1|
4. Mardjono, M.Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. 2006
Hasil Pembelajaran:
1. Sindrom ekstrapiramidal dan terapi
2. Mekanisme dan efek samping dari metochlorperamide
3. Sindrom dyspepsia
Riwayat Penyakit Dahulu : hal serupa, alergi obat, asma, gangguan dalam sosial maupun
pendidikan disangkal
OBJEKTIF
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : CM, GCS 15
Tanda Vital
N = 100x/menit, teraba kuat
RR = 16x/menit
S = 36,40C
SpO2 = 99%
2|
BB = 27 Kg
Kepala :
Mata : conj. anemis -/-, SI -/-, RC +/+, pupil isokor, mata cekung -/-
Telinga : Lapang, otore -/-, sekret -/-, refleks cahaya +/+
Hidung : rinore -/-
Mulut : Bibir sianosis -, bibir kering –
Kaku kuduk -
Thorax :
Inspeksi : pergerakan simetris, retraksi intercostal -/-
Auskultasi : Pulmo : VBS ka=ki, Rh -/-, Wh -/-
Cor : BJ 1-2 reguler, murmur -, gallop -
Perkusi : sonor/sonor
Palpasi : krepitasi subkutan dan tulang -, nyeri tekan –, taktil fremittus ka=ki
Abdomen :
Inspeksi : datar
Auskultasi : BU + normal
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan + epigastrium, supel
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2
ASSESMENT
Sindrom ekstrapiramidal akut ec metolon
Sindrom dispepsia
PLAN
Penunjang:
Lab : DR, DDR
Penanganan:
Pro opname
IVFD RL xv/mnt makro
Stesolid supp 10mg UGD pk 13.00 os tertidur
Ranitidin amp 2 x 1/2 amp (IV)
3|
Ondancentron 2 x 4mg (IV)
Paracetamol syr 3 x 3/4 C k/p (PO)
Metolon, Novagesic stop, Lambucid stop
Konsul dr. spA
FOLLOW UP
Hasil laboratorium
12-04-1-2016 pk: 13.59
Parameter Nilai Satuan Nilai Normal
WBC 8.37 10^3/uL M : 4.8 – 10.8 F : 4.8 – 10.8
RBC 4.23 10^6/uL M : 4.7 – 6.1 F : 4.2 – 5.4
HGB 12.1 g/dL M : 12 – 16 F : 10 - 14
HCT 36.3 % M : 42 – 52 F : 37 -47
MCV 85.8 fL 80.0 – 90.0
MCH 28.6 Pg 27.0 – 32.0
MCHC 33.3 g/dL 33.0 – 38.0
PLT 373 10^3/uL 150 – 450
RDW-CV 12.7 % 11.5 – 14.5
RDW-SD 39.1 fL 35 -47
PDW 12.2 fL 9.0 – 13.0
MPV 10.6 fL 7.2 – 11.1
P-LCR 29.0 % 15.0 - 25.0
Malaria Tidak ditemukan - Tidak ditemukan
Tanggal Follow Up
12/4/16 S: Keluhan gangguan perilaku hilang, nyeri perut + berkurang, mual +, muntah -,
20.15 demam naik turun
O: N: 112x/menit S: 360C
Abdomen: datar, BU + normal, Nyeri tekan epigastrium +
A: Sindrome ekstrapiramidal ec metolon + Sindrom dispepsia dengan perbaikan
P: Ranitidine stop
Lambucid syr 3 x 1 cth
13/4/16 S: Demam -, mual -, muntah -
08.30 O: N: 80x/menit S: 360C
Abdomen: datar, BU + normal, Nyeri tekan epigastrium + berkurang
A: Sindrome ekstrapiramidal ec metolon + Sindrom dispepsia dengan perbaikan
P: IVD RL stop
Boleh pulang
4|
Lambucid 3 x 1 cth
Vometta syr 3 x ½ cth
Lycalvit syr 1 x1 cth
PEMBAHASAN
A. Definisi Ekstrapiramidal
Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak bagian sistem
motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari ekstrapiramidal di
formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di target saraf di medulla spinalis yang
mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh.
Sistem ekstrapiramidal adalah suatu sistem fungsional yang terdiri dari inti-inti,
lintasan-lintasan lingkaran dan lintasan subkortikospinal. Terdiri dari bangunan-bangunan
yang terletak jauh satu dengan yang lain.
Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh
penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal
dikarenakan terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan
transmisi di korpus striatum yan mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin
menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom
ekstrapiramidal.
B. Susunan Ekstrapiramidal
Terdiri dari:
Korteks serebri bagian premotorik:
Area 4S (strip area of hines),
5|
Area 6 (area premotorik),
Area 8
Ganglia basalis nucleus kaudatus, putamen, dan globus palidus
Inti-inti di diensefalon:
Susbtansia nigra, nukleus ruber
Korpus subtalamikus
Nukleus ventrolateralis
Center median thalamus
Serebellum + inti-inti:
Nukleus dentatus
Nukleus emboliformis
Nukleus globosus
Nukleus fastigii/tekti
Inti-inti di batang otak:
Kolikulus superior
Nukleus vestibularis
Oliva inferior
Formassio retikuaris
Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson
masing-masing komponen itu lintasan
Lintasan-lintasan:
1. Lintasan sirkuit pertama:
Melalui serebellum
Mulai area 4 dan 6 melalui traktus frontopontin Arnold nukleus pontis dan
melalui traktus dentatorubrotalamikus ventrolateral thalamus kembali
ke korteks serebri area 4 dan 6.
Fungsi mengendalikan gerakan selama suatu gerakan volunteer masih
berlangsung (implus pra-kontrol)
Gangguan ataksia, tremor, dismetria
6|
Gambar 1. Lintasan sirkuit pertama
2. Lintasan sirkuit kedua
Melalui substansia nigra
Kerusakan pada s.nigra striatal dopamine deficiency syndrome
Serabut-serabut nigrostriatal dan nigropalidal menggunakan dopamine
sebagai neurotransmitter
Gangguan : resting tremor, gangguan motorik yang ditemukan pada pasien
Parkinson (hipokinesia, hipertonik)
7|
Gambar 3. Lintasan sirkuit ketiga
Jalur dopamine dalam otak:
Jalur dopamine mesolimbik
Dimulai dari batang otak sampai area limbik, berfungsi untuk mengatur perilaku
dan terutama menciptakan delusi dan halusinasi jika dopamine berlebih.
Jalur dopamine nigrostriatal
Merupakan bagian dari sistem ekstrapiramidal dari sistem saraf pusat, maka efek
samping dari blokade reseptor dopami juga disebut reaksi ekstrapiramidal.
Berfungsi untuk mengatur gerakan. Ketika reseptor dopamine pada jalur ini
dihambat pada postsinaps, maka akan menyebabkan gangguan gerakan yang muncul
serupa dengan penyakit Parkinson, sehingga sering disebut drug-induced
parkinsonism.
Jalur dopamine mesokortikal
Blokade menyebabkan timbulnya gejala negatif dari psikosis yang disebut
neuroleptic-induced deficit syndrome (masih perdebatan).
Jalur dopamine tuberoinfundibular
Fungsi untuk mengontrol sekresi dari prolaktin. Blokade menyebabkan
peningkatan level prolaktin sehingga menimbulkan laktasi yang tidak pada
waktunya yang disebut galaktorea.
Sindrom hiperkineti-
hipotonik:
Tonus otot menurun
Gerak
involunter/ireguler
Pada: chorea, atetosis,
distonia, ballismus
8|
Sindrom hipokinetik-
hipertonik:
Tonus otot meningkat
Gerak spontan/asosiatif
Gambar 4. Neurofarmakologi dopamine menurun
Gerak involunter spontan
Pada: Parkinson
C. Etiologi Ekstrapiramidal
Antipsikotik
obat antipsikotik seperti haloperidol, thioridazine, dan chlorpromazine
merupakan obat yang digunakan untuk mengobati psikosis atau skizofrenia.
Penggunaan obat antipsikotik menurunkan level dopamine dalam otak
mengakibatkan efek samping ekstrapiramidal. Antipsikotik tipikal penyebab
tersering EPS dibanding dengan antipsikotik atipikal.
Antidopaminergik anti-emetik
Obat ini mengurangi fungsi dari neuron-neuron dopaminergik. Contoh obatnya
ialah metoclopramide.
Trisiklik antidepresan
Amoxapine, obat trisiklik antidepresan juga bisa mengakibatkan EPS.
Penyebab lain
serebral palsi dan kerusakan otak yang efeknya pada system ekstrapiramidal.
EPS sering terjadi setelah pengambilan obat-obatan diatas dalam beberapa jam atau
bisa beberapa tahun setelah pengobatan (pengobatan jangka panjang).
9|
muda dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1. Faktor resiko: peningkatan
usia, dosis obat, riwayat sebelumnya, kerusakan ganglia basalis.
Patofisiologi akibat neuroleptik menghambat reseptor D2 dalam kaudatus pada
akhir neuron dopamine nigrostriatal
Manifestasi klinis: akinesia/bradikinesia (penurunan gerakan spontan), muscular
rigidity (peningkatan tonus otot), resting tremor.
10 |
Gambar 6. Manifestasi klinik distonia
Akatisia
Merupakan bentuk yang paling sering dari sindroma ekstrapiramidal yang di
induksi oleh obat antipsikotik, terutama pada populasi pasien lebih muda.
Manifestasi klinik: restlessness yang panjang (perasaan subjektif kegelisahan),
dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki tidak bisa tenang. Penderita dengan
akatsia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau
iritabel.
Kronik:
Tardive diskinesia
Terjadi setelah menggunakan antipsikotik minimal selama 3 bulan atau setelah
pemakaian antipsikotik dihentikan selama 4 minggu untuk oral dan 8 minggu untuk
injeksi depot, maupun setelah pemakaian dalam jangka waktu yang lama (umumnya
setelah 6 bulan atau lebih). Penderita yang menggunakan APG I dalam jangka waktu
yang lama sekitar 20-30% akan berkembang menjadi tardive dyskinesia. Seluruh
APG I dihubungkan dengan risiko tardive dyskinesia.
Umumnya berupa gerakan involunter dari mulut, lidah, batang tubuh, dan
ekstremitas yang abnormal dan konsisten. Gerakan oral-facial meliputi mengecap-
ngecap bibir (lip smacking), menghisap (sucking), dan mengerutkan bibir
(puckering) atau seperti facial grimacing. Gerakan lain meliputi gerakan irregular
dari limbs, terutama gerakan lambat seperti koreoatetoid dari jari tangan dan kaki,
gerakan menggeliat dari batang tubuh.
Tardive distonia
Ini merupakan tipe kedua yang paling sering dari sindroma tardive. Gerakan
distonik adalah lambat, berubah terus menerus, dan involunter serta mempengaruhi
daerah tungkai dan lengan, batang tubuh, leher (contoh torticolis, spasmodic
disfonia) atau wajah (contoh meige’s syndrome). Tidak mirip benar dengan distonia
akut.
Tardive akatisia
Mirip dengan bentuk akatisia akut tetapi berbeda dalam respons terapi dengan
menggunakan antikolinergik. Pada tardive akatisia pemberian antikolinergik
memperberat keluhan yang telah ada.
Tardive tics
11 |
Sindroma tics multiple, rentang dari motorik tic ringan sampai kompleks
dengan involuntary vocazations (tardive gilles de la tourette’s syndrome).
Tardive myoclonus
Singkat, tidak stereotipik, umumnya otot rahang tidak sinkron. Gangguan ini
jarang dijumpai.
G. Penatalaksanaan Ekstrapiramidal
Pasien yang mengalami distonia akut harus segera ditangan. Penghentian obat-obat yang
dicurigai sebagai penyebab reaksi harus sesegera mungkin dilakukan. Pemberian terapi
antikolinergik merupakan terapi primer yang diberikan. Bila reaksi distonia akut berat harus
mendapatkan penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan
12 |
difenhidramin 50mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 1-2 mg IM, jika
tidak efektif setelah 20-30 menit diberikan lagi, jika tidak membaik setelah 20-30 menit
kemudian berikan benzodiasepin (contohnya 1mg lorazepam IM/IV).
Pengobatan akatisia mungkin sangat sulit dan sering kali memerlukan banyak
eksperimen. Agen yang paling umum dipakai adalah antikolinergik dan amantadin obat ini
dapat juga dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa propanolol (Inderal) sangat efektif
dan benzodiazepine, khususnya klonazepam dan lorazepam mungkin sangat membantu.
Pengobatan sindrom Parkinson terinduksi neuroleptik terdiri atas agen antikolinergik.
Amantadin juga sering digunakan. Levodopa yang dipakai pada pengobatan penyakit
Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat.
Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan involunter pada banyak pasien, kemungkinan
melalui mekanisme asam gamma-aminobutirat-ergik. Pengurangan dosis umumnya
merupakan perjalanan kerja terbaik bagi pasien yang tampaknya mengalami diskinesia
tardive tetapi masih memerlukan pengobatan.
H. Prognosis Ekstrapiramidal
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut masih baik bila gejala
langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada EPS yang kronik lebih
buruk. Pasien dengan tardive distonia sangat buruk. Sekali terkena, kondisi ini biasanya
menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.
I. Komplikasi Ekstrapiramidal
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga
menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas.
Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.
Gangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami
fraktur.
Antikolinergik mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi,
dan retensi urine
J. Metolon
13 |
Metolon tablet adalah obat yang mengandung metocloperamide 10 mg.
Metocloperamide merupakan obat golongan antagonis Dopamin yang digunakan untuk
mengobati rasa mual dan muntah.
Indikasi:
Untuk meringankan (mengurangi simptom diabetik gastroparesis akut dan yang
kambuh kembali).
Untuk menanggulangi mual, muntah metabolik karena obat sesudah operasi.
Rasa terbakar yang berhubungan dengan refluks esofagitis.
Tidak untuk mencegah motion sickness.
Kontraindikasi:
Obstruksi mekanik atau perforasi atau situasi lain di mana stimulasi GI motilitas
mungkin berbahaya.
Hemorrhage (pendarahan) GI.
Feokromositoma (karena potensi krisis hipertensi).
Riwayat penyakit kejang.
Terapi bersamaan dengan obat yang cenderung menyebabkan reaksi ekstrapiramidal
(misalnya, fenotiazin, butyrophenones).
Pasien yang intoleransi terhadap metoclopramide.
Pasien yang hipersensitivitas terhadap metoclopramide.
Perhatian:
Sebaiknya tidak diberikan pada trimester pertama kehamilan karena belum terbukti
keamanannya.
Tidak boleh diberikan bersama dengan obat golongan fenotiazina di mana akan
timbul gejala ekstrapiramidal.
Penderita yang hipersensitif terhadap prokain dan prokainamida kemungkinan juga
hipersensitif terhadap obat ini.
Dosis harap dikurangi pada penderita dengan gangguan renal karena dapat
meningkatkan gejala ekstrapiramidal.
Hati-hati bila diberikan pada orang lanjut usia dan anak kecil.
Hati-hati pemakaian pada ibu menyusui dan pasien yang membutuhkan
kewaspadaan dalam menjalankan aktivitasnya seperti mengendarai kendaraan
bermotor atau menjalankan mesin.
Interaksi:
14 |
Efek Metoklopramida diantagonis oleh antikolinergik dan analgetik narkotik.
Meningkatkan efek sedasi jika diberikan bersama dengan depressan susunan saraf
pusat.
Penyerapan obat (Digoksin, Simetidin) bisa terganggu dan penyerapan dari usus
kecil meningkat (Parasetamol, Tetrasiklin, Levodopa).
Kebutuhan Insulin mungkin berubah akibat perubahan lamanya makanan dalam
usus.
Farmakokinetik:
Onset
Setelah pemberian oral, 30-60 menit untuk efek pada GI tract.
Setelah pemberian IM, 10-15 menit untuk efek pada GI tract.
Setelah pemberian IV, 1-3 menit untuk efek pada GI tract.
Durasi 1-2 jam.
Dosis:
Dewasa
3 x 10 mg
3 x 5mg (pada dewasa muda berusia 15-19 tahun dengan berat di bawah 60
kg)
Anak
sampai dengan 1 tahun (berat sampai 10 kg) 1 mg 2 kali sehari,
1-3 tahun (10-14 kg) 1 mg 2-3 kali sehari,
3-5 tahun (15-19 kg) 2 mg 2-3 kali sehari,
5-9 tahun (20-29 kg) 2,5 mg 3 kali sehari,
9-14 tahun (30 kg dan lebih) 5 mg 3 kali sehari
Dosis harian metoklopramid tidak boleh melebihi 500 mcg/kg bb, umumnya pada anak dan
dewasa muda
Efek samping:
Efek SSP: kegelisahan, kantuk, kelelahan dan kelemahan.
Reaksi ekstrapiramidal: reaksi distonik akut.
Gangguan endokrin: galaktore, amenore, ginekomastia, impoten sekunder,
hiperprolaktinemia.
Efek pada kardiovaskular: hipotensi, hipertensi supraventrikular, takikardi
dan bradikardi .
15 |
Efek pada gastrointestinal: mual dan gangguan perut terutama diare.
Efek pada hati: hepatotoksisitas.
Efek pada ginjal: sering buang air, inkontinensi.
Efek pada hematologik: neutropenia, leukopenia, agranulositosis.
Reaksi alergi: gatal-gatal, urtikaria dan bronkospasme khususnya penderita asma.
Efek lain: gangguan penglihatan, porfiria, Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS).
Over dosis: Gejala yang timbul: kegelisahan, disorientasi dan reaksi ekstrapiramidal
K. Dispepsia
Definisi:
Menurut Almatsier tahun 2004, dispepsia merupakan istilah yang menunjukkan rasa
nyeri atau tidak menyenangkan pada bagian atas perut. Kata dispepsia berasal dari bahasa
Yunani yang berarti “pencernaan yang jelek”.
Menurut Konsensus Roma tahun 2000, dispepsia didefinisikan sebagai rasa sakit atau
ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas.
Dispepsia adalah kumpulan keluhan atau gejala klinis (sindrom) rasa tidak nyaman atau
nyeri yang dirasakan di daerah abdomen bagian atas yang disertai dengan keluhan lain yaitu
perasaan panas di dada dan perut, regurgitas, kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang,
sendawa, anoreksia, mual, muntah dan banyak selama beberapa minggu atau bulan yang
sifatnya hilang timbul atau terus-menerus.
Klasifikasi:
1) Dispepsia Organik
Dispepsia organik adalah Dispepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi
banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Sindrome Dispepsia organik
terdapat kelainan terhadap organ tubuh misalnya luka (tukak) lambung, Ulkus Peptik
dan lain-lain.
2) Dispepsia Fungsional
Dispepsia fungsional dapat dijelaskan sebagai keluhan dispepsia yang telah
berlangsung dalam beberapa minggu tanpa didapatkan kelainan atau gangguan
struktural/organik/metabolik berdasarkan pemeriksaan klinik, laboratorium,
16 |
radiologi dan endoskopi. Beberapa hal yang dianggap menyebabkan dispepsia
fungsional antara lain Sekresi Asam Lambung, diet atau faktor lingkungan,
psikologik dan lain-lain.
Tanda Dan Gejala:
Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia)
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia)
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis
sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka
waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa
dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat
memperburuk nyeri, sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyeri.
Gejala lain meliputi nafsu makan menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut
kembung).
Alarm symptoms sakit perut berulang karena kelainan organik:
Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus
Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)
Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari
Nyeri timbul tiba-tiba disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan
Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia)
Disertai perdarahan saluran cerna
Terdapat disuria
17 |
Berhubungan dengan menstruasi
Terdapat gangguan tumbuh kembang
Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun
Terjadi pada usia < 4 tahun
Kelainan perirektal: fisura, ulserasi
Tatalaksana:
Non farmakologi
Beberapa studi mengenai penanganan dispepsia fungsional diantaranya dengan
cognitive-behavioural therapy, pengaturan diet, dan terapi farmakologi. Gejala dapat
dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu, diet tinggi lemak, kopi,
alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu
mengurangi intensitas gejala. Direkomendasikan juga untuk menghindari makan
yang terlalu banyak terutama di malam hari dan membagi asupan makanan sehari
hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk
hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku.
Farmakologis
1. Antasida
Antasida paling banyak digunakan dalam pengobatan penyakit tukak lambung.
Obat ini berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri di lambung dengan cepat.
Antasida adalah basa-basa lemah yang berfungsi untuk mengikat secara kimiawi
dan menetralkan asam di dalam lambung. Efeknya adalah mempertahankan pH
cairan lambung antara 3 – 5, yang mengakibatkan berkurangnya kerja proteolitis
dari pepsin yang kerja optimalnya pada pH 2. Terkadang antasida
dikombinasikan juga dengan antiflatulen seperti simetikon dan dimetikon untuk
mencegah terjadinya gejala kembung.
Antasida dapat diminum pada saat perut kosong atau 1 jam setelah makan.
Efeknya bisa bertahan 20 – 60 menit bila diminum pada perut kosong dan dapat
bertahan sampai 3 jam bila diminum 1 jam setelah makan. Obat dalam bentuk
tablet harus dikunyah sebelum ditelan agar lebih cepat bereaksi dengan asam
lambung.
2. Antagonis Reseptor H2
Di dalam tubuh terdapat reseptor H2 yang berperan dalam pengeluaran getah-
getah selaput lendir seperti selaput lendir mulut, hidung dan saluran pencernaan
18 |
termasuk lambung. Obat-obat golongan antagonis reseptor H2 ini menempati
reseptor histamin-H2 secara efektif disekitar permukaan sel-sel parietal,
sehingga akan memblokir sementara fungsi reseptor H2. Akibat dari
penghambatan ini sekresi asam lambung dan pepsin menjadi berkurang. Yang
termasuk dalam golongan obat ini ialah simetidin, ranitidin, famotidin, dan
roxatidin.
3. Penghambat Pompa Proton
Golongan obat ini berfungsi untuk mengontrol sekresi asam lambung dengan
cara menghambat pompa proton yang mentransport ion H+ secara selektif
keluar dari sel-sel parietal lambung. Dalam dosis tertentu kadar penghambatan
terhadap asam lambung pada umumnya lebih kuat dari pada obat golongan
antagonis reseptor H2.
Pemberian bersamaan dengan obat pensupresi asam lainnya seperti antagonis
reseptor H-2 dapat mengurangi efikasi PPI. Obat-obat harus digunakan
bersamaan atau sebelum makan, karena makanan akan menstimulasi produksi
asam di sel-sel parietal. Yang termasuk golongan obat ini adalah omeprazol,
lansoprazol, rabeprazol, pantoprazol, dan esomeprazol.
19 |
Mukosa lambung menghasilkan prostaglandin, yang berperan untuk
menghambat sekresi asam dan merangsang sekresi mukus dan bikarbonat (efek
sitoprotektif). Kekurangan prostaglandin ini diduga terlibat dalam patogenesis
tukak lambung. Misoprostol merupakan analog dari prostaglandin E yang
digunakan untuk pengobatan tukak lambung. Obat ini mempunyai efek
menghambat secara langsung sekresi asam di sel-sel parietal dan melindungi
mukosa dengan jalan merangsang sekresi mukus dan bikarbonat. Obat ini
digunakan untuk tukak lambung yang disebabkan oleh penggunaan NSAID.
6. Antibiotika
Bila tukak lambung disebabkan oleh adanya infeksi H. Pylori, maka
pengobatannya diperlukan dengan antibiotik. Untuk membasmi H. Pylori dan
mencapai penyembuhan menyeluruh obat ini digunakan dalam bentuk kombinasi
2 antibiotik dengan obat tukak yang lain. Antibiotik yang digunakan dalam
pengobatan tukak lambung antara lain, amoksisilin, tetrasiklin, klaritomisin dan
metronidazol.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Lippincott Williams & Wilkins. Kaplan & Saddock “Sinopsis Psikiatri” jilid 2. Edisi 9.
Jakarta: 1998.
20 |
2. Stahl, Stephen M. Essensial Psychopharmacology : Neuroscientific Basic and Pratical
Appications. Cambridge University Press. 1996.
3. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2001.
4. Mardjono, M.Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. 2006
21 |