Anda di halaman 1dari 20

Susunan Organisasi Pemerintahan Daerah

A. Susunan Organisasi Pemerintahan Daerah


1. Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
ditentukan pada Pasal 1 angka 3 sebagai berikut:
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 32 Tahun 2004 tersebut di atas, maka dapat dijelaskan
bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah.
a. Kepala Daerah
Kepala Daerah sebagai unsur Pemerintah Daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 ditentukan
dalam Pasal 24 sebagai berikut:
(1)Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah.
(2)Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi disebut gubernur, untuk
kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota.
(3)Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh satu orang wakil kepala
daerah.
(4)Wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk provinsi disebut wakil
gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota.
(5)Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Kemudian tentang tugas, wewenang dan kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
termaktub dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 UU No. 32 Tahun 2004. Pada Pasal 25
ditentukan tentang tugas dan wewenang Kepala Daerah sebagai berikut:
Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang:
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD;
b. Mengajukan rancangan Perda;
c. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan
ditetapkan bersama;
e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam kedudukannya sebagai salah satu penyelenggara Pemerintahan Daerah yang
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, maka Kepala Daerah menjalankan tugas dan
kewajiban, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, sebagai berikut:
a. Memimpin penyelenggaraan dan bertanggungjawab sepenuhnya atas jalannya pemerintahan
daerah baik dalam bidang otonomi maupun tugas pembantuan;
b. Mewakili daerah di dalam dan di luar pengadilan;
c. Menetapkan peraturan daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
d. Menetapkan keputusan lain dengan atau tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
e. Menyelenggarakan kepengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan Daerah.
Menurut J. Riwu Kaho, setidaknya ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi penyelenggaraan
otonomi daerah, yaitu:
Pertama, faktor manusia yang merupakan subjek penggerak dalam penyelenggaraan otonomi
daerah. Kedua, faktor keuangan yang menjadi tulang punggung terselenggaranya aktifitas
pemerintahan daerah. Ketiga, faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung aktifitas
pemerintahan daerah, dan keempat adalah faktor organisasi serta manajemen yang ditentukan
terselenggaranya pemerintahan yang baik, efisien, serta efektif.
Faktor manusia menjadi sangat penting di dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal
ini karena manusia merupakan subjek dalam setiap aktifitas pemerintahan, pelaku dan juga
penggerak proses mekanisme di dalam pemerintahan. Kepala Daerah yang tercakup di dalam
faktor manusia merupakan faktor yang sangat esensial dalam melaksanakan tugas-tugas otonomi
daerah. Karena itu berhasil atau tidaknya tugas-tugas di daerah tergantung sang manajer (Kepala
Daerah). Oleh karena itu, manusia yang dipilih untuk menjalankan pemerintahan harus benar-
benar berkualitas baik secara moral, mental maupun kapasitasnya. Hal ini mengingat seorang
Kepala Daerah memiliki tugas yang tidak ringan, yaitu memimpin jalannya pemerintahan di
Daerah.

b. Perangkat Daerah
Perangkat daerah untuk masing-masing tingkatan pemerintahan berbeda satu dengan yang lain.
Perangkat daerah untuk daerah provinsi terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas
Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah, sedangkan untuk daerah Kabupaten/Kota ditambah dengan
kecamatan dan kelurahan. Pengaturan tentang perangkat daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun
2004 ditentukan dalam Pasal 120 sebagai berikut:
(1)Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan
lembaga teknis daerah.
(2)Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas
daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.
1) Sekretariat Daerah
Pengertian Sekretariat Daerah menurut Marbun adalah sebagai berikut:
Sekretariat Daerah adalah unsur staf yang membantu Kepala Daerah dalam penyelenggarakan
Pemerintahan Daerah. Sebagai unsur staf, maka Sekretariat Daerah menyelenggarakan tugas-
tugas umum staf. Mengingat betapa luas dan banyaknya segi-segi tugas staf, maka untuk
menyelenggarakannya diperlukan kecakapan, keahlian, pengalaman dan rasa pengabdian yang
tinggi.
Jabatan staf adalah jabatan karir, oleh karena itu pegawai yang ditempatkan pada jabatan staf
haruslah pegawai yang benar-benar dapat diandalkan dan memenuhi syarat-syarat serta
kualifikasi-kualifikasi tertentu berdasarkan peraturan kepegawaian yang berlaku. Karena jabatan
staf adalah jabatan karir, maka Sekretaris Daerah pun adalah jabatan karir. Dengan perkataan
lain, Sekretaris Daerah tidak dipilih akan tetapi diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang
memenuhi persyaratan. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 122 UU No. 32 Tahun 2004
sebagai berikut:
(1)Sekretaris Daerah diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
(2) Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/kota diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(4) Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai pembina pegawai negeri sipil di daerahnya.
2) Sekretariat DPRD
Sekretariat DPRD diatur dalam Pasal 123 yang ditentukan sebagai berikut:
(1)Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris DPRD.
(2) Sekretaris DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD.
(3) Sekretaris DPRD mempunyai tugas:
a. Menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRD;
b. Menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD;
c. Mendukung pelaksanaan tugas dan. fungsi DPRD; dan
d. Menyediakan dan mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD dalam
melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
(4) Sekretaris DPRD dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
d wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRD.
(5) Sekretaris DPRD dalam melaksanakan tugasnya secara teknis operasional berada dibawah
dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara administratif bertanggung jawab
kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.
(6) Susunan organisasi sekretariat DPRD ditetapkan dalam peraturan daerah berpedoman pada
Peraturan Pemerintah.
3) Dinas Daerah
Dinas Daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 diatur pada Pasal 124 yang ditentukan
sebagai berikut:
(1)Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah.
(2) Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas yang diangkat dan diberhentikan oleh kepala daerah
dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah.
(3) Kepala dinas daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.
Pengertian Dinas Daerah dikemukakan oleh Y.W. Sunindhia sebagai berikut:
Dinas Daerah merupakan perangkat-perangkat organisasi Pemerintah Daerah yang berfungsi
untuk melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah. Di samping itu juga untuk
melaksanakan tugas pembantuan yang diserahkan Kepala Daerah.
4) Lembaga Teknis Daerah
Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 125 sebagai berikut:
(1)Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan
dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah
sakit umum daerah.
(2) Badan, kantor atau rumah sakit umum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin
oleh kepala badan, kepala kantor, atau kepala rumah sakit umum daerah yang diangkat oleh
kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah.
(3) Kepala badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah.
5) Kecamatan dan Kelurahan
Perangkat daerah yang lain setelah Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, dinas daerah, dan
lembaga teknis daerah adalah kecamatan dan kelurahan. Kecamatan berdasarkan UU No. 32
Tahun 2004 diatur dalam Pasal 126 yang ditentukan sebagai berikut:
(1)Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda berpedoman pada Peraturan
Pemerintah.
(2) Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh camat yang dalam
pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk
menangani sebagian urusan otonomi daerah.
(3) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) camat juga menyelenggarakan tugas umum
pemerintahan meliputi:
a. Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
b. Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum;
c. Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
d. Mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
e. Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;
f. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan;
g. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang
belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
(4) Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul
sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis
pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Camat dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
dibantu oleh perangkat kecamatan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui
Sekretaris Daerah kabupaten/kota.
6) Perangkat kecamatan sebagaimana dimaksudpada ayat (5) bertanggung jawab kepada camat.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) ditetapkan dengan peraturan bupati atau walikota dengan berpedoman pada Peraturan
Pemerintah.
2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 1 angka 4 ditegaskan bahwa:
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan
rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
DPRD adalah lembaga yang merefleksikan kehendak rakyat dalam penyelenggaraan
pemerintahan berdasarkan konsepsi demokrasi perwakilan. Pada Pasal 40 UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan:
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, DPRD mempunyai tugas, wewenang dan
kewajiban, dan juga memiliki hak-hak dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai wakil
rakyat. Tugas dan wewenang DPRD tersebut diatur dalam Pasal 42 yang ditegaskan sebagai
berikut:
(1)DPRD mempunyai tugas dan wewenang:
a. Membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;
b. Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah;
c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan
lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan
program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;
d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota;
e. Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;
f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana
perjanjian internasional di daerah;
g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sana internasional yang dilakukan oleh
pemerintah daerah;
h. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah;
i. Membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j. Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah;
k. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga
yang membebani masyarakat dan daerah.
(2)Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD melaksanakan tugas
dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sedangkan hak DPRD diatur dalam Pasal 43 sebagai berikut:
(1)DPRD mempunyai hak:
a. Interpelasi;
b. Angket; dan
c. Menyatakan pendapat.
(2)Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah
diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan mendapatkan
persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat)
dari jumlah, anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
(dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
(3)Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk panitia angket
yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.
(4) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
memanggil, mendengar, dan memeriksa seseorang yang dianggap mengetahui atau patut
mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk meminta menunjukkan surat atau
dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(5) Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan
perundang-undangan.
(6) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan
bantuan Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(7) Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia.

(8)Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat diatur dalam
Peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

B. Kewenangan Pemerintahan Daerah


Negara Indonesia yang merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945 adalah negara yang berdaulat
yang dalam perkembangan dan pertumbuhannya mengalami pasang surut sesuai dengan situasi
dan kondisi struktur politik pada waktu itu. Begitu pula halnya dengan perkembangan
pemerintahan di daerah, sebagai konsekuensi logis dari isi Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
telah dilengkapi dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah ditegaskan dalam Pasal 10 sebagai berikut:
(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan
Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Politik luar negeri;
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal nasional; dan
f. Agama.
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada
pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa
(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:
a. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau
c. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa dalam
rangka melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, maka Pemerintahan
Daerah dalam melaksanakan urusan pemerintahan tersebut berdasarkan pada prinsip otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 32
Tahun 2004 digolongan menjadi dua, yaitu urusan wajib dan urusan pilihan, ketentuan ini
ditegaskan pada Pasal 11 sebagai berikut:
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas,
dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten dan kota atau antar pemerintahan. daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis
sebagai satu sistem pemerintahan

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan
berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan
pilihan.

(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar
pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana. Demikian halnya dengan
urusan pemerintahan dalam rangka dekonsentrasi yang diserahkan kepada Gubernur disertai
dengan pendanaan, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 12 sebagai berikut:
(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan,
pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang
didesentralisasikan.
(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai
dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonom mencakup urusan wajib dan urusan pilihan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 sebagai berikut:
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan
dalam skala provinsi yang meliputi:
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota
; dan
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonom mencakup urusan wajib dan
urusan pilihan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004 sebagai berikut:
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota
merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
l. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
l. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
m. Pelayanan administrasi penanaman modal;
n. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
o. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan
yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13
dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (3) tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa pelaksanaan urusan
wajib dan urusan pilihan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota diatur selanjutnya dengan Peraturan Pemerintah.

C. Sumber-sumber Penerimaan Daerah


Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, sebenarnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam melakukan upaya penyelenggaraan
pemerintahan maupun dalam melaksanakan kewajibannya mengayomi dan memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Tujuan utama ditetapkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah untuk melengkapi Undang-undang
terdahulu yang tidak hanya berorientasi pada pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah yang sering disebut desentralisasi, tetapi yang teramat penting adalah
keinginan untuk lebih meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya keuangan
daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Disamping itu, tujuan
desentralisasi keuangan adalah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Josep Riwu Kaho sebagai berikut:
Dalam pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah harus diikuti
oleh pelimpahan kewenangan yang dalam penyelenggaraannya harus didukung oleh sumber-
sumber keuangan yang memadai yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Salah satu
kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan
mengurus rumah tangganya adalah self supporting dalam bidang keuangan.
Menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, sumber-sumber penerimaan Daerah
dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Ketentuan
Pasal 5 tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan
Pembiayaan.
(2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain Pendapatan.
(3) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. Sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
b. Penerimaan Pinjaman Daerah;
c. Dana Cadangan Daerah; dan
d. Hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
1. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai sumber penerimaan Daerah terdiri dari Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang
sah. Ketentuan mengenai PAD terdapat pada Pasal 6 sebagai berikut:
(1) PAD bersumber dari:
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
d. Lain-lain PAD yang sah.
(2) Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a. Hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;
b. Jasa giro;
c. Pendapatan bunga;
d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan
e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan
barang dan/atau jasa oleh Daerah.
2. Dana Perimbangan
Dana Perimbangan sebagai sumber penerimaan Daerah, sebagaimana termaktub pada Pasal 5
ayat (2) huruf b terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.
Ketentuan mengenai Dana Perimbangan ini terdapat pada Pasal 10 UU 33/204 yang ditegaskan
bahwa:
(1) Dana Perimbangan terdiri atas:
a. Dana Bagi Hasil;
b. Dana Alokasi Umum; dan
c. Dana Alokasi Khusus.
(2) Jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun
anggaran dalam APBN.
a. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil adalah bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam.
Dana Bagi Hasil merupakan alokasi yang pada dasarnya memperhatikan potensi Daerah
penghasil. Pada Pasal 11 ditentukan tentang Dana Bagi Hasil tersebut sebagai berikut:
(1) Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
(2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan
c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan
PPh Pasal 21.
(3) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berasal dari:
a. Kehutanan;
b. Pertambangan umum;
c. Perikanan;
d. Pertambangan minyak bumi;
e. Pertambangan gas bumi; dan
f. Pertambangan panas bumi.
Selanjutnya pada Pasal 12 ditegaskan tentang Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB dan
BPHTB sebagai berikut:
(1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) huruf a dan huruf b dibagi antara daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan
Pemerintah.
(2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah
dengan rincian sebagai berikut:
a. 16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi;
b. 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota; dan
c. 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan.
(3) 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh
daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran
berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:
a. 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan
kota; dan
b. 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota
yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/ melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
(4) Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80% (delapan puluh persen) dengan
rincian sebagai berikut:
a. 16% (enam belas persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke
Rekening Kas Umum Daerah provinsi; dan
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan disalurkan ke
Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota.
(5) 20% (dua puluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi
yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota.
(6) Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
(4) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penerimaan Dana Bagi Hasil dari unsur Pajak Penghasilan (PPh) ditegaskan pada Pasal 13
sebagai berikut:
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c yang
merupakan bagian Daerah adalah sebesar 20% (dua puluh persen).
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi antara
Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota.

(3) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dengan imbangan
60% (enam puluh persen) untuk kabupaten/kota dan 40% (empat puluh persen) untuk provinsi.
(4) Penyaluran Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara
triwulanan.
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam ditegaskan pada Pasal 14 sebagai
berikut:
Pembagian Penerimaan Negara yang berasal dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut:
a. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH)
dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang
bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80%
(delapan puluh persen) untuk Daerah.
b. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar
60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah dan 40% (empat puluh persen) untuk Daerah.
c. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan,
dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh
persen) untuk Daerah.
d. Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh
persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota.
e. Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, dibagi dengan imbangan:
1. 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk Pemerintah; dan
2. 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah.
f. Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan
setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, dibagi dengan imbangan:
1. 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk Pemerintah; dan
2. 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk Daerah.
g. Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan yang
merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen)
untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
b. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya
dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Alokasi Umum dialokasikan dengan tujuan
pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah
penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang
maju dan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil.
Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan Daerah. Termasuk di
dalam pengertian tersebut adalah jaminan kesinambungan penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah diseluruh Daerah dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat dan
merupakan satu kesatuan dengan penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pada Pasal 27 ditegaskan sebagai berikut:
Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari
Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN.

DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar.

Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan
kapasitas fiskal Daerah.

(4) Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai
Negeri Sipil Daerah.
Selanjutnya pada Pasal 28 ditegaskan bahwa:
Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi
layanan dasar umum.

Setiap kebutuhan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur secara berturut-turut
dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik
Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.

(3) Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan Daerah yang berasal dari PAD dan
Dana Bagi Hasil.
Perimbangan Dana Alokasi Umum antara daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota didasarkan pada
imbangan kewenangan antara kedua daerah tersebut, hal ini sebagaimana ditegaskan pada Pasal
29 sebagai berikut:
Proporsi Dana Alokasi Umum antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan
imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.
Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi ditegaskan pada Pasal 30 sebagai berikut:
DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2) dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah
DAU seluruh daerah provinsi.

(2) Bobot daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan antara
celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi.
Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten/Kota ditegaskan pada Pasal 31 bahwa:
DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (2) dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan
dengan jumlah DAU seluruh daerah kabupaten/ kota.

(2) Bobot daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan
antara celah fiskal daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah
kabupaten/kota.
Penerimaan Dana Alokasi Umum antara Daerah yang satu dengan Daerah yang lain akan
berbeda, tergantung pada kemampuan dari masing-masing Daerah tersebut, hal ini untuk
menjaga keseimbangan perkembangan antar Daerah sehingga satu dengan yang lain tidak ada
atau dapat diminimalisasi kesenjangan antar Daerah. Ketentuan mengenai penerimaan Dana
Alokasi Umum dengan pertimbangan keuangan/fiskal dan kemampuan Daerah tersebut
ditegaskan pada Pasal 32 sebagai berikut:
Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol menerima DAU sebesar alokasi dasar.

Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi
dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal.

(3) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih
besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU.
Penentuan besar kecilnya pemberian Dana Alokasi Umum kepada Daerah disesuaikan dengan
kebutuhan fiskal Daerah dalam rangka pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan
dasar umum bersumber pada lembaga statistik pemerintah dan/atau lembaga pemerintah yang
berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada Pasal 33 ditentukan
sebagai berikut:
Data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 diperoleh dari lembaga statistik pemerintah dan/atau lembaga pemerintah yang
berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Data mengenai kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal sebagaimana dimaksud pada Pasal 33
selanjutnya dirumuskan dalam formula dan penghitungan Dana Alokasi Umum oleh Pemerintah,
hal ini sejalan dengan ketentuan pada Pasal 34 sebagai berikut:
Pemerintah merumuskan formula dan penghitungan DAU sebagai-mana dimaksud dalam Pasal
30, Pasal 31, dan Pasal 32 dengan memperhatikan pertimbangan dewan yang bertugas
memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah.
Setelah data mengenai kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal dirumuskan dalam formula dan
penghitungan Dana Alokasi Umum, kemudian hasil dari perumusan dan penghitungan tersebut
ditetapkan dengan Keputusan Presiden, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 35 yang ditegaskan
sebagai berikut:
Hasil penghitungan DAU per provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
Hasil dari perumusan dan penghitungan Dana Alokasi Umum yang telah ditetapkan dengan
Keputusan Presiden, selanjutnya disalurkan kepada Daerah dengan periode setiap bulan,
ketentuan mengenai penyaluran Dana Alokasi Umum ini terdapat pada Pasal 36 yang ditegaskan
bahwa:
Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilaksanakan setiap bulan masing-
masing sebesar 1/12 (satu perdua belas) dari DAU Daerah yang bersangkutan.

(2) Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sebelum bulan
bersangkutan.
c. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah
untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Dana Alokasi Khusus bertujuan untuk
membantu membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus Daerah. Ketentuan mengenai Dana Alokasi
Khusus ini ditentukan pada Pasal 38 sebagai berikut:
Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN.
Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu
membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN,
sedangkan yang dimaksudkan sebagai Daerah tertentu adalah daerah-daerah yang mempunyai
kebutuhan yang bersifat khusus. Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang diperuntukkan bagi
Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah, hal ini
sebagaimana ditegaskan Pasal 39 sebagai berikut:
DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan Daerah.

(2) Kegiatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan fungsi yang telah
ditetapkan dalam APBN.
Pengalokasian Dana Alokasi Khusus didasarkan pada penetapan kriteria-kriteraia tertentu yang
ditetapkan oleh Pemerintah, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 40 bahwa:
Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria
teknis.

Kriteria umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan
kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD.

Kriteria khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah.

(4) Kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kementerian
Negara/departemen teknis.
Daerah penerima Dana Alokasi Khusus tidak semata-mata menerima dana tersebut, akan tetapi
harus menyediakan dana pendamping bagi Dana Alokasi Khusus yang dalokasikan, kecuali bagi
Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu yang dipandang tidak mampu menyediakan dana
pendamping sehingga dibebaskan dari kewajiban penyediaan dana pendamping. Pada Pasal 41
ditegaskan bahwa:
Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10%
(sepuluh persen) dari alokasi DAK.

Dana Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam APBD
.
(3) Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping.
3. Lain-lain Pendapatan
Lain-lain Pendapatan yang merupakan unsur Pendapatan Daerah terdiri atas pendapatan hibah
dan pendapatan Dana Darurat. Ketentuan mengenai lain-lain pendapatan ini ditegaskan dalam
Pasal 43 sebagai berikut:
Lain-lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana Darurat.
a. Pendapatan Hibah
Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat yang bersumber dari luar negeri
dilakukan melalui Pemerintah, hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 44 sebagai berikut:
(1) Pendapatan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 merupakan bantuan yang tidak
mengikat.

(2) Hibah kepada Daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui Pemerintah.
(3) Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara Pemerintah Daerah dan pemberi
hibah.

(4) Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
b. Pendapatan Dana Darurat
Pendapatan dana darurat sebagai unsur dari lain-lain pendapatan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 43 adalah dana yang berasal dari Pemerintah dan bersumber dari APBN untuk keperluan
mendesak karena persitiwa bencana nasional atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat
ditanggulangi oleh Daerah yang bersangkutan dengan hanya menggandalkan pada sumber
APBD. Ketentuan mengenai dana darurat ini sebagaimana ditegaskan pada Pasal 46 sebagai
berikut:
(1) Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan
mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat
ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD.

(2) Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa
ditetapkan oleh Presiden.
Dana darurat ini dapat dialokasikan kepada daerah yang dinyatakan mengalami krisis solvabilitas
setelah diadakan evaluasi oleh Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
ketentuan ini ditegaskan pada Pasal 47 sebagai berikut:
(1) Pemerintah dapat mengalokasikan Dana Darurat pada Daerah yang dinyatakan mengalami
krisis solvabilitas.

(2) Daerah dinyatakan mengalami krisis solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan evaluasi Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Krisis solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah
berkonsultasi dengan DPR.
D. Dasar-dasar Perpajakan
1. Pengertian Pajak
Pajak merupakan komponen pendukung dalam penerimaan negara, hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh R. Soemitro sebagai berikut:
Pengertian pajak secara umum yaitu penyerahan kekayaan dari pihak rakyat ke kas negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan
sumber utama untuk membiayai publik investment.
R. Soemitro dalam buku yang lain berpendapat sebagai berikut:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat balas jasa timbul (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Arti “dapat dipaksakan”
adalah bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan
seperti surat paksa, sita dan penyanderaan.
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dengan tanpa mendapatkan jasa timbal balik yang langsung. Hal ini sebagaimana
dikatakan oleh Munawir sebagai berikut:
Pajak adalah “iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir ke sektor
pemerintah) berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum”.
Djajaningrat, sebagaimana dikutip oleh Munawir, mengatakan sebagai berikut:
Pajak adalah kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara disebabkan
oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan
sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat
dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara
kesejahteraan umum
Dari berbagai definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak memiliki beberapa aspek,
sebagaimana dikemukakan oleh Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas sebagai berikut:
a. Pembayaran pajak harus berdasarkan Undang-undang.
b. Sifatnya dapat dipaksakan.
c. Tidak ada kontraprestasi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak
d. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik pemerintah pusat maupun daerah.
e. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan
pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
Mardiasmo, mengenai pengertian pajak, memberikan pendapatnya bahwa pajak memiliki unsur-
unsur sebagai berikut:
a. Iuran dari rakyat kepada negara. Artinya, bahwa yang berhak memungut pajak hanyalah
negara dan iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
b. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
c. Tanpa jasa timbul atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam
pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang
bermanfaat bagi masyarakat luas.
Bohari di sisi lain mengemukakan pendapatnya mengenai unsur-unsur yang ada dalam
pengertian pajak yaitu sebagai berikut:
a. Pajak merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik.
b. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan Undang-undang.
c. Tanpa adanya kontraprestasi atau imbalan secara langsung dari pemerintah.
d. Dipungut oleh pemerintah yang berwenang yang sifatnya dapat dipaksakan.
e. Pemungutan pajak berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan, seperti halnya
pengenaan pajak atas penyerahan dan impor barang tertentu yang digolongkan sebagai barang
merah.
f. Mengandung ciri adanya partisipasi anggota masyarakat dalam mendukung kebutuhan dana
untuk pembangunan.
g. Digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
h. Mengandung unsur ekonomi-politik pemerintah.
Munawir mengemukakan pendapatnya mengenai ciri-ciri pajak atau karakteristik pajak sebagai
berikut:
a. Pajak dipungut oleh negara (baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah)
berdasarkan kekuatan undang-undang serta
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjuk adanya kontraprestasi individual oleh
pemerintah (tidak ada hubungan langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan
kontraprestasi secara individual).
c. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pembayaran pemerintah, yang bila dari pemasukan
masih terdapat surplus dipergunakan untuk membiayai public investment sehingga tujuan yang
utama dari pemungutan pajak adalah sebagai sumber keuangan negara (budgetair).
2. Pengertian Hukum Pajak
Pajak, sebagaimana terlihat dalam unsur-unsurnya, bahwa salah satunya adalah pemungutannya
harus didasarkan pada Undang-undang. Hal ini menunjukkan erat kaitannya antara pajak dengan
ilmu hukum, sehingga muncul apa yang dinamakan hukum pajak. Beberapa pakar dalam hukum
pajak memberikan pendapatnya tentang pengertian hukum pajak tersebut. R. Santoso
Brotodihardjo berpendapat sebagai berikut:
Hukum pajak yang disebut hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang
meliputi kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya
kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari
hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau
badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak.
Bohari menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
Hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara
pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Dengan kata lain,
bahwa hukum pajak menerangkan:
1. siapa wajib pajak
2. obyek-obyek yang dapat dikenakan pajak (obyek pajak)
3. kewajiban wajib pajak terhadap pemerintah
4. timbulnya dan hapusnya hutang pajak
5. cara menagih pajak
6. cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak
Tugas hukum pajak adalah menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat
dihubungkan dengan pengenaan pajak. Hal ini erat kaitannya dengan hubungan antara hukum
pajak dengan hukum perdata. R. Santoso Brotodihardjo berpendapat sebagai berikut:
Kaitan antara hukum pajak dengan hukum perdata ini dapatlah dimengerti karena kebanyakan
hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-
keadaan dan perbuatan-perbuatan yang bergerak dalam lingkungan perdata seperti pendapatan,
kekayaan, perjanjian penyerahan, pemindahan hak karena warisan dan sebagainya.
Hukum pajak, sebagaimana hukum-hukum yang lain, dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Hukum pajak materiil
Hukum pajak materiil memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan-perbuatan
dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan
pajak, berapa besar pajaknya (tarif), mulai terutang, sanksi-sanksi, pembebasan dan
pengembalian pajak, hubungan wajib pajak dengan pemerintah dan sebagainya.
b. Hukum pajak formil
Yang termasuk hukum pajak formil adalah peraturan-peraturan mengenai tata cara untuk
pelaksanaan hukum pajak materiil. Di dalam hukum pajak formil ini memuat tata cara
penyelenggaraannya, kewajiban para wajib pajak, prosedur pemungutan pajak yang dimaksud.
Tujuan atau maksud dari hukum pajak formil ini adalah untuk melindungi pihak fiscus dan wajib
pajak, atau menjamin bahwa pelaksanaan hukum pajak dapat terselenggara dengan benar dan
tepat.
Selain hal-hal tersebut, hukum pajak formil ini juga memuat peraturan-peraturan tentang
kenaikan-kenaikan, denda-denda dan hukuman-hukuman serta cara-cara tentang pembebasan-
pembebasan dan pengembalian pajak, juga ketentuan-ketentuan yang memberi tagihan utama
kepada fiscus, dan sebagainya.
3. Fungsi Pajak
Pemungutan pajak pada dasarnya akan kembali kepada masyarakat luas guna membiayai
pembangunan. Dengan kata lain pajak berfungsi sebagai salah satu sumber keuangan negara
dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Bohari
dalam hal ini berpendapat sebagai berikut:
Pajak memberikan dukungan bagi kebutuhan dana untuk pembangunan serta digunakan untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
Josef Riwu Kaho mengemukakan pendapatnya mengenai fungsi pajak sebagai berikut:
Hasil pungutan pajak negara dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan-urusan
rumah tangga negara atau untuk membiayai pengeluaran negara sebagai hukum publik.
Sedangkan Mardiasmo berpendapat sebagai berikut:
Pajak digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang
bermanfaat bagi masyarakat luas.
Fungsi pajak menurut Gunawan Setiyaji dan Hidayat Amir yaitu sebagai berikut:
Pajak memiliki dua fungsi, yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulerend. Fungsi budgeter, yaitu
untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan Undang-undang yang
berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara,
yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, dan bila ada sisa (surplus) akan
digunakan sebagai tabungan pemerintah. Sedangkan fungsi regulerend adalah suatu fungsi
bahwa pajak-pajak tersebut digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Meskipun demikian, dalam pandangan Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas terdapat pula
fungsi lain dari pajak yang saat ini mengemuka, yaitu:
Fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi. Fungsi demokrasi menyatakan bahwa pajak
merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan
pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. Sebagai implementasinya, pajak
memiliki konsekuensi untuk memberikan hak-hak timbal-balik yang meskipun tidak diterima
secara langsung, tetapi diberikan kepada warga negara pembayar pajak. Demikian selanjutnya,
hingga pajak akan berfungsi redistribusi, yaitu mengimplementasikan unsur pemerataan dan
keadilan dalam masyarakat. Bila pajak diterapkan dengan baik, maka dapat dipastikan terjadi
beberapa dampak pajak terhadap perekonomian dan berbagai aspeknya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pajak mempunyai fungsi
untuk mengisi kas negara yang nantinya akan digunakan untuk mendukung pembiayaan
pembangunan serta membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah lainnya.
4. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak berkaitan dengan kewenangan dan tanggung jawab untuk menghitung
besarnya pajak yang terutang. Dalam penetapan hutang pajak ada tiga sistem pemungutan pajak,
yaitu:
a. Official Assesment System
Official Assesment System merupakan suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang
kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
b. Self Assesment System
Self Assesment System merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
c. With Holding System
With Holding System merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiscus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
5. Pajak Daerah
Wewenang pemungutan pajak tidak hanya berada pada pemerintah pusat, tetapi ada sebagian
pajak yang diserahkan kepada pemerintah daerah, yaitu sebagai pajak daerah.
Menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, disebutkan bahwa:
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah.
Sumitro juga merumuskan tentang pengertian pajak daerah yaitu sebagai berikut:
Pajak lokal atau pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh daerah-daerah swatantra seperi
provinsi, kotapraja, kabupaten dan sebagainya.
Sedangkan Siagian merumuskannya sebagai pajak negara yang diserahkan kepada daerah dan
dinyatakan sebagai pajak daerah dengan Undang-undang.
Josef Riwu Kaho, di sisi lain mengemukakan pendapatnya mengenai pajak daerah sebagai
berikut:
Pajak daerah adalah pajak negara yang diserahkan kepada daerah untuk dipungut berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang dipergunakan guna membiayai pengeluaran daerah sebagai
badan hukum publik.Ciri-ciri pajak daerah adalah:
a. Pajak daerah berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah.
b. Penyerahan dilakukan berdasarkan undang-undang.
c. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undang-undang dan/atau peraturan
hukum lainnya.
d. Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan-urusan
rumah tangga daerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai hukum publik.

E. Pengertian Peranan
Konsep peranan dalam kajian teori organisasi diasumsikan sebagai tingkat penerimaan karyawan
atas pekerjaan yang dibebankan kepadanya dalam rangka melaksanakan tugas, fungsi,
kewajiban, dan tanggung jawab. Dalam hal ini Alo Liliweri mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut:
Peranan dapat diartikan sebagai role specifity atau role clarity yang bermakna pengkhususan
peran dan kejelasan peran. Pengkhususan peran dan kejelasan peran berarti tingkat penerimaan
seorang karyawan atas pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Seorang karyawan merasa
peranannya jelas, apabila peran itu merupakan peran khusus yang dibebankan kepadanya maka
ia akan bekerja dengan penuh tanggung jawab. Role specifity disamakan pengertiannya dengan
spesifikasi pekerjaan (job specification), yaitu persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pekerja
sebagaimana diharapkan organisasi agar mereka mampu melaksanakan tugas, fungsi, kewajiban,
dan tanggung jawabnya. Dengan demikian terdapat kepastian bahwa setiap pekerjaan
memberikan pengkhususan peran kepada seseorang.
Berdasarkan pendapat Alo Liliweri tersebut di atas, maka dapat dideskripsikan bahwa peranan
dapat diartikan sebagai tingkatan penerimaan karyawan atas pekerjaan yang dibebankan
kepadanya dalam rangka melaksanakan tugas, fungsi, kewajiban, dan tanggung jawab.
Konsep peran dapat diartikan sebagai tingkah laku yang diharapkan dari seorang yang
mempunyai kedudukan tertentu. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh WJS.
Poerwodarminto bahwa peran adalah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh
orang yang berkedudukan di masyarakat. WJS. Poerwodarminto selanjutnya mengartikan
peranan sebagai bagian yang dimiliki seseorang. Ia berusaha menjalankan dengan baik semua hal
yang dibebankan kepadanya atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dideskripsikan bahwa pengertian peran adalah
seperangkat tingkah laku yang dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat,
sedangkan peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilakukan.
Konsep peranan erat hubungannya dengan konsep fungsi. Konsep fungsi didefinisikan oleh
Poerwodarminto sebagai jabatan atau pekerjaan yang dilakukan. Berdasarkan konsep peranan
hubungannya dengan konsep fungsi sebagaimana tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa
peranan merupakan implementasi dari jabatan atau pekerjaan yang dibebankan.
Peranan sebagai implementasi dari fungsi dan tugas, berkaitan dengan penelitian ini, yang
mengkaji tentang peranan Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah
(DPPKAD) dalam rangka peningkatan pajak hiburan di Kabupaten Purbalingga, maka berarti
bahwa DPPKAD fungsinya adalah sebagai lembaga yang berupaya mengelola dan
mengoptimalkan pendapatan daerah diantaranya melalui upaya peningkatan salah satu sumber
pendapatan daerah yaitu pajak hiburan. Hal ini berkaitan dengan adanya otonomi daerah yang
memberikan konsekuensi kepada daerah untuk memperoleh pendapatan yang besar, karena
daerah dituntut untuk menjalankan segala aktifitas di bidang pemerintahan dan ekonomi dengan
biaya sendiri.

Diposting oleh Vivin R di 20.59


http://inspirasihukum.blogspot.co.id/2011/05/susunan-organisasi-pemerintahan-daerah_31.html

Anda mungkin juga menyukai