1. Latar belakang
2. Faktor yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu-ke-bayi
3. PMTCT – umum
4. PMTCT dengan ART penuh
5. PMTCT – mulai dini
6. PMTCT – mulai lambat
7. Makanan bayi
8. Advokasi
Latar belakang
Sering ada kesan bahwa sebagian besar anak yang dilahirkan oleh ibu yang HIV-
positif akan terinfeksi. Seperti dijelaskan pada gambar berikut, sebenarnya 60–
75% anak tersebut tidak terinfeksi, walaupun tidak ada intervensi apa pun.
Rata-rata 30% terinfeksi, dengan 5% dalam kandungan, 15% waktu lahir dan 10%
dari ASI. Dari angka ini, kita dapat mulai lihat intervensi yang mungkin dapat
mengurangi jumlah anak yang tertular – intervensi yang disebut sebagai
pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi. atau sering ada yang memakai
singkatan PMTCT (prevention of mother-to-child transmission). Adalah penting
kita – dan masyarakat umum – mengetahui bahwa dalam keadaan terburuk,
paling 40% bayi terinfeksi.
PMTCT – umum
Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah mencegah
penularan pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa hanya si bayi hanya dapat
tertular oleh ibunya. Jadi bila ibunya HIV-negatif, PASTI si bayi juga tidak
terinfeksi HIV. Status HIV si ayah TIDAK mempengaruhi status HIV si bayi.
Mengapa? Kita sering salah ngomong bahwa salah satu cairan tubuh manusia
yang mengandung HIV adalah ‘cairan sperma’. Ini SALAH! Yang mengandung
virus pada laki-laki yang HIV-positif adalah air mani, BUKAN sperma. Hal ini
ibarat ikan dalam air laut: airnya mengandung virus, bukan ikan. Sperma tidak
mengandung virus, dan oleh karena itu, telur si ibu TIDAK dapat ditularkan oleh
sperma!
Jelas, bila si perempuan tidak terinfeksi, dan melakukan hubungan seks dengan
laki-laki tanpa kondom dalam upaya buat anak, ada risiko si perempuan
tertular. Dan bila perempuan terinfeksi pada waktu tersebut, dia sendiri dapat
menularkan virus pada bayi. Tetapi si laki-laki tidak dapat langsung menularkan
janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita menghindari infeksi HIV
pada perempuan.
Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan harus
dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu di
bawah 1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko
kontak cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi
waktu itu, dan hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI.
Dengan semua upaya ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di
bawah 8%.
Pedoman baru dari WHO melonggarkan kriteria ART untuk perempuan hamil.
WHO mengusulkan perempuan hamil dengan penyakit stadium klinis 3 dan CD4
di bawah 350 ditawarkan ART. Jelas bila CD4 di bawah 200, atau mengalami
penyakit stadium klinis 4, sebaiknya si perempuan memakai ART.
Namun ada sedikit keraguan dengan rejimen yang sebaiknya diberikan pada
perempuan. Perempuan hamil tidak boleh diberikan efavirenz pada triwulan
pertama. Tetapi juga ada masalah dengan pemberian nevirapine pada
perempuan dengan CD4 yang masih tinggi: efek samping ruam dan
hepatotoksisitas (keracunan hati) lebih mungkin dialami oleh perempuan
dengan di atas 250. Jadi dibutuhkan pemantauan yang lebih ketat, sedikitnya
pada beberapa minggu pertama, bila nevirapine diberikan pada perempuan
dengan CD4 di atas 250.
Sekali lagi, protokol ini membutuhkan diagnosis dan perawatan agak dini, dan
obat harus tersedia. Bila ibu diberikan AZT untuk kurang dari empat minggu
sebelum melahirkan, AZT pada bayi sebaiknya diteruskan selama empat
minggu, bukan tujuh hari.
Makanan bayi
Sampai 10% bayi dari ibu HIV-positif tertular melalui menyusui, tetapi jauh
lebih sedikit bila disusui secara eksklusif. Sebaliknya lebih dari 3% bayi di
Indonesia meninggal akibat infeksi bakteri, yang sering disebabkan oleh
makanan atau botol yang tidak bersih. Ada juga yang diberi pengganti ASI (PASI)
dengan jumlah yang kurang sehingga bayi meninggal karena malnutrisi. ASI
memberi semuanya yang dibutuhkan oleh bayi untuk tumbuh dan melawan
infeksi. Jadi sering kali bayi lebih berisiko bila diberi PASI daripada ASI dari ibu
HIV-positif. Oleh karena itu usulan sekarang adalah agar bayi diberi ASI
eksklusif untuk enam bulan pertama, kemudian disapih mendadak, kecuali...
...bila dapat dipastikan bahwa PASI secara eksklusif dapat diberi dengan cara
AFASS:
A = Affordable (terjangkau)
F = Feasible (praktis)
A = Acceptable (diterima oleh lingkungan)
S = Safe (aman)
S = Sustainable (kesinambungan)
Itu berarti tidak boleh disusui sama sekali. Ada banyak masalah: mahalnya
harga susu formula, sehingga sering bayi tidak diberi cukup; kalau bayi
menangis, ibu didesak untuk menyusuinya; ibu yang tidak menyusui dianggap
kurang memperhatikan bayi, atau melawan dengan asas; air yang dipakai tidak
bersih, atau campuran tidak disimpan secara aman; dan apakah PASI dapat
diberi terus-menerus.
ASI eksklusif berarti bayi hanya diberi ASI dari saat lahir tanpa makanan atau
minuman lain, termasuk air. ASI adalah sangat halus, mudah diserap oleh
perut/usus. Makanan lain lebih keras sehingga lapisan perut/usus membuka
agar diserap, membiarkan HIV dalam ASI menembus dan masuk darah bayi. Jadi
risiko penularan tertinggi bila bayi diberi ASI yang mengandung HIV, bersamaan
dengan makanan lain. Harus ada kesepakatan sebelum melahirkan antara ibu,
ayah dan petugas medis agar bayi langsung disusui setelah lahir, sebelum diberi
makanan/minuman lain. Setelah enam bulan, sebaiknya disapih secara
mendadak (berhenti total menyusui).
Advokasi
Saat ini di Indonesia, jarang kita dapat bertemu dengan dokter kandungan atau
dokter anak yang berpengetahuan mengenai HIV, masalah perempuan dengan
HIV, dan bagaimana mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi. Dengan semakin
banyak perempuan terinfeksi HIV, sudah waktunya setiap Pokja AIDS di rumah
sakit rujukan AIDS melibatkan dokter kandungan dan dokter anak. Sudah ada di
rumah sakit kita?