Anda di halaman 1dari 16

Case Report Session

Tuberkulosis

Oleh:

Maulana Hafiz Mefid 1740312237

Zikrl Ariliusra 1310311144

Preseptor :

dr. Russilawati, Sp.P

Dr. dr. Masrul Basyar, Sp.P (K) FISR

BAGIAN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL
PADANG
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan satu dari sepuluh penyebab kematian terbanyak

didunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2016 didunia adalah sekitar 10,4 juta orang.

Kasus meninggal yang diakibat TB adalah sebanyak 1,7 juta orang, Penyebab

tingginya kasus TB bisa disebabkan oleh sosioekonomi dan masalah yang

berkaitan dengan kesehatan seperti: alkoholisme, tuna wisma, meningkatnya kasus

23
AIDS dan infeksi HIV.

Lebih dari 95% kematian akibat TB terjadi di negara-negara dengan

pendapatan per kapita rendah hingga sedang. Indonesia menempati urutan kedua

kasus TB terbanyak didunia setelah India, yang kemudian diikuti oleh China,

Filipina, Pakistan, Nigeria dan Afrika Selatan. Di Indonesia tuberkulosis adalah

pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab

kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada

13
seluruh kalangan usia.

1.2 Batasan Masalah

Case Report Session ini membahas mengenai studi kasus mengenai

Tuberkulosis dengan Pneumothoraks.

1.3 Tujuan Penulisan

Case Report Session ini disusun dengan tujuan untuk meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman mengenai Tuberkulosis dan Pneumothoraks.

1.4 Metode Penulisan


Case Report Session yang dipakai dalam penulisan studi kasus ini berupa

hasil pemeriksaan pasien, rekam medis pasien, tinjauan kepustakaan yang

mengacu pada berbagai literatur, termasuk buku teks dan artikel ilmiah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberkulosis. Mycobacterium tuberkulosis merupakan kuman basil

aerob tahan asam yang dapat menjadi patogen ataupun saprofit pada tubuh

manusia. Tuberkulosis dapat menyerang jaringan parenkim paru ataupun organ

lain selain paru (ekstra paru) seperti pleura, kulit, tulang, otak, ginjal dan lain-

lain.2

2.1.2 Epidemiologi

Tuberkulosis merupakan satu dari sepuluh penyebab kematian terbanyak

didunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2016 didunia adalah sekitar 10,4 juta orang.

Kasus meninggal yang diakibat TB adalah sebanyak 1,7 juta orang, termasuk

400.000 orang diantaranya juga disertai komorbid HIV. Lebih dari 95% kematian

akibat TB terjadi di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah hingga

sedang. Indonesia menempati urutan kedua kasus TB terbanyak didunia setelah

India, yang kemudian diikuti oleh China, Filipina, Pakistan, Nigeria dan Afrika

3
Selatan.

Data dan informasi kesehatan dari Kementerian Kesehatan Indonesia tahun

2016 disebutkan sebanyak 3847 orang di provinsi Sumatera Barat menderita TB

dengan prevalensi pria lebih tinggi dari wanita yaitu 65% (Data per 31 Januari

2017). Angka ini menurun dari dibandingkan tahun 2015 sebanyak 7068 kasus TB
di Sumatera Barat. Adapun kelompok usia terbanyak dari kasus TB ini di

4
Sumatera Barat adalah kelompok usia 55-64 tahun (712 kasus).

2.1.3 Faktor Risiko

Faktor risiko yang berperan terhadap terjadinya TB pada seseorang adalah

sebagai berikut :

1. Usia dan Jenis Kelamin

Insiden TB meningkat seiring dengan peningkatan usia. Insiden terbanyak di

Indonesia terjadi pada pria dengan usia diatas 65 tahun. Usia lanjut lebih

beresiko untuk mengalami penyakit Tuberkulosis.5

2. Ras

Risiko terinfeksi tuberkulosis tiga kali lebih besar pada penduduk dengan Ras

Afrika-Amerika dibandingkan penduduk dengan Ras Kaukasia.5

3. Daya Tahan Tubuh Seseorang yang Terinfeksi

Daya tahan tubuh dapat menurun pada pasien yang menderita silikosis, diabetes

mellitus, penyakit ginjal kronik, gangguan hematologi tertentu (leukemia,

lymphoma) , keganasan (karsinoma kepala, leher, atau paru), berat badan ≥10%

dibawah berat badan ideal, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, dan

6
sebagainya.

4. Kebiasaan Merokok

Orang yang merokok lebih dari 10 batang dalam satu hari atau lebih dari tiga

hari dalam 1 minggu memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami TB

dibandingkan dengan orang-orang yang tidak merokok. Orang-orang yang

terpapar asap rokok diluar rumah/lingkungan lebih dari tiga kali dalam satu
minggu memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami TB dibandingkan

dengan orang-orang yang tidak terpapar asar rokok atau terpapar asap rokok

selama tiga atau kurang dari tiga hari perminggu.7

5. Kebiasaan Mengonsumsi Alkohol

Resiko terkena TB meningkat secara signifikan pada orang yang

8
mengkonsumsi lebih dari 40 gram alkohol per hari.

6. Konsentrasi / Jumlah Kuman yang Terhirup dan Durasi Terpapar

Semakin dekat jarak dan semakin lama durasi terpapar, semakin tinggi resiko

untuk terinfeksi.6

2.1.4 Patofisiologi

Kuman M. tuberculosis masuk melalui saluran pernapasan, saluran

pencernaan (GI), dan luka terbuka pada kulit. Namun, kebanyakan infeksi TB

terjadi melalui udara yaitu melalui inhalasi droplet kuman-kuman basil yang

berasal dari orang yang terinfeksi. Kuman-kuman TB yang berukuran kecil (< 5

mikron) akan mencapai permukaan alveolus, sedangkan kuman-kuman berukuran

lebih besar (>5 mikron) cenderung tertahan di saluran hidung, cabang besar

bronkus dan tidak menyebabkan penyakit.2 9

Kuman TB biasanya berada pada bagian apeks dari lobus superior dan lobus

inferior. Basil TB yang berada di dalam paru akan memodulasi respon inflamasi

berupa pengerahan leukosit PMN yang kemudian memfagosit bakteri tersebut.

Setelah beberapa hari, aktivitas leukosit digantikan oleh Makrofag. Alveoli yang

terserang akan menimbulkan konsolidasi dan timbul gambaran infiltrat seperti

pneumonia akut. Kondisi ini dapat sembuh sendiri hingga tidak


ada sisa yang tertinggal, ataupun berjalan terus dengan bakteri yang difagosit

ataupun berkembang biak di dalam sel. Lesi primer yang disebabkan oleh bakteri

TB tersebut disebut dengan Fokus Primer.2 9

Kuman TB menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening

setempat sehingga menyebabkan peradangan saluran getah bening menuju hillus

(Limfangitis lokal) disertai pembesaran KGB hillus (Limfadenitis regional).

Gabungan antara fokus primer, limfangitis lokal dan limfadenitis regional ini

disebut dengan Kompleks Primer. Kompleks primer dapat sembuh tanpa

meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum), sembuh dengan

meninggalkan sedikit bekas (fokus ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di

hillus), sembuh dengan meninggalkan sekuele, serta dapat menyebar secara per

kontinuitatum, bronkogen, hematogen dan limfogen.2 9

Infeksi TB dibagi menjadi dua, yaitu infeksi primer dan tuberkulosis pasca

primer atau reaktivasi. Infeksi primer terjadi pada individu yang terinfeksi basil

TB untuk pertama kalinya. Sementara, individu yang pernah mengalami infeksi

primer yang mengalami penurunan daya tahan tubuh memiliki kemungkinan untuk

mengalami tuberkulosis reaktivasi, yaitu reaktivasi basil TB yang sebelumnya

29
berada dalam keadaan dorman.

TB post primer/tuberkulosis reaktivasi, berasal dari sarang dini berukuran

kecil. Sarang dini ini dapat diresorbsi kembali hingga menjadi sembuh dan tidak

meninggalkan cacat. Selain diresorbsi, sarang dini dapat meluas yang merangsang

pembentukan jaringan fibrosis akibat dari proses penyembuhan. Selanjutnya akan

membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran/kalsifikasi, dan akan

sembuh dalam bentuk perkapuran atau sebaliknya dapat juga menjadi aktif
kembali. Kondisi ini dapat menyebabkan nekrosis pada bagian sentral lesi yang

aktif dan memberikan gambaran relatif padat seperti keju, disebut nekrosis

kaseosa.2 9

Apabila nekrosis kasesosa/jaringan keju tadi dibatukkan, maka jaringan keju

akan keluar dan meninggalkan kavitas pada lapangan paru. Kavitas yang awalnya

berdinding tipis lama kelamaan akan menebal (kavitas sklerotik) dan nantinya

dapat meluas kembali menjadi sarang pneumonik baru. Selain itu jaringan

granulasi disekitar kavitas tersebut (jaringan granulasi) akan memadat, membentuk

jaringan parut kolagenosa, dan membungkus diri (encapsulated), disebut dengan

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi dapat pula

aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kavitas lagi. Kavitas yang menyembuh

dengan membungkus diri akhirnya mengecil, menciut sehingga terlihat seperti

29
bintang (stellate shaped).

2.1.5 Diagnosis

10
Diagnosis ditegakaan berdasarkan gejala dan tanda . Gejala umum berupa

demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun dan penurunan berat

11
badan . Demam terjadi pada 37–80% pasien TB paru. Penyakit infeksi sistemik

pernapasan akan memicu upaya labour breathing (bernafas aktif) sehingga

menyebabkan timbulnya kelelahan. Penyakit tuberkulosis selalu menyebabkan

hilangnya nafsu makan dan turunnya berat badan. Penurunan berat badan yang

dimaksud adalah Involuntary weight loss, yaitu penurunan berat badan sebanyak

5% atau lebih dari berat badan awal dalam waktu 6 bulan10. Gejala respiratorik

yang akan terjadi berupa batuk selama lebih dari 3 minggu, batuk produktif, batuk

darah, nyeri dada dan sesak napas. Batuk pada penderita tuberkulosis adalah batuk
produktif (berdahak). Pada kasus infeksi, dahak dapat bercampur dengan bakteri

dan produk inflamasi lain. Dahak juga dapat bercampur dengan darah. Di negara

berkembang, tuberkulosis adalah penyebab tersering dahak berdarah10.

Gejala tersebut juga dapat dijumpai pada penyakit paru lain seperti pada

bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru dan lain-lain. Dikarenakan

prevalensi TB yang masih tinggi di Indonesia, setiap orang yang datang ke

Fasilitas Layanan Kesehatan (Fasyankes) dengan gejala- gejala yang telah

dijabarkan dianggap sebagai terduga TB dan perlu untuk dilakukan pemeriksaan

12
dahak mikrokopis secara langsung .

Pemeriksaan dahak mikroskopis secara langsung bertujuan untuk

menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan, dan menentukan potensi

penularan. Pemeriksaan dahak untuk diagnosis terduga TB dilakukan dengan

mengumpulkan tiga spesimen sputum dalam dua hari kunjungan yang berurutan.

12
Tiga sputum tersebut berupa dahak Sewaktu – Pagi – Sewaktu (SPS) :

1. Sewaktu:

Dahak dikumpulkan saat terduga TB berkunjung pertama kali.

2. Pagi:

Dahak dikumpulkan dirumah pasien terduga TB pada hari kedua. Dahak yang

dikumpulkan adalah dahak segera setelah bangun tidur.

3. Sewaktu:

Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat penderita terduga TB

menyerahkan dahak pagi.


Gambar 2.1. Alur diagnosis TB dan TB Resisten Obat di Indonesia
(Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 67 Tahun 2016)
Diagnosis TB pada remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya

kuman basil tahan asam pada pemeriksaan mikroskopis. Pada keadaan tertentu,

diperlukan pemeriksaan foto thoraks untuk menegakkan diagnosis TB paru. Alur

12
diagnosis dijelaskan pada gambar 2.1.

Adapun prinsip penegakan diagnosis TB aalah sebagai berikut:12

1. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu

dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud

adalah pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan biakan.

2. Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan

pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan

mikroskopis.

3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto

toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada

TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun

underdiagnosis.

4. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan serologis atau

uji tuberkulin.

Seperti juga pada diagnosis TB maka diagnosis TB-RO (Resisten Obat) juga diawali dengan

penemuan pasien terduga TB-RO. Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap

OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu atau lebih di bawah ini:
12

1. Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2.

2. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan

pengobatan.
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta

menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua paling sedikit selama 1

bulan.

4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.

5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2 bulan

pengobatan.

6. Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT kategori 1 dan

kategori 2.

7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default).

8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB- RO,

termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di Lapas/Rutan, hunian padat

seperti asrama, barak, buruh pabrik.

9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis maupun

klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan diagnosis awal tidak

menggunakan TCM TB).

2.1.6 Tatalaksana

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO dan

ISTC) dibedakan berdasarkan kategori pasien. Paduan OAT kategori-1 dan

kategori-2 disediakan dalam bentuk paket kombinasi dosis tetap (OAT-

KDT)/Fixed Dose Combination (FDC). Tablet OAT KDT terdiri dari kombinasi 2

atau 4 jenis obat dalam satu tablet yang dosisnya disesuaikan dengan berat badan

pasien. Selain itu juga tersedia paket kombipak, yaitu paket obat lepas yang terdiri

dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol yang dikemas dalam

bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT

KDT sebelumnya.12

Pasien kategori 1 adalah pasien TB paru dengan kondisi berikut :

- Pasien TB paru yang terkonfirmasi bakteriologis

- Pasien TB paru terdiagnosis klinis

- Pasien TB ekstra paru

Dosis OAT KDT pada pasien kategori 1 ditetapkan berdasarkan berat badan

pasien dengan pemberian obat pada tahap intensif tiap hari selama 56 hari, dan

pada tahap lanjutan diberikan obat 3 kali seminggu selama 16 minggu. Dosis OAT

KDT dapat dilihat di tabel 2.1 berikut :

Tabel 2.1 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 : 2 (HRZE)/ 4(HR)3


Tahap Intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
Berat Badan selama 56 hari RHZE seminggu selama 16 minggu
(150/75/400/275) RH(150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 ttablet 2KDT

Apabila terdapat efek samping pada pengobatan dengan paket obat KDT

sesuai dosis diatas, maka dapat diberikan obat dengan paket kombipak. Pada

pasien OAT kategori 1 diberikan regimen pengobatan dengan paket kombipak

yang terdiri dari kombinasi 2(HRZE)4(HR)3. Pada tahap pengobatan intensif (2

bulan pertama) diberikan tablet isoniazid @300 mg 1 kali sehari, kaplet rifampisin

@450 mg 1 kali sehari, tablet pirazinamid @500mg 3 kali sehari, dan tablet

etambutol @250 mg 3 kali perhari.12

Tabel 2.2. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 : 2(HRZE)S/HRZE/5(HR)3E3


Tahap lanjutan 3
Tahap intensif tiap hari RHZE kali seminggu
(150/75/400/275) + S RH (150/150) + E
Berat Badan (400)
Selama 28 Selama 20
Selama 56 hari hari minggu
2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 2KDT + 2
30 – 37 kg 2 tab 4KDT
streptomisin inj. tab Etambutol
3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 2KDT + 4
38 – 54 kg 3 tab 4KDT
streptomisin inj. tab Etambutol
4 tab KDT + 1000mg 4 tab 2KDT + 5
55 – 70 kg 4 tab 4KDT
Streptomisin inj. tab Etambutol
5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5
≥ 71 kg
Streptomisin inj. (>do maks) tab Etambutol

Pengobatan bagi pasien kategori 2 TB berbeda dengan pengobatan pasien

kategori 1 TB. Pasien kategori 2 adalah pasien BTA positif yang pernah diobati

sebelumnya (pengobatan ulang), atau pasien dengan keadaan berikut:

- Pasien kambuh

- Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya

- Pasien lost to follow-up (pasien yang diobati kembali setelah putus

berobat)

Pasien kategori 2 diberikan obat dengan paduan OAT KDT 2(HRZE)S/

(HRZE)/5(HR)3E3. Obat diberikan pada tahap intensif setiap hari selama 84 hari

dengan tambahan streptomisin injeksi selama 56 hari pertama pengobatan, dan

selama tahap lanjutan diberikan obat 3 kali seminggu selama 20 minggu. Dosis

paduan OAT KDT Kategori 2 dapat dilihat di tabel 2.2.12

2.1.7 Prognosis

Prognosis untuk TB Paru umumnya baik bila infeksi masih terbatas di

paru, namun prognosis memburuk bila TB disebabkan oleh bakteri yang bersifat

resisten, pasien berusia lanjut, atau pasien mengalami keadaan

immunocompromised. Untuk pasien yang tidak diobati dalam 5 tahun umumnya


50% meninggal dunia, 25% sembuh akibat sistem imun yang baik, 25% menjadi

kronik dan menular. Untuk pasien yang diobati secara teratur, 95% sembuh total

13
dan 5% tidak sembuh.
DAFTAR PUSTAKA

1. Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis


dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2006.
2. Price dan Wilson. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit vol 1.
Ed 6. 2006 Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. World Health Organization (WHO). 2016. Global Tuberculosis Report 2016
(Updated).
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Data dan Informasi Profil
Kesehatan Indonesia 2016.
5. Crofton, S.J. (2009) Clinical tuberculosis. Edited by Hans L. Rieder, Chiang
Chen Yuan, Robert P. Gue, and Donald A. Enarson. 3rd edn. United Kingdom:
Macmillan Education.
6. Jensen, P.A., Lambert, L.A., Iademarco, M.F. and Ridzon, R. (2005)
Guidelines for preventing the transmission of Mycobacterium tuberculosis in
health-care settings, 2005. Available at:
http://francais.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5417a1.htm.
7. Ariyothai, N., Podhipak, A., Akarasewi, P., Tornee, S., Smithtikarn, S. and
Thongprathum, P. (2004) ‘Cigarette smoking and its relation to pulmonary
tuberculosis in adults’, The Southeast Asian journal of tropical medicine and
public health., 35(1), pp. 219–27.
8. Lönnroth, K., Williams, B., Stadlin, S., Jaramillo, E. and Dye, C. (2008)
‘Alcohol use as a risk factor for tuberculosis-a systematic review’, BMC
public health., 8. doi: 10.1186/1471-2458-8-289.
9. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2014. Modul Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi: Tuberkulosis paru dan program DOTS.
10. Djojodibroto, R.D. (2014) Respirologi (Respiratory Medicine). Edited by Y.
Joko Suyono and Eva Melinda. 2nd edn. Jakarta: EGC.
11. Hasan H, 2010. Tuberkulosis Paru. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru
2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr.
Soetomo.
12. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 67 tentang Penanggulangan
Tuberkulosis. 2016.
13. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005.

Anda mungkin juga menyukai