Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

Sejak Helicobacter pylori dideskripsikan oleh Robin Warren dan Barry Marshal pada tahun 1982, bakteri
ini telah membuka periode baru dalam mendiagnosis dan menatalaksana pada mikrobiologi gaster. H.
pylori menyebabkan satu dari infeksi tersering pada manusia di seluruh belahan dunia dengan distrbusi
yang hampir mencapai frekuensi relatif yang beragam mulai dari 20% hingga 90% pada populasi yang
berbeda. Mikroorganisme tersebut sering dijumpai di lapisan epitelium gaster, yang dapat menyebabkan
respon imun dan inflamasi yang dapat berlangsung seumur hidup jika tidak dieradikasi.

Patogen ini, yang pertama kali termasuk dalam genus Campylobacter, merupakan basil berlekuk Gram
negatif, dengan 2-6 flagela dan kemampuan membentuk urease dalam jumlah yang cukup banyak. Faktor
virulensi lain seperti protein CagA telah diteliti lebih lanjut. Berdasarkan laporan penelitian terakhir,
strain CagA positif dapat menyebabkan kerusakan berat pada epitel gaster, yang diasosiasikan dengan
peningkatan kadar interleukin 8 (IL-8), ulkus gastroduodenum, dan timbulnya neoplasia gaster. Sebagai
tambahan, faktor virulensi ini telah diasosiasikan dengan inflamasi sistemik, menyebabkan peningkatan
kadar protein C-reactive (CRP) dan adanya bakteri telah dihubungkan dengan peningkatan risiko
kardiovaskular.

Beberapa kebiasaan telah dihubungkan dengan penularan H. pylori. Banyak penelitian telah melaporkan
bahwa beberapa aspek dapat dihubungkan dengan rasio insidensi dan prevalensi seperti status
sosioekonomi, pendidikan terakhir, praktik institusionalisasi atau kebiasaan sosial. Pada tahun 2010,
penelitian di Brazil telah menemukan adanya aktivitas anti H. pylori pada ekstrak tumbuhan seperti teh
mate yerba ( Ilex paraguariensis), namun tidak ada asosiasi antara prevalensi bakteri dan konsumsi teh
tersebut yang pernah dilaporkan.

Pada semua orang yang teri feksi H. pylori menunjukan adanya gastritis secara histologis. Lebih lanjut
lagi, bakteri tersebut, diklasifikasikan sebagai karsinogen tipe I, telah diasosiasikan dengan patogenesis
ulkus gaster dan duonenum, karsinoma gaster, dan limfoma gaster MALT. Beberapa penelitian juga
mengemukakan adanya peran bakteri pada kelainan kardiovaskular, merujuk kepada proses inflamasi
yang menghasilkan formasi dan evolusi ateroma. Tambahannya, satu dari tantangan tersulit terkait H.
pylori adalah asosiasi bakteri tersebut dengan dispepsia fungsiona

Pengaruh strain CagA positif dan potensi perubahan pada inflamasi sistemik masih merupakn sasuatu
yang diperdebatkan. Oleh karena itu, penelitian kami bertujuan memverivikasi adanya kemungkinan
hubungan antara virulensi bakteri dan inflamasi sistemik dan/atau inflamasi lokal, melalui pengukuran
terhadap kadar CRP dalam serum dan dibandingkan dengan analisis histologis mukosa gaster dari pasien-
pasien dengan dispepsia fungsional.

METODE

Pasien

Penitian dilakukan di antara November 2006 hingga Juni 2008 dengan mengikutsertakan 489 subjek yang
mengikuti pemeriksaan endoskopi gastrointestinal bagian atas dalam partisipasi percobaan HEROES
(Helicobacter Eradication Relief of Dyspeptic Symptoms), di RS de Clinicas de Porto Alegre, Porto Alegre,
negara bagian Rio Grande do Sul, Brazil, ditentukan secara prospektif dan konsekutif.

Sebagai kriteria inklusi, pasien harus memenuhi kriteria Rome III yaitu mengalami salah satu dari gejala:
a. rasa penuh yang tidak nyama setelah makan; b. celat terasa kenyang; c. nyeri epigastrium; atau d. rasa
terbakar pada epigastrium. Individu yang terdapat kelainan organik yang didiagnosis melalui endoskopi
gastrointestinal bagian atas, seperti esofagitis, ulkus peptik gaster atau duodenum, neoplasia, atau
kondisi lain yang dapat menyebabkan keluhan seperti di atas dieksklusikan dari penelitian ini. Kondisi
seperti pengobatan terhadap H. pylori sebelumnya, manifestasi klinis penyakit organik atau adanya
komorbiditas signifikan dan kondisi tidak dapat menerima intervensi oleh pasien dianggap sebagai
kriteria eksklusi.

Sebagai tambahan, setelah subjek menyetujui keikutsertaan dalam penitian ini, subjek diminta
menjawab pertanyaan tentang riwayat medis, kebiasaan makan dan kualitas hidup.

Prosedur Endoskopi

Dilakukan dengan videoendoskopi (GIF-100, Olympus Co). Setelah 8 jam berpuasa, pasien disedasi
secara intravena berdasarkan usia, berat badan, dan toleransi terhadap fentanyl atau meperidin
ditambah midazolam. Dari setiap pasien diambil tiga fragmen antral, satu dari corpus gaster, dan satu
dari regio incisura angularis. Sampel biopsi digunakan untuk investigasi H. pylori dengan dua metodologi
yang berbeda: histologis dan rapid urease test.

Diagnosis Helicobacter pylori

Satu spesimen biopsi dari masing-masing regio gaster (antrum, corpus, dan incisura angularis) diletakan
dalam 0,5 mL solusio Christensen (Uretest(R), Renylab) untuk memverifikasi adanya urease bakterial.
Hasil positif ditunjukan dengan adanya perubahan warna dari kuning menjadi merah muda dalam waktu
inkubasi selama dua belas jam di suhu ruang sesuai dengan instruksi alat yang digunakan.
Secara bersamaan, spesimen biopsi yang sama yang diambil dari antrum, difiksasi dengan formol 10%
dan diwarnai dengan Hematoxylin dan Eosin (H&E) dan Giemsa. Dua ahli patologi anatomi independen,
berpengalaman, dan tidak tahu tentang penitian ini melakukan pemeriksaan histologi, dan
ketidakcocokan diselesaikan oleh opini ahli ketiga. Status inflamasi ditetapkan berdasarkan klasifikasi
Endoskopi Sydney seperti yang pernah dideskripsikan sebumnya. Infeksi H. pylori dipertimbangkan bila
ada hasil positif dari kedua metodologi (rapid urease test dan evaluasi histologis).

Penetapan Kadar CRP

Sekitar 10 mL darah utuh diambil dari setial pasien dan setelah melalui sentrifugasi 300 rpm selama lima
belas menit, sampel serum disimpan di suhu -80oC dan dianalisis untuk high sensitivity C-reactive
protein (hsCRP) dan antibodi anti-CagA H. pylori, seperti dideskripsikan di bawah ini.

Kadar CRP diukur dengan immunonephelometric assay (CardioPhase(R), hsCRP Dade Behring) di Behring
Nepheleometer II analyzerana. Batas bawah CRP terdeteksi adalah 0.17 mg/L, dan rentang pengukuran
0.175-1100 mg/L.

Penetapan Status CagA

Pendekatan serologis untuk anti-Cag dilakukan dengan peralatan komersial yang ada (CagA IgG EIA
WELL(R), Radim) sesuai dengan instruksi alat yang digunakan. Setelah inkubasi, cawan dibaca di bawah
spektrofotometer pada 450 nm dan sampel dengan nilai IgG lebih tinggi dari 15 RU/mL dianggap reaktif
terhadap antibodi IgG anti-CagA. Setiap sampel dilakukan pengukuran sebanyak dua kali untuk hasil yang
lebih presisi.

Pertimbangan Etika

Seluruh prosedur penelitian dilaksanakan dalam persetujuan dengan Declaration of Helsinki, dengan
Brazilian Federal Resolution 196/96 dan disetujui oleh pemimpin institusi lokal, dideskripsikan sebagai
proyek nomor 07-547. Semua pasien telah diinformasikan tentang pnelitian ini dan telah dilaksanakan
informed censent tertulis sebelum adanya intervensi.

Analisis Statistik

Data ditampilkan sebagai rerata (SD) atau nilai tengah (kuartil 1 dan kuartil 3), serta yang lainnya
disertakan. Variabel kuantitatif pertama-tama dianalisis dengan distribusi Gaussian dan dilanjutkan
dengan t-test dan one-way ANOVA (parametrik) atau Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis test (non-
parametrik). Variabel kategorik dideskripsikan sebagai frekuensi absolut atau relatif dan dianalisis
dengan chi-square test dengan tes residual yang disesuaikan. Analisis dilakukan dengan SPSS v. 18.
Penelitian dianggap bermakna jika P value <0.5.

HASIL
Karakteristik subjek ditampilkan dalam Tabel 1. Dengan mempertimbangkan status H. pylori dalam
gaster, 66.3% pasien dengan dispepsia fungsional positif H. pylori. Di antara pasien-pasien ini, 42.8%
menperlihatkan antibodi terhadap protein virulensi CagA.

Temuan yang relevan termasuk salah satunya prevalensi tinggi H. pylori dalam populasi yang mendapat
pendidikan kurang dari dari sembilan tahun dan tidak ada asosiasi antara frekuensi bakterial dan jwnis
kelamin, usia, kebiasaan merokok atau konsumsi alkohol pada penelitian ini.

Kebiasaan pasien mengkonsumsi teh yerba mate juga ditanyakan, dan 45.3% individu yang positif H.
pylori dilaporkan sering mengkonsumsi minuman tersebut (P=0.006).

Tabel 2 menunjukan status inflamasi lokal dan sistemik berdasarkan adanya H. pylori dan faktor virulensi
CagA. Secara umum, didapatkan adanya asosiasi yang erat antara adanya anti-CagA dan tingginya
inflamasi dan aktivitas inflamasi pada epitel gaster (P<=0.001), tanpa efek signifikan dari nilai CRP.
Dengan mempertimbangkan marker inflamasi sistemik (hsCRP) dan aktivitas inflamasi lokal atau derajat
inflamasi pada pasien dispepsia, tidak ditemukannya asosiasi antara marker inflamasi sistemik dan
aktivitas inflamasi (P=0.339) maupun marker inflamasi sistemik dan derajat inflamasi (P=0.508).

DISKUSI

Akhir-akhir ini, H. pylori telah diusung sebagai salah satu faktor penting pada manifestasi ekstra-gaster
seperti peningkatan kadar CRP dan inflamasi sistemik, dapat menimbulkan semakin tingginya faktor
risiko potensial terhadap berkembangnya penyakit kardiovaskular. Penelitian ini dikembangkan dengan
tujuan, memverifikasi sebuah kemungkinan hubungan antara virulensi bakterial dan inflamasi sistemik
dan/atau lokal melalui pengukuran kadar CRP dalam serum dan evaluasi histologis terhadap mukosa
gaster pasien dengan dispepsia fungsional.

Dengan mempertimbangkan pengaruh bakteri pada sistem imun, penelitian yang dilakukan oleh Lee dkk.
(2010) mengindikasikan infeksi H. pylori atau stimulasi lipopolisakaridanya mengarahkan kepada ekspresi
signifikan terhadap mediator inflamasi termasuk tumor necrosis factor- alpha (TNF-ª), IL-8, termasuk
nitiric oxide synthase dan cyclooxygenase-2. Mekanisme pada respon ini mempengaruhi imunitas awal
melalui proses pengenalan pada beberapa perubahan konstitusi mikrobial oleh reseptor diekspresikan di
sel epitel penjamu begitu pula neutrofil. Di dalam saluran cerna, proses tersebut menyebabkan aktivasi
sinyal kaskade terkonservasi dimediasi oleh faktor nuklear kB (NF-kB), mitogen-act vated kinase dan jalur
caspase-dependent signaling.

Temuan utama pada penelitian kami adalah: 1. tidak adanya asosiasi antara kadar CRP serum pada
pasien yang terinfeksi H. pylori dengan dispensia fungsional, tidak bergantung pada status CagA; 2.
adanya proses inflamasi yang nyata pada epitel gaster pada pasien yang memiliki strain paling virulen; 3.
prevalensi H. pylori yang tinggi pada populasi dengan pendidikan kurang dari sembilan tahun; dan, 4.
pada mereka yang sering mengkonsumsi teh yerba mate.

Dengan pertimbangan berdasarkan temuan pertama, hasil yang kami dapatkan tidak sesuai dengan
beberapa, hasil penelitian yang menunjukan adanya asosiasi yang cukup kuat antara H. pylori dan
peningkatan kadar CRP serum, terutama pada pasien yang positif strain CagA. Dengan
mempertimbangkan adanya kemungkinan asosiasi antara tingginya tingkat inflamasi sistemik dan infeksi
H. pylori, beberapa data menunjukan bahwa setelah eradikasi patogen, kadar CRP dapat menurun secara
signifikan. Namu, tidak ada konsensus tentang hal ini. Sebagai contoh, sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Brenner dkk (1999) menyertakan 1.800 subjek yang sehat tidak menunjukan adanya relasi antara H.
pylori, virulensi bakteri, dan marker inflamasi. Meskipun ditemukan adanya relasi berlawanan arah
antara infeksi H. pylori dan serum albumin, adanya bakteri tidak memiliki relasi dengan CRP dan hitung
leukosit, sesuai dengan status CagA. Hasil serupa juga dilaporkan pada beberapa penelitian yang
menunjukan bahwa infeksi H. pylori tidak berdampak terhadap marker inflamasi sistemik.

CagA adalah faktor virulensi yang paling sering diteliti dengan peng-kode-an oleh cytotoxin-associated
genes pathogenecity island (cagPAI). Sebuah strain yang mengekspresikan protein CagA, yang muncul
pada isolasi yang lebih virulen, secara umum diasosiasikan dengan produksi sitokin inflamasi, khususnya
IL-8, dan berbagai faktor telah dilaporkan sebagai faktor penting sehubungan dengan angka kejadian
ulkus peptik dan adenokarsinoma gaster. Telah diteliti pada pasien dengan strain yang memiliki strain
lebih virulen terjadi aktivitas inflamasi pada epitel gaster yang cukup bermakna, sebaliknya, tidak ada
aktivitas inflamasi maupun peradangan yang ditemukan pada, masing-masing, lebih dari 90% dan 54%
subjek yang negatif H. pylori.

Kami juga menemukan asosiasi penting antara prevalensi patogen dan lamanya pendidikan dan
konsumsi teh yerba mate. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya oleh peneliti Brazil yang lain, 66%
populasi studi kami menunjukan adanya infeksi H. pylori, di antara pasien-pasien tersebut, hampir 58%
dilaporkan memiliki tingkat pendidikan kurang dari sembilan tahun. Penemuan ini serupa pada penilitian
lain, yang menunjukan bahwa status sosioekonomi dan tingkat pendidikan mungkin merupakan suatu
faktor risiko penting pada penularan H. pylori.

Berdasarkan data yang sebelumnya pernah dilaporkan (Kodaira dkk.), penemuan kami menyatakan
bahwa frekuensi H. pylori tidak berhubungan dengan kebiasaan merokok atau konsumsi alkohol. Di sisi
lain, untuk pertama kalinya, ditemukan adanyaand hubungan antara konsumsi mate dengan infeksi H.
pylori. Mate adalah minuman yang terbuat dari seduhan herbal Ilex paraguariensis yang diminum
dengan cara berbagi satu, wadah dan satu sedotan. Walaupun telah diketehui bahwa herba tersebut
memiliki aktivitas anti H. pylori, kebiasaandan ini mungkin menjadi salah satu cara penularan bakteri.

Dengan mempertimbangkan prosedur penelitian kami, kami menyadari bahwa CRP bukan marker
spesifik pada inflamasi akut dan ada kemungkinan hal tesebut berhubungan dengan beberapa penyakit
dan kondisi lainnya. Pertama kali dideskripsikan oleh Tillet e Francis (1930), protein inflamasi ini memiki
peranan penting untuk memprediksi adanya risiko kardiovaskular daripada aplikasi lainnya. Meskipun
kami telah menelaah inflamasi sistemik dengan analisis ini, kami yakin ada pemeriksaan lain yang lebih
tepat untuk menghubungkan infeksi H. pylori dengan inflamasi sistemik. Sebagai contoh, beberapa
penelitian menggunakan marker-marker lain seperti IL-6, IL-8, dan TNF-ª, yang tampaknya lebih
berhubungan dengan infeksi bakterial.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, dengan mempertimbagkan asosiasi antara adanya antibodi
anti-CagA dan tingginya kerusakan jaringan, meskipun tanpa adanya respons sistemik melalui
pengukuran kadar CRP, kami menyarankan adanya penelitian lebih lanjut mengenai adanya keterlibatan
marker inflamasi yang mungkin berhubungan dengan tingginya inflamasi sistemik pada pasien dispepsia
fungsional yang terdapat H. pylori dan faktor virulensinya.

Anda mungkin juga menyukai