Anda di halaman 1dari 21

Nama : Shavira Dwi Hidayani

NIM : 04011181520013
Kelas : BETA 2015

Learning Issue
1. Pneumonia
Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. sebagian besar oleh
mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi,
dll)
Etiologi
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengoatan. Spektrum mikroorganisme penyabab pada neonatus dan bayi kecil berbeda
dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus gurp B dan bakteri Gram negatif seperti E.colli, Pseudomonas sp, atau
Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh
infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. Dinegara maju, pneumonia pada anak terutama
disebabkan oleh virus, disamping bakteri, atau campuran bakteri virus. (tabel 1)
Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia
pada anak balita di negara berkembang. Faktor resiko tersebut adalah: pneumonia yang
terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah, tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat
ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri
patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap
rokok).

Epidemiologi
Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak
balita meningal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia
Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional 2001, 27% kematian bayi, 22,8% kematian
balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit respiratori, terutama pneumonia.
Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya
tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko
infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan
merusak permukaan epitel saluran napas.
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan : 1. Inokulasi langsung 2.
Penyebaran melalui pembuluh darah 3. Inhalasi bahan aerosol 4. Kolonisasi dipermukaan
mukosa.
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus
terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran
napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi
inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi
paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50
%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga
aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri
yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara
inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas
sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di
temukan jenis mikroorganisme yang sama.

Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh sehingga mikroorganisme
dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai
ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah
itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu :
1. Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini
terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot
polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan
dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan
penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi oleh
sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah dan pada
perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu
selama 48 jam.
3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di
seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit
di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke strukturnya semula.

Patofisiologi
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran
respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi
dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami
konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema dan ditemukannya
kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hapatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin
semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis
yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya jumlah makrofag
meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris
menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru
yang tidak terkena akan tetap normal.
Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit,
sehingga stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri
tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri
lain. Infeksi streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak
konsolidasi merata di seluruh lapang paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau
remaja dapat berupa konsolidasi pada saru lobus (pneumonia lobaris). Pneumatokel atau
abses-abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi
kecil, karena Staphylococcus aureus menghasilakan berbagai toksin dan enzim seperti
hemolisis, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan
nekrosis, pendarahan, dan kavitas. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan
menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi
eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman.
Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang
serius. Pneumatokel dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan
terapi lebih lanjut.
Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epideologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised pembagian ini penting untuk
memudahkan penatalaksanaan.
2. Berdasarkan bakteri penyebab :
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi :
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang
tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder
disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau
proses keganasan
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru.
Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.
Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
c. Pneumonia interstisia

Manifestasi klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga
sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yan gberat, mengancam
kehidupan, dan mungkinkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas
anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yag luas, gejala klinis yang kadang-
kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif,
etiologi non infeksi yang relatif lebih sering dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok
usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-
beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
 Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan napsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang
ditemukan gejala infeksi ekstrapulmuner
 Gejala gangguan respiratori untuk batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas
cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
Pada pemeriksaan dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas
melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia
lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak
ditemukan kelainan.
Pasien biasanya mengalami demam tinggi, batuk, gelisah, rewel, dan sesak nafas.
Pada bayi, gejalanya tidak khas, seringkali tanpa demam dan batuk. Anak besar kadang
mengeluh sakit kepala, nyeri abdomen disertai muntah.
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur
tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan
sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat
adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non
produktif/produktif), takipneu, dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada
kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif/produktif),
nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pada semua kelompok umur, akan dijumpai
adanya nafas cuping hidung.
Pada auskultasi, dapa terdengar suara pernapasan menurun. Fine creackles (ronki
basah halus) yang khas pada anak besar, bisa tidak ditemukan pada bayi. Gejala lain pada
anak besar adalah dull (redup) pada perkusi, vokal fremitus menurun, suara nafas menurun,
dan terdengar fine creakles (ronkhi basah halus) di daerah yang terkena. Iritasi pleura akan
mengakibatkan nyeri dada; bila berat gerakan dada menurun waktu inspirasi, anak berbaring
ke arah yang sakit dengan kaki fleksi. Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu dan perut.2

Diagnosis kerja
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400 C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang
kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa
lobus
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk
menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak diobati.
Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut
dapat terjadi asidosis respiratorik.

Diagnosis banding
1. Bronkiolitis
Gejala awal berupa gejala infeksi respiratori atas akibat virus, seperti pilek ringan,
batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak
napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi,
muntah setelah batuk, rewel, dan penurunan nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik pada anak
yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipnea, takikardi, dan peningkatan
suhu diatas 38,5 derajad celcius. Selain itu, dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan dan
faringitis. Obstruksi saluran respiratori bawah akibat respon inflamasi akut akan
menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang
dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan
retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru.
sianosis dapat terjadi dan bila gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi
berusia 6 minggu.
Pada rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat, tetapi gambaran
ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi.
Dapat pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada saat konvalesens akibat sekret
pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar dan peningkatan
diameter antero-posterior.
Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian
oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian
suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi.
Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti-inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral
seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline, atau
humanized RSV monoclonal antibody (palivizumab).4
2. Bronkitis
Bronkitis akut adalah proses inflamasi selintas yang mengenai trakea, bronkus utama
dan menengah yang bermanifestasi sebagai batuk, serta biasanya akan membaik tanpa terapi
dalam 2 minggu. Pemeriksaan auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal.
Seiring perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai macam ronki, suara
napas yang berat dan kasar, wheezing, ataupun suatu kombinasi. Hasil pemeriksaan
radiologis biasanya normal atau didapatkan peningkatan corakan bronkial. Pada umumnya,
gejala akan menghilang dalam 10-14 hari. Bila tanda-tanda klinis menetap hingga 2-3
minggu, perlu dicurigai adanya proses kronis. Selain itu, dapat juga terjadi infeksi bakteri
sekunder.

Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap.indikasi perawatan
terutama berdasarkan terat ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mu
makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lina, komplikasi dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan
kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-
basa, elektrolit dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik.
Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan
adekuat, kompilasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.
Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga
disebabkan oleh bakteri. Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan
karena tidak tersedianya uji mikroniologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih
berdasarkan pengalaman empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris didarkan pada
kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien
serta faktor epidemiologis(tabel 2).1
 Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotika lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat
diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Penelitian
multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada pneumonia rawat jalan, pemberian
amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali sehari mempunyai efektifitas yang sama. Dosis
amoksisilin yang diberikan 25mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB
TMP-20mg/kgBB sulfametoksazol). Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru
dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial
pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S.pneumoniae dan
bakteri atipik.
 Pneumonia rawat inap
Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan beta-laktam
atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta laktam dan
kolramfenikol dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau
sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotik
diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, meskipun
tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi antibiotik yang optimal.
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera
mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis,
antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta
laktam/klavulonat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan
sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari.
Pada balita dan anak lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik
beta-laktam/klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberika beta laktam/klavulanat
dikombinasikan dengna makrolid baru intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila
pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik
oral dan berobat jalan.
Pada pneumonia rawat inap, berbagai RS di Indonesia memberikan antibiotik beta
laktam, ampisilin, atau amoksisilin, dikombinasikan dengan kloramfenikol.
Tabel 2. Tatalksana pneumonia menurut etiologinya
Pathogen Rekomendasi terapi Terapi alternative
Streptococcus Seftriakson, sefoktaksim, Sefuroksimaxetil,
pneumonia penisilin G atau penisilin eritromisin, klindamisin, atau
V vaksomisin.
Streptococcus grup A Penisilin G Sefuroksimaxetil,
eritromisin, sefuroksim
Streptococcus grup B Penisilin G
Haemophilus influenza Seftriekson, sefotaksim, Sefuroksimaxetil,,sefuroksim
tipe B ampisilin-sulbaktam, atau
ampisilin
Bakteri aerob gram Sefotaksim dengan Piperacilin-tazobactam
negatif ataupun tanpa ditambah sediaan
aminoglikosida aminoglikosid
p. aeroginosa Seftazidim dengan Piperacillin-tazobactam
ataupun tanpa ditambah sediaan
aminoglikosida aminoglikosida
Staphylococcus aureus Nafsilin, sefazolin, Vankomisin (untuk MRSA)
klindamisin (untuk
MRSA)
Chel,ydophilis Eritromisin, azitromisin Doksisiklin (<9 tahun),
pneumonia atau klaritomisin florokuinolon (>18 tahun)
Chalmydia trachomatis Eritromisin, azitromisin,
atau klaritomisin
Herpes simplex virus asiklovir

Komplikasi
Jika anak tidak mengalami perbaikan setelah dua hari, atau kondisi anaksemakin
memburuk, lihat adanya komplikasi atau adanya diagnosis lain.Jika mungkin, lakukan foto
dada ulang untuk mencari komplikasi. Beberapakomplikasi yang sering terjadi adalah sebagai
berikut:
 Pneumonia Stafilokokus.
Curiga ke arah ini jika terdapat perburukanklinis secara cepat walaupun sudah diterapi,
yang ditandai dengan adanyapneumatokel atau pneumotoraks dengan efusi pleura pada
foto dada,ditemukannya kokus Gram positif yang banyak pada sediaan apusansputum.
Adanya infeksi kulit yang disertai pus/pustula mendukungdiagnosis.
Terapi dengan kloksasilin (50 mg/kg/BB IM atau IV setiap 6 jam) dangentamisin (7.5
mg/kgBB IM atau IV 1x sehari). Bila keadaan anakmengalami perbaikan, lanjutkan
kloksasilin oral 50mg/kgBB/hari 4 kalisehari selama 3 minggu.
Catatan: Kloksasilin dapat diganti dengan antibiotik anti-stafilokokal lainseperti oksasilin,
flukloksasilin, atau dikloksasilin.
 Empiematorasis.
Curiga ke arah ini apabila terdapat demam persisten, ditemukantanda klinis dan gambaran
foto dada yang mendukung.Bila masif terdapat tanda pendorongan organ
intratorakal.Pekak pada perkusi.Gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada
satu atau keduasisi dada.Jika terdapat empiema, demam menetap meskipun sedang diberi
antibiotikdan cairan pleura menjadi keruh atau purulen.
 Pericarditis purulenta
 Miokarditis (padaanakberusia 2-24 bulan)

Prognosis
Pada umumnya anak akan sembuh dari pneumonia dengan cepat dan sembuh
sempurna, walaupun kelainan radiologi dapat bertahan selama 6-8 minggu sebelum kembali
ke kondisi normal. Pada beberapa anak, pneumonia dapat berlangsung lebih lama dari 1
bulan atau dapat berulang. Pada kasus seperti ini keumgnkinan adanya penyakit lain yang
mendasari harus dinvestigasi lebih lanjut, seperti dengan uji tuberkulin, pemeriksaan
hidroklorida keringat untuk penyakit kistik fibrosis, pemeriksaan imunoglobulin serum dan
determinasi sub kelas IgG, bronkoskopi untuk identifikasi kelaianan anatomis atau mencari
benda asing, dan pemeriksaan barium meal untuk refluks gastroeusofageal.
2. Pemeriksaan spesifik
INSPEKSI
Pada inspeksi perlu diperhatikan beberapa hal:
- Pemeriksa harus tenang
Sikap pemeriksa yang tenang akan memberikan rasa nyaman pada penderita. Seorang
penderita yang gugup/gelisah akan bernapas lebih cepat dari biasanya.
- Penderita berbaring lurus, ke dua kaki diluruskan dan sejajar, kedua tangan diletakkan
lurus disamping badan
- Pemeriksa berdiri didepan penderita, diantara kedua kakinya. Posisi ini memung-
kinkan pemeriksa untuk melihat penderita secara simetris
Statis
Perhatikan secara cermat kedua sisi dada, apakah simetris atau tidak, adakah edema,
emfisema subkutan, retraksi, bendungan vena ataupun tonjolan/tumor
Perhatikan juga:
 Bentuk torak
- Normal
Torak dalam kondisi simetris kanan dan kiri. Pada potongan melintang berben-tuk
ellips, dengan jarak transversal lebih panjang dari jarak anteroposterior (7:5).
- Torak paralitikus
 Bentuk dada kecil, dengan diameter sagital/depan belakang yang pendek.
 Sela iga sempit.
 Angulus costae (sudut pertemuan arkus kosta kanan dan kiri) < 900
- Torak emfisematikus (Barrel Chest)
 Dada mengembang, diameter sagital dan anteroposterior membesar.
 Sela iga melebar
 Angulus costae > 900
 Kelainan bentuk
- Kifosis dan lordosis dari kolumna vertebralis.
- Pektus ekskavatio
Kelainan bawaan, dimana tulang sternum cekung ke dalam
- Pektus karinatus
Kelainan bawaan, dimana tulang sternum cembung ke depan seperti dada burung
(Pigeon Chest)
Dinamis
Perhatikan hal hal sebagai berikut:
 Frekuensi pernapasan
- Frekuensi pernapasan normal bervariasi antara 16 sampai 24 kali permenit.
- Frekuensi pernapasan yang kurang dari 16 x/menit disebut bradipneu, sebaliknya
frekuensi pernapasan yang lebih dari 24 x/menit disebut takhipneu.
 Sipat pernapasan
- Torakal (gerakan/pernapasan dada yang dominant), abdominal (gerakan/pernapa-san
abdomen yang dominat) atau torakoabdominal.
- Sifat pernapasan torakoabdominal dijumpai pada kondisi normal.
- Kondisi pernapasan abdominal yang dominant, dijumpai pada PPOK. Akibat
hambatan arus ekspirasi, dibutuhkan dorongan dari abdomen untuk mengeluarkan
CO2.
 Irama/ritme pernapasan
a. Normal
b. Kussmaul
- Ritme pernapasan yang cepat dan dalam.
- Dijumpai pada keadaan asidosis, baik metabolik asidosis (gagal ginjal, koma
diabetikum) ataupun respiratori asidosis (PPOK).
c. Cheyne stokes
- Ritme pernapasan dengan amplitudo yang berubah-ubah. Amplitudo mulanya kecil,
makin lama makin membesar, lalu surut dan menghilang (apnea), diulangi lagi dari
kecil dan seterusnya.
- Dijumpai pada gangguan saraf pusat seperti meningitis dan sklerotik.
d. BIOT
- Ritme pernapasan yang tidak teratur, diselingi priode apnea
- Dijumpai pada kerusakan otak/pusat pernapasan.
e. Pernapasan dangkal
- Dijumpai pada respiratori alkalosis, emfisema.
f. Asimetri pernapasan
- Pergerakan salah satu hemitorak, tertinggal dibanding hemitorak sebelahnya.
- Dapat dijumpai pada kondisi efusi pleura unilateral, pneumotorak ataupun skwarte
(penebalan pleura).

Perubahan posisi
 Perhatikan gejala yang timbul pada saat penderita merubah posisinya, apakah dari baring
keduduk, miring ke arah kiri atau miring ke arah kanan.
 Penderita dengan efusi pleura massif, lebih senang berbaring miring ke arah posisi yang
sakit, oleh karena bagian yang sehat posisinya akan berada di atas, sehingga
memungkinkan bagian dada/paru tersebut lebih mengembang.
 Penderita bronkiektasis akan batuk bila berubah posisi berbaringnya, dari terlentang
menjadi miring.
 Penderita pneumotorak lebih nyaman dalam posisi duduk.

PALPASI
Melalui perabaan dengan telapak tangan, dapat dirabakan kelainan pada dinding dada,
seperti: pembesaran kelenjar getah bening, kelainan iga, letak trakea, adanya nyeri tekan dan
suhu badan.
Tujuan utama palpasi paru adalah mendengar stem fremitus, yaitu getaran suara
napas yang dihantarkan ke tapak tangan pemeriksa.
 Cara
- Letakkan kedua telapak tangan (pemeriksa) ke dinding dada penderita.
- Penderita disuruh menyebut angka tujuh tujuh (77)
- Dengarkan getaran suara yang menyentuh ke telapak tangan (stem fremitus)
- Telapak tangan pemeriksa harus menyentuh seluruh lapangan paru. Untuk itu
letakkan telapak tangan pada bagian puncak paru (lobus superior), lalu geser ke
bagian tengah (lobus media) dan bagian bawah paru (lobus inferior)
 Tangan dapat pindah posisi, biar lebih pasti.
 Interpretasi: Stem fremitus normal, meningkat (TB) atau menurun (air)

PERKUSI
Perkusi paru adalah tindakan memukul dinding dada dengan memakai jari tangan.
Tindakan ini akan menggetarkan udara didalam paru (terutama yang berdekatan dengan
dinding dada) yang akan memberikan pantulan suara.
Perkusi dilakukan dengan meletakkan jari tengah tangan kiri pemeriksa pada dinding
dada penderita, sementara jari tengah tangan kanan melakukan totokan. Gerakan perkusi
menyusuri sela iga, dilakukan dari atas (infra clavicula) ke bawah (iga terakhir) dan dari
lateral ke medial.
Perhatikan intensitas bunyi pantulan yang ditimbulkan perkusi tersebut. Hasil perkusi
menggambarkan komposisi jaringan padat dan udara di dalam rongga dada/paru:
 Sonor
- Komposisi udara sama banyak dengan jaringan padat
- Kondisi normal yang didapatkan pada perkusi paru
 Hipersonor
- Komposisi udara lebih banyak dibanding jaringan padat
- Ditemukan pada emfisema paru dan pneumothorak
 Redup
- Komposisi jaringan padat lebih banyak dari udara
- Ditemukan pada efusi pleura, fibrosis paru, penebalan pleura (schwarte), tumor atau
adanya konsolidasi pada parenkim paru.
 Pekak
- Kondisi ekstrim dari redup, udara tidak ada sama sekali.
- Ditemukan pada tumor yang sangat luas.
Melalui perkusi, tidak semua proses dalam rongga toraks dapat ditemukan. Kelainan
minimal pada paru, seperti efusi pleura minimal, infiltrat/massa dengan ukuran < 2 cm tidak
menimbulkan kelainan pada perkusi.
Perkusi, dapat menentukan juga:
1. Batas jantung
- Pada keadaan normal, batas kiri jantung adalah di ICS V, linea midclavicularis sinistra,
sedangkan batas kanan adalah di linea sternalis dekstra.
- Batas jantung akan mengecil (bergeser ke medial) pada kondisi emfisema yang
moderat. Pada kondisi emfisema yang berat batas jantung akan sukar dinilai (oleh
karena terjadi peningkatan komposisi udara dibanding padat, sehingga kita tidak bisa
membedakan antara sonor dan redup).
- Batas jantung akan bergeser ke arah berlawanan pada kondisi efusi pleura yang banyak
dan pneumothorak. Efusi pleura kiri akan mendorong jantung kekanan, sehingga batas
jantung kanan akan bergeser ke arah lateral, sementara batas kiri akan sukar dinilai
karena suara menjadi redup, demikian pula sebaliknya.
2. Batas paru hati
- Perkusi yang sonor, berubah menjadi redup/pekak
- Normal ditemukan pada sela iga 5 kanan
- Batas akan berbeda pada waktu ekspirasi dan inspirasi. Pada waktu inspirasi, terjadi
peningkatan udara didalam paru. Keadaan ini akan mendorong diafragma dan hati
kebawah, akibatnya batas paru hati bergeser ke sela iga 6 kanan (bergeser 1 sela iga).
Kondisi ini disebut peranjakan.
- Batas paru hati akan bergeser ke bawah pada emfisema paru, sebaliknya akan bergeser
ke atas pada proses subdiafragma (kelainan pada abdomen, misalnya: tumor hati dan
asites).
- Batas paru hati menjadi sukar ditentukan pada efusi pleura
3. Batas paru lambung
- Perkusi yang sonor, berubah menjadi timpani
- Normal ditemukan pada sela iga 8, di linea aksilaris anterior.

AUSKULTASI
Auskultasi mempunyai peranan yang sangat penting untuk menentukan kelainan pada
paru. Prinsip auskultasi sama dengan palpasi, dimana getaran suara yang berasal dari
parenkim paru dihantarkan ke dinding stetoskop.
Auskultasi harus dilakukan secara sistematis, dimulai dari paru bagian atas, bergeser
ke bagian tengah dan bawah. Suara napas pokok harus didengarkan lebih dahulu, baru suara
napas (bising) tambahan. Pemeriksa harus melatih diri untuk ”memisahkan” bising bising
yang didengar.
Analisis Masalah
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan keadaan spesifik ?
Hasil Pemeriksaaan Normal Interpretasi
Napas cuping hidung (+) Napas cuping hidung (-) Abnormal, Kompensasi dari
tubuh untuk membantu proses
pernafasan
Inspeksi:
Simetris, retraksi intercostal, Simetris, tidak ada retraksi Menandakan penggunaan
subcostal otot-otot pernafasan
tambahan. Kompensasi dari
tubuh untuk membantu proses
pernafasan
Palpasi:
Stem fremitus kanan = kiri Stem fremitus kanan = kiri Adanya peningkatan getaran
Tidak meninngkat pada dinding dada kiri dan
kanan
Perkusi:
Redup pada basal kedua Sonor Abnormal, ada infeksi yang
lapangan paru menyebakan penumpukan
infiltrate/eksudat.
Auskultasi:
 Peningkatan suara  Tidak meningkat  Adanya kerusakan
napas vesikular bronkus, bronkiolus,
alveolus yang cukup
luas
 Ronki basah halus  (-)  Adanya aliran uudara
nyaring yang melewati cairan
 eksudat/infiltrate
pada bronkiolus
 Wheezing (-)  Wheezing (-)  Normal

b. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan keadaan spesifik ?


- Napas cuping hidung
Inhalasi patogen ke saluran nafas Respon inflamasi di alveolus  Hiperemia 
Pelepasan mediator peradangan (histamin dan prostaglandin) + Degranulasi sel mast
mengaktifkan jalur komplemen  Komplemen + histamin dan prostaglandin  otot
polos vaskuler paru lemas  Permeabilitas kapiler paru ↑  perpindahan eksudat
plasma ke dalam ruang interstisium  pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus  jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida ↑ 
gangguan ventilasi  peningkatan usaha bernafas  Nafas cuping hidung
- Retraksi interkostal dan supraklavikula
Tubuh menggunakan otot-otot bantu nafas, antara lain antara muskulus skalenus,
sternokleidomastoideus, pectoralis major dll yang berfungsi untuk mengangkat
rongga toraks supaya bisa lebih mekar, dan bisa memasukkan udara lebih banyak.
Namun, karena rongga toraks mempunyai tekanan yang sedemikian negatifnya, ada
bagian yang “tertinggal” karena tertarik ke dalam di saat rongga toraks diangkat.
Yang diangkat itu kan tulangnya, nah kulit dan otot yang nggak ikut keangkat
karena ketarik ke dalam itulah yang menyebabkan retraksi dinding dada.
- Stem fremitus yang meningkat
Baik pada satu sisi ataupun pada kedua sisi. Stem fremitus yang meningkat ini
disebabkan oleh kuatnya getaran udara yang dihantarkan dari dalam toraks ke
dinding dada. Kuatnya getaran udara yang sampai ke dinding dada ini akibat udara
yang mengalir kencang ke dalam saluran nafas (disebabkan oleh adanya usaha
bernafas yang lebih kuat) menghantam cairan / eksudat yang sudah ada, sehingga
riak-riak atau gelombang air hasil tamparan udara tersebut menyebabkan getaran
kuat yang dihantarkan ke dinding dada.
- Suara redup
Bakteri memasuki paru-paru ketika droplet yang berada di udara terhirup pada waktu
bernafas. Ketika bakteri mencapai alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan
tubuh akan dikerahkan. Leukosit PMN dengan aktivitas fagositosisnya akan direkrut
dengan perantaraan sitokin sehingga akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan
mengakibatkan terjadinya kongesti vaskular dan edema. Terjadi penumpukkan cairan
edematus yang terdiri dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel leukosit PMN) dan
bakteri di alveoli. Area dimana terdapat cairan edema inilah yang menimbulkan suara
redup pada pemeriksaan perkusi paru.
- Peningkatan suara nafas vesicular
Aliran udara yang semakin kencang dan bunyi udara yang menampar eksudat akan
menyebabkan peningkatan suara nafas vesicular. Mengapa suara nafas vesicular?
Karena suara nafas vesicular ditemukan pada jalan nafas yang lebih kecil, yaitu
alveoli, dan yang terisi eksudat di sini adalah sebagian alveoli, tidak seluruhnya,
sehingga suara nafas vesicular masih dapat ditemukan. Berbeda dengan lobar
pneumonia, di mana suara nafas yang mengeras adalah suara nafas bronchial, oleh
karena semua alveoli di satu lobus sudah “rusak”, sehingga sama sekali tidak ada
aliran udara yang menuju alveoli, dan menghilangnya suara nafas vesicular.
- Ronkhi basah halus nyaring
Ronkhi menunjukkan adanya suara nafas tambahan. Basah menunjukkan adanya
cairan pada jalan nafas. Halus menunjukkan cairan tersebut berada di saluran nafas
yang kecil. Nyaring menunjukkan cairan tersebut berupa infiltrate (jika tidak
nyaring, berupa cairan edema / transudat ).

c. Apa saja pemeriksaan lain yang dibutuhkan pada kasus ini ?


1. Chest X-Ray
Tidak dianjurkan untuk dilakukan secara rutin. Hanya direkomendasikan pada
pasien yang akan dirawat inap.
2. Pemeriksaan darah rutin
3. Pemeriksaan mikrobiologis (kultur darah atau sputum. Kultur darah lebih
spesifik namun tidak sensitif). Kultur boleh dilakukan pada pasien yang gagal
menunjukkan perbaikan setelah diterapi dengan antibiotic.
4. Analisis gas darah
5. Uji serologis. Perlu dilakukan jika dicurigai etiologi dari pneumonia adalah
Mycoplasma.

d. Apa hubungan ada tidaknya riwayat atopi dengan penyakit yang diderita ?
Atopi merupakan predisposisi genetik menuju perkembangan reaksi hipersensitivitas
cepat terhadap antigen lingkungan umum (alergi atopik). Tidak adanya riwayat atopi
menyingkirkan kemungkinan pasien menderita alergi atau asma.

e. Apa saja jenis-jenis suara nafas pokok dan tambahan pada anak ?
Suara napas pokok :
Suara napas normal dihasilkan dari getaran udara ketika melalui jalan nafas dari laring
ke alveoli, dengan sifat bersih.
1. Bronchial : sering juga disebut dengan “Tubular sound” karena suara ini dihasilkan oleh
udara yang melalui suatu tube (pipa), suaranya terdengar keras, nyaring, dengan
hembusan yang lembut. Fase ekspirasinya lebih panjang daripada inspirasi, dan tidak ada
henti diantara kedua fase tersebut. Normal terdengar di atas trachea atau daerah
suprasternal notch.
2. Bronchovesikular : merupakan gabungan dari suara nafas bronchial dan vesikular.
Suaranya terdengar nyaring dan dengan intensitas yang sedang. Inspirasi sama panjang
dengan ekspirasi. Suara ini terdengar di daerah thoraks dimana bronchi tertutup oleh
dinding dada.
3. Vesikular : terdengar lembut, halus, seperti angin sepoi-sepoi. Inspirasi lebih panjang dari
ekspirasi, ekspirasi terdengar seperti tiupan.

Suara napas tambahan :


1. Stridor, yaitu suara yang terdengar kontinu (tidak terputus-putus), bernada tinggi yang
terjadi baik pada saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi, dapat terdengar tanpa
menggunakan stetoskop, bunuinya ditemukan pada lokasi saluran napas atas (laring) atau
trakea, disebabkan karena adanya penyempitan pada saluran napas tersebut. Pada orang
dewasa, keadaab ini mengarahkan kepada dugaan adanya edema laring, kelumpuhan pita
suara, tumor laring, stenosis laring yang biasanya disebabkan oleh tindakan trakeostomi
atau dapat juga akibat pipa endotrakeal.
2. Ronkhi basah, yaitu suara yang terdengar kontinu. Ronkhi adalah suara napas tambahan
bernada rendah sehingga bersifat sonor, terdengar tidak mengenakkan (raspy), terjadi
pada saluran napas besar seperti trakea bagian bawah dan bronkus utama. Disebabkan
karena udara melewati penyempitan, dapat terjadi pada inspirasi maupun ekspirasi.
3. Suara mengi (wheezing), yaitu suara yang terdengar kontinu, nasanya lebih tinggi
dibandingkan suara napas lainnya, sifat musikal, disebabkan karena adanya penyempitan
saluran napas kecil (bronkus perifer dan bronkiolus). Karena udara melewati suatu
penyempitan, mengi dapat terjadi, baik pada saat inspirasi maupun saat ekspirasi.
Penyempitan jalan napas dapat disebabkan oleh sekresi berlebihan, konstriksi otot polos,
edema mukosa, tumor, maupun benda asing.
4. Ronkhi kering (rales atau crackles) yang terdengar diskontinu (terputus-putus),
ditimbulkan karena adanya cairan di dalam saluran napas dan kolapsnya saluran udara
bagian distal dan alveoli. Ada tifa macam ronkhi kering: halus (fine rales), sedang
(medium rales), dan kasar (coarse rales).
5. Bising gesek pleura (pleural friction rubs). Bising gesek pleura dihasilkan oleh bunyi
gesekan permukaan antara pleura perietalis dan pleura viseralis. Bunyi gesekan terjadi
karena kedua permhkaan pleura kasar. Permukaan pleura yang kasar biasanya disebabkan
oleg eksudat fibrin. Suara gesekan terdengar keras pada akhir inspirasi walaupun
sebeneranya bising gesek terdengar selama inspirasi maupun ekspirasi. Bising gesek
pleura terdenga pada saat bernapas dalm. Gesekan lebih sering terdengar pada dinding
dada lateral bawah dan anterior. Gesekan yang kuat juga dapat diradajan pada saat
palpasi, dan terasa sebagai vibrasi.

f. Apa saja kemungkinan penyakit dari hasil pemeriksaan fisik ?

Daftar Pustaka

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 1973-2003. Pneumonia Komuniti Pedoman Diagnosis


dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Djojodibroto, Darmanto. 2012. Respirology (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai