BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan teknologi alat angkut yang semakin cepat membuat jarak antar negara
seolah semakin dekat karena waktu tempuh yang semakin singkat, sehingga mobilitas orang
dan barang semakin cepat melebihi masa inkubasi penyakit menular. Kondisi tersebut
berpengaruh terhadap risiko penularan penyakit secara gobal.
Pelabuhan merupakan titik simpul pertemuan atau aktifitas keluar masuk kapal,
barang dan orang, sekaligus sebagai pintu gerbang transformasi penyebaran penyakit,dan
merupakan ancaman global terhadap kesehatan masyarakat karena adanya penyakit karantina,
penyakit menular baru (new emerging diseases), maupun penyakit menular lama yang timbul
kembali (re-emerging diseases). Ancaman penyakit tersebut merupakan dampak negatif dari
diberlakukannya pasar bebas atau era globalisasi, dan dapat menimbulkan kerugian besar
baik pada sektor ekonomi, perdagangan, sosial budaya, maupun politik yang berdampak
besar kepada suatu negara atau daerah.
2
Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk jenis apapun, yang digerakkan dengan
tenaga mekanik, tenaga angin, termasuk kendaraan yang berdaya apung dinamis, kendaraan
di permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah
(Dep.Hub. 2008). Semakin meningkatnya aktivitas di pelabuhan berkaitan dengan transmisi
penyakit potensial wabah serta penyakit lainnya yang berpotensi menimbulkan kedaruratan
kesehatan yang meresahkan dunia. Sesuai dengan tugas Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II
Mataram yaitu berusaha melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal untuk
mewujudkan “Pelabuhan Sehat”, dengan harapan pelabuhan yang berada dalam wilayah
kerja KKP Kelas II mataram bebas dari Public Health Emergency of International Concern
(PHEIC).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kapal
Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk jenis apapun, yang digerakkan dengan
tenaga mekanik, tenaga angin atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya apung
dinamis, kendaraan di permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang
tidak berpindah-pindah (Dep.Hub. 2008)
Sedangkan pengertian alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-
pindah adalah alat apung dan bangunan terapung yang tidak mempunyai alat penggerak
sendiri, serta ditempatkan di suatu lokasi perairan tertentu dan tidak berpindah-pindah
untuk waktu yang lama, misalnya hotel terapung, tongkang akomudasi (accommodation
barge) untuk menunjang kegiatan lepas pantai dan tongkang menampung minyak (oil
store barge), serta unit pemboran lepas pantai berpindah ( mobile offshore drilling
unit/MODU). Jenis kapal menurut fungsinya adalah (Dishub Jabar, 2015) :
1. Kapal Pesiar
Kapal Pesiar, adalah kapal yang dipakai untuk pelayaran pesiar. Penumpang menaiki
kapal pesiar untuk menikmati waktu yang dihabiskan diatas kapal yang dilengkapi
fasilitas penginapan dan perlengkapan bagaikan hotel berbintang. Lama pelayaran
pesiar bisa berbeda-beda, mulai dari beberapa hari sampai sekitar tiga bulan tidak
kembali kepelabuhan asal keberangkatan.
2. Kapal Penumpang.
Kapal penumpang adalah kapal yang digunakan untuk angkutan penumpang. Untuk
meningkatkan effisiensi atau melayani keperluan yang lebih luas, kenyamanan dan
kemewahan kadang kapal diperlukan demi memuaskan para penumpang. Lain dari itu
kapal penumpang harus memiliki kemampuan bartahan hidup pada situasi darurat.
4. Kapal Barang
Kapal barang atau kapal kapal kargo adalah segala jenis kapal yang membawa
barang-barang dan kargo dari suatu pelabuhan ke palabuhan lainnya. Ribuan kapal
jenis ini menyusuri laut dan samudera dunia setiap tahunnya memuat barang-barang
perdagangan internasional dan nasional. Kapal kargo pada umumnya di desain khusus
untuk tugasnya.
lebih besar (digunakan di laut lepas) dapat berkekuatan 25.000 Tenaga kuda (20.000
kW) kapal tunda memiliki kemampuan manuever yang tinggi, tergantung dari unit
penggerak. Kapal tunda dengan penggerak konvensional memiliki baling-baling di
belakang, efisien untuk menarik kapal dari pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Jenis
penggerak lain sering disebut Schottel propulsion system (azimuth thruster/Z-peller)
dimana baling-baling di bawah kapal dapat bergerak 3600 atau sistem propulsion
Vioth-Schneider yang menggunakan semacam pisau di bawah kapal yang dapat
membuat kapal berputar 3600.
8. Kapal rakyat
Angkutan pelayaran rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional dan
mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan
menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana
berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu.
B. Surveilans Epidemiologi
1. Definisi
Surveilans adalah upaya atau sistem atau mekanisme yang dilakukan secara terus
menerus dari suatu kegiatan pengumpulan, analisi, interpretasi, dari suatu data spesifik
yang digunakan untuk perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program ( Manajemen
program kesehatan). Surveilans dapat diartikan sebagai pengawasan secara terus-menerus
terhadap faktor penyebab kejadian dan sebaran penyakit, dan yang berkaitan dengan
keadaan sehat atau sakit. Surveilans ini meliputi pengumpulan, analisis, penafsiran, dan
penyebaran data yang terkait, dan dianggap sangat berguna untuk penanggulangan dan
pencegahan secara efektif. Definisi yang demikian luas itu mirip dengan surveilans pada
sistem informasi kesehatan rutin, dan karena itu keduanya dapat dianggap berperan
bersama-sama. (Vaughan, 1993).
a. Surveilans Individu
Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan
SARS. Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total
membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa
inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial
membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan
dan tingkat bahaya transmis penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah
penularan penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan
tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pospos lainnya tetap bekerja.
Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal,
politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-
langkah pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan
Upshur, 2007).
b. Surveilans Penyakit
sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara
dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program
surveilans penyakit vertical yang berlangsung parallel antara satu penyakit dengan penyakit
lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk
sumberdaya masing-masing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan
inefisiensi.
c. Surveilans Sindromik
Suatu system yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari fasilitas
kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu, disebut surveilans
sentinel. Pelaporan sampel melalui system surveilans sentinel merupakan cara yang baik
untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas.
(DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010)
12
e. Surveilans Terpadu
BAB III
1. Masalah regulasi
Belum terbitnya revisi Undang-undang No. 1 tahun 1962 tentang Karantina Laut
sebagai payung hukum petugas KKP bertugas di lapangan;
2. Sumber Daya Manusia (SDM)
Masih kurangnya jumlah SDM yang memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam
mengerjakan tugas-tugas rutin maupun khusus sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Diklat teknis yang diadakan unit utama di pusat belum cukup dan
memadainya jumlah petugas yang telah memiliki sertifikat dan mengikuti pelatihan
untuk meningkatkan kapasitas SDM petugas KKP;
15
BAB IV
PENUTUP
wabah. Hal ini dimungkinkan bila dilakukan oleh tenaga yang terampil dibidangnya
dan didukung fasilitas yang memadai. Langkah yang akan dilakukan dalam
mengefektifkan kegiatan surveilans epidemiologi adalah dengan melakukan
pengamatan dan pengawasan, mengumpulkan data secara terus menerus serta
melakukan analisis data. Hasil analisis tersebut dijadikan bahan rekomendasi dalam
mengambil suatu kebijakan dan tindak lanjutan yang akan dilakukan terhadap objek
yang berpotensi sebagai media transmisi penyakit atau masalah kesehatan di wilayah
kerja.
17
DAFTAR PUSTAKA
Direktoral Jenderal PP & PL. Standar Operasional Prosedur. Departemen Kesehatan RI;
2009. Hal: 93-97. Diakses pada: 14 Desember 2017.