Anda di halaman 1dari 41

SARI PUSTAKA

VITAMIN D DAN DERMATITIS ATOPIK


PADA NEONATUS

Oleh:
dr. Yuliawati

Pembimbng :
dr. Arsita Eka Rini, MSi.Med,SpA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS) I


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNDIP/
SMF KESEHATAN ANAK RSUP Dr. KARIADI
SEMARANG
2018
DAFTAR ISI

1
HALAMAN
JUDUL...................................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL..................................................................................................... iii
iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................
1
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 3
1. Vitamin D............................................................................................................. 3
1.1 Definisi Vitamin D...................................................................................... 3
1.2 Fisiologi Vitamin D.................................................................................... 3
1.3 Pembentukan Vitamin D............................................................................. 4
7
1.4 Metabolisme Vitamin D.............................................................................
9
1.5 Fungsi Vitamin D........................................................................................ 9
1.6 Defisiensi Vitamin D................................................................................. 11
1.7 Vitamin D Pada Neonatus......................................................................... 15
2. Alergi................................................................................................................... 15
2.1. Definisi alergi............................................................................................... 15
2.2. manifestasi klinis Alergi............................................................................... 16
2.3 Paparan Alergen............................................................................................ 16
2.4 Faktor Resiko Alergi .................................................................................... 18
2.5 Mediator dalam Reaksi Alergi...................................................................... 19
2.6 Faktor-faktor yang mempengruhi kejadian Alergi pada bayi....................... 21
2.7 Dermatitis Atopi pada Bayi.......................................................................... 24
3. Vitamin D dan mekanisme Imunologi...............................................................
3.1 Mekanisme Imunologi yang dibutuhkan untuk Vitamin D mempengaruhi 28
Alergi.........................................................................................................
30
3.2 efek Vitamin D pada Dermatitis atopi dan urtikaria...................................
33
3.3.Efek Vitamin D pada keparahan Dermatitis alergi........................................
BAB III RINGKASAN............................................................................................
33
BAB IV DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
34

DAFTAR TABEL

2
Tabe 1. . Gamabaran kliniks dermatitis atopi............................................................... 24
Tabel 3. Efek Vitamin d pada sistem Imun................................................................... 27

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Sintesis dan organ target untuk vitamin D................................................. 5
Gambar 2.Aktivasi Vitamin D...................................................................................... 7
Gambar 3. Metebolisme dan reseptor Vitamin D........................................................ 8
Gambar 4. Metabolisme vitamin D selama kehamilan dan menyusui......................... 12
Gambar 5. Jalur imunologi Pada Dermatitis Atopi....................................................... 22
Gambar 6. Gambaran dermatitis atopi.......................................................................... 23
Gambar 7. Efek immunomodulator 1,25(OH)D3......................................................... 26
Gambar 8. Gambar 8. Vitamin D dan Ekspresi Gen.................................................... 28

BAB I
PENDAHULUAN

Perubahan gaya hidup modern dengan meningkatnya pekerjaan dan aktivitas di dalam
ruangan serta penggunaan bahan pelindung matahari menyebabkan terbatasnya paparan
sinar matahari pada banyak individu.1 Kekurangan vitamin D diyakini dikaitkan dengan
berbagai kondisi, termasuk pada kanker payudara, usus, paru-paru dan prostat, penyakit
jantung, diabetes tipe 2, demensia, rheumatoid arthritis, dan gangguan fungsi imunologis,
Penelitian dalam beberapa tahun terakhir mengidentifikasi reseptor vitamin D (VDR)
ditemukan di berbagai jaringan seperti hati, pankreas, otak dan prostat, juga di
permukaan sel imun termasuk limfosit dan makrofag.2

4
Vitamin D (D2 dan D3) mempunyai fungsi biologis melalui mekanisme endokrin
dan autokrin, ini ditemukan pada manusia dan hewan, dibentuk pada kulit yang terpapar
sinar ultraviolet (UV) –B), berasal dari prekursor kolesterol di kulit dalam bentuk 7-
dehidrocholesterol. Saat kulit menyerap radiasi UV-B,prekursor diubah menjadi
previtamin D3, yang mengalami transformasi menjadi vitamin D3 (cholecalciferol)
sedangkan Vitamin D2 (ergocalciferol) adalah produk sintetis yang diproduksi dengan
radiasi sterol tanaman. Vitamin D, yang berasal dari makanan atau kulit, dimetabolisme
di hati menjadi bentuk 25 (OH) D oleh 25-hidroksilase. 25 (OH) D adalah metabolit
vitamin D yang paling banyak dan stabil dalam aliran darah manusia, sehingga di
tetapkan sebagai indikator fungsional status vitamin D seseorang.3,4
Dermatitis atopik adalah peradangan kronis pada kulit sering terjadi berulang
yang muncul pada awal masa bayi dan masa kanak-kanak tapi bisa bertahan atau bahkan
mulai di masa dewasa. Masa bayi, dermatitis atopik umumnya lebih akut dan terutama
mempengaruhi permukaan wajah, kulit kepala, dan ekstensor ekstremitas terdapat dua
jenis dermatitis atopik yang telah diidentifikasi: tipe ekstrinsik yang dimediasi oleh IgE
tersensitisasi, ditemukan pada 70-80% pasien; dan tipe intrinsik tanpa dimediasi oleh
IgE tersensitisasi, di temukan pada 20-30% pasien.2
Inflamasi kulit pada dermatitis atopik merupakan hasil interaksi yang komplek
antara kerentanan genetik yang menyebabkan kulit menjadi rusak, kerusakan sistem
imun bawaan, dan kekebalan tinggi terhadap alergen (imunologi) dan anti mikroba.
Elemen utama dalam disregulasi imun adalah sel Langerhans (LC), inflammatory
dendritic epidermal cells (IDEC), monosit, makrofag, limfosit, sel mast, dan keratinosit,
semuanya berinteraksi melalui rangkaian rumit sitokin yang mengarah ke dominasi sel
Th2 terhadap sel Th1, sehingga sitokin Th2 (IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13) meningkat
dalam kulit dan penurunan sitokin Th1 (IFN-γ dan IL-2)4,5
Vitamin D berperan dalam patogenesis banyak penyakit termasuk dermatitis
6
atopik (AD) Mekanisme imunologi yang berkontribusi untuk AD, karena efek
imunomodulator vitamin D.4,7 Schauber dkk menunjukkan bahwa bentuk aktif vitamin D
(1,25 (OH) 2 D3) meningkatkan ekspresi peptida antibakteri dengan demikian mencegah
infeksi kulit. Liu dkk menjelaskan hubungan antara aktivasi vitamin yang reseptor
diiradiasi sepert pada tikus, produksi katarsinidin, dan mengurangi sensitivitas terhadap
infeksi bakteri, vitamin D merangsang sintesis protein, seperti Filaggrin, yang diperlukan
untuk stratum korneum sebagai barrier.10
Tulisan ini berupa sari pustaka yang diambilkan dari berbagai daftar pustaka yang
relevan dengan tujuan menjelaskan lebih lanjut hubungan antara vitamin D dan
dermatitits atopi pada neonatus

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Vitamin D

Vitamin D sering dikenal dengan vitamin matahari karena vitamin D dapat dibentuk
tubuh dengan bantuan sinar matahari. Bila tubuh mendapat cukup sinar matahari, maka
konsumsi vitamin D melalui makanan tidak dibutuhkan, karena dapat disintesis di tubuh,
vitamin D dapat dikatakan bukan vitamin, tapi suatu prohormon.1,2

1.1. Definisi vitamin D


Vitamin D adalah nama generik dari dua molekul, yaitu ergokalsiferol (vitamin D2) dan
kolekalsiferol (vitamin D3). Prekursor vitamin D hadir dalam fraksi sterol dalam jaringan

6
hewan (di bawah kulit) dan tumbuh-tumbuhan berturut-turut dalam bentuk 7-
dehidrokolesterol dan ergosterol. Keduanya membutuhkan radiasi sinar ultraviolet untuk
diubah ke dalam bentuk provitamin D3 (kolekalsiferol) dan D2 (ergokalsiferol). Kedua
provitamin membutuhkan konversi menjadi bentuk aktifmya melalui penambahan dua
gugus hidroksil.1,3

1.2. Fisiologi Vitamin D Normal


Vitamin D terutama bertanggung jawab untuk mengatur penyerapan kalsium
dan fosfor di usus. Kadar vitamin D yang rendah menghasilkan hanya 10% sampai
15% kalsium makanan, bila kadar vitamin D cukup, 30% sampai 40% kalsium
12,14,15
makanan akan diserap Kadar vitamin D yang rendah menyebabkan penyerapan
kalsium tidak mencukupi menjaga homeostasis kalsium, dan kalsium serum rendah
merangsang pelepasan PTH. PTH meningkatkan kalsium serum dengan bekerja pada
tulang untuk meningkatkan pelepasan kalsium pada ginjal meningkat reabsorbsi kalsium
tubulus ginjal, dan peningkatan pembentukan kalsitriol 12

1.3 Pembentukan vitamin D


Vitamin D3, kolekalsiferol, berasal dari efek iradiasi UVB (panjang gelombang 290-315
nm) pada 7-dehidrokolesterol (kolesterol dengan ikatan rangkap pada atom karbon 7)
yang merupakan pendamping tambahan kolesterol di dalam kulit. Kolekalsiferol
merupakan bentuk vitamin D yang terdapat secara alami pada manusia dan hewan,
seperti dalam minyak hati ikan kod, ikan yang berlemak, mentega, dan hati hewan.
Vitamin D2 berasal dari ergosterol (sterol fungus) melalui iradiasi senyawa tersebut
dengan cahaya UV melalui rangkaian perubahan kimia yang sama dan disebut
ergokalsiferol 12,14
Di daerah tropis dan subtropis terdapat vitamin D yang dibentuk di kulit cukup
untuk memenuhi kebutuhan tubuh, kolekalsiferol di kulit akan diangkut oleh darah
untuk bekerja pada organ lain (tulang, usus, ginjal), kolekalsiferol dapat disebut sebagai
hormon, ketika orang tinggal di garis lintang yang dingin tertutup pakaian, menghabiskan
seluruh waktunya di dalam rumah, maka pajanan sinar UV tidak cukup untuk membuat
cukup vitamin D di dalam kulit. Asupan vitamin D dari makanan diperlukan sehingga
kolekalsiferol yang berada dalam beberapa makanan dan ergokalsiferol dalam makanan
yang difortifikasi mengambil peranan sebagai sumber vitamin. 12,13,14

Gambar 1. Sintesis dan organ target untuk vitaminD.2


Sumber : Braegger,2013

1.3 Metabolisme vitamin D


Di dalam tubuh, vitamin D tidak langsung dalam keadaan aktif sehingga harus
dimodifikasi secara kimia (mengalami hidroksilasi) sebanyak dua kali. hal ini dapat
dilihat dari berupa hasil obaservasi adanya lag period 8 jam sebelum seseorang dapat
melihat efek vitamin D yang diberikan pada hewan percobaan. Vitamin D dibentuk lebih
sedikit dalam kulit yang berwarna gelap dibandingkan kulit yang berwarna putih karena
melanin dalam kulit menyerap sinar UV.
Vitamin D yang yang berasal dari kulit dan dari diet yang dikonsumsi kemudian
akan dicerna, diserap, dan diangkut dari usus halus bagian proksimal dalam bentuk
kilomikron dan diabsorbsi oleh sistem limfatik Setelah itu masuk sirkulasi yang akan

8
terikat dengan vitamin D binding protein (DBP) dan lipoprotein Seperti lemak lainnya,
penyerapan dapat terganggu pada penyakit kronis dalam sistem empedu atau pada
penyakit usus dengan malabsorbsi14,15,16 Vitamin D ini kemudian keluar dari DBP ke
liver dan mengalami hidroksilasi oleh D-25-hidroksilase (25-O-Hase) yang dikenal
sebagai CYP27A1, CYP3A4, CYP2R1, CYP2J3 menjadi 25-hidroksivitamin D
[25(OH)D]. 25(OH)D merupakan bentuk utama vitamin D yang bersirkulasi yang dapat
diukur kadarnya untuk menentukan statusnya cukup atau defisiensi. 25(OH)D lebih
dipilih untuk diukur karena masa paruhnya di sirkulasi selama 2 minggu dan berkaitan
dengan hiperparatiroid sekunder, rickets, dan osteomalasia. 25(OH)D berikatan dengan
DBP dan kompleks ini terikat pada megalin di membran plasma sel tubulus renal yang
ditransportasikan ke dalam sel.
Senyawa 25(OH)D belum merupakan metabolik aktif untuk menjadi bentuk
aktif senyawa 25(OH)D harus mempunyai gugus hidroksil ketiga (OH) yang berada pada
atom karbon 1. Reaksi penambahan gugus hidroksil ini dilakukan di dalam mitokondria
tubulus proksimal oleh enzim 25-hidroksivitamin - 1α- hidroksilase [1-OHase; yang
dikenal sebagai CYP 27B1] dan akan terbentuk 1,25-dihidroksivitamin D[1,25(OH)2D].
1,25 (OH)2D yang juga disebut kalsitriol merupakan bentuk biologis vitamin D aktif
yang bertanggung jawab dalam menjaga homeostasis calcium dan phosphat .
Kadar 1,25(OH)2D plasma sekitar seribu kali lebih kecil daripada kadar
25(OH)D. Aktivitas enzim 1α-hidroksilase renal dikontrol dengan ketat sehingga
kecepatan produksi 1,25(OH)2D baru akan meningkat ketika terjadi penurunan kadar
kalsium plasma atau kenaikan kadar hormon paratiroid. Senyawa 1,25(OH)2D
merupakan salah satu dari tiga hormon yang secara normal bekerjasama untuk
mempertahankan kadar kalsium agar tetap konstan.13,14,15
Gambar 2. Aktivasi vitamin D7
Sumber :David I,2011

1.3.1 Vitamin D Receptor


Reseptor vitamin D (VDR) adalah reseptor hormon steroid yang mengikat kalsitriol
dan berperan sebagai faktor transkripsi selama ekspresi gen ,setelah VDR terikat
kalsitriol, kompleks dimerizes dengan reseptor retinoid X (RXR). Kalcitriol-VDR-RXR
heterodimer ditransmisikan ke dalam nukleus dan mengikat unsur responsif vitamin D
13
di daerah promotor gen responsif vitamin D. VDR diekspresikan di banyak organ
termasuk yang tidak terlibat dalam homeostasis kalsium atau metabolisme tulang,
seperti plasenta, otak, gonad, jantung, paru-paru, prostat, kulit, payudara, pankreas, usus
kecil, usus besar, sistem kekebalan tubuh dan dinding pembuluh darah 11

10
Gambar 3. Metebolisme dan reseptor Vitamin D.4
Sumber : Hollick,2007

1.4 Fungsi vitamin D


1.4.1 Peran Skeletal Vitamin D
Fungsi utama vitamin D adalah membantu pembentukan dan pemeliharaan tulang
bersama vitamin A dan vitamin C, hormon-hormon paratiroid dan kalsitonin, protein
kolagen, serta mineral-mineral kalsium, fosfor, magnesium dan flour. Fungsi khusus
vitamin D dalam hal ini adalah membantu kaslifikasi tulang dengan cara mengatur
agar kalsium dan fosfor tersedia di dalam darah untuk diendapkan pada proses
kalsifikasi tulang.7 Di dalam saluran cerna, kalsitriol meningkatkan absorpsi vitamin D
dengan cara merangsang sintesis protein pengikat-kalsium dan protein pengikat fosfor
pada mukosa usus halus. Di dalam tulang, kalsitriol bersama hormon paratiroid
merangsang pelepasan kalsium dari permukaan tulang ke dalam darah. Di dalam ginjal,
kalsitriol merangsang reabsorbsi kalsium dan fosfor.7,8
1.4.2 Peran Nonskeletal Vitamin D
Reseptor vitamin D ditemukan dalam berbagai macam organ nonskeletal dan jaringan
menunjukkan bahwa vitamin D berperan dalam banyak proses fisiologis. Vitamin D
berperan dalam kesehatan kardiovaskular,24 penyakit autoimun,25kanker 26

27 28
perkembangan neurologis dan fungsi kekebalan tubuh . Selain itu, kadar vitamin D
telah dikaitkan dengan preeklampsia, penyakit dermatologis, obesitas, dan kesehatan
mental, khususnya skizofrenia dan kelainan afektif 30.
Ikatan reseptor-vitamin D berperan dalam proses terjadinya; "peradangan
(rheumatoid arthritis, psoriatic arthritis),dermatologis (psoriasis, actinic keratosis,
dermatitis seboroik, fotoaging), osteoporosis (postmenopause dan steroid-induced
Osteoporosis), kanker (prostat, usus besar, payudara, myelodysplasia, leukemia, kepala
dan leher karsinoma sel skuamosa, dan karsinoma sel basal), hiperparatiroidisme
sekunder, dan penyakit autoimun (lupus eritematosus sistemik, diabetes tipe I, multiple
sclerosis).31

1.5 Defisiensi vitamin D


The institute of medicine , Food and Nutrition Board,1997 mengemukakan bahwa
defisiensi vitamin D adalah kadar 25(OH)D ; neonatus kurang dari 11 ng/mL ( 27,5
nmol/L) nilai ini bisa lebih rendah dari rentang nilai normal 8 ng/mL (20 nmol/L dan
dapat lebih tinggi 15 ng/mL (37,5nmoL/L tergantuing dari lokasi geografik.Defisiensi
vitamin D menyebabkan kelainan tulang yang dinamakan riketsia pada anak-anak dan
osteomalasia pada orang dewasa. Defisiensi vitamin D pada orang dewasa juga dapat
menyebabkan osteoporosis. Riketsia terjadi bila pengerasan tulang pada anak-anak
terhambat sehingga menjadi lemah, kaki membengkok, ujung-ujung tulang panjang
membesar (lutut dan pergelangan), tulang rusuk membengkok, pembesaran kepala
karena penutupan fontanel terhambat, gigi terlambat keluar, bentuk gigi tidak teratur dan
mudah rusak. 12,13
Defisiensi vitamin D pada neonatus sangat berhubungan dengan kadar vitamin D
yang didapatkan intra uterin ( kadar vitamin D ibu) dapat ditandai dengan retardasi

12
pertumbuhan intra uterin, ricketsia sejak lahir dan osteomalacia yang sering dengan patah
tulang, hipoplasia enamel dan dental hipokalsemia neonatal keterlambatan pertumbuhan
selama tahun pertama kehidupan, data epidemiologi menunjukkan meningkatnya resiko
diabetes mellitus sebagai efek jangka panjang.
Prevalensi defisiensi vitamin D di Indonesia pada anak usia 1 sampai 12,9 tahun
menunjukkan bahwa 45% anak mengalami insufisiensi vitamin D. Pada penelitian yang
dilakukan di empat negara, Indonesia menduduki peringkat ke empat, dengan rerata
vitamin D hanya 52,7 nmol/l. 12

1.5.1 .Faktor Risiko Defisiensi Vitamin D


Setiap faktor yang membatasi sintesis vitamin D di kulit merupakan faktor risiko untuk
mengakibatkan kekurangan kadar vitamin dalam serum. Meningkatnya cakupan pakaian,
penggunaan tabir surya, dan keterbatasan waktu di luar rumah adalah faktor risiko
33
defisiensi vitamin D Selama bulan-bulan musim dingin, radiasi UVB sinar matahari
tidak mencukupi untuk merangsang sintesis vitamin D kulit, terutama pada orang yang
35
hidup di atas lintang 42 derajat Selain itu, melanin berperan sebagai tabir surya alami
bagi mereka yang memiliki warna kulit lebih gelap, menurunkan produksi vitamin D
kulit sekitar 99%, mirip dengan memakai tabir surya. Sehingga tinggal di daerah lintang
utara, musim dingin, dan warna kulit lebih gelap merupakaan faktor risiko defisiensi
vitamin D. 26,27,35
Faktor risiko lainnya yang berperan pada kejadian kekurangan dan insufisiensi
vitamin D termasuk didalamnya sindrom malabsorptif, kekurangan suplementasi ,indeks
massa tubuh (BMI), obat tertentu, usia, status sosial ekonomi, dan mutasi genetik pada
reseptor vitamin D atau protein pengikat vitamin D35,36,37. Bila sintesis vitamin D di kulit
tidak menghasilkan kadar vitamin D yang memadai, tubuh bergantung pada penyerapan
vitamin D dari usus. Sindrom malabsorptif, seperti penyakit usus inflamasi, penyakit
celiac atau cystic fibrosis, menurunkan kemampuan usus untuk menyerap vitamin D
yang masuk bersama dengan makanan, kurangnya vitamin D dalam diet menyebabkan
kurang vitamin D tersedia untuk penyerapan oleh usus.Penggunaan obat-obatan,
khususnya antikonvulsan, kortikosteroid dan rifampisin, dapat mengganggu
metabolisme dari vitamin D.35,38

1.6 Vitamin D pada Neonatus


Bayi baru lahir memiliki sumber vitamin D yang unik ; dimana Ibu mentrasfer vitamin
D ke fetus melalu plasenta, konsentrasi 25-hydroxyvitamin D (25 (OH) D) ibu lebih
tinggi daripada konsentrasi janin, dan metabolit ini melintasi plasenta dalam jumlah
relatif besar. 25 (OH) D dari ibu adalah sumber utama vitamin D untuk janin dan juga
bayi baru lahir sampai bayi menerima vitamin D dari sumber makanan lain (seperti susu
formula) atau suplemen. 1,25 (OH) 2D (1,25- Dihydroxyvitamin D), metabolit aktif
secara fisiologis, tidak melewati plasenta. Namun, plasenta dapat mensintesis 1,25 (OH)
2D secara langsung, dan ini mungkin berkontribusi pada konsentrasi sirkulasi 1,25 (OH)
2D bayi40,41
Suplemen vitamin D ibu memiliki efek positif pada konsentrasi 25 (OH) D pada
bayi yang baru lahir. Dalam satu penelitian, suplementasi 1000-IU vitamin D pada
wanita hamil meningkatkan konsentrasi serum 25 (OH) D dalam darah tali pusat bayi
sebanyak 12-15 nmol / L dibandingkan dengan konsentrasi serum 25 (OH) D pada
kontrol tanpa suplementasi. Namun, suplemen ibu dari 400 IU/d (jumlah yang biasanya
ada pada vitamin prenatal) sedikit berpengaruh pada konsentrasi darah tali pusat bayi 40
Diperkirakan bahwa pada neonatus sumber vitamin D utama selama periode
postnatal bersumber dari transfer plasenta vitamin D ibu atau metabolitnya selama
kehamilan. D 1,25 (OH) janin dapat disintesis dari 25 (OH) D oleh plasenta atau ginjal
janin. sejumlah penyelidikan klinis pada imigran Asia sampai Great Britain l74 wanita di
Republik Rakyat China, bahwa status vitamin D neonatal sangat bergantung padakadar
vitamin D ibu dimana neonatus yang diberi ASI tanpa suplemen vitamin D,
menunjukkan vitamin D yang ditransfer ke plasenta akan tetap menjadi sumber utama
vitamin D karena kandungan vitamin D susu manusia rendah «20 IUL-I)42

14
Gambar 4. Metabolisme vitamin D selama kehamilan dan menyusui. 3
Sumber : Aras Hosein, 2013

1.6.1 Konsentrasi 25 (OH) D Pada Neonatus


Vitamin D diserap di usus kecil dan diangkut di saluran getah bening usus
berhubungan dengan chylomicrons. Pada hewan, tingkat penyerapan vitamin D secara
linier terkait dengan dosis vitamin D, menunjukkan bahwa penyerapan berlangsung
dengan difusi pasif sederhana setelah pelarutan oleh garam empedu. Vitamin D
mengalami sirkulasi enterohepatik.
Pada neonatus dalam waktu 24 jam setelah melahirkan, terjadi peningkatan
konsentrasi serum 1,25 (OH) ,berlanjut sampai 5 hari pertama kehidupan, konsentrasi
serum 1,25 (OH) menurun dari hari ke 5 sampai 30 hari . Pada neonatus prematur ~ 32
minggu peningkatan konsentrasi 1.25 (OH) D terjadi antara kelahiran dan 24 jam dan
berlanjut sampai hari 5. Namun, tidak seperti pada neonates cukup bulan, konsentrasi
1,25 (OH) D tetap tinggi untuk 7 hari pertama sampai 9 minggu kehidupan, dan pada
hari ke 30 konsentrasinya secara signifikan lebih tinggi daripada neonates prematur ,ini
mungkin mencerminkan kebutuhan kalsium yang relatif meningkat pada neonatus
prematur selama periode pertumbuhan pasca kelahiran., 44,45
Suplai kalsium plasenta yang terhenti secara tiba-tiba menyebabkan neonatus
harus mempertahankan homeostasis kalsiumnya sendiri, hal ini menyebabkan naiknya
konsentrasi serum 1,25 (OH) segera selama periode pascakelahiran seiring dengan
penurunan konsentrasi kalsium serum. Periode hipokalcemia relatif berlebihan dan
berkepanjangan pada neonatus prematur, mungkin menjelaskan peningkatan
berkepanjangan konsentrasi serum 1,25 (OH) D dibandingkan neonates cukup bulan.
Peningkatan 1,25 (OH) D ini dimediasi oleh PTH, karena konsentrasi serum PTH
meningkat dengan penurunan kadar kalsium serum pada masa pra dan neonates.45,46,477

1.6.2 Faktor Risiko untuk Tingkat Kadar Vitamin D Neonatus


Vitamin D Neonatus diangkut melintasi plasenta, kadar Vitamin D sepenuhnya
bergantung pada Ibu mereka. Oleh karena itu status vitamin D ibu rendah merupakan
faktor risiko rendahnya status vitamin D pada neonatus, faktor risiko lain yang ditetapkan
sebagai penyebab kekurangan vitamin D pada masa neonatus termasuk kurangnya kadar
vitamin D ibu yang menyusui tanpa suplementasi, karena susu manusia hanya
mengandung 20 IU / L vitamin D 45. Usia kehamilan yang lebih lama dan usia ibu yang
lebih muda dikaitkan dengan kadar vitamin D darah tali pusat. Penelitian di Selandia
Baru yang melibatkan 929 bayi baru lahir 46, dan penelitian di Australia yang melibatkan
901 bayi baru lahir juga menemukan hubungan antara kadar vitamin D bayi yang baru
lahir rendah dan usia ibu yang lebih muda. Usia kehamilan yang lebih lama memberikan
periode lebih lama bagi janin untuk memanfaatkan tingkat penurunan kadar vitamin D
ibunya, dan usia ibu yang lebih muda dapat menyebabkan paparan sinar matahari lebih
sedikit serat kurangnya kepatuhan dalam mengkonsumsi vitamin D selama masa
prenatal. Namun, temuan ini memerlukan penyelidikan lebih lanjut sebelum diterima
sebagai faktor risiko rendahnya kadar vitamin D pada bayi baru lahir. 47

16
1.6.3 Pengaruh Defesisensi Vitamin D Darah Pada Neonatus
1.6.3.1. Infeksi
Belderbos 2011, mengemukakan bahwa kadar vitamin D darah tali pusat rendah
dikaitkan dengan peningkatan risiko RSV (Respiratory syncytial virus) pada tahun
pertama kehidupan dan peningkatan risiko infeksi pernafasan kenaikan tingkat infeksi
bisa terjadi karena peran vitamin D dalam imunitas, penelitian menunjukkan bahwa
Kadar vitamin D darah tali pusat yang rendah akan menurun respon monosit secara in
52
vitro , Wildfire dkk 2011.kadar vitamin D darah tinggi dikaitkan dengan jumlah sel
regulator yang lebih rendah, ini menunjukkan bahwa kadar vitamin D dalam kandungan
mungkin mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh pada masa bayi.52

1.6.3.2 Asma dan atopi


Camargo, Ingham dkk 2011,menemukan bahwa konsentrasi rendah 25 (OH) D darah tali
pusat yang rendah dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi saluran pernafasan dan
mengi, tapi tidak dengan peningkatan risiko asma. Liu, Wang et al 2011 defisiensi
vitamin D darah tali pusat (<27 nmol / L) tidak terkait dengan sensitifitas makanan.
Wang et al., 2011 menyebutkan bahwa, kekurangan vitamin D meningkatkan risiko
sensitifitas makanan di antara anak-anak yang membawa SNPs (polimorfisme nukleotida
tunggal)pada gen yang terlibat dalam mengatur konsentrasi IgE dan 25 (OH) D54.
Mekanisme yang mendasari pengamatan ini mungkin berkaitan dengan peran
vitamin D sebagai Imunomodulator Rochat, Ege et al., 2010, menemukan bahwa
suplementasi vitamin D pada ibu menghasilkan induksi sel dendritik tologenik pada
darah tali pusat, yang menunjukkan bahwa kadar vitamin D di Utero dapat
mempengaruhi perkembangan penyakit atopik di kemudian hari .Zittermann
2004,menemukan bahwa kadar vitamin D darah tali pusat berkorelasi dengan interleukin-
10 (IL-10) kadar IL-10 tertinggi di musim panas karena IL-10 juga terlibat dalam
mentoleransi antigen eksogen, hal itu juga dapat mempengaruhi bayi yang meningkatkan
resiko atopik.54,55
2. Alergi
2.1. Definisi Alergi
Alergi merupakan bagian dari reaksi hipersensivitas, yaitu respon imun yang berlebihan
terhadap suatu antigen atau alergen, dikenal dengan istilah hipersensitivitas tipe
I.52Reaksi hipersensitivitas tipe I juga disebut sebagai hipersensitivitas cepat (immediate
hypersensitivity) karena reaksi yang terjadi secara cepat dalam beberapa menit setelah
paparan antigen, setelah itu diikuti respon lambat (late-phase reaction) atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang terjadi selang beberapa jam, yaitu reaksi inflamasi yang
disebabkan oleh adanya infiltrasi sel-sel inflamasi seperti neutrofil, eosinofil, dan
makrofag. Reaksi hipersensitivitas tipe I ini merupakan gabungan dari reaksi alergi fase
cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) terhadap paparan suatu alergen.54,55
Hipersensitivitas tipe I adalah reaksi hipersensitivitas yang terjadi ketika antigen
berikatan dengan antibodi immunoglobulin E (IgE) pada permukaan sel mast yang
menyebabkan sel mast mengalami degranulasi dan mengeluarkan beberapa mediator
inflamasi. Alergen yang terlibat di reaksi hipersensitivitas ini merupakan antigen spesifik
yang pada individu normal tidak menunjukan gejala klinis, namun beberapa individu
merespon substansi terseebut dengan memproduksi sejumlah besar Ig E dan
mengakibatkan terjadinya berbagai manifestasi klinis alergi.54
2.2 Manifestasi Klinis Alergi
Manifestasi klinis dari reaksi alergi dapat berupa urtikaria (hives), eksim atau dermatitis
atopik (eczema), rinitis alergi (hay fever), konjungtivitis alergi, alergi makanan dan
asma.5 Manifestasi klinis tersebut terjadi tergantung pada rute masuknya alergen ke
dalam tubuh manusia dan lokasi sel mast yang telah berikatan dengan IgE untuk suatu
alergen spesifik tertentu (sel mast yang telah tersensitisasi). Manifestasi klinis alergi
tersebut terjadi diakibatkan adanya kecenderungan genetik untuk reaksi hipersensitivitas
yang dikenal dengan istilah atopi.54
Istilah atopi sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang berhubungan
dengan IgE. Individu atopik memiliki kecenderungan bawaan untuk menghasilkan
antibodi IgE terhadap alergen spesifik dan memiliki manifestasi klinis penyakit atopik

18
seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopik. Pada individu atopik, respon terhadap
alergen terjadi secara berlebihan, selain memiliki kadar serum antibodi IgE yang tinggi,
juga tes kulit (skin prick test) positif terhadap ekstrak alergen.56
2.3 Paparan Alergen
Alergen yang menyebabkan respon hipersensivitas pada individu dengan atopi
merupakan suatu protein atau subtansi kimia yang terikat protein.5 Alergen tipikal ini
termasuk protein dalam serbuk sari (pollen),11 tungau (house dust mites), bulu binatang,
makanan, jamur (mold) dan obat-obatan seperti antibiotik penisilin. Tidak seperti infeksi
oleh kuman yang menstimulasi respon imun bawaan yang menyebabkan dominasi
produksi Th1, pada paparan oleh alergen menyebabkan tubuh merespon dengan
dominasi produksi Th 2 yang memicu reaksi hipersensitivitas.56 Paparan alergen di dalam
ruangan (indoor allergen) seperti tungau meningkatkan risiko terjadinya rinitis alergi.
Tungau merupakan alergen utama penyebab penyakit alergi, terutama rinitis alergi dan
asma.58
2..4 Faktor Risiko Alergi
a. Genetik
Risiko timbulnya gejala alergi lebih tinggi pada individu dengan riwayat keluarga
dengan penyakit atopi dibandingkan tanpa atopi.1 Gejala alergi pada anak yang
mempunyai orang tua dengan alergi akan lebih parah dibandingkan dengan anak
dengan orang tua tanpa alergi.55,56 Anak yang memiliki saudara dengan penyakit
alergi mempunyai hampir dua kali lipat risiko alergi makanan dibandingkan
dengan yang tidak memiliki riwayat keluarga alergi. Risiko alergi makanan
tertinggi pada anak dengan kedua orang tua alergi dan satu atau lebih saudara
kandung dengan alergi.56
b. Usia
Perkembangan penyakit alergi atopi yang berhubungan dengan bertambahnya
usia disebut dengan atopic march. Dermatitis alergi muncul pada 6 bulan pertama
sampai beberapa tahun awal kehidupan. Anak dengan riwayat alergi susu sapi
dengan IgE positif pada usia 7 bulan mempunyai risiko mempunyai
hiperresponsivitas bronkhial pada usia sekolah. Dermatitis alergi dengan IgE
spesifik alergen yang muncul pada usia 2-4 tahun mempunyai risiko tinggi untuk
berkembang menjadi asma dan rinitis alergi dibandingkan dermatitis alergi tanpa
perantara IgE. Prevalensi rinitis alergi terbesar pada masa anak-anak dan remaja
usia sekolah, kemudian menurun secara signifikan seiring bertambahnya usia. 55
c. Stres
Hubungan antara stres dan sistem imun melalui 2 jalur yaitu autonomic nervous
system (ANS) dan axis hyphophyseal-pituitary-adrenal (HPA). Stres
menstimulasi sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dan mengaktivasi
korteks adrenal untuk mensekresi kortisol dan katekolamin oleh medula. Kortisol
dan katekolamin menghambat produksi IL-12 oleh TH1. Kortisol juga
berpengaruh langsung terhadap sel TH2 sehingga meningkatkan produksi IL-4,
54,55,56
IL-10, dan IL-13. ANS yang terdiri dari sistem saraf simpatis dan
parasimpatis di sistem saraf pusat (SSP), memodulasi sistem imun melalui
neurotransmiter, neuropeptida, dan hormon. Stres dapat meningkatkan produksi
noradrenalin dapat menurunkan produksi sitokin IL-12. Hal tersebut
menyebabkan sistem imun menjadi dominan sel TH2 sehingga memicu terjadinya
reaksi alergi.56
d. Lingkungan
Urbanisasi yang cepat dan industrialisasi di seluruh dunia telah meningkatkan
polusi udara dan menyebabkan paparan terhadap populasi. Pada saat yang sama
prevalensi penyakit asma dan alergi meningkat di negara-negara industri.57
Paparan kronik polusi udara seperti Nitric oxides (NO dan NO2), volatile organic
compounds, ozon, sulfur dioksida (SO2) dapat menginduksi gejala pada pasien
dengan rinitis alergi.55

20
2.5 Mediator dalam Reaksi Alergi
Gejala klinis alergi ditentukan oleh berbagai macam mediator yang berasal dari berbagai
sel seperti sel mast, basofil, eosinofil dan neutrofil. Mediator-mediator tersebut antara
lain:
1. Histamin
Histamin merupakan amin vasoaktif yang berada di dalam granul sitoplasma pada
sel mast dan basofil, serta mempunyai reseptor di berbagai bagian tubuh. Efek
histamin pada gelaja alergi terutama di pembuluh darah dan otot polos. Pelepasan
histamin menyebabkan vasodilatasi, meningkatnya permeabilitas pembuluh darah
serta kontraksi otot polos yang dapat menyebabkan menifestasi klinis pada
rinitis alergi, urtikaria, bronkhospasme pada reaksi anafilaktik akut.54,56
2. Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A)
ECF-A adalah suatu tetrapeptida yang berada di dalam granul sitoplasma sel
mast. Pelepasan ECF menyebabkan migrasi eosinofil pada reaksi alergi.54
3.Prostaglandin (PGD2)
PGD2 adalah bioaktif yang berasal dari asam arakidonat yang dihasilkan melalui
aktivitas COX. Mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, vasodilatasi,
dan meningkatkan permeabilitas kapiler. 56
4. Leukotrien
Leukotrien adalah mediator yang berasal dari asam arakidonat yang dihasilkan
oleh sel mast mukosa dan basofil, dan mempunyai reseptor spesifik di otot polos
bronkhus serta menyebabkan bronkhospasme persisten yang terjadi pada asma.55
5. Platelet-activating factor (PAF)
PAF adalah suatu fosfolipid yang dihasilkan oleh sel mast yang dapat
menyebabkan bronkokonstriksi, hipotensi, permeabilitas pembuluh darah, serta
efek kemotaksis terutama terhadap eosinofil.54,55,56
6. Kemokin
Kemokin adalah bagian dari sitokin yang merangsang gerakan leukosit dan
mengatur migrasi leukosit dari darah ke jaringan, seperti RANTES dan eotaxin.56
7. Selektin dan Integrin Ligands
E-selektin dan ligan integrin (VCAM-1 dan ICAM-1) yang disintesis oleh sel
endotel dan diekspresikan ke permukaan sel endotel berfungsi untuk adhesi
leukosit yang beredar di pembuluh darah. 56
8. Sitokin Inflamasi
Sel mast dan sel TH2 memproduksi berbagai macam sitokin yang terlibat dalam
reaksi alergi. Sitokin bekerja dalam mengawali, mengatur, dan mempertahankan
respon inflamasi alergi. Sitokin tersebut antara lain:
a. IL-4, mempunyai peran utama dalam menstimulasi produksi IgE dan
perkembangan TH2 dari sel TH0, mencegah aktivasi dan antagonis IFN-γ.
Sitokin ini mengubah isotipe (isotype switching) sel B untuk memproduksi
IgE dan ekspresi MHC-II.57
b. IL-5, merupakan aktivator pematangan dan diferensasi eosinofil utama dan
diproduksi oleh sel TH2 dan sel mast yang telah diaktifkan.
c. IL-13, diproduksi oleh sel TH2 dan memiliki struktur yang homolog
dengan IL-4, isotype switching sel B untuk memproduksi IgE, 56
d. Granulocyte Monocyte-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), diproduksi
oleh sel T, berfungsi untuk menginduksi maturasi granulosit, monosit dan
aktivasi makrofag. 57
2.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian alergi pada bayi
2.6.1 Faktor genetik
Individu yang memiliki riwayat alergi atopi pada keluarga dapat meningkatkan risiko
berkembangnya sensitisasi antibodi IgE. Adanya faktor ini 14 dapat menyebabkan
berkembangnya penyakit alergi seperti asma, rinitis alergi, konjungtivitis, atau dermatitis
atopik.4,6 Anak yang lahir dari keluarga atopi dapat berisiko mengalami alergi tiga
sampai empat kali lebih tinggi (50-80%) dibanding dengan anak dari keluarga tanpa
riwayat alergi atopi (20%). Risiko dapat meningkat lebih tinggi bila kedua orang tua
mengalami alergi (60-80%). 55,56,57

22
2.6.2 Pengaruh alergen
1) Paparan alergen selama kehamilan. Penghindaran paparan antibiotik danbeberapa
jenis alergen makanan yang dianggap potensial selamakehamilan belum
memberikan hasil yang efektif dalam menurunkan
sensitisasi alergi pada bayi.56
2) Pemberian ASI. Durasi menyusui yang singkat berhubungan dengan
meningkatnya insidensi penyakit alergi pada awal kehidupan bayi. ASI memiliki
beragam manfaat kesehatan dan memiliki efek protektif terhadap timbulnya
gejala awal alergi.56
3) Penghindaran alergen selama menyusui. Makanan yang memiliki potensial
alergen (susu, telur, dan ikan) diperkirakan dapat menurunkan risiko dermatitis
atopik pada tahun pertama kehidupan.56
4) Susu formula. Susu formula terhidrolisa dapat menurunkan risiko alergi pada bayi
dibandingkan dengan susu formula dari sapi.55,56
5) Makanan bayi. Penundaan pemberian makanan padat pada bayi diperkirakan
dapat mengurangi atau menunda awitan penyakit alergi pada tahun pertama
kehidupan.56
6) Paparan tungau rumah. Pengurangan level tungau rumah selama masa kehamilan
dan postnatal dapat meningkatkan risiko sensitisasi terhadap tungau. Sensitisasi
terhadap tungau rumah merupakan faktor risiko dari asma persisten, mengi, dan
hiperaktivitas bronkus.56
2.6.3 Pengaruh polutan dan iritan
Ibu yang merokok selama kehamilan memiliki efek samping terhadap perkembangan
paru bayi. Paparan asap rokok dapat meningkatkan risiko atopi pada bayi. Paparan
polusi udara dalam ruangan maupun polusi kendaraan dapat meningkatkan sensitisasi
bayi terhadap tungau rumah dan menimbulkan gejala gangguan pernapasan.56
2.6.4 Pengaruh paparan dini infeksi dan mikroba lainnya
Bakteri merupakan imunostimulan T helper type 1 (Th1) yang kuat sedangkan virus juga
berperan sebagai pemicu gejala asma. Respiratory syncytial virus (RSV) atau jenis
infeksi virus lainnya pada bayi berhubungan dengan faktor risiko asma yang berulang
pada 6 tahun pertama kehidu
2.6.5 Pengaruh makanan imunomodulator
Komponen makanan yang memiliki efek imunomodulator seperti antioksidan dan
polyunsaturated fatty acids (PUFA) diperkirakan memiliki peranan dalam perkembangan
penyakit alergi. Peran suplementasi omega-3 (n-3) PUFA pada bayi dianggap dapat
menurunkan prevalensi mengi pada usia 18 bulan 16 dan batuk alergi pada usia 3 tahun
tetapi tidak berpengaruh terhadap mengi pada usia 3 tahun. Selain itu, komponen
makanan tersebut tidak memberikan efek pada sensitisasi makanan atau dermatitis
atopik.6berpengaruh terhadap otot polos saluran napas, serta merangsang produksi
mukus oleh sel epitel paru. 59
2.7 Dermatitis atopik pada bayi
Dermatitis atopik merupakan reaksi inflamasi pada kulit yang didasari oleh faktor
herediter dan lingkungan. Penyakit ini sering dijumpai pada bayi dan anak. Reaksi kulit
yang terjadi biasanya dimediasi oleh IgE dan mempunyai kecenderungan menderita
asma, rinitis atau keduanya (allergic march). Gejala dermatitis atopik timbul sebelum
bayi berusia 6 bulan dan jarang terjadi pada usia di bawah 8 minggu. Pada keadaan
kronis, reaksi inflamasi lebih didasari oleh limfosit dibanding antibodi IgE. 55
2.7.1 Patofisiologi
Dermatitis Atopik (DA) merupakan penyakit multifaktorial sehingga etiopatogenesis DA
belum sepenuhnya jelas, namun secara umum dipengaruhi oleh interaksi kompleks
gangguan fungsi sawar kulit, gangguan sistem imun, genetik, faktor-faktor lain termasuk
lingkungan, diet, infeksi, dan stres. infeksi oleh mikroorganisme terutama
Staphylococcus aureus pada kulit. Patogen berpotensi memperberat inflamasi yang
persisten pada kulit pasien DA dengan mengeluarkan toksin super antigen, yang
menyebabkan aktivasi sel T dan sel imun lainnya sehingga terjadi penurunan kadar
ceramides dan antimicrobial peptide (AMP) yaitu cathelicidin dan human beta
defensing.56,57

24
DA disebabkan gangguan sawar fungsi kulit dan sistem imunitas, sehingga
cenderung terjadi kolonisasi dan Interaksi antara gen kerentanan, host lingkungan,
kelainan farmakologis, dan faktor imunologi berkontribusi terhadap patogenesis
dermatitis atopik.58 Sebagian besar kemajuan yang dicapai memahami imunologi
penyakit ini terkait dengan bentuk penyakit yang dimediasi IgE atau ekstrinsik.
Dermatitis atopik memiliki dasar imunologis yangi dapat dilihat pada imunidefisiensi
gangguan sel T primer , konsentrasi serum IgE dan reaksi kulit eczematoid yang
meningkat setelah berhasil sumsum tulang transplantasi.11 Pada hewan, dermatitis atopik
tidak terjadi tanpa adanya sel T.59

Gambar 5.Jalur Imunologi pada dermatitis atopi47


Sumber : Donald, Y. M 2000

2.7.2 Respon imun sistemik


Sebagian besar pasien dengan dermatitis atopik memiliki Eosinofilia perifer dan
peningkatan konsentrasi serum IgE. Hampir 80% anak-anak dengan dermatitis atopik
mengembangkan rhinitis alergi atau asma. Orang dengan predisposisi penyakit
pernafasan disarankan untuk sensitisasi alergen itu melalui kulit. Sel mononuklear darah
perifer dari pasien dengan dermatitis atopik memiliki kapasitas yang menurun untuk
menghasilkan interferon,yang berbanding terbalik dengan konsentrasi IgE serum.
asosiasi ini bisa jadi karena kekurangan Interleukin , induser produksi interferon.54
Pada pasien dermatitis atopic, di darah perifer ditemukan peningkatan frekuensi
54,55
alergin sel T spesifik memproduksi interleukin tapi sedikit interferon. Perubahan
imunologis penting karena interleukin 4 dan 13 adalah satu-satunya sitokin yang
menginduksi transkripsi germline di ekson, sehingga mempromosikan perpindahan
isotipe ke IgE. Sitokin ini juga menginduksi ekspresi vaskular molekul adhesi seperti
VCAM-1, yang terlibat dalam infiltrasi eosinofil dan downregulate aktivitas sitokin tipe-
1. Sebaliknya, interferon menghambat sintesis IgE, proliferasi sel Th2, dan Ekspresi
reseptor interleukin 4 pada sel T. Interleukin 5 memainkan peran penting dalam
pengembangan, aktivasi, Dan kelangsungan hidup eosinofil. Mikromilieu sitokin di
Pengembangan sel-T terjadi, farmakologis Faktor, sinyal costimulatory yang digunakan
selama sel T Aktivasi, dan antigen-presenting cell menentukan Hasil respon sel-T.56,58
Dermatitis pada infan secara klinis berupa dermatitis akut eksudatif yang
bertahan sampai 2 tahun dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah
ekstensor dari ekstrimitas. Pada bayi masih muda, predileksi pada muka lebih sering
dibanding daerah ekstensor. Lesi yang menonjol adalah vesikula, papula, krusta akibat
garukan, dan terkadang infeksi sekunder (infeksi bakteri atau jamur). Gejala yang
mencolok berupa rasa gatal yang menyebabkan bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang
terganggu. 55

Gambar 6. Gambaran dermatitis atopi 4


Sumber : Holick, 2013

26
Tabel 2. Gambaran kliniks dermatitis atopi46

Sumber : S. Nutten,2015

3. Vitamin D dan mekanisme imunologi


Vitamin D memainkan peran kunci dalam respon kekebalan yang dihasilkan oleh sel
limfosit dan antigen. Perannya di pengaturan sel-sel sistem kekebalan tubuh telah
dikenali dengan ditemukannya reseptor vitamin D (VDR) pada jenis sel yang berbeda.
Secara khusus, VDR telah diidentifikasi pada hampir semua sel dari sistem kekebalan
tubuh termasuk Sel T, sel B, neutrofil, makrofag, dan sel dendritik (DC) 59
Vitamin D berperan penting dalam patogenesis DA melalui peningkatan integritas
permeabilitas sawar kulit, ekspresi AMP yang menghambat infeksi, dan menekan
respons inflamasi. Pasien DA mengalami gangguan pada sawar kulit dan memiliki
sedikit cathelicidin, sehingga lebih rentan terhadap infeksi.3 Status vitamin D diukur
dengan menilai kadar serum 25-hydroxyvitamin D (25[OH]D) yang merupakan vitamin
D pro-hormon. Kadar serum 25-hydroxyvitamin D (25[OH]D) berguna untuk mengukur
tingkat vitamin D secara klinis, bersifat stabil, memiliki paruh waktu 3 minggu di dalam
serum manusia, dan paling akurat mewakili jumlah vitamin D di dalam tubuh.61,62
Penjelasan lanjutan tentang mekanisme peran vitamin D melalui VDR membantu
memperjelas hubungan antara vitamin D dan fungsi kekebalan tubuh. Data terbaru
menunjukkan bahwa vitamin D mempengaruhi keduanya mekanisme imun bawaan dan
adaptif (Gambar 6). Mekanisme ini dimulai dengan pengikatan 1,25 (OH) 2D ke VDR,
reseptor hormon nuklir, yang mengarah ke VDR dimerisasi dengan reseptor X retinoid
(RXR) (Gambar 7). Kompleks 1,25 (OH) 2D-RXR-VDR kemudian mengikat elemen
respon vitamin D (VDRE) pada DNA. Selanjutnya, VDR menunjukkan ekspresi yang
meningkat pada usia dewasa monosit dan berkontribusi terhadap peningkatan produksi
oksida nitrat oleh makrofag dalam setting infeksi Vitamin D juga berdampak pada sistem
imun bawaan dengan menstimulasi produksi cathelicidin, yang merupakan peptida anti-
mikroba yang diaktifkan melalui receptor tol (TLRs), khususnya TLR2 dan TLR4
Berkenaan dengan kekebalan adaptif, kompleks VDR-RXR mengikat gen target Untuk
memoderasi ekspresi gen di DC, makrofag 59.
Vitamin D mungkin juga memiliki efek anti inflammatory seperti yang diamati
oleh 1,25 (OH) 2D mediasi pengurangan pematangan DC 56. Selanjutnya, 1,25 (OH) 2D
menghambat migrasi DC dan IL-12 dan IL-23 produksi sitokin melalui penghambatan
respon imun adaptifnya, vitamin D dapat menekan produksi IL-12, sehingga
mengurangip produksi T helper tipe 1 (Th1) sel dan berpotensi menyebabkan
peningkatan proliferasi t helper alergi Tipe 2 (Th2) sel 57. Setelah stimulasi oleh vitamin
D, Sel CD4 + juga telah terbukti menyebabkan respons Th2 dan meningkatkan produksi
IL-4, IL-5, dan IL-10 (28). Penelitian lain menunjukkan bahwa vitamin D berkontribusi
terhadap konversi sel CD4 + ke regulasi T Sel, yang telah terbukti berperan dalam
penekanan mekanisme pro-alergi 59.

28
Gambar 7 : Efek Imunomodulator 1,25(OH)2D350
Sumber : Matteau, 2011

Hipotesis pertama menunjukkan bahwa vitamin D kadar tinggi bertanggung jawab atas
kenaikan prevalensi alergi dan asma. Teori ini awalnya didasarkan pada peningkatan
alergi diamati bersamaan dengan peningkatan dalam suplemen vitamin D untuk wanita
60
hamil dan Bayi baru lahir untuk mencegah rickets infantil . Sebuah kompetisi
hipotesis yang berkembang beberapa tahun kemudian mendalilkan itu tingkat vitamin D
yang rendah dapat menyebabkan peningkatan alergi prevalensi 5. Teori ini didukung oleh
pengamatan hubungan antara kekurangan vitamin D / insufisiensi dan peningkatan
prevalensi penyakit alergi, seperti asma karena pengamatan yang saling bertentangan
mengenai vitamin D tampak pada alergi, studi in vitro manusia dan in vivo telah
dilakukan untuk menilai apakah vitamin D secara langsung mempengaruhi tingkat serum
imunoglobulin E (IgE).63
Dalam sebuah penelitian,Sel B yang sebelumnya distimulasi menunjukkan
penurunan produksi yang nyata IgE mengikuti pemberian vitamin D59 Dalam studi
kedua, agonis calcitriol dan VDR menyebabkan produksi IgE tertekan oleh sel B
manusia yang dikultur. Selanjutnya, calcitriol dan agens VDR juga mengurangi produksi
Ig E pada alergi tikus alergi 56.

Tabel 3 . Efek Vitamin D pada fungsi Imun59


Jenis Sel Status keberadaan Mekanisme kerja
vitamin D

Neutrophil Ada  ekspresi CD14


ekspresi IL1
ekspresi cathelicidin
Defisiensi vitamin D menurunkan motilitas
produksi leukotriene B4

Monosit Ada  ekspresi CD14


 produksi superoxide

Sel Natural Ada Jumlah sel NK


killer aktivitas sitolitik
 aktivitas sitotoksik CD16 + sel NK

Sel Th1 ada  aktivasi dan diferensiasi sel Th1


Sel Th2 ada Menginduksi differensiasi melalui IL4
Menghambat proliferasi sel B dan sel T
Sumber : Palmer,2015

30
Gambar 8\. Vitamin D dan ekspresi Gen 24
Sumber : Benson et,al 2011

3.1 Mekanisme Imunologis yang Dibutuhkan untuk Vitamin D


Mempengaruhi Perkembangan Alergi
Metabolit vitamin D, [25 (OH) D₃] dan [1, 25 (OH) ₂D₃], Dan agonis reseptor memiliki
imunomodulator dan aktivitas imunoregulasi. Efek imunologis dari Agonis VDR
ditunjukkan dalam penelitian in vitro dan mereka mampu melakukannya fungsi melalui
VDR, yarng tesebar luas di tubuh manusia:56
I. Imunitas bawaan
a. Mengatur reseptor seperti Tol (TLR)

b. Up-mengatur protein antimikroba, pertahankan Integritas hambatan epitel


dan mukosa

c. Mengurangi pematangan sel dendritik dan migrasi

d. Menginduksi sel dendritik tologenik

II. Fungsi sel Th1 / Th2


Vitamin D terkenal untuk menghambat pelepasan sitokin Th1. Peran vitamin
D pada respon Th2 dan sel T regulator (Tregs) adalah Kurang
dipahami.57,58,59

a. Menekan sintesis IgE spesifik alergen in vitro dan in Lingkungan vivo

b. Merangsang sekresi sitokin Th2 oleh darah perifer Sel mononuklear.

c. Menekan Th2 tanggapan oleh darah tali pusat manusia Sel mononuklear.

d. Menghambat sitokin Th1 / Th2 oleh sel T naif (kabel) Telah


meningkatkan fenotipe Treg.

e. Promosikan induksi Treg yang bisa meredam Th2 Polarisasi.

f. Meningkatkan toleransi imunitas adaptif dengan pengaturan tinggi IL-10,


IL-19, dan TGF-β (meningkatkan Treg Perkembangan sel CD4 +CD25 +
-FoxP3 +]).

g. Kurangi sekresi IL-17 dan IFN-ions, sambil menginduksi IL-4 Dan IL-10
sitokin.

III. Limfosit

a.Turunkan aktivasi T -cell serta CD40 danEkspresi CD80 / 86 pada sel B

b. Turunkan proliferasi T-rell56

c. Meningkatkan produksi IL-2, respon steroid dan Efek imunosupresif .

IV. Sel mast: Menghambat pematangan dan meningkatkan apoptosis.

V. Eosinofil: Turunkan perekrutan.

VI. Epitel jalan nafas dan otot polos

a. Menghambat proliferasi otot polos.

b. Turunkan RANTES (CCL5) dan produksi matriks metaloproteinase

32
3.2 Efek vitamin D pada dermatitis atopik dan urtikaria

Penyakit atopik lainnya, terdapat data yang saling bertentangan seputar efek vitamin D
terhadap perkembangannya penyakit kulit alergi, sebagian besar penelitian untuk menilai
dampak vitamin D pada penyakit kulit alergi fokus pada dermatitis atopik (AD).58 Studi
pertama yang diselidiki kemungkinan hubungan antara vitamin D dan AD merupakan
penelitian prospektif yang dilakukan untuk menilai risiko mengi berulang pada anak-
anak berdasarkan asupan vitamin ibu D, ditemukan adanya penurunan risiko mengi yang
berulang pada anak-anak dari ibu dengan asupan vitamin D yang lebih tinggi selama
kehamilan, tidak ada penurunan risiko AD di individu yang sama ini.56,57
Studi lainnya secara prospektif menunjukkan bahwa tingkat serum ibu meningkat
25 (OH) D memengaruhi bayi sampai AD pada usia 9 bulan. Sepanjang garis ini, Back et
al. mengamati bahwa meningkat asupan vitamin D pada masa bayi berkorelasi dengan
tinggi risiko AD pada usia 6 tahun. Studi ini secara kolektif mendukung teori bahwa
peningkatan vitamin D mungkin terkait dengan alergi penyakit, termasuk AD. Namun,
ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D berkontribusi
pada perkembangan AD. Oren dkk membandingkan pasien dengan kekurangan vitamin
D dengan Vitamin D cukup, dan menilai prevalensi gangguan atopik. Pada pasien ini,
ada peningkatan risiko dari AD di antara mereka yang kurang vitamin D, walaupun tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam risiko asma atau rhinitis alergi dibandingkan
dengan AD, ada penelitian yang secara signifikan lebih sedikit yang telah mengevaluasi
potensi hubungan antara vitamin D dan Urtikaria pada satu penelitian menunjukkan
bahwa kadar vitamin D secara signifikan berkurang pada subyek dengan urtikaria kronis
dibandingkan Untuk kontrol. 60
Goetz dkk melakukan review grafiks selidiki kemungkinan manfaat terapeutik
vitamin D untuk gejala gatal idiopatik, ruam, dan urtikaria. Baseline kadar 25 (OH) D
secara signifikan lebih rendah pada pasien yang kemudian responsif terhadap vitamin D
dibandingkan dengan pasien yang tidak responsif terhadap vitamin D 58,57,60
3.3 Efek vitamin D pada tingkat keparahan dermatitis atopik
Ada beberapa penelitian yang terkait suplemen vitamin D dengan baik penurunan risiko
atau perbaikan klinis dari AD. Sidbury dkk. mengevaluasi efek suplementasi vitamin D
pada perbaikan AD, dan secara acak diberi vitamin D atau plasebo sampai sebelas anak-
anak dengan AD Meskipun ada efek menguntungkan di kelompok perlakuan, tidak ada
hasil yang signifikan secara statistik perubahan rata-rata tingkat keparahan klinis AD
pada kelompok itu. 59.
Bukti yang menunjukkan bahwa vitamin D memainkan peran penting dalam
sistem kekebalan tubuh, dan secara khusus pada penyakit alergi, sejauh mana dampaknya
belum sepenuhnya dijelaskan meski banyak penelitian telah berusaha untuk menentukan
efek yang dimiliki vitamin D terhadap penyakit alergi, dan khususnya penyakit kulit
alergi, belum ada skala besar penelitian prospektif, penelitian yang lebih besar yang
difokuskan untuk menilai hubungan antara vitamin D dan penyakit kulit alergi, efek
asupan vitamin D ibu selama kehamilan dan AD pada anak-anak. 59
Penelitian mencoba mengevaluasi pengobatan efek vitamin D pada penyakit kulit
alergi telah diukur, ukuran sampel yang kecil menjadi keterbatasan dari kebanyakan
penelitian, terutama protokol case-control dan cross-sectional, sehingga tidak
memastikan hubungan kausal antara kekurangan vitamin D dan AD. Dalam setiap
penelitian, sulit untuk dilakukan penentuan apakah kadar serum vitamin D rendah
berkontribusi perkembangan AD, apakah kerusakan kulit dari AD menyebabkan
penyerapan vitamin D rendah dari sinar matahari, atau jika keduanya tidak berhubungan
Salah satu alasan potensial untuk koneksi yang tidak konsisten Antara vitamin D dan
penyakit kulit alergi apakah ada Mungkin merupakan asosiasi bimodal dan / atau
gender.58,61
Hyponnen Et al. menunjukkan signifikan secara statistik non linier hubungan
antara serum 25 (OH) D dan serum IgE. Di Penelitian ini, pasien dengan kadar serum
53
rendah dan tinggi 25 (OH) D menunjukkan peningkatan kadar IgE serum . Mengenai
perbedaan spesifik gender pada hipersensitivitas kontak pada tikus berkaitan dengan
status vitamin D, dipertanyakan apakah temuan ini juga akan muncul dengan baik

34
Manusia. Seperti yang terlihat dari banyaknya penelitian sulit untuk benar-benar menilai
peran vitamin D berperan dalam pengembangan penyakit atopik. Untuk Lebih jauh
menggambarkan kemungkinan korelasi antara vitamin D dan alergi, penelitian besar dan
prospektif perlu dilakukan untuk dilakukan. Uji coba terkontrol acak pengobatan dengan
vitamin D dalam konteks penyakit alergi mungkin juga membantu dalam menentukan
hubungan definitif.58,62
Peroni dkk. Menunjukkan hubungan terbalik antara tingkat vitamin D dan tingkat
keparahan AD.53 Meski tidak ada studi klinis untuk mengevaluasi potensih hubungan
antara vitamin D dan dermatitis kontak di manusia, ada satu penelitian yang menilai
52
potensi ini Malley dkk. membandingkan respon hipersensitivitas kontak tikus dengan
kadar vitamin D dan tikus normal dengan kadar vitamin D yang kurang. Di dalam
kelompok tikus dengan kadar vitamin D normal, tikus betina memperlihatkan respon
yang lebih tinggi dibandingkan dengan jantan. Namun, vitamin D jantan yang kurang
menunjukkan kontak yang meningkat secara signifikan respon hipersensitivitas
dibandingkan dengan jantan dengan tingkat vitamin D yang normal. Menariknya, tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam kontak respon hipersensitivitas untuk tikus betina
antara kekurangan vitamin D dan kelompok yang cukup 52.
BAB III
RINGKASAN

Vitamin D akhir-akhir ini mendapatkan perhatian karena efeknya yang besar pada
berbagai macam penyakit Efek ini disebabkan karena reseptor vitamin D (VDR)
ditemukan di berbagai jaringan seperti hati,Pankreas, otak dan prostat. Mereka juga
ditemukan di permukaan Sel imun termasuk limfosit dan makrofag. Efek potensial
ekstra-osseous juga pernah dilaporkan. Di sisi lain, sintesis vitamin D dimulai dengan
efek sinar matahari pada jaringan kulit, dan aktif sintesis vitamin D terjadi dengan 25-
hidroksilasi di hati pertama dan akhirnya 1-hidroksilasi di ginjal
Vitamin D memainkan peran kunci dalam imunitas bawaan dan adaptif melalui
stimulasi dari reseptor seperti yang ditemukan pada penelitian dengan menggunakan
tikus, meningkatkan produksi sitokin pro-inflamasi, dan mungkin meningkatkan respon
T helper type 2. Mekanisme ini bisa menjelaskan semakin banyak bukti yang
menghubungkan vitamin D dengan penyakit alergi, termasuk Asma, alergi makanan, dan
rhinitis alergi. Vitamin D memainkan peran kunci dalam respon kekebalan yang
dihasilkan oleh sel limfosit dan antigen. Perannya di pengaturan sel-sel sistem kekebalan
tubuh telah dikenali dengan ditemukannya reseptor vitamin D (VDR) pada jenis sel yang
berbeda. Secara khusus, VDR telah diidentifikasi pada hampir semua sel dari sistem
kekebalan tubuh termasuk Sel T, sel B, neutrofil, makrofag, dan sel dendritik
(DC),walaupun beberapa penelitian pada tikus telah berhasil memperlihatkan hubungan
vitamin D dengan AD pada tikus namun hubungan ini masih dipertayakan apakah
berlaku sama terhadap manusia.
Data yang berkaitan dengan vitamin D dengan alergi penyakit kulit tidak jelas
dengan penelitian yang menghubungkan kadar vitamin D tinggi dan rendah peningkatan
risiko pengembangan dermatitis atopik. Sehingga masih perlunya penelitian lebih lanjut
dengan skala subyek penelitian yang lebih besar untuk melihat hubungan ini.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Lappe, Joan, Faan,RN. The Role of Vitamin D in Human Health: A Paradigm


Shift, October 13, 2010.:1-15
2. Braegger, Christian. Campoy, Cristina. Colomb, Virginie. Decsi, Tamas
et.al.,Vitamin D in the Healthy European Paediatric Population.the ESPGHAN
Committee on Nutrition, JPGN, June 2013, Volume 56, Number 6,692-701
3. Hossein-nezhad, Arash. Holic, Michael F Vitamin D for Health: A Global
Perspective. Mayo Clin Proc. n July 2013;88(7):720-755
4. Holick, Michael F. Chen, Tai C. Lu, Zhiren. Saute, Edward.Vitamin D and Skin
Physiology: A D-Lightful Story. Journal of Bone and Mineral Research. 2007,
Supplement 2, Volume 22: 28-33
5. Horst, Ronald L . Reinhardt, Timothy A. Vitamin D Metabolism Book
·https://www.researchgate.net/publication/235939229, January 199713-31
6. Jones, Anderson P Tulic, Meri K. Rueter, Kristina. Prescott, Susan L. Review.
Vitamin D and Allergic Disease: Sunlight at the End of the Tunnel? Nutrients.
2012, 4, 13-28
7. Christakos, Sylvia. Dhawan, Puneet. Verstuyf, Annemieke. Carmeliet, Geert.
Vitamin D: Metabolism, Molecular Mecahanism Of Action, and Pleitropic.The
American Physiological Society. December 16, 2015
8. Thurnham, David. Plasma 25-Hydroxy-Cholecalciferol (Vitamin D) is
Depressed by Inflammation: Implications and Parallels with Other Micronutrients
Sight And Lifes. 2011, Vol. 25 (2),38-50
9. Palmer, Debra J. Review Vitamin D and the Development of Atopic Eczema
Journal of Clinical Medicine. Nutrients 2015, 7, 8127-8151OPEN ACCESS
10. Barragan, Myriam. Good, Misty. Kolls, Jay K. Review Regulation of Dendritic
Cell Function by Vitamin D. Nutrients. 2014:52-57
11. Albenali, Lujain.The effect Of vitamin D Supplementation on Atopic Dermatitis
Academic Unit of Dermatological Researche Departement Of Infection and
immunity University of Sheffield Medical School2-143
12. Palmer, Debra J. Review Vitamin D and the Development of Atopic Eczema.
Journal of Clinical Medicine. 2015, 4, 1036-1050
13. Zhang R, Naughton DP. Vitamin D in health and disease: current perspectives.
Nutr J 2010;9:65.
14. Camargo CA Jr, Ingham T, Wickens K, Thadhani R, Silvers KM et al. Cord-
blood 25-hydroxyvitamin D levels and risk of respiratory infection, wheezing,
and asthma. Pediatrics 2011;127:e180–e187.
15. Yepes-Nuñez, Juan José. Fiocchi, Alessandro. Pawankar, Ruby.et.al. Prevention
(GLAD-P): Vitamin D. World Allergy Organization-McMaster University
Guidelines for Allergic Disease. 2016, 9:17
16. Baeke F, Takiishi T, Korf H, Gysemans C, Mathieu C. Vitamin D: modulator of
the immune system. Curr Opin Pharmacol 2010;10:482–496.
17. Prescott, Susan L. 3rd International Immunonutrition Workshop Session 5: Early
programming of the immune system and the role of nutrition Allergic disease:
understanding how in utero events set the scene the Nutrition Society (2010), 69
366–372
18. Salle, B. L. Glorieux, F.H. Delvin, E.E.David, S. Meunier, G. Vitamin D
Metabolism In Preterm Infants. Serial Serum Calcitriol Values during the First
Four Days of Life . 1983. 72: 203-206
19. El Koumi, Mohamed A. Ali, Yasser F. Abd El Rahman, Rehab N. Impact of
maternal vitamin D status during pregnancy on neonatal vitamin D status. The
Turkish Journal of Pediatrics 2013; 55: 371-377
20. Jones, Anderson P. Palmer, Debra Zhang, Guicheng. Prescott, Susan L. Cord
Blood 25-Hydroxyvitamin D3 and Allergic. the American Academy of Pediatrics.
2013; 56-72
21. Czech-kowalska, Justyna. Dobrzanska, Anna. Gruszfeld, Dariusz. Zochowska,
Anna. Molinowska, Elzbieta. Golkowska, Malgorzata. Karczmarewicz, elzbieta.
High prevalence of neonatal vitamin D deficiency – rationale for reevaluation of
vitamin D supplementation during pregnancy. Perinatal Medicine. 2008. 14(4),
18-22
22. Lyman,Thorne. Andrew. Fawzi,Wafaie W. 2012. “Vitamin D During Pregnancy
and Maternal, Neonatal and Infant Health Outcomes: A Systematic Review and
Meta-Analysis.” Paediatric and Perinatal Epidemiology 26
http://nrs.harvard.edu/urn 3:HUL.InstRepos:dash.current.terms-ofuse#
LAA.2012. June 28: 75–90
23. Liang. Yunsheng. Chang, Christopher. Lu, Qianjin The Genetics and Epigenetics
of Atopic Dermatitis—Filaggrin and Other Polymorphisms Clinic Rev Allerg
Immunol, Springer Science+Business Media New York 2015,1-14
24. Benson, A. A. Toh. J. A. Vernon, N. Jariwala, S. P. The role of vitamin D in the
immunopathogenesis of allergic skin diseases the immunopathogenesis of allergic
skin diseases. Allergy 2012; 67: 296–301.
25. Hewison M. Vitamin D and innate and adaptive immunity. Vitam Horm 2011;86:
23–62.
26. Özdemir, Öner.Vitamin D and Allergy. Immunology, Volume 3.2016;1-4
27. Nutten. S. Basel, Karger AG . Atopic Dermatitis: Global Epidemiology and Risk
Factors .Nutr Metab 2015,66; 8–16
28. Leung, Donald YM.New Insights into Atopic dermatitis: Role of Skin Barrier and
Immune Dysregulation.Allergology International. 2013;62:151-61
29. Leung, Donald Y M . Bieber, Thomas. Atopic dermatitis. Lancet. January 11,
2003. Vol 361, 151–60
30. Baeke F, Gysemans C, Korf H, Mathieu C. Vitamin D insufficiency:
implications for the immune system. Pediatr Nephrol 2010;25:1597–1606.
31. Bikle DD. Vitamin D regulation of immune function. Vitam Horm 2011;86:1–21.
32. Hewison M. Vitamin D and innate and adaptive immunity. Vitam Horm
2011;86:23–62.

38
33. Sehra, Sarita. Barbé Tuana, Florencia M. Holbreich, Mark. Mousdicas, Nico.
Kaplan, Mark H. Travers, Jeffrey B.,Clinical correlations of recent developments
in the pathogenesis of atopic dermatitis Dermatite atópica: implicações clínicas
de avanços recentes na patogênese. 2008;83(1):57-73.
34. Wawro et al. Serum 25(OH)D concentrations and atopic diseases at age 10:
results from the GINI plus and LISA plus birth cohort studies. BMC Pediatrics
2014, 14:28
35. Weiland, S.K.; Husing, A.; Strachan, D.P.; Rzehak, P.; Pearce, N.; ISAAC Phase
One Study Group. Climate and the prevalence of symptoms of asthma, allergic
rhinitis, and atopic eczema in children.Occup. Environ. Med. 2004, 61, 609–615.
36. Vasiliou, J. E. Walker, S. A. Xystrakis, E. Bush, A. Hawrylowicz, C. M. Saglani,
S. Lloyd , C. M. Vitamin D deficiency induces Th2 skewing and eosinophilia in
neonatal allergic airways disease. Allergy 2014; 69: 1380–1389.
37. Park CO, Noh S, Jin S, et al. Insight into newly discovered innate immune
modulation in atopic dermatitis. Exp Dermatol 22:6 –9, 2013.
38. . Ooi JH, Chen J, and Cantorna MT. Vitamin D regulation of immune function in
the gut: Why do T cells have vitamin D receptors? Mol Aspects Med 33:77– 82,
2012.
39. Cantorna MT, Zhao J, Yang L. Vitamin D, invariant natural killer T-cells and
experimental autoimmune disease. Proc Nutr Soc 71:62– 66, 2012.
40. Carvalho Mesquita1 Kleyton de. de Souza Machado Igreja, Ana Carolina.
Carvalho Costa, Izelda Maria ,Atopic dermatitis and vitamin D: facts and
controversies* Dermatite atópica e vitamina D: fatos e controvérsias Bras
Dermatol. 2013;88(6):945-53.
41. Nutten. Role of vitamin D3 in atopic dermatitis and immunity: Some Comments,
May–June 2015, Vol. 36, No. 3
42. Hoyos-Bachiloglu, R.; Morales, P.S.; Cerda, J.; Talesnik, E.; Gonzalez, G.;
Camargo, C.A., Jr.; Borzutzky, A. Higher latitude and lower solar radiation
influence on anaphylaxis in Chilean children. Pediatr. Allergy Immunol. 2014,
25, 338–343.
43. Wang, S.S.; Hon, K.L.; Kong, A.P.; Pong, H.N.; Wong, G.W.; Leung, T.F.
Vitamin D deficiency is associated with diagnosis and severity of childhood
atopic dermatitis. Pediatr. Allergy Immunol. 2014, 25, 30–35.
44. Baek, J.H.; Shin, Y.H.; Chung, I.H.; Kim, H.J.; Yoo, E.G.; Yoon, J.W.; Jee,
H.M.; Chang, Y.E.; Han, M.Y. The link between serum vitamin D level,
sensitization to food allergens, and the severity of atopic dermatitis in infancy. J.
Pediatr. 2014, 165, 849–854.
45. Peroni, D.G.; Piacentini, G.L.; Cametti, E.; Chinellato, I.; Boner, A.L. Correlation
between serum 25-hydroxyvitamin D levels and severity of atopic dermatitis in
children. Br. J. Dermatol. 2011, 164, 1078–1082.
46. Nutten, Sophie . Atopic Dermatitis: Global Epidemiology and Risk Factors
Atopic Dermatitis. Nutrition and Health Department, Nestlé Research Center,
Lausanne , Switzerland 2015;66(suppl 1):8–16
47. Leung, Donald YM. Review Article New Insights into Atopic Dermatitis: Role of
Skin Barrier and Immune Dysregulation Allergology International. 2013;62:151-
161
48. Lee WJ, Cha HW, Sohn MY, et al. Vitamin D increases expression of
cathelicidin in cultured sebocytes. Arch Dermatol Res 304:627– 632, 2012.
49. Slominski AT, Kim TK, Takeda Y, et al. ROR_ and ROR _ are expressed in
human skin and serve as receptors for endogenously produced noncalcemic 20-
hydroxy- and 20,23-dihydroxyvitamin D. FASEB J 28:2775–2789, 2014.
50. Matteu. Samochocki et al .Vitamin D effects in atopic dermatitis. Dermatol
2013;69:238-44 Peroni DG, Piacentini GL, Cametti E, Chinellato I, Boner AL.
Correlation between serum 25-hydroxyvitamin D levels and severity of atopic
dermatitis in children. Br J Dermatol 2011;164:1078–1082.
51. Hypponen E, Berry DJ, Wjst M, Power C. Serum 25-hydroxyvitamin D and IgE –
a significant but nonlinear relationship. Allergy 2009;64:613–620.
52. Oren E, Banerji A, Camargo CA Jr. Vitamin D and atopic disorders in an obese
population screened for vitamin D deficiency. J Allergy Clin Immunol 2008;
121:533–534.
53. Nagpal S, Na S, Rathnachalam R. Noncalcemic actions of vitamin D receptor
ligands. Endocr Rev 2005;26:662–687.
Bikle DD. Vitamin D and immune function: understanding common pathways.
Curr Osteopor Rep 2009;7:58–63.
54. Adorini L. Tolerogenic dendritic cells induced by vitamin D receptor ligands
enhance regulatory T cells inhibiting autoimmune diabetes. Ann NY Acad Sci
2003;987:258–261.
55. Wintergerst ES, Maggini S, Hornig DH. Contribution of selected vitamins and
trace elements to immune function. Ann Nutr Metab 2007;51:301–323.
56. Vassallo MF, Camargo CA Jr. Potential mechanisms for the hypothesized link
between sunshine, vitamin D, and food allergy in children. J Allergy Clin
Immunol. 010;126:217–222
57. Widyaswari, Meidyta Sinantryana, Zulkarnain, Iskandar. Indramaya, Diah Mira.
,Kadar Serum Vitamin D (25[OH]D) pada Pasien Dermatitis Atopik (Serum
Level of Vitamin D (25[OH]D) in Patient with Atopic Dermatitis) Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of Dermatology and Venereology.
2016, Agustus Vol. 28, No. 2; 1-5
58. Carvalho Mesquita, Kleyton de. Souza Machado Igreja, Ana Carolina de.
Carvalho Costa, Izelda Maria Atopic dermatitis and vitamin D: facts and
controversies Dermatite atópica e vitamina D: fatos e controvérsias Dermatol.
2013;88(6):945-53.
59. Silverberg, J.I.; Hanifin, J.; Simpson, E.L. Climatic factors are associated with
childhood eczema prevalence in the United States. J. Investig. Dermatol. 2013,
133, 1752–9.
60. Byremo, G.; Rod, G.; Carlsen, K.H. Effect of climatic change in children with
atopic eczema. Allergy 2006, 61, 1403–10

40
61. Akan, A.; Azkur, D.; Ginis, T.; Toyran, M.; Kaya, A.; Vezir, E.; Ozcan, C.;
Ginis, Z.; Kocabas, C.N. Vitamin D level in children is correlated with severity of
atopic dermatitis but only in patients with allergic sensitizations. Pediatr.
Dermatol. 2013, 30, 359–63.

Anda mungkin juga menyukai