Anda di halaman 1dari 4

SKRINING

1. Pengertian Skrining

Skrining adalah suatu upaya dalam penemuan penyakit secara aktif pada individu-
individu yang tanpa gejala dan nampak sehat dengan cara menguji, memeriksa atau prosedur
lain yang dapat dilakukan dengan cepat. Skrining bukan suatu penetapan diagnosis, subyek-
subyek yang diketemukan positif atau kemungkinan mengidap suatu penyakit tertentu, perlu
dirujuk kembali untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (Sutrisno, 1994).

Skrining dilaksanakan untuk mengetahui besarnya kejadian penyakit tertentu di


masyarakat. Skrining dapat dikelompokkan menjadi 4 macam (Beaglehole,dkk, 1997), yaitu :

a. Mass Screening atau penjaringan massal yaitu skrining yang dilakukan pada
seluruh anggota populasi.

b. Multiple screening atau penjaringan multiphasik yaitu skrining ganda yang


dilakukan dengan melibatkan berbagai alat uji pada saat yang bersamaan.

c. Prescritive Screening yaitu skrining yang dilakukan terbats pada para penderita
yang berkonsultasi kepada seorang praktis kesehatan untuk beberapa tujuan tertentu.

d. Oportunistik Screening yaitu skrining yang dilakukan terbatas pada para penderita
yang berkonsultasi kepada seorang praktisi kesehatan untuk beberapa tujuan

2. Kriteria Skrining

Dalam kegiatan skrining , 10 ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :

a. Penyakit atau keadaan yang dicari haruslah merupakan masalah kesehatan yang
penting.

b. Tersedia obat yang potensial dan disepakati untuk pengobatan.

c. Tersedia fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti dan pengobatan.

d. Penyakit atau keadaan yang dideteksi harus mempunyai masa laten atau masa
asymtomatik dini.

e. Tersedia alat skrining yang sesuai.


f. Uji skrining yang tersedia harus dapat diterima oleh populasi sasaran.

g. Perjalanan alamiah penyakit atau keadaan yang akan dideteksi benar-benar harus
sudah diketahui.

h. Harus ada kebijakan yang disepakati tentang siapa dari mereka yang diobati
sebagai penderita.

i. Biaya yang digunakan untuk skrining secara ekonomis harus seimbang dengan
risiko untuk perawatan medis secara keseluruhan.

j. Harus dimungkinkan untuk diadakan follow-up dan kemungkinan untuk


pencarian penemuan penderita secara berkesinambungan.

3. Test Skrining

Sebelum suatu cara uji skrining direkomendasikan sebagai alat skrining/penapisan untuk
membantu menjaring penderita, maka alat uji ini sebaiknya melalui suatu test validitas dan
realibilitas terlebih dahulu. Setelah diketahui kemampuannya membedakan antar yang sakit
dengan yang sehat, barulah cara penapisan ini dapat dipertimbangkan. Cara yang paling
umum dipergunakan dengan menggunakan tabel 2 x 2, dibandingkan dengan diagnosa
standar (gold standard). Tabel 2 x 2 yang akan digunakan untuk uji ini sebagai berikut

: Tabel 2 x 2 Uji Validitas

Gejala Klinis

Gold Standar Positif Negatif Total

Positif A b a+b

Negatif C d c+d

Total a+c b+d a+b+c+d

Uji validitas yang akan dilakukan :

a. Sensitivitas yaitu kemampuan mendeteksi hasil positif apabila suatu cara uji dilakukan
terhadap penderita yang berpenyakit = a / (a + c) x 100%.
a. Spesifitas yaitu kemampuan mendeteksi hasil negatif apabila cara uji tersebut dilakukan
orang yang tidak sakit = d / (b + d) x 100%.

b. Nilai Duga Positif (positive predictive value) yaitu kemampuan mendeteksi yang benar-
benar menderita suatu penyakit dari semua hasil uji skrining positif = a / (a + b) x 100%.

c. Nilai Duga Negatif (negative predictive value) yaitu kemampuan untuk mendeteksi yang
benar-benar tidak sakit dari semua hasil skrining yang negatif = d / (c+d) x 100%.

Uji Reliabilitas yang akan dilakukan

a. Percent Observed Agreement yaitu persentasi hasil yang diharapkan dari pengamatan
yang dideteksi positif dan negatif terhadap keseluruhan yang diamati = {(a + b) / total test} x
100%.

b. Percent Agreement Expexted yaitu persentasi hasil yang diharapkan dari pengamatan yang
dideteksi positif dan negatif terhadap keseluruhan yang diamati

= { %D ( + ) x Total Test ( + ) } + { %D ( - ) x Total Test ( - ) }

100

4. Tes untuk skrining anemia

Secara klinis, anemia bisa didiagnosis dengan mudah bila derajat anemianya sudah
berat. Untuk mendeteksi secara dini anemia, saat derajat anemianya masih ringan, diagnosis
klinis akan menjadi kurang reliable karena biasanya dipengaruhi oleh banyak faktor,
misalnya kulit yang tebal atau pigmentasi. Untuk itu, perlu pemeriksaan laboratorium, seperti
pemeriksaan kadar Hb atau Hematokrit. Pemeriksaan ini berguna selain untuk konfirmasi
diagnosis, juga dapat menentukan derajat berat-ringannya anemia. Pemeriksaan kadar Hb
atau Hematokrit bisa digunakan untuk skrining anemia pada kelompok berisiko tinggi
menderita anemia, seperti ibu hamil dan anak-anak; juga bermanfaat untuk menentukan
prevalensi dan beban masalah anemia pada populasi.

Tes yang dapat dipercaya untuk mengukur kadar Hemoglobin adalah tes-tes yang
dapat mengkonversi Hb menjadi salah satu dari komponennya. Kadar komponen itu yang
kemudian ditentukan dengan mencocokkan warna standar dalam fotometer atau dengan
mengukur absorbsi komponen-komponen itu dalam spektrofotometer. Tiga teknik yang biasa
dipakai adalah dengan cara mengukur komponen cyanmethemoglobin (Hb CN),
oxyhemoglobin (HbO2) dan metode alkalin hematin. Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan
PRC/Hematokrit (Packed Red Cell). Keuntungan cara ini adalah tekniknya lebih sederhana
utamanya jika jumlah sampel darah sedikit. Selain itu pemeriksaan ini bisa digunakan
dilapangan dengan menggunakan mikrosentrifus bertenaga batrei. Rata-rata, secara kasar,
nilai hemaktokrit adalah ekuivalen dengan 3 kali nilai Hb.

Perlu diingat bahwa sebelum menjadi anemia, penderita biasanya mengalami


kekurangan zat besi dulu. Setelah menderita kekurangan zat besi dalam jangka waktu
tertentu, barulah timbul anemia dan bisa terdeteksi oleh pemeriksaan tersebut di atas. Maka
dikembangkan pemeriksaan-pemeriksaan khusus yang dapat mendeteksi kelainan pada tahap
lebih dini lagi, yakni pada fase kekurangan zat besi. Tes-tes itu antara lain adalah tes serum
feritin, saturasi transferin, protoporfirin dalam eritrosit. Pemeriksaan pada fase kekurangan
zat besi ini, sangat cocok untuk memonitor status zat besi pada populasi (DeMaeyer, 1989).

Anda mungkin juga menyukai