Anda di halaman 1dari 12

227

KEPASTIAN HUKUM SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL


PRODUK PANGAN
KN. Sofyan Hasan
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang
E-mail: kn.sofyan_hasan@yahoo.co.id

Abstract

Halal certificate is a written fatwa MUI that states halal food products in accordance with Islamic
law, aims to provide legal assurance to consumers. However, the existing regulations are still per-
ceived sectoral, partial, inconsistent and not systemic. Moreover, the most fundamental thing is the
halal certification is not an obligation (mandatory) for businesses but it is voluntary. Consequently,
halal certification and halal label do not have strong legal legitimacy which results in legal uncer-
tainty of halal food products. In regard to this, the draft of Law on Halal Product Guarantee that is
still stalled in the House should be soon stipulated and MUI should be given the authority to issue
halal certification and perform it through the Fatwa Commission LPPOM. In addition, the govern-
ment serves as a regulator as well as supervisor in the implementation of the provisions of the law
which cause justice uncertainty.

Key words: halal certificate, the Indonesian Ulama Council, food products

Abstrak

Sertifikat halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk pangan sesuai
dengan syari’at Islam, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi yang mengkonsumsinya.
Namun, regulasi yang ada masih terkesan sektoral, parsial dan inkonsistensi serta tidak sistemik dan
sertifikasi halal itu bukan merupakan suatu kewajiban (mandatory) bagi pelaku usaha,tetapi bersifat
sukarela (voluntary). Akibatnya sertifikat halal dan label halal belum mempunyai legitimasi hukum
yang kuat, sehingga tidak menciptakan jaminan kepastian hukum kehalalan produk pangan. Untuk ini,
RUU JPH segera menjadi Undang-undang dan memberikan otoritas kepada MUI untuk melakukan
sertifikasi halal melalui LPPOM MUI dan Komisi Fatwa. Dan pemerintah berfungsi sebagai regulator
dan pengawas dalam implementasi ketentuan undang-undang yang akan ditetapkan tersebut,
sehingga dapat menciptakan ketidakpastian hukum.

Kata Kunci: Majelis Ulama Indonesia, produk pangan, sertifikat halal

Pendahuluan yang paling utama dan pemenuhannya merupa-


Penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Ta- kan bagian dari hak asasi setiap rakyat Indo-
hun 2012 tentang Pangan menyatakan bahwa nesia. Pangan harus senantiasa tersedia secara
Pangan1 merupakan kebutuhan dasar manusia cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam
dengan harga yang terjangkau oleh daya beli

Artikel ini merupakan sebagian Hasil Penelitian (Ring- masyarakat, serta tidak bertentangan dengan
kasan) Disertasi, berjudul Sertifikasi Halal Produk Pa-
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.2
ngan dalam Hukum Positif di Indonesia (sebagai Imple-
mentasi Perlindungan Jaminan Kepastian Hukum terha- Mengkonsumsi produk halal menurut keyakinan
dap Warga Negara) yang dilaksanakan atas biaya sendiri
agama (Islam) dan/atau demi kualitas hidup
pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya-Palembang bulan Mei tahun 2014. dan kehidupan, merupakan hak warga negara
1
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber
yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945,
hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, peri-
kanan, peter-nakan, perairan, dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai ma- (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
kanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk tentang Pangan).
2
bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan ba- Fathurrahman Djamil, “Kalau Banyak Lembaga Fatwa,
han lain yang digunakan dalam proses penyiapan, peng- Umat Bisa Bingung”, Jurnal Halal, No. 100 Th. XVI Ta-
olahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman hun 2013, Jakarta: LPPOM MUI, hlm. 48-49
228 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 14 No. 2 Mei 2014

khususnya Undang-Undang Perlindungan Konsu- Ada beberapa contoh kasus yang telah sa-
men Nomor 8 Tahun 1999.3 Dan mengkonsumsi ngat menyakiti konsumen Muslim di Indonesia,
yang halal itu merupakan kewajiban bagi setiap yang pada akhirnya menimbulkan kerugian be-
Muslim.4 sar bagi produsen dan dunia usaha, yaitu: kasus
Ketentuan mengenai perlindungan konsu- bakso mengandung daging babi di Bandung
men ini (sebenarnya) telah tercantum dalam (1984), kasus makanan yang memakai bahan
pembukaan UUD 1945 alinea IV yang mebutkan dari babi di Malang (1988)8, dan kasus Vaksin
bahwa Negara Indonesia melindungi segenap Meningitis jemaah haji yang mengandung en-
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah zim babi (2009).9 Menyikapi hal ini, Majelis
Indonesia. Oleh karena itu, hadirnya UU Jamin- Ulama Indonesia (MUI) melalui Lembaga Peng-
an Produk Halal merepresentasikan tanggungja- kajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LP-
wab negara, khususnya terhadap umat Islam, POM) dan Komisi Fatwa telah berikhtiar untuk
untuk melindungi dan memberikan rasa tenang memberikan jaminan produk makanan halal
dan aman dalam mengkonsumsi/menggunakan bagi konsumen muslim melalui instrumen ser-
produk yang sesuai syari’at yakni halal dan tifikat halal. Sertifikat halal merupakan fatwa
thoyib.5 tertulis Majelis Ulama Indonesia yang menyata-
Berbeda pada masa lampau pengolahan kan kehalalan suatu produk. Sertifikat halal se-
pangan masih sederhana dan juga komunikasi lain sebagai perlindungan konsumen dari berba-
konsumen pada produsen masih dapat dilaksa- gai macam makanan yang dianggap tidak layak
nakan secara langsung. Namun, pada masa kini, sesuai syari’at Islam khusunya Indonesia yang
pengolahan pangan sudah sangat kompleks. mayoritas beragama Islam, juga mendorong
Produsen menggunakan berbagai bentuk tekno- kompetisi dan menjadi keunggulan. Sertifikat
logi untuk melakukan produksi.6 Seiring dengn halal saat ini menjadi salah satu poin untuk
perkembangan teknologi, bahan tambahan, ter- daya saing di perdagangann internasional.10
masuk bahan pewarna, tidak bisa dipisahkan LPPOM MUI melakukan pengkajian dan
dari makanan dan minuman olahan.7 Mulai dari pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap pro-
pengadaan bahan baku dan bahan tambahan, duk yang akan disertifikasi. Jika berdasarkan
proses pengolahan, pengemasan, distribusi pe- pendekatan sains telah didapatkan kejelasan,
ngangkutan, dan penjualan. Akibatnya, akses maka hasil pengkajian dan pemeriksaan terse-
komunikasi konsumen pada produsen menjadi but dibawa ke Komisi Fatwa untuk dibahas dari
jauh dan untuk mengetahui kehalalan suatu tinjauan syari’ah Islam. Pertemuan antara sains
produk pangan menjadi sulit. Ditambah lagi di dan syari’ah inilah yang dijadikan dasar pene-
satu sisi produsen hendak memperoleh laba tapan oleh Komisi Fatwa, yang selanjutnya di-
sebesar-besarnya di tengah ketatnya persaingan tuangkan dalam bentuk sertifikat halal oleh
usaha, di sisi lain konsumen menginginkan pro- MUI. Namun, karena sertifikasi ini masih ber-
duk bermutu dengan harga yang terjangkau. sifat sukarela maka (jangan heran kalau) saat
ini masih banyak produk yang sudah bersertifi-
kat halal, tetapi belum memiliki label halal,
3
Amirsyah Tambunan, “Hak Konsumen dalam Perspektif sekitar 35,19 persen dari total produk makan-
UU No. 8 Tahun 1999”, Jurnal Halal, No.101 Th. XVI Ta- an, minuman, obat-obatan dan kosmetik yang
hun 2013, Jakarta: LPPOM MUI, hlm. 16
4
Anton Apriyantono, “LPPOM MUI Harus Diperkuat”, Jur- terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan
nal Halal, No. 99 Th. XVI Tahun 2013, Jakarta: LPPOM
MUI, hlm. 48
5 8
Jazuli Juwaini, “UU JPH Untuk Melindungi Umat”, Jur- Ma’ruf Amin, “Fatwa Halal Melindungi Umat dari Ke-
nal Halal, No. 95 Th. XV Tahun 2012 Jakarta: LPPOM rugian yang Lebih Besar”, Jurnal Halal, No.103 Th. XVI
MUI, hlm. 30 Tahun 2013, Jakarta: LPPOM MUI, hlm. 20
6 9
Ma’ruf Amin, “Produk Halal dan Peran Teknologi”, Jur- Fokus, “Mendamba Vaksin Meningitis Halal”, Jurnal
nal Halal, No. 100 Th. XVI 2013, Jakarta: LPPOM MUI, Halal, No.78 Th. XII Tahun 2009, Jakarta: LPPOM MUI,
hlm. 50 hlm. 8
7 10
Muti Arintawati, “Hati-Hati Memilih Bahan Pewarna”, Sandiago Uno, “Agar UKM Semakin Berdaya Saing Ting-
Jurnal Halal, No.94 Th. XV Tahun 2012, Jakarta: LPPOM gi” Jurnal Halal, No. 91 Th. XIV Tahun 2011, Jakarta:
MUI, hlm. 14 LPPOM MUI, hlm. 8
Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan 229

(BPOM). Kemudian sekitar 90 persen dari jum- duk-produk yang berasal dari negara-negara
lah itu berasal dari produk pangan.11 non-muslim.
Pemerintah telah merespon pentingnya Sejalan dengan problematika yang ada,
sertifikasi halal dan pencantuman tanda/label sikap MUI meminta agar pencantuman sertifikat
halal pada produk (labelisasi halal) melalui be- halal menjadi suatu kewajiban bagi produsen
berapa regulasi. Akan tetapi, regulasi ini masih makanan, bukan hanya upaya sukarela saja. Di
terkesan sektoral dan parsial, bahkan inkonsis- samping memang dalam rangka memuaskan
tenisi. Hal itu, terlihat dalam mencermati Un- pihak kosumen, namun di lain sisi juga dapat
dang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang menaikkan mutu produk mereka di pasaran lo-
Pangan menggantikan Undang-Undang Pangan kal dan internasonal. Dengan memiliki serti-
Nomor 7 Tahun 1996. Pada Pasal 97-nya teruta- fikat dan tanda halal dapat menjadi standar
ma ayat (3) huruf e dan juga penjelasannya; ukuran kualitas mutu produk makanan bagi pro-
Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang dusen. Bahkan kini, Sertifikat Halal (SH) MUI
Perlindungan Konsumen pada Pasal 8 ayat (1) terasa sangat dibutuhkan kalangan pengusaha
huruf h, Peraturan Pemerintah RI Nomor 69 dan produsen pangan. Bukan hanya oleh keluar-
Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan ter- ga Muslim atau umat Islam, namun juga diper-
utama pada Pasal 10 dan 11; Dan Instruksi Pre- lukan oleh hampir semua umat dan produsen
siden RI Nomor 2 Tahun 1991 tentang Pening- yang berasal dari beragam agama.15 DPR tetap
katan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan menginginkan agar kewenangan sertifikasi halal
Peredaran Makanan Olahan, Piagam Kerjasama berada di tangan LPPOM MUI sebagaimana yang
Depkes, Depag dan MUI tentang Pelaksanaan sudah berjalan selama ini.16 Ketua MUI Din
Pencantuman Label “Halal” pada makanan, Syamsuddin menegaskan bahwa penentuan ke-
serta Kesimpulan Mudzakarah Nasional tentang halalan haruslah dikeluarkan melalui fatwa ula-
Alkohol dalam Produk Makanan.12 ma melalui sidang komisi fatwa. Ulama yang di-
Akibat dari sistem pengaturan semacam wadahi MUI dengan berbagai ormas di dalam-
ini, selain telah terjadi sistem pengaturan yang nya hendaknya diberikan otoritas penuh untuk
tidak konsisten, tumpang tindih, dan tidak melakukan sertifikasi. Lebih lanjut dikatakan
sistemik. Juga yang paling mendasar, sertifikasi bahwa selama ini MUI hanya sebatas memberi-
halal itu bukan merupakan suatu kewajiban kan sertifikasi. Adapun proses labeling produk
(mandatory) bagi pelaku usaha, akan tetapi tetap ada pada Badan Pengawas Obat dan Ma-
bersifat sukarela (voluntary).13 Padahal, diakui kanan (BPOM).17 Permintaan ini tentu tidak ber-
Sjarif Hasan, Menteri Koperasi dan UKM,14 bah- lebihan, mengingat selama 25 tahun mengem-
wa dalam konteks perdagangan internasional, ban amanah di bidang sertifikasi halal, LPPOM
penerapan label halal dan sertifikasi halal me- MUI telah menunjukkan peran dan kinerjanya
rupakan hal yang strategis sebagai salah satu dengan baik. Bahkan telah pula diakui oleh
defence mechanism, yang dimungkin-kan oleh lembaga-lembaga sertifikasi halal dari berbagai
WTO untuk meningkatkan daya saing produk- negara.18
produk Indonesia dalam kompetisi dengan pro-
Permasalahan

11 15
Lukmanul Hakim “Sayang Ya Sertifikasi Halal Masih H. Roichan Muchlis, “Halal Mendongkrak Ekonomi Bali”,
Urusan Sukarela”, Majalah Aulia, No.12 Th. VIII Juma- Jurnal Halal, No.97 Th. XV Tahun 2012, Jakarta: LPPOM
dil Sani – Rajab 1432 H Tahun 2011, Jakarta: Aulia, hlm. MUI, hlm. 29
16
135 Harian Republika, Rabu, 5 Maret 2014, BSN Tawarkan
12
LPPOM MUI, “Hukum Penggunaan Alkohol”, Jurnal Ha- Jalan Tengah, Jakarta: Republika, hlm. 1
17
lal, No.103 Th. XVI Tahun 2013, Jakarta: LPPOM MUI, Din Syamsuddin, Rabu, 5 Maret 2014, Sertifikasi Halal
hlm. 34-35 Negara Non Muslim Lebih Baik, Harian Republika, Ja-
13
Ibid. karta: Republika, hlm. 9
14 18
Sjarif Hasan, “Pemerintah Dorong Sertifikasi Halal Ma’ruf Amin, “25 Tahun LPPOM MUI, Luncurkan PRO
UKM”, Jurnal Halal, No.91 Th. XIV Tahun 2011, Jakarta: HALAL MUI”, Jurnal Halal, No. 106 Tahun 2014, Jakar-
LPPOM MUI, hlm. 10 ta: LPPOM MUI, hlm. 42
230 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 14 No. 2 Mei 2014

Permasalahan yang dibahas pada artikel sumen; ketiga, meningkatkan citra dan daya
ini mengenai persoalan apakah sertifikasi dan saing perusahaan; dan keempat, sebagai alat
labelisasi halal sudah memberikan perlindungan pemasaran serta untuk memperluas area jaring-
dan jaminan kepastian hukum produk pangan an pemasaran; dan kelima, memberi keuntung-
halal bagi konsumen muslim di Indonesia. an pada produsen dengan meningkatkan daya
saing dan omzet produksi dan penjualan.19
Metode Penelitian Sertifikasi juga harus menjangkau bahan
Penelitian ini menggunakan pende-katan baku, bahan tambahan maupun bahan penolong
yuridis normatif. Adapun permasalahan dideka- dalam bentuk “bukan kemasan” yang tidak di-
ti dengan beberapa pendekatan meliputi pen- ecerkan untuk bahan produk makanan, minum-
dekatan perundang-undangan dan pendekatan an, obat-obatan, kosmetik, dan produk lainnya
analisis. Spesifikasi penelitian yang digunakan yang beredar di masyarakat.20 Sertifikasi pro-
berupa deskritif analisis. Data yang digunakan duk halal diberlakukan tidak hanya terhadap
adalah data sekunder meliputi peraturan per- produk dalam negeri tetapi juga produk luar
undang-undangan dan literature yang relevan negeri. Mengenai produk yang bersertifikat ha-
dengan sertifikasi dan labelisasi halal produk lal dari lembaga sertifikat luar negeri, perlu di-
pangan. Data diolaj secara comprehensive, all perhatikan bahwa tidak semua standar luar ne-
inclusive dan systematic dengan analisis norma- geri atau internasional dapat diterapkan di In-
tif kualitatif. donesia karena di Indonesia batasan halal ada-
lah yang paling ketat dan tidak dapat disimpa-
Pembahasan ngi. Misalnya di luar negeri babi yang telah ber-
Keterkaitan dan Pentingnya Sertifikasi Halal ubah menjadi X dapat menjadi tidak diharam-
dengan Labelisasi Halal kan lagi, sedangkan di Indonesia babi yang te-
Sertifikat halal adalah surat keterangan lah mengalami perubahan apapun tetaplah di-
yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia haramkan.21
(MUI) Pusat atau Propinsi tentang halalnya su- Terdapat sejumlah lembaga yang terlibat
atu produk makanan, minuman, obat-obatan dalam persoalan halam haram suatu produk,
dan kosmetika yang diproduksi oleh perusahaan yaitu Departemen Agama, Badan POM, dan MUI
setelah diteliti dan dinyatakan halal oleh LP- (Komisi Fatwa MUI, LPPOM-MUI), Departemen
POM MUI. Pemegang otoritas menerbitkan seti- Pertanian tergabung dalam Komite Halal Indo-
fikasi produk halal adalah MUI yang secara tek- nesia (KHI). Sertifikat halal berlaku dua tahun
nis ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu
Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM). yang sama. Setiap pelaku usaha yang telah
Bagi konsumen, sertifikat halal memiliki mendapatkan sertifikat halal terhadap produk-
beberapa fungsi. Pertama, terlindunginya kon- nya mencantumkan keterangan atau tulisan
sumen muslim dari mengonsumsi pangan, obat- halal dan nomor sertifikat pada label setiap ke-
obatan dan kosmetika yang tidak halal; kedua, masan produk. Selama masa berlaku sertifikat
secara kejiwaan perasaan hati dan batin kon- halal tersebut, perusahaan harus dapat mem-
sumen akan tenang; ketiga, mempertahankan berikan jaminan bahwa segala perubahan baik
jiwa dan raga dari keterpurukan akibat produk dari segi penggunaan bahan, pemasok, maupun
haram; dan keempat, akan memberikan kepas- tekonologi proses hanya dapat dilakukan de-
tian dan perlindungan hukum. ngan sepengetahuan LPPOM MUI yang menerbit-
Bagi produsen, sertifikat halal mempu-
19
Lihat Muhammad Ibnu Elmi As Pelu, 2009, Label Halal:
nyai beberapa peran penting. Pertama, sebagai
Antara Spiritualitas Bisnis dan Komoditas Agama, Ma-
pertanggungjawaban produsen kepada konsu- lang: Madani, hlm. 31-55
20
men muslim, mengingat masalah halal merupa- Sebagian simpulan hasil wawancara penulis dengan Pe-
ngurus LPPOM MUI Pusat dan Sumatera Selatan.
kan bagian dari prinsip hidup muslim; kedua, 21
Ma’ruf Amin, “Mengapa Keharaman Babi Bersifat Mut-
meningkatkan kepercayaan dan kepuasan kon- lak”, Jurnal Halal, No.99 Th. XVI Tahun 2013, Jakarta:
LPPOM MUI, hlm. 46-47
Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan 231

kan sertifikat halal. Jaminan tersebut dituang- lebih aman bagi konsumen karena masih banyak
kan dalam suatu sistem yang disebut Sistem Ja- produk yang beredar di pasaran yang mencan-
minan Halal (SJH). SJH dibuat oleh perusahaan tumkan label halal tanpa memiliki sertifikat
berdasarkan buku panduan yang dikeluarkan halal MUI.23
oleh LPPOM MUI. Peraturan yang bersifat teknis mengatur
Pada awal kegiatan sertifikasi halal, ter- masalah pelabelan halal antara lain keputusan
jadi dualisme sertifikat, yakni antara Sertifikat bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama
Halal MUI dengan Label Halal yang dikeluarkan RI Nomor.427/Men.Kes/SKB/VIII/1985 (No. 68
izinnya oleh Ditjen Pengawasan Obat dan Ma- Tahun 1985) tentang Pencantuman Tulisan Ha-
kanan Departemen Kesehatan. Masalah ini ak- lal Pada Label Makanan. Jadi, jelas bahwa tu-
hirnya dapat diselesaikan dengan ditandatanga- lisan halal yang dibubuhkan pada label atau pe-
ninya Piagam Kerjasama antara Departemen nandaan makanan produknya, dianggap oleh
Ke-sehatan, Departemen Agama dan Majelis hukum bahwa produsen tersebut secara sah te-
Ulama Indonesia pada tanggal 21 Juni 1996. lah memenuhi prosedur sertifikasi produk halal
Sertifikat halal dan labelisasi halal meru- dari LPPOM MUI. Namun bila ternyata terbukti
pakan dua kegiatan yang berbeda tetapi mem- sebaliknya, maka produsen dapat dituntut seca-
punyai keterkaitan satu sama lain. Hasil dari ra hukum karena melakukan pembohongan pub-
kegiatan sertifikasi halal adalah diterbitkannya lik. Di samping pelaku usaha harus bertanggung
sertifikat halal, apabila produk yang dimaksud- jawab atas label halal yang dicantumkan pada
kan telah memenuhi ketentuan sebagai produk produknya, ia juga berkewajiban melapor kepa-
halal. Sertifikasi halal22 dilakukan oleh lembaga da pihak pemerintah yang dalam hal ini Depar-
yang mem-punyai otoritas untuk melaksanakan- temen Kesehatan RI. Prosedur ini sebagaimana
nya. Tujuan akhir dari sertifikasi halal adalah yang diamanatkan oleh Keputusan Bersama
adanya pengakuan secara legal formal bahwa Menteri Agama dan Menteri Kesehatan. Hal itu
produk yang dikeluarkan telah memenuhi ke- dimaksudkan untuk memudahkan melakukan
tentuan halal. Sedangkan labelisasi halal adalah pengawasan selanjutnya.
pencantuman tulisan atau pernyataan halal pa- Kegiatan sertifikasi halal di Indonesia ba-
da kemasan produk untuk menunjukkan bahwa ru dilakukan sejak didirikan LPPOM MUI pada
produk yang dimaksud berstatus sebagai produk 1989, sedangkan ketentuan teknis tentang pe-
halal. laksanaan labelisasi yang didasarkan atas hasil
Begitu pula, setiap pelaku usaha yang sertifikasi halal, baru dikeluarkan tahun 1996
akan mencantumkan label halal harus memiliki yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82/
sertifikat halal terlebih dahulu. Tanpa sertifikat Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulis-
halal MUI, ijin pencantuman label halal tidak an “Halal” pada Label Makanan. Berkaitan de-
akan diberikan pemerintah. Sampai saat ini me- ngan hal tersebut Kepmenkes RI Nomor 82/
mang belum ada aturan yang menetapkan ben- Menkes/SK/I/1996, menyatakan tegas dalam
tuk logo halal yang khas, sehingga pada umum- Pasal 17. Berdasarkan keputusan tersebut, izin
nya produsen mencetak tulisan halal dalam pencantuman label halal dikeluarkan oleh Di-
huruf latin dan/arab dengan bentuk dan warna rektorat Jenderal Pengawasan Obat dan Maka-
yang beragam. Akan tetapi beberapa produsen nan Depkes RI (sekarang menjadi Badan Penga-
sudah mulai membuat logo halal dengan bentuk was Obat dan Makanan/Badan POM) baik kedu-
logo MUI dengan mencantumkan nomor sertifi- dukan, tugas, fungsi dan kewenangan berdasar-
kat halal yang dimilikinya. Hal ini dirasakan kan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI.
Peraturan yang lebih tinggi yang menau-
22
ngi atas ketentuan sertifikasi dan labelisasi ha-
Sertifikat Halal MUI untuk pertama kali diterbitkan pada
tanggal 7 April 1994 untuk produk Unilever Indonesia.
23
Pada saat itulah produk Unilever Indonesia memiliki le- Paulus J. Rusli, “Nilai Unggul Produk Halal”, Jurnal Ha-
gitimasi untuk memasang label halal. lal, Nomor 59 Th X, 2005, Jakarta: LPPOM MUI, hlm. 15.
232 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 14 No. 2 Mei 2014

lal antara lain Undang-Undang Nomor 18 Tahun yang diarahkan oleh cita hukum untuk menca-
2012 tentang Pangan terutama Pasal 86 ayat (4) pai tujuan-tujuan masyarakat.27
jo Pasal 95, 96, 97 dan Undang-Undang Nomor Menurut hemat penulis, hukum merupa-
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen kan sebuah kehendak yuridis manusia. Hukum
(UUPK). Hal itu diperkokoh dengan UUPK pada bekerja berdasarkan sistem, dan sistem hukum
Pasal 8 (h). Oleh karena itu, perusahaan yang nasional yang dibangun tidak hanya menyang-
akan melakukan pelabelan halal secara legal kut substansi hukum (legal substance), melain-
harus melakukan sertifikasi halal. Hal ini untuk kan juga struktur hukum (legal structure) dan
menghindari adanya pernyataan halal yang ti- budaya hukum (legal culture). Untuk menegak-
dak valid. Suatu perusahaan yang membuat an supremasi hukum seperti yang dkehendaki
pernyataan halal secara tidak valid dapat di- UUD Negara RI Tahun 1945. Ketiga sistem hu-
kenakan sanksi sesuai dengan Pasal 62 ayat (1) kum tersebut perlu dikembangkan secara simul-
UUPK, karena termasuk sebagai pelanggaran tan dan terpadu, karena terdapat interrelasi
terhadap Pasal 8 (h) dari UU tersebut.24 yang bersifat komplementer antara ketiganya
Proses sertifikasi halal yang dilakukan dalam hubungan fungsional.28
oleh MUI melalui LPPOM MUI dan Komisi Fatwa
ini sudah melalui tahapan kontruksi pikir yang Sistem Jaminan Halal
merupakan keharusan untuk mengarahkan hu- Jaminan suatu produk halal memerlukan
kum kepada cita-cita yang diinginkan masya- sistem yang memuat jaminan kehalalan, baik
rakat (dalam hal ini konsumen dan pelaku usa- ditinjau dari sisi bahan baku dan turunannya
ha). Meminjam istilah Rudolf Stamler inilah maupun dari proses produksinya. Sistem harus
yang disebut dengan cita hukum.25 Cita hukum mampu menjamin bahwa produk yang dikon-
tersebut ialah Pokok-Pokok Pikiran yang terkan- sumsi masyarakat adalah halal yang disertai
dung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar lembaga penentu kehalalan suatu produk, ada-
1945; cita hukum tersebut tidak lain ialah Pan- nya tanda/label produk yang halal dilihat seca-
casila. Selain itu Pancasila telah ditetapkan pa- ra mudah oleh konsumen, dan sistem penga-
ra pendiri negara Proklamasi ini sebaga Norma wasan secara berkesinambungan agar tidak ter-
yang tertinggi dalam kehidupan kenegaraan jadi penyimpangan. Untuk inilah sangat diper-
rakyat Indonesia, sebagai Norma Dasar Negara lukan adanya sistem jaminan halal oleh perusa-
(Staatsgrundnorm).26 Cita hukum berfungsi se- haan.
bagai “bintang pemandu” bagi tercapainya ci- Sistem Jaminan Halal (SJH) adalah suatu
ta-cita masyarakat. Meski merupakan titik akhir sistem yang dibuat dan dilaksanakan oleh peru-
yang tidak mungkin dicapai, namun cita hukum sahaan pemegang sertifikat halal dalam rangka
memberi manfaat karena ia yang berlaku, dan menjamin kesinambungan proses produksi ha-
kepada cita hukum dapat mengarahkan hukum lal. Sistem ini dibuat sebagai bagian dari kebi-
positif sebagai usaha mengatur tata kehidupan jakan suatu sistem yang berdiri sendiri. se-
dengan sanksi pemaksa, menuju suatu yang hingga produk yang dihasilkan dapat dijamin
adil. Oleh karena itu, menurut Stammler, ke-
adilan ialah usaha atau tindakan mengarahkan
hukum positif kepada cita hukum. Dengan de-
mikian, maka hukum yang adil ialah hukum
27
KN. Sofyan Hasan, “Cita Hukum (rechtsidee) dan Cita
Negara (staatsidee) sebagai Landasan Hukum Indone-
24
Lihat UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. sia”, Jurnal Hukum, Vol. VIII No. 2 Tahun 2010, Palem-
25
Rudolf Stamler dalam Roeslan Saleh, “Pembinaan Cita bang: Program Pascasarajana Univ. Sriwijaya, hlm. 3
28
Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional”, Ma- Sambutan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
jalah Hukum Nasional, No.1 tahun 1995, Jakarta: BPHN, Repubik Indonesia Atas Penerbitan Perdana Jurnal Le-
Depkeh, hlm. 49 gislasi Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No.1
26
A. Hamid S. Attamimi, “Aktualisasi Hukum Islam”, Jur- Tahun 2004, Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan
nal Mimbar Hukum, Vol. V No. 13 Tahun 1994, Jakarta: Perundang-undangan Departeman Kehakiman dan HAM
Al-Hikmah dan Ditbinbapera, hlm. 1-2 RI, hlm. iv
Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan 233

kehalalannya, sesuai dengan aturan yang diga- harus didokumentasikan secara jelas dan rinci
riskan oleh LPPOM MUI.29 serta merupakan bagian dari kebijakan manaje-
SJH harus diuraikan secara tertulis dalam men perusahaan; ketiga, dalam pelaksanaan-
bentuk manual halal. Pertama, Pernyataan ke- nya, SJH ini diuraikan dalam bentuk panduan
bijakan perusahaan tentang halal (Halal Poli- halal (Halal Manual); keempat, produsen me-
cy); kedua, Panduan Halal (Halal Guidelines) nyiapkan prosedur baku pelaksanaan (Standard
dengan berlandaskan Standard Operating Pro- Operating Prosedure) untuk mengawasi setiap
cedure; ketiga, Sistem Manajemen Halal (Halal proses yang kritis agar kehalalan produknya
Management System); keempat, uraian Kritis dapat terjamin; kelima, baik panduan halal
Keharaman Produk (Haram Critical Control maupun prosedur baku pelaksanaan yang di-
Point); dan kelima, Sistem Audit Halal (Internal siapkan harus disosialisasikan dan diuji coba di
Halal Audit System). Dalam kaitan ini, perusa- lingkungan produsen, sehingga seluruh jajaran,
haan yang telah mensertifikatkan halal untuk dari mulai direksi sampai karyawan memahami
produknya dituntut menyiapkan suatu sistem betul cara memproduksi produk halal dan baik;
untuk menjamin kesinambungan proses produk- keenam, produsen melakukan pemeriksaan in-
si halal secara konsisten, yang disebut sebagai tern (audit internal) serta mengevaluasi apakah
sistem jaminan halal. SJH dilakukan sebagaiman mestinya; dan ke-
Suatu kasus di mana distributor tidak ha- tujuh, untuk melaksanakan huruf f tersebut,
nya menyalurkan dan menjual suatu produk perusahaan harus mengangkat minimum se-
tertentu melainkan juga melakukan repacking orang Auditor Halal Internal yang beragama
(pengemasan ulang) ataupun relabeling (pela- Islam dan berasal dari bagian yang terkait de-
belan ulang), maka proses audit harus tetap di- ngan produksi halal.
lakukan di lokasi produsen asal. Audit yang di- Selanjutnya, perusahaan mendaftar ke
lakukan di lokasi pengemasan dan pelabelan LPPOM MUI, dengan melengkapi persyaratan,
ulang saja tidak cukup untuk memenuhi persya- seperti: Izin Usaha, Izin Depkes, KTP Pemilik
ratan sertifikasi halal. Bagi produk impor prose- dan mengisi Formulir. Verifikasi awal dilakukan
dur ini tetap berlaku meskipun produk tersebut oleh LPPOM MUI tentang analisa kelayakan
telah disertifikasi oleh lembaga sertifikasi ne- mendapatkan sertifikat halal dan kesepakatan
gara asal yang diakui MUI. Audit ke produsen sertifikat halal. SJH dari produsen dimaksudkan
asal tidak perlu dilakukan hanya jika produk sebagai SJH yang diharapkan dari produsen se-
yang dikemas dan dilabel ulang telah disertifi- cara mandiri setelah mendapatkan sertifikat
kasi oleh MUI. Kewajiban pelaku usaha (Pasal 7 halal. Dengan SJH ini diharapkan perusahaan
UUPK) untuk memenuhi hak-hak konsumen da- dapat menghasilkan produk yang benar-benar
lam setiap barang dan/atau jasa yang diproduk- terjamin kehalalannya. Oleh karena itu, perlu
si dan diperdagangkan.30 adanya komitmen dari seluruh bagian organisasi
Menurut Muslich, Kepala Bidang SJH, LP- manajemen, dimulai dari pengadaan bahan ba-
POM MUI31 Pelaku usaha yang hendak menga- ku sampai distribusi pemasaran.
jukan sertifikat halal produknya, disyaratkan Sistem Organisasi Halal merupakan sistem
menyiapkan beberapa hal. Pertama, produsen organisasi yang bertanggungjawab dalam pelak-
menyiapkan suatu SJH; kedua, SJH tersebut sanaan sistem jaminan halal. Dalam Sistem Or-
ganisasi Halal ini diuraikan struktur organisasi
29
Lihat Muslich, “Perusahaan Harus Penuhi Syarat SJH” yang terdiri atas perwakilan top management
Jurnal Halal, No.91 Th. XIV Tahun 2011, Jakarta: LP-
POM MUI, hlm. 20-21 dan bidang-bidang terkait antara lain: quality
30
Terkait dengan produk halal Pasal 8 ayat (1) huruf h UU assurance (QA), quality control (QC), purcha-
Perlindungan Konsumen menentukan bahwa pelaku usa-
ha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan sing (pembelian), research and development
barang dan atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan
produksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal
yang dicantumkan dalam label.
31
Muslich, op.cit, hlm. 20-21
234 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 14 No. 2 Mei 2014

(R&D),32 production, dan pergudangan. Masing- memberikan wewenang proses produksi halal-
masing bidang tersebut dikoordinasikan oleh nya kepada auditor halal internal, yakni staf
auditor halal internal. atau beberapa staf internal perusahaan yang
Ditinjau dari segi tujuannya, penyusunan ditunjuk resmi oleh manajemen perusahaan se-
dan penerapan SJH adalah untuk menjaga ke- bagai staf untuk mengkoordinasikan pelaksana-
sinambungan proses produksi halal, sehingga an SJH. Kesembilan, mampu telusur, bahwa se-
produk yang dihasilkan dapat selalu dijamin tiap pelaksanaan fungsi produksi halal selalu
keha-lalannya sesuai dengan ketentuan LPPOM ada bukti dalam bentuk lembar kerja yang da-
MUI. Oleh karena itulah, maka ada beberpa pat ditelusuri keterkaitannya. Kesepuluh, abso-
prinsip yang harus ditegakkan dalam operasio- lut. Semua bahan yang digunakan dalam proses
nal. Pertama, Maqashid al-syariah. Pelaksana- produksi halal harus pasti kehalalannya. SJH ti-
an SJH bagi perusahaan yang memiliki sertifikat dak mengenal adanya status bahan yang berisi-
halal MUI mempunyai maksud memelihara kesu- ko rendah, menengah atau tinggi terhadap ke-
cian agama, akal/ pikiran, jiwa, keturunan, dan halalan suatu produk) spesifik. Sistem harus da-
harta di samping loyalitas pada negara. Kedua, pat mengidentifikasi setiap bahan secara spesi-
jujur. Perusahaan harus jujur menjelaskan se- fik merujuk pada pemasok, produsen, dan ne-
mua bahan yang digunakan dan proses produksi gara asal. Ini berarti bahwa setiap kode spesifik
yang dilakukan di perusahaan di dalam Manual untuk satu bahan dengan satu status kehalalan.
SJH serta melakukan operasional produksi halal Aplikasi SJH bukannya tanpa problematika yang
sehari-hari berdasarkan yang tertulis di dalam- menghadang.
nya. Ketiga, kepercayaan. LPPOM MUI membe- Beberapa problem teknis yang memerlu-
rikan kepercayaan kepada perusahaan untuk kan perhatian khusus program SJH adalah se-
menyusun sendiri manual SJH-nya berdasarkan bagai berikut. Pertama, terbatasnya sumber
kondisi nyata internal perusahaan. Keempat, daya manusia dan banyaknya kegiatan produksi
Sistematis. SJH didokumentasikan secara baik yang yang cukup menyita perhatian. Oleh kare-
dan sistematis dalam bentuk Manual SJH dan na itu, sering muncul inisiatif dari beberapa
arsip terkait agar bukti-bukti pelaksanaannya di perusahaan untuk mencoba mengintegrasikan
lingkungan perusahaan mudah untuk ditelusuri. sistem jaminan halal ini dengan ISO; kedua,
Kelima, disosialisasikan. Implementasi SJH ada- penggunaan bahan turunan hewan merupakan
lah merupakan tanggungjawab bersama dari le- masalah yang yang sering masih menjadi gan-
vel manajemen puncak sampai dengan karya- jalan dalam praktek sistem jaminan halal; ke-
wan, sehingga SJH harus disosialisasikan dengan tiga, dukungan maksimal sarana prasarana se-
baik dan menyeluruh di lingkungan perusahaan. perti: laboratorium, transportasi dan dokumen-
Keenam, keterlibatan key person. Perusahaan tasi; dan keempat, komitmen dari auditor baik
melibatkan personal dalam jajaran manajemen auditor LPPOM MUI maupun Auditor Internal di
untuk memelihara pelaksanaan SJH. Ketujuh, perusahaan.
komitmen manajemen. Implementasi SJH di
perusahaan dapat efektif dilaksanakan jika di- Auditing Penentuan Titik Kritis Kehalalan
dukung penuh oleh top management. Manaje- Produk
men harus menyatakan secara tertulis komit- Menurut Sopa, titik kritis kehalalan ada-
men halalnya dalam bentuk kebijakan halal. lah menelusuri asal-usul bahan dan proses pem-
Kedelapan, pelimpahan wewenang. Manajemen buatannya kemudian dikonsultasikan dengan
kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan de-
32
Bila ditilik dari asal usul istilah research, semula teruta-
ngan kehalalan pangan. Apabila bersesuaian,
ma dipakai dalam arti penelitian untuk digunakan bagi
suatu tujuan praktis (applied research), sehingga kata berarti halal, bila tidak berarti diragukan. Lalu,
research biasanya dikaitkan dengan kata development
atau pengembangan (R&D atau Litbang) dan perencana-
an (planning). Selanjutnya lihat C.F.G. Sunaryati Har-
tono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir
Abad ke-20, Bandung:Alumni, hlm. 100
Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan 235

dilakukan verifikasi terhadap hal yang diragu- Pengaturan dan Pemberian Jaminan Perlin-
kan tersebut.33 dungan dan Kepastian Hukum bagi Konsumen
Penentuan titik kritis dalam proses serti- Muslim Berdasar UU No. 18 Tahun 2012 ten-
fikasi produk halal berfungsi mencegah terja- tang Pangan
dinya kesalahan dan penyimpangan dalam pro- Terdapat beberapa pasal dalam UU No.
ses produksi halal. Titik kritis ini mengacu pada 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UUPangan)
pedoman halal yang telah dibuat, yang menca- yang berkaitan dengan pengaturan kehalalan
kup bahan-bahan yang digunakan untuk berpro- produk pangan, yaitu dalam Bab VIII Label dan
duksi, serta tahapan proses yang mungkin ber- Iklan Pangan. Pasal 97, ayat (1), (2) dan (3).
pengaruh terhadap keharaman produk. Untuk Pasal 97
menentukan titik-titik kendali kritis, harus di- (1) Setiap orang yang memproduksi Pa-
buat dan diverifikasi bagan alur bahan, yang se- ngan di dalam negeri untuk diperda-
gangkan wajib mencantumkan label di
lanjutnya diikuti dengan analisa terhadap taha- dalam dan/atau pada Kemasan Pa-
pan yang berpeluang untuk terkena kontaminasi ngan.
bahan yang menyebabkan haram. (2) Setiap Orang yang mengimpor pangan
Produk pangan yang baik dalam Islam, di- untuk diperdagangkan wajib mencan-
istilahkan Thayyibb, sedangkan pangan bukan tumkan label di dalam dan/atau pada
Kemasan Pangan pada saat memasuki
hanya harus thayyibb tetapi juga harus halal. wilayah Negara Kesatuan Republik In-
Seperti yang tercantum dalam firman Allah: donesia.
“Hai sekalian manusia, makanlah yang (3) Pencantuman label di dalam dan/atau
halal lagi baik dari apa yang terdapat di pada Kemasan Pangan sebagaimana di-
bumi, dan janganlah kamu mengikuti maksud pada ayat (1) dan ayat (2) di-
langkah-langkah syaiton, karena sesung- tulis atau dicetak dengan mengguna-
guhnya syhaiton itu adalah musuh yang kan bahasa Indonesia serta memuat
nyata bagimu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 168) paling sedikit keterangan mengenai:
a. nama produk;
Berdasarkan Payung (hukum) ayat 168 b. daftar bahan yang digunakan;
surat al-Baqarah ini menunjukkan bahwa tidak c. berat bersih atau isi bersih;
hanya umat Islam, tetapi juga umat-umat lain- d. nama dan alamat pihak yang mem-
produksi atau mengimpor;
nya harus mengkonsumsi pangan yang halal lagi e. halal bagi yang dipersyaratkan;
baik. Setiap manusia, apapun agama dan keya- f. tanggal dan kode produksi;
kinan yang dianutnya, pasti memerlukan ma- g. tanggal, bulan, dan tahun kedalu-
kanan untuk kelang-sungan hidupnya. Dan agar warsa;
selamat dalam kehidupannya secara fisik-bio- h. nomor izin edar bagi Pangan Olah-
an; dan
logis, sehat secara fisik-jasmani, makanan yang i. asal usul bahan Pangan tertentu.
dikonsumsi itu haruslah yang halal dan thoyyib,
karena semua yang halal itu niscaya menda- Dengan pencantuman halal pada label pangan,
tangkan kebaikan dan kemaslahatan.34 Uraian dianggap telah terjadi pernyataan dimaksud
berikut ini akan menjelaskan beberapa keten- dan setiap orang yang membuat pernyata-
tuan regulasi sekitar sertifikasi dan labelisai an tersebut bertanggungjawab atas kebenaran
halal tersebut. pernyataan tersebut.
Menurut penulis penjelasan Pasal 97 ayat
(3) huruf e ini yang menyatakan cukup jelas te-
33
Sopa, 2008, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia: rasa janggal atau aneh karena bertentangan de-
Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap Produk Makanan,
Obat-obatan, dan Kosmetika, Naskah Disertasi S3 pada ngan bunyi ayatnya sendiri. Pada ayat (1) di
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) atas menentukan bahwa setiap orang yang
Syarif Hidayatullah, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
hlm. 104 memproduksi pangan di dalam negeri untuk di-
34
Ma’ruf Amin, “Islam Menghalalkan yang Baik dan Meng- perdagangankan wajib mencantumkan label di
haramkan yang Buruk”, Jurnal Halal, No.104 Th. XVI
Tahun 2013, Jakarta: LPPOM MUI, hlm. 28 dalam dan/atau pada Kemasan Pangan. Jadi
236 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 14 No. 2 Mei 2014

pada intinya bahwa keterangan tentang halal


wajib dicantumkan, akan tetapi dalam penje- Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Pencantum-
lasan dinyatakan cukup jelas. Apalagi bah- an keterangan halal atau tulisan "halal" pa-
wa kewajiban ini baru berlaku apabila si pro- da label pangan merupakan kewajiban apabila
dusen ingin menyatakan bahwa produknya ha- pihak yang memproduksi dan atau memasukan
lal. Keanehan kedua adalah kebenaran pernya- pangan kedalam wilayah Indonesia menyatakan
taan halal walaupun tanggung jawab si pelaku (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat
usaha, akan tetapi tidak ada kewajiban untuk Islam. Penggunaan bahasa atau huruf sela-
diperiksakan dulu kehalalannya oleh lembaga in bahasa Indonesia dan huruf Latin, harus di-
yang berwenang, jadi seakan-akan kehalalan gunakan bersamaan dengan padanannya dalam
hanya ditentukan oleh produsen, bagi yang ti- bahasa Indonesia dan huruf Latin. Keterangan
dak mempercayainya, silahkan buktikan kebe- tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai
narannya. arti yang sangat penting dan dimaksudkan un-
tuk melindungi masyarakat yang beragama Is-
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 lam dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal
tentang Label dan Iklan Pangan (haram). Kebenaran suatu pernyataan halal pa-
Terdapat beberapa pasal yang berkaitan da label pangan tidak hanya dibuktikan dari
dengan sertifikasi dan label halal dalam PP 69/ segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau
1999 ini yaitu Pasal 2, 3, 10 dan 11. Pasal 3, bahan bantu yang digunakan, tetapi harus pu-
ayat (2) Label berisikan keterangan sekurang- la dibuktikan dalam proses produksinya.35
kurangnya: nama produk; daftar bahan yang di- Pasal 11
gunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan (1) Untuk mendukung kebenaran pernya-
taan halal sebagaimana dimaksud da-
alamat pihak yang memproduksi atau mema- lam Pasal 10 ayat (1), setiap orang
sukkan pangan ke wilayah Indonesia; dan tang- yang memproduksi atau memasukkan
gal, bulan, dan tahun kadaluarsa. pangan yang dikemas kedalam wilayah
Menurut penulis, pasal ini tidak sesuai Indonesia untuk diperdagangkan, wa-
dengan Pasal 97 UUPangan karena selain yang jib memeriksakan terlebih dahulu pa-
ngan tersebut pada lembaga pemerik-
lima (hal) tersebut di atas, dalam Pasal 97 sa yang telah diakreditasi sesuai de-
ada lagi tambahan keterangan tentang halal ba- ngan ketentuan peraturan perundang-
gi yang dipersyaratkan. Karena PP No. 69 Tahun undangan yang berlaku.
1999 ini statusnya ada dibawah UU, maka yang (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
berla-ku seharusnya Pasal 97 UU Pangan. Dari pada ayat (1) dilaksanakan berdasar-
kan pedoman dan tata cara yang dite-
kenyataan ini, diperlukan formulasi baru Un- tapkan oleh Menteri Agama dengan
dang-Undang atau Peraturan Pemerintah kare- memperhatikan pertimbangan dan sa-
na tidak sinkron. Dapat diperhatikan subtansi ran lembaga keagamaan yang memili-
Pasal 10 PP No.69 Tahun 1999: ki kompetensi di bidang tersebut.
Pasal 10
(1) Setiap orang yang memproduksi atau Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Pencantuman
memasukkan pangan yang dikemas ke tulisan halal pada dasarnya bersifat sukarela.
dalam wilayah Indonesia untuk diperda- Namun setiap orang yang memproduksi dan
gangkan dan menyatakan bahwa pa- atau memasukkan pangan kedalam wilayah In-
ngan tersebut halal bagi umat Islam, donesia untuk diperdagangkan menyatakannya
bertanggung jawab atas kebenaran per-
nyataan tersebut dan wajib mencan- sebagai produk yang halal, sesuai ketentuan
tumkan keterangan atau tulisan halal bahwa ia wajib mencantumkan tulisan halal pa-
pada label. da label produknya. Lembaga keagamaan yang
(2) Pernyataan tentang halal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), merupa- 35
Departemen Agama RI, 2003, Petunjuk Teknis Pedoman
kan bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Produksi Halal, Bagian Proyek Sarana dan Prasa-
label. rana Produk Halal Dirjen Bimas Islam dan Penyelengga-
raan Haji, Jakarta: Departemen Agama, hlm. 461-462
Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan 237

dimaksudkan adalah Majelis Ulama Indonesia. masi hukum yang kuat, sehingga tidak membe-
Pedoman ini bersifat umum, dan antara lain rikan perlindungan dan kepastian hukum produk
meliputi persyaratan bahan, proses atau pro- pangan halal bagi konsumen. Untuk ini, Ranca-
duknya. ngan Undang-Undang Jaminan Produk Halal
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat (RUU JPH) yang sedang dibahas di DPR segera
dikatakan bahwa regulasi yang ada tidak mem- menjadi Undang-undang dan tetap memberikan
berikan jaminan kepastian hukum terhadap otoritas kepada MUI melalui LPPOM MUI dan Ko-
produk pangan halal bagi konsumen muslim di misi Fatwa yang mengeluarkan fatwa halal,
Indonesia, karena tidak sejalan dengan UUPK atau dapat saja pemerintah yang mengelarkan
terutama Pasal 1 angka 1 yang menyatakan sertifikat halal setelah mendapat rekomendasi
bahwa Perlindungan konsumen adalah segala fatwa halal dari MUI atas kehalalan suatu pro-
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum duk pangan. Pemerintah berfungsi sebagai re-
untuk memberi perlindungan kepada konsu- gulator dan pengawas dalam implementasi ke-
men. Demikian juga Pasal 2, Perlindungan kon- tentuan undang-undang yang akan ditetapkan
sumen berasaskan manfaat, keadilan, keseim- tersebut. Jangan sampai terjadi regulator, pe-
bangan, keamanan dan keselamatan konsumen, laksana dan pengawas berada/oleh satu ta-
serta kepastian hukum. Jaminan kehalalan sua- ngan, karena akan menimbulkan kerancuan dan
tu produk dapat diwujudkan diantaranya dalam ketidakpastian hukum.
bentuk sertifikasi halal dan tanda halal yang
menyertai suatu produk.36 Daftar Pustaka
Amin, Ma’ruf. “Halal Berlaku Untuk Seluruh
Penutup Umat”. Jurnal Halal. No. 101 Th. XVI
Simpulan 2013, Jakarta: LPPOM MUI;
Bahwa Sertifikasi Halal yang (selama ini) -------. “Fatwa Halal Melndungi Umat dari Ke-
telah dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia rugian yang Lebih Besar”, Jurnal Halal,
(MUI) melalui LPPOM MUI dan Komisi Fatwa. No. 103 Th. XVI 2013, Jakarta: LPPOM
Adapun kegiatan Labelisasi Halal dikelola oleh MUI;
Badan POM sudah sangat tepat dan memberikan -------. ”Islam Menghalalkan yang Baik dan
Mengharamkan yang Buruk”. Jurnal Ha-
jaminan perlindungan dan kepastian hukum
lal. No. 104 Th. XVI 2013. Jakarta:
produk pangan halal karena sudah melalui pro- LPPOM MUI;
ses yang panjang antara lain adanya sistem ja-
Apriyantono, Anton. ”LPPOM MUI Harus Diper-
minan halal (SJH) oleh perusahaan, audit oleh kuat”. Jurnal Halal. No. 99 Th. XVI 2013.
LPPOM dan Komisi fatwa. Jakarta: LPPOM MUI;
Permasalahan timbul ketika Undang-Un- Arintawati, Muti. ”Hati-hati Memilih Bahan Pe-
dang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan warna”. Jurnal Halal. No. 94 Th. XV
Konsumen, Undang-Undang Republik Indonesia 2012. Jakarta: LPPOM MUI;
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Pe- Attamimi, A. Hamid S. “Aktualisasi Hukum Is-
raturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor lam”. Jurnal Mimbar Hukum. No. 13 Thn
69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan V Tahun 1994. Jakarta: Ditbinbapera;
tidak menjadikan sertifikasi dan labelisasi halal Departemen Agama RI. 2003. Petunjuk Teknis
Pedoman Sistem Produk Halal. Jakarta:
sebagai sebuah bentuk kewajiban (mandotary)
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Pro-
bagi pelaku usaha, tetapi bersifat sukarela (vo- duk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
luntary). Maka sertifikasi halal dan labelisasi Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan
halal dapat dikatakan belum mempunyai legiti- Haji;
-------. 2003. Panduan Pedoman Produksi Halal.
Jakarta: Bagian Proyek Pembinaan Pa-
36
Departemen Agama RI, 2003, Pedoman Produksi Halal, ngan Halal Direktorat Jenderal Bimbing-
Jakarta: Bagian Proyek Pembinaan Pangan Halal Ditjen
Bimas Islam dan Peneyelenggaraan Haji, hlm. 25
238 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 14 No. 2 Mei 2014

an Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasar-
Haji; jana Universitas Sriwijaya. Jurnal Hukum.
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-unda- Vol. VIII No. 2 Edisi Juni 2010, Palem-
ngan Departemen Kehakiman dan HAM bang: Program Pascasarjana Universitas
RI. Jurnal Legislasi Indonesia. Volume 1 Sriwijaya;
No. 1 Tahun 2004. Jakarta: Depkeh RI; Sopa. 2008. Sertifikasi Halal MUI: Studi atas
Fokus. “Mendamba Vaksin Meningitis Halal”, Fatwa MUI Terhadap Produk Makanan,
Jurnal Halal. No. 78 Th. XII 2009. Jakar- Obat-obatan, dan Kosmetika. Jakarta:
ta: LPPOM MUI; UIN Syarif Hidayatullah;
Hakim, Lukmanul. “Sayang Ya Sertifikasi Halal Syamsuddin, Din. ”Ormas-Ormas Islam Sepakat
Masih Urusan Sukarela”. Majalah Aulia. Sertifikasi Halal Tetap di MUI”. Jurnal
No. 12 Tahun VIII, 1434 H/2011 M. Jakar- Halal. No. 100 Th. XVI 2013. Jakarta:
ta: Aulia; LPPOM MUI;
Harian Republika. BSN Tawarkan Jalan Tengah. ------. Sertifikasi Halal Negara Non Muslim Le-
5 Maret 2014, Jakarta: Republika; bih Baik. Harian Republika, 5 Maret 2014,
Jakarta: Republika;
Hasan, Sjarif. “Pemerintah Dorong Sertifikasi
Halal UKM”. Jurnal Halal No. 91 Th. XIV Wahid, Nur. “Membedah Menu Vegetarian”.
2011. Jakarta: LPPOM MUI; Jurnal Halal. No. 81 Th. XIII 2010, Jakar-
ta: LPPOM MUI.
Mucharam, Ecky Awal. “Dengan Halal Memba-
ngun Peradaban”. Jurnal Halal, No. 106
Th. XVII 2014. Jakarta: LPPOM MUI;
Pelu, Muhammad Ibnu Elmi As. 2009. Label Ha-
lal; Antara Spiritualitas Bisnis dan Komo-
ditas Agama. Malang: Madani;

Anda mungkin juga menyukai