Anda di halaman 1dari 31

Drug eluting Stent (DES) pada Sindroma Koroner Akut

REFERAT

Oleh :

Rima Aprilia Kartika Absari


132011101083

Pembimbing :

dr. Suryono, Sp. JP

SMF/LAB ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
Drug eluting Stent (DES) pada Sindroma Koroner Akut

REFERAT

diajukan gunamelengkapitugas SMF/Lab Ilmu Penyakit Dalam


RSD dr. Soebandi Jember

Oleh :

Rima Aprilia Kartika Absari


122011101038

Pembimbing :

dr. Suryono, Sp. JP

SMF/LAB ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI JEMBER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2017
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2
2.1 Sindroma Koroner Akut ................................................................ 2
2.2 Intevensi Koroner Perkutan .......................................................... 13
2.3 Drug eluting Stent............................................................................ 22
BAB 3. KESIMPULAN ................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
BAB 1. PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization (WHO), Penyakit kardiovaskular


merupakan penyebab kematian utama di dunia. Diperkirakan 17,5 juta orang
meninggal pada tahun 2012 (WHO, 2012). Estimasi jumlah penderita penyakit
jantung koroner terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 375.127
orang (1,3%). Angka ini meningkat seiring bertambahnya umur dengan insidensi
tertinggi pada kelompok umur 65-74 tahun (Riskedas, 2013).
Sindroma koroner akut (SKA) merupakan sekumpulan gejala klinik yang
berhubungan dengan kondisi iskemia miokard akut. SKA terdiri dari Unstable
Angina (UA), ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI), dan Non-ST-
Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) (Kumar et al., 2009). American Heart
Association (AHA) memperkirakan bahwa lebih dari 780.000 orang akan
menderita SKA di Amerika setiap tahunnya dengan rasio pada laki–laki dan
perempuan pada insidensi ini yaitu 3 : 2 (Amsterdam et al., 2014).
Salah satu terapi yang digunakan untuk mengatasi plak yang mengoklusi
adalah dengan intervensi koroner perkutan. Namun, intervensi koroner perkutan
memiliki variasi komplikasi yang cukup lebar. Penggunaan stent saat ini dan
perbaikan stent seiring waktu dapat menurunkan resiko komplikasi mayor secara
akut dan tidak meningkatkan mortalitas walaupun kasusnya kompleks. Stent drug-
eluting (DES) dirancang untuk mengurangi proliferasi neointimal dalam-stent, dan
dengan demikian, meminimalkan in-stent restenosis (ISR), yang merupakan
Kerugian utama koroner perkutan intervensi dengan stent bare-metal (BMS). DES
telah merevolusi pengobatan koroner penyakit arteri dengan mengurangi laju ISR
dari 20-40% dengan BMS sampai 6-8% dengan DES.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
1. Sindroma koroner akut (SKA)
Definisi
SKA adalah sekelompok gejala klinik yang berkaitan dengan kondisi
iskemia miokard akut (Kumar et al., 2009). Adanya SKA disebabkan oleh
kurangnya pasokan oksigen ke miokard dan gangguan pada arteri koroner
(Stivano, 2013). SKA terdiri dari Unstable Angina (UA), ST-Elevation
Myocardial Infarction (STEMI), dan Non-ST-Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI) (Kumar et al., 2009). UA dan NSTEMI terjadi apabila terdapat oklusi
parsial arteri koroner. Keduanya memiliki memiliki patofisiologi, manifestasi
klinis yang serupa tapi berbeda dalam tingkat keparahannya. Diagnosis NSTEMI
dapat ditentukan apabila ditemukan kondisi iskemia yang cukup berat sehingga
terjadi kerusakan miokard yang menyebabkan pelepasan biomarker infark
miokard pada sirkulasi (cardiac troponin T atau I atau muscle and brain fraction
of creatine kinase[CK-MB]). UA ditentukan apabila tidak terdapat pelepasan
biomarker yang terdeteksi 1 jam setelah onset awal nyeri dada dan adanya 1 atau
lebih dari 3 presentasi utama yaitu munculnya angina pada istirahat yang biasanya
lebih dari 20 menit, onset baru yaitu kurang dari 2 bulan dan pola yang semakin
meningkat baik dalam intensitas, durasi, frekuensi atau kombinasi dari faktor-
faktor tersebut. STEMI terjadi apabila terdapat oklusi total arteri koroner disertai
dengan pelepasan biomarker dan munculnya ST-Elevasi pada pemeriksaan
ekokardiografi (EKG) (Kumar et al., 2009).
Patofisiologi SKA
Hampir semua kasus infark miokard disebabkan oleh aterosklerosis arteri
koroner. Adanya iskemia miokard terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar
daripada suplai oksigen ke miokard. Terjadinya oklusi akut disebabkan adanya
trombus pada arteri koroner. Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik
dipahami bukan proses sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah
telah diketahui bahwa disfungsi endotel dan proses inflamasi juga berperan
penting (Mhyrta, 2012).
Proses pembentukan plak dimulai dengan adanya disfungsi endotel karena
faktor-faktor tertentu. Gambaran disfungsi endotel dapat dilihat pada gambar 2. 1.
Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang
menyebabkan sel darah seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh darah.
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar
dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai akhirnya
bermanifestasi sebagai SKA (Mhyrta, 2012).
Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel,
migrasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) kedalam tunika intima, respons
inflamatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis. Jika endotel rusak, sel-sel
inflamatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan
cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika sudah berada pada lapisan
subendotel, sel-sel ini mengalami diferensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan
mencerna LDL teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri, berubah
menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fattystreaks. Makrofag yang
teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte
chemoattractant protein-1, tumornecrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan c-
reactiveprotein) yang makin mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih
banyak makrofag, sel T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis
komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos
pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu
mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak dengan
cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. LDL yang termodifikasi
meningkatkan respons inflamasi oleh makrofag. Respons inflamasi ini
memberikan umpan balik, menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju
tunika intima, yang selanjutnya mengalami modifikasi lagi, dan seterusnya
(Mhyrta, 2012).
Makrofag yang terstimulasi akan memproduksi matriks metalloproteinase
(MMP) yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada
tunika intima, yang membentuk kapsul fibrosis, merupakan subjek apoptosis. Jika
kapsul fibrosis menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran
darah terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya
bekuan. Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring
berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis
lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak
aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat kurang dari
50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak yang tetap
stabil belum diketahui secara pasti (Mhyrta, 2012).

Gambar 2. 2 Proses aterosklerosis (Sumber: Stary HC et al., 1995)


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa inti lipid yang besar, kapsul
fibrosa yang tipis, dan inflamasi dalam plak merupakan predisposisi untuk
terjadinya ruptur. Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi endotel, matriks
subendotelial akan terpapar darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebabkan
adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi trombosit, selanjutnya
terbentuk thrombus. Bentuk SKA tergantung pada derajat obstruksi koroner.
Oklusi trombus yang parsial menyebabkan UA dan NSTEMI. Selanjutnya, jika
trombus menutup sempurna, hasilnya iskemia akan lebih parah dan nekrosis akan
lebih besar jumlahnya, gejala yang terjadi adalah STEMI (Mhyrta, 2012).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokard
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran danfungsi ventrikel). Sebagian
pasien SKA tidak mengalami ruptur plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koroner
epikardial (Angina Prinzmetal). selain itu,penyempitan arteri koroner ini dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah intervensi koroner perkutan
(IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis,
hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang
telah mempunyai plak aterosklerosis (PERKI, 2015).

Faktor Risiko SKA


Secara garis besar, faktor risiko SKA dapat dibagi 2. Pertama adalah faktor
risiko yang dapat diperbaiki (reversible) atau bisa diubah (modifiable), yaitu:
hipertensi, kolesterol, merokok, obesitas, diabetes mellitus, hiperurisemia,
aktivitas fisik kurang, stress, dan gaya hidup (life style). Faktor risiko seperti usia,
jenis kelamin, dan riwayat penyakit keluarga adalah faktor-faktor yang tidak dapat
diperbaiki (Stivano et al., 2013).
Hipertensi dapat berpengaruh terhadap jantung melalui peningkatan beban
jantung sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan mempercepat
timbulnya aterosklerosis karena tekanan darah yang tinggi dan menetap akan
menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koroner
sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (Stivano et al., 2013).
Kolesterol, lemak, dan substansi lainnya dapat menyebabkan penebalan
dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari pembuluh darah tersebut
menyempit dan proses ini disebut aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini
akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga
aliran darah pada pembuluh darah koroner yang fungsinya memberi oksigen ke
jantung menjadi berkurang. Kurangnya oksigen akan menyebabkan miokard
menjadi lemah, nyeri dada, serangan jantung bahkan kematian mendadak (Stivano
et al., 2013).
Efek rokok dapat menambah beban miokard karena rangsangan oleh
katekolamin dan menurunkan konsumsi oksigen akibat inhalasi karbonmonoksida
atau dengan kata lain dapat menyebabkan takikardi, vasokonstriksi pembuluh
darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah, dan merubah 5-10% Hb
menjadi karboksi-Hb sehingga meningkatkan risiko terkena SKA (Stivano et al.,
2013).

Diagnosis SKA
Untuk menegakan diagnosis SKA perlu dilakukan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan EKG dan tes marka jantung. Diagnosis dapat ditegakan jika
didapatkan 2 dari 3 pemeriksaan tersebut yang diagnostik SKA. Kemungkinan
SKA dapat ditetapkan dengan gejala dan tanda nyeri dada yang sesuai dengan
kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang
gawat darurat, EKG normal atau non-diagnostik, dan marka jantung normal.
Sedangkan definitif SKA ditunjukkan dengan gejala dan tanda angina tipikal,
EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau
inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB
baru/persangkaan baru dan peningkatan marka jantung (PERKI, 2015).
a. Anamnesis
Keluhan pasien iskemia miokard dapat berupa nyeri dada tipikal atau atipikal
(angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan atau berat pada
daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular,
bahu, atau epigastrium. Biasanya keluhan ini berlangsung intermiten atau
persisten (>20 menit) dan sering disertai gejala penyerta seperti mual dan muntah,
nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering
dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan
pencernaan (indigestion), sesak napas, atau rasa lemah mendadak (PERKI, 2015).

b. Pemeriksaan EKG
Perekaman EKG penting untuk membedakan STEMI dan SKA lainnya.
Iskemia miokard dapat memunculkan tanda-tanda pada EKG, yaitu dapat berupa
perubahan ST dan T. Sedangkan pada nekrosis miokard ditunjukan dengan
perubahan pola QRS (Werf et al., 2003). Gambaran EKG yang dijumpai pada
pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, non-diagnostik,
LBBB (Left Bundle Branch Block) baru atau persangkaan baru, elevasi segmen
ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST
dengan atau tanpa inversi gelombang T (PERKI, 2015).
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga
harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal non-
diagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien diruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali (PERKI, 2015).
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG yang tidak ditemukan
elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah NSTEMI atau UA.
Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di
sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi
segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20
menit), dan dapat terdeteksi di lebih dari 2 sadapan berdekatan. Pasien SKA
dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi.
Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera
mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia
(PERKI, 2015).

c. Pemeriksaan marka jantung


Marka nekrosis miosit jantung yang menjadi marka untuk diagnosis infark
miokard yang digunakan saat ini adalah kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau
troponin I/T. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA dalam
keadaan nekrosis miokard, maka pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam
setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka
pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Troponin
akan menunjukan peningkatan 5-14 hari setelah nekrosis miokard (Kumar, 2009).
Troponin I/T juga dapat meningkat sebab kelainan kardiak non-koroner
seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan non-kardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut,
emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal (PERKI,
2015).

d. Pemeriksaan laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di
ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,
koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak
boleh menunda terapi SKA (PERKI, 2015)

e. Pemeriksaan foto polos dada.


Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat
darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang
gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat
diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.

Pembagian SKA
Unstable Angina (Angina Pektoris Tidak Stabil)
Sindroma Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS) telah lama dikenal sebagai gejala
awal dari Infark Miokard Akut (IMA). Banyak penelitian melaporkan bahwa
Unstable Angina merupakan risiko untuk terjadinya IMA dan kematian. Unstable
Angina memiliki istilah lain yang sering digunakan antara lain angina preinfark,
angina dekubitus, dan angina kresendo (angina dengan frekuensi dan durasi yang
semakin meningkat). Angina tipe ini merupakan spektrum dari sindroma iskemik
miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil (stable angina) dan
infark miokard akut.
Terminologi Unstable Angina harus tercakup dalam kriteria penampilan klinis
sebagai berikut:
1. Angina pertama kali

Angina timbul pada saat aktifitas fisik. Baru pertama kali dialami oleh penderita
dalam priode satu bulan terakhir.
2. Angina progresif

Angina timbul saat aktifitas fisik dan pola timbulnya berubah dalam periode satu
bulan terkahir, yaitu menjadi lebih sering, lebih berat, lebih lama, timbul dengan
pencetus yang lebih ringan dari biasanya, dan tidak hilang dengan cara yang biasa
dilakukan. Penderita sebelumnya menderita angina pektoris stabil.
3. Angina waktu istirahat
Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik ataupun hal-hal yang dapat
menimbulkan peningkatan kebutuhan O2 miokard. Lama angina sedikitnya 15
menit.
4. Angina sesudah IMA
Angina yang timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA.

Kriteria penampilan klinis tersebut dapat terjadi per kriteria itu sendiri atau
bersamaan, dengan tanpa adanya gejala IMA. Nekrosis miokard yang terjadi pada
IMA harus disingkirkan dengan pemeriksaan enzim serial dan pencatatan EKG.
Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut yang tidak
menetap akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai O2 miokard
(Bahri, 2004).
Pada UA dan NSTEMI, pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total
sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis, dan
vasokonstriksi. Angina pektoris tidak stabil dan NSTEMI mempunyai patogenesis
dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui
penanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau
creatinin kinase CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI. Sedangkan bila
penanda biokimia ini tidak meninggi atau meningkat namun tidak lebih dari 50%
diatas nilai normal, maka diagnosis adalah UA.
Untuk menyingkirkan adanya IMA, pada pasien terdiagnosis perlu
dilakukan pencatatan EKG saat serangan angina. Bila dilakukan pencatatan EKG
saat istirahat didapatkan hasil normal, harus dilakukan stress test dengan treadmill
ataupun sepeda ergometer. Tes ini bertujuan untuk mengetahui apakah nyeri dada
berasal dari jantung atau tidak serta menilai beratnya penyakit. Gambaran EKG
penderita UA dapat berupa depresi segmen ST, depresi segmen ST disertai inversi
gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang ikatan his dan tanpa
perubahan segmen ST, dan gelombang T. Perubahan EKG pada UA bersifat
sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan.
Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali ke gambaran
normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila
perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi evolusi gelombang Q,
maka disebut sebagai IMA.

Infark Miokard tanpa ST Elevasi (NSTEMI)


Non ST-segment elevation myocardial infarction (NSTEMI) secara umum
dibedakan dengan STEMI melalui refleksi gambaran infark miokard dan nekrosis
berdasarkan hasil EKG. Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan
luas area yang mengalami infark dan juga perbedaan lokasi terjadinya obstruksi
(Bode dan Zirlik, 2007). Kerusakan area yang terjadi pada NSTEMI tidak seluas
yang terjadi pada STEMI karena gangguan suplai darah hanya bersifat parsial dan
sementara. NSTEMI didefinisikan berdasarkan ketinggian biomarker jantung
tanpa adanya elevasi segmen ST (Daga et al., 2011). Biomarker yang sering
dijadikan acuan adalah troponin T dan troponin I karena lebih spesifik daripada
enzim jantung yang lain. Peningkatan troponin pada daerah perifer terjadi setelah
3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.
NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI
terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut
pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang
tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang
rendah, fibrous cap yang tipis, dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Selain
itu, terdapat faktor patofisiologi lain yang terjadi pada NSTEMI yaitu adanya
infalamasi vaskuler dan kerusakan pada ventrikel kiri (Harun dan Alwi, 2009).
NSTEMI sering terjadi pada orang tua yang telah memiliki penyakit jantung dan
non-jantung sebelumnya. Gambaran klinis yang tampak yaitu nyeri dada dengan
lokasi khas substernal atau kadangkala di epigastrium dengan ciri seperti diikat,
perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat, atau tertekan. Selain itu juga
terdapat gejala tidak khas yang sering terjadi pada pasien yang berusia diatas 65
tahun seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop, nyeri di lengan, bahu atas atau pun
di leher.

STEMI
Karakteristik utama STEMI adalah angina tipikal dan perubahan EKG
dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI. Kombinasi nyeri dada
substernal >30 menit dan ditemukannya banyak keringat dicurigai kuat adanya
STEMI. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau
ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien
tersebut biasanya mengalami UA atau NSTEMI. Elevasi segmen ST ditemukan
jika terjadi obstruksi trombus total.
Penilaian ST-elevasi pada EKG dilakukan pada J point dan ditemukan pada
2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV.
Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada
usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada
pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV.
Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3,
tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang
elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia
<30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan
V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika
gambaran EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan
elevasi segmen ST≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi
segmen ST ≥1 mm di V1-V3 (PERKI, 2015).

Diagnosis
Diagnosis STEMI adalah adanya angina tipikal, disertai perubahan EKG
yang menunjukkan adanya segmen ST-elevasi yang khas untuk STEMI, disertai
peningkatan marka jantung.
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat
nyeri dada selama minimal 20 menit atau lebih dan tidak membaik dengan
pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke leher,
rahang bawah, lengan kiri memperkuat dugaan ini.
Hendaknya pasien dengan EKG yang khas untuk STEMI, harus segera
mendapat terapi reperfusi, walaupun pemeriksaan marka jantung belum tersedia
(PERKI, 2015).

Perawatan Gawat Darurat


Penentuan diagnosis STEMI dibuat sesegera mungkin sejak kontak
pertama dengan tenaga medis, selambat-lambatnya 10 menit sudah dilakukan
pemeriksaan EKG 12 sadapan.
Sedapat mungkin penanganan pasien STEMI sudah dilakukan sebelum
pasien tiba di rumah sakit, dengan melakukan terapi reperfusi secepatnya secara
efektif dan bila fasilitas memadai sedini mungkin dilakukan IKP. IKP primer
dilakukan sesegera mungkin dibawah 90 menit sejak panggilan awal (PERKI,
2015).

2. Intevensi Koroner Perkutan (IKP)


IKP adalah suatu teknik untuk menghilangkan trombus dan melebarkan
pembuluh darah koroner yang menyempit dengan memakai kateter balon dan
seringkali dilakukan pemasangan stent. Tindakan ini dapat menghilangkan
penyumbatan dengan segera, sehingga aliran darah dapat menjadi normal kembali,
sehingga kerusakan otot jantung dapat dihindari (Majid, 2007). Prosedur
intervensi koroner diukur dari keberhasilan dan komplikasi yang dihubungkan
dengan mekanisme alat-alat yang digunakan dan juga memperhatikan klinis dan
faktor anatomi pasien (AHA, 2007).
Adapun prosedur melakukan tindakan IKP terdiri dari beberapa langkah.
Pertama melakukan akses perkutan. Dalam proses ini arteri femoralis harus
diidentifikasi lebih dahulu (atau yang lebih jarang bisa menggunakan arteri
radialis atau arteri brachialis pada lengan) dengan menggunakan suatu alat yang
disebut jarum pembuka. Setelah jarum sudah masuk, sheath introducer diletakkan
pada jalan pembuka untuk mempertahankan arteri tetap terbuka dan mengontrol
perdarahan. Melalui sheath introducer ini, guiding catheter dimasukkan. Ujung
guiding catheter ditempatkan pada ujung arteri koroner. Dengan guiding catheter,
penanda radiopak diinjeksikan ke arteri koroner, hingga kondisi dan lokasi
kelainan dapat diketahui.Selama visualisasi sinar X , ahli jantung memperkirakan
ukuran arteri koroner dan memilih ukuran balon kateter serta guide wire coronary
yang sesuai. Guiding wire coronary adalah sebuah selang yang sangat tipis
dengan ujung radio opak yang fleksibel yang kemudian dimasukkan melalui
guiding cathether mencapai arteri koroner. Dengan visualisasi langsung, ahli
jantung memandu kabel mencapai tempat terjadinya blokade . Ujung kabel
kemudian dilewatkan menembus blokade.
Setelah kabel berhasil melewati stenosis, balon kateter dilekatkan dibelakang
kabel. Angioplasti kateter kemudian didorong kedepan sampai balon berada di
dalam blokade. Kemudian baru balon balon dikembangkan dan balon akan
mengkompresi atheromatous plak dan menekan arteri sehingga mengembang. Jika
stent ada pada balon, maka stent diimplantkan atau ditinggalkan pada tubuh untuk
mendukung arteri dari dalam agar tetap mengembang. IKP seharusnya dilakukan
oleh orang berpengalaman, dari operator dan institusi tinggi. Dalam melaksanakan
tindakan ini tidak diperlukan anastesi, walaupun pasien dikasi obat pereda
nyeri/sedatif. Pasien biasanya boleh bergerak beberapa jam selepas tindakan, dan
pulang pada hari yang sama atau besoknya. (AHA, 2001).
Setelah tindakan IKP dilakukan, pasien diberi obat antitrombolisis. Semua
pasien harus mengambil aspirin tanpa batas waktu (sebagai pencegahan sekunder
dari CVD). Dual terapi antitrombosis diperlukan untuk pasien dengan stent
koroner untuk mengurangi risiko trombosis stent: Hal ini biasanya terjadi aspirin
dan clopidogrel. Lamanya pengobatan clopidogrel tergantung pada penetapan
klinik . Jika operasi diperlukan, maka harus dipertimbangkan apakah
antitrombolisis boleh diteruskan. Setelah itu diperlukan konsul dengan ahli
kardiologi berhubungan dengan risiko penghentian obat-obatan dan segala yang
diperlukan. Penggunaan proton-pump inhibitor bersamaan dengan clopidogrel
(untuk mencegah pendarahan gastrik) adalah kontroversial, setelah bukti-bukti
menunjukkan bahwa PPI dapat memperburuk hasil dan bahwa dua obat dapat
berinteraksi.
Prediktor keberhasilan atau terjadinya komplikasi adalah sebagai berikut :
1. Faktor anatomi
Morfologi lesi dan keparahan stenosis diidentifikasikan sebagai predictor
keberhasilan IKP.
2. Faktor klinis
Kondisi klinis dapat mempengaruhi tingkat keparahan. Misalnya, terjadi
komplikasi 15,4% pada pasien dengan diabetes mellitus dan hanya 5,8% pada
pasien yang tidak terkena diabetes mellitus. Faktor-faktor ini meliputi usia, jenis
kelamin, angina yang tidak stabil, gagal jantung kongestif dan diabetes.
3. Risiko kematian
Kematian pasien yang mendapat tindakan IKP berhubungan dengan oklusi
orkelamin wanita, diabetes, dan infark miokardium.
4. Wanita
Dibandingkan dengan laki-laki, wanita yang mendapat tindakan IKP memiliki
insiden lebih tinggi mendapatkan hipertensi dan hiperkolestrolemia.
5. Usia lanjut
Usia diatas 75 tahun merupakan kondisi klinis yang cukup besar dihubungkan
dengan peningkatan risiko mendapatkan komplikasi.
6. Diebetes mellitus
Dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami diabetes mellitus, pasien
diabetes mellitus memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi.
7. Coronary Angioplasty setelah pembedahan CABG
IKP direkomendasikan sebagai prosedur paliatif yang bias menunda CABG
berulang.
8. Konsiderasi teknik yang spesifik
Perforasi arteri coroner dapat sering terjadi saat melakukan intervensi
menggunakan teknologi. Kejadian ini dapat terjadi meliputi terjadinya rotasi
ataupun ekstraksi atherectomy.
9. Faktor hemodinamik
Perubahan tekanan darah dapat dihubungkan dengan LV ejection fraction dan
risiko rusaknya miokardium (AHA, 2001)
Faktor risiko
Penyempitan pembuluh darah dapat terjadi karena beberapa penyebab.
Penyempitan ini bias dipicu oleh adanya atheroma. Atheroma merupakan plak
ateromatosa yang terdiri atas lesi fokal yang meninggi yang berawal di dalam
intima, memiliki inti lemak ( terutama kolesterol dan ester kolesterol) yang lunak,
kuning dan grumosa serta dilapisi oleh selaput fibrosa putih yang padat. Ukuran
plak bervariasi dari garis tengah 0,3 sampai 1,5 cm, tetapi kadang-kadang
menyatu membentuk massa sebagian lingkaran dinding arteri dan membentuk
bercak-bercak yang tersebar di sepanjang pembuluh. Lesi aterosklerotik awalnya
bersifat fokal dan tersebar jarang, namun seiring dengan perkembangan penyakit
lesi bertambah banyak dan difus (Robbins, 2007).
Aterosklerosis terutama mengenai arteri elastik. Di arteri kecil, atheroma
dapat menyumbat lumen, mengganggu aliran darah ke organ distal dan
menyebabkan jejas iskemik. Selain plak aterosklerotik dapat menyebabkan jejas
iskemik. Selain itu, plak aterosklerosis dapat mengalami kerusakan dan memicu
terbentuknya thrombus yang semakin menghambat aliran. Di arteri besar, plak
bersifat destruktif, menggerogoti tunika media di dekatnya dan memperlemah
dinidng pembuluh yang terkena menyebabkan aneurisma yang dapat pecah. Selain
itu atheroma luas bersifat rapuh, sering menghasilkan embolus ke sirkulasi distal.
plak aterosklerotik memiliki tiga komponen utama yaitu sel,termasuk sel otot
polos, makrofag dan leukosit lain ; matriks ekstrasel, termasuk kolagen, serat
elastik dan proteoglikan serta ; lemak intrasel. Komponen tersebut dapat dalam
proporsi dan konfigurasi yang berbeda-beda di setiap lesi. Biasanya lapisan
fibrosa superfisial terdiri atas sel otot polos dan kolagen yang relatif padat. Di
bawah dan sisi lapisan penutup ini terdapat daerah seluler yang terdiri atas
makrofag, sel otot polos dan limfosit T (Robbins, 2007).
Jauh di sebelah dalam dari lapisan fibrosa terdapat inti nekrotik yang
mengandung massa lemak yang tersusun acak, celah yang mengandung kolesterol,
debris sel yang mati, sel busa, fibrin,thrombus dan protein plasma lainnya. Sel
busa adalah sel besar penuh lemak yang terutama berasal dari monosit darah,
tetapi sel otot polos juga dapat memakan lemak untuk menjadi sel busa. Akhirnya,
terutama di sekitar bagian tepi lesi, biasanya terdapat tanda- tanda
neovaskularisasi (pembuluh darah halus yang berpoliferasi). Atheroma tipikal
mengandung lemak yang relatif banyak, tetapi banyak dari apa yan disebut
sebagai plak fibrosa mengandung terutama sel otot polos dan jaringan fibrosa.

Indikasi IKP
ACC/AHA mengklasifikasikan indikasi untuk dilakukannya tindakan IKP sebagai
berikut :
Kelas I : kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan
bahwa tindakan tersebut bermanfaat dan efektif dilakukan.
Kelas II : kondisi dimana terdapat perbedaan pendapat tentang kegunaan dan
efikasi tindakan tersebut.
Kelas IIa: bukti atau pendapat mengatakan bahwa penelitian ini bermanfaat
Kelas IIb: manfaat tersebut kurang didukung oleh bukti ataupun pendapat.
Kelas III: kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan
bahwa prosedur tersebut tidak bermanfaat dan tidak efektif, serta pada beberapa
kasus bias menjadi sangat berbahaya (AHA, 2001).
Adapun indikasi dlakukannya IKP adalah sebagai berikut
1. Sindroma koroner akut tanpa peningkatan segmen ST (NSTEMI)
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan
elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam,
bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar
atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk
menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm
di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi
segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah dari
elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm
semakin memperkuat dugaan Non STEMI (Jeremias, 2009) .
Pada NSTEMI dan angina pectoris stabil tindakan IKP bertujuan untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas coroner.
Kriteria pasien berisiko tinggi adalah :
- Angina atau nyeri dada berulang pada keadaan istirahat

- Perubahan segmen ST yang dinamis ( depresi segmen > 0,1mv atau elevasi
segmen ST sementara <30 <0,1mv)

- Peningkatan nilat troponin I, troponin II, atau CKMB

- Pada observasi hemodinamis pasien tidak stabil

- Adanya takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel

- Angina tidak stabil pada pasca infark dini

- Diabetes mellitus
Pasien yang tergolong pada kelompok berisiko tinggi mempunyai manfaat yang
lebih besar bila dilakukan IKP daripada kelompok risiko rendah.

2. Sindroma koroner akut dengan elevai segmen ST (STEMI)


Pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark dapat ditentukan
dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan EKG.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen
ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis kelamin,
dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usi a≥40 tahun, STEMI ditegakkan
jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien
berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi dalam beberapa
menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2 minggu.
IKP yang berpengalaman yang terdiri dari kardiologis intervensi yang
terampil. Stategi reperfusi IKP telah menjadi modalitas pengobatan yang sangat
penting dari STEMI dengan banyak mengalami pada tahun-tahun terakhir ini.
Sedangkan terapi trombolitik dimana dapat digunakan secara luas, mudah
diberikan, dan tidak mahal tetap merupakan pilihan alernatif. IKP telah terbukti
lebih superior disbanding trombolitik dalam pencapaian TIMI 3 flow (perfusi
komplit), iskemik berlang sistemik, mortalitas 30 hari lebih baik dan insiden
stroke pendarahan lebih rendah (AHA, 2001). Berikut adalah algoritme indikasi
dilakukannya IKP pada pasien sindroma koroner akut dengan NSTEMI maupun
STEMI (Sudoyo, 2007).
Di bawah ini adalah algoritme pelaksanaan indikasi pasien dengan STEMI
Sedangkan menurut AHA indikasi IKP adalah sebagai berikut
1. Asimptomatik dan angina ringan

2. Angina kelas II hingga IV atau angina tidak stabil.

Banyak pasien dengan angina stable yng moderate dan severe atau unstable
angina tidak memberi respon yang adekuat terhadap pemberian terapi obat-obatan
dan lebh sering memberikan efek yang signifikan dengan revaskularisasi
Percutaneus Coronary Intervention.
3. Infark miokardiak Percutaneus Coronary Intervention merupakan tindakan
yang efektif untuk memperbaiki perfusi coroner dan cocok dilakukan untuk lebih
dari 90% pasien.

4. Percutaneus Coronary Intervention pada pasien dengan prior coronary bypass


surgery

5. Penggunaan teknologi (AHA, 2001)

Indikasi primer IKP dilakukan pada pasien dengan STEMI kurang dari 12
jam, dengan Left Bundle Branch Block (LBBB), dan juga STEMI dengan
komplikasi gagal jantung yang severe (Griff, 2008). Meskipun intervensi perkutan
dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat dapat meningkatkan risiko,
revaskulerisasi dapat mengurangi iskemik dan meningkatkan prognosis jangka
panjang (Ellis, 2006). Pasien dengan penyakit arteri koroner yang luas dengan
fungsi ventrikel kiri yang lebih buruk mempunyai survival yang lebih lama
setelah operasi pintas koroner meskipun pasien asimptomatis. Pada pasien PJK
stabil tindakan intervensi koroner perkutan dilakukan hanya pada pasien dengan
adanya keluhan dan tanda-tanda iskemik akibat penyempitan pembuluh darah.
Pada penelitian awal dijumpai manfaat yang lebih kecil terhadap survival pasien
yang dilakukan IKP tanpa stent dibandingkan dengan operasi pintas koroner.
Tetapi dengan adanya stent dan stent bersalut obat dan tersedianya obat-obat
ajuvan, tindakan IKP ini menghasilkan manfaat yang lebih besar dibandingkan
operasi pintas koroner ( Hasan, 2007).
Faktor keberhasilan dan komplikasi IKP
Dalam tindakan IKP ini harus diketahui anatomi dari pembuluh darah yang
mengalami penyempitan. Sesuai dengan pengertiannya, tindakan IKP ini
dilakukan untuk melebarkan daerah yang menyempit pada pembuluh darah.
Selain itu, faktor anatomi ini mempengaruhi keberhasilan ataupun komplikasi
IKP. Klasifikasi baru membedakan penyempitan berdasarkan tingkat keparahan
yaitu mild, moderate dan severe. Perbedaan tingkatan ini dibedakan berdasarkan
ada tidaknya thrombus dan ada tidaknya oklusi (Grech, 2011).
Derajat penyempitan
Derajat penyempitan pembuluh darah coroner dapat dilihat secara visual oleh
operator yang berpengalaman atau dapat digunakan angiografi kuantitatif untuk
mendapatkan penilaian computer mengenai derajat keparahan (Gray dkk, 2005).
Penyempitan koroner dinterpretasikan bermakna jika persentasi stenosis ≥ 50 %
pada LMCA atau ≥ 75% pada arteri coroner lainnya. Sintha et al pada tahun 1997
dalam Gani Manurung tahun 2008 dikatakan bahwa derajat penyempitan dibagi
menjadi :
- Grade 0 : penyempitan < 25%

- Grade 1 : penyempitan 25-49 %

- Grade 2 : penyempitan 50-74%

- Grade 3 : penyempitan 75-94 %

- Grade 4 : penyempitan ≥ 95%

Hasil Pola angiografi pada pasien dengan trombolisis dalam aliran infark
miokard (TIMI) 3 menurut penelitian antara 2001 dan 2006, dengan 500 pasien
yang menjalani IKP primer untuk STEMI dengan 430 pasien, aliran TIMI pasca
intervensi 3 dapat dibentuk. Menunjukan Mortalitas di rumah sakit lebih rendah
(6,4% Vs 32,9%; P <0,0001), fraksi ejeksi ventrikel kiri lebih baik (51,3 Vs
44,2%; P <0,0001), dan terapi fibrinolitik pra-rumah sakit (6,3% Vs 14,3%; P =
0,015), syok kardiogenik (10,9% Vs 24,3%; P = 0,002) dan penggunaan pompa
balon intra-aorta lebih tidak mungkin (5,8% Vs. 11,4%;P = 0,045) dibandingkan
dengan pasien dengan aliran TIMI ≤ 2. Pada pasien dengan aliran TIMI pasca
intervensi ≤2 koroner anterior kiri arteri (LAD) secara signifikan lebih sering
dilihat sebagai pembuluh darahtarget (54,3% Vs. 44,6%; P = 0,039). Analisis
regresi menunjukkan bahwa prediktor yang menyebabkan pola aliran seperti itu
adalah diabetes (P = 0,013), pra-rumah sakit terapi fibrinolitik (P = 0,017), syok
kardiogenik (P = 0,002) dan 3-penyakit pembuluh (P = 0,003). Jika setelah 6
bulan, pasien yang tidak terpulihkan menjadi aliran TIMI yang normal akan
menjadi lebih buruk lagi menurut New York Heart Associationkelas (NYHA), dan
sering harus menjalani angiografi koroner berulang lagi. Aliran TIMI pasca
intervensi 2 sangat terkait dengan kondisi yang buruk selama dirawat di rumah
sakit dan setelah 6 bulan rawat inap.

3. Drug Eluting Stent (DES)


Intervensi koroner perkutan dengan implantasi obat-eluting atau bare
metal stent telah menjadi salah satu paling sering dilakukan prosedur terapeutik
dalam pengobatan. Setiap tahun, jutaan pasien dirawat di seluruh dunia.
Penggunaan obat-eluting stent telah terbukti lebih efektif dalam pencegahan
restenosis dibanding penggunaan baremetal stent, dan penggunaan generasi baru
drug-eluting stent, dibandingkan dengan firstgeneration juga dapat mengurangi
tingkat trombosis stent. Telah disarankan bahwa manfaat yang terkait dengan
penggunaan newergeneration drug stent eluting bisa terjemahkan menjadi
berkurangnya tingkat kematian dan infark miokard.
Pada pasien yang menjalani PCI, tidak ada perbedaan signifikan antara
penggunaan drug eluting stent dan bare metal stent dalam hal angka kematian.
Namun tingkat revaskularisasi ulang lebih rendah pada kelompok drug eluting
stent.
Pada prinsipnya DES merupakan stent bersalut obat. Obat yang dipakai
harus mempunyai efek antiploriferatif dan antiinflamasi sehingga dapat menekan
hiperflasia neointima. Dengan demikian secara teoritis, obat yang potensial toksik
bila diberikan secara sistemik dapat diberi secara lokal dalam konsentrasi yang
amat kecil, tetapi efektif dan lebih aman. Supaya obat dapat menempel pada stent
diperlukan polimer. Polimer berfungsi sebagai pengangkut obat dan setelah stent
dipasang obat akan mengalami difusi secara perlahan masuk ke dinding
pembuluh.Stent koroner merupakan benda asing bagi tubuh yang dapat
menimbulkan adhesi platelet dan mengaktivasi kaskade koagulasi. Implantasi
dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan trauma pada pembuluh darah.

Tiga proses yang berbeda terlibat dalam patogenesis


ISR seperti yang digambarkan pada Gambar 1. Ini termasuk: (1)
1) immediate vessel recoil after stretch injury, (2) negative arterial remodeling,
and (3) neointimal hyperplasia penurunanan elastisitas adalah terjadinya
immediate vessel recoil setelah intervensi koroner perkutan (PCI) karena Sifat
elastis dinding arteri, yang biasanya terjadi dalam waktu 24 jam setelah prosedur.
negative arterial remodeling, adalah Proses kontraksi lokal dinding arteri dan
penyempitan dari lumen pada segmen pembuluh darah yang terluka. Hal tersebut
terkait dengan proses penyembuhan serta interaksi antara sel endotel dan aliran
darah nonlaminar .Neointimal hyperplasia adalah proliferasi dan Migrasi sel otot
polos dari media, mungkin sel yang beredar dari sumsum tulang ke intima, dan
kemudian mengganggu pada lumen vaskular. negative arterial remodeling, dan
proliferasi neointimal biasanya terjadi beberapa minggu sampai bulan setelah PCI
Dua Proses patologis utama tersebut merupakan penyebab utama restenosis ,
namun pada dasarnya dapat dieliminasi dengan penggunaan stent. Mekanisme
ketiga, hiperplasia neointimal, menjadi satu-satunya mekanisme utama dalam
patogenesis ISR (Liu, 2005).
Segera setelah stenting, permukaan endotel bergerigi dan mengganggu jaringan
medial dinding arteri akibat Trauma mekanik tersebut maka memicu proses
inflamasi, yang menyebabkan adhesi trombosit, aktivasi, dan agregasi, dan
selanjutnya deposisi fibrin dan pembentukan trombus dalam stent (fase trombotik:
hari 0-3) (Liu et al, 2005).
microthrombi serta immediate vessel recoil pada dinding sel menarik sel
inflamasi seperti makrofag dan limfosit, dari aliran darah dan Juga dari vasa
vasorum (fase rekrutmen: hari ke 3-8). Sel-sel inflamasi merangsang produksi
berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin lokal, yang mengaktifkan sel otot polos
vaskular (G0 fase) media dan juga merekrut sel induk yang beredar masuk
kembali ke dalam siklus sel dan berkembang biak. kemudian Sel otot polos
bermigrasi ke intima dan trombus di lumen stent dan akhirnya membentuk lapisan
neointimal dalam lumen stent (fase proliferatif: hari ke 8, penyembuhan) Meski
proliferasi sel berhenti pada 2 minggu setelah awal cedera, Sel otot polos terus
menghasilkan matriks ekstraselular, yang menyebabkan peningkatan neointimal
volume. Jika proses pertumbuhan neointimal ini pesat maka secara signifikan
mengganggu pada lumen vaskular sehingga menyebabkan ISR (Schwartz et al
2003). Pada dinding vaskular yang lebih dalam Cedera menstimulasi tingkat
hiperplasia neointimal yang lebih tinggi, dan menginduksi lebih banyak
Pertumbuhan jaringan neointimal dari pada cedera BA.
Proses utama ISR, aktivasi sel otot polos dan replikasi, terjadi secara lokal
di lokasi cedera. Karena itu, Salah satu pendekatan yang paling logis adalah obat
berbasis stent sistem pengiriman ke lokal yang sesuai konsentrasi agen yang
efektif untuk menghentikan proses ini anpa toksisitas sistemik. Sistem yang
efektif akan terdiri dari 3 komponen: (1) platform metalik, (2) pembawa obat yang
menyimpan agen terapeutik sekaligus memungkinkan agen untuk berdifusi ke
jaringan vaskular yang terkontrol dan (3) agen terapeutik yang efektif yang
mengurangi pertumbuhan neointimal yang diinduksi oleh implantasi stent. Oleh
karena itu, sebuah ideal DES untuk mencapai khasiat dan keamanan klinis terbaik
adalah dengan mengoptimalisasi ketiga parameter tersebut.
Hasil jangka panjang stent tergantung dari reaksi tubuh terhadap polimer
dan obat dan juga terhadap stent itu sendiri. Penyelidikan-penyelidikan terdahulu
dengan stent bersalut emas, juga dengan QuaDS stent, aktinomisin, dan
batimastat, ternyata gagal karena DES ini lebih menyebabkan reaksi ploriferasi,
peradangan atau lebih trombogenik daripada stent biasa.
Selain DES, cutting balloon juga merupakan tindakan pada intervensi
coroner. Cutting balloon adalah balon yang mempunyai 3 sampai 4 pisau
pemotong yang ditempel secara longitudinal pada balon. Dengan demikian bila
dikembangkan, maka plak akan mengalami insisi longitudinal dan diharapkan
akan terjadi redistribusi plak yang lebih baik pada dilatasi dengan tekanan yang
lebih rendah dibandingkan angioplasti balon biasa. Pada beberapa penelitian
menyebutkan bahwa penggunaan cutting balloon mungkin dapat dipakai untuk
terapi instent restenosis.
Saat melakukan tindakan IKP, Intravascular Ultrasound merupakan
bagian yang terpisahkan dari penelitian-penelitian mengenai Drug Eluting Stent.
Penggunaan IVUS dapat menentukan lokasi yang tepat serta ekspansi stent yang
optimal terhadap seluruh pembuluh endotel pada waktu IKP (Jeremias, 2009).
Indikasi pemeriksaan IVUS sewaktu DES adalah pada kelompok pasien berisiko
tinggi yaitu : gagal ginjal, tidak dapat menggunakan pengobatan antiplatelet
ganda, diabetes mellitus, fungsi ventrikel kiri jelek dan kelompok lesi risiko tinggi
yakni, penyakit cabang utama kiri (left main), percabangan (bifurkasi), lesi ostial ,
pembuluh darah.
Meskipun intervensi ini bermanfaat untuk melebarkan pembuluh darah yang
menyempit, dalam kenyataannnya juga memiliki komplikasi. Komplikasi dapat
dibagi menjadi dua kategori yaitu yang secara umum berkaitan dengan kateterisasi
arteri dan yang berhubungan dengan teknologi yang spesifik yang digunakan
untuk prosedur pada koroner (AHA, 2001).
1. Trombolisis stent
Walaupun angka kejadian hanya 1-2%, kejadian trombolisis stent masih
berisiko sehingga stent harus itu dilapisi oleh endothelium dan hal tersebut
biasanya muncul sebagai MI akut, dengan tingkat kematian tinggi. Trombolisis
stent sering sewaktu bulan pertama pemasangan, tapi bisa muncul berbulan dan
bertahun setelah pemasangan IKP.
2. Stenosis stent
Hal ini berhubungan dengan proses „penyembuhan‟ yang berlebihan dari
dinding pembuluh darah yang bertimbun pada lumen stent. Stenosis biasanya
terbentuk dalam 3-6 bulan dan tidak jarang angina muncul kembali, tetapi jarang
menyebabkan MI. Stenosis stent terjadi dalam 4-20% dari stent.
2. Komplikasi mayor
Komplikasi mayor lain termasuk kejadian yang jarang, tetapi bisa mengakibatkan
kematian (0,2% dalam kasus berisiko tinggi), MI akut (1%) yang mungkin
memerlukan CABG darurat, stroke (0,5%), termponade jantung (0,5%) dan
perdarahan sistemik (0,5%). Kematian terjadi saat proses di rumah sakit. Stroke
terjadi saat otak kehilangan fungsi neurologis yang disebabkan oleh iskemik 24
jam setelah onset.
4. Komplikasi minor
Komplikasi minornya adalah alergi terhadap medium kontras, nefropati dan
komplikasi pada bagian yang dimasuki, seperti perdarahan dan hematoma. Gagal
ginjal meliputi terjadinya peningkatan serum kreatinin lebih 2 mg/dl.(Butman,
2005).
BAB 3.KESIMPULAN

Pada pasien yang menjalani PCI, tidak ada perbedaan signifikan antara
penggunaan drug eluting stent dan bare metal stent dalam hal angka kematian.
Namun tingkat revaskularisasi ulang lebih rendah pada kelompok drug eluting
stent. Stent drug-eluting (DES) dirancang untuk mengurangi proliferasi
neointimal dalam-stent, dan dengan demikian, meminimalkan in-stent restenosis
(ISR), yang merupakan Kerugian utama koroner perkutan intervensi dengan stent
bare-metal (BMS). DES telah merevolusi pengobatan koroner penyakit arteri
dengan mengurangi laju ISR.

Anda mungkin juga menyukai