Anda di halaman 1dari 12

PENGARUH POLITIK AGRARIA TERHADAP PERUBAHAN POLA PENGUASAAN

TANAH DAN STRUKTUR PEDESAAN DI INDONESIA


Syahyuti1

ABSTRACT

Land ownership and control have been major issues in land reform policies in Indonesia over the life of
several govemments. Land has been a political tool for those in power. From a historical point of view, from the pre-
colonial period until the New Order era (Orde Baru), control of the land by the government has always put farmers
into a position of sub ordinance and dependence. This happened because the government has the control rights
over the land, while the farmers have user rights only. The social structure in rural areas has changed to follow
changes in the land ownership pattern, because for an agrarian community, land is the main livelihood resource.

Key words: agrarian, land tenure, rural socio-structure.

ABSTRAK

Aspek penguasaan tanah di Indonesia adalah bagian utama politik agraria dari satu masa ke masa
pemerintahan, dimana tanah selalu dijadikan alat politik bagi pihak penguasa. Dan tinjauan historis terlihat bahwa
mulai dari zaman kerajaan sampai dengan Orde Baru, penguasaan sumber daya tanah oleh pemerintah telah
menjadikan petani selalu berada posisi subordinat dan tergantung. Hal ini disebabkan karena pemerintahan
memegang hak penguasaan tanah, sedangkan petani menjadi penggarap. Petani belum diberi hak penguasaan
yang secukupnya agar dapat menjadi pengelola penuh dalam usahataninya. Struktur sosial masyarakat pedesaan
juga berubah mengikuti perubahan pola penguasaan tanah tersebut, karena bagi komunitas agraris tanah adalah
sumber daya utama kehidupannya.

Kata kunci: agraria, penguasaan tanah, stn./Nur sosial pedesaan.

tahap masyarakat industri. Sementara itu, kehi-


PENDAHULUAN
dupan masyarakat pedesaan juga dihadapkan
kepada berbagai persoalan-persoalan sosial,
diantaranya kemiskinan, ketimpangan pendapa-
Meskipun tanah adalah sumber daya uta-
tan, pengangguran, dan konflik agraria, disam-
ma dalam masyarakat agraris, namun nilai
ping persoalan-persoalan sosio budaya lainnya.
tanah bagi mereka jauh lebih luas yang men-
cakup sebagai faktor ekonomi, sosial, bahkan Berdasarkan perrnasalahan itu, melalui
religius. Menurut kaca mata ekonomi tanah ada- tulisan ini ingin diperiihatkan, bahwa dinamika
lah salah satu sumber agraria yang paling persoalan agraria telah memainkan peranan
penting di samping sumber daya lain, misalnya yang esensial dalam perubahan sosial ekonomi
modal dan tenaga kerja (keterampilan). Oleh masyarakat pedesaan di Indonesia selama ini.
karena itu, dapat diperidrakan, bahwa struktur Tulisan ini bertujuan ingin menunjukkan (atau
masyarakat pedesaan sangat terkait dengan berteon), bahwa berbagai perubahan sosial di
struktur agraria yang berlaku, khususnya dalam pedesaan Indonesia tidak terlepas dad per-
hal penguasaan dan pengusahaan tanah. soalan agraria. Lebih jauh dari itu, sesungguh-
nya tanahlah yang menjadi penyebab peruba-
Sampai saat ini, pembangunan sektor
han, membentuk perubahan, dan membatasi
pertanian dan kehidupan masyarakat pedesaan sejauh apa perubahan dapat terjadi di tengah
belum mencapai seperti apa yang diinginkan. masyarakat. Persoalan sektor pertanian dan
Dan sudut pandang ilmu ekonomi, dapat dikata- pedesaan sampai saat ini yang tidak mencapai
kan bahwa struktur pertanian kita masih goyah, bentuknya yang diinginkan, yaitu perkembangan
sehingga belum mampu menjadi penopang
yang tidak permanen dan kokoh sebagai
untuk melangkah ke tahap selanjutnya yaitu ke penopang sosial ekonomi masyarakat, adalah

Asisten Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

PENGARUH POLITIK AGRARIA TERHADAP PERUBAHAN POLA PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR PEDESAAN DI
INDONESIA Syahyuti

21
karena belurn konstruktifnya penataan tanah Intervensi pemerintah kolonial dalam masalah
(landreform) di Indonesia. Jika kedua hipotesis pertanahan secara praktis baru mulai dirasakan
ini dapat dibuktikan, implikasinya adalah, bahwa di zaman Raffles yaitu mulai tahun 1811.
jika kita ingin melakukan perubahan mendasar
terhadap pertanian dan struktur pedesaan yang Dalam Schrieke (1955) dijelaskan, ketika
kuat, maka itu mestilah berasal dad bangun kedatangan Barat ke Indonesia pertama kali,
struktur agraria yang kuat pula. wilayah Indonesia didominasi pertanian dengan
adanya variasi peforma antar daerah. Ada dua
Tulisan ini merupakan review dart berba- bentuk utama pertanian pada saat itu, yaitu
gai bahan tentang persoalan sosial ekonomi di sawah dan ladang, yang secara kasar sering
pedesaan, terutama yang terkait erat dengan merepresentasikan perbedaan ekologi Jawa
aspek agraria. Disadari bahwa karena sebagian dan luar Jawa (Iihat juga Geertz, 1976).
besar tulisan yang diacu menulis tentang Jawa,
maka perubahan yang digambarkan dalam Areal sawah beririgasi menjadi sumber
tulisan ini Iebih mewakili kondisi di pulau Jawa konsentrasi penduduk, dimana usaha pertanian
daripada bagian lain Indonesia yang sesung- dilakukan secara intensif. Namun ini tidak berarti
guhnya memiliki dinamika sendiri yang kom- bahwa kehidupan saat itu dapat dikatakan
pleks dan khas. harmonis. Schrieke (1955) menyatakan bahwa
insentif bagi petani untuk meningkatkan produk-
Pada bagian awal disampaikan uraian si tidak ada, karena surplus produksi hanyalah
historis dart berbagai kasus, bagaimana peru- untuk keluarga raja dan birokrasi di keraton. Hal
bahan sosial yang terjadi di pedesaan. Peruba- ini terjadi karena wilayah sawah beririgasi diban-
han tersebut diterangkan melalui perubahan tu kerajaan untuk konstruksi dan pemeliharaan
struktur agraria. Selanjutnya, pada bagman akhir, saluran irigasi dan jalannya, menjamin keaman-
disampaikan bagaimana periunya diperhatikan an, serta penyediaan bangunan lumbung padi.
permasalahan agraria dalam merancang peru- Artinya, kehidupan petani berada di dalam
bahan sosial berencana atau pembangunan tekanan pihak kerajaan, karena investasi pihak
pedesaan, dimana agraria menjadi aspek utama kerajaan yang besar dalam produksi pertanian
dalam perubahan sosial pedesaan yang sawah tersebut. Menurut Wertheim (1956),
konstruktif. sampai dengan tahun 1800, belum ada peru-
bahan yang mendasar dalam pertanian di
Indonesia, karena pengaruh Barat juga tidak
TINJAUAN HISTORIS PERUBAHAN progresif.
AGRARIA DAN STRUKTUR SOSIAL
EKONOMI PEDESAAN DI INDONESIA Lalu, bagaimanakah struktur masyarakat
pedesaan saat itu? Sebagian besar ahli ber-
pendapat bahwa struktur masyarakat saat itu
Iebih egaliter, baik secara ekonomi maupun
Pada bagian berikut dipaparkan kondisi
sosial. Pendapat ini tidak disetujui oleh Husken
dan perubahan-perubahan masyarakat pedesa-
dan White (1989), karena menurutnya masya-
an khususnya performa sosial ekonominya
rakat Jawa sudah sejak lama secara historis
dikaitkan dengan struktur agraria yaitu pola
terbagi dalam kelas-kelas agraris yang dibeda-
penguasaan dan pengusahaan tanahnya.
kan atas perbedaan penguasaan tanah, dan
komersialisasipun telah lama ada dalam masya-
rakat Jawa. Artinya, kondisi masyarakat desa
Masa Feodalisme
era pra-kolonial yang sangat egaliter dan penuh
Indonesia sebelum kedatangan bangsa dengan keintiman sosial tersebut adalah tidak
Barat sering disebut dengan masa pra-kapitalis, benar.
pra-kolonial, atau zaman feodal. Keterangan
Husken dan White (1989) menolak ang-
dalam bagian ini, akan mencakup kondisi sebe-
gapan bahwa Jawa yang tidak terdiferensiasi,
lum era kolonial tersebut, termasuk juga pada
egaliter, dan stagnan yang mendominasi pikiran
awal kolonial ketika keterlibatan pemerintah
peneliti dan pemerintah kolonial. Misalnya
kolonial terhadap masalah pertanahan belum
Raffles yang menganggap tidak adanya nilai-
terasa, karena saat itu mereka Iebih berkon-
nilai komersial pada masyarakat desa, Iemah-
sentrasi sebagai pedagang rempah-rempah.
nya rangsangan untuk investasi di pertanian,

FAE. Volume 19 No. 1 Juli 2001 : 21 - 32

22
dan ekonomi yang merata. Pemilikan tanah (2) Masyarakat tani (sikep) sebagai bagian inti
komunal dianggap tidak kondusif untuk pertum- masyarakat. Secara kuantitas jumlah mere-
buhan, sehingga mereka pesimis terhadap ka paling besar dibanding yang lain.
pemilikan yang sempit-sempit dan relatif sera-
gam. Perlu kehati-hatian dalam mengapresiasi (3) Para wuwungan (=penumpang) yang hidup
pandangan ahli-ahli Belanda, karena objektivi- sebagai buruh tani, dan membangun rumah
tasnya sebagai ilmuwan bercampur aduk de- di pekarangan sikep karena tidak punya
ngan motivasi politiknya. tanah sendiri. Mereka adalah petani tuna-
kisma.
Pada masa abad 18 dan awal 19, secara
(4) Para bujang, yaitu mereka yang belum
umum di Jawa dikenal 3 kelas penguasaan
tanah, yaitu: berkeluarga.

(1) Kelompok petani tuna-kisma yang kadang- Di bawah sistem feodalisme, alat produksi
kala berlindung pada keluarga-keluarga seperti tanah adalah milik raja dan bangsawan,
petani yang memiliki tanah, namun juga bahkan rakyatpun menjadi milik raja yang dapat
sering merupakan kelompok tenaga kerja dikerahkan tenaganya untuk kepentingan
musiman yang tidak terikat dan cukup penguasa (Fauzi, 1999). Rakyat yang meng-
mobil. Secara kuantitas jumlah petani tuna- garap hanya punya hak menggunakan. Petani
kisma ini cukup besar dan menjadi kelom- diharuskan menyerahkan separoh hasil buminya
pok inti kegiatan pertanian. sebagai upeti, berupa buah-buahan, padi,
barang-barang mentah atau sudah jadi, serta
(2) Kelompok mayoritas petani (sikep atau kuli) kayu-kayu gelondongan. Dengan posisinya
yang memiliki hak atas tanah, dan untuk sebagai penggarap, maka kehidupan petani
hak tersebut berkewajiban membayar pajak hanya mampu memenuhi kebutuhan dasamya
dan upeti yang besar kepada pihak kera- saja. Akibat dari sistem ini, maka ketimpangan
jaan. antara kehidupan petani dan raja beserta kaum
bangsawan sangat besar.
(3) Kelas pamong desa yang selain menguasai
tanah pribadi, juga berhak menguasai Tentang hal ini, VViradi (2000) berpen-
sejumlah besar tanah desa sebagai upah dapat bahwa pada masa itu konsep kepemilikan
mereka dalam mengatur pemerintahan menurut konsep Barat (property, atau
(lungguh dan tanah bengkok), ditambah lagi eigendom) memang tidak dikenal, bahkan juga
hak mempekerjakan sikep atau kuli untuk bagi penguasa. Karena itu tanah-tanah tersebut
menggarap tanah mereka tersebut tanpa bukannya dimiliki pejabat-pejabat atau pengua-
membayar upah. sa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam
artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas
Dengan komposisi seperti ini, artinya
tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan
pada masa itu pola hubungan majikan-buruh
kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka
dan tenaga kerja upahan sudah dijumpai,
pertahankan. Secara teoritis mereka punya hak
sebagaimana dikatakan Husken dan White di
untuk menguasai, menggunakan, ataupun
atas. Selain itu, penelitian Breman (1986) di
menjual hasil-hasil buminya sesuai dengan adat
Wilayah Cirebon juga menemukan struktur yang
yang berlaku.
hampir serupa, yang semakin memperkuat tesis
stratifikasi sosial. Menurut Breman, ada empat Tentang pola penguasaan tanah pada
lapisan dalam masyarakat desa, yaitu: masa itu, ada perdebatan, apakah pemilikan
tanah berbentuk hak komunal atau individual.
(1) Penguasa desa dan orang-orang penting
Namun menurut van de Kroef (1984), terdapat
lokal yang tidak pernah menggarap tanah
beragam bentuk penguasaan antar daerah di
secara langsung namun mendapat hak
Jawa, dimana penguasaan individual dan juga
apanage atau lungguh dari raja. Mereka
kolektif ada pada satu daerah secara bersama-
berada pada lapisan paling atas dan
an. Pola penguasaan tanah cenderung berada
dihormati oleh warga lain. Biasanya mereka
di antara dua kutub yang berlawanan, yaitu
adalah dari keluarga pembuka wilayah
pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat,
tersebut pertama kali, atau dad keluarga
dan pemilikan perorangan dengan beberapa
kerajaan.
hak istimewa komunal.

PENGARUH POLITIK AGRARIA TERHADAP PERUBAHAN POLA PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR PEDESAAN DI
INDONESIA Syahyuti

23
Bentuk tradisional yang paling umum Masa Pemerintahan Kolonial
adalah hak penguasaan secara komunal semua
Secara umum, meskipun pemerintahan
tanah, baik yang dapat ditanami maupun
kolonial menerapkan politik agraria yang ber-
sebagai cadangan, yang seluruhnya berada di
beda, namun pengaruhnya bagi masyarakat tani
bawah pengawasan desa, dimana petani peng-
garap menerima tanah desa atas kesepakatan secara prinsip relatif sama. Dalam kenyataan-
nya, pemerintah kolonial bekerjasama dengan
bersama para anggota masyarakat desa. Hal ini
golongan elit feodal sebelumnya. Dengan demi-
sama kondisinya dengan pengaturan peng-
kian, meskipun struktur penguasa di tingkat atas
gunaan pemakaian tanah adat oleh dewan
doumtuatua di Bima (dalam Brewer, 1985). berubah, namun masyarakat pedesaan lebih
banyak berhadapan langsung dengan golongan
Di samping itu, juga ada tanah "indivi- feodal yang sebelumnya juga, yaitu para bupati
dual", yaitu sebidang tanah yang dapat dikuasai dan pembantu-pembantunya, dengan pola kerja
selama-lamanya oleh satu keluarga, dapat yang sama. Hal ini karena pemerintah kolonial
melimpahkan ke ahli warisnya, walau penga- Belanda menggunakan para bupati dalam jalur
lihan ke luar desa tidak diperbolehkan. Pola pemerintahannya.
penguasaan tanah di Jawa sangat beragam
Bagi yang berpendapat bahwa sebelum-
antar daerah, bahkan ada daerah yang hampir
tidak mengenal prinsip penguasaan komunal nya tidak ada tanah komunal di Jawa, maka
Belandalah yang dianggap mengkomunalkan
kecuali untuk sedikit tanah khusus, misal di
tanah pedesaan untuk memudahkan pajak dan
Probolinggo, Pasuruan, dan Besuki di Jawa
wajib ketja. Hal ini dimulai dengan usaha Raffles
Timur (van de Kroef, 1984). Secara umum
untuk memudahkan penarikan pajak tanah,
dikenal, bahwa tanah komunal banyak di pesisir
Utara Jawa, sedangkan tanah private banyak di dimana lembaga desa dijadikan alat penarikan
pajak. Dengan yuridikasi tersebut, dimana
Wilayah Jawa Barat pedalaman, Jawa Tengah
seluruh tanah dianggap sebagai tanah desa,
Selatan, dan Jawa Timur.
maka pihak kolonial cukup berhubungan dengan
Perdebatan tentang apakah pemilikan penguasa desa, sebagai penanggung jawab
komunal atau individual tersebut, sebagiannya wilayah.
disebabkan karena perbedaan persepsi di
Mulai dari tahap ini terlihat bagaimana
antara pengamat saja, karena ada tanah-tanah
"penguasaan" atau aspek hukum tanah menjadi
komunal yang dapat diwariskan sehingga
mekanisme yang utama dalam menjalankan
terlihat sebagai tanah individual. Ada tanah
program-program pemerintahan kolonial. De-
komunal yang diredistribusikan berkala, namun
ngan "mengkomunalkan" tanah maka pemerin-
juga ada yang non-redistribusi. Namun yang
tah dapat secara efisien dalam menarik pajak
pasti, di luar masalah perdebatan penguasaan
tanah berupa natura dari penduduk.
tanah tersebut, sudah ada stratifikasi luas dan
hak penguasaan tanah di antara sesama warga Selanjutnya, pada era sistem tanam pak-
desa. sa gubemur Van den Bosch yang terjadi
sepanjang 1830-1870, petani diwajibkan mena-
Dan uraian di atas teriihat, karena hak
nam tanaman ekspor yang dijual dengan harga
penguasaan tanah ada pada kerajaan, sehingga
yang telah ditetapkan atau menurut remisi pajak
petani hanyalah berstatus sebagai penggarap,
penyewaan tanah kepada pemerintah kolonial.
maka perolehan bagi petani sangat terbatas.
Tanam paksa ini pada dasamya merupakan
Akibatnya, seperti yang dilihat banyak ahli,
penyatuan antara sistem penyerahan wajib dan
komersialisasi pedesaan tidak berjalan, dan
sistem pajak tanah, dimana pajak dibayar dalam
investasi pertanian mandeg. Penguasaan tanah
bentuk natura, bukan uang.
oleh kerajaan, menjadi alat politik pihak keraja-
an, agar dapat mengontrol seluruh warga dan Sistem tanam paksa ini temyata mampu
terutama pembantu-pembantunya di level desa. memberi keuntungan kepada negara penjajah.
Kepatuhan dari pembantu di tingkat desa Produksi tanaman ekspor meningkat, terutama
terbentuk melalui pemberian tanah lungguh kopi dan gula. Namun, program tanam paksa
kepada mereka yang sewaktu-waktu dapat di- telah menjadi faktor penting yang bertanggung-
cabut oleh pihak kerajaan. jawab terhadap keterbelakangan dan kemiskin-
an di Indonesia. Dengan tanam paksa terjadi

FAE. Volume 19 No. 1 Juli 2001 : 21 - 32

24
pengalihan surplus ekonomi dari Indonesia ke kan untuk tujuan ekspor dengan mengundang
Belanda serta memperbanyak kaum "proletariat swasta-swasta besar dari Belanda.
desa" (Sritua Arief dan Adi Sasono dalam
Suwarsono dan So, 1991). Uraian ini menunjukkan bagaimana pe-
merintah kolonial telah memilih pola pengua-
Apa yang terjadi selama masa penjajahan saan atas tanah, disewa atau dengan pajak,
adalah dominasi dan eksploitasi sumber kekaya- sebagai instrumen yang penting dalam memaju-
an tanah jajahan untuk kepentingan penjajah kan pertanian, meskipun ini bersifat sepihak yai-
(Fauzi, 1999). Pemerasaan tersebut berupa tu untuk kepentingan dirinya saja. Politik agraria
tenaga dan hasil produksinya. Sesungguhnya ini Belanda memberikan dampak yang hampir
hanyalah meneruskan pola zaman kerajaan, serupa bagi petani dibandingkan dengan politik
dimana penjajah bekerjasama dengan kaum agraria kerajaan, karena meskipun pada tingkat
bangsawan. Para bupati dan raja berhak memu- atas kerajaan digantikan oleh Belanda, namun
ngut hasil-hasil pertanian untuk diserahkan struktur masyarakat pada tingkat bawah (desa)
kepada kolonial, sehingga akibatnya, eksploitasi masih tetap sama. Petani tetaplah seorang
kepada petani semakin intensif. penggarap dengan kewajiban menyerahkan
sebagian hasilnya kepada pihak penguasa.
Bersamaan dengan munculnya iklim poli-
tik yang bercorak liberalisme di Belanda, pihak Secara ringkas dapat diutarakan, seba-
swasta di sana menuntut diberi kesempatan gaimana dikatakan Husken (1998), dalam
untuk membuka perkebunan di Indonesia. Untuk penelitian di Jawa Tengah, bahwa struktur yang
itu pemerintah Belanda merasa perlu mange- terjadi adalah "kerbau besar selalu menang"
luarkan Undang-Undang Agraria tahun 1870 (kebo gedhe menang berike). Pemilik tanah
(Agrarische Wet). Undang-Undang ini memberi yang jumlahnya sedikit namun menguasai tanah
kesempatan kepada penyewaan jangka panjang sangat luas dan berkuasa mengatur proses
tanah-tanah untuk perkebunan. Peraturan ini produksi. Mereka memiliki akses kuat ke dunia
menjadi dasar peraturan agraria di Indonesia, politik, dan di antara mereka semua sating
namun bersifat dualistis, karena bagi orang berhubungan keluarga. Mereka praktis mengua-
asing berlaku hukum Barat, dan bagi rakyat sai tanah sawah dan pengatur tenaga kerja,
Indonesia beriaku hukum adat. Di sini dimung- sementara para petani sesungguhnya, yang
kinkan untuk memiliki secara mutlak (hak mengolah tanah, memelihara tanaman, mt.nga-
eigendom) termasuk hak untuk menyewakan- tur air, dan memanennya, hanyalah pengikut
nya ke pihak lain. yang powerless. Sebagai pengikut (termasuk
unman perpolitikan) mereka harus ikut, sebab
Tujuan UU ini adalah untuk memberikan
jika melawan maka pengikutnya juga yang akan
kesempatan luas bagi modal swasta asing yang
menderita.
memang berhasil secara gemilang. Tetapi tuju-
an lainnya, yaitu melindungi dan memperkuat
hak atas tanah bagi bangsa Indonesia asli
Masa Kemerdekaan (Orde Lama dan Orde
temyata jauh dari harapan (Wiradi, 2000).
Baru)
Apalagi ditambah sikap para raja dan sultan baik
di Jawa maupun di Luar Jawa yang tergiur untuk Masa Orde Lama ditandai dengan kela-
memberikan konsesi kepada para penguasa hiran Undang-Undang Pokok Agraria No. 5
swasta asing. tahun 1960. Dalam proses pembuatan produk
hukum ini terlihat bahwa pemerintah memberi
Pemerintah juga melakukan kebijakan
perhatian serius terhadap pentingnya perma-
sistem sewa tanah kepada petani, meskipun
salahan agraria sebagai landasan pokok dalam
kurang berhasil (Fauzi, 1999). Kebijakan ini
pembangunan pertanian dan pedesaan (Wiradi,
dilandasi asumsi, bahwa tanah adalah milik
2000). Namun sebagai aturan pokok, secara
Belanda. Sistem sewa ini diterapkan dengan
yuridis peraturan ini masih memiliki kelemahan.
harapan akan dapat memberikan kebebasan
Meskipun di dalamnya sudah terjadi proses
dan kepastian hukum serta merangsang untuk
pemodeman, dengan menggabungkan dualis-
menanam tanaman dagang kepada petani.
me hukum sebelumnya, yaitu hukum Belanda
Selain itu juga diharapkan kebijakan ini dapat
dan hukum adat; namun masih banyak keten-
menjaga kelestarian pendapatan pemerintah.
tuan-ketentuannya yang belum aplikatif.
Pada tahap selanjutnya, sistem sewa ini diarah-
PENGARUH POLITIK AGRARIA TERHADAP PERUBAHAN POLA PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR PEDESAAN DI
INDONESIA Syahyuti

25
Meskipun demikian, kegiatan landreform Pembangunan pertanian dengan meng-
yang ideal pemah berjalan setelah kelahiran introduksikan teknologi maju dan efisien tanpa
UUPA ini, namun kemudian gaga) karena sadar telah meminggirkan petani. Program
ditunggangi oleh muatan politik. Partai Komunis revolusi hijau dipercaya telah menimbulkan
Indonesia (PKI) sebagai partai yang mengguna- polarisasi sosial ekonomi, atau setidak-tidaknya
kan politik populis telah berhasil mendapat sam- penegasan stratifikasi, dan terusirnya kelompok
butan yang tinggi dad masyarakat pedesaan. petani landless dari pedesaan (Tjondronegoro,
Tanah telah dijadikan alat politik sehingga 1999). Revolusi hijau temyata bersifat mempo-
dukungan kepada partai ini menjadi besar. larisasikan masyarakat desa, karena hanya
petani bertanah luas yang lebih mampu menarik
Menurut Fauzi (1999), kebijakan hukum
manfaatnya. Meskipun teknologi yang diintro-
dalam UUPA ini sesungguhnya menentang
duksikan besifat bebas skala, namun para
kapitalisme yang melahirkan kolonialisme yang
petani yang bertanah luas berproduksi Iebih
menyebabkan penghisapan manusia atas ma-
banyak. Produksi yang lebih tinggi menyebab-
nusia. Selain itu, dengan UUPA sekaligus juga
kan terakumulasinya keuntungan, yang pada
menentang sosialisme yang diangap menia-
gilirannya menyebabkan mereka lebih mampu
dakan hak-hak individu atas tanah. Politik
mengembangkan usaha non pertanian, menye-
agraria yang terkandung dalam UUPA adalah
kolahkan anak lebih tinggi, serta membuka
politik populisme, yang mengakui hak individu
akses politiknya. Dengan demikian, faktor
atas tanah, namun hak tersebut memiliki "fungsi
kepemilikan tanah berperan terhadap mobilitas
sosial". Melalui prinsip hak menguasai dari
sosial.
negara, pemerintah mengatur agar tanah-tanah
dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat sebagai-mana termaktub
KAITAN FAKTOR PENGUASAAN TANAH
dalam pasal 33 UUD 1945.
TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR
Selanjutnya, sepanjang pemenntahan MASYARAKAT PEDESAAN
Orde Baru selama tiga dasawarsa, dapat
dikatakan landreform tidak dilaksanakan sama
sekali. Kegiatan landreform selalu diberi cap Meskipun diwamai perdebatan, namun
negatif sebagai kegiatan partai terlarang PKI. secara umum dapat dikatakan, telah terjadi
Hal ini karena memang PKI dulu menjadikan perubahan pola penguasaan dari komunal ke
program landreform sebagai alat perjuangan- penguasaan individual semenjak zaman pra-
nya. Karena segala yang berkaitan dengan PKI kolonial sampai Orde Baru. Hal ini terlihat dari
dilarang, maka usaha perbaikan hak pengua- semakin hilangnya tanah-tanah hak ulayat
saan tanah pun (program landreform) menjadi digantikan bentuk penguasaan "milik" privat,
negatif di mata pemerintah dan masyarakat. sehingga dapat disewakan dan diperjualbelikan.
Meskipun demikian, usaha privatisasi tanah Sebelumnya hanya dikenal pemilikan individual
tetap diusahakan pemerintah Orde Baru melalui terbatas, yaitu tanah komunal yang meskipun
program sertifikasi tanah meskipun kurang dapat dikelola secara terus menerus oleh satu
memuaskan. keluarga dan boleh diwariskan, namun tidak
dapat disewakan apalagi dipedual belikan. Jenis
Pemerintah Orde Baru yang sangat ter-
pemilikan seperti ini disebut juga dengan
insipirasi dengan kemajuan ekonomi, menjadi-
"pemilikan komunal yang berciri privat".
kan tanah sebagai alat pembangunan yang
sentralistis, sehingga menimbulkan berbagai Untuk menggambarkan bagaimana peru-
konflik dengan masyarakat. Hal ini misalnya, bahan tersebut bedangsung dapat dilihat misal-
karena pemerintah hanya mengejar industria- nya hasil penelitian Berger (1996) dalam peneli-
lisasi pertanian, tidak memperhatikan sama tiannya di satu desa di bagian utara Jawa
sekali aspek struktur penguasaan tanah. Peme- Tengah, dengan membandingkan kondisi sela-
rintah meneruskan program pembangunan ma 60 tahun (antara tahun 1869 dan 1929). la
perkebunan berskala besar dengan tanah yang menemukan bahwa sepanjang waktu tersebut
luas, namun kurang memperdulikan semakin pemilikan tanah menjadi Iebih individualistis,
banyaknya jumlah petani yang tidak bertanah luas tanah komunal berkurang, serta maraknya
dan sangat membutuhkannya. pembelian tanah oleh orang luar desa. Bersa-

FAE. Volume 19 No. 1 Juli 2001 : 21 - 32

26
maan dengan itu, terjadi peningkatan aktivitas orang luar sehingga akhimya banyak warganya
non-pertanian dan pasar tenaga kerja. Peng- yang menjadi buruh lepas tanpa tanah.
gunaan tenaga kerja upahan semakin biasa
Seiring dengan itu, dalam penelitian
yang berlangsung melalui mekanisme pasar.
Amaluddin (1987) di Kendal Jawa Tengah untuk
Artinya, telah terjadi proses individualisasi
memahami kondisi pada zaman Orde Lama,
ekonomi dan peningkatan diferensiasi peker-
perubahan sistem penguasaan tanah juga telah
jaan.
menyebabkan perubahan sistem produksi
Perubahan sosial ekonomi pedesaan pertanian. Sebelum tahun 1960, ada tiga jenis
terjadi karena pengaruh kapitalisme Belanda hak penguasaan tanah komunal, yaitu hak
melalui tanam paksa komoditas perkebunan bengkok, hak banda desa, hak narawita, serta
untuk ekspor. Namun, menurut Nurhadiantomo satu yang bersifat individual yaitu hak yasan.
(1986), hal ini bukanlah suatu kapitalisme mumi, Saat itu, tanah yasan mencakup 76,7 persen
karena perkembangannya bukanlah karena dari total tanah di desa tersebut. Penerapan
kekuatan ekonomi mumi (sistem pasar) namun UUPA tahun 1960 menyebabkan konversi tanah
lebih karena kekuasaan melalui kekuatan politik yang semula berdasarkan hukum adat (komu-
kolonial. Pengaruh kapitalisme ini tidak hanya nal) menjadi hak milik. Hak narawita, secara de
terasa di wilayah-wilayah dataran rendah facto sudah menjadi milik individual, sehingga
terutama karena kompetisi tebu dengan padi, penjualan tanah berkembang, peluang tuna-
tapi bahkan sampai ke daerah yang relatif ter- kisma untuk menggarap mengecil, dan mobilitas
tutup yaitu misalnya pada komunitas masyara- penguasaan cenderung sentrifugal atau ter-
kat Tengger yang berdiam di lereng gunung polarisasi. Bersamaan dengan itu, sistem
Bromo (Hefner, 1998). Tengger sebelumnya produksi yang semula dilandasi nilai-nilai
dianggap sebagai wilayah cagar budaya yang tradisional digantikan oleh sistem produksi
dianggap steril dari pengaruh-pengaruh ekster- komersial. Orpanisasi produksi dari sebelumnya
nal. Ketika belum ada pengaruh luar, mereka berupa pola-pola penyakapan seperti maro,
tidak mengenal sistem bagi hasil, sewa tanah, mrapat, mrlimo, lebotan, bawon, dan mutu;
hubungan patron klien, struktur yang kurang digantikan dengan pola penyewaan, buruh
terstratifikasi, dan kultur yang egaliter. Hal ini lepas, panen tebasan, dan penggilingan padi
karena mereka bergantung pada tanahnya mekanis. Temuan ini didukung oleh Hayami dan
sendiri, bukan jaminan subsistensi dari patron. Kikuchi (1987), yang menemukan kesamaan
Namun kondisi ini berubah karena berbagai dampak revolusi hijau di Indonesia dan Filipina.
tekanan luar, yaitu tanam paksa (khususnya Transforrnasi sistem sosial pedesaan ini juga
antara 1830 sampai 1850) perkebunan kopi, didukung oleh Temple (1976) yang meihat
desakan pendatang, serta revolusi hijau. Pola adanya evolusi desa Jawa dari desa komunal
pertanian subsisten telah digantikan oleh (1830-1870), dilanjutkan desa tradisional (1870-
pertanian kapitalis yang agresif. Akibatnya, 1959), dan terakhir desa komersial bersamaan
terjadi perubahan kultural berupa gaya hidup dengan era revolusi hijau.
baru, serta kebingungan hubungan sosial
Selanjutnya Amaluddin (1987) melihat
sesama warga khususnya mengenai aspek
bahwa komersialisasi pertanian telah juga
normatif.
menyebabkan perubahan pola hubungan antar
Selain itu, pengaruh kebijakan pemerintah lapisan petani. Kondisi sebelum tahun 1960
dengan menggunakan mekanisme penguasaan dimana masyarakat terbagi atas tiga lapisan
tanah juga telah merusak lembaga tradisional sosial, yaitu sarekat (pemegang hak bengkok),
yang sudah mapan. Penelitian Brewer (1985) di sikep ngajeng (pemegang hak narawita) dan
dua desa di daerah Bima, menemukan hilang- sikep wingking (tunakisma) dilandasi hubungan
nya fungsi lembaga "doumtuatua" sebagai insti- "patron - klien", berubah menjadi hubungan
tusi desa yang sebelumnya berwenang mendis- berdasarkan nilai-nilai komersial pola 'ban
tribusikan pengusahaan tanah di antara warga. tanah - buruh". Melemahnya hubungan patron
Dampak kebijakan ini, ditambah oleh kebijakan klien ini bersamaan dengan menurunnya
pemerintah RI yang menjadikan sebagian wila- tanggung jawab lembaga desa dalam menjamin
yahnya sebagai taman nasional, adalah suatu subsistensi, melalui jaminan memperoleh
fenomena klasik, yaitu mendorong pemilikan pekerjaan dan distribusi (Temple, 1976). Jadi
tanah secara individual dan pembelian oleh dapat dikatakan bahwa fungsi tangy yang dulu
PENGARUH POLITIK AGRARIA TERHADAP PERUBAHAN POLA PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR PEDESAAN DI
INDONESIA Syahyufi

27
menyatukan telah berubah menjadi "memisah- Konflik agraria yang banyak terjadi di
kan". masa kolonial tersebut, menurut sisi pandang
struktur makro adalah karena berkembangnya
ekonomi mode kapitalis. Konflik-konflik tersebut
RESPON PETANI TERHADAP KEBIJAKAN bersifat struktural-vertikal, karena pengkutuban
AGRARIA antara rakyat sebagai buruh di satu pihak
dengan pemilik modal swasta asing (Suhendar
dan Winami, 1998). Konflik struktural-vertikal ini
Tampaknya respon yang diberikan petani berubah menjadi konflik horizontal semenjak
terhadap tekanan pemerintah melalui meka- kemerdekaan, dimana terjadi pergeseran wila-
nisme agraria berbeda-beda. Respon petani yah konflik menjadi konflik antara buruh tani dan
pada masa feodal terhadap posisinya yang petani miskin dengan tuan-tuan tanah atau
hanya sebagai petani penggarap adalah "ber- petani kaya. Hal ini karena para tuan tanah
produksi secukupnya" sebagaimana dijabarkan menolak UUPA 1960. Kebijakan landreform
Schrieke (1955). Politik sentralisasi penguasaan telah mengangkat konflik agraria ke tingkat
tanah dengan kewajiban menyerahkan surplus nasional.
produksi kepada raja telah berdampak negatif
Terakhir, pada masa Orde Baru, konflik
terhadap kegairahan untuk meningkatkan pro-
kembali besifat struktural-vertikal yang bercirikan
duksi pertanian. Sikap petani yang menghindari
konflik-konflik lokal dan sporadis. Pada masa ini,
produksi berlebih tersebut, dapat dikatakan
respon petani tidak lagi perlawanan diam-diam,
sebagai suatu bentuk periawanan politik yang
namun sudah berubah menjadi perlawanan fisik,
"tidak terang-terangan". Dengan kondisi represif
walaupun kuatnya represif birokrasi dengan
saat itu is hanya dapat melakukan periawanan
dukungan militer membuat petani tidak berkutik.
dengan cara tersebut dan sulit melakukan
Sementara pada waktu yang bersamaan,
periawanan secara frontal dan terbuka. Artinya,
kelompok buruh tani dan petani bertanah sempit
perlawanan pada masa ini Iebih bersifat
yang tidak mencapai skala ekonomi secara pasti
individual dan tidak terorganisir.
"terusir" dari desanya sendiri. Mereka terpaksa
Selanjutnya menghadapi tekanan pemak- migrasi ke kota-kota terdekat untuk berburu
saan penanaman sebagian tanah dalam desa pekerjaan-pekerjaan di sektor informal, balk
dengan komoditas ekspor kolonial, sementara sebagai migran musiman maupun migran
jumlah penduduk tears meningkat, respon yang permanen (Tjondronegoro, 1999).
umum di Jawa menurut Clifford Geertz (1976)
adalah apa yang disebutnya dengan fenomena
"involusi pertanian". Masyarakat dalam satu PERUBAHAN SOSIAL PEDESAAN YANG
desa yang berbentuk komunal (Temple, 1976) TIDAK BERCIRIKAN EMANSIPATIF
metakukan adaptasi organisasi produksi sede-
mikian rupa, dimana dengan tanah yang tersisa,
lembaga desa menjamin seluruh orang yang Tidak dapat dipungkiri, bahwa secara
menginginkan pekerjaan memperoleh peker- umum desa-desa telah mengalami perubahan,
jaan. Dengan cara itu setiap warga terjamin dari satu era ke era pemerintahan lainnya.
kebutuhan subsistensinya. Akibatnya, meskipun Namun demikian, meskipun desa telah menga-
produksi per luasan tanah ada meningkat, na- lami perubahan sosial, apakah perubahan
mun produksi per satuan tenaga kerja menurun. tersebut sudah mengandung prinsip-prinsip
emansipasi? Menurut Wertheim (1999), peru-
Namun demikian, selain strategi adaptasi
bahan sosial hams mengandung tujuan hakiki-
tersebut, juga banyak dijumpai perlawanan fisik
nya, yaitu sifat emansipatif (=pembebasan).
secara terbuka dan terorganisir yang sudah
Emansipasi adalah suatu pembebasan manusia
berupa pemberontakan-pemberontakan bersen-
dan kungkungan alam serta dari dominasi ma-
jata (rebellions). Perlawanan terhadap kebijakan
nusia atas manusia. Dengan kata lain, peruba-
pemerintahan kolonial tersebut dibungkus seba-
han hanya bermakna apabila mengarah kepada
gai gerakan mesianis dengan motivasi kedata-
tujuan-tujuan emansipatif tersebut. lmplikasinya,
ngan "Ratu Adil", misalnya pemberontakan
perubahan emansipatif bagi petani adalah
petani Banten dan berbagai pemberontakan
perubahan yang mampu melepaskan mereka
dengan skala desa di Jawa Tengah.

FAE. Volume 19 No. 1 Juli 2001 : 21 - 32

28
dari jerat penguasa tanah yang menjadikan lainnya, bukan konflik ideologi. Meskipun misal-
mereka hanya "buruh" di tanah garapan mereka nya pemberontakan petani dalam PKI dibung-
sendiri. kus dengan ideologi komunis, namun janji untuk
memperoleh tanahlah yang menjadi dasar
Apa yang terlihat pada sistem sosial
perjuangannya. Mereka lebih memperjuangkan
pedesaan kita tampaknya masih jauh dari nilai-
hak atas tanah dibandingkan memperjuangkan
nilai emansipatif. Posisi subordinatif petani
ideologi komunisnya.
semenjak era feodal, semakin bertambah parah
ketika petani tidak berlahan tersingkir sama Meskipun perubahan sosial adalah suatu
sekali dari ekosistem pedesaan. Makna eman- keniscayaan yang tidak dapat dihindari oleh
sipatif yang sesungguhnya bagi petani yaitu bangsa manapun, namun perubahan sosial
"memiliki tanahnya sendiri" belum pernah dica- tidak terjadi begitu saja. Dari uraian di atas
pai sesama ini. Meskipun petani telah mampu terlihat bagaimana di setiap zaman selalu saja
mengendalikan alam berkat teknologi, namun ada pihak yang berkepentingan dengan peru-
mereka belum mampu menembus tembok bahan sosial, yaitu para penguasa. Upaya
struktural yang mengungkungnya dari dominasi penguasa untuk mengendalikan perubahan
antar sesama manusia. melalui persoalan agraria adalah cara yang
efektif, karena memang tanah adalah sumber
Membicarakan perubahan sosial tidak
daya utama bagi masyarakat pedesaan.
bisa terlepas dari analisis aspek-aspek sumber
penyebab perubahan. Secara umum, ada dua Persoalan ini juga dapat dipandang dari
kubu teori tentang sumber penyebab perubahan sisi lain. Apabila desa dipandang sebagai
sosial, yaitu materialistic perspective yang sebuah sistem, dimana tanah beserta kompo-
berasal dari Karl Marx dan idealistic perspective nen kimia dan fisikanya sebagai salah satu
dari Max Weber (Harper, 1989). Dalam perspek- sumber daya terpenting, selain air, udara, dan
tif material, penyebab perubahan adalah faktor lain-lain. Sebagai sebuah closed system, maka
ekonomi atau teknologi yang berkaitan dengan is memiliki tujuan dan mekanisme mencapai
ekonomi. Diasumsikan bahwa teknologi baru tujuan tersebut. Menurut Teori Sistem (dalam
atau modes of economic production menyebab- Soekanto dan Lestarini, 1988), agar sistem
kan perubahan sosial berupa interaksi, organi- dapat bertahan, maka tergantung kepada ber-
sasi sosial, kepercayaan, serta nilai-nilai budaya fungsinya aspek-aspek adaptasi, pencapaian
dan norma. tujuan, integrasi, dan latensi. Adaptasi berkaitan
dengan masalah mengamankan fasilitas Iingku-
Bertolak dari perspektif teori ini, maka
ngan yang cukup dan membagikan fasilitas
perubahan sosial di pedesaan kita dengan
tersebut dalam sistem. Terlihat bahwa pada
mengubah modes of production atau organisasi
fungsi adaptasi, berkaitan dengan eksplorasi
produksi, berarti merubah hubungan antara
sumber daya dan distribusi. Dengan demikian,
orang dengan tanah dalam pengusahaannya,
dalam sistem sosial komunitas pedesaan, maka
yaitu antara pihak yang menguasai dengan
bagaimana pemanfaatan sumber daya tanah
pengusahaannya berupa hubungan-hubungan
diorganisasikan dan didistribusikan di antara
tenancy (penyakapan dan persewaan). Melaku-
anggota sistemnya menjadi salah satu bagian
kan pembangunan pedesaan dengan pendeka-
yang esensial.
tan materialistik artinya melakukan perubahan
agraria itu sendiri. Pemerintah tampaknya Perubahan dalam sistem sosial komunitas
memahami betul persoalan ini, dengan melaku- pedesaan dapat dilihat dalam aspek struktumya.
kan perubahan dalam aspek-aspek budaya Menurut Sosrodihardjo (1972), faktor penentu
material misalnya teknologi. struktur sosial adalah kekuasaan. Dengan pen-
dapat ini, maka penggambaran struktur dapat
Dad uraian historis di atas terlihat bahwa
menggunakan pelapisan anggota komunitas
penyebab perubahan ditekankan kepada aspek-
pedesaan berdasarkan kekuasaan ekonomi,
aspek materialistik, yaitu aspek sumber daya
khususnya dalam kaitannya dengan tanah,
tanah. Dengan perspektif materialistik ini, maka
sehingga akan diperoleh kelas pemilik dan
akibatnya konflik-konflik yang terjadi juga lebih
bukan pemilik. Pembicaraan tentang struktur
bersifat materialistis ketimbang idealis. Dalam
agraria, khususnya tanah, akan berpokok
sistem sosial agraria, maka tanahlah yang
kepada struktur penguasaan dan pengusahaan-
menjadi sumber konflik dari satu era ke era
PENGARUH POLITIK AGRARIA TERHADAP PERUBAHAN POLA PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR PEDESAAN DI
INDONESIA Syahyuti

29
nya. Penguasaan tanah berimplikasi kepada ting dalam membangun pertanian di masa de-
siapa yang boleh tedibat dalam produksi, serta pan. Namun sayangnya usaha ini tidak pemah
siapa dan berapa yang akan mendapat pem- dijalankan secara sungguh-sungguh, atau be-
bagian hash produksi. Selanjutnya hal ini akan lum pemah menjadi suatu "gerakan" nasional
menentukan besamya pendapatan keluarga, yang memadai.
dan kepada bagaimana stratifikasi sosial ekono-
mi atau struktur desa terbentuk. Dalam tataran teoritis, reforma agraria
menimbulkan perdebatan di antara berbagai
Dad analisis struktur sosial di pedesaan, disiplin ilmu (VViradi, 2000). Menurut ekonomi
maka masyarakat pedesaan selalu dapat neo-klasik misalnya, reforma agraria periu agar
dibedakan antara kelas pemilik dan bukan tercipta alokasi yang optimal atas masyarakat
pemilik tanah. Kepemilikan ini pada gilirannya secara keseluruhan melalui redistribusi pengua-
menentukan kepada kekuasaan sebagai dasar saan tanah, dengan menciptakan struktur yang
menyusun struktur masyarakat desa. Dengan "adil dalam peluang". Dengan kepemilikan tanah
kekuasaan yang dimiliki oleh kelas pemilik, yang tidak lagi bersifat tradisional, diharapkan
maka mereka dapat menguasakan pengusa- ada kesempatan untuk berkembang melalui
haan tanahnya kepada para petani yang tidak mekanisme persaingan. Sementara menurut
bertanah yang secara kuantitas jumlahnya lebih pandangan evolusional, distribusi tanah yang
banyak, sebagaimana diterangkan oleh Husken merata menyebabkan, secara keseluruhan,
(1998). Artinya, struktur masyarakat pedesaan pemanfaatan tanah kurang optimal.
berisi sebagian besar dengan mereka yang
justru jauh dart hak-hak emansipasinya karena Bagi Indonesia saat ini, reformasi agrana
posisinya yang bukan sebagai pemilik tanah dapat dianggap sebagai suatu revolusi. Dalam
yang digarapnya. Dengan kata lain, meskipun revolusi tak hanya sekedar perubahan struktur
pedesaan Indonesia telah mengalami peruba- sosial namun "perubahan mendasar tata sosial"
han sosial, namun perubahan tersebut bukanlah (Wertheim, 1999). Tujuan dalam revolusi bukan
perubahan yang hakiki, karena tidak memihak sekedar penggantian kelas sosial yang ber-
kepada sebagian besar unsur komunitasnya kuasa, namun menciptakan struktur barn
yang merindukan hak-hak emansipatifnya. dengan perimbangan kekuasaan. Artinya, yang
diperjuangkan dalam reforma agrana bukanlah
sekedar merebut tanah dan dibagi-bagikan
REFORMA AGRARIA SEBAGAI DASAR kepada petani, namun lebih kepada perbaikan
PERUBAHAN SOSIAL PEDESAAN YANG struktur sosial ekonomi secara makro nasional.
KONSTRUKTIF (SEBUAH IMPLIKASI) Namun, apa yang terjadi selama ini di
dalam ekonomi kapitalis semenjak Orde Baru
adalah menjadikan tanah semata-mata sebagai
Setelah mempelajari berbagai bentuk dan kapital sebagaimana sumber daya lain, tanah
pola perubahan sosial ekonomi pedesaan dan dijadikan sebagai komoditi yang dapat dipeijual
keagrariaan, respon petani, serta analisis konflik belikan secara bebas. Hal ini sangat berbahaya
yang terjadi, maka dapat ditarik suatu implikasi karena akan melahirkan praktek-praktek mono-
betapa periunya penanganan persoalan agraria poli dan spekulasi tanah (Wiradi, 1996).
sebagai dasar pembangunan pertanian. Hal ini Memperiakukan tanah sebagai komoditas me-
karena tanah adalah sumber daya utama dalam mang tampak rasional dan wajar-wajar saja,
pertanian, sehingga bagaimana hubungan namun tanah adalah sumber daya yang unik,
manusia dengan tanah menjadi sangat esensial. yang berbeda dengan ciri-ciri benda Iainnya,
Tidak tercapainya perubahan yang emansipatif termasuk modal dan tenaga kerja. Tanah, modal
di pedesaan adalah karena belum adanya dan tenaga kerja adalah tiga faktor utama dalam
perubahan yang mendasar dalam penguasaan produksi kapitalis. Tanah jumlahnya selalu tetap
dan pengusahaan tanah (agraria). di dunia ini, namun umumya tidak terbatas.
Selain itu, meski sebidang tanah dibiarkan kare-
Pada zaman Orde Lama, ketika berhasil
na belum dimanfaatkan, namun keberadaannya
dirumuskan Undang-Undang Pokok Agraria
tetap saja adanya. Hal ini berbeda dengan
(UUPA) No. 5 tahun 1960, sesungguhnya telah
modal kapitalis yang lain yang mudah rusak,
ada kesadaran bahwa reforma agrana berupa
berkurang atau menurun nilainya.
landreform adalah kebijakan yang sangat pen-

FAE. Volume 19 No. 1 Juli 2001: 21 - 32

30
Belum mantapnya langkah Indonesia me- petani semenjak era feodal, masih tetap ber-
nuju tahap industrialisasi adalah karena belum tahan. Puncaknya justru ketika petani tidak
kokohnya pembangunan seldor pertanian. Me- bertanah tersingkir sama sekali dari ekosistem
nund VViradi (2000), sebenamya Indonesia pedesaan. Makna kemerdekaan yang sesung-
belum dapat dikatakan telah mengalami transisi guhnya bagi petani yaitu "memiliki tanahnya
agraris. Sebab, meskipun proses industrialisasi sendiri" belum pemah dicapai.
sudah mulai, tetapi belum dilakukan reforma
Dalam alam pemikiran sosiologis pengua-
agraria secara tuntas yang semestinya menda-
sa, aspek penguasaan tanah dipercayua
hului proses industrialisasi tersebut.
sebagai faktor utama pengendalian sosial.
Untuk dapat melaksanakan reforma agra- Namun sayangnya ini hanya digunakan untuk
ria saat ini dibutuhkan berbagai syarat dan kepentingan penguasa sepihak saja. Meskipun
kondisi, karena reforma agraria haruslah men- semenjak era Politik Etis sampai Orde Baru
jadi suatu gerakan nasional. Untuk itu maka kesejahteraan petani selalu dijargonkan, namun
dibutuhkan ketedibatan semua pihak dengan kebijakan pemerintah tidak menyentuk per-
landasan hukum yang kuat. Meskipun kita soalan tanah secara mendasar. Hal ini ber-
sudah memiliki UUPA namun itu hams dileng- implikasi kepada terbatasnya pembangunan
kapi dengan banyak lagi peraturan-peratuan pertanian dan selanjutnya kepada mandeknya
pendukung, aparat yang tangguh, serta transfomiasi struktur ekonomi nasional.
termasuk alokasi dana yang cukup besar untuk
Dad uraian di atas tedihat bahwa masya-
penelitian, pengumpulan data dasar, serta
rakat pedesaan selalu berada dalam tekanan
pendistribusiannya.
ekstemal yang kuat, sehingga bagaimana arah
Dengan otonomisasi daerah saat ini, dan bentuk perubahan yang diinginkan tidak
sesungguhnya ada peluang untuk melakukan selalu sama dengan yang diinginkan masya-
reforma agraria secara "lokar. Di sisi lain, rakat itu sendiri. Hal ini adalah karena desa telah
bagaimana pemerintah daerah masing-masing terkoopteasi oleh "atas" (baik secara politis/elit
memaknai dan memahami reforma agraria yang berkuasa), ekonomi (struktur ekonomi
menjadi faktor krusial yang sayangnya mungkin kapitalis), dan sosial (nilai-nilai budaya kota).
tidak tedalu mudah dijalankan. Khusus untuk
Reforma agraria tampaknya merupakan
pembangunan pertanian, maka bagaimana
implikasi yang rasional sebagai dasar mela-
pemerintah daerah masing-masing mempersep-
kukan perubahan sosial yang terencana (pem-
sikannya menjadi faktor penentu dalam pelak-
bangunan) di pedesaan. Perubahan yang hakiki
sanaan reforma agraria.
bagi petani adalah perubahan yang menuju
kepada penguasaan tanah, karena hal yang
pokok dalam reforma agraria adalah pengaturan
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
tentang penguasaan tanah.

Dad uraian di atas tedihat bahwa dalam


DAFTAR PUSTAKA
setiap era, pemerintah yang berkuasa selalu
menggunakan aspek agraria sebagai alat politik
yang penting. Tanah dijadikan jalan dalam Amaluddin, Moh. 1987. Kemiskinan dan Polari-
merealiasikan tujuan-tujuan politiknya. Dengan sasi Sosial: Studi Kasus di Desa
menguasai tanah, maka surplus produksi selalu Bulugede, Kendal, Jawa Tengah, Jakarta:
tedwmpul kepada pihak penguasa, yang pada UI Press.
gilirannya menjadikan alat kekuasaan bagi
Berger, D.H. 1996. Desa Ngablak Kabupaten
rakyatnya. Dad uraian historis tedihat bahwa
Pati Dalam Tahun 1869 dan 1929. dalam
petani belum pemah benar-benar menguasai
Taufik Abdultah (ed) 1996. Sejarah Lokal
tanah yang digarapnya.
di Indonesia. Yogyakarta. Gajah Mada
Meskipun desa mengalami perubahan so- University Press.
sial, namun perubahan tersebut belum mengan-
Breman, Jan. 1986. Penguasaan Tanah dan
dung prinsip-prinsip emansipasi bagi penduduk-
Tenaga Kerja di Jawa di Masa Kolonial.
nya. Posisi subordinatif yang sudah dialami
Jakarta. LP3ES.
PENGARUH POLITIK AGRARIA TERHADAP PERUBAHAN POLA PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR PEDESAAN DI
INDONESIA Syahyuti

31
Brewer, Jeffrey D. 1985. Penggunaan Tanah Soekanto, Soerjono dan Ratih Lestarini. 1988.
Tradisional dan Kebijakan Pernerintah di Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam
Bima, Sumbawa Timur (hal. 163-188). Perkembangan Sosiologi. Jakarta: Sinar
dalam Michael R. Dove (ed) 1985. Peran- Grafika.
an Kebudayaan Tradisonal Indonesia
Sostrodihardjo, Soedjito. 1972.Perubahan Struk-
dalam Modemisasi. Jakarta: Yayasan
tur Masyarakat di Jawa: Suatu Analisa.
Obor Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Karya. Cet. 2.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa:
Dinamika Perjalanan Politik Agraria Strasser, Hermann dan Susan C. Randall. 1981.
Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, KPA, An Introduction to Theories of Social
dan Pustaka Pelajar. Change. London: Routledge and Keegan
Paul.
Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian:
Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winami.
Jakarta Bhratara K.A. 1998. Petani dan Konflik Agraria.
Bandung: Yayasan AKATIGA.
Hayami, Yujiro dan Masao Kikuchi. 1987.
Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pende- Suwarsono dan Alvin Y.S. 1991. Perubahan So-
katan Ekonomi Terhadap Perubahan sial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Temple, G.P. 1976. Mundumya Involusi Perta-
Obor Indonesia. nian: Migrasi, Kerja dan Pembagian
Harper, Charles L. 1989. Exploring Social Pendapatan di Pedesaan Jawa. Prisma
Change. New Jersey: Practice Hall. No. 3 April 1976.
Hefner, Robert W. 1999. Geger Tengger Peru- Tjondronegoro, SMP. 1999. Revolusi Hijau dan
bahan Sosial dan Perkelahian Politik. Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa.
Yogyakarta: LKIS. dalam Keping-keping Sosiologi dan
Pedesaan. Jakarta. Direktorat Jenderal
Husken, Frans dan Benjamin White. 1989.
Pendidikan Tinggi, Departemen Pen-
Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan
didikan dan Kebudayaan RI.
dan Struktur Agraria di Jawa. Majalah
Prisma No. 4, 1989. Van de Kroef.1984. Penguasaan Tanah dan
Husken, Frans. 1998. Masyarakat Desa dalam Struktur Sosial di Pedesaan Jawa (hal.
Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi 145-167). dalam: SMP Tjondronegoro dan
Sosial di Jawa 1830-1980. Jakarta: PT. Gunawan Wiradi (ed). 1984. Dua Abad
Gramedia Widiasarana Indonesia. Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan
Tanah Pertanian di Jawa dad Masa ke
Lippit, Ronald et. al. 1958. Planned Change. Masa. Jakarta: PT Gramedia.
Harcount: Brace and World Inc.
Wertheim, W.F. 1956. Indonesian Society in
Nurhadiantomo. 1986. Birokrasi dan Perubahan Transition: A Study of Social Change.
Sosial di Indonesia (hal. 33-49). dalam Second Edition. Bandung: Penerbit
Lance Castles, Nurhadiantomo, dan "Sumur Bandung".
Suyatno. 1986. Birokrasi, Kepemimpinan,
dan Perubahan Sosial di Indonesia. Wertheim, W.F. 1999. Gelombang Pasang
Surakarta. Penerbit HAPSARA. Edisi Emansipasi: Evolusi dan Revolusi.
Revisi. Jakarta: Garba Budaya dan IAI.
Sanderson, Stephen K. 1993. Sosiologi Makro. Wiradi, Gunawan. 1996. Jangan Perlakukan
Jakarta: Rajawali Press. Tanah sebagai Komoditi. Jumal "Analisis
Sosial". Edisi 3 Juli 1996.
Sarman, Mukhtar. 1994. Perubahan Status
Sosial dan Moral Ekonomi Petani. Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Per-
Majalah Prisma No. 7 tahun 1994. jalanan yang Belum Berakhir.
Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan
Schrieke, B. 1955. Indonesians Sociological
Pustaka Pelajar.
Studies. Vol. 2 Part One. Bandung: W.
van Hoeve - The Hague.

FAE. Volume 19 No. 1 Juli 2001 : 21 - 32

32

Anda mungkin juga menyukai