Oleh:
dr. Yuliawati
Pembimbng :
dr. Arsita Eka Rini, MSi.Med,SpA
1
HALAMAN
JUDUL...................................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL..................................................................................................... iii
iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................
1
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 3
1. Vitamin D............................................................................................................. 3
1.1 Definisi Vitamin D...................................................................................... 3
1.2 Fisiologi Vitamin D.................................................................................... 3
1.3 Pembentukan Vitamin D............................................................................. 4
7
1.4 Metabolisme Vitamin D.............................................................................
9
1.5 Fungsi Vitamin D........................................................................................ 9
1.6 Defisiensi Vitamin D................................................................................. 11
1.7 Vitamin D Pada Neonatus......................................................................... 15
2. Alergi................................................................................................................... 15
2.1. Definisi alergi............................................................................................... 15
2.2. manifestasi klinis Alergi............................................................................... 16
2.3 Paparan Alergen............................................................................................ 16
2.4 Faktor Resiko Alergi .................................................................................... 18
2.5 Mediator dalam Reaksi Alergi...................................................................... 19
2.6 Faktor-faktor yang mempengruhi kejadian Alergi pada bayi....................... 21
2.7 Dermatitis Atopi pada Bayi.......................................................................... 24
3. Vitamin D dan mekanisme Imunologi...............................................................
3.1 Mekanisme Imunologi yang dibutuhkan untuk Vitamin D mempengaruhi 28
Alergi.........................................................................................................
30
3.2 efek Vitamin D pada Dermatitis atopi dan urtikaria...................................
33
3.3.Efek Vitamin D pada keparahan Dermatitis alergi........................................
BAB III RINGKASAN............................................................................................
33
BAB IV DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
34
DAFTAR TABEL
2
Tabe 1. . Gamabaran kliniks dermatitis atopi............................................................... 24
Tabel 3. Efek Vitamin d pada sistem Imun................................................................... 27
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Sintesis dan organ target untuk vitamin D................................................. 5
Gambar 2.Aktivasi Vitamin D...................................................................................... 7
Gambar 3. Metebolisme dan reseptor Vitamin D........................................................ 8
Gambar 4. Metabolisme vitamin D selama kehamilan dan menyusui......................... 12
Gambar 5. Jalur imunologi Pada Dermatitis Atopi....................................................... 22
Gambar 6. Gambaran dermatitis atopi.......................................................................... 23
Gambar 7. Efek immunomodulator 1,25(OH)D3......................................................... 26
Gambar 8. Gambar 8. Vitamin D dan Ekspresi Gen.................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN
Perubahan gaya hidup modern dengan meningkatnya pekerjaan dan aktivitas di dalam
ruangan serta penggunaan bahan pelindung matahari menyebabkan terbatasnya paparan
sinar matahari pada banyak individu.1 Kekurangan vitamin D diyakini dikaitkan dengan
berbagai kondisi, termasuk pada kanker payudara, usus, paru-paru dan prostat, penyakit
jantung, diabetes tipe 2, demensia, rheumatoid arthritis, dan gangguan fungsi imunologis,
Penelitian dalam beberapa tahun terakhir mengidentifikasi reseptor vitamin D (VDR)
ditemukan di berbagai jaringan seperti hati, pankreas, otak dan prostat, juga di
permukaan sel imun termasuk limfosit dan makrofag.2
4
Vitamin D (D2 dan D3) mempunyai fungsi biologis melalui mekanisme endokrin
dan autokrin, ini ditemukan pada manusia dan hewan, dibentuk pada kulit yang terpapar
sinar ultraviolet (UV) –B), berasal dari prekursor kolesterol di kulit dalam bentuk 7-
dehidrocholesterol. Saat kulit menyerap radiasi UV-B,prekursor diubah menjadi
previtamin D3, yang mengalami transformasi menjadi vitamin D3 (cholecalciferol)
sedangkan Vitamin D2 (ergocalciferol) adalah produk sintetis yang diproduksi dengan
radiasi sterol tanaman. Vitamin D, yang berasal dari makanan atau kulit, dimetabolisme
di hati menjadi bentuk 25 (OH) D oleh 25-hidroksilase. 25 (OH) D adalah metabolit
vitamin D yang paling banyak dan stabil dalam aliran darah manusia, sehingga di
tetapkan sebagai indikator fungsional status vitamin D seseorang.3,4
Dermatitis atopik adalah peradangan kronis pada kulit sering terjadi berulang
yang muncul pada awal masa bayi dan masa kanak-kanak tapi bisa bertahan atau bahkan
mulai di masa dewasa. Masa bayi, dermatitis atopik umumnya lebih akut dan terutama
mempengaruhi permukaan wajah, kulit kepala, dan ekstensor ekstremitas terdapat dua
jenis dermatitis atopik yang telah diidentifikasi: tipe ekstrinsik yang dimediasi oleh IgE
tersensitisasi, ditemukan pada 70-80% pasien; dan tipe intrinsik tanpa dimediasi oleh
IgE tersensitisasi, di temukan pada 20-30% pasien.2
Inflamasi kulit pada dermatitis atopik merupakan hasil interaksi yang komplek
antara kerentanan genetik yang menyebabkan kulit menjadi rusak, kerusakan sistem
imun bawaan, dan kekebalan tinggi terhadap alergen (imunologi) dan anti mikroba.
Elemen utama dalam disregulasi imun adalah sel Langerhans (LC), inflammatory
dendritic epidermal cells (IDEC), monosit, makrofag, limfosit, sel mast, dan keratinosit,
semuanya berinteraksi melalui rangkaian rumit sitokin yang mengarah ke dominasi sel
Th2 terhadap sel Th1, sehingga sitokin Th2 (IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13) meningkat
dalam kulit dan penurunan sitokin Th1 (IFN-γ dan IL-2)4,5
Vitamin D berperan dalam patogenesis banyak penyakit termasuk dermatitis
6
atopik (AD) Mekanisme imunologi yang berkontribusi untuk AD, karena efek
imunomodulator vitamin D.4,7 Schauber dkk menunjukkan bahwa bentuk aktif vitamin D
(1,25 (OH) 2 D3) meningkatkan ekspresi peptida antibakteri dengan demikian mencegah
infeksi kulit. Liu dkk menjelaskan hubungan antara aktivasi vitamin yang reseptor
diiradiasi sepert pada tikus, produksi katarsinidin, dan mengurangi sensitivitas terhadap
infeksi bakteri, vitamin D merangsang sintesis protein, seperti Filaggrin, yang diperlukan
untuk stratum korneum sebagai barrier.10
Tulisan ini berupa sari pustaka yang diambilkan dari berbagai daftar pustaka yang
relevan dengan tujuan menjelaskan lebih lanjut hubungan antara vitamin D dan
dermatitits atopi pada neonatus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Vitamin D
Vitamin D sering dikenal dengan vitamin matahari karena vitamin D dapat dibentuk
tubuh dengan bantuan sinar matahari. Bila tubuh mendapat cukup sinar matahari, maka
konsumsi vitamin D melalui makanan tidak dibutuhkan, karena dapat disintesis di tubuh,
vitamin D dapat dikatakan bukan vitamin, tapi suatu prohormon.1,2
6
hewan (di bawah kulit) dan tumbuh-tumbuhan berturut-turut dalam bentuk 7-
dehidrokolesterol dan ergosterol. Keduanya membutuhkan radiasi sinar ultraviolet untuk
diubah ke dalam bentuk provitamin D3 (kolekalsiferol) dan D2 (ergokalsiferol). Kedua
provitamin membutuhkan konversi menjadi bentuk aktifmya melalui penambahan dua
gugus hidroksil.1,3
8
terikat dengan vitamin D binding protein (DBP) dan lipoprotein Seperti lemak lainnya,
penyerapan dapat terganggu pada penyakit kronis dalam sistem empedu atau pada
penyakit usus dengan malabsorbsi14,15,16 Vitamin D ini kemudian keluar dari DBP ke
liver dan mengalami hidroksilasi oleh D-25-hidroksilase (25-O-Hase) yang dikenal
sebagai CYP27A1, CYP3A4, CYP2R1, CYP2J3 menjadi 25-hidroksivitamin D
[25(OH)D]. 25(OH)D merupakan bentuk utama vitamin D yang bersirkulasi yang dapat
diukur kadarnya untuk menentukan statusnya cukup atau defisiensi. 25(OH)D lebih
dipilih untuk diukur karena masa paruhnya di sirkulasi selama 2 minggu dan berkaitan
dengan hiperparatiroid sekunder, rickets, dan osteomalasia. 25(OH)D berikatan dengan
DBP dan kompleks ini terikat pada megalin di membran plasma sel tubulus renal yang
ditransportasikan ke dalam sel.
Senyawa 25(OH)D belum merupakan metabolik aktif untuk menjadi bentuk
aktif senyawa 25(OH)D harus mempunyai gugus hidroksil ketiga (OH) yang berada pada
atom karbon 1. Reaksi penambahan gugus hidroksil ini dilakukan di dalam mitokondria
tubulus proksimal oleh enzim 25-hidroksivitamin - 1α- hidroksilase [1-OHase; yang
dikenal sebagai CYP 27B1] dan akan terbentuk 1,25-dihidroksivitamin D[1,25(OH)2D].
1,25 (OH)2D yang juga disebut kalsitriol merupakan bentuk biologis vitamin D aktif
yang bertanggung jawab dalam menjaga homeostasis calcium dan phosphat .
Kadar 1,25(OH)2D plasma sekitar seribu kali lebih kecil daripada kadar
25(OH)D. Aktivitas enzim 1α-hidroksilase renal dikontrol dengan ketat sehingga
kecepatan produksi 1,25(OH)2D baru akan meningkat ketika terjadi penurunan kadar
kalsium plasma atau kenaikan kadar hormon paratiroid. Senyawa 1,25(OH)2D
merupakan salah satu dari tiga hormon yang secara normal bekerjasama untuk
mempertahankan kadar kalsium agar tetap konstan.13,14,15
Gambar 2. Aktivasi vitamin D7
Sumber :David I,2011
10
Gambar 3. Metebolisme dan reseptor Vitamin D.4
Sumber : Hollick,2007
27 28
perkembangan neurologis dan fungsi kekebalan tubuh . Selain itu, kadar vitamin D
telah dikaitkan dengan preeklampsia, penyakit dermatologis, obesitas, dan kesehatan
mental, khususnya skizofrenia dan kelainan afektif 30.
Ikatan reseptor-vitamin D berperan dalam proses terjadinya; "peradangan
(rheumatoid arthritis, psoriatic arthritis),dermatologis (psoriasis, actinic keratosis,
dermatitis seboroik, fotoaging), osteoporosis (postmenopause dan steroid-induced
Osteoporosis), kanker (prostat, usus besar, payudara, myelodysplasia, leukemia, kepala
dan leher karsinoma sel skuamosa, dan karsinoma sel basal), hiperparatiroidisme
sekunder, dan penyakit autoimun (lupus eritematosus sistemik, diabetes tipe I, multiple
sclerosis).31
12
pertumbuhan intra uterin, ricketsia sejak lahir dan osteomalacia yang sering dengan patah
tulang, hipoplasia enamel dan dental hipokalsemia neonatal keterlambatan pertumbuhan
selama tahun pertama kehidupan, data epidemiologi menunjukkan meningkatnya resiko
diabetes mellitus sebagai efek jangka panjang.
Prevalensi defisiensi vitamin D di Indonesia pada anak usia 1 sampai 12,9 tahun
menunjukkan bahwa 45% anak mengalami insufisiensi vitamin D. Pada penelitian yang
dilakukan di empat negara, Indonesia menduduki peringkat ke empat, dengan rerata
vitamin D hanya 52,7 nmol/l. 12
14
Gambar 4. Metabolisme vitamin D selama kehamilan dan menyusui. 3
Sumber : Aras Hosein, 2013
16
1.6.3 Pengaruh Defesisensi Vitamin D Darah Pada Neonatus
1.6.3.1. Infeksi
Belderbos 2011, mengemukakan bahwa kadar vitamin D darah tali pusat rendah
dikaitkan dengan peningkatan risiko RSV (Respiratory syncytial virus) pada tahun
pertama kehidupan dan peningkatan risiko infeksi pernafasan kenaikan tingkat infeksi
bisa terjadi karena peran vitamin D dalam imunitas, penelitian menunjukkan bahwa
Kadar vitamin D darah tali pusat yang rendah akan menurun respon monosit secara in
52
vitro , Wildfire dkk 2011.kadar vitamin D darah tinggi dikaitkan dengan jumlah sel
regulator yang lebih rendah, ini menunjukkan bahwa kadar vitamin D dalam kandungan
mungkin mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh pada masa bayi.52
18
seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopik. Pada individu atopik, respon terhadap
alergen terjadi secara berlebihan, selain memiliki kadar serum antibodi IgE yang tinggi,
juga tes kulit (skin prick test) positif terhadap ekstrak alergen.56
2.3 Paparan Alergen
Alergen yang menyebabkan respon hipersensivitas pada individu dengan atopi
merupakan suatu protein atau subtansi kimia yang terikat protein.5 Alergen tipikal ini
termasuk protein dalam serbuk sari (pollen),11 tungau (house dust mites), bulu binatang,
makanan, jamur (mold) dan obat-obatan seperti antibiotik penisilin. Tidak seperti infeksi
oleh kuman yang menstimulasi respon imun bawaan yang menyebabkan dominasi
produksi Th1, pada paparan oleh alergen menyebabkan tubuh merespon dengan
dominasi produksi Th 2 yang memicu reaksi hipersensitivitas.56 Paparan alergen di dalam
ruangan (indoor allergen) seperti tungau meningkatkan risiko terjadinya rinitis alergi.
Tungau merupakan alergen utama penyebab penyakit alergi, terutama rinitis alergi dan
asma.58
2..4 Faktor Risiko Alergi
a. Genetik
Risiko timbulnya gejala alergi lebih tinggi pada individu dengan riwayat keluarga
dengan penyakit atopi dibandingkan tanpa atopi.1 Gejala alergi pada anak yang
mempunyai orang tua dengan alergi akan lebih parah dibandingkan dengan anak
dengan orang tua tanpa alergi.55,56 Anak yang memiliki saudara dengan penyakit
alergi mempunyai hampir dua kali lipat risiko alergi makanan dibandingkan
dengan yang tidak memiliki riwayat keluarga alergi. Risiko alergi makanan
tertinggi pada anak dengan kedua orang tua alergi dan satu atau lebih saudara
kandung dengan alergi.56
b. Usia
Perkembangan penyakit alergi atopi yang berhubungan dengan bertambahnya
usia disebut dengan atopic march. Dermatitis alergi muncul pada 6 bulan pertama
sampai beberapa tahun awal kehidupan. Anak dengan riwayat alergi susu sapi
dengan IgE positif pada usia 7 bulan mempunyai risiko mempunyai
hiperresponsivitas bronkhial pada usia sekolah. Dermatitis alergi dengan IgE
spesifik alergen yang muncul pada usia 2-4 tahun mempunyai risiko tinggi untuk
berkembang menjadi asma dan rinitis alergi dibandingkan dermatitis alergi tanpa
perantara IgE. Prevalensi rinitis alergi terbesar pada masa anak-anak dan remaja
usia sekolah, kemudian menurun secara signifikan seiring bertambahnya usia. 55
c. Stres
Hubungan antara stres dan sistem imun melalui 2 jalur yaitu autonomic nervous
system (ANS) dan axis hyphophyseal-pituitary-adrenal (HPA). Stres
menstimulasi sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dan mengaktivasi
korteks adrenal untuk mensekresi kortisol dan katekolamin oleh medula. Kortisol
dan katekolamin menghambat produksi IL-12 oleh TH1. Kortisol juga
berpengaruh langsung terhadap sel TH2 sehingga meningkatkan produksi IL-4,
54,55,56
IL-10, dan IL-13. ANS yang terdiri dari sistem saraf simpatis dan
parasimpatis di sistem saraf pusat (SSP), memodulasi sistem imun melalui
neurotransmiter, neuropeptida, dan hormon. Stres dapat meningkatkan produksi
noradrenalin dapat menurunkan produksi sitokin IL-12. Hal tersebut
menyebabkan sistem imun menjadi dominan sel TH2 sehingga memicu terjadinya
reaksi alergi.56
d. Lingkungan
Urbanisasi yang cepat dan industrialisasi di seluruh dunia telah meningkatkan
polusi udara dan menyebabkan paparan terhadap populasi. Pada saat yang sama
prevalensi penyakit asma dan alergi meningkat di negara-negara industri.57
Paparan kronik polusi udara seperti Nitric oxides (NO dan NO2), volatile organic
compounds, ozon, sulfur dioksida (SO2) dapat menginduksi gejala pada pasien
dengan rinitis alergi.55
20
2.5 Mediator dalam Reaksi Alergi
Gejala klinis alergi ditentukan oleh berbagai macam mediator yang berasal dari berbagai
sel seperti sel mast, basofil, eosinofil dan neutrofil. Mediator-mediator tersebut antara
lain:
1. Histamin
Histamin merupakan amin vasoaktif yang berada di dalam granul sitoplasma pada
sel mast dan basofil, serta mempunyai reseptor di berbagai bagian tubuh. Efek
histamin pada gelaja alergi terutama di pembuluh darah dan otot polos. Pelepasan
histamin menyebabkan vasodilatasi, meningkatnya permeabilitas pembuluh darah
serta kontraksi otot polos yang dapat menyebabkan menifestasi klinis pada
rinitis alergi, urtikaria, bronkhospasme pada reaksi anafilaktik akut.54,56
2. Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A)
ECF-A adalah suatu tetrapeptida yang berada di dalam granul sitoplasma sel
mast. Pelepasan ECF menyebabkan migrasi eosinofil pada reaksi alergi.54
3.Prostaglandin (PGD2)
PGD2 adalah bioaktif yang berasal dari asam arakidonat yang dihasilkan melalui
aktivitas COX. Mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, vasodilatasi,
dan meningkatkan permeabilitas kapiler. 56
4. Leukotrien
Leukotrien adalah mediator yang berasal dari asam arakidonat yang dihasilkan
oleh sel mast mukosa dan basofil, dan mempunyai reseptor spesifik di otot polos
bronkhus serta menyebabkan bronkhospasme persisten yang terjadi pada asma.55
5. Platelet-activating factor (PAF)
PAF adalah suatu fosfolipid yang dihasilkan oleh sel mast yang dapat
menyebabkan bronkokonstriksi, hipotensi, permeabilitas pembuluh darah, serta
efek kemotaksis terutama terhadap eosinofil.54,55,56
6. Kemokin
Kemokin adalah bagian dari sitokin yang merangsang gerakan leukosit dan
mengatur migrasi leukosit dari darah ke jaringan, seperti RANTES dan eotaxin.56
7. Selektin dan Integrin Ligands
E-selektin dan ligan integrin (VCAM-1 dan ICAM-1) yang disintesis oleh sel
endotel dan diekspresikan ke permukaan sel endotel berfungsi untuk adhesi
leukosit yang beredar di pembuluh darah. 56
8. Sitokin Inflamasi
Sel mast dan sel TH2 memproduksi berbagai macam sitokin yang terlibat dalam
reaksi alergi. Sitokin bekerja dalam mengawali, mengatur, dan mempertahankan
respon inflamasi alergi. Sitokin tersebut antara lain:
a. IL-4, mempunyai peran utama dalam menstimulasi produksi IgE dan
perkembangan TH2 dari sel TH0, mencegah aktivasi dan antagonis IFN-γ.
Sitokin ini mengubah isotipe (isotype switching) sel B untuk memproduksi
IgE dan ekspresi MHC-II.57
b. IL-5, merupakan aktivator pematangan dan diferensasi eosinofil utama dan
diproduksi oleh sel TH2 dan sel mast yang telah diaktifkan.
c. IL-13, diproduksi oleh sel TH2 dan memiliki struktur yang homolog
dengan IL-4, isotype switching sel B untuk memproduksi IgE, 56
d. Granulocyte Monocyte-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), diproduksi
oleh sel T, berfungsi untuk menginduksi maturasi granulosit, monosit dan
aktivasi makrofag. 57
2.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian alergi pada bayi
2.6.1 Faktor genetik
Individu yang memiliki riwayat alergi atopi pada keluarga dapat meningkatkan risiko
berkembangnya sensitisasi antibodi IgE. Adanya faktor ini 14 dapat menyebabkan
berkembangnya penyakit alergi seperti asma, rinitis alergi, konjungtivitis, atau dermatitis
atopik.4,6 Anak yang lahir dari keluarga atopi dapat berisiko mengalami alergi tiga
sampai empat kali lebih tinggi (50-80%) dibanding dengan anak dari keluarga tanpa
riwayat alergi atopi (20%). Risiko dapat meningkat lebih tinggi bila kedua orang tua
mengalami alergi (60-80%). 55,56,57
22
2.6.2 Pengaruh alergen
1) Paparan alergen selama kehamilan. Penghindaran paparan antibiotik danbeberapa
jenis alergen makanan yang dianggap potensial selamakehamilan belum
memberikan hasil yang efektif dalam menurunkan
sensitisasi alergi pada bayi.56
2) Pemberian ASI. Durasi menyusui yang singkat berhubungan dengan
meningkatnya insidensi penyakit alergi pada awal kehidupan bayi. ASI memiliki
beragam manfaat kesehatan dan memiliki efek protektif terhadap timbulnya
gejala awal alergi.56
3) Penghindaran alergen selama menyusui. Makanan yang memiliki potensial
alergen (susu, telur, dan ikan) diperkirakan dapat menurunkan risiko dermatitis
atopik pada tahun pertama kehidupan.56
4) Susu formula. Susu formula terhidrolisa dapat menurunkan risiko alergi pada bayi
dibandingkan dengan susu formula dari sapi.55,56
5) Makanan bayi. Penundaan pemberian makanan padat pada bayi diperkirakan
dapat mengurangi atau menunda awitan penyakit alergi pada tahun pertama
kehidupan.56
6) Paparan tungau rumah. Pengurangan level tungau rumah selama masa kehamilan
dan postnatal dapat meningkatkan risiko sensitisasi terhadap tungau. Sensitisasi
terhadap tungau rumah merupakan faktor risiko dari asma persisten, mengi, dan
hiperaktivitas bronkus.56
2.6.3 Pengaruh polutan dan iritan
Ibu yang merokok selama kehamilan memiliki efek samping terhadap perkembangan
paru bayi. Paparan asap rokok dapat meningkatkan risiko atopi pada bayi. Paparan
polusi udara dalam ruangan maupun polusi kendaraan dapat meningkatkan sensitisasi
bayi terhadap tungau rumah dan menimbulkan gejala gangguan pernapasan.56
2.6.4 Pengaruh paparan dini infeksi dan mikroba lainnya
Bakteri merupakan imunostimulan T helper type 1 (Th1) yang kuat sedangkan virus juga
berperan sebagai pemicu gejala asma. Respiratory syncytial virus (RSV) atau jenis
infeksi virus lainnya pada bayi berhubungan dengan faktor risiko asma yang berulang
pada 6 tahun pertama kehidu
2.6.5 Pengaruh makanan imunomodulator
Komponen makanan yang memiliki efek imunomodulator seperti antioksidan dan
polyunsaturated fatty acids (PUFA) diperkirakan memiliki peranan dalam perkembangan
penyakit alergi. Peran suplementasi omega-3 (n-3) PUFA pada bayi dianggap dapat
menurunkan prevalensi mengi pada usia 18 bulan 16 dan batuk alergi pada usia 3 tahun
tetapi tidak berpengaruh terhadap mengi pada usia 3 tahun. Selain itu, komponen
makanan tersebut tidak memberikan efek pada sensitisasi makanan atau dermatitis
atopik.6berpengaruh terhadap otot polos saluran napas, serta merangsang produksi
mukus oleh sel epitel paru. 59
2.7 Dermatitis atopik pada bayi
Dermatitis atopik merupakan reaksi inflamasi pada kulit yang didasari oleh faktor
herediter dan lingkungan. Penyakit ini sering dijumpai pada bayi dan anak. Reaksi kulit
yang terjadi biasanya dimediasi oleh IgE dan mempunyai kecenderungan menderita
asma, rinitis atau keduanya (allergic march). Gejala dermatitis atopik timbul sebelum
bayi berusia 6 bulan dan jarang terjadi pada usia di bawah 8 minggu. Pada keadaan
kronis, reaksi inflamasi lebih didasari oleh limfosit dibanding antibodi IgE. 55
2.7.1 Patofisiologi
Dermatitis Atopik (DA) merupakan penyakit multifaktorial sehingga etiopatogenesis DA
belum sepenuhnya jelas, namun secara umum dipengaruhi oleh interaksi kompleks
gangguan fungsi sawar kulit, gangguan sistem imun, genetik, faktor-faktor lain termasuk
lingkungan, diet, infeksi, dan stres. infeksi oleh mikroorganisme terutama
Staphylococcus aureus pada kulit. Patogen berpotensi memperberat inflamasi yang
persisten pada kulit pasien DA dengan mengeluarkan toksin super antigen, yang
menyebabkan aktivasi sel T dan sel imun lainnya sehingga terjadi penurunan kadar
ceramides dan antimicrobial peptide (AMP) yaitu cathelicidin dan human beta
defensing.56,57
24
DA disebabkan gangguan sawar fungsi kulit dan sistem imunitas, sehingga
cenderung terjadi kolonisasi dan Interaksi antara gen kerentanan, host lingkungan,
kelainan farmakologis, dan faktor imunologi berkontribusi terhadap patogenesis
dermatitis atopik.58 Sebagian besar kemajuan yang dicapai memahami imunologi
penyakit ini terkait dengan bentuk penyakit yang dimediasi IgE atau ekstrinsik.
Dermatitis atopik memiliki dasar imunologis yangi dapat dilihat pada imunidefisiensi
gangguan sel T primer , konsentrasi serum IgE dan reaksi kulit eczematoid yang
meningkat setelah berhasil sumsum tulang transplantasi.11 Pada hewan, dermatitis atopik
tidak terjadi tanpa adanya sel T.59
26
Tabel 2. Gambaran kliniks dermatitis atopi46
Sumber : S. Nutten,2015
28
Gambar 7 : Efek Imunomodulator 1,25(OH)2D350
Sumber : Matteau, 2011
Hipotesis pertama menunjukkan bahwa vitamin D kadar tinggi bertanggung jawab atas
kenaikan prevalensi alergi dan asma. Teori ini awalnya didasarkan pada peningkatan
alergi diamati bersamaan dengan peningkatan dalam suplemen vitamin D untuk wanita
60
hamil dan Bayi baru lahir untuk mencegah rickets infantil . Sebuah kompetisi
hipotesis yang berkembang beberapa tahun kemudian mendalilkan itu tingkat vitamin D
yang rendah dapat menyebabkan peningkatan alergi prevalensi 5. Teori ini didukung oleh
pengamatan hubungan antara kekurangan vitamin D / insufisiensi dan peningkatan
prevalensi penyakit alergi, seperti asma karena pengamatan yang saling bertentangan
mengenai vitamin D tampak pada alergi, studi in vitro manusia dan in vivo telah
dilakukan untuk menilai apakah vitamin D secara langsung mempengaruhi tingkat serum
imunoglobulin E (IgE).63
Dalam sebuah penelitian,Sel B yang sebelumnya distimulasi menunjukkan
penurunan produksi yang nyata IgE mengikuti pemberian vitamin D59 Dalam studi
kedua, agonis calcitriol dan VDR menyebabkan produksi IgE tertekan oleh sel B
manusia yang dikultur. Selanjutnya, calcitriol dan agens VDR juga mengurangi produksi
Ig E pada alergi tikus alergi 56.
30
Gambar 8\. Vitamin D dan ekspresi Gen 24
Sumber : Benson et,al 2011
c. Menekan Th2 tanggapan oleh darah tali pusat manusia Sel mononuklear.
g. Kurangi sekresi IL-17 dan IFN-ions, sambil menginduksi IL-4 Dan IL-10
sitokin.
III. Limfosit
32
3.2 Efek vitamin D pada dermatitis atopik dan urtikaria
Penyakit atopik lainnya, terdapat data yang saling bertentangan seputar efek vitamin D
terhadap perkembangannya penyakit kulit alergi, sebagian besar penelitian untuk menilai
dampak vitamin D pada penyakit kulit alergi fokus pada dermatitis atopik (AD).58 Studi
pertama yang diselidiki kemungkinan hubungan antara vitamin D dan AD merupakan
penelitian prospektif yang dilakukan untuk menilai risiko mengi berulang pada anak-
anak berdasarkan asupan vitamin ibu D, ditemukan adanya penurunan risiko mengi yang
berulang pada anak-anak dari ibu dengan asupan vitamin D yang lebih tinggi selama
kehamilan, tidak ada penurunan risiko AD di individu yang sama ini.56,57
Studi lainnya secara prospektif menunjukkan bahwa tingkat serum ibu meningkat
25 (OH) D memengaruhi bayi sampai AD pada usia 9 bulan. Sepanjang garis ini, Back et
al. mengamati bahwa meningkat asupan vitamin D pada masa bayi berkorelasi dengan
tinggi risiko AD pada usia 6 tahun. Studi ini secara kolektif mendukung teori bahwa
peningkatan vitamin D mungkin terkait dengan alergi penyakit, termasuk AD. Namun,
ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D berkontribusi
pada perkembangan AD. Oren dkk membandingkan pasien dengan kekurangan vitamin
D dengan Vitamin D cukup, dan menilai prevalensi gangguan atopik. Pada pasien ini,
ada peningkatan risiko dari AD di antara mereka yang kurang vitamin D, walaupun tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam risiko asma atau rhinitis alergi dibandingkan
dengan AD, ada penelitian yang secara signifikan lebih sedikit yang telah mengevaluasi
potensi hubungan antara vitamin D dan Urtikaria pada satu penelitian menunjukkan
bahwa kadar vitamin D secara signifikan berkurang pada subyek dengan urtikaria kronis
dibandingkan Untuk kontrol. 60
Goetz dkk melakukan review grafiks selidiki kemungkinan manfaat terapeutik
vitamin D untuk gejala gatal idiopatik, ruam, dan urtikaria. Baseline kadar 25 (OH) D
secara signifikan lebih rendah pada pasien yang kemudian responsif terhadap vitamin D
dibandingkan dengan pasien yang tidak responsif terhadap vitamin D 58,57,60
3.3 Efek vitamin D pada tingkat keparahan dermatitis atopik
Ada beberapa penelitian yang terkait suplemen vitamin D dengan baik penurunan risiko
atau perbaikan klinis dari AD. Sidbury dkk. mengevaluasi efek suplementasi vitamin D
pada perbaikan AD, dan secara acak diberi vitamin D atau plasebo sampai sebelas anak-
anak dengan AD Meskipun ada efek menguntungkan di kelompok perlakuan, tidak ada
hasil yang signifikan secara statistik perubahan rata-rata tingkat keparahan klinis AD
pada kelompok itu. 59.
Bukti yang menunjukkan bahwa vitamin D memainkan peran penting dalam
sistem kekebalan tubuh, dan secara khusus pada penyakit alergi, sejauh mana dampaknya
belum sepenuhnya dijelaskan meski banyak penelitian telah berusaha untuk menentukan
efek yang dimiliki vitamin D terhadap penyakit alergi, dan khususnya penyakit kulit
alergi, belum ada skala besar penelitian prospektif, penelitian yang lebih besar yang
difokuskan untuk menilai hubungan antara vitamin D dan penyakit kulit alergi, efek
asupan vitamin D ibu selama kehamilan dan AD pada anak-anak. 59
Penelitian mencoba mengevaluasi pengobatan efek vitamin D pada penyakit kulit
alergi telah diukur, ukuran sampel yang kecil menjadi keterbatasan dari kebanyakan
penelitian, terutama protokol case-control dan cross-sectional, sehingga tidak
memastikan hubungan kausal antara kekurangan vitamin D dan AD. Dalam setiap
penelitian, sulit untuk dilakukan penentuan apakah kadar serum vitamin D rendah
berkontribusi perkembangan AD, apakah kerusakan kulit dari AD menyebabkan
penyerapan vitamin D rendah dari sinar matahari, atau jika keduanya tidak berhubungan
Salah satu alasan potensial untuk koneksi yang tidak konsisten Antara vitamin D dan
penyakit kulit alergi apakah ada Mungkin merupakan asosiasi bimodal dan / atau
gender.58,61
Hyponnen Et al. menunjukkan signifikan secara statistik non linier hubungan
antara serum 25 (OH) D dan serum IgE. Di Penelitian ini, pasien dengan kadar serum
53
rendah dan tinggi 25 (OH) D menunjukkan peningkatan kadar IgE serum . Mengenai
perbedaan spesifik gender pada hipersensitivitas kontak pada tikus berkaitan dengan
status vitamin D, dipertanyakan apakah temuan ini juga akan muncul dengan baik
34
Manusia. Seperti yang terlihat dari banyaknya penelitian sulit untuk benar-benar menilai
peran vitamin D berperan dalam pengembangan penyakit atopik. Untuk Lebih jauh
menggambarkan kemungkinan korelasi antara vitamin D dan alergi, penelitian besar dan
prospektif perlu dilakukan untuk dilakukan. Uji coba terkontrol acak pengobatan dengan
vitamin D dalam konteks penyakit alergi mungkin juga membantu dalam menentukan
hubungan definitif.58,62
Peroni dkk. Menunjukkan hubungan terbalik antara tingkat vitamin D dan tingkat
keparahan AD.53 Meski tidak ada studi klinis untuk mengevaluasi potensih hubungan
antara vitamin D dan dermatitis kontak di manusia, ada satu penelitian yang menilai
52
potensi ini Malley dkk. membandingkan respon hipersensitivitas kontak tikus dengan
kadar vitamin D dan tikus normal dengan kadar vitamin D yang kurang. Di dalam
kelompok tikus dengan kadar vitamin D normal, tikus betina memperlihatkan respon
yang lebih tinggi dibandingkan dengan jantan. Namun, vitamin D jantan yang kurang
menunjukkan kontak yang meningkat secara signifikan respon hipersensitivitas
dibandingkan dengan jantan dengan tingkat vitamin D yang normal. Menariknya, tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam kontak respon hipersensitivitas untuk tikus betina
antara kekurangan vitamin D dan kelompok yang cukup 52.
BAB III
RINGKASAN
Vitamin D akhir-akhir ini mendapatkan perhatian karena efeknya yang besar pada
berbagai macam penyakit Efek ini disebabkan karena reseptor vitamin D (VDR)
ditemukan di berbagai jaringan seperti hati,Pankreas, otak dan prostat. Mereka juga
ditemukan di permukaan Sel imun termasuk limfosit dan makrofag. Efek potensial
ekstra-osseous juga pernah dilaporkan. Di sisi lain, sintesis vitamin D dimulai dengan
efek sinar matahari pada jaringan kulit, dan aktif sintesis vitamin D terjadi dengan 25-
hidroksilasi di hati pertama dan akhirnya 1-hidroksilasi di ginjal
Vitamin D memainkan peran kunci dalam imunitas bawaan dan adaptif melalui
stimulasi dari reseptor seperti yang ditemukan pada penelitian dengan menggunakan
tikus, meningkatkan produksi sitokin pro-inflamasi, dan mungkin meningkatkan respon
T helper type 2. Mekanisme ini bisa menjelaskan semakin banyak bukti yang
menghubungkan vitamin D dengan penyakit alergi, termasuk Asma, alergi makanan, dan
rhinitis alergi. Vitamin D memainkan peran kunci dalam respon kekebalan yang
dihasilkan oleh sel limfosit dan antigen. Perannya di pengaturan sel-sel sistem kekebalan
tubuh telah dikenali dengan ditemukannya reseptor vitamin D (VDR) pada jenis sel yang
berbeda. Secara khusus, VDR telah diidentifikasi pada hampir semua sel dari sistem
kekebalan tubuh termasuk Sel T, sel B, neutrofil, makrofag, dan sel dendritik
(DC),walaupun beberapa penelitian pada tikus telah berhasil memperlihatkan hubungan
vitamin D dengan AD pada tikus namun hubungan ini masih dipertayakan apakah
berlaku sama terhadap manusia.
Data yang berkaitan dengan vitamin D dengan alergi penyakit kulit tidak jelas
dengan penelitian yang menghubungkan kadar vitamin D tinggi dan rendah peningkatan
risiko pengembangan dermatitis atopik. Sehingga masih perlunya penelitian lebih lanjut
dengan skala subyek penelitian yang lebih besar untuk melihat hubungan ini.
36
DAFTAR PUSTAKA
38
33. Sehra, Sarita. Barbé Tuana, Florencia M. Holbreich, Mark. Mousdicas, Nico.
Kaplan, Mark H. Travers, Jeffrey B.,Clinical correlations of recent developments
in the pathogenesis of atopic dermatitis Dermatite atópica: implicações clínicas
de avanços recentes na patogênese. 2008;83(1):57-73.
34. Wawro et al. Serum 25(OH)D concentrations and atopic diseases at age 10:
results from the GINI plus and LISA plus birth cohort studies. BMC Pediatrics
2014, 14:28
35. Weiland, S.K.; Husing, A.; Strachan, D.P.; Rzehak, P.; Pearce, N.; ISAAC Phase
One Study Group. Climate and the prevalence of symptoms of asthma, allergic
rhinitis, and atopic eczema in children.Occup. Environ. Med. 2004, 61, 609–615.
36. Vasiliou, J. E. Walker, S. A. Xystrakis, E. Bush, A. Hawrylowicz, C. M. Saglani,
S. Lloyd , C. M. Vitamin D deficiency induces Th2 skewing and eosinophilia in
neonatal allergic airways disease. Allergy 2014; 69: 1380–1389.
37. Park CO, Noh S, Jin S, et al. Insight into newly discovered innate immune
modulation in atopic dermatitis. Exp Dermatol 22:6 –9, 2013.
38. . Ooi JH, Chen J, and Cantorna MT. Vitamin D regulation of immune function in
the gut: Why do T cells have vitamin D receptors? Mol Aspects Med 33:77– 82,
2012.
39. Cantorna MT, Zhao J, Yang L. Vitamin D, invariant natural killer T-cells and
experimental autoimmune disease. Proc Nutr Soc 71:62– 66, 2012.
40. Carvalho Mesquita1 Kleyton de. de Souza Machado Igreja, Ana Carolina.
Carvalho Costa, Izelda Maria ,Atopic dermatitis and vitamin D: facts and
controversies* Dermatite atópica e vitamina D: fatos e controvérsias Bras
Dermatol. 2013;88(6):945-53.
41. Nutten. Role of vitamin D3 in atopic dermatitis and immunity: Some Comments,
May–June 2015, Vol. 36, No. 3
42. Hoyos-Bachiloglu, R.; Morales, P.S.; Cerda, J.; Talesnik, E.; Gonzalez, G.;
Camargo, C.A., Jr.; Borzutzky, A. Higher latitude and lower solar radiation
influence on anaphylaxis in Chilean children. Pediatr. Allergy Immunol. 2014,
25, 338–343.
43. Wang, S.S.; Hon, K.L.; Kong, A.P.; Pong, H.N.; Wong, G.W.; Leung, T.F.
Vitamin D deficiency is associated with diagnosis and severity of childhood
atopic dermatitis. Pediatr. Allergy Immunol. 2014, 25, 30–35.
44. Baek, J.H.; Shin, Y.H.; Chung, I.H.; Kim, H.J.; Yoo, E.G.; Yoon, J.W.; Jee,
H.M.; Chang, Y.E.; Han, M.Y. The link between serum vitamin D level,
sensitization to food allergens, and the severity of atopic dermatitis in infancy. J.
Pediatr. 2014, 165, 849–854.
45. Peroni, D.G.; Piacentini, G.L.; Cametti, E.; Chinellato, I.; Boner, A.L. Correlation
between serum 25-hydroxyvitamin D levels and severity of atopic dermatitis in
children. Br. J. Dermatol. 2011, 164, 1078–1082.
46. Nutten, Sophie . Atopic Dermatitis: Global Epidemiology and Risk Factors
Atopic Dermatitis. Nutrition and Health Department, Nestlé Research Center,
Lausanne , Switzerland 2015;66(suppl 1):8–16
47. Leung, Donald YM. Review Article New Insights into Atopic Dermatitis: Role of
Skin Barrier and Immune Dysregulation Allergology International. 2013;62:151-
161
48. Lee WJ, Cha HW, Sohn MY, et al. Vitamin D increases expression of
cathelicidin in cultured sebocytes. Arch Dermatol Res 304:627– 632, 2012.
49. Slominski AT, Kim TK, Takeda Y, et al. ROR_ and ROR _ are expressed in
human skin and serve as receptors for endogenously produced noncalcemic 20-
hydroxy- and 20,23-dihydroxyvitamin D. FASEB J 28:2775–2789, 2014.
50. Matteu. Samochocki et al .Vitamin D effects in atopic dermatitis. Dermatol
2013;69:238-44 Peroni DG, Piacentini GL, Cametti E, Chinellato I, Boner AL.
Correlation between serum 25-hydroxyvitamin D levels and severity of atopic
dermatitis in children. Br J Dermatol 2011;164:1078–1082.
51. Hypponen E, Berry DJ, Wjst M, Power C. Serum 25-hydroxyvitamin D and IgE –
a significant but nonlinear relationship. Allergy 2009;64:613–620.
52. Oren E, Banerji A, Camargo CA Jr. Vitamin D and atopic disorders in an obese
population screened for vitamin D deficiency. J Allergy Clin Immunol 2008;
121:533–534.
53. Nagpal S, Na S, Rathnachalam R. Noncalcemic actions of vitamin D receptor
ligands. Endocr Rev 2005;26:662–687.
Bikle DD. Vitamin D and immune function: understanding common pathways.
Curr Osteopor Rep 2009;7:58–63.
54. Adorini L. Tolerogenic dendritic cells induced by vitamin D receptor ligands
enhance regulatory T cells inhibiting autoimmune diabetes. Ann NY Acad Sci
2003;987:258–261.
55. Wintergerst ES, Maggini S, Hornig DH. Contribution of selected vitamins and
trace elements to immune function. Ann Nutr Metab 2007;51:301–323.
56. Vassallo MF, Camargo CA Jr. Potential mechanisms for the hypothesized link
between sunshine, vitamin D, and food allergy in children. J Allergy Clin
Immunol. 010;126:217–222
57. Widyaswari, Meidyta Sinantryana, Zulkarnain, Iskandar. Indramaya, Diah Mira.
,Kadar Serum Vitamin D (25[OH]D) pada Pasien Dermatitis Atopik (Serum
Level of Vitamin D (25[OH]D) in Patient with Atopic Dermatitis) Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of Dermatology and Venereology.
2016, Agustus Vol. 28, No. 2; 1-5
58. Carvalho Mesquita, Kleyton de. Souza Machado Igreja, Ana Carolina de.
Carvalho Costa, Izelda Maria Atopic dermatitis and vitamin D: facts and
controversies Dermatite atópica e vitamina D: fatos e controvérsias Dermatol.
2013;88(6):945-53.
59. Silverberg, J.I.; Hanifin, J.; Simpson, E.L. Climatic factors are associated with
childhood eczema prevalence in the United States. J. Investig. Dermatol. 2013,
133, 1752–9.
60. Byremo, G.; Rod, G.; Carlsen, K.H. Effect of climatic change in children with
atopic eczema. Allergy 2006, 61, 1403–10
40
61. Akan, A.; Azkur, D.; Ginis, T.; Toyran, M.; Kaya, A.; Vezir, E.; Ozcan, C.;
Ginis, Z.; Kocabas, C.N. Vitamin D level in children is correlated with severity of
atopic dermatitis but only in patients with allergic sensitizations. Pediatr.
Dermatol. 2013, 30, 359–63.