REFERAT
Oleh :
Pembimbing :
REFERAT
Oleh :
Pembimbing :
Halaman
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2
2.1 Sindroma Koroner Akut ................................................................ 2
2.2 Intevensi Koroner Perkutan .......................................................... 13
2.3 Drug eluting Stent............................................................................ 22
BAB 3. KESIMPULAN ................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
BAB 1. PENDAHULUAN
Diagnosis SKA
Untuk menegakan diagnosis SKA perlu dilakukan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan EKG dan tes marka jantung. Diagnosis dapat ditegakan jika
didapatkan 2 dari 3 pemeriksaan tersebut yang diagnostik SKA. Kemungkinan
SKA dapat ditetapkan dengan gejala dan tanda nyeri dada yang sesuai dengan
kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang
gawat darurat, EKG normal atau non-diagnostik, dan marka jantung normal.
Sedangkan definitif SKA ditunjukkan dengan gejala dan tanda angina tipikal,
EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau
inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB
baru/persangkaan baru dan peningkatan marka jantung (PERKI, 2015).
a. Anamnesis
Keluhan pasien iskemia miokard dapat berupa nyeri dada tipikal atau atipikal
(angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan atau berat pada
daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular,
bahu, atau epigastrium. Biasanya keluhan ini berlangsung intermiten atau
persisten (>20 menit) dan sering disertai gejala penyerta seperti mual dan muntah,
nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering
dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan
pencernaan (indigestion), sesak napas, atau rasa lemah mendadak (PERKI, 2015).
b. Pemeriksaan EKG
Perekaman EKG penting untuk membedakan STEMI dan SKA lainnya.
Iskemia miokard dapat memunculkan tanda-tanda pada EKG, yaitu dapat berupa
perubahan ST dan T. Sedangkan pada nekrosis miokard ditunjukan dengan
perubahan pola QRS (Werf et al., 2003). Gambaran EKG yang dijumpai pada
pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, non-diagnostik,
LBBB (Left Bundle Branch Block) baru atau persangkaan baru, elevasi segmen
ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST
dengan atau tanpa inversi gelombang T (PERKI, 2015).
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R,
serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga
harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal non-
diagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien diruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali (PERKI, 2015).
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG yang tidak ditemukan
elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah NSTEMI atau UA.
Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di
sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi
segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20
menit), dan dapat terdeteksi di lebih dari 2 sadapan berdekatan. Pasien SKA
dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi.
Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera
mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia
(PERKI, 2015).
d. Pemeriksaan laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di
ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,
koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak
boleh menunda terapi SKA (PERKI, 2015)
Pembagian SKA
Unstable Angina (Angina Pektoris Tidak Stabil)
Sindroma Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS) telah lama dikenal sebagai gejala
awal dari Infark Miokard Akut (IMA). Banyak penelitian melaporkan bahwa
Unstable Angina merupakan risiko untuk terjadinya IMA dan kematian. Unstable
Angina memiliki istilah lain yang sering digunakan antara lain angina preinfark,
angina dekubitus, dan angina kresendo (angina dengan frekuensi dan durasi yang
semakin meningkat). Angina tipe ini merupakan spektrum dari sindroma iskemik
miokard akut yang berada di antara angina pektoris stabil (stable angina) dan
infark miokard akut.
Terminologi Unstable Angina harus tercakup dalam kriteria penampilan klinis
sebagai berikut:
1. Angina pertama kali
Angina timbul pada saat aktifitas fisik. Baru pertama kali dialami oleh penderita
dalam priode satu bulan terakhir.
2. Angina progresif
Angina timbul saat aktifitas fisik dan pola timbulnya berubah dalam periode satu
bulan terkahir, yaitu menjadi lebih sering, lebih berat, lebih lama, timbul dengan
pencetus yang lebih ringan dari biasanya, dan tidak hilang dengan cara yang biasa
dilakukan. Penderita sebelumnya menderita angina pektoris stabil.
3. Angina waktu istirahat
Angina timbul tanpa didahului aktifitas fisik ataupun hal-hal yang dapat
menimbulkan peningkatan kebutuhan O2 miokard. Lama angina sedikitnya 15
menit.
4. Angina sesudah IMA
Angina yang timbul dalam periode dini (1 bulan) setelah IMA.
Kriteria penampilan klinis tersebut dapat terjadi per kriteria itu sendiri atau
bersamaan, dengan tanpa adanya gejala IMA. Nekrosis miokard yang terjadi pada
IMA harus disingkirkan dengan pemeriksaan enzim serial dan pencatatan EKG.
Gejala angina pektoris pada dasarnya timbul karena iskemik akut yang tidak
menetap akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai O2 miokard
(Bahri, 2004).
Pada UA dan NSTEMI, pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total
sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis, dan
vasokonstriksi. Angina pektoris tidak stabil dan NSTEMI mempunyai patogenesis
dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui
penanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau
creatinin kinase CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI. Sedangkan bila
penanda biokimia ini tidak meninggi atau meningkat namun tidak lebih dari 50%
diatas nilai normal, maka diagnosis adalah UA.
Untuk menyingkirkan adanya IMA, pada pasien terdiagnosis perlu
dilakukan pencatatan EKG saat serangan angina. Bila dilakukan pencatatan EKG
saat istirahat didapatkan hasil normal, harus dilakukan stress test dengan treadmill
ataupun sepeda ergometer. Tes ini bertujuan untuk mengetahui apakah nyeri dada
berasal dari jantung atau tidak serta menilai beratnya penyakit. Gambaran EKG
penderita UA dapat berupa depresi segmen ST, depresi segmen ST disertai inversi
gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang ikatan his dan tanpa
perubahan segmen ST, dan gelombang T. Perubahan EKG pada UA bersifat
sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan.
Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali ke gambaran
normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila
perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi evolusi gelombang Q,
maka disebut sebagai IMA.
STEMI
Karakteristik utama STEMI adalah angina tipikal dan perubahan EKG
dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI. Kombinasi nyeri dada
substernal >30 menit dan ditemukannya banyak keringat dicurigai kuat adanya
STEMI. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau
ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien
tersebut biasanya mengalami UA atau NSTEMI. Elevasi segmen ST ditemukan
jika terjadi obstruksi trombus total.
Penilaian ST-elevasi pada EKG dilakukan pada J point dan ditemukan pada
2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV.
Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada
usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada
pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV.
Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3,
tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang
elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia
<30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan
V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika
gambaran EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan
elevasi segmen ST≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi
segmen ST ≥1 mm di V1-V3 (PERKI, 2015).
Diagnosis
Diagnosis STEMI adalah adanya angina tipikal, disertai perubahan EKG
yang menunjukkan adanya segmen ST-elevasi yang khas untuk STEMI, disertai
peningkatan marka jantung.
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat
nyeri dada selama minimal 20 menit atau lebih dan tidak membaik dengan
pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke leher,
rahang bawah, lengan kiri memperkuat dugaan ini.
Hendaknya pasien dengan EKG yang khas untuk STEMI, harus segera
mendapat terapi reperfusi, walaupun pemeriksaan marka jantung belum tersedia
(PERKI, 2015).
Indikasi IKP
ACC/AHA mengklasifikasikan indikasi untuk dilakukannya tindakan IKP sebagai
berikut :
Kelas I : kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan
bahwa tindakan tersebut bermanfaat dan efektif dilakukan.
Kelas II : kondisi dimana terdapat perbedaan pendapat tentang kegunaan dan
efikasi tindakan tersebut.
Kelas IIa: bukti atau pendapat mengatakan bahwa penelitian ini bermanfaat
Kelas IIb: manfaat tersebut kurang didukung oleh bukti ataupun pendapat.
Kelas III: kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang mengatakan
bahwa prosedur tersebut tidak bermanfaat dan tidak efektif, serta pada beberapa
kasus bias menjadi sangat berbahaya (AHA, 2001).
Adapun indikasi dlakukannya IKP adalah sebagai berikut
1. Sindroma koroner akut tanpa peningkatan segmen ST (NSTEMI)
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan
elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam,
bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar
atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk
menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm
di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi
segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah dari
elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm
semakin memperkuat dugaan Non STEMI (Jeremias, 2009) .
Pada NSTEMI dan angina pectoris stabil tindakan IKP bertujuan untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas coroner.
Kriteria pasien berisiko tinggi adalah :
- Angina atau nyeri dada berulang pada keadaan istirahat
- Perubahan segmen ST yang dinamis ( depresi segmen > 0,1mv atau elevasi
segmen ST sementara <30 <0,1mv)
- Diabetes mellitus
Pasien yang tergolong pada kelompok berisiko tinggi mempunyai manfaat yang
lebih besar bila dilakukan IKP daripada kelompok risiko rendah.
Banyak pasien dengan angina stable yng moderate dan severe atau unstable
angina tidak memberi respon yang adekuat terhadap pemberian terapi obat-obatan
dan lebh sering memberikan efek yang signifikan dengan revaskularisasi
Percutaneus Coronary Intervention.
3. Infark miokardiak Percutaneus Coronary Intervention merupakan tindakan
yang efektif untuk memperbaiki perfusi coroner dan cocok dilakukan untuk lebih
dari 90% pasien.
Indikasi primer IKP dilakukan pada pasien dengan STEMI kurang dari 12
jam, dengan Left Bundle Branch Block (LBBB), dan juga STEMI dengan
komplikasi gagal jantung yang severe (Griff, 2008). Meskipun intervensi perkutan
dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat dapat meningkatkan risiko,
revaskulerisasi dapat mengurangi iskemik dan meningkatkan prognosis jangka
panjang (Ellis, 2006). Pasien dengan penyakit arteri koroner yang luas dengan
fungsi ventrikel kiri yang lebih buruk mempunyai survival yang lebih lama
setelah operasi pintas koroner meskipun pasien asimptomatis. Pada pasien PJK
stabil tindakan intervensi koroner perkutan dilakukan hanya pada pasien dengan
adanya keluhan dan tanda-tanda iskemik akibat penyempitan pembuluh darah.
Pada penelitian awal dijumpai manfaat yang lebih kecil terhadap survival pasien
yang dilakukan IKP tanpa stent dibandingkan dengan operasi pintas koroner.
Tetapi dengan adanya stent dan stent bersalut obat dan tersedianya obat-obat
ajuvan, tindakan IKP ini menghasilkan manfaat yang lebih besar dibandingkan
operasi pintas koroner ( Hasan, 2007).
Faktor keberhasilan dan komplikasi IKP
Dalam tindakan IKP ini harus diketahui anatomi dari pembuluh darah yang
mengalami penyempitan. Sesuai dengan pengertiannya, tindakan IKP ini
dilakukan untuk melebarkan daerah yang menyempit pada pembuluh darah.
Selain itu, faktor anatomi ini mempengaruhi keberhasilan ataupun komplikasi
IKP. Klasifikasi baru membedakan penyempitan berdasarkan tingkat keparahan
yaitu mild, moderate dan severe. Perbedaan tingkatan ini dibedakan berdasarkan
ada tidaknya thrombus dan ada tidaknya oklusi (Grech, 2011).
Derajat penyempitan
Derajat penyempitan pembuluh darah coroner dapat dilihat secara visual oleh
operator yang berpengalaman atau dapat digunakan angiografi kuantitatif untuk
mendapatkan penilaian computer mengenai derajat keparahan (Gray dkk, 2005).
Penyempitan koroner dinterpretasikan bermakna jika persentasi stenosis ≥ 50 %
pada LMCA atau ≥ 75% pada arteri coroner lainnya. Sintha et al pada tahun 1997
dalam Gani Manurung tahun 2008 dikatakan bahwa derajat penyempitan dibagi
menjadi :
- Grade 0 : penyempitan < 25%
Hasil Pola angiografi pada pasien dengan trombolisis dalam aliran infark
miokard (TIMI) 3 menurut penelitian antara 2001 dan 2006, dengan 500 pasien
yang menjalani IKP primer untuk STEMI dengan 430 pasien, aliran TIMI pasca
intervensi 3 dapat dibentuk. Menunjukan Mortalitas di rumah sakit lebih rendah
(6,4% Vs 32,9%; P <0,0001), fraksi ejeksi ventrikel kiri lebih baik (51,3 Vs
44,2%; P <0,0001), dan terapi fibrinolitik pra-rumah sakit (6,3% Vs 14,3%; P =
0,015), syok kardiogenik (10,9% Vs 24,3%; P = 0,002) dan penggunaan pompa
balon intra-aorta lebih tidak mungkin (5,8% Vs. 11,4%;P = 0,045) dibandingkan
dengan pasien dengan aliran TIMI ≤ 2. Pada pasien dengan aliran TIMI pasca
intervensi ≤2 koroner anterior kiri arteri (LAD) secara signifikan lebih sering
dilihat sebagai pembuluh darahtarget (54,3% Vs. 44,6%; P = 0,039). Analisis
regresi menunjukkan bahwa prediktor yang menyebabkan pola aliran seperti itu
adalah diabetes (P = 0,013), pra-rumah sakit terapi fibrinolitik (P = 0,017), syok
kardiogenik (P = 0,002) dan 3-penyakit pembuluh (P = 0,003). Jika setelah 6
bulan, pasien yang tidak terpulihkan menjadi aliran TIMI yang normal akan
menjadi lebih buruk lagi menurut New York Heart Associationkelas (NYHA), dan
sering harus menjalani angiografi koroner berulang lagi. Aliran TIMI pasca
intervensi 2 sangat terkait dengan kondisi yang buruk selama dirawat di rumah
sakit dan setelah 6 bulan rawat inap.
Pada pasien yang menjalani PCI, tidak ada perbedaan signifikan antara
penggunaan drug eluting stent dan bare metal stent dalam hal angka kematian.
Namun tingkat revaskularisasi ulang lebih rendah pada kelompok drug eluting
stent. Stent drug-eluting (DES) dirancang untuk mengurangi proliferasi
neointimal dalam-stent, dan dengan demikian, meminimalkan in-stent restenosis
(ISR), yang merupakan Kerugian utama koroner perkutan intervensi dengan stent
bare-metal (BMS). DES telah merevolusi pengobatan koroner penyakit arteri
dengan mengurangi laju ISR.