempat lain. Memang ada saat yang
bagus. Ketika Sir Charles jatuh dan
meninggal, setiap mata memandang
kepadanya. Setiap orang mendekat ingin
melihatnya. Dan tak seorang pun- sama
sekali tak ada-yang memperhatikan
Hercule Poirot. Pada saat itulah saya
mengganti gelas dan tak seorang pun
melihatnya.
"Jadi, saya sudah membuktikan satu hal.
Ada satu saat seperti itu di Crow's Nest.
Ada saat seperti itu di Melfort Abbey.
Karena itu, tak ada apa-apa di gelas
koktail maupun di gelas anggur." Egg
berteriak,
"Siapa yang menggantinya?"
Sambil memandangnya, Poirot menjawab,
"Itu masih kita cari."
"Anda tidak tahu?"
Poirot mengangkat bahu.
Dengan agak ragu, para tamu membuat
isyarat untuk pulang. Sikap mereka agak
dingin. Mereka merasa telah dibodohi.
Dengan isyarat, Poirot meminta mereka
tinggal dulu.
"Tunggu sebentar. Ada satu hal lagi yang
harus saya katakan. Malam ini, terus
terang kita telah memainkan sebuah
komedi. Tapi komedi itu bisa menjadi
tragedi. Dalam kondisi tertentu, si
pembunuh akan melakukan serangan
ketiga. Saya ingin mengimbau pada Anda
semua. Kalau ada di antara Anda yang tahu
sesuatu-sesuatu yang bisa merupakan
informasi berharga mengenai kejahatan
ini, saya minta agar bicara sekarang. Kalau
Anda menyimpan sesuatu pada kondisi ini,
itu bisa membahayakan Anda sendiri.
Karena itu, saya minta sekali lagi, agar
Anda bicara sebelum terlambat."
Sir Charles merasa imbauan Poirot secara
khusus ditujukan pada Miss Wills. Kalau
memang begitu, pasti tak ada hasilnya.
Tak seorang pun menjawab atau bicara.
Poirot menarik napas. Tangannya turun.
"Baiklah kalau begitu. Saya telah memberi
peringatan. Saya tak bisa apa-apa lagi.
Ingat, tetap diam berarti terancam
bahaya."
Tapi masih tak ada orang yang bicara.
Tamu-tamu itu pun pulang dengan sikap
kaku. Egg, Sir Charles, dan Mr.
Satterthwaite tetap tinggal.
Egg masih belum memaafkan Poirot. Ia
duduk diam, pipinya merah dan matanya
marah. Ia tak mau memandang Sir
Charles.
"Pekerjaan bagus, Poirot," kata Sir
Charles memuji.
"Mengagumkan," kata Mr. Satterthwaite
geli. "Saya tak akan percaya kalau tidak
melihat sendiri bagaimana Anda menukar
gelas itu."
"Itulah," kata Poirot, "saya tidak
mengatakannya pada siapa pun.
Eksperimen itu adil, hanya dengan cara
begitu." "Apakah itu satu-satunya alasan
Anda merencanakan pertunjukan tadi-
untuk melihat apa bisa dilakukan tanpa
diketahui orang lain?"
"Yah, tidak sepenuhnya begitu mungkin.
Saya punya tinjauan lain." "Apa?"
"Saya ingin melihat ekspresi wajah
seseorang ketika Sir Charles jatuh dan
meninggal." "Yang mana?" tanya Egg
tajam. "Ah, itu rahasia saya."
"Dan Anda memperhatikan wajah orang
itu?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Ya."
"Jadi?"
Poirot tidak menjawab. Ia hanya
menggelengkan kepala. "Anda tak mau
memberitahukan apa yang Anda lihat?"
Poirot berkata pelan,
"Saya melihat ekspresi orang yang sangat
heran." Egg menarik napasnya panjang-
panjang. "Maksud Anda, Anda tahu siapa
pembunuhnya?" "Bisa Anda katakan
begitu, Mademoiselle." "Kalau begitu...
kalau begitu... Anda tahu semuanya."
Poirot menggelengkan kepala.
"Tidak. Bahkan sebaliknya. Saya tidak
tahu apa-apa sama sekali. Karena saya
tidak tahu mengapa Stephen Babbington
dibunuh. Kalau saya tak tahu hal itu, saya
tak bisa membuktikan apa-apa. Saya tak
bisa tahu apa-apa. Semua tergantung di
situ-motif pembunuhan atas Stephen
Babbington."
Terdengar suara ketukan di pintu, dan
seorang pelayan masuk dengan telegram di
atas nampan.
Poirot membukanya. Wajahnya berubah.
Ia memberikan telegram itu pada Sir
Charles. Sambil mengintip lewat bahu Sir
Charles, Egg membacanya keras-keras,

CEPAT DATANG STOP. ADA


INFORMASI BERHARGA TENTANG
KEMATIAN BARTHOLOMEW STRANGE.

MARGARET DE RUSHBRIDGER

"Mrs. de Rushbridger!" kata Sir Charles.


"Kita benar. Dia memang punya kaitan
dengan kasus itu." Dan ia menambahkan,
"Margaret-M. Itu inisial pada buku harian
Tollie. Akhirnya ada juga kemajuan."

BAB XXIV

SEBUAH diskusi hangat terjadi. Mereka


mengambil buku ABC-buku pedoman
perjalanan dengan kereta api- dan
memutuskan pergi dengan kereta pagi
daripada naik mobil.
"Akhirnya," kata Sir Charles, "kita bisa
membuka bagian misteri ini." "Apa kira-
kira misteri itu?" tanya Egg.
"Wah, sulit dibayangkan. Tapi pasti akan
membantu menerangi kasus Babbington.
Kalau Tollie dengan sengaja mengumpulkan
orang-orang itu, dan aku yakin memang itu
yang dia lakukan, kejutan yang akan
dibuatnya pasti ada hubungannya dengan
si Rushbridger itu. Rasanya kita bisa
membuat asumsi begitu. Bagaimana, M.
Poirot?"
Poirot menggelengkan kepala dengan sikap
bingung.
"Telegram ini membuat kasus ini semakin
ruwet," gumamnya. "Tapi kita harus cepat-
sangat cepat." Mr. Satterthwaite tidak
melihat perlunya bertindak cepat, tapi
dengan sopan menyetujui. "Ya. Kita pergi
dengan kereta api paling pagi. Eh... apa
kita semua perlu ke sana?" "Sir Charles
dan saya sudah berencana mau ke Gilling,"
kata Egg. "Itu bisa ditunda," kata Sir
Charles.
"Saya rasa kita tak boleh menunda apa
pun," kata Egg. "Tak perlu kita berempat
pergi ke Yorkshire. Itu aneh. Terlalu
banyak. M. Poirot dan Mr. Satterthwaite
bisa pergi ke Yorkshire, Sir Charles dan
saya ke Gilling."
"Rasanya saya ingin membereskan urusan
Rushbridger ini," kata Sir Charles dengan
prihatin. "Saya sudah pernah... bicara
dengan kepala perawat sebelumnya. Sudah
kenal-begitu kira-kira."
"Justru karena itu sebaiknya Anda
menjauh," kata Egg. "Anda sudah terlalu
banyak bohong. Dan wanita itu sekarang
sudah sadar-akan kelihatan nanti Anda
berbohong. Saya kira lebih penting kalau
Anda pergi ke Gilling. Kalau kita ingin
berkomunikasi dengan ibu Miss Milray, dia
akan lebih terbuka pada Anda karena tahu
anaknya bekerja pada Anda. Dia akan lebih
percaya."
Sir Charles memandang wajah Egg yang
bersinar penuh kesungguhan.
"Aku akan ke Gilling," katanya. "Kau
benar."
"Saya tahu saya benar," kata Egg.
"Pengaturan yang bagus," kata Poirot
singkat. "Seperti kata Anda, Sir Charles
orang yang paling tepat untuk menanyai
Mrs. Milray. Siapa tahu, Anda barangkali
menemukan fakta yang jauh lebih penting
daripada kami di Yorkshire."
Mereka mempersiapkan diri berdasarkan
rencana itu. Paginya Sir Charles
menjemput Egg dengan mobil, pada pukul
sepuluh kurang seperempat. Poirot dan
Mr. Satterthwaite telah meninggalkan
London dengan kereta.
Pagi itu udara cerah dan dihiasi embun
tipis. Egg bersemangat ketika mereka
berbelok dan melewati jalan pintas berliku
yang ditemukan Sir Charles di selatan
Sungai Thames.
Akhirnya mereka meluncur dengan mulus
di sepanjang Jalan Folkestone. Setelah
melewati Maidstone, Sir Charles melihat
peta. Mereka keluar dari jalan utama, lalu
menyusuri jalan-jalan desa yang berkelok-
kelok. Mereka tiba di tempat tujuan pukul
dua belas kurang seperempat.
Gilling adalah desa yang telah ketinggalan
zaman. Di situ ada sebuah gereja tua,
sebuah rumah pendeta, dua atau tiga toko,
sebaris pondok, tiga atau empat bangunan
balai desa, dan sebuah taman yang sangat
indah.
Ibu Miss Milray tinggal di sebuah rumah
mungil di depan taman, di seberang
gereja.
Ketika mobil berhenti, Egg bertanya,
"Apa Miss Milray tahu Anda akan menemui
ibunya?"
"Oh ya, dia menulis surat ke ibunya supaya
siap-siap."
"Apa itu baik?"
"Kenapa tidak?"
"Oh, entah, ya. Tapi Anda tidak
mengajaknya."
"Wah, dia bisa membuatku kaku. Dia
sangat efisien. Jangan-jangan nanti dia
yang mendesakku." Egg tertawa.
Mrs. Milray ternyata sama sekali lain dari
anaknya. Kalau Miss Milray keras, ibunya
lembut; kalau Miss Milray persegi, ia
bulat; Mrs. Milray wanita yang amat
gemuk, terpaku dengan aman di sebuah
kursi di dekat jendela, tempat ia
memandang dunia luar dengan leluasa.
Ia kelihatan gembira menerima
kedatangan tamunya.
"Anda baik sekali, Sir Charles. Saya
sering mendengar tentang Anda dari
Violet." Violet-nama itu sama sekali tidak
sesuai untuk Miss Milray. "Anda pasti tak
tahu, dia begitu mengagumi Anda. Dia
sangat senang bekerja pada Anda. Silakan
duduk, Miss Lytton Gore. Maaf. Sudah
lama saya tak bisa memakai tungkai saya.
Kehendak Tuhan, dan saya tidak mengeluh.
Lama-lama jadi biasa juga. Barangkali
Anda perlu minuman setelah perjalanan
yang cukup jauh?"
Baik Sir Charles maupun Egg menolak
tawaran itu. Tapi Mrs. Milray tak peduli.
Ia menepukkan tangan dengan cara orang
Asia, dan teh serta biskuit pun muncul.
Sementara mereka mengunyah biskuit dan
meneguk minuman, Sir Charles
mengatakan maksud kedatangan mereka.
"Saya rasa Anda sudah mendengar, Mrs.
Milray, tentang kematian tragis Mr.
Babbington yang pernah jadi pendeta di
sini?"
Wanita gemuk itu menganggukkan
kepalanya kuat-kuat.
"Ya, tentu. Saya telah membaca tentang
penggalian itu dari koran. Dan saya tak
bisa membayangkan siapa yang tega
meracuninya. Pria yang baik; semua orang
di sini menyukainya, juga istrinya. Dan
anak-anak mereka."
"Ya, ini memang misteri yang luar biasa,"
kata Sir Charles. "Kami semua ikut sedih.
Sebetulnya kami ingin menanyakan pada
Anda, barangkali ada hal-hal yang bisa
Anda ceritakan, yang akan membantu
memecahkan persoalan ini."
"Saya? Tapi saya sudah lama tidak
bertemu keluarga Babbington-sebentar.
Sudah lima belas tahun lebih." "Memang.
Tapi beberapa kawan mengatakan
barangkali ada hal-hal tertentu di masa
lalu yang berkaitan dengan kematiannya."
"Rasanya saya tak tahu apa itu. Mereka
hidup tenang. Memang mereka
kekurangan, dan anaknya banyak."
Mrs. Milray bersedia bercerita. Tapi
ceritanya tidak mengungkapkan hal-hal
yang mungkin membantu.
Sir Charles menunjukkan foto yang
memuat gambar suami-istri Dacres,
potret lama Angela Sutcliffe, dan sebuah
gambar Miss Wills yang digunting dari
koran dan kelihatan kabur.
Mrs. Milray memperhatikan gambar-
gambar itu dengan penuh minat, tapi tidak
menunjukkan tanda-tanda mengenali
mereka.
"Rasanya saya tak bisa mengatakan ingat
mereka. Memang sudah lama, tapi desa ini
kecil. Tak banyak kejadian di sini. Gadis-
gadis Agnew-anak-anak Pak Dokter-
mereka menikah dan keluar dari desa ini.
Dokter yang sekarang masih bujangan. Dia
punya partner baru yang masih muda. Lalu
ada Miss Cayleys yang sudah tua-duduk di
bangku besar. Mereka sudah meninggal
beberapa tahun yang lalu. Dan keluarga
Richardson-suaminya meninggal dan
istrinya pindah ke Wales-lalu orang-orang
desa. Tapi tak banyak perubahan di sini.
Saya kira Violet bisa cerita sebanyak
saya. Dia masih kecil waktu itu dan sering
main ke rumah Pak Pendeta."
Sir Charles mencoba membayangkan Miss
Violet Milray sewaktu masih kecil, tapi tak
bisa.
Ia bertanya pada Mrs. Milray, kalau-kalau
ia kenal seseorang bernama Rushbridger.
Tapi nama itu tak berarti apa-apa bagi
nyonya rumah itu. Akhirnya mereka pergi.
Langkah berikutnya adalah makan siang
seadanya di toko roti. Sir Charles ingin
sekali makan di tempat lain, tapi Egg
mengatakan barangkali mereka bisa
mendengar gosip setempat di situ.
"Anda pasti tak akan sakit kalau sekali-
sekali makan telur rebus dan roti,"
katanya tajam. "Laki-laki memang suka
cerewet dalam soal makanan."
"Aku sedih kalau harus makan telur," kata
Sir Charles.
Wanita yang melayani mereka cukup
komunikatif. Ia juga telah membaca
berita penggalian itu di koran, dan
terkejut karena menyangkut pendeta yang
pernah lama tinggal di desa itu. "Saya
masih kecil waktu itu," katanya, "tapi saya
ingat dia." Tapi wanita itu tak bisa banyak
bercerita tentang dia.
Setelah makan, mereka ke gereja dan
melihat-lihat catatan kelahiran,
perkawinan, dan kematian. Tapi mereka
tidak menemukan sesuatu yang berarti.
Mereka keluar ke halaman gereja. Egg
membaca nama-nama di batu nisan.
"Lihat, aneh-aneh, ya, nama orang-orang di
sini," katanya. "Ada Stavepenny, lalu ada
Mary Ann Sticklepath." "Itu belum apa-
apa. Namaku lebih aneh," gumam Sir
Charles. "Cartwright? Saya kira itu bukan
nama yang aneh."
"Bukan Cartwright. Itu kan namaku
sebagai aktor, tapi yang akhirnya kupakai
secara legal."
"Siapa nama Anda sebenarnya?"
"Ah, itu rahasia."
"Apa begitu jelek?"
"Bukan jelek, tapi lucu."
"Oh, beritahu dong!"
"Tidak, ah," kata Sir Charles tegas.
"Ayo dong."
"Tidak."
"Kenapa?"
"Kau akan tertawa."
"Nggak deh."
"Kau pasti geli."
"Nggak, saya janji. Ayo dong."
"Kau memang keras kepala, Egg. Kenapa
kau amat ingin tahu?" "Karena Anda tak
mau memberitahu."
"Ah, kau memang anak kecil yang
menggemaskan," kata Sir Charles.
"Saya bukan anak kecil."
"Bukan? Apa benar?"
"Beritahu dong," bisik Egg lembut.
Sebuah senyum lucu tersungging di mulut
Sir Charles.
"Baiklah. Baiklah. Dengar, ya. Ayahku
namanya Mugg."
"Yang benar?"
"Iya. Itu benar."
"Hm," kata Egg. "Sedih juga, ya, kalau
hidup sebagai Mugg."
"Ya. Pasti tak akan baik untuk karierku.
Aku masih ingat," kata Sir Charles sambil
merenung, "aku berpikir-pikir- waktu itu
aku masih muda-aku berpikir untuk
memilih nama Ludovic Castiglione. Tapi
akhirnya aku memilih nama Inggris,
Charles Cartwright."
"Nama Anda memang Charles?"
"Ya. Ibu dan bapak baptisku memastikan
hal itu." Ia ragu-ragu, lalu berkata,
"Kenapa kau tidak panggil aku Charles saja
tanpa Sir?" "Barangkali nanti."
"Kemarin kau sudah memanggil begitu.
Waktu... waktu kau mengira aku mati."
"Oh, itu."
Egg berusaha membuat suaranya tak
peduli. Tiba-tiba ia merasa perlu
membelokkan percakapan. Ia cepat-cepat
berkata,
"Apa ya, yang dikerjakan Oliver hari ini?"
"Manders? Kenapa kau memikirkan dia?"
Egg berkata, "Saya sangat suka pada
Oliver."
Ia senang bisa berkata begitu. Ia melirik
Sir Charles. Apa ia cemburu? Ia memang
mengernyitkan dahinya.
Tiba-tiba Egg menyesal. Kasihan Oliver.
Tak seharusnya ia menyebut-nyebutnya
seperti itu.
Ia berkata, "Udara dingin. Kita berangkat
saja sekarang."
Ia gemetar ketika bicara. Matahari sudah
tenggelam.
Ia berpikir, "Aneh juga perasaanku.
Seperti ada pertanda."
Ia gemetar lagi.
"Apa mereka menemukan sesuatu, kira-
kira?" Sir Charles kelihatan linglung.
"Mereka? Siapa?" "Di Yorkshire."
"Ah," kata Sir Charles, "hari ini rasanya
aku tak peduli."
"Charles, Anda biasanya penuh semangat."
Tapi Sir Charles tidak lagi memainkan
peran detektif terkenal.
"Hm, dulu ini memang pertunjukanku. Tapi
sekarang sudah kuberikan pada si Kumis
Besar. Ini urusannya." "Apa dia
sebenarnya tahu siapa yang melakukan
kejahatan itu? Katanya dia tahu."
"Barangkali tidak. Tapi dia kan harus
mempertahankan reputasi profesinya."
Egg diam saja. Sir Charles berkata, "Apa
yang kaupikir?"
"Miss Milray. Sikapnya begitu aneh malam
itu. Saya sudah cerita pada Anda. Dia
baru saja membeli koran tentang
penggalian itu, dan dia bilang tak tahu
harus melakukan apa."
"Nonsens," kata Sir Charles dengan
gembira. "Dia selalu tahu apa yang harus
dilakukan." "Yang benar, Charles. Dia
betul-betul khawatir."
"Egg, Sayang. Kenapa aku harus pusing
karena kekhawatiran Miss Milray? Tak
ada yang perlu kupikirkan kecuali hari ini.
Peduli amat dengan pembunuhan itu."
Mereka sampai di tempat Sir Charles pada
waktu minum teh. Miss Milray keluar
menyambut mereka. "Ada telegram untuk
Anda, Sir Charles." "Terima kasih, Miss
Milray."
Ia membuka telegram itu dan berseru,
"Egg, lihat ini! Dari Satterthwaite!"
Ia menyodorkan telegram itu ke tangan
Egg. Gadis itu membaca dan
membelalakkan matanya lebar-lebar.

BAB XXV
SEBELUM naik kereta, Hercule Poirot dan
Mr. Satterthwaite mewawancarai Miss
Lyndon, sekretaris Sir Bartholomew
Strange. Miss Lyndon sangat bersedia
membantu, tapi tak ada hal penting yang
bisa diberikannya pada mereka. Dalam
buku kasus Sir Bartholomew, nama Mrs.
de Rushbridger hanya disebut dalam
kaitannya dengan profesinya. Sir
Bartholomew tak pernah menyebut-
nyebut namanya, kecuali jika berhubungan
dengan soal perawatan.
Kedua orang itu tiba di sanatorium kira-
kira pukul dua belas. Pelayan yang
membukakan pintu kelihatan gembira. Mr.
Satterthwaite menanyakan kepala
perawat.
"Saya tidak tahu apa dia bisa menemui
Anda hari ini," kata gadis itu ragu-ragu.
Mr. Satterthwaite mengeluarkan sehelai
kartu dan menuliskan sesuatu di situ.
"Tolong berikan ini padanya."
Mereka akhirnya duduk di ruang tunggu
kecil. Lima menit kemudian pintu terbuka
dan kepala perawat itu masuk. Ia tidak
kelihatan cekatan seperti biasanya. Mr.
Satterthwaite berdiri.
"Mudah-mudahan Anda masih ingat saya,"
katanya. "Saya pernah kemari bersama Sir
Charles Cartwright, tak lama setelah
kematian Sir Bartholomew Strange."
"Ya, tentu, Mr. Satterthwaite. Saya masih
ingat. Dan Sir Charles menanyakan Mrs.
de Rushbridger waktu itu. Rasanya seperti
suatu kebetulan saja."
"Ini M. Hercule Poirot."
Poirot membungkuk, dan perawat itu
membalasnya dengan acuh tak acuh. Ia
melanjutkan,
"Saya tidak mengerti bagaimana Anda
bisa memperoleh telegram seperti itu.
Semua kelihatan amat misterius. Tentunya
tak bisa dikaitkan dengan kematian Pak
Dokter. Pasti ada orang gila di sekitar
sini-itu saja yang bisa masuk akal saya.
Polisi-polisi ke sini dan macam-macam
lainnya. Bikin pusing saja."
"Polisi?" tanya Mr. Satterthwaite heran.
"Ya, mereka di sini sejak jam sepuluh."
"Polisi?" tanya Hercule Poirot.
"Barangkali kami bisa bertemu dengan
Mrs. de Rushbridger sekarang," kata
Satterthwaite. "Dia yang meminta agar
kami kemari,"
Kepala perawat itu menyela,
"Oh, Mr. Satterthwaite, Anda belum tahu
kalau begitu?" "Tahu apa?" tanya Poirot
tajam. "Mrs. de Rushbridger. Dia
meninggal."
"Meninggal?" seru Poirot. "Mille
tonnerres! Ya. Jelas. Jelas sekarang.
Seharusnya saya..." Ia diam. "Bagaimana
meninggalnya?"
"Sangat misterius. Dia mendapat kiriman
satu kotak cokelat-cokelat dengan liqueur
di dalamnya, dikirim lewat pos. Dia makan
satu; pasti rasanya tak enak, tapi dia cuma
terkejut saya kira, lalu dia menelannya.
Orang biasanya tak suka mengeluarkan
barang yang telah dimakannya."
"Oui, oui. Dan benda cair yang tiba-tiba
turun ke dalam kerongkongan sulit
mengeluarkannya."
"Jadi, dia menelannya dan menjerit.
Perawat segera datang, tapi tak bisa apa-
apa. Dia meninggal dua menit kemudian.
Lalu dokter memanggil polisi. Mereka
datang dan memeriksa cokelat itu. Semua
yang ada di lapisan atas telah diolesi racun
rupanya. Yang bawah tidak apa-apa."
"Dan racun yang dipakai?"
"Mereka memperkirakan itu nikotin."
"Ya," kata Poirot. "Nikotin lagi. Ini suatu
pukulan! Pukulan yang berani!"
"Kita sangat terlambat," kata Mr.
Satterthwaite. "Kita tak akan tahu
sekarang, apa yang akan dia ceritakan.
Kecuali... kecuali jika dia mempercayakan
rahasianya pada orang lain." Ia melirik
pada kepala perawat. Poirot
menggelengkan kepala. "Tak akan ada
rahasia. Kita harus mencarinya."
"Barangkali kita dapat menanyai salah
seorang perawat?" kata Mr.
Satterthwaite. "Bisa saja," kata Poirot
tanpa banyak berharap.
Mr. Satterthwaite berbicara kepada
kepala perawat yang segera memanggil
dua perawat yang menjaga Mrs. de
Rushbridger siang dan malam. Tapi tak
seorang pun bisa memberikan informasi.
Mrs. de Rushbridger tak pernah
menyebut-nyebut kematian Sir
Bartholomew, dan mereka pun tak tahu
tentang pengiriman telegram itu.
Atas permintaan Poirot, mereka diantar
ke kamar wanita itu. Mereka bertemu
dengan Inspektur Crossfield. Mr.
Satterthwaite memperkenalkannya pada
Poirot.
Kedua laki-laki itu kemudian mendekati
tempat tidur dan berdiri memandang
wanita malang itu. Ia berumur empat
puluhan, berambut hitam, dan berkulit
pucat. Wajahnya tidak damai, tapi masih
menunjukkan rasa sakit yang dideritanya.
Mr. Satterthwaite berkata pelan,
"Kasihan."
Ia memandang Hercule Poirot. Ada suatu
ekspresi aneh pada wajah orang Belgia
kecil itu. Sesuatu yang membuat Mr.
Satterthwaite merinding. Ia berkata,
"Ada yang tahu dia akan bicara, lalu dia
dibunuh. Dia dibunuh untuk mencegahnya
bicara." Poirot mengangguk. "Ya, benar."
"Dia dibunuh untuk mencegahnya
bercerita pada kita apa yang
diketahuinya."
"Atau yang tidak diketahuinya. Tapi kita
jangan membuang waktu. Banyak yang
perlu dilakukan. Jangan sampai ada
kematian lagi. Kita harus mencegahnya."
Mr. Satterthwaite bertanya, penuh ingin
tahu,
"Apa hal ini cocok dengan ide Anda
tentang identitas si pembunuh?"
"Ya, cocok. Tapi saya sadar akan satu hal.
Pembunuh ini lebih berbahaya dari yang
saya perkirakan. Kita harus hati-hati."
Inspektur Crossfield mengikuti mereka
keluar kamar dan mendengar cerita
tentang telegram yang mereka terima.
Telegram itu dikirim dari Kantor Pos
Melfort. Setelah dicek di sana, mereka
mendapat keterangan bahwa telegram itu
dikirim oleh seorang anak laki-laki. Wanita
pegawai pos itu ingat karena isinya sangat
mengejutkannya, yaitu berkaitan dengan
kematian Sir Bartholomew Strange.
Setelah makan siang dengan inspektur
polisi itu dan mengirim telegram pada Sir
Charles, mereka melanjutkan penyelidikan.
Pada pukul enam sore, anak laki-laki yang
mengirim telegram itu ditemukan. Ia
langsung bercerita. Ia menerima telegram
itu dari seorang laki-laki berpakaian
rombeng. Orang itu mengatakan telegram
tersebut diberikan oleh seorang "wanita
gila" di "rumah taman". Ia
melemparkannya dari jendela. Telegram
itu dibungkus dan diikat dengan dua
keping uang setengah crown. Laki-laki itu
takut terlibat urusan yang tidak-tidak. Ia
pergi ke orang lain. Ia memberikan
telegram dan uang pada anak itu,
menyuruh anak itu mengambil
kembaliannya.
Mereka mengerahkan orang untuk mencari
laki-laki itu. Karena tak ada lagi yang
dilakukan, Poirot dan Satterthwaite
kembali ke London.
Mereka sampai di London hampir pukul dua
belas malam. Egg telah kembali pada
ibunya, tapi Sir Charles ada, dan mereka
membicarakan keadaan yang mereka
hadapi.
"Mon ami, " kata Poirot, "perhatikan saran
saya. Hanya satu hal yang bisa
menyelesaikan soal ini-sel kelabu kecil
yang ada di otak. Untuk bolak-balik pergi
ke suatu tempat, berharap orang ini atau
orang itu akan membantu kita, cara itu
sangat amatir dan aneh. Kebenaran hanya
bisa dilihat dari dalam."
Sir Charles kelihatan agak skeptis.
"Apa yang ingin Anda lakukan, kalau
begitu?"
"Saya ingin berpikir. Saya ingin minta
Anda menyediakan 24 jam untuk berpikir."
Sir Charles menggelengkan kepala sambil
tersenyum kecil.
"Apa dengan berpikir kita jadi tahu apa
sebenarnya yang akan dikatakan wanita itu
seandainya dia masih hidup?" "Saya rasa
begitu."
"Rasanya tak mungkin. Tapi, M. Poirot,
silakan Anda bekerja dengan cara Anda.
Kalau Anda bisa melihat misteri ini lebih
daripada saya, saya kalah dan
mengakuinya. Sementara itu, saya punya
ikan lain untuk digoreng."
Barangkali ia berharap mendapat
pertanyaan, tapi harapan itu kosong. Mr.
Satterthwaite memang bersikap waspada,
tapi Poirot tetap diam, hanyut dalam
pikirannya.
"Baiklah, saya agak khawatir dengan Miss
Wills," kata sang aktor.
"Kenapa dia?"
"Pergi."
Poirot memandangnya. "Pergi? Pergi ke
mana?"
"Tak ada yang tahu. Saya berpikir-pikir
setelah menerima telegram Anda. Seperti
telah saya katakan, saya yakin wanita itu
tahu sesuatu yang tidak dikatakannya
pada kita. Saya pikir, saya akan coba
mengoreknya dari dia. Saya pergi ke
rumahnya. Kira-kira jam setengah sepuluh
saya sampai di sana. Tapi dia sudah pergi
tadi pagi-ke London. Itu yang dia katakan.
Orang-orang di rumah mendapat telegram,
mengatakan dia tak akan pulang satu atau
dua hari ini, dan memberitahu agar
mereka tidak khawatir."
"Apa mereka khawatir?"
"Ya, saya kira begitu. Dia membawa tas."
"Aneh," gumam Poirot.
"Ya. Kelihatannya seperti... ah, entahlah.
Saya merasa tak enak."
"Saya sudah mengingatkan dia," kata
Poirot. "Saya telah mengingatkan semua
orang. Anda ingat saya bicara, 'Silakan
berkata sekarang.'" "Ya, ya. Anda pikir dia
juga..."
"Saya punya ide," kata Poirot. "Sekarang,
sebaiknya itu saya simpan dulu."
"Pertama, kepala pelayan, si Ellis. Lalu
Miss Wills. Di mana Ellis? Aneh, polisi tak
bisa menemukannya." "Mereka tidak
mencari mayatnya di tempat yang benar,"
kata Poirot. "Kalau begitu, Anda setuju
dengan Egg. Anda pikir dia sudah mati?"
"Ellis tak akan kelihatan hidup lagi."
"Ini benar-benar mimpi buruk!" kata Sir
Charles. "Semuanya tak bisa dimengerti!"
"Tidak, tidak. Sebaliknya, justru sangat
logis dan masuk akal." Sir Charles
memandangnya. "Anda berpendapat
begitu?"
"Tentu saja. Pikiran saya selalu bekerja
dengan rapi." "Saya tidak mengerti."
Mr. Satterthwaite juga memandang
detektif kecil itu dengan penuh ingin tahu.
"Kalau begitu, pikiran saya bagaimana?"
kata Sir Charles agak tersinggung.
"Anda mempunyai pikiran seorang aktor,
Sir Charles. Kreatif, orisinal, dan selalu
melihat pada nilai-nilai dramatisnya. Mr.
Satterthwaite punya pikiran seorang
penonton drama; dia memperhatikan
karakter, punya kepekaan terhadap
situasi. Tapi saya, pikiran saya sangat
biasa. Saya hanya melihat fakta, tanpa
perangkap-perangkap dramatis atau lampu
sorot."
"Jadi, kami serahkan saja ini pada Anda?"
"Itulah keinginan saya. Untuk 24 jam."
"Mudah-mudahan Anda berhasil. Selamat
malam."
Ketika mereka keluar bersama, Sir
Charles berkata kepada Mr.
Satterthwaite, "Orang itu sombong
sekali." Suaranya dingin.

BAB XXVI

POIROT tak bisa mempunyai waktu


tenang selama 24 jam seperti yang ia
inginkan.
Pukul sepuluh lewat esok paginya, Oliver
Manders mengirimkan kartu namanya dan
minta bertemu dengan Poirot. Ketika
Manders masuk, Poirot sedang membuka
sebuah bungkusan kecil. Ia meletakkan
bungkusan itu dan memandang tamunya
dengan wajah bertanya.
"Selamat pagi, M. Manders," katanya.
"Anda ingin menemui saya?" "Ya."
Oliver ragu-ragu, Poirot menarik sebuah
kursi. "Silakan duduk. Sekarang kita bisa
bicara dengan enak."
Oliver menerima tawaran untuk duduk,
tapi masih ragu-ragu untuk mulai bicara.
"Eh bien?" kata Poirot. "Apa yang Anda
cari? Apakah Anda menawarkan bantuan
pada saya? Atau Anda memerlukan layanan
saya?"
"Saya tak tahu," kata Oliver pelan.
Lalu tiba-tiba ia membungkuk ke depan
dan berkata secara impulsif, "M. Poirot,
Anda tidak menyukai saya." Poirot heran.
"Lho, kok Anda berpendapat begitu?"
"Ya. Anda tak suka pada saya. Hanya
sedikit orang yang menyukai saya. Saya...
saya tak tahu kenapa." Semua sikap
angkuh dan tak acuhnya lenyap. Sekarang
ia bicara seperti seorang pemuda biasa
seumurnya. Wajahnya juga tidak
menunjukkan ekspresi sinis, tapi
menunjukkan rasa kurang percaya diri,
bahkan tak berdaya. "Kenapa Anda
mengira saya tak suka pada Anda?" tanya
Poirot lembut. "Karena kemarin dulu Anda
membuat perangkap untuk saya dengan
pertunjukan itu." Alis mata Poirot naik
lagi. "Kenapa begitu?" Oliver menjawab
dengan muram,
"Karena dalam hati Anda yakin sayalah
yang membunuh Mr. Babbington."
"Quelle idee!"
"Tidak, Anda berpikir begitu. Saya tahu,
banyak yang tidak suka pada saya, tapi
saya bukan pembunuh, M. Poirot! Sungguh
saya pernah kasar pada dia-sekali, sangat
kasar. Tapi saya sedih setelah itu-kalau
Anda percaya. Rasanya ada dua orang di
dalam diri saya. Yang satu orang yang
kasar, sinis, penuh benci dan lagak. Yang
satu tidak begitu. Tapi dia sulit
memperlihatkan diri. Oh, Anda pasti
mengerti apa yang saya maksud."
"Ya, ya. Saya sangat mengerti. Karena
saya sudah tua, saya masih belum lupa
rasanya jadi orang muda." Ia melanjutkan
dengan lembut, "Itu keluhan Anda, mon
ami-orang muda. Memang anak muda suka
begitu." Dengan menyeringai lucu ia
menambahkan, "Pada umur saya, kesibukan
itu berubah menjadi mengatur barang-
barang di ruang pamer."
"Anda mengerti kalau begitu?" kata Oliver
lega. Seulas senyum yang benar-benar
menawan muncul di wajahnya. "Anda pasti
tidak tahu rasanya kalau ada orang yang
mau melihat kebaikan, bukan hanya
keburukan." "Anda tidak terlalu bahagia,
eh?" Wajah Oliver mengeras. "Tidak."
"Dengarkan. Saya ingin memberi nasihat
pada Anda. Hidup Anda tergantung pada
diri Anda sendiri. Kalau kita selalu merasa
pahit, kita tak akan mendapat apa-apa.
Bahkan itu akan menjadi bumerang bagi
kita sendiri. Selalu begitu. Jadi,
tinggalkan saja sebelum terlambat."
"Anda benar, M. Poirot. Saya akan
melupakan semuanya dan mulai dengan
hidup baru."
"Bagus." Poirot mengangguk setuju, lalu
melanjutkan, "Dan hal berikutnya?"
Oliver memandangnya dengan agak heran.
"Hal berikutnya?"
"Mais oui. Kelihatannya Anda punya
sesuatu yang lain, tapi barangkali saya
keliru."
"Tidak, tidak, Anda benar. Ada lagi. Saya
ingin membantu Anda dalam urusan ini.
Anda sudah percaya pada saya. Biar saya
membantu Anda."
"Membantu saya? Bagaimana caranya?"
"Saya tak tahu. Pasti ada hal yang bisa
membuat saya berguna. Kelihatannya-
barangkali saya keliru-Anda sedang sibuk
dengan urusan ini."
Ia menunggu jawaban Poirot sambil
menahan napas. "Mungkin," kata Poirot,
"Anda bisa membantu saya nanti." "Oh,
bagus."
Oliver menunggu satu atau dua menit, tapi
Poirot tidak berkata apa-apa lagi.
"Barangkali Anda bisa menunjukkan arah
kecurigaan Anda."
Hercule Poirot menggelengkan kepala.
"Itu... belum. Saya bukan orang yang suka
berahasia."
Telinga Oliver cukup sensitif untuk
menangkap ketegasan dalam suara Poirot.
Ia tidak mendesak, tapi pamit dengan
ucapan terima kasih.
Ada senyum aneh di wajah Poirot ketika
Oliver Manders pergi. Ia bergumam
sendiri, "Aku menilainya terlalu rendah."
Lalu ia mengambil bungkusan yang belum
selesai dibukanya.
Pukul 11.20 Egg masuk kamarnya begitu
saja. Ia heran melihat detektif terkenal
itu sedang membuat rumah dari kartu.
Wajah Egg terlihat begitu sebal, sehingga
Poirot terpaksa membela diri.
"Saya bukannya menjadi kekanak-kanakan
dalam umur setua ini, Mademoiselle.
Tidak. Pikiran saya terasa bergairah
dengan membuat rumah kartu. Ini
merupakan kebiasaan lama saya. Yang saya
lakukan pertama kali pagi tadi adalah
membeli kartu ini. Sayang saya membuat
kesalahan. Ini bukan kartu betulan. Tapi
boleh juga."
Egg memperhatikan rumah kartu di meja
itu lebih dekat.
Ia tertawa.
"Astaga, mereka menjual Happy Families
pada Anda rupanya." "Apa itu-Happy
Family?"
"Ya. Suatu permainan. Anak-anak TK
memainkannya."
"Ah, tak apa. Saya bisa membuat rumah
dengan cara yang sama."
Egg mengambil beberapa kartu dari meja
dan memperhatikannya dengan senang.
"Master. Bun, itu anak tukang roti-saya
sangat menyukainya. Dan ini Mr. Mug, si
tukang susu. Oh, kalau saja Sir Charles
ada di sini, saya pasti akan menunjukkan
gambarnya." "Lho, apa gambar lucu itu
gambar Sir Charles, Mademoiselle?"
"Namanya."
Egg tertawa melihat wajah Poirot yang
bingung, lalu ia menjelaskan. Ketika sudah
selesai, Poirot berkata, "Ah, c'est ga.
Cartwright adalah now de theatre-nama
aktornya. Mugg-ah, ya, orang bilang, dalam
logat populer itu artinya tolol. Tentu saja
dia mengganti namanya. Tak ada orang
yang senang dengan nama Sir Charles
Mugg, kan?"
Egg tertawa. Ia berkata,
"Menjadi Lady Mugg lebih tidak enak lagi."
Poirot memandang gadis itu, yang
wajahnya berubah jadi merah.
"C'est comme ga ? "
"Tidak," kata Egg. "Saya tidak mengerti
apa yang Anda maksud." Ia cepat-cepat
berkata, "Sebenarnya saya datang kemari
karena hal ini. Saya khawatir dengan
guntingan koran yang jatuh dari dompet
Oliver. Yang diambil Miss Wills dan
dikembalikan lagi padanya. Rasanya Oliver
mengatakan hal yang tidak benar ketika
dia bilang seingatnya barang itu tak ada di
sana, atau tak pernah ada di sana.
Barangkali guntingan itu memang bukan
miliknya. Dia menjatuhkan sesuatu, dan
wanita itu menggantinya dengan guntingan
itu."
"Kenapa dia melakukan itu?"
"Karena dia ingin menghindar. Dia
menimpakannya pada Oliver."
"Maksud Anda, dialah penjahatnya?"
"Ya."
"Apa motifnya?"
"Saya tak punya jawaban untuk itu.
Barangkali saja dia gila. Orang-orang
pandai biasanya agak gila. Saya tak bisa
melihat sebab lain. Terus terang saya tak
bisa melihat motif lain pada orang lain
juga."
"Itulah impasse-nya. Seharusnya saya tak
boleh meminta Anda menebak suatu motif.
Tapi saya memang terus menanyai diri
saya tentang motif di balik kematian Mr.
Babbington. Kalau saya bisa menjawabnya,
kasus itu selesai."
"Anda pikir bukan sekadar kegilaan?"
tanya Egg.
"Harus ada motif-motif gila, kalau
memang itu yang Anda mau, tapi suatu
motif. Itu yang masih saya cari."
"Sampai ketemu, kalau begitu," kata Egg.
"Maaf mengganggu Anda. Tapi ide itu baru
saja muncul. Saya harus buru-buru. Saya
mau pergi dengan Charles ke latihan akhir
Anjing Kecil Tertawa-drama yang ditulis
Miss Mills untuk Angela Sutcliffe. Besok
malam pertamanya."
"Mon Dieu!" seru Poirot.
"Kenapa? Ada sesuatu yang terjadi?"
"Ya, memang ada. Sebuah ide. Ide bagus.
Oh, saya begitu buta-buta."
Egg memandanginya. Poirot tenang
kembali, seolah-olah sadar akan sikap
eksentriknya. Ia menepuk-nepuk bahu
Egg-
"Anda pikir saya gila. Tidak. Saya
mendengar apa yang Anda katakan. Anda
akan pergi nonton Anjing Kecil Tertawa.
Miss Sutcliffe main di situ. Pergilah.
Jangan pikirkan apa yang saya katakan."
Dengan agak ragu-ragu Egg berangkat.
Setelah sendiri, Poirot berjalan mondar-
mandir di kamarnya sambil bergumam
sendiri. Matanya bersinar hijau seperti
mata kucing.
"Mais oui, itu menjelaskan segalanya.
Motif yang aneh, sangat aneh, motif yang
belum pernah kutemukan sebelumnya, tapi
cukup masuk akal, dan dalam kondisi itu
sangat wajar. Semua merupakan kasus
yang aneh."
Ia melewati meja tempat bermain kartu.
Rumah-rumahan itu masih di situ. Dengan
tangannya ia menyapu roboh rumah-
rumahan itu dari meja.
"Aku tak memerlukan Happy Family lagi,"
katanya. "Persoalan ini sudah selesai.
Tinggal bertindak saja."
Ia menyambar topi dan memakai
mantelnya. Lalu ia turun dan minta
dipanggilkan taksi. Poirot menyebut
alamat apartemen Sir Charles.
Setelah sampai, ia membayar taksi dan
masuk ke ruang depan. Tak ada penjaga
pintu. Sedang mengantar orang naik lift
rupanya. Poirot naik tangga. Ketika sampai
di lantai dua, pintu apartemen Sir Charles
terbuka dan Miss Milray keluar.
Ia terkejut ketika melihat Poirot.
"Anda!"
Poirot tersenyum. "Saya! Enfin, moi!" Miss
Milray berkata,
"Sir Charles tidak ada. Pergi ke Babylon
Theater dengan Miss Lytton Gore." "Saya
tidak mencari Sir Charles. Saya mau
mengambil tongkat yang ketinggalan."
"Oh, begitu. Silakan bel saja. Temple akan
mencarikannya. Maaf saya tak bisa
menunggu. Saya harus mengejar kereta.
Saya mau pulang, menjenguk ibu saya."
"Saya mengerti. Silakan, Mademoiselle."
Ia menepi dan Miss Milray lewat dengan
cepat, menuruni tangga. Ia membawa tas
kerja.
Tapi ketika Miss Milray sudah pergi,
Poirot kelihatannya lupa pada tujuan
kedatangannya. Ia berbalik, lalu turun
tangga. Sampai di pintu depan, ia melihat
Miss Milray masuk ke sebuah taksi.
Sebuah taksi lain datang perlahan. Poirot
mengangkat tangan dan taksi itu
mendekat. Ia masuk dan menyuruh sopir
mengikuti taksi di depannya.
Ia tidak heran ketika taksi di depannya
meluncur ke utara dan berhenti di Stasiun
Paddington, walaupun dari stasiun itu tak
ada kereta jurusan Gilling. Poirot berjalan
ke loket kelas satu dan minta tiket
pulang-balik ke Loomouth. Kereta akan
berangkat lima menit lagi. Setelah
menaikkan kerah mantelnya untuk
menutupi telinganya, Poirot duduk di sudut
gerbong kelas satu.
Mereka sampai di Loomouth kira-kira
pukul lima. Hari sudah mulai gelap. Poirot
agak melindungkan diri dan mendengar
Miss Milray disapa seorang penjaga pintu
yang ramah.
"Oh, Miss, kami tidak mengira Anda
datang. Apa Sir Charles juga datang?"
Miss Milray menjawab,
"Saya datang tanpa rencana. Saya akan
kembali besok pagi. Hanya mau mengambil
beberapa barang. Tidak, tak usah panggil
taksi. Saya akan lewat jalan setapak itu."
Langit semakin gelap. Miss Milray berjalan
dengan cepat, menyusuri jalan setapak
yang berkelok-kelok. Agak jauh di
belakangnya, Poirot mengikutinya. Ia
berjalan hati-hati, seperti kucing. Setelah
sampai di Crow's Nest, Miss Milray
mengeluarkan sebuah kunci dari tasnya
dan masuk lewat pintu samping;
dibiarkannya pintu tetap terbuka. Satu
atau dua menit kemudian ia muncul lagi
membawa kunci berkarat dan senter.
Poirot menyembunyikan diri di semak-
semak.
Miss Milray berjalan melewati belakang
rumah dan naik ke tempat bersemak-
semak. Hercule Poirot mengikutinya. Ia
naik terus sampai ke suatu menara batu
tua, seperti yang sering terdapat di
pantai-pantai. Tempat itu rusak dan tak
terawat, tapi ada sebuah gorden di
jendelanya yang kotor. Miss Milray
memasukkan kunci di pintu kayu yang
besar itu.
Kunci itu berputar dengan derit keras.
Pintu terbuka dengan suara merintih pada
engselnya. Miss Milray masuk membawa
senter.
Poirot mempercepat langkahnya. Ia
melewati pintu itu tanpa suara. Cahaya
senter Miss Milray menerangi bermacam-
macam peralatan laboratorium dan
tabung-tabung gelas.
Miss Milray mengambil sebuah linggis. Ia
mengangkat benda itu di atas gelas-gelas
ketika sebuah tangan mencengkeram
lengannya. Ia terkejut dan menoleh.
Mata hijau Hercule Poirot yang seperti
kucing itu memandang tajam padanya.
"Anda tak bisa melakukan itu,
Mademoiselle," katanya. "Karena yang
Anda cari untuk Anda hancurkan adalah
barang bukti."

BAB XXVII

HERCULE POIROT duduk di kursi besar.


Lampu-lampu dinding telah dimatikan.
Hanya sebuah lampu yang menyala,
menerangi orang yang duduk di kursi
besar itu. Rasanya ada sesuatu yang
simbolik pada situasi itu-ia sendiri yang
ada dalam terang, sedangkan tiga orang
lainnya, Sir Charles, Mr. Satterthwaite,
dan Egg Lytton Gore- pemirsa Poirot-
duduk dalam gelap.
Suara Hercule Poirot seperti melayang.
Rasanya ia bicara pada ruangan, bukan
kepada para pendengarnya.
"Tujuan detektif adalah merekonstruksi
suatu tindak kejahatan. Untuk
melakukannya, kita harus meletakkan satu
fakta di atas fakta lain, seperti
membangun rumah kartu. Kalau fakta itu
tidak cocok, kalau kartu tidak berimbang,
kita harus mulai lagi. Kalau tidak, rumah
kartu pasti roboh.
"Seperti pernah saya katakan, ada
beberapa tipe pikiran; ada pikiran
dramatis, pikiran produser, yang melihat
efek realitas yang bisa diperoleh dari
peralatan mekanis; dan ada pikiran
romantis muda; dan akhirnya, kawan, ada
pikiran biasa-pikiran yang melihat-bukan
laut biru dan pohon-pohon mimosa, tapi
kain bercat yang membentuk pemandangan
panggung.
"Jadi, mes amis, saya datang ke
pembunuhan Stephen Babbington bulan
Agustus lalu. Pada malam itu, Sir Charles
Cartwright mengatakan Stephen
Babbington dibunuh. Saya tidak setuju
dengan teori itu. Saya tak bisa percaya
bahwa (A) orang seperti Stephen
Babbington dibunuh orang, dan (B)
kemungkinan memberi racun pada orang
tertentu dalam situasi seperti itu.
"Sekarang, di sini saya mengakui bahwa
Sir Charles benar dan saya salah. Saya
salah karena melihat kejahatan ini dari
sudut yang keliru. Baru 24 jam yang lalu
saya bisa melihatnya dari sudut yang
benar. Karena itu, pembunuhan atas
Stephen Babbington menjadi masuk akal
dan mungkin.
"Tapi saya akan melewatkan hal ini dulu
dan membawa Anda berjalan langkah demi
langkah lewat jalan setapak yang saya
lalui. Kematian Stephen Babbington bisa
kita sebut babak pertama drama kita.
Tirai panggung turun ketika kita semua
pergi dari Crow's Nest.
"Babak kedua drama itu dimulai di Monte
Carlo, ketika Mr. Satterthwaite
menunjukkan pada saya berita tentang
kematian Sir Bartholomew. Pada saat itu
juga kelihatan bahwa saya keliru dan Sir
Charles benar. Baik Stephen Babbington
maupun Sir Bartholomew Strange mati
dibunuh. Kedua pembunuhan itu merupakan
bagian dari satu kejahatan yang sama.
Nantinya, pembunuhan ketiga melengkapi
seri itu-yaitu pembunuhan atas Mrs. de
Rushbridger.
"Karena itu, yang kita perlukan adalah
teori yang masuk akal, yang akan
menghubungkan ketiga kematian itu.
Dengan kata lain, ketiga kejahatan itu
dilakukan oleh satu orang yang sama dan
untuk keuntungan orang tersebut.
"Saya pernah menyatakan bahwa hal yang
mencemaskan saya adalah kenyataan
bahwa pembunuhan atas Sir Bartholomew
Strange terjadi setelah pembunuhan atas
Stephen Babbington. Kalau kita
perhatikan ketiga peristiwa itu tanpa
ditandai waktu dan tempat yang pasti,
pembunuhan atas Sir Bartholomew
Strange bisa dikatakan sebagai kejahatan
utama atau yang pokok, sedangkan yang
lain sifatnya kurang utama-yaitu terjadi
karena hubungan kedua orang itu dengan
Sir Bartholomew Strange. Tapi, seperti
yang saya katakan sebelumnya, orang tak
bisa mendapat kasus kejahatan seperti
yang dia inginkan. Stephen Babbington
dibunuh lebih dulu, dan Sir Bartholomew
Strange belakangan. Karena itu,
kelihatannya kejahatan kedua timbul
sebagai akibat yang pertama, dan karena
itu yang harus diperhatikan adalah yang
pertama, untuk bisa mengetahui
seluruhnya.
"Saya masih berpegang pada teori
probabilitas, dan saya dengan sungguh-
sungguh mempertimbangkan kemungkinan
adanya kekeliruan. Mungkin sebenarnya
yang dituju adalah Sir Bartholomew
Strange sebagai korban pertama, tapi
yang kena Mr. Babbington. Tapi saya
terpaksa menolak teori itu. Siapa pun yang
mengenal Sir Bartholomew dengan baik,
pasti tahu dia tidak suka minum koktail.
"Satu hal lagi: Apakah Stephen
Babbington keliru dibunuh, padahal yang
dituju seseorang lainnya di antara tamu-
tamu itu? Saya tak bisa menemukan bukti
untuk hal ini. Karena itu, saya terpaksa
kembali pada kemungkinan pembunuhan
atas Stephen Babbington memang sengaja
ditujukan padanya, dan saya benar-benar
menghadapi jalan buntu-hal yang
kelihatannya tak mungkin terjadi.
"Kita harus memulai penyelidikan dengan
teori yang paling sederhana dan jelas.
Seandainya Stephen Babbington memang
meminum racun yang ada dalam koktail,
siapa yang punya kesempatan untuk
meracuni koktail itu? Sepintas hanya dua
orang yang bisa melakukan hal itu,
misalnya orang-orang yang menangani
minuman itu, yaitu Sir Charles Cartwright
sendiri dan si pelayan, Temple. Tapi
walaupun keduanya bisa membubuhkan
racun itu ke dalam gelas, tak seorang pun
punya kesempatan untuk mengulurkan
gelas itu ke tangan Mr. Babbington.
Temple mungkin bisa melakukannya dengan
keterampilan memainkan nampan-tidak
mudah, tapi bisa dilakukan. Sir Charles
juga bisa melakukannya, yaitu dengan
sengaja mengambilkan gelas dan
mengulurkannya pada Mr. Babbington.
Tapi hal itu tidak terjadi. Kelihatannya
semua terjadi karena kebetulan, yaitu
kebetulan Stephen Babbington mengambil
gelas itu.
"Sir Charles Cartwright dan Temple
menangani koktail itu secara langsung. Apa
salah satu dari mereka ada di Melfort
Abbey? Tidak. Siapa yang punya
kesempatan paling baik untuk
membubuhkan racun pada gelas Sir
Bartholomew? Si kepala pelayan yang
menghilang, Ellis, dan salah seorang
pelayan. Tapi di sini pun kemungkinan bagi
seorang tamu untuk melakukannya tak bisa
dikesampingkan. Memang berbahaya, tapi
mungkin bagi salah seorang tamu untuk
menyelinap ke ruang makan dan
memasukkan nikotin ke dalam gelas
anggur.
"Ketika saya datang lagi ke Crow's Nest,
Anda telah mempunyai daftar tamu yang
hadir di Crow's Nest maupun di Melfort
Abbey. Terus terang, saya segera
membuang jauh-jauh empat nama pertama
yang disebut dalam daftar- Kapten dan
Mrs. Dacres, Miss Sutcliffe, serta Miss
Wills.
"Sangat tidak masuk akal bagi mereka
berempat untuk mengetahui mereka akan
bertemu dengan Stephen Babbington
dalam pesta itu. Penggunaan nikotin
sebagai racun menunjukkan rencana yang
sudah dipikirkan masak-masak, bukan
sesuatu yang bisa dilakukan secara
mendadak. Ada tiga nama lain dalam
daftar itu-Lady Mary Lytton
Gore, Miss Lytton Gore, dan Mr. Oliver
Manders. Walaupun kelihatan tak masuk
akal, ketiganya punya kemungkinan.
Mereka punya motif untuk menyingkirkan
Stephen Babbington dan memilih pesta itu
untuk melaksanakan rencana mereka.
"Sebaliknya, saya tak bisa menemukan
bukti bahwa mereka melakukan hal itu.
"Saya kira Mr. Satterthwaite berpikiran
sama dengan saya, dan dia mencurigai
Oliver Manders. Bisa saya katakan pemuda
itu orang yang paling dicurigai. Dia
menunjukkan kegugupan pada malam di
Crow's Nest itu; dia mempunyai pandangan
hidup yang negatif karena kesulitan
pribadinya; dia punya rasa rendah diri
yang amat kuat. Ini sering merupakan
penyebab tindak kejahatan; dia berada
pada usia yang labil; dia memang pernah
bertengkar dengan Mr. Babbington, dan
menunjukkan rasa permusuhan padanya.
Lalu ada kejadian aneh tentang
kedatangannya di Melfort Abbey. Dan
kemudian dia menceritakan hal yang tak
masuk akal tentang surat dari Sir
Bartholomew Strange, lalu ada guntingan
koran mengenai peracunan dengan nikotin
yang jatuh dari sakunya. Juga ada
referensi tentang M dalam buku harian
Sir Bartholomew.
"Dengan demikian, Oliver Manders adalah
orang yang harus ditulis paling atas pada
daftar nama ketujuh orang itu.
"Tapi kemudian ada perasaan aneh pada
diri saya. Memang jelas dan sangat masuk
akal bahwa orang yang melakukan
kejahatan itu pasti orang yang berada
dalam kedua pesta itu. Dengan kata lain,
seseorang yang termasuk dalam daftar
ketujuh orang itu. Tapi saya merasa
kegamblangan itu direncanakan. Jalan
pikiran itu wajar pada seorang yang waras
dan berpikiran logis. Saya merasa bukan
mencari realitas, tapi pemandangan yang
digambarkan dengan sedikit kelicikan.
Seorang penjahat yang benar-benar licin
pasti tahu bahwa siapa pun yang namanya
ada dalam daftar pasti akan dicurigai, dan
karenanya dia mengatur agar namanya
tidak ada di dalam daftar itu.
"Dengan kata lain, pembunuh Stephen
Babbington dan Sir Bartholomew Strange
berada dalam kedua pesta itu, tapi
kelihatannya tidak begitu.
"Siapa yang ada pada pesta pertama dan
tidak dalam pesta kedua? Sir Charles
Cartwright, Mr. Satterthwaite, Miss
Milray, dan Mrs. Babbington.
"Mungkinkah salah satu dari mereka
berada pada pesta kedua tanpa diketahui
orang lain? Sir Charles dan Mr.
Satterthwaite berada di Prancis Selatan.
Miss Milray ada di London. Mrs.
Babbington ada di Loomouth. Dari
keempat orang itu, Miss Milray dan Mrs.
Babbington yang kelihatannya pantas
dicurigai. Tapi bisakah Miss Milray hadir
di Melfort Abbey tanpa diketahui tamu
lain? Miss Milray mempunyai penampilan
khas, sulit dilupakan, dan tak mudah
disamarkan. Saya memutuskan tak
mungkin Miss Milray berada di Melfort
Abbey tanpa dikenali para tamu. Demikian
juga Mrs. Babbington.
"Karena hal itu, mungkinkah Mr.
Satterthwaite atau Sir Charles
Cartwright berada di Melfort Abbey
tanpa dikenali? Mr. Satterthwaite punya
kemungkinan, tapi bagaimana dengan Sir
Charles Cartwright? Ini sulit. Sir Charles
seorang aktor yang terbiasa memainkan
suatu peran. Tapi peran apa yang dia
mainkan?
"Lalu saya mempertimbangkan Ellis, kepala
pelayan itu.
"Ellis orang yang misterius. Dia muncul
tiba-tiba dua minggu sebelum kejadian,
dan kemudian menghilang dengan sukses.
Kenapa Ellis begitu sukses? Karena Ellis
memang tidak ada. Ellis adalah papan
penghias, gambar, dan hiasan panggung.
Ellis tidak nyata.
"Mungkinkah itu? Pelayan-pelayan di
Melfort Abbey kenal Sir Charles
Cartwright, dan Sir Bartholomew Strange
kawan dekatnya. Saya bisa melewatkan
pelayan-pelayan itu dengan mudah.
Penyamaran sebagai kepala pelayan tidak
berbahaya. Kalau mereka mengenalinya,
itu bisa dianggap lelucon. Seandainya
waktu dua minggu itu lewat tanpa
menimbulkan kecurigaan, semuanya aman.
Dan saya masih ingat apa yang dikatakan
pelayan-pelayan itu tentang Ellis. Dia
'seorang terpelajar', 'bekerja di tempat
orang-orang terhormat', dan tahu
beberapa skandal penting. Itu mudah. Tapi
sebuah pernyataan berarti dari Doris
mengatakan, 'Dia melakukan pekerjaannya
berbeda dengan kepala-kepala pelayan
yang pernah saya kenal.' Ketika
pernyataan itu dia ulangi lagi, pernyataan
tersebut memberikan konfirmasi pada
teori saya.
"Tapi Sir Bartholomew Strange lain.
Rasanya tak masuk akal dia bisa dibodohi
temannya sendiri. Dia pasti tahu
penyamaran itu. Apa kita punya bukti
tentang hal tersebut? Ya. Mr.
Satterthwaite yang tajam ini
menunjukkan hal itu -yaitu kelakar-
kelakar tajam Sir Bartholomew yang
kelihatannya bukan kebiasaannya bila
menghadapi pelayan-pelayan, 'Kau memang
kepala pelayan top. Iya, kan, Ellis?' Suatu
kalimat yang dapat dimengerti apabila
pelayan itu adalah Sir Charles Cartwright.
"Sebab begitulah Sir Bartholomew
memandang persoalan itu. Penyamaran
sebagai Ellis adalah lelucon; puncaknya
nanti akan terlihat dalam pesta itu.
Karena itulah Sir Bartholomew membuat
pernyataan akan adanya kejutan, dan itu
menjelaskan sikapnya yang riang gembira
itu. Perlu diingat bahwa masih ada
kesempatan untuk menarik diri.
Seandainya salah seorang tamu mengenali
Charles Cartwright pada malam pertama
di meja makan itu, tak ada kejadian apa-
apa yang akan menimbulkan kecurigaan.
Tapi tak seorang pun mengenali kepala
pelayan setengah baya yang agak bungkuk
dengan mata dibuat agak gelap, cambang,
dan tanda buatan di pergelangan
tangannya. Suatu sentuhan identifikasi
yang sangat halus-tapi tidak berarti,
karena kurang tajamnya pengamatan
orang. Tanda di pergelangan tangan itu
sengaja dibuat untuk menjadi ciri Ellis,
dan selama dua minggu itu tak seorang pun
melihatnya. Satu-satunya yang
memperhatikan adalah Miss Wills yang
bermata tajam. Ini akan kita bicarakan.
"Apa yang terjadi kemudian? Sir
Bartholomew meninggal. Kali ini kematian
tersebut bukan kematian yang wajar.
Polisi datang. Mereka menanyai Ellis dan
yang lain. Malam itu Ellis pergi melewati
lorong rahasia, berganti menjadi dirinya
sendiri, dan dua hari kemudian berjalan-
jalan di Monte Carlo, siap untuk
dikejutkan dengan kematian kawannya.
"Harap Anda ingat, semua ini hanya teori.
Saya tak punya bukti yang sebenarnya,
tapi segala yang timbul mendukung teori
itu. Rumah kartu saya bisa berdiri. Surat-
surat pemerasan di kamar Ellis? Kan Sir
Charles sendiri yang menemukan!
"Bagaimana dengan surat Sir Bartholomew
Strange pada Manders untuk mengatur
kecelakaan? Mudah sekali bagi Sir Charles
untuk menulis surat itu dengan nama Sir
Bartholomew. Kalau Manders tidak
membuang surat itu, Sir
Charles dengan peran Ellis-nya bisa
melakukannya pada waktu dia melayani
pemuda itu. Demikian juga guntingan koran
itu bisa masuk dengan mudah ke dalam
dompet pemuda itu.
"Dan sekarang kita sampai ke korban
ketiga-Mrs. de Rushbridger. Kapan kita
pertama kali mendengar tentang dia?
Segera setelah pernyataan atau kelakar
tentang Ellis sebagai kepala pelayan top
itu. Pernyataan Sir Bartholomew Strange
yang tidak biasa itu ditujukan pada Ellis.
Dengan cara apa pun, perhatian dan sikap
Sir Bartholomew pada si kepala pelayan
harus dialihkan. Sir Bartholomew
menanyakan pesan apa yang dibawa kepala
pelayan itu, yaitu tentang wanita
tersebut, pasien dokter itu. Dengan
segera Sir Charles menyembunyikan
dirinya dan mengalihkan perhatian pada
wanita yang tak dikenalnya. Dia pergi ke
sanatorium dan menanyai kepala perawat.
Dia memburu Mrs. de Rushbridger sebagai
jalan untuk menghindar.
"Kita harus melihat peran yang dimainkan
Miss Wills dalam drama ini. Miss Wills
adalah orang yang selalu ingin tahu. Dia
tipe orang yang tak bisa menarik
perhatian orang-orang sekitarnya. Dia
tidak cantik, tidak bisa bicara lancar,
bahkan tidak simpatik. Dia biasa. Tapi dia
sangat suka memperhatikan dan sangat
cerdas. Dia membalas dendamnya pada
dunia dengan pena. Dia bisa memproduksi
suatu karakter di atas kertas. Saya tak
tahu apakah ada sesuatu pada si kepala
pelayan yang membuat Miss Wills curiga,
tapi saya percaya dialah satu-satunya
orang di meja makan yang memperhatikan
si kepala pelayan. Pada pagi hari setelah
menyelidik dan mengintip seperti
dikatakan para pelayan, dia masuk ke
kamar Dacres, mendekati pintu berlapis,
dan masuk ke ruang pelayan. Saya rasa itu
dia lakukan karena instingnya
membawanya menemukan sesuatu.
"Dialah satu-satunya orang yang membuat
Sir Charles gelisah. Karena itu, Sir
Charles ingin dialah yang menangani Miss
Wills. Sir Charles merasa tenang dengan
hasil wawancara yang dilakukannya, saat
Miss Wills mengatakan dia melihat tanda
di pergelangan tangan Ellis. Tapi setelah
itu terjadilah bencana. Saya kira sampai
pada saat wawancara itu Miss Wills belum
menghubungkan Ellis dengan Sir Charles
Cartwright. Saya kira dia cuma merasakan
adanya kesamaan antara Ellis dan
seseorang. Tapi dia seorang pengamat.
Ketika piring-piring disajikan, secara
otomatis dia memperhatikan. Bukan wajah,
tapi tangan orang yang menyajikan piring.
"Dia tidak langsung tahu Ellis adalah Sir
Charles. Tapi ketika Sir Charles bicara
dengannya, tiba-tiba dia tahu Sir Charles
adalah Ellis! Jadi, dia berpura-pura minta
agar Sir Charles memberikan sepiring
sayur. Sebenarnya yang menarik bukanlah
apakah tanda itu di tangan kiri atau kanan.
Dia ingin mempelajari tangannya-tangan-
tangan yang terjulur dengan posisi yang
sama dengan yang dilakukan Ellis.
"Dan dia pun tahu. Tapi dia wanita yang
aneh. Dia cukup senang dengan sekadar
tahu. Di samping itu, dia juga tidak yakin
Sir Charles-lah yang membunuh kawannya.
Ya, Sir Charles memang menyamar sebagai
kepala pelayan, tapi itu tidak membuatnya
otomatis menjadi pembunuh. Banyak orang
diam saja, karena kalau bicara akan serba
salah.
"Jadi, Miss Wills menyimpan sendiri apa
yang diketahuinya dan menikmatinya. Tapi
Sir Charles khawatir. Dia tak suka melihat
ekspresi jahat Miss Wills ketika dia
meninggalkan ruang tamunya. Wanita itu
tahu sesuatu. Apa? Apa berkaitan dengan
dirinya? Dia tak yakin. Tapi dia merasa hal
itu ada hubungannya dengan Ellis.
Pertama, Mr. Satterthwaite, sekarang
Miss Wills. Perhatian harus dialihkan dari
titik vital itu. Harus dialihkan ke tempat
lain. Dan dia membuat rencana-sederhana,
berani, dan menurut pendapatnya,
misterius.
"Pada hari pesta sherry saya, saya
membayangkan Sir Charles bangun pagi-
pagi sekali, pergi ke Yorkshire, menyamar
dengan baju kumal sebagai pengemis, dan
memberikan telegram pada seorang anak
untuk mengirimkannya. Lalu dia kembali
lagi untuk memainkan peran yang saya
inginkan dalam drama kecil itu. Dia
melakukan satu hal lagi. Dia mengirim
sekotak cokelat pada seorang wanita yang
belum pernah dilihatnya dan tak
dikenalnya.
"Anda tahu apa yang terjadi malam itu.
Dari sikap Sir Charles yang gelisah, saya
yakin Miss Wills mempunyai kecurigaan.
Ketika Sir Charles berpura-pura mati,
saya memperhatikan wajah Miss Wills.
Saya melihat rasa heran di situ. Saya jadi
yakin dia memang mencurigai Sir Charles
sebagai si pembunuh. Ketika Sir Charles
pura-pura mati, dia berpikir deduksinya
keliru.
"Tapi kalau mencurigai Sir Charles,
berarti Miss Wills dalam bahaya. Orang
yang sudah membunuh dua kali tak akan
segan membunuh lagi. Saya memberikan
peringatan. Malam itu saya menghubungi
Miss Wills lewat telepon, dan atas saran
saya dia meninggalkan rumah esok paginya.
Sejak itu dia tinggal di hotel ini.
Kebenaran akan kekhawatiran saya
terbukti dengan kepergian Sir Charles ke
Tooting esok malamnya, setelah dia
kembali dari Gilling. Dia terlambat. Burung
itu telah terbang.
"Sementara itu, dari sudut pandangnya,
rencana itu berjalan baik. Mrs. de
Rushbridger punya hal penting yang ingin
dia ceritakan. Mrs. de Rushbridger
terbunuh sebelum sempat bicara. Begitu
dramatis! Seperti cerita detektif,
sandiwara, dan film! Sekali lagi semua itu
adalah hiasan panggung.
"Tapi saya, Hercule Poirot, tak bisa
dikelabui. Mr. Satterthwaite bilang,
wanita itu dibunuh agar tak bisa bicara.
Saya setuju. Dia melanjutkan berkata
bahwa wanita itu dibunuh agar dia tidak
bisa menceritakan pada kita apa yang
diketahuinya. Saya berkata, 'Atau apa
yang tidak diketahuinya.' Mrs. de
Rushbridger dibunuh karena dia tak punya
hubungan apa-apa dengan kejahatan itu.
Sebab itu dia dibunuh untuk mengalihkan
perhatian kita. Jadi, Mrs. de Rushbridger
yang tak tahu apa-apa dan tak berbuat
apa-apa itu dibunuh.
"Namun dalam kemenangan yang
kelihatannya gemilang itu, Sir Charles
melakukan satu kesalahan besar dan
kekanak-kanakan! Telegram itu
dialamatkan pada saya, Hercule Poirot, di
Hotel Ritz. Tapi Mrs. de Rushbridger tak
pernah tahu bagaimana hubungan saya
dengan kasus itu! Tak seorang pun dari
belahan bumi di situ tahu tentang saya.
Ini merupakan kekeliruan yang tolol.
"Eh bien. Ternyata saya sudah berada di
suatu tingkat tertentu. Saya tahu
identitas si pembunuh. Tapi saya belum
tahu motif untuk kejahatan yang
sesungguhnya.
"Saya berpikir.
"Dan sekali lagi, kali ini lebih jelas, saya
melihat kematian Sir Bartholomew
Strange merupakan pembunuhan utama.
Apa yang menyebabkan Sir Charles
membunuh teman sendiri? Bisakah saya
membayangkan suatu motif? Rasanya
bisa."
Terdengar tarikan napas dalam. Sir
Charles Cartwright berdiri pelan dan
berjalan ke perapian. Ia berdiri di sana.
Tangannya berkacak pinggang dan ia
menunduk, memandang Poirot. Mr.
Satterthwaite bisa mengatakan sikapnya
seperti Lord Englemount yang memandang
sebal pada pengacaranya yang telah berani
melontarkan tuduhan penipuan padanya. Ia
menunjukkan sikap anggun dan
menampakkan rasa jijik. Ia seorang
aristokrat yang memandang rendah pada
canaille yang rendah.
"Imajinasi Anda luar biasa, M. Poirot,"
katanya. "Rasanya tak ada gunanya
mengatakan tak satu pun dari kata-kata
Anda itu benar. Saya tak tahu bagaimana
Anda berani mengemukakan kebohongan
itu. Tapi lanjutkan. Saya tertarik. Apa
motif saya membunuh orang yang telah
saya kenal sejak kecil?"
Hercule Poirot, si borjuis kecil,
mendongak pada si aristokrat. Ia bicara
tenang dan tegas,
"Sir Charles, motif pembunuhan tidak
terlalu banyak. Ada ketakutan, ada
keinginan memiliki, dan ada wanita. Dalam
kasus Anda, kita tak perlu mencari yang
lain lagi. Motif Anda untuk membunuh Sir
Bartholomew Strange adalah ketakutan."
Sir Charles mengangkat bahu.
"Dan kenapa saya takut pada teman saya
sendiri?"
"Karena," kata Hercule Poirot, "Sir
Bartholomew spesialis saraf."
Dia diam sesaat, lalu melanjutkan dengan
suara lembut,
"Ketika ide itu masuk ke kepala saya, saya
mulai mencari informasi. Saya membaca
file koran-koran. Barangkali Anda masih
ingat pernah bercerita di depan Mr.
Satterthwaite bahwa Anda telah
meninggalkan karier Anda setelah
mendapat gangguan saraf karena bekerja
terlalu berat. Pernyataan itu terlalu
dangkal untuk arti sebenarnya. Saya
perhatikan bahwa dalam dua tahun
terakhir karier panggung Anda, Anda
bermain dalam tiga cerita-kehidupan
Napoleon yang dramatis, kehidupan
pastoral yang religius di mana Anda
bermain sebagai dewa yang menyamar, dan
sebuah drama kejahatan di mana Anda
bermain sebagai superdiktator yang
menguasai dunia. Dalam pidato-pidato
Anda waktu itu terasa adanya egomania.
Sedangkan tentang sakitnya Anda tidak
terlalu banyak diungkapkan. Hanya ada
satu berita bahwa Anda pergi berlayar.
Tapi saya tidak menemukan nama Anda
dalam daftar nama penumpang-penumpang
kapal di perusahaan-perusahaan pelayaran.
"Secara tak sengaja, pada saat itu Miss
Lytton Gore datang membantu. Dia
mengatakan nama Anda yang sebenarnya
Mugg. Lalu saya teringat pada satu
kalimat-kalimat yang tertulis dalam buku
harian Sir Bartholomew, 'Saya khawatir
dengan M. Kelihatannya ada yang tidak
beres.' M bukanlah kependekan dari
Manders ataupun Margaret de
Rushbridger ataupun nama orang lain. M
adalah dari Mugg-nama yang dikenal Sir
Bartholomew sejak dulu. Dan dengan
segera saya bisa menemukan konfirmasi
teori saya. Pada tanggal ketika Sir
Charles dikabarkan akan pergi berlayar,
seorang pasien bernama Charles Mugg
diterima di sebuah rumah sakit saraf
swasta di Lincolnshire. Saya bisa mengerti
alasan-alasan untuk prosedur seperti itu-
Sir Charles Cartwright dikenal staf
sanatorium milik Sir Bartholomew. Cara ini
dipakai untuk menghindari publikasi.
Charles Mugg meninggalkan rumah sakit
setelah tinggal selama empat bulan. Tapi
saya bisa membayangkan dokter itu belum
sepenuhnya puas dengan kondisi mental
kawannya. Karena itu, tak mengherankan
apabila sikapnya yang selalu mengawasi itu
menimbulkan tragedi.
"Sakit Sir Charles sebenarnya belum
sembuh. Dia hanya menyembunyikannya
dengan rapi dari dunia ini. Tapi dia tak
bisa terlalu banyak berbuat di hadapan
temannya yang berpengalaman. Jadi,
sementara Sir Bartholomew tak puas
dengan kondisi mental kawannya, Sir
Charles membuat rencana dengan
pikirannya yang memang cerdas.
"Dia melihat Sir Bartholomew sebagai
penghalang kemerdekaannya. Dia yakin Sir
Bartholomew merencanakan akan
membatasi gerakannya. Jadi, dia
merencanakan suatu pembunuhan yang
cerdik.
"Satu hal yang membuat saya bingung
adalah ini. Hubungan antara Sir Charles
dan Miss Lytton Gore. Kepada Mr.
Satterthwaite dia berpura-pura tak
melihat gairah cinta yang dipancarkan
kekasihnya. Dia berpura-pura mengira
Miss Lytton Gore jatuh cinta pada Mr.
Oliver Manders. Tapi laki-laki seperti Sir
Charles, yang berpengetahuan luas dan
punya pengalaman matang dalam soal
wanita, tentunya takkan bisa dikelabui
begitu saja. Dia pasti tahu bahwa
segalanya jelas. Jadi, kenapa dia bersikap
begitu?
"Sangat sederhana. Sir Charles
memerlukan alasan untuk meninggalkan
Loomouth dan pergi ke luar negeri. Dia
memerlukan alasan agar bisa menghindari
temannya untuk sementara. Dengan
kelihaiannya menciptakan efek dramatis,
dia menggunakan alasan romantis itu. Dan
hal tersebut menimbulkan rasa simpati
orang lain padanya. Itu juga memberinya
alasan untuk kembali ke Inggris setelah
kematian Sir Bartholomew Strange dan
untuk mengambil bagian dalam
penyelidikan. Baginya sangat penting untuk
mengetahui perkembangan penyelidikan
itu."
Hercule Poirot diam.
Sir Charles tertawa. Tawa yang dalam dan
amat geli. "Ah," katanya, "Anda bisa saja."
Dan seandainya ada penonton di situ,
mereka pasti merasa bahwa ide orang
asing ini benar-benar menggelikan. Sir
Charles-lah yang kelihatan waras.
"Jadi, saya ini gila?" kata Sir Charles
melucu. "M. Poirot, apa Anda yakin itu
tidak terbalik? Kita tak akan mengatakan
yang gila itu buruk, tapi"-ia menyentuh
dahinya-"hanya sedikit miring. Saya akui
memang saya pernah sakit, dan atas saran
Tollie saya pergi ke rumah sakit swasta
untuk dirawat. Tapi kalau Anda
menganggap diri saya sebagai maniak
pembunuh... wah, itu terlalu berat."
Ia diam, lalu melanjutkan bicara, masih
dalam nada suara lucu,
"Dan Babbington-pendeta yang baik.
Apakah dia juga mengatur orang gila?"
"Tidak," kata Hercule Poirot. "Alasan
pembunuhan Mr. Babbington lain. Pada
dasarnya bahkan tak ada alasan."
"Sekadar untuk kesenangan?"
"Tidak. Sebenarnya lebih dari itu. Saya
sadar akan fakta yang menunjukkan bahwa
walaupun pada malam itu Anda punya
kesempatan untuk membubuhkan nikotin
di gelas koktail, Anda tak bisa yakin betul
gelas itu akan sampai pada orang yang
Anda tuju. Kemarin, secara tak sengaja,
saya tahu sebabnya. Racun itu memang
tidak khusus ditujukan pada Stephen
Babbington, tapi untuk siapa pun yang ada
dalam pesta itu, kecuali dua orang-Anda
sendiri dan Sir Bartholomew, yang Anda
tahu tidak minum koktail."
Mr. Satterthwaite berseru,
"Itu tak masuk akal. Apa tujuannya? Sama
sekali tak ada." Poirot berbalik
memandangnya. Suaranya penuh
kemenangan,
"Oh ya, ada. Alasannya aneh, sangat aneh.
Satu-satunya yang pernah saya temukan
selama ini. Pembunuhan Stephen
Babbington tak kurang tak lebih adalah
suatu latihan akhir." "Apa?"
"Ya. Sir Charles ini seorang aktor. Dia
mengikuti insting aktornya. Dia mencoba
dulu sebelum melakukan yang sebenarnya.
Tak ada kecurigaan yang bisa ditujukan
padanya. Tak satu pun dari kematian
orang-orang itu memberikan keuntungan
berarti baginya, dan lagi, seperti telah
diketahui, tak dapat dibuktikan bahwa dia
memang sengaja meracun orang tertentu.
Dan latihan terakhir itu sukses. Mr.
Babbington meninggal. Tak seorang pun
curiga akan adanya permainan keji. Semua
terserah pada Sir Charles, mau bersikap
bagaimana, dan dia senang ketika kita
tidak menanggapi hal itu dengan serius.
Penggantian gelas itu bisa lewat begitu
saja. Dia menjadi yakin bahwa pada
pertunjukan sebenarnya nanti, semua akan
beres.
"Sebagaimana Anda ketahui, kejadian
tidak selalu sama dengan yang diharapkan.
Pada pembunuhan kedua, hadir seorang
dokter yang segera mencurigai adanya
peracunan. Pada saat itulah Sir Charles
mulai menekankan kematian Babbington.
Kematian Sir Bartholomew pasti ada
hubungannya dengan kematian pertama.
Perhatian harus diarahkan pada motif
pembunuhan Babbington, bukannya pada
motif pembunuhan Sir Bartholomew.
"Tapi ada satu hal yang tidak disadari Sir
Charles. Kewaspadaan Miss Milray. Dia
tahu tuannya membuat percobaan-
percobaan kimia di menara kebunnya. Miss
Milray membayar tagihan-tagihan untuk
cairan penyemprot mawar yang hilang.
Ketika dia membaca Mr. Babbington
meninggal karena keracunan nikotin,
otaknya yang cerdas langsung menarik
konklusi bahwa Sir Charles telah
melakukan penyulingan alkaloid murni dari
cairan penyemprot mawar.
"Dan Miss Milray tak tahu apa yang harus
dia lakukan, karena dia telah mengenal Mr.
Babbington sejak kecil, dan dia memendam
rasa cinta yang amat dalam-sebagai wanita
yang tidak menarik-pada majikannya yang
luar biasa itu.
"Akhirnya dia memutuskan untuk
menghancurkan peralatan laboratorium
tuannya. Sir Charles sendiri begitu yakin
akan kesuksesannya, sehingga tak pernah
memikirkan hal itu penting baginya. Miss
Milray pergi ke Cornwall dan saya
mengikutinya."
Sekali lagi Sir Charles tertawa. Ia
bersikap sebagai orang yang merasa jijik
melihat tikus. "Jadi, bukti-bukti yang bisa
Anda ajukan adalah beberapa peralatan
laboratorium tua?" katanya menghina.
"Tidak," kata Poirot. "Ada paspor Anda
yang menunjukkan tanggal-tanggal ketika
Anda ke luar negeri dan kembali lagi ke
Inggris. Tanggal-tanggal itu sesuai dengan
periode ketika Ellis sedang bekerja pada
Sir Bartholomew." Sampai sejauh itu Egg
duduk diam saja, kaku. Tapi sekarang ia
bergerak. Terdengar suara tangis kecil
darinya. Sir Charles berpaling kepadanya.
"Egg, kau tak percaya cerita konyol ini,
kan?" Ia tertawa. Tangannya terkembang.
Egg datang pelan-pelan kepadanya, seperti
orang dihipnotis. Matanya memandang
mata Sir Charles. Dan kemudian, sebelum
sampai, ia ragu-ragu. Pandangannya jatuh.
Matanya melihat ke kiri dan ke kanan,
seolah-olah mencari pegangan.
Kemudian, sambil menangis ia berlutut di
depan Poirot.
"Apa benar? Apa benar?"
Poirot meletakkan kedua tangannya ke
bahu gadis itu, memegangnya dengan
hangat dan tegas. "Itu benar,
Mademoiselle." Egg berkata,
"Hari itu, waktu kami di desa, saya merasa
begitu takut. Saya tak tahu kenapa. Saya
hanya merasa takut akan sesuatu. Apakah
itu karena... karena..."
"Intuisi wanita, Egg," kata Sir Charles
dengan suara mengejek. Ia masih
kelihatan tenang.
"Begini, Poirot," katanya. "Saya bisa
menjelaskan soal paspor itu. Memang
kelihatannya memberatkan, tapi ada
alasannya."
Hercule Poirot berkata dengan nada cepat
dan tegas,
"Sir Charles, di kamar sebelah ada
seorang inspektur polisi dari Scotland
Yard dan dua dokter-spesialis-spesialis
terkenal penyakit otak."
"Anda telah bertindak sejauh itu?" Sir
Charles melangkah maju. Wajahnya
kelihatan larut dan kembali ke asalnya.
Wajah itu berubah marah. Suaranya
melengking serak,
"Anda menjebak saya! Ya, Anda menjebak
saya! Saya tak mau menemui mereka! Ini
suatu plot! Persekongkolan! Perangkap!
Tapi mereka tak akan bisa menyentuh
saya-tak seorang pun bisa!" Ia
menenangkan dirinya. "Saya di atas kalian
semua-di atas hukum manusia yang konyol!
Ketiga orang itu harus dibunuh, itu harus!
Saya menyesali kematian mereka, tapi itu
perlu! Perlu dilakukan! Demi keselamatan
saya!"
Ia berhenti dan memandang Poirot,
gerahamnya menahan geram.
"Itu tidak benar. Anda cuma menakut-
nakuti saya. Anda bohong."
"Silakan lihat sendiri," kata Hercule
Poirot.
Sir Charles berjalan, membuka pintu, dan
masuk. Mereka mendengar jeritannya
dalam suara tinggi dan gumam suara
beberapa laki-laki. Poirot berjalan ke
pintu, melongok sebentar, lalu menutupnya
dengan hati-hati.
"Sudah selesai, Mademoiselle," katanya.
"Dia akan dirawat. Dan ini ada seorang
kawan yang akan menemani Anda pulang."
Ia membuka sebuah pintu lain. Oliver
Manders ada di sana. Ia berjalan cepat
mendekati Egg dan gadis itu berjalan
tersaruk ke arahnya.
"Oliver, aku begitu jahat padamu. Jahat.
Bawa aku ke Ibu! Oh, bawa aku pulang ke
Ibu!" Oliver merangkul gadis itu dan
membawanya keluar. "Ya, Sayang, kuantar
kau. Ayo." "Oh, mengerikan... mengerikan."
"Ya, ya. Tapi semua sudah lewat sekarang.
Jangan dipikirkan lagi."
"Aku tak bisa lupa. Tak akan lupa."
"Ya... nanti pasti bisa. Bisa cepat lupa.
Ayo."
Egg menurut. Di pintu ia menegakkan
tubuh dan melepaskan diri dari pelukan
pemuda itu. "Aku tak apa-apa."
Poirot memberi isyarat; Oliver Manders
kembali lagi ke kamar. "Jaga dia baik-
baik," kata Poirot.
"Ya. Dialah satu-satunya yang saya
sayangi. Anda tahu itu. Cinta saya padanya
membuat saya sinis dan bersikap pahit.
Tapi saya lain sekarang. Saya siap. Dan
suatu hari nanti barangkali..."
"Saya rasa begitu," kata Poirot. "Saya kira
dia mulai merasakan hal itu ketika Sir
Charles datang dan membuatnya bingung.
Hero worship memang berbahaya bagi
anak-anak muda. Suatu hari nanti, Egg
akan jatuh cinta pada seorang teman dan
membangun istana cintanya di atas
karang."
Poirot memandang pemuda itu dengan rasa
sayang ketika ia meninggalkan ruangan.
Mr. Satterthwaite membungkuk ke depan
dalam posisi duduknya.
"M. Poirot," katanya, "Anda memang luar
biasa-sangat luar biasa."
Poirot bersikap rendah hati.
"Ah, bukan apa-apa, bukan apa-apa.
Tragedi tiga babak. Sekarang tirainya
sudah ditutup."
"Maaf," kata Mr. Satterthwaite.
"Ya? Ada sesuatu yang perlu saya
terangkan?"
"Ada satu hal yang ingin saya tanyakan."
"Silakan, silakan."
"Kenapa kadang-kadang Anda berbicara
dengan bahasa Inggris yang sangat baik
dan kadang-kadang tidak?" Poirot
tertawa.
"Ah, akan saya jelaskan. Memang saya bisa
bicara bahasa Inggris dengan baik. Tapi
bicara dengan bahasa Inggris yang patah-
patah merupakan kekayaan tersendiri. Itu
membuat orang menganggap enteng saya.
Mereka bilang, 'Hm, orang asing. Bicara
benar saja tak bisa.' Dan saya tak ingin
menakut-nakuti orang, sebaliknya saya
ingin mereka meremehkan saya. Saya juga
sombong! Orang Inggris suka berpikir,
'Orang yang suka membesarkan diri pasti
tak sebesar itu.' Begitulah cara berpikir
orang-orang Inggris. Dan itu sama sekali
tidak benar. Jadi, saya sering membuat
orang bersikap sembrono. Kecuali itu,"
tambahnya, "hal itu telah menjadi
kebiasaan saya."
"Hm," kata Mr. Satterthwaite, "Anda
memang cerdik seperti ular, M. Poirot."
Ia diam sejenak, memikirkan kasus itu.
"Rasanya saya tak banyak berbuat dalam
soal ini," katanya jengkel.
"Sebaliknya. Anda memikirkan hal yang
penting itu-pernyataan Sir Bartholomew
pada kepala pelayan. Anda juga tahu akan
pengamatan tajam Miss Wills. Saya kira
Anda bisa menyelesaikan kasus ini apabila
Anda tidak terlalu bersikap dramatis."
Mr. Satterthwaite kelihatan gembira.
Tiba-tiba sebuah pikiran masuk ke
kepalanya. Wajahnya langsung suram.
"Ya Tuhan," serunya, "saya baru sadar! Si
jahat itu dan koktail beracunnya! Siapa
pun bisa meminumnya. Dan saya juga bisa
kena!"
"Ada kemungkinan yang lebih mengerikan
lagi, yang belum Anda bayangkan," kata
Poirot.
"Eh?"
"Mungkin saya yang kena," kata Hercule
Poirot.

Scan, Konversi, Edit, Spell & Grammar


Check: clickers
http://facebook.com/DuniaAbuKeisel
http://facebook.com/epub.lover
http://epublover.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai