b. Sinus Paranasalis
Sinus paranasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala. Sinus
paranasalis terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan
sinus maxilaris. Fungsi sinus yaitu sebagai berikut.
1. membantu menghangatkan dan humidifikasi
2. meringankan berat tulang tengkorak
3. mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi.
c. Faring
Faring merupakan pipa berotot yang berbentuk cerobong (± 13 cm) yang
letaknya mulai dari dasar tengkorak sampai persambungan dengan esophagus
pada ketinggian tulang rawan (kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat
digestion (menelan) seperti pada saat bernafas. Berdasarkan letaknya, faring
dibedakan menjadi tiga yaitu:
1. dibelakang hidung (nasofaring) berfungsi untuk menjaga tubuh dari invasi
organisme yang masuk ke hidung dan tenggorokan. Nasofaring terdapat pada
superior di area terdapat epitel bersilia (pseudo stratified) dan tonsil
(adenoid), sertamerupakan muara tube eustachius. Adenoid atau faringeal
tonsil berada di langit-langit nasofaring. Tenggorokan dikelilingi oleh tonsil,
adenoid, dan jaringan limfoid lainnya. Struktur tersebut penting sebagai mata
rantai nodus limfatikus untuk menjaga tubuh dari invasi organisme yang
masuk ke hidung dan tenggorokan.
2. belakang mulut (orofaring) yang berfungsi untuk menampung udara dari
nasofaring dan makanan dari mulut. Pada orofaring terdapat tonsili palatina
(posterior) dan tonsili lingualis (dasar lidah).
3. belakang faring (laringofaring) yang berfungsi pada saat menelan dan
respirasi. Laringofaring merupakan bagian terbawah faring yang
berhubungan dengan esofagus dan pita suara (vocal cord) yang berada dalam
trakhea. Laringofaring terletak di bagian depan pada laring, sedangkan
trakhea terdapat di belakang.
d. Laring
Laring sering disebut dengan voice box dibentuk oleh struktur epitelium-
lined yang berhubungan dengan faring (di atas) dan trakhea (di bawah). Laring
terletak di anterior tulang belakang (vertebrae) ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari
esofagus berada di posterior laring. Fungsi utama laring adalah untuk
pembentukan suara, sebagai proteksi jalan nafas bawah dari benda asing, dan
untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk. Laring terdiri atas :
1. Epiglotis: katup kartilago yang menutup dan membuka selama menelan.
2. Glotis: lubang antara pita suara dan laring.
3. Kartilago tiroid: kartilago yang terbesar pada trakhea, terdapat bagian yang
membentuk jakun (Adam’s apple).
4. Kartilago krikoid: cincin kartilago yang utuh di laring (terletak di bawah
kartilago tiroid).
5. Kartilago aritenoid: digunakan pada pergerakan pita suara bersama dengan
kartilago tiroid.
6. Pita suara: subuah ligamen yang dikontrol oleh pergerakan otot yang
menghasilkan suara dan menempel pada lumen laring.
Gambar 4. Alveolus
b. Paru-paru
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya
berada diatas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru-paru
kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus.
Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi
menjadi beberapa sub-bagian menjadi sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut
bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang
yang disebut mediastinum. Jantung, aorta, vena cava, pembuluh paru-paru,
esofagus, bagian dari trakhea dan bronkhus, serta kelenjar timus terdapat pada
mediastinum.
Gambar 5. Paru-paru
Gambar 7. Pleura
d. Sirkulasi Pulmoner
Paru-paru mempunyai dua sumber suplai darah yaitu arteri bronkhialis dan
arteri pulmonalis. Sirkulasi bronkhial menyediakan darah teroksigenasi dari
sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru-
paru. Arteri bronkhialis berasal dari aorta torakalis dan berjalan sepanjang dinding
posterior bronkhus. Vena bronkhialis akan mengalirkan darah menuju vena
pulmonalis.Arteri pulmonalis berasal dari ventrikel kanan yang mengalirkan darah
vena ke paru-paru di mana darah tersebut mengambil bagian dalam pertukaran
gas. Jalinan kapiler paru-paru yang halus mengitari dan menutupi alveolus
merupakan kontak yang diperlukan untuk pertukaran gas antara alveolus dan
darah.
KONSEP TEORI COPD
1) Pengertian
Penyakit paru-paru obstrutif kronis (PPOK) atau Chronic obstructive
pulmonary diseases (COPD) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif non-reversibel atau
reversibel parsial. PPOK atau Chronic obstructive pulmonary diseases (COPD)
merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru
yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran
udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Somantri, 2007). PPOK terdiri
dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik
adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal
3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut dan tidak
disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli (PDPI, 2003).
3) Etiologi
Penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran pernapasan yang bersifat
ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi bersama-sama
dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini. Etiologi PPOK yang utama
adalah emfisema, bronkitis kronik, dan faktor resiko lain.
a. Bronkhitis Kronis
Bronkhitis kronis adalah keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus
trakheobronkhial yang berlebihan, sehingga menimbulkan batuk yang terjadi
paling sedikit selama tiga bulan dalam waktu satu tahun untuk lebih dari dua
tahun secara berturut-turut(Somantri, 2007). Somantri (2007) menjelaskan bahwa
terdapat 3 jenis penyebab bronkhitis yaitu sebagai berikut.
1. Infeksi stafilokokus, streptokokus, pneumokokus,haemophilus influenzae.
2. Alergi
3. Rangsangan lingkungan misalnya asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll
b. Emfisema
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai
oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi
jaringan(Somantri, 2007). Etiologi emfisema menurut Somantri (2007) yaitu
sebagai berikut.
1. Genetik yaitu atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan
kadar imunoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper-responsive bronkus,
riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa-1
anti tripsin.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti
elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan
menimbulkan jaringan elastik paru rusak sehingga timbul emfisema.
3. Rokok menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi, dan
hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran
pernapasan.
4. Infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkhiolitis akut, dan asma
bronkial dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
5. Polusiudara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan
pada silia yang dapat menghambat fungsi makrofag alveolar.
6. Faktor Sosial Ekonomi
7. Usia
Gambar 10. Skala sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
b. Emfisema
1. Penampilan umum: kurus, warna kulit pucat, flattened hemidiafragma.
Tidak ada tanda CHF dengan edema dependen pada stadium akhir. Berat
badan biasanya menurun akibat nafsu makan yang menurun
2. Usia 65-75 tahun
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium: nafas pendek persisten dengan
peningkatan dipsnea, infeksi sistem respirasi, auskultasi terdapat
penurunan suara nafas meskipun dengan nafas dalam, wheezing
ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas, produksi sputum dan batuk
jarang
4. Hematokrit <60%
5. Pemeriksaan jantung: tidak terjadi pembesaran jantung, Cor pulmonal
timbul pada stadium akhir
6. Riwayat merokok biasanya didapatkan, tetapi tidak selalu ada riwayat
merokok
5) Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi
dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru.
Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah,
sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan
ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter
yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV),
sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap
kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap
rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu,
silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan
menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan
adanya peradangan (GOLD, 2014).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan
kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak
struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan
kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada
ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara
pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka
udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2014).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa
eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan
dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan
Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan
antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan. Selama eksaserbasi akut, terjadi
perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan
konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).
Pada bronchitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitaan saluran
napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas dan
menimbulkan sesak. Pada bronchitis kronik, saluran pernapasan kecil yang
berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok.
Penyempitan ini terjadi karena hipertrofi dan hiperplasi jaringan mucus. Pada
emfisema paru terjadi obstruksi pada pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida
akibat kerusakan dinding aveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara
dalam paru (Bruner & Suddarth, 2002; Mansjoer, 2001).
6) Komplikasi
Komplikasi yang dapat muncul pada pasien PPOK yaitu sebagai berikut.
a. Insufisiensi pernapasan
Pasien PPOK dapat mengalami gagal napas kronis secara bertahap ketika
struktur paru mengalami kerusakan secara ireversibel. Gagal nafas terjadi
apabila penurunan oksigen terhadap karbondioksida dalam paru
menyebabkan ketidakmampuan memelihara laju kebutuhan oksigen. Hal ini
akan mengakibatkan tekanan oksigen arteri <50 mmHg (hipoksia) dan
peningkatan tekanan karbondioksida <45 mmHg (hiperkapnia) (Smelzer &
Bare, 2008).
b. Atelektasis
Obstruksi bronkial oleh sekresi merupakan penyebab utama terjadinya kolap
pada alveolus, lobus, atau unit paru yang lebih besar. Sumbatan akan
mengganggu alveoli yang normalnya menerima udara dari bronkus. Udara
alveolar yang terperangkap menjadi terserap kedalam pembuluh darah tetapi
udara luar tidak dapat menggantikan udara yang terserap karena obstruksi.
Akibatnya paru menjadi terisolasi karena kekurangan udara danukurannya
menyusut dan bagian sisa paru lainnya berkembangsecara berlebihan
(Smelzer & Bare, 2008).
c. Pneumonia
Pneumonia adalah proses inflamatori parenkim paru yang disebabkan oleh
agen infeksius. PPOK mendasari terjadinya pneumoni karena flora normal
terganggu oleh turunnya daya tahan hospes. Hal ini menyebabkan tubuh
menjadi rentan terhadap infeksi termasuk diantaranya pasien yang mendapat
terapi kortikosteroid dan agen imunosupresan lainnya (Smelzer & Bare,
2008).
d. Pneumothoraks
Pneumotorak spontaneous sering terjadi sebagai komplikasi dari PPOK
karena adanya ruptur paru yang berawal dari pneumototak tertutup.
Pneumotorak terjadi apabila adanya hubungan antara bronkus dan alveolus
dengan rongga pleura, sehingga udara masuk kedalam rongga pleura melalui
kerusakan yang ada (Price & Wilson, 2006)
e. Hipertensi pulmonal
Hipertensi pulmonal ringan atau sedang meskipun lambat akan muncul pada
kasus PPOK karena hipoksia yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah kecil paru. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan struktural yang
meliputi hiperplasia intimal dan hipertrophi atau hiperplasia otot halus. Pada
pembuluh darah saluran udara yang sama akan mengalami respon inflamasi
dan sel endotel mengalami disfungsi. Hilangnya pembuluh darah kapiler
paru pada emfisema memberikan kontribusi terhadap peningkatan tekanan
sirkulasi paru. Hipertensi pulmonal yang progresif akan menyebabkan
hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya menyebabkan gagal jantung kanan
(cor pulmonale) (GOLD, 2014)
6) Pemeriksaan Penunjang
b. Nutrisi
Penurunan berat badan pada pasien dengan penyakit pernapasan kronis
menunjukkan prognosis yang buruk. Pasien PPOK yang dirawat di rumah
sakit sebanyak 50% dilaporkan kekurangan gizi kalori dan protein.
Ketidakseimbangan energi dan penurunan berat badan progresif terjadi
karena asupan makanan yang tidak memadai, pengeluaran energi yang
meningkat, dan kegagalan respon adaptif gizi. Pemeliharaan status gizi yang
memadai sangat penting bagi pasien PPOK untuk menjaga berat badan dan
massa jaringan otot (Sharma, 2010). Diet cukup protein 1,2-1,5 gr/BB,
karbohidrat 40- 55% dari total kalori, lemak mudah dicerna 30-40%, cukup
vitamin dan mineral untuk memenuhi asupan nutrisi (Taatuji, 2004)
4. Penatalaksanaan psikososial
Kecemasan, depresi dan ketidakmampuan dalam mengatasi penyakit kronis
memberikan kontribusi terjadinya kecacatan. Intervensi psikososial dapat
diberikan melalui pendidikan kesehatan secara individu, dukungan keluarga
ataupun dukungan kelompok sosial yang berfokus pada masalah pasien.
Relaksasi otot progresif, pengurangan stres, dan pengendalian panik dapat
menurunkan dipsneaserta kecemasan (Sharma, 2010).
C. Clinical Pathway
Merokok
Rangsangan lingkungan
(asap kendaraan, asap
pabrik, dll) Mengandung zat-zat Mengandung radikal
berbahaya bebas
Respon inflamasi
4 Intoleran aktivitas NOC 1. Kaji respon pasien terhadap 1. Mengetahui kondisi fisik
berhubungan dengan a. Energy conservation aktivitas (nadi, tekanan darah, pasien
ketidakseimbangan b. Self Care : ADLs pernapasan) 2. Mengetahui kemampuan
antara suplai dengan 2. Ukur tanda-tanda vital segera fisik pasien
kebutuhan oksigen Setelah dilakukan tindakan setelah aktivitas, istirahatkan 3. Meningkatkan kemampuan
keperawatan selama .......x24 klien selama 3 menit pasien secara bertahap
jam diharapkan pasien kemudian ukur lagi tanda- 4. Mengetahui latihan yang
kembali toleran terhadap tanda vital. sesuai dengan kondisi pasien
aktivitas dengan kriteria hasil: 3. Dukung pasien dalam 5. Mencegah hipoksia
a) Berpartisipasi dalam menegakkan latihan teratur 6. Membantu pasien untuk
aktivitas fisik tanpa
Tujuan dan Kriteria
No Diagnosa Intervensi (NIC) Rasional
Hasil(NOC)
disertai peningkatan dengan menggunakan beradaptasi
tekanan darah, nadi dan treadmill dan exercycle, 7. Membantu pasien agar tidak
RR berjalan atau latihan lainnya kelelahan
b) Mampu melakukan yang sesuai, seperti berjalan 8. Memaksimalkan dengan
aktivitas sehari hari perlahan. kondisi yang dimiliki pasien
(ADLs) secara mandiri 4. Kaji tingkat fungsi pasien agar pasien dapat mampu
yang terakhir dan untuk beradaptasi
kembangkan rencana latihan
berdasarkan pada status
fungsi dasar.
5. Kolaborasi pemberian
oksigen.
6. Tingkatkan aktivitas secara
bertahap; pasien tirah baring
lama mulai melakukan
rentang gerak sedikitnya 2
kali sehari.
7. Tingkatkan toleransi terhadap
aktivitas dengan mendorong
pasien beraktivitas lebih
lambat, atau waktu yang lebih
singkat, dengan istirahat yang
lebih banyak atau dengan
banyak bantuan.
8. Secara bertahap tingkatkan
toleransi latihan.
Tujuan dan Kriteria
No Diagnosa Intervensi (NIC) Rasional
Hasil(NOC)
Black, J.M., & Hawk,J.H. 2005. Medical Surgical Nursing Clinical Management
For Continuity of Care. St. Louis: Elsevier
Price, S.A & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.
Buku 2 Edisi 6. Jakarta: EGC
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC
Smeltzer, S., & Bare. 2008. Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical
Nursing. Philadelphia: Lippincott