Kompleks percandian Muaro Jambi pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh
seorang letnan Inggris bernama S.C. Crooke yang melakukan pemetaan daerah
aliransungai untuk kepentingan militer. Baru tahun 1975, pemerintah Indonesia mulai
melakukan pemugaran yang serius yang dipimpin R. Soekmono. Berdasarkan
aksara JawaKuno[butuh rujukan] pada beberapa lempeng yang
ditemukan, pakar epigrafi Boechari menyimpulkan peninggalan itu berkisar dari abad
ke-9-12 Masehi. Di situs ini baru sembilan bangunan yang telah dipugar,[1] dan
kesemuanya adalah bercorak Buddhisme. Kesembilan candi tersebut adalah Candi
Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu,Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago
Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano.
Dari sekian banyaknya penemuan yang ada, Junus Satrio Atmodjo menyimpulkan
daerah itu dulu banyak dihuni dan menjadi tempat bertemu berbagai budaya. Ada
manik-manik yang berasal dari Persia, China, dan India.
Agama Buddha Mahayana Tantrayana diduga menjadi agama mayoritas dengan
diketemukannya lempeng-lempeng bertuliskan "wajra" pada beberapa candi yang
membentuk mandala.