Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi yang

menyerang saluran pernapasan atas maupun bawah secara mendadak serta

menimbulkan masalah kegawatan dan menjadi salah satu penyebab kematian pada

bayi dan balita (Kawenas, 2010). Menurut program pengendaliannya, ISPA

dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu golongan pneumonia dan bukan pneumonia.

Penyakit batuk pilek, seperti rinitis, faringitis tonsilitis dan penyakit jalan napas

bagian atas lainnya digolongkan sebagai ISPA bukan pneumonia (Kemenkes RI,

2013)

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang

sering terjadi pada anak. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama

kunjungan pasien di sarana kesehatan, sebanyak 40%-30% kunjungan berobat di

puskesmas dan 15%-30% kkunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat iinap

rumah sakit disebabkan oleh ISPA. Salah satu penyakit yang menjadi target progam

pengendalian ISPA adalah pneumonia (Setyati, 2014)

(WHO) Memperkirakan di negara berkembang kejadian pneumonia anak-

balita sebesar 151,8 juta kasus pneumonia per tahun, sekitar 8,7 % (13.1 juta)

diantaranya pneumonia berat. Di dunia terdapat 15 negara dengan prediksi kasus

baru dan kejadian pneumonia paling tinggi anak sebesar 74% (115, 3 juta) dari 156

juta kasus diseluruh dunia. Lebih dari setengah terjadi pada 6 negara, dan Indonesia
terdapat 6 juta kasus, mencakup 44% pupulasi anak balita di dunia pertahun ( World

Pneumonia Day , 2012)

Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2013, angka kematian akibat

pneumonia pada balita sebesar 1,19% pada kelompok bayi angka kematian lebih

tinggi yaitu sebesar 2,89% dibandingkan pada kelompok umur 1-4 tahun yang

sebesar 0,20%. Pneumonia juga selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar

setiap tahunnua di fasilitas kesehatan. Hal ini menunjukkan bahawa pneumonia

merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama dan

berkontribusi tinggi terhadap angka kematian balita di Indonesia (Kemenkes ,

2013). Kematian yang disebabkan pneumonia merupakan peringkat teratas

kemartian pasien di fasilitas kesehatan (Kemenkes , 2012)

Pneumonia juga merupakan penyebab kematian kedua setelah diare. Rata-

rata 83 balita meninggal setiap hari karena pneumonia (kemenkes, 2010). Menurut

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, angka kejadian ISPA di propinsi Jawa

Timur 100.000 (Depkes, 2012)

Bronkopneumonia adalah radang paru-paru pada bagian lobularis yang

ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh agen infeksius

seperti bakteri,virus, jamur dan benda asing, yang ditandai dengan gejala demam

tinggi, gelisah, dispnoe, napas cepat dan dangkal (terdengar adanya ronki basah),

muntah, diare, batuk kering dan produktif.(Anggriani, 2014)

Bronkopneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas

anak berusia di bawah 5 tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian

anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita meninggal setiap tahun akibat
pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Insiden pneumonia

di negara berkembang yaitu 30- 45% per 1000 anak di bawah usia 5 tahun, 16- 22%

per 1000 anak pada usia 5-9 tahun, dan 7- 16% per 1000 anak pada yang lebih tua.

Bronkopneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas

anak berusia di bawah 5 tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian

anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita meninggal setiap tahun akibat

pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Insiden pneumonia

di negara berkembang yaitu 30- 45% per 1000 anak di bawah usia 5 tahun, 16- 22%

per 1000 anak pada usia 5-9 tahun, dan 7- 16% per 1000 anak pada yang lebih tua.

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktus respiratoris

bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik mendadak sampai 39 – 40.0 C

dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi.Anak sangat gelisah

dispneu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan

sianosis sekitar hidung dan mulut.Kadang – kadang disertai muntah dan diare.Batuk

biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk selama

beberapa hari, yang mula-mula kering kemudian menjadi produktif.Pada

laboratorium pada bronkopneumonia, gambaran darah terdapat leukositosis

sedangkan pada bronkiolitis gambaran darah tepi dalam batas normal, kimia darah

menunjukkan gambaran asidosis respiratorik maupun metabolik.Usapan nasofaring

menunjukkan flora bakteri normal(Setyanto, 2010).

Ketidakmampuan untuk mengeluarkan secret merupakan kendala yang

sering dijumpai pada usia tersebut reslek batuk masih lemah. Tatalaksana infeksi

saluran pernapasan di rumah sakit selain mendapat terapi farmakologis juga


dilakukanterapi non farmakologis seperti farmakologis seperti fisioterapi dada

untuk membantu jalan napas dari secret yang berlebihan. Fisioterapi dada yang

sering disebut sebagai fisioterapi konvensional postural darainage, Vibrasi, dan

perkusi (Perry & Potter, 2009; Hockenberry & Wilsson, 2012).

Pneumonia dibagi atas pneumonia ringan, pneumonia berat dan pneumonia

sangat berat. Pada pneumonia berat dan sangat berat akan dilakukan rawat inap

sedangkan pada pneumonia ringan akan dilakukan pengobatan rawat jalan.

Pneumonia ringan memiliki dapat dilakukan rawat jalan dimana ibu bisa

memberikan perawatan penunjang pada balitanya di rumah. Pneumonia yang

terjadi pada balita dapat berubah menjadi semkain berat jika perawatan tidak

dilakukan dengan baik sebab terdapat factor yang mempengaruhi terjadinya

perubahan seperti antibiotik, pelaporan kasus dan perawatan di rumah. Pengetahuan

ibu akan menjadi pendukung penting sebab jika memiliki pengetahuan yang baik

dapat mengatasi masalah masalah kesehatan termasuk pneumonia.

Dampak bila ibu tidak memberikan perawatan yang baik pada balitanya

akan memperberat penyakitnya yaitu menjadi pneumonia berat sehingga saat

dibawa kerumah sakit keadaannya sudah semakin memburuk. Dampak lainnya

yaitu berat badan balita menurun, demam tidak berkurang dan nafsu makan

berkurang. Salah satu kriteria keberhasilan perawatan di rumah adalah bila saan 2

hari kemudian pernapasannya membaik (melambat), demam berkuang dan nafsu

makan membaik dan pemberian antibiotik selama 5 hari (WHO, 2009)

Green (1980) mencoba menganalisis perilaku dari tingkat kesehatan.

Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yakni faktor
perilaku (behaviour causes) dan faktor diluar perilaku (non behaviour causes).

Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu

pertama faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.Kedua

faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia

atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau saranasarana kesehatan, dan

sebagainya. Ketiga faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam

sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupak kelompok

referensi dari perilaku masyarakat. Dan dapat disimpulkan bahwa perilaku

seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap,

kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang

bersangkutan. Di samping itu ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas

kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya

perilaku.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat masih kurangnya kemampuan keluarga terutama

ibu dalam pencegahan dan perawatan ISPA dengan bronkopnemonia pada anak,

maka dari itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana perawatan

yang benar yang dilakukan oleh ibu pada balita yang terkena ISPA.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah

menilai bagaimana tingkat pengetahuan ibu terhadap perawatan kejadian ISPA

dengan bronkopneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pucang Sewu?


1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui Tingkat pengetahuan ibu dalam melakukan perawatan ISPA

dengan bronkopnemoni pada Balita di Puskesmas Pucang Sewu.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Diidentifikasnya tingkat pengetahuan ibu tentang ISPA dengan

bronkopneumonia pada balita di wilayah Kerja Puskesmas pucang sewu.

2. Diidentifikasinya karakteristik orang tua terutama ibu balita dengan

bronkopneumonia di wilayah kerja Puskesmas Pucang Sewu.

3. Diidentifikasi pengetahuan orang tua terutama pada ibu tentang perawatan

ISPA dengan bronkopneumonia di wilayah kerja Pucang Sewu.

4. Diidentifikasi pengetahuan orang tua terutama ibu balita dengan

bronkopneumonia setelah dilakukan Pendidikan kesehatan di wilayah kerja

puskesmas Pucang Sewu.

5. Diidentifikasi pengetahuan orang tua terutama ibu balita dengan

bronkopneumonia sebelum dilakukan Pendidikan kesehatan di wilayah kerja

puskesmas Pucang Sewu.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti Mengaplikasikan ilmu dan teori-teori yang diperoleh selama di

bangku perkuliahan dan meningkatkan pengetahuan khususnya masalah

pneumonia.

1.4.2 Bagi Mahasiswa Jurusan Keperawatan Hasil penelitian ini dapat digunakan

sebagai referensi bahan pustaka untuk peneliti selanjutnya.


1.4.3 Bagi Puskesmas Pucang Sewu Hasil penelitian dapat memberikan informasi

tentang tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku orang tua tentang

pneumonia yang berhubungan dengan tingkat perawatan pneumonia pada

balita, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan

kebijakan kesehatan selanjutnya terutama dalam program penanggulangan

dan pengendalian pneumonia pada balita.

1.4.4 Manfaat Bagi Masyarakat Hasil penelitian dapat memberikan informasi

kepada masyarakat mengenai tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku

orang tua tentang pneumonia yang berhubungan dengan tingkat

kekambuhan pneumonia pada balita, sehingga masyarakat terutama orang

tua dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku kesehatannya

mengenai penyakit infeksi pada balita khususnya pneumonia sehingga dapat

mencegah resiko terjadinya kekambuhan pneumonia pada balita.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Teori Pengetahuan

2.1.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan atau knowledge adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil

tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya, seperti : mata,

hidung, telinga, dan yang lainnya. Dengan sendiri pada waktu pengindraan

sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh identitas

perhatian dan presepsi terhadap objek. Pengetahuan adalah hal-hal yang kita

ketahui tentang kebenaran yang ada di sekitar kita tanpa harus menguji

kebenaranny, didapat melalui pengamatan yang lebih mendalam (Notoadmodjo,

2010).

Kesimpulannya dari pengertian diatas bahwa pengetahuan merupakan hasil

tahu dari manusia terhadap pengindraan untuk mengetahui kebenaran dari hasil

pengamatan.

2.1.2 Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoadmodjo (2010), Pengetahuan seseorang terhadap objek

mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda - beda. Secara garis besarnya

dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan:

1. Tahu atau know

Tahu hanya diartikan sebagai recall atau memanggil memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Oleh sebab itu tahu ini merupakan

tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa
orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2. Memahami atau comprehension

Memahami suatu objek bukan sekedar tau terhadap objek tersebut, tidak

sekedar dapat menyebutkan, tetap orang tersebut harus dapat

menginterprestasikan secara benar tentang objek yang diketahuinya tersebut.

3. Aplikasi atau application

Aplikasi diartikan apabila orang yang lelah mamahami objek yang dimaksud,

dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut,

pada situasi yang lain.

4. Analisis atau analysis

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan atau memisahkan,

kemudian mencari hubungan atau komponen-komponen yang terdapat dalam

suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan

seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut

telah membedakan atau memisahkan, mengelompokan, membuat diagram atau

bagan terhadap pengetahuan atau objek tersebut.

5. Sintesis atau syntesis

Sintesis menunjukan kemampuan seseorang untuk merangkum atau

meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen

pengetahuan yang dimiliki, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan

untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada.

6. Evaluasi atau evaluation

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi


atau penelitian terhadap objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri.

2.1.3 Cara Ilmiah Dalam Memperoleh Pengetahuan

Cara baru atau modem dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini

lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau

lebih populer disebut metodologi penelitian atau research methodology. Cara ini

dikembangkan oleh Prancis Bacon (1561-1626). Seorang tokoh yang

mengembangkan metode berpikir induktif yaitu dengan pengamatan langsung

terhadap gejala-gejala alam atau kemasyarakatan, kemudian hasil pengamatan

tersebut dikumpulkan dan diklarifikasikan dan akhirnya diambil kesimpulan

umum, kemudian metode berpikir induktif yang dikembangkan oleh Bacon ini

dilanjutkan oleh Deobold van Dallen yang mengatakan bahwa dalam memperoleh

kesimpulan dilakukan dengan mengadakan observasi langsung dan membuat

pencatatan-pencatatan terhadap semua fakta sehubungan dengan objek yang

diamati.

Pencatatan ini mencakup tiga hal, yakni :

a. Segala sesuatu yang positif, yakni gejala tertentu yang muncul pada saat

dilakukan pengamatan

b. Segala sesuatu yang negatif, yakni gejala tertentu yang tidak muncul saat

dilakukan pengamatan

c. Gejala-gejala yang muncul bervariasi, yaitu gejala-gejala yang berubah-

berubah pada kondisi tertentu.

2.1.4 Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoadmodjo (2010), ada beberapa faktor yang mempengaruhi Tingkat


pengetahuan seseorang, yaitu :

1. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian

dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur

hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan

seeorang semakin mudah orang tersebut untuk menerima informasi, dengan

pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan

informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa.

2. Informasi atau media massa

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non

formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek, sehingga menghasilkan

perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia

bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan

masyarakat tentang inovasi baru sebagai sarana komunikasi, berbagai

bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah yamg

mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayan

orang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan

kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut.

3. Usia

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan

pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.

Semakin tua terdapat banyak informasi yang dijumpai dan banyak hal

yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya. Beberapa teori


berpendapat ternyata IQ seseorang akan menurun cukup cepat sejalan

dengan bertambahnya usia.

4. Sosial budaya dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui

penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Oleh karena itu,

seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan.

Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas

yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini

akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

5. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik

lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh

terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada

dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal

balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap

individu.

6. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi

masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan

memberikan pengetahuan dan keterampilan professional serta pengalaman

belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil


keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara

ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya

2.2 Konsep dasar Infeksi Pernapasan Akut

2.2.1 Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan

ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah penyakit infeksi akut yang

menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran pernanafasan mulai dari hidung

(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah). Penularan ISPA yang utama melalui

droplet yang keluar dari hidung/mulut penderita saat batuk atau bersin yang

mengandung bakteri. Beberapa kasus ISPA dapat menyebabkan KLB (Kejadian

Luar Biasa) dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi, sehingga

menyebabkan kondisi darurat pada kesehatan masyarakat dan menjadi masalah

nasional (Depkes RI, 2010).

ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari

saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya

seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (R. Hartono, 2012).

Pengertian Bronkopneumonia Bronkopneumonia disebut juga pneumonia

lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang

biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang

sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam- macam

etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia

disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi

yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi

sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa
juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang

dewasa (Bradley et.al., 2011).

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan

bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy

distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang

disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh

penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan

gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al., 2011)

2.2.2 Penyebab Infeksi Saluran Pernapasan

Cara terjadinya penularan mikroorganisme pneumonia berkaitan dengan jenis

kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan oleh Streptococcus

pneumoniae, melalui selang infus oleh Staphylococcus aureus sedangkan infeksi

pada pemakaian ventilator oleh P. aeruginosa dan Enterobacter.

Pada saat ini terjadi perubahan pola mikroorganisme penyebab infeksi saluran

napas bawah akut (ISNBA) akibat adanya perubahan pada keadaan pasien seperti

gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan

antibiotik yang tidak tepat hingga menimbulkan perubahan karakteristik kuman.

Pada pneumonia komunitas (PK) rawat jalan, jenis patogen tidak diketahui pada

40% kasus, dilaporkan adanya S. Pneumoniae pada (9-20%), M. pneumoniae (13-

37%), Chlamydia pneumonia (17%) (Dahlan, 2014).


2.2.3 Klasifikasi Infeksi Saluran Pernapasan Akut

Progam Pengendalian Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2

golongan yaitu pneumonia dan bukan pneumonia. Pneumonia dibagi tas derajat

beratnya yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat (Kemenkes, 2012).

Penyakit batuk pilek seperti rhinitis, faringitis, tonsillitis, dan penyakit jalan napas

bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etilologi dari sebagaian

besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialaha virus dan tidak dibutuhkan terapi

antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada Balita. Bila

ditemukan harus diobati dengan antibiotik (Setyati, 2014)

Klasifikasi berdsarkan frekuensi nafas, tarikan dinding dada bagian bawah, Bunti

nafas (stridor) :

1. Pneumonia

Batuk, demam lebih dari 38 C disertai sesak napas.

Frekuensi napas lebbih dari 40 x / menit, ada tarikan dinding dada bagian

bawah. Pada asukultasi didapati bunyi stridor pada paru.

2. Non Pneumonia

Bila bayi dan Balita batuk, demam 38 C tidak disertai nafas cepat lebih dari

40x/menit, tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada bunyi

stridor pada paru (Kemenkes, 2012). Progam P2 ISPA mengklasifikan kasus

keadaan ke dalam 2 kelompok usia yaitu dibawah 2 bulan(Pneumonia Berat

dan bukan Pneumonia) . Usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun menjadi

pneumonia berat dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam,

pneumonia dan bukan pneumonia.


Pembagian Bronkopneumonia menurut WHO (2009)

1. Bronkopneumonia sangat berat: bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak

sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.

2. Bronkopneumonia berat: bila dijumpai retraksi tanpa sianosis dan masih

sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.

3. Bronkopneumonia: bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang

cepat yakni >60 x/menit pada anak usia kurang dari dua bulan; >50 x/menit

pada anak usia 2 bulan-1 tahun; >40 x/menit pada anak usia 1-5 tahun.

4. Bukan bronkopneumonia: hanya batuk tanpa adanya gejala dan tanda seperti

di atas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotik.

2.2.4 Patifisiologi Infeksi Saluran Pernapasan Akut

Sebagian besar ISPA disebabkan oleh virus, meskipun bakteri juga dapat

terlibat sejak awal atau yang bersifat sekunder terhadap infeksi virus.

Semua yang infeksi mengakibatkan respon imun dan inflamasi sehingga

terjadi pembengkakan dan edema jaringan yang terinfeksi. Reaksi inflamasi

menyebabkan peningkatan produksi mukus yang berperan menimbulkan ISPA,

yaitu kongesti atau hidung tersumbat, sputum berlebih, dan rabas hidung (pilek).

Sakit kepala, demam ringan juga dapat terjadi akibat reaksi inflamasi. Meskipun

saluran napas atas secara langsung terpajan dengan lingkungan, infeksi relative

jarang meluas menjadi infeksi saluran napas bawah yang mengenai bronchus atau

alveolus. Terdapat banyak mekanismae perlindungan di sepanjang saluran napas

untuk mencegah infeksi.


Range dari mikroba pathogen yang menginfeksi bervariasi sangat luas

seperti bakteri, mycobacterium, myoplasma, chlamidia, jamur dan virus. Padahal

karakteristik biologis, gambaran perilaku dan lingkungan dari organismeorganisme

ini berbeda satu sama lainnya dalam menimbulkan penyakit pernapasan (Gwaltney,

et.al., 2001 dalam Ariyanto, 2008).

Agen infeksius memasuki saluran pernapasan dapat dengan cara:

penyebaran secara homogen, atau dengan inhalasi, ataupun dengan aspirasi ke

dalam saluran tracheobronchial. Diperkirakan hanya 10-15% anak-anak dengan

pneumonia yang penyebarluasan penyakit pneumonia balita adalah melalui

mekanisme nonhematogen.

Saluran pernapasan memiliki kemampuan untuk menyaring dan menangkap

kuman pathogen yang masuk dengan cara Refleks batuk, yaitu dengan

mengeluarkan benda asing dan mikroorganisme, serta mengeluarkan mukus yang

terakumulasi dan mukosyliaris. Lapisan mukosiliaris yaitu lapisan yang terdiri dari

sel-sel yang beralokasi dari bronkus ke atas dan mempunyai produksi mukus, serta

sel-sel silia yang melapisi sel-sel penghasil mukus. Sel penghasil mukus

menangkap partikel benda asing, dan silia bergerak secara ritmik untuk mendorong

mukus dan semua partikel yang terperangkap, ke atas cabang pernapasan ke

nasofaring tempat mukus tersebut dapat dikeluarkan sebagai sputum, dikeluarkan

melalui hidung atau ditelan. Proses kompleks ini kadang disebut sebagai system

escalator mukosiliaris. Silia adalah struktur lembut yang mudah rusak atau cedera

oleh berbagai stimulus berbahaya, termasuk asap rokok.


Apabila mikroorganisme dapat lolos dari mekanisme pertahanan tersebut

dan membuat koloni di saluran pernapasan atas, bagian penting pertahanan ketiga

syste m imun, akan bekerja untuk mencegah mikroorganisme tersebut sampai ke

saluran napas bawah. Respon ini diperantarai oleh limfosit, tetapi melibatkan sel

darah putih lainnya (Corwin, 2009).

Seperti Kanra, et.al (1997) dalam Ariyanto (2008) mengatakan, makrophag

alveolar akan mengeliminasi organisme yang mencapai alveoli.

Eliminasi.organisme infeksius diperkuat oleh imununoglobulin G dan A serta

faktor lainnya, sebagai pelengkap seperti antiprotease, lysoszyme, dan fibronectin.

Kondisi yang mendukung keadaan yang menyebabkan menurunnya daya tahan

tubuh, antara lain: infeksi virus yang menyebabkan menurunnya daya tahan pada

saluran pernapasan, dilakukannya tindakan endotracheal dan traechostomy, obat-

obat yang berdampak pada reflek batuk, menghambat pergerakan mucosiliaris

(Kanra, et.al., 1997 dalam Ariyanto, 2008).

2.2.5 Tanda dan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut

Penyakit infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi pada telinga, tenggorokan (pharynx)

trachea, bronchioli, dan paru. Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernapasan:

batuk, sakit tenggorokan, pilek, demam, kesulitan bernapas dan sakit telinga.

Berdasarkan ting

kat keparahannya, infeksi saluran pernapasan akut di bagi menjadi tiga kelompok yaitu:

1. ISPA ringan Gejalanya antara lain adalah:

a. Batuk
b. Serak yaitu anak bersuara bersuara parau ketika mengeluarkan suara (misalnya pada

saat berbicara atau menangis)

c. Pilek yakni anak mengeluarkan lender/ingus dari hidung

d. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C atau jika dahi anak diraba dengan

punggung tangan terasa panas.

2. ISPA sedang Anak dinyatakan menderita ISPA sedang, bila dijumpai gejal-gejala

ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:

a. Pernapasan lebih dari 50 kali permenit pada anak berumur kurang dari satu tahun

atau lebih dari 40 kali permanit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih.

b. Suhu lebih dari 390 C

c. Tenggorokan berwarna merah

d. Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak

e. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga

f. Pernapasan berbunyi seperti mendengkur

g. Pernapasan berbunyi menciut-ciut

3. ISPA berat Anak dinyatakan ISPA berat, jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan dan

sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:

a. Bibir atau kulit membiru

b. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada saat bernapas

c. Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun


d. Pernapasan berbunyi seperti mengorok, menciut dan anak tampak gelisah

e. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas

f. Nadi cepat lebih dari 60 kali permanit atau tak teraba

g. Tenggorokan berwarna merah

Kemenkes RI (2012) menyatakan pneumonia di bagi menjadi dua yaitu pneumonia

ringan dan pneumonia berat. Tanda dan gejala pneumonia dibedakan menurut

tingkatannya yaitu:

a. tanda dan gejala pneumonia ringan Balita dinyatakan mengalami pneumonia ringan

jika ditemukan satu atau lebih tanda dan gejala sebagai berikut:

1) tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK).

2) demam

3) nafas cepat balita usia 2 bulan - 12bulan 50x/menit dan pada balita usia 12bulan-

<1 tahun dan 40kali/menit bila usia anak 1-<5 tahun.

b. tanda dan gejala pneumonia berat Balita dinyatakan mengalami pneumonia berat jika

ditemukan satu atau lebih tanda dan gejala sebagai berikut:

1) adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK).

2) Kejang

3) Kesadaran menurun

4) Anak tidak dapat minum (menetek)

5) Anak mengalami stidor


2.2.6 Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut

Pencegahan ISPA sangat erat kaitannya dengan sistem kekebalan tubuh yang dimiliki

oleh seseorang. Seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah akan sangat

rentan terhadap serangan ISPA.

Keadaan gizi dan keadaan lingkungan merupakan hal yang penting bagi pencegahan

penyakit ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah ISPA antara lain

dengan memberikan gizi yang cukup kepada anak atau dapat juga dengan melakukan

imunisasi untuk menjaga kekebalan tubuh.

Sebagai pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan menjaga keadaan gizi agar tetap

baik, Imunisasi, menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan, mencegah kontak

dengan penderita ISPA (Dinkes, 2013)

Pencegahan terjadinya ISPA yakni dengan meningkatkan daya tahan tubuh atau

memperbaiki gizi dengan makan makanan yang bergizi, minum cukup, dan istitrahat

cukup. Kunjungi pelayanan kesehatan segera atau beri pengobatan bila mulai muncul

tanda tanda ISPA. Tempat tinggal sedapat mungkin memiliki ventilasi yang baik dan

tidak terlalu penuh penghuninya agar udara tidak sesak, serta pastikan anak

mendapatkan imunisasi lengkap(Sukandarrumidi, 2010)

2.2.7 Cara Mengatasi Bahaya ISPA Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah bahaya

ISPA pada balita antara lain:

1. Segera membawa balita ke tempat pelayanan kesehatan terdekat ( Puskesmas atau

Rumah Sakit) atau menghubungi kader kesehatan terdekat bila ditemukan disertai

adanya kesulitan bernafas.


2. Semua bayi umur di bawah 2 bulan yang menderita batuk pilek segera di bawa ke

tempat pelayanan kesehatan terdekat.

2.2.8 Cara Mengatasi Bahaya ISPA Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah bahaya

ISPA pada balita antara lain:

1. Segera membawa balita ke tempat pelayanan kesehatan terdekat ( Puskesmas atau

Rumah Sakit) atau menghubungi kader kesehatan terdekat bila ditemukan disertai

adanya kesulitan bernafas.

2. Semua bayi umur di bawah 2 bulan yang menderita batuk pilek segera di bawa ke

tempat pelayanan kesehatan terdekat.

1. Program Pengendalian ISPA Program pengendalian ISPA yang dilakukan oleh

pemerintah mempunyai tujuan utama yaitu :

a. Menekankan/ mengurangi kematian oleh pneumonia pada balita.

b. Mengurangi penggunaan antibiotika dan obat yang kurang tepat pada

pengobatan penyakit ISPA.

c. Menurunkan kesakitan pneumonia pada kelompok balita.

2.2.9 Penanggulangan ISPA Menurut (Biddulp et.al, 1999 dalam Ariyanto,2008)

Cara penanggulangan penyakit ISPA dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :

a. Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan terutama diarahkan kepada

pencegahan penyakit ISPA yaitu:

a) Primordial Prevention : yang bertujuan menghindari faktor risiko bila faktor

tersebut belum ditemukan dalam masyarakat, misalnya penderita batuk, asap


rokok, yang menyebabkan risiko tinggi terhadap terjadinya ISPA perlu

dihindari dengan cepat.

b) Primary Prevention yang bertujuan untuk mengurangi atau merubah faktor

risiko yang telah ada baik pada individu maupun masyarakat, misalnya

bagaimana mengurangi kepadatan penghuni, memperbaiki ventilasi

rumah,membuat system dapur sedemikian rupa sehingga dapat membatasi

penghisapan asap dari kompor. Pencegahan penyakit ISPA khususnya pada

anak-anak, maka pendidikan kesehatan diarahkan terutama pada ibu-ibu.

b. Pengendalian Infeksi ISPA Pengendalian ISPA yang dimaksud adalah

pengobatan ISPA, baik ISPA bagian atas maupun ISPA bagian bawah.

Pengendalian diupayakan supaya, ISPA bagian atas tidak menimbulkan

komplikasi dan bagaimana supaya ISPA bagian bawah tidak terlalu parah.

c. Imunisasi Program imunisasi yang bertujuan untuk mencegah penyakit tertentu

seperti difteri, campak dan pertusis dapat mengurangi terjadinya

2.2.10 Perawata ISPA Pada Balita ( Depkes, 2009)

1. Kompres Hangat atau memberi minyak yang hangat

2. Beri minum air putih

3. Memberikan jeruk nipis dicampur kecap

4. Bersihkan ingus yang keluar dari hidung balita

5. Segera membawa balita dan puskesmas terdekat

Anda mungkin juga menyukai