Anda di halaman 1dari 19

Nama: Dina Venia Dewanty

Nim: 04011181621049
Kelas: Beta 2016

LEARNING ISSUE

FRAKTUR
Pengertian
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang berupa retakan, pengisutan ataupun
patahan yang lengkap dengan fragmen tulang bergeser.
Klasifikasi Fraktur
1. Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan jaringan
sekitar di bagi menjadi 2 antara lain:
a. Fraktur Tertutup (Closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartement.

b. Fraktur Terbuka (Open/Compound Fraktur)


Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk
ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang terbuka :
1) Derajat I Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
2) Derajat II Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen jelas.
3) Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.

2. Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:


a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau garis
fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubak
tempat.
b. Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang
lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick.

3. Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah (bentuk patahan tulang) dan hubungannya
dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
a. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu
tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh trauma
rotasi. d. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang kea rah permukaan lain.
e. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.

4. Menurut Smeltzer dan Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 antara lain:
a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
sama.

5. Klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk cedera atau fraktur fisis adalah klasifikasi
fraktur menurut Salter – Harris :
a) Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan,

prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi tertutup.

b) Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul melalui tulang

metafisis , prognosis juga sangat baik denga reduksi tertutup.

c) Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan epifisis dan kemudian secara

transversal melalui sisi metafisis dari lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup baik

meskipun hanya dengan reduksi anatomi.


d) Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng pertumbuhan dan terjadi melalui

tulang metafisis. Reduksi terbuka biasanya penting dan mempunyai resiko gangguan

pertumbuhan lanjut yang lebih besar.

e) Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari gangguan pertumbuhan

lanjut adalah tinggi.

Gambar 1. Fraktur Berdasarkan Hubungan Tulang

Fraktur Terbuka Fraktur Tertutup

Gambar 2. Fraktur Berdasarkan Bentuk Patahan Tulang

Transversal Spiral Oblik Segmental


Kominuta Greenstick Impaksi Fissura

Gambar 3. Fraktur Menurut Salter – Harris

Epidemiologi Fraktur

Distribusi Frekuensi

a) Berdasarkan Orang

Fraktur lebih sering terjadi pada laki – laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45
tahun dan sering berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh
kendaraan bermotor. Mobilisasi yang lebih banyak dilakukan oleh laki – laki menjadi penyebab
tingginya risiko fraktur. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur
daripada laki – laki yang berhubungan dengan meningkatnya insidens osteoporosis yang terkait
dengan perubahan hormon pada menopause.
b) Berdasarkan Tempat dan Waktu
Di negara maju, masalah patah tulang pangkal paha atau tulang panggul merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang mendapat perhatian serius karena dampak yang ditimbulkan bisa
mengakibatkan ketidakmampuan penderita dalam beraktivitas. Menurut penelitian Institut
Kedokteran Garvan tahun 2000 di Australia setiap tahun diperkirakan 20.000 wanita
mengalami keretakan tulang panggul dan dalam setahun satu diantaranya akan meninggal
karena komplikasi.

Determinan Fraktur

a) Faktor Manusia

Beberapa faktor yang berhubungan dengan orang yang mengalami fraktur atau patah
tulang antara lain dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, aktivitas olah raga dan massa tulang.
1. Umur
Pada kelompok umur muda lebih banyak melakukan aktivitas yang berat daripada
kelompok umur tua. Aktivitas yang banyak akan cenderung mengalami kelelahan tulang dan
jika ada trauma benturan atau kekerasan tulang bisa saja patah. Aktivitas masyarakat umur muda
di luar rumah cukup tinggi dengan pergerakan yang cepat pula dapat meningkatkan risiko
terjadinya benturan atau kecelakaan yang menyebabkan fraktur. Insidens kecelakaan yang
menyebabkan fraktur lebih banyak pada kelompok umur muda pada waktu berolahraga,
kecelakaan lalu lintas, atau jatuh dari ketinggian.

2. Jenis Kelamin
Laki – laki pada umumnya lebih banyak mengalami kecelakaan yang menyebabkan fraktur
yakni 3 kali lebih besar daripada perempuan. Pada umumnya Laki – laki lebih aktif dan lebih
banyak melakukan aktivitas daripada perempuan. Misalnya aktivitas di luar rumah untuk bekerja
sehingga mempunyai risiko lebih tinggi mengalami cedera. Cedera patah tulang umumnya lebih
banyak terjadi karena kecelakaan lalu lintas. Tingginya kasus patah tulang akibat kecelakaan
lalulintas pada laki – laki dikarenakan laki – laki mempunyai perilaku mengemudi dengan
kecepatan yang tinggi sehingga menyebabkan kecelakaan yang lebih fatal dibandingkan
perempuan.

3.Aktivitas Olahraga
Aktivitas yang berat dengan gerakan yang cepat pula dapat menjadi risiko penyebab
cedera pada otot dan tulang. Daya tekan pada saat berolah raga seperti hentakan, loncatan atau
benturan dapat menyebabkan cedera dan jika hentakan atau benturan yang timbul cukup besar
maka dapat mengarah pada fraktur. Setiap tulang yang mendapat tekanan terus menerus di luar
kapasitasnya dapat mengalami keretakan tulang. Kebanyakan terjadi pada kaki, misalnya pada
pemain sepak bola yang sering mengalami benturan kaki antar pemain. Kelemahan struktur
tulang juga sering terjadi pada atlet ski, jogging, pelari, pendaki gunung ataupun olahraga lain
yang dilakukan dengan kecepatan yang berisiko terjadinya benturan yang dapat menyebabkan
patah tulang.

4. Massa Tulang
Massa tulang yang rendah akan cenderung mengalami fraktur daripada tulang yang padat.
Dengan sedikit benturan dapat langsung menyebabkan patah tulang karena massa tulang yeng
rendah tidak mampu menahan daya dari benturan tersebut. Massa tulang berhubungan dengan
gizi tubuh seseorang.

b) Faktor Perantara
Agent yang menyebabkan fraktur sebenarnya tidak ada karena merupakan peristiwa
penyakit tidak menular dan langsung terjadi. Namun bisa dikatakan sebagai suatu perantara
utama terjadinya fraktur adalah trauma benturan. Benturan yang keras sudah pasti
menyebabkan fraktur karena tulang tidak mampu menahan daya atau tekanan yang
ditimbulkan sehingga tulang retak atau langsung patah. Kekuatan dan arah benturan akan
mempengaruhi tingkat keparahan tulang yang mengalami fraktur.

C) Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya fraktur dapat berupa kondisi jalan raya,
permukaan jalan yang tidak rata atau berlubang, lantai yang licin dapat menyebabkan kecelakaan
fraktur akibat terjatuh. Aktivitas pengendara yang dilakukan dengan cepat di jalan raya yang
padat, bila tidak hati – hati dan tidak mematuhi rambu lalu lintas maka akan terjadi kecelakaan.
Kecelakaan lalu lintas yang terjadi banyak menimbulkan fraktur

Stadium Penyembuhan Fraktur

Proses penyembuhan fraktur terdiri atas lima stadium yaitu :


1. Pembentukan hematom
Fraktur merobek pembuluh darah dalam medulla, korteks dan periosteum sehingga
timbul hematom.
2. Organisasi
Dalam 24 jam, kapiler dan fibroblas mulai tumbuh ke dalam hematom disertai dengan
infiltrasi sel – sel peradangan. Dengan demikian, daerah bekuan darah diubah menjadi
jaringan granulasi fibroblastik vaskular.
3. Kalus sementara
Pada sekitar hari ketujuh, timbul pulau – pulau kartilago dan jaringan osteoid dalam
jaringan granulasi ini. Kartilago mungkin timbul dari metaplasia fibroblas dan jaringan
osteoid ditentukan oleh osteoblas yang tumbuh ke dalam dari ujung tulang. Jaringan
osteoid, dalam bentuk spikula ireguler dan trabekula, mengalami mineralisasi
membentuk kalus sementara. Tulang baru yang tidak teratur ini terbentuk dengan cepat
dan kalus sementara sebagian besar lengkap pada sekitar hari kedua puluh lima.
4. Kalus definitif
Kalus sementara yang tak teratur secara bertahap akan diganti oleh tulang yang teratur
dengan susunan havers – kalus definitif.
5. Remodeling
Kontur normal dari tulang disusun kembali melalui proses remodeling akibat
pembentukan tulang osteoblastik maupun resorpsi osteoklastik. Keadaaan terjadi secara
relatif lambat dalam periode waktu yang berbeda tetapi akhirnya semua kalus yang
berlebihan dipindahkan, dan gambaran serta struktur semula dari tulang tersusun
kembali.

Kelainan Penyembuhan Fraktur

Tulang memperlihatkan kemudahan penyembuhan yang besar tetapi dapat terjadi


sejumlah penyulit atau terdapat kelainan dalam proses penyembuhan.
a. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas,
angulasi atau pergeseran.
b. Penyatuan tertunda
Keadaan ini umum terjadi dan disebabkan oleh banyak faktor, pada umumnya banyak
diantaranya mempunyai gambaran hiperemia dan dekalsifikasi yang terus menerus.
Faktor yang menyebabkan penyatuan tulang tertunda antara lain karena infeksi, terdapat
benda asing, fragmen tulang mati, imobilisasi yang tidak adekuat, distraksi, avaskularitas,
fraktur patologik, gangguan gizi dan metabolik.
c. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang – kadang dapat
terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor – faktor yang dapat menyebabkan non
union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari
fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.

Komplikasi Fraktur
1. Sindrom Emboli Lemak
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi
ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi
jaringan yang rusak.

2. Sindrom Kompartemen
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot,
yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan
aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot.
3. Nekrosis Avaskular (Nekrosis Aseptik)
Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling
sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur
berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah.

4. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat
berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang
berasal dari dalam tubuh).

5. Gangren Gas
Gas gangren berasal dari infeksi yang disebabkan oleh bakterium saprophystik gram-
positif anaerob yaitu antara lain Clostridium welchii atau clostridium perfringens.

Pencegahan Fraktur

Pencegahan fraktur dapat dilakukan berdasarkan penyebabnya. Pada umumnya fraktur


disebabkan oleh peristiwa trauma benturan atau terjatuh baik ringan maupun berat. Pada
dasarnya upaya pengendalian kecelakaan dan trauma adalah suatu tindakan pencegahan terhadap
peningkatan kasus kecelakaan yang menyebabkan fraktur.
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan upaya menghindari terjadinya trauma
benturan, terjatuh atau kecelakaan lainnya. Dalam melakukan aktifitas yang berat atau
mobilisasi yang cepat dilakukan dengan cara hati – hati, memperhatikan pedoman
keselamatan dengan memakai alat pelindung diri.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan untuk mengurangi akibat – akibat yang lebih serius dari
terjadinya fraktur dengan memberikan pertolongan pertama yang tepat dan terampil pada
penderita. Mengangkat penderita dengan posisi yang benar agar tidak memperparah
bagian tubuh yang terkena fraktur untuk selanjutnya dilakukan pengobatan.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier pada penderita fraktur yang bertujuan untuk mengurangi terjadinya
komplikasi yang lebih berat dan memberikan tindakan pemulihan yang tepat untuk
menghindari atau mengurangi kecacatan. Pengobatan yang dilakukan disesuaikan dengan
jenis dan beratnya fraktur dengan tindakan operatif dan rehabilitasi. Rehabilitasi medis
diupayakan untuk mengembalikan fungsi tubuh untuk dapat kembali melakukan
mobilisasi seperti biasanya.
NYERI
Defenisi Nyeri
Menurut Asosiasi Nyeri Internasional (1979) nyeri merupakan sensasi subjektif dan
pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang
aktual dan potensial yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan (IASP,
1994 dalam Potter & Perry, 2005).
Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh. Nyeri
seringkali dijelaskan dalam istilah proses destrukif jaringan (seperti tertusuk-tusuk, panas
terbakar, melilit, seperti dirobek-robek, seperti diremas-remas) dan atau suatu reaksi badan atau
emosi (misalnya perasaan takut, mual, mabuk).
Sifat-sifat ini menunjukkan kualitas nyeri: nyeri merupakan sensasi maupun emosi. Jika adekuat,
nyeri secara karakteristik berhubungan dengan perubahan tingkahlaku dan respon stres yang
terdiri dari meningkatnya tekanan darah, denyut nadi, kontraksi otot lokal (misalnya fleksi
anggota badan, kekakuan dinding abdomen) (Kurt, 1999).

Reseptor nyeri
adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang
berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya
terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang
bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya,
nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus),
somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah visceral.

Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Awitan
Berdasarkan waktu kejadian, nyeri dapat dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis.
1. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu atau durasi 1 detik sampai dengan kurang
dari enam bulan, sedangkan nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam
bulan. Nyeri akut dapat dipandang sebagai nyeri yang terbatas dan bermanfaat untuk
mengidentifikasi adanya cedera atau penyakit pada tubuh. Nyeri akut biasanya menghilang
dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan menyembuh (Tamsuri,
2007).

2. Nyeri kronis umumnya timbul tidak teratur, intermitten, atau bahkan persisten. Nyeri ini
menimbulkan kelelahan mental dan fisik (Tamsuri, 2007). Pada individu yang mengalami nyeri
kronis timbul suatu perasaan tidak aman karena ia tidak pernah tahu apa yang dirasakan dari hari
ke hari. Gejala nyeri kronik meliputi keletihan, insomnia, anoreksia, penurunan berat badan,
depresi, putus asa, dan kemarahan ( Potter & Perry, 2005).

Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi


Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam jenis, yaitu nyeri superfisial,
nyeri somatik dalam, nyeri viseral, nyeri alih, nyeri sebar, dan nyeri bayangan (fantom)
(Tamsuri, 2007).
1. Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimulasi kulit seperti pada laserasi, luka bakar, dan
sebagainya.
2. Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi pada otot tulang serta
struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya
perenggangan dan iskemia.
3. Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ interna. Nyeri bersifat difusi
dan dapat menyebar keberbagai arah.
4. Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari sensasi asal ke jaringan sekitar.
Nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan.
5. Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan klien yang mengalami amputasi.
6. Nyeri alih (reffered pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar
ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat dan lokasi.

Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Organ


Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan (aktual atau potensial)
organ. Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada neuralgia dan
dapat terjadi secara akut maupun kronis. Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor
psikologis, umumnya terjadi ketika efek-efek psikogenik seperti cemas dan akut timbul pada
klien (Tamsuri, 2007).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri


A. Lingkungan yang tidak nyaman dapat memperkuat persepsi nyeri. Suasana ribut, panas, dan
kotor akan membuat pasien merasa intensitas nyerinya lebih tinggi. Sebaliknya, jika suasanya
tenang, nyaman, dan bersih akan membentu menciptakan perasaan rileks sehingga rasa nyeri
dapat dikurangi (Taylor, 1997).
B. Usia juga dapat berpengaruh terhadap persepsi seseorang tentang nyeri. Toleransi terhadap
nyeri meningkat sesuai dengan pertambahan usia.
C. Kelelahan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin
intensif dan menurunkan kemampuan koping. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah individu
mengalami suatu periode tidur yang lelap dibandingkan pada akhir hari yang melelahkan (Potter
& Perry, 2005).
D. Riwayat sebelumnya berpengaruh terhadap persepsi seseorang terhadap nyeri. Orang yang
sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap menerima perasaan nyeri. Sehingga
dia lebih merasakan nyeri ringan dari pengalaman pertamanya (Taylor, 1997).
E. Mekanisme pemecahan masalah mempengaruhi kemampuan individu untuk mengatasi nyeri.
Individu sering kali menemukan berbagai cara untuk mengembangkan koping terhadap efek fisik
dan psikologis nyeri. Sumber-sumber koping individu selama mengalami nyeri seperti
berkomunikasi dengan keluarga pendukung, melakukan latihan atau menyanyi (Potter & Perry,
2005).
F. Kepercayaan dan agama mempengaruhi persepsi seseorang terhadap nyeri. Dalam agama
tertentu, kesabaran adalah hal yang paling berharga di mata Tuhan. Kadang-kadang nyeri
dianggap sebagai peringatan atas kesalahan yang telah dibuat sehingga orang tersebut merasa
pasrah dalam menghadapi nyeri (Taylor, 1997).
G. Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini
meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Cavillo dan Flaskerud 1991 dalam Potter & Perry,
2005).

Respon Tubuh Terhadap Nyeri


1. Respon fisik: Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh medulla
spinalis menuju batang otak dan thalamus, sistem saraf otonom terstimulasi, sehingga
menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh terhadap stres. Pada nyeri skala ringan
sampai moderat serta nyeri superfisial, tubuh bereaksi membangkitkan General Adaptation
Syndrome (Reaksi Fight or Flight), dengan merangsang sistem saraf simpatis sedangkan pada
nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral, akan
mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri, 2007).
2. Respon Perilaku: Respon perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat
bermacam-macam. Meinhart dan Mc. Caffery (1983) menggambarkan fase perilaku terhadap
nyeri yaitu: antisipasi, sensasi, dan pasca nyeri (Mc. Caffery dalam Tamsuri, 2007).
3. Respon Psikologis: Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap
nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi individu. Individu mengartikan nyeri sebagai suatu yang
negatif cenderung memiliki suasana hati sedih, berduka, ketidakberdayaan, dan dapat berbalik
menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya pada induvidu yang memiliki persepsi nyeri sebagai
pengalaman positif akan menerima nyeri yang dialaminya (Tamsuri, 2007).

Intensitas Nyeri

Gambar 1

Skala Intensitas Nyeri

1) ) Skala analog visual

2) Numerical Rating Scale

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak nyeri Nyeri Sedang Sangat nyeri


3) Skala Intensitas Nyeri Deskritif

Menurut Smeltzer & Bare, (2002)

Keterangan :

0 :Tidak nyeri
1-3: Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, dapat mendeskripsikannya, dan dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya,
tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat : pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
FISIOLOGI MUSCULOSKELETAL
Fisiologi Sistem musculoskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan peran dalam
pergerakan. Sistem terdiri dari tulang sendi, rangka, tendon, ligament, bursa, dan jaringan-
jaringan khusus yang menghubungkan struktur tersebut (Price dan Wilson, 2006).
Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel antara lain :
osteoblast, osteosit dan osteoklas.
1. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe 1 dan proteoglikan sebagai
matriks tulang dan jaringan osteoid melalui suatu proses yang di sebut osifikasi. Ketika sedang
aktif menghasilkan jaringan osteoid , osteoblas mengsekresikan sejumlah besar fosfatase alkali,
yang memegang peran penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat kedalam matriks tulang,
sebagian fosfatase alkali memasuki aliran darah dengan demikian maka kadar fosfatase alkali di
dalam darah dapat menjadi indikator yang baik tentang tingkat pembentukan tulang setelah
mengalami patah tulang atau pada kasus metastasis kanker ke tulang.

2. Ostesit adalah sel- sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran
kimiawi melalui tulang yang padat.

3. Osteklas adalah sel-sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang
dapat di absorbsi. Tidak seperti osteblas dan osteosit, osteklas mengikis tulang. Sel-sel ini
menghsilkan enzim-enzim proteolotik yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang
melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah.
Secara umum fungsi tulang menurut Price dan Wilson (2006) antara lain:
A. Sebagai kerangka tubuh. Tulang sebagai kerangka yang menyokong dan memberi bentuk
tubuh.
B. Proteksi Sistem musculoskeletal melindungi organ- organ penting, misalnya otak dilindungi
oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan paru-paru terdapat pada rongga dada (cavum thorax)
yang di bentuk oleh tulangtulang kostae (iga).
C. Ambulasi dan Mobilisasi Adanya tulang dan otot memungkinkan terjadinya pergerakan tubuh
dan perpindahan tempat, tulang memberikan suatu system pengungkit yang di gerakan oleh otot-
otot yang melekat pada tulang tersebut ; sebagai suatu system pengungkit yang digerakan oleh
kerja otot- otot yang melekat padanya.
D. Deposit Mineral Sebagai reservoir kalsium, fosfor,natrium,dan elemen- elemen lain. Tulang
mengandung 99% kalsium dan 90% fosfor tubuh
E. Hemopoesis Berperan dalam bentuk sel darah pada red marrow. Untuk menghasilkan sel- sel
darah merah dan putih dan trombosit dalam sumsum merah tulang tertentu

FISIOLOGI SISTEM TULANG


Fungsi tulang secara umum:

 Formasi kerangka (penentu bentuk dan ukuran tubuh)

 Formasi sendi (penggerak)

 Perlengketan otot
 Pengungkit

 Menyokong berat badan

 Proteksi (membentuk rongga melindungi organ yang halus dan lunak, seperti
otak, jantung dan paru)

 Haemopoesis (pembentukan sel darah (red marrow)

 Fungsi Imunologi: RES sumsum tulang membentuk limfosit B dan makrofag


Penyimpanan Mineral (kalsium & fosfat) dan lipid (yellow marrow)

 Fungsi tulang secara khusus:

 Sinus-sinus paranasalis: menimbulkan nada pada suara

 Email gigi: memotong, menggigit dan menggilas makanan

 Tulang kecil telinga: mengkonduksi gelombang suara

 Panggul wanita: memudahkan proses partus

 Komposisi tulang:

 Mineral dan jaringan organik (kolagen dan proteoglikan)

 Kalsium dan fosfat

 Faktor Pertumbuhan Tulang

 Herediter

 Nutrisi

 Faktor Endokrin

 Faktor persarafan

 Faktor mekanis

 Penyakit-penyakit
 Sendi Berdasarkan strukturnya

 Fibrosa: hubungan antar sendi oleh jaringan fibrosa

 Kartilago/tulang rawan: ruang antar sendinya berikatan dengan tulang rawan.

 Sinovial/sinovial joint: ada ruang sendi dan ligament untuk mempertahankan


persendian.

Sendi berdasarkan jenis persambungannya:


Sinartrosis: Sendi yang terdapat kesinambungan karena di antara kedua ujung tulang
yang bersendi terdapat suatu jaringan, contohnya pada tulang tengkorak

Amphiarthrosis: Sendi yang dapat sedikit bergerak, contohnya tulang persendian


vertebrae

Diartrosis: Sendi terdapat ketidak-sinambungan karena di antara tulang yang bersendi


terdapat rongga (cavum articulare), contohnya sendi panggul, lutut, bahu dan siku.

SISTEM MUSKULUS (OTOT)

 Sistem otot terdiri dari : Otot, Fascia, Tendon

 Otot membentuk 43% berat badan; > 1/3-nya merupakan protein tubuh dan setengahnya
tempat terjadinya aktivitas metabolik saat tubuh istirahat.

 Proses vital di dalam tubuh (seperti. Kontraksi jantung, kontriksi pembuluh darah,
bernapas, peristaltik usus) terjadi karena adanya aktivitas otot

Fungsi otot adalah Sebagai alat gerak aktif, Menyimpan cadangan makanan, Memberi
bentuk luar tubuh

Fungsi sistem otot rangka:

 Menghasilkan gerakan rangka.

 Mempertahankan sikap dan posisi tubuh.

 Menyokong jaringan lunak.

 Menunjukkan pintu masuk dan keluar saluran dalam sistem tubuh.

 Mempertahankan suhu tubuh; kontraksi otot: energi menjadi panas


Tipe jaringan otot

1. Otot polos: memiliki 1 inti yang berada di tengah, dipersarafi oleh saraf otonom
(involunter), serat otot polos (tidak berserat), terdapat di organ dalam tubuh (viseral),
sumber Ca2+ dari CES, sumber energi terutama dari metabolisme aerobik, awal
kontraksi lambat, kadang mengalami tetani, tahan terhadap kelelahan

2. Otot rangka/ otot serat lintang: memiliki banyak inti, dipersarafi oleh saraf motorik
somatik (volunter), melekat pada tulang, sumber Ca2+ dari retikulum sarkoplasma (RS),
sumber energi dari metabolisme aerobik dan anaerobik, awal kontraksi cepat, mengalami
tetani dan cepat lelah
3. Otot jantung: memiliki 1 inti yang berada di tengah, dipersarafi oleh saraf otonom
(involunter), serat otot berserat, hanya ada di jantung, sumber Ca2+ dari CES & RS,
sumber energi dr metabolisme aerobik, awal kontraksi lambat, tidak mengalami tetani,
dan tahan terhadap kelelahan

Mekanisme gerakan otot:

 Otot yang dapat menggerakkan rangka adalah otot yang melekat pada rangka.

 Garis-garis gelap dan terang pada otot rangka adalah miofibril yang merupakan sumber
kekuatan otot dalam melakukan gerakan kontraksi, karena massa utamanya adalah
serabut.
Mekanisme kontraksi otot: Rangsangan  asetilkolin  terurai menjadi asetil dan kolin
miogen  merangsang aktin dan miosin bergeser  otot akan berkontraksi atau memendek.
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22361/4/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal


8 November 2016 Pukul 18.49 WIB

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/135/jtptunimus-gdl-nurhidayah-6731-2-babii.pdf diakses
pada tanggal 8 November 2016 Pukul 19.03 WIB

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24614/4/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal


8 November 2016 Pukul 20.29 WIB

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/ANATOMI%20FISIOLOGI.pdf diakses pada tanggal 8


November 2016 Pukul 20.42 WIB

Anda mungkin juga menyukai