Anda di halaman 1dari 30

PRESENTASI KASUS

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

ASMA BRONKIAL EKSASERBASI AKUT

Diajukan Guna Melengkapi Sebagai Persyaratan Dokter Internship

Oleh

dr. Bukhari Muslim Siregar

Pembimbing

dr. Muhammad Al Asyhar

NIP: 19711016200501 1 008

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGANYAR

KABUPATEN KARANGANYAR

20I9
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

Karanganyar, April 2019

Mengetahui :

Pembimbing Internship

dr. Muhammad Al Asyhar

(NIP: 19711016200501 1 008)


Berita Acara Presentasi Portofolio

Pada hari ini hari……….., tanggal ………….. 2019 telah dipresentasikan portofolio oleh:

Nama : dr. Bukhari Muslim Siregar

Judul/ topik : Asma Bronkial

Nama Pendamping : dr. Muhammad Al Asyhar

Nama Wahana : RSUD Karanganyar

Nama Peserta Presentasi No. ID Peserta Tanda Tangan

1. 1.

2. 2.

3. 3.

4. 4.

5. 5.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

dr. Muhammad Al Asyhar

(NIP: 19711016200501 1 008)


BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit inflamasi dari saluran pernafasan yang melibatkan

inflamasi pada saluran pernafasan dan mengganggu aliran udara, dan dialami oleh 22 juta

warga Amerika. Inflamasi saluran nafas pada asma meliputi interaksi komplek dari sel,

mediator-mediator, sitokin, dan kemokin. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan

hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak

napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episode

tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali

bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.2

Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian.

Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) diberbagai

propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10

penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan empisema.

Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan empisema sebagai penyebab kematian

(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh

Indonesia sebesar 13/1000 dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru

2/1000.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi Dan Etiologi

Asma Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai

pada awal kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur

10 tahun dan sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia

anak-anak, terdapat perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun

perbandingan ini menjadi sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda antara

satu kota dengan kota yang lain dalam negara yang sama. Di Indonesia prevalensi

asma berkisar antara 5 – 7 %. 4,5

Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma.

Asma alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun

keluarga seperti rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula disertai dengan

reaksi kulit terhadap injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang terdapat di udara,

dan dapat pula disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan atau respon

positif terhadap tes provokasi yang melibatkan inhalasi antigen spesifik.5

Pada manusia alergen berupa debu rumah (tungau) marupakan pencetus

tersering dari eksaserbasi asma. Tungau-tungau tersebetut secara biologis dapat

merusak struktur daripada saluran nafas melalui aktifitas proteolitik, yang

selanjutnya menghancurkan integritas dari tight junction antara sel-sel epitel. Sekali

fungsi dari epitel ini dihancurkan, maka alergen dan partikel lain dapat dengan

mudah masuk ke area yang lebih dalam yaitu di daerah lamina propia. Penyusun

daripada tungau-tungau pada debu rumah ini yang memiliki aktivitas protease ini
dapat memasuki daerah epitel dan mempenetrasi daerah yang lebih dalam di saluran

pernafasan.3

Faktor lingkungan yang berhubungan dengan imune dan nonimunologi juga

merupakan pencetus daripada asma termasuk rokok dan perokok pasif. Kira-kira

25% sampai 30% dari penderita asma adalah seorang perokok. Hal ini

menyimpulkan bahwa merokok ataupun terkena asap rokok akan meningkatkan

morbiditas dan keparahan penyakit dari penderita asma. Terpapar asap rokok yang

lama pada pasien asma akan berkontribusi terhadap kerusakan dari fungsi paru, yaitu

3 penurunan kira-kira 18% dari FEV 1 selama 10 tahun.Pasien asma yang memiliki

kebiasaan merokok akan mempercepat terjadinya emfisema. Mekanisme yang

mendasari daripada efek rokok pada pasien asma dijelaskan pada tabel 1.1

2.2 Patofisiologi Asma

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang dikarakteristikan dengan

proses yang sangat kompleks dan melibatkan beberapa komponen yaitu

hiperresponsif dari bronkial, inflamasi dan remodeling saluran pernafasan.4,5


2.2.1 Penyempitan Saluran Napas

Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala

dan perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya

penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada

saluran napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus.3

Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap

berbagai mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan

terhadap penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan

bronkodilator. Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses

inflamasi. Hal ini penting pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan

karena perubahan struktural atau disebut juga ”remodelling”.3 Proses inflamasi

kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan

diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan

(repair) dan 4 pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-sel yang baru.

Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis

sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan

penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut

berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan

menghasilkan perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway

remodelling.2

Inflamasi kronis yang terjadi pada bronkus menyebabkan kerusakan

jaringan yang menyebabkan proses perbaikan (repair) yang terjadi berulang-ulang.

Proses remodeling ini yang menyebabkan terjadinya asma. Namun, pada onset awal

terjadinya proses ini kadang-kadang sebelum disesbkan oleh inflamasi eosinofilik,


dikatakan proses remodeling ini dapat menyebabkan asma secara simultan. Proses

dari remodeling ini dikarakteristikan oleh peningkatan deposisi protein ekstraselular

matrik di dalam dan sekitar otot halus bronkial, dan peningkatan daripada ukuran sel

atau hipertropi dan peningkatan jumlah sel atau hiperplasia.5

2.2.2 Hiperreaktivitas saluran napas

Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan

patofisiologis yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme

yang 5 bertanggungjawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas

ini belum diketahui dengan pasti tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan

otot polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder

yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran

respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran

respiratorik selama kontraksi otot polos.6,7

2.3 Faktor Pencetus Asma


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host

factor) dan faktor lingkungan.2

a. Faktor host

 Genetik

 Obesitas

 Jenis kelamin

b. Faktor lingkungan

 Rangsangan alergen.

 Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja.

 Infeksi.

 Merokok

 Obat.

 Penyebab lain atau faktor lainnya.

2.4 Gambaran Klinis Asma

Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala

lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja,

nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin.

Gejala tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul

musiman atau perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala

juga sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen,

udara dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga

mempengaruhi munculnya serangan pada pasien asma, seperti karakteristik rumah,

merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau sekolah, tingkat pendidikan

penderita, atau pekerjaan.4 6


2.5 Diagnosis Asma 2,3

Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas

yang reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit atau gejala :

- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.

- gejala timbul/memburuk di malam hari.

- respons terhadap pemberian bronkodilator.

Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga

(atopi), riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit

dan pengobatan. Adapun beberapa tanda dan gejala yang dapat meningkatkan

kecurigaan terhadap asma adalah :

1. Di dengarkan suara mengi (wheezing)  sering pada anak-anak Apabila didapatkan

pemeriksaan dada yang normal, tidak dapat mengeksklusi diagnosis sama, apabila

terdapat :

1. Memiliki riwayat dari:

a. Batuk, yang memburuk dimalam hari

b. Mengi yang berulang

c. Kesulitan bernafas

d. Sesak nafas yang berulang

2. Keluhan terjadi dan memburuk saat malam


3. Keluhan terjadi atau memburuk saat musim tertentu

4. Pasien juga memiliki riwayat eksema, hay fever, atau riwayat keluarga asma atau

penyakit atopi

5. Keluhan terjadi atau memburuk apabila terpapar :

a. Bulu binatang

b. Aerosol bahan kimia

c. Perubahan temperatur

d. Debu tungau

e. Obat-obatan (aspirin,beta bloker)

f. Beraktivitas

g. Serbuk tepung sari

h. Infeksi saluran pernafasan

i. Rokok

j. Ekspresi emosi yang kuat

6. Keluhan berespon dengan pemberian terapi anti asma

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas

dan tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian

penderita dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada

pengukuran faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas. 2,3


Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas,

reversibiliti kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung

hiper-responsif jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah pemeriksaan

spirometri dan peak expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi). Pemeriksaan lain

yang berperan untuk diagnosis antara lain uji provokasi bronkus dan pengukuran

status alergi. Uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi

spesifisitas rendah. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui

pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara ini tidak terlalu

bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam mengidentifikasi faktor

pencetus.2,3

2.6 Klasifikasi Asma2,3

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis (Sebelum

Pengobatan)2
2.7 Penatalaksanaan Asma

Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia yang

dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2004, ada 7 komponen

program penatalaksanaan asma dimana 6 di antaranya menyerupai komponen

pengobatan yang dianjurkan oleh GINA dan ditambah satu komponen yaitu pola hidup

sehat.2

EDUKASI

Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu

sendiri, tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor 9


pencetus, obat-obat yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga penanganan

serangan asma di rumah.

PENILAIAN DERAJAT BERATNYA ASMA

Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita

sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.

A. Pemantauan tanda gejala asma.

B. Pemeriksaan faal paru

IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN FAKTOR PENCETUS

Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi

sebagian lagi tidak dapat menegtahui faktor pencetus asmanya.

MERENCANAKAN DAN MEMBERIKAN PENGOBATAN JANGKA

PANJANG

Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Dalam

menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai atau

mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu

dipertimbangkan:

1. Medikasi (obat-obatan)

2. Tahapan pengobatan

3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)


Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan nafas,

terdiri atas pengontrol dan pelega.

A. Pengontrol

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,

diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma

terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk

obat pengontrol adalah:

a. Glukokortikosteroid inhalasi

Kortikosteroin inhalasi bertujuan untuk menekan proses inflamasi dan

komponen yang berperan dalam remodeling pada bronkus yang menyebabkan

asma. Pada tingkat vascular, glukokortikosteroid inhalasi bertujuan

menghambat terjadinya hipoperfusi, mikrovaskular, hiperpermeabilitas,

pembentukan mukasa udem, dan pembentukan pembuluh darah baru

(angiogenesis).4 10

Glukokortikosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang yang

paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan

penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan

hiperesponsif jalan nafas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat

serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Efek samping adalah efek samping

lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena airitasi saluran

nafas atas.

b. Glukokortikosteroid sistemik

Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan

sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya


terbatas mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif

menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid

oral terpaksa harus diberikan, maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu.

Efek samping jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi

aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan

kulit, striae, dan kelemahan otot.

c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui

merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel

mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan

seleksi serta supresi pada sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit),

selain juga kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target.

Pemberiannya secara inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada asma

persisten ringan. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa tidak

enak obat saat melakukan inhalasi.

d. Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek

ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral

diberikan bersama/kombinasi dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif

bronkodilator jika dibutuhkan. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat

digunakan sebagai obat pengontrol, dimana pemberian jangka panjang efektif

mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat

mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol

gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Efek

samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari atau lebih)
dengan gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek samping

yang paling dulu dan 11 sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardi,

aritmia dan kadangkala merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat

menyebabkan kejang bahkan kematian.

e. Agonis β2 kerja lama

Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan

formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki

efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan

permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel

mast dan basofil. Pada pemberian jangka lama mempunyai efek antiinflamasi,

walau kecil dan mempunyai efek protektif terhadap rangsang

bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis β2 kerja lama menghasilkan efek

bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat oral. Karena pengobatan

jangka panjang dengan agonis β2 kerja lama tidak mengubah inflamasi yang

sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasi dengan glukokortikosteroid

inhalasi, dimana penambahan agonis β2 kerja lama inhalasi akan memperbaiki

gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan

kebutuhan agonis β2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi

serangan asma. Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping

sistemik (rangsangan kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia)

yang lebih sedikit atau jarang daripada pemberian oral.

f. Leukotriene modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya

melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga

memblok sintesis semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok


reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas,

pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek

bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen,

sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai

efek antiinflamasi.

B. Pelega

a. Agonis β2 kerja singkat

Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol

mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau

oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek 12 samping

minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis β2 yaitu relaksasi otot

polos saluran nafas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan

permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast

dan basofil. Efek sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan

hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek

samping.

b.Metilsantin

Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih

lemah dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah

efek bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai

manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan

mempertahankan respon terhadap agonis β2 kerja singkat diantara pemberian satu

dengan berikutnya.
c. Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek

pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan

bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga

menghambat refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek samping

berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit.

d. Adrenalin

Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak

tersedia agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.

C.Tahapan penanganan asma

Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma, agar dapat

tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal mungkin.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy.

D. Pengobatan berdasarkan derajat berat asma

Tabel 3. Pengobatan Sesuai Berat Asma2


MENETAPKAN PENGOBATAN PADA SERANGAN AKUT

Kunci awal dalam penanganan serangan akut adalah penilaian berat serangan. Tabel 4.

Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut1


KONTROL SECARA TERATUR
Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam penatalaksanaan asma jangka

panjang adalah melakukan tindak lanjut/follow up teratur dan merujuk ke ahli paru

pada keadaan-keadaan tertentu

Jika asma tidak terkontrol pada pengobatan yang dijalani, maka pengobatan

harus di naikkan. Secara umum, perbaikan harus dilihat selama 1 bulan. Tetapi

sebelumnya harus dinilai tehnik medikasi pasien, kepatuhan dan usaha menghindari

faktor resiko. Jika asma sebagian terkontrol, dipertimbangkan menaikkan pengobatan

yang tergantung pada keefektifan terhadap pengobatan yang ada, keamanan, dan harga

serta kepuasan pasien terhadap pengobataan yang dijalani pasien. Dan jika, asma

berhasil dikontrol selama minimal 3 bulan, pengobatan dapat diturunkan secara


gradual. Tujuan nya adalah mengurangi pengobatan. Monitoring tetap penting

dilakukan setelah asma terkontrol, karena asma dapat tetap dapat terjadi eksaserbasi

apabila kehilangan kontrol.3

D. Bronkial thermoplasty (BT)

Bronkial thermoplasty adalah suatu intervensi yang dilakukan bagi pasien

asma untuk mengkontrol energi termal ke dinding saluran pernafasan selama

prosedur bronkoskopy, yang menyebabkan penurunan daripada massa otot halus

pada saluran pernafasan. Peningkatan massa dan kontraktilitas dari otot halus

merupakan mekanisme yang dapat memperparah keadaan asma yaitu dengan

meningkatkan bronkokonstriktor dan obstruksi saluran pernafasan, penurunan

jumlah dan/atau kontraktilitas dari otot halus pada saluran pernafasan akan

menyebabkan perbaikan dari gejala asma itu sendiri.10


LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. UY

Umur : 63 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Buruh

Alamat : Buran Kulon 7/3 Buran Tasikmadu

No RM : 0043257

Tanggal Masuk : I8 Februaru 20I9

Tanggal Keluar :

B. ANAMNESIS

Autoanamnesis dan alloanamnesis dilakukan pada tanggal

Keluhan Utama :

Sesak Nafas

Keluhan Tambahan :

Pasien datang ke IGD RSUD Karanganyar dengan keuhan sesak nafas.

Hal ini os rasakan SMRS. Sesak nafas dirasakan disertai bunyi nafas ngik-ngikdan

pasien kesulitan untuk menghirup udara hingga pasien kesulitan untuk tidur. Sesak

nafas awalnya disertai dengan batuk-batuk batuk-batuk dirasakan sesaat sebelum

sesak nafas dirasakan, batuk yang dirasakan berdahak, namun dahak sulit untuk

dikeluarkan. Batuk didirasakan sejak 2 hari sebelum gejala sesak nafas.


Keluhan lain seperti panas badan, keringat malam hari, penurunan berat badan dan

mual muntah disangkal pasien. BAB dan BAK dirasakan biasa, tidak ada keluhan

lainnya.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sebelumnya sudah beberapa kali mengalami hal yang sama. Sesak

napas seperti saat ini pertama kali dirasakan umur 15 tahun, dan sempat di rawat

di rumah sakit. Setelah itu apabila pasien mengalami keluhan yang sama pasien

hanya mengkonsumsi obat yang didapatkan di puskesmas (pasien tidak mengingat

nama obatnya) dan sesak napas berkurang dengan mengkonsumsi obat tersebut.

Awalnya keluhan ini dirasakan sering oleh pasien, tapi beberapa tahun terakhir

serangan berkurang yaitu sekitar 1 kali sebulan, Pasien mengatakan sesak napas

sering kali kambuh apabila bekerja di tempat dingin/ berdebu. Alergi obat (-),

alergi makanan (-).

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan

pasien. Riwayat keluarga yang mengalami penyakit asma, alergi makanan ,

rhinitis disangkal pasien

Riwayat Kebiasaan

Riwayat Merokok : Positif sejak 20 tahun yang lalu

Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien bekerja sebagai buruh, berobat di RSUD Karaganyar dengan fasilitas BPJS

PBI

Kesan sosial ekonomi : Cukup


C. PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan Umum : Kesan sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)

Status gizi : Kesan gizi cukup

b. Tanda Vital

Tekanan darah : 110/60 mmHg

Nadi : 100 kali/menit

Respirasi : 22 kali/menit

Suhu aksila : 36,3 ºC

c. Kepala : Normocephal

d. Mata : Reflek cahaya (+/+), pupil isokor (+/+), conjungtiva

anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), oedem palpebra (-/-)

e. Hidung : Napas cuping hidung (-), secret (-/-), epitaksis (-/-)

f. Mulut : Trismus (-)

g. Telinga : secret (-)

h. Tenggorokan : Tonsil TI-TI hiperemis (-/-), faring hiperemis (-)

i. Leher : Kaku kuduk (-)

j. Thorax : Simetris (+), retraksi (-)

Cor :

 Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis

 Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V MCL S

kuat angkat (-)

 Perkusi : Batas atas jantung ICS II kiri

Batas kanan jantung PSL kanan


Batas kiri jantung MCL kiri ICS V

 Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo

Inspeksi : Simetris (+), retraksi (-)

Palpasi : Vocal fremitus N N

NN

NN

Perkusi : Sonor Sonor

Sonor Sonor

Sonor Sonor

Auskultasi : Ves Ves, Ronkhi - - Wheezing + +

Ves Ves -- ++

Ves Ves -- ++

Abdomen :

Inspeksi : distensi (+), ascites (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : Hepar/lien tidak teraba, ginjal tidak teraba balotement (-/-

), nyeri ketok CVA (-/-), nyeri suprapubic (-)

Perkusi : Timpani, ascites shifting dullness (-)

Ekstremitas : Hangat +/+, edema -/- , CRT<2 detik

+/+ -/-
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium darah pada tanggal I8 Februari 20I9

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN


HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 14,9 g/dl 14.0 – 18.0
Hematokrit 46,4 % 42.0 – 52.0
Leukosit 8,92 ribu/ul 5.0-10.0
Trombosit 201 juta/ul 150 – 300
Eritrosit 5.92 ribu/ul 4.50 – 5.50

INDEX ERITROSIT
MCV 83.8 Fl 82.0 – 92.0
MCH 28.3 Pg 27.0 – 31.0
MCHC 34.7 g/dl 32.0 – 37.0
HITUNG JENIS
Neutrofil 69,4 % 50,0-70,0
Eosinofil 1.4 % 0.5 – 5.0
Basofil 1.2 % 0.0 – 1.0
Granulosit 51.9 % 50.0 – 70.0
Limfosit 25.4 % 25.0 – 40.0
Monosit 3.8 % 3.0– 9.0

E. DIAGNOSIS KERJA

Serangan Asma Akut Sedang

F. PENATALAKSANAAN.

Rencana Terapi:

- IVFD RL 20tpm

- O2 4 liter/menit

- Nebul ventolin I amp, Fliotide I amp @8 jam

- Methylprednisolone 2 x 62,5 mg (IV)

- Ambroxol 3 x CI
Rencana Diagnosis:

- Spirometri

- IgE spesifik

- Kultur sputum/ST
DAFTAR PUSTAKA

1. Megan Stapleton, PharmD, Amanda Howard-Thompson. Smoking and Asthma.


JABFM May–June 2011 Vol. 24 No. 3, p.313-322

2. Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita. Suryanto, E. et


al. (2004), Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.

3. N. Miglino, M. Roth, M. Tamm and P. Borger. House dust mite extract downregulates
C/EBPa in asthmatic bronchial smooth muscle cells. Eur Respir J 2011; 38: 50–58

4. O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et al. (2010),


Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma Management and Prevention,
Ontario Canada.

5. Sundaru, H. Sukamto. (2006), Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B. Alwi, I.
Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Keempat,
Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp: 247-252.

6. I. Bara, A. Ozier, J-M. Tunon de Lara, R. Marthan and P. Berger. Pathophysiology of


bronchial smooth muscle remodelling in asthma. Eur Respir J 2010; 36: 1174– 1184

7. McFaden, ER. (2005), Asthma, In: Kasper, DL. Pauci, AS. Longo, DL. Draunwald, E.
Hauser, SL. Jameson, JL. (eds), Harrison’s Principal of Medicine, 16th ed, Vol 2,
McGraw-Hill, Philladelphia, pp:1508-1515.

8. Chesnutt, MS. Prendergast, TJ. (2007), Lung, In: McPhee, SJ. Papadakis, MA. (eds)
Current Medical Diagnosis and Treatment,46th ed, McGrawHill, Philadelphia,pp: 230-241.

9. G. Horvath and A. Wanner. Inhaled corticosteroids: effects on the airway vasculature in


bronchial asthma. Eur Respir J 2006; 27: 172–187

10. Mario Castro, Adalberto S. Rubin, Michel Laviolette. Effectiveness and Safety of
Bronchial Thermoplasty in the Treatment of Severe Asthma. Am J Respir Crit Care Med
Vol 181. pp 116–124, 2010

Anda mungkin juga menyukai