Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi


penyebab kematian peringkat atas dengan angka kematian (mortalitas) dan angka kejadian
penyakit (morbiditas) yang tinggi serta membutuhkan diagnosis dan terapi yang cukup lama.
HIV merupakan virus yang menyerang sel darah putih (limfosit) di dalam tubuh yang
mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS)1.
Kesepakatan global atau yang dikenal dengan istilah Millenium Development Global
(MDGs) memiliki 8 tujuan, antara lain pada tujuan ke 5 meningkatkan kesehatan ibu dengan
target mengurangi 2/3 rasio kematian ibu dalam proses melahirkan pada tahun 2015. Pada
tujuan ke 6, diharapkan dapat memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya
dengan cara menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran penyakit. Berdasarkan
laporan global, pada tahun 2012 jumlah penderita HIV mencapai 35,3 juta orang2. Data dari
Kementerian Kesehatan melaporkan jumlah kumulatif kasus HIV yang telah dilaporkan
hingga September 2013 sebanyak 118.787 kasus yang tersebar di 33 provinsi dengan 348
kab/kota di Indonesia. Di Indonesia persentase kumulatif HIV paling banyak ditemukan
kasus pada kelompok umur 25-49 tahun (73,4%). Dan pada kasus AIDS yang paling banyak
terdeteksi yaitu pada kelompok umur 30-39 tahun (39,5%). Kelompok umur yang paling
beresiko terhadap penularan HIV dan kejadian AIDS adalah kelompok umur produktif yaitu
rentang umur 20-39 tahun 3. Saat ini, ibu rumah tangga merupakan salah satu kelompok yang
sangat rentan HIV/AIDS. Secara global, di dunia setiap harinya sekitar 2000 anak usia 15
tahun ke bawah terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke bayinya. Sementara itu, sekitar
1.400 anak-anak usia 15 tahun meninggal akibat AIDS 1.
Prevalensi HIV pada ibu hamil diproyeksikan meningkat dari 0,38% (2012) menjadi
0,49% (2016), dan jumlah ibu hamil HIV positif yang memerlukan layanan pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) juga akan meningkat dari 13.189 (2012) menjadi
16.191 (2016). Demikian pula jumlah anak berusia di bawah 15 tahun yang tertular HIV dari
ibunya pada saat dilahirkan ataupun saat menyusui akan meningkat dari 4.361 (2012)
menjadi 5.565 (2016), yang berarti terjadi peningkatan angka kematian anak akibat AIDS.
Resiko penularan HIV dari ibu ke bayi berkisar 24-25%. Namun, resiko ini dapat
diturunkan menjadi 1-2% dengan tindakan intervensi bagi ibu hamil HIV positif, yaitu
melalui layanan konseling dan tes HIV sukarela, pemberian obat antiretroviral, persalinan
sectio caesaria, serta pemberian susu formula untuk bayi4. Indonesia telah mengembangkan
upaya pencegahan HIV melalui pelayanan Voluntary Counselling and testing atau yang
dikenal dengan singkatan VCT 1.
BAB II
KASUS
IDENTITAS
Nama : Ny. R Nama Suami : Tn. A
Umur : 39 tahun Umur : 23 tahun
Alamat : Jl. Lembah II Alamat : Jl. Lembah II
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Buruh bangunan
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SD Pendidikan : SMP

ANAMNESIS
GIV PIII A0 Usia Kehamilan : 26-28 minggu
HPHT : 25-2-2015 Menarche : 12 tahun
TP : 2-12-2015 Perkawinan : II, ± 6 bulan

Keluhan Utama : Mual dan muntah


Riwayat Penyakit Sekarang :
Dialami sejak ±2 bulan yang lalu. Pada awalnya, muntah hanya terjadi pada pagi hari
namun saat ini muntah dialami saat pasien selesai makan dengan frekuensi ±3x/hari dengan
volume 50-100 ml. Isi muntahan berupa makanan dan minuman yang dikonsumsi
sebelumnya, bercampur dengan cairan kuning yang diyakini pasien berasal dari lambung
karena terasa pahit. Keluhan mual dan muntah semakin bertambah setelah makan nasi namun
tidak muntah saat mengkonsumsi roti atau minum susu. Keluhan disertai dengan sakit pada
ulu hati. Pasien tidak merasakan haus yang berlebihan, bibir terasa kering, adanya penurunan
aktivitas maupun berat badan. BAB dan BAK lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien sering menderita sakit maag sebelum hamil. Tekanan
darah tinggi (-), gula (-), kolesterol (-), asam urat (-), HIV (+).

Riwayat Obstetri :
 Hamil pertama : Kembar laki-laki dan perempuan, prematur 7 bulan dan langsung

meninggal, lahir normal ditolong bidan di puskesmas, tahun 1997


 Hamil kedua : Anak laki-laki, 15 tahun, aterm, spontan LBK, lahir normal ditolong

bidan di puskesmas.

 Hamil ketiga : Anak laki-laki, 6 tahun, aterm, spontan LBK, lahir normal ditolong

bidan di puskesmas.

 Hamil keempat : Hamil sekarang

Riwayat ANC : Pasien memeriksakan kehamilan di Puskesmas Pantoloan


sebanyak 1 kali, mengikuti kelas ibu hamil sebanyak 2 kali, dan
memeriksakan kandungan di rumah bidan sebanyak 3 kali.
Riwayat Imunisasi : Pasien sudah mendapatkan suntikan Tetanus Toxoid 1 kali
selama kehamilan ini
Data Psikososial
Kehamilan pasien ini merupakan kehamilan dengan suami kedua. Pasien mengetahui
dirinya menderita HIV sejak suami meninggal dan didiagnosis dengan HIV. Setelah suami
meninggal, ia melakukan pemeriksaan darah dan hasilnya (+) HIV sedangkan kedua anak
dari pernikahan pertama hasilnya (-). Pasien kemudian tidak melanjutkan KB suntik hingga
pasien kemudian hamil kembali. Pasien tidak mengetahui penyebab virus HIV pada suaminya
karena suaminya tidak pernah menggunakan narkoba, tidak melakukan hubungan seks bebas
sejak menikah dengan pasien. Pasien jarang keluar rumah dan jarang bersosialisasi dengan
tetangga. Ketika ada masalah, pasien cenderung untuk menyimpan sendiri masalahnya. Pada
awalnya pasien juga merasakan tertekan, sedih, merasa tiada harapan hidup tetapi mengingat
keadaan anaknya pasien pun mulai bersemangat lagi. Namun, rasa malu yang ada pada pasien
membuat ANC pasien terlambat dilakukan. Ketika ditanyakan mengenai penyakit suami
pertama, awalnya pasien tidak mengakui penyakit yang diderita suaminya. Pasien juga
menutupi kondisi penyakitnya dari anak-anak dan suami keduanya

Keterangan
: Penderita HIV : Sudah meninggal
: Bukan penderita HIV
Pasien makan 3-4 kali sehari dengan nasi putih yang sedikit dan lauk seperti ikan,
sayur. Namun terkadang pasien lebih memilih mengkonsumsi susu dan roti dibandingkan
nasi.
Pasien tinggal bersama suami kedua, kedua orang anaknya dan keponakannya di
rumah berbahan baku batu bata dengan luas ±5x8 m2. Rumah dua lantai ini terdiri dari ruang
tamu, 2 kamar tidur, 1 ruang makan, 1 WC dan 1 kamar mandi. Lantai rumah terbuat dari
semen, plafon. Ruang tamu, dapur dan kamar memiliki jendela dan pencahayaan yang baik.
Sumber air yang dipakai untuk sehari-hari adalah air kran. Sumber listrik dari PLN,
sampah dibuang pada tempat sampah di halaman belakang rumah dan dibuang ke tempat
pembuangan sampah umum di lingkungan tersebut saat tempat sampah telah terisi penuh.
Pendapatan dalam 1 keluarga berkisar antara Rp 1.500.000- Rp 2.000.000 per bulan.

Gambar 1. Rumah pasien dari depan Gambar 2. Kamar mandi pasien

Gambar 3. Tempat mencuci baju Gambar 4. Dapur pasien


Gambar 5. Anamnesis pasien Gambar 6. Pemeriksaan Leopold

PEMERIKSAAN FISIK
KU : Sedang Tek. Darah : 100/70 mmHg
Kesadaran : Kompos mentis Nadi : 84x/menit
BB : 41 Kg Respirasi : 22x/menit
TB : 149 cm Suhu : 36,6ºC
Kepala – Leher :
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), edema palpebra (-/-), pembesaran KGB (+)di
limfonodi submandibular sinistra dan dextra dengan ukuran ±1 cm, pembesaran kelenjar
tiroid (-).
Thorax :
I : Pergerakan thoraks simetris, retraksi (-), sikatrik (-)
P : Nyeri tekan (-), massa tumor (-)
P : Sonor pada kedua lapang paru, pekak pada jantung, batas paru-hepar SIC VI linea mid-
clavicula dextra, batas jantung dalam batas normal.
A : Bunyi pernapasan vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-. Bunyi jantung I/II murni
Reguler

Abdomen :
I : Tampak cembung
A: Peristaltik (+) kesan normal
P : timpani
P : Nyeri tekan (+) regio epigastrium
Pemeriksaan Obstetri :
Situs : Memanjang

Leopold I : TFU : 21 cm, bokong teraba di fundus, TBJ 1395 gram

Leopold II : Punggung kanan

Leopold III : Presentasi kepala

Leopold IV : Kepala belum masuk PAP

DJJ : 142 x/menit

HIS : -

Pergerakan Janin : Aktif, janin tunggal

Genitalia : Kesan normal. Untuk pemeriksaan dalam (VT) tidak dilakukan.


Ekstremitas : Edema ekstremitas bawah -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan

ANJURAN PEMERIKSAAN
-. CD4

RESUME
Pasien ♀, 39 thn, nausea dan vomiting sejak ±2 bulan yang lalu. Vomiting terjadi saat
pasien konsumsi nasi dan berkurang saat pasien konsumsi roti dan susu, frekuensi ±3x/hari
dengan volume 50-100 ml. Vomiting berupa makanan dan minuman yang dikonsumsi
sebelumnya, bercampur dengan asam lambung. Nyeri epigastrium (+). Riwayat HIV (+)
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 100/70 mmHg, Nadi 84x/menit,
Respirasi 22x/menit, Suhu 36,6ºC, didapatkan pembesaran KGB (+) di limfonodi
submandibular sinistra dan dextra dengan ukuran ±1 cm. Pada abdomen didapatkan nyeri
tekan (+) regio epigastrium. Pemeriksaan obstetri TFU 21 cm, bokong teraba di fundus,
punggung kanan, presentasi kepala, kepala belum masuk PAP, DJJ 142 x/menit, TBJ 1395
gram
DIAGNOSIS
GIVPIIIA0 gravid 26-28 minggu + dyspepsia + HIV

PENATALAKSANAAN
 Tirah baring
 Antasid syrup 3x1 bila sakit ulu hati
 Pemberian vitamin Fe dan asam folat 1 kali dalam sehari setelah mual hilang

Konseling

 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya dan cara penularannya


 Menjelaskan pentingnya pemeriksaan CD4 dan viral load
 Menjelaskan kepada pasien bahwa HIV dapat ditularkan ke janinnya melalui
persalinan normal dan ASI
 Menjelaskan pentingnya pengobatan ARV saat kehamilan
 Menjelaskan jenis persalinan yang sebaiknya dipilih dan jenis kontrasepsi setelah
melahirkan
 Pasien menggunakan kondom saat berhubungan seksual
 Konsumsi makanan bergizi dan menjaga kebersihan

PROGNOSIS
 Quo ad vitam : Dubia
 Quo ad functionam : Dubia
 Quo ad sanationam : Dubia

SARAN BAGI PUSKESMAS

1. Menawarkan konseling HIV, tes HIV, pemeriksaan IMS kepada semua ibu hamil
dalam pelayanan ANC terpadu sehingga dapat mengurangi stigma dan diskriminasi
masyarakat
2. Melibatkan komunitas, kelompok dukungan sebaya, tokoh agama dan tokoh
masyarakat untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi
3. Pemberian kondom ke masyarakat saat pengobatan IMS
4. Penggunaan APD pada petugas masyarakat.
BAB III
PEMBAHASAN
Aspek klinis
Pada kasus ini, wanita G4P3A0 umur 39 tahun dengan keluhan berupa mual dan
muntah yang dialami sejak ±2 bulan yang lalu. Muntah dialami saat pasien selesai makan
dengan frekuensi ±3x/hari dengan volume 50-100 ml. Isi muntahan berupa makanan dan
minuman yang dikonsumsi sebelumnya, bercampur dengan cairan kuning yang diyakini
pasien berasal dari lambung karena terasa pahit. Keluhan mual dan muntah semakin
bertambah setelah makan nasi namun tidak muntah saat mengkonsumsi roti atau minum susu.
Keluhan disertai dengan sakit pada ulu hati. Riwayat HIV (+). Pada pemeriksaan fisik,
ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening di limfonodi submandibular sinistra dan
dextra dengan ukuran ±1 cm. Pada abdomen didapatkan nyeri tekan (+) regio epigastrium.
Pemeriksaan obstetri TFU 21 cm, bokong teraba di fundus, punggung kanan, presentasi
kepala, kepala belum masuk PAP, DJJ 142 x/menit, TBJ 1395 gram. Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik, ditegakkan diagnosis GIVPIIIA0 gravid 26-28 minggu + dyspepsia + HIV.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel darah putih
di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Orang
yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum membutuhkan
pengobatan. Namun orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain bila
melakukan hubungan seks beresiko dan berbagi alat suntik dengan orang lain 5.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan sindrom dengan gejala
penyakit infeksi opotunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh
oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) 6.
Cara penularan virus HIV, yaitu :
1. Penularan parenteral
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring) untuk
pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau penggunaan alat
medik lainnya yang dapat menembus kulit. Kejadian di atas dapat terjadi pada semua
pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan tradisional melalui alat
penusuk/jarum, juga pada pengguna napza suntik (penasun). Pajanan HIV pada organ
dapat juga terjadi pada proses transplantasi jaringan/organ di fasilitas pelayanan
kesehatan.3
2. Penularan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari semua
cara penularan.Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama sanggama laki-
laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Sanggama berarti kontak seksual
dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara dua individu. Risiko tertinggi adalah
penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak
seksual oral langsung (mulut ke penis atau mulut ke vagina) termasuk dalam kategori
risiko rendah tertular HIV.Tingkatan risiko tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan
masuk ke dalam tubuh seseorang, seperti pada luka sayat/gores dalam mulut, perdarahan
gusi, dan atau penyakit gigi mulut atau pada alat genital.3

3. Penularan perinatal
Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari ibunya. Virus dapat ditularkan
dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama hamil, saat persalinan dan menyusui.
Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan
meninggal sebelum ulang tahun kedua.3
a. Penularan in utero atau intra uterin
HIV melalui plasenta masuk kedalam tubuh bayi. Penularan in utero ini diketahui
karena didapatkannya HIV pada jaringan thymus,lien , paru dan otak dari janin 20
minggu yang digugurkan dari ibu pengidap HIV.7,8
b. Penularan saat persalinan.
Terjadi karena bayi terkontaminasi darah ibu saat persalinan.8
c. Penularan pasca persalinan.
Terjadi penularan melalui ASI pada masa menyusui karena adanya HIV pada kelenjar
payudara dan ASI pengidap HIV. Meskipun masih ada perbedaan pendapat mengenai
hal ini karena hasil penelitian yang berbeda, tetapi karena belum adanya vaksin untuk
HIV dan kemungkinan penularan ini tetap ada, maka disepakati pemberian ASI pada
bayi tetap masih di larang.7,8
Pada kasus ini, pasien mendapatkan virus HIV melalui kontak seksual dengan suami
pertama yang didiagnosis HIV. Karena saat ini pasien dalam kondisi hamil, maka ada
kemungkinan bayi yang dikandungnya tertular virus HIV.
Sampai saat ini belum didapatkan adanya pengaruh dari infeksi HIV terhadap
kehamilan. Tetapi jika sudah terjadi AIDS didapatkan pengaruh yang besar dengan terjadinya
prematuritas, kematian janin dalam kandungan. Diduga kondisi bayi dalam kandungan
dipengaruhi oleh makin memberatnya infeksi HIV. Dilaporkan tidak ada hubungan antara
infeksi HIV dengan makin meningkatnya cacat bayi. Meskipun kehamilan dikatakan
menambah beban terhadap sistim tubuh yang sudah berat menghadapi HIV, tetapi sampai
sekarang belum ada bukti yang menunjukkan bahwa HIV makin menjadi progresif setelah
adanya kehamilan.7,9
Manifestasi Klinik Diagnosis Klinik Diagnosis pasti
Stadium I
Asimptomatik - -
Limphadenopati generalisata persisten Pembesaran KGB > 1 cm, tidak nyeri Histology
pada 1 atau 2 tempat dengan sebab
yang tidak diketahui dan persisten
selama 3 bulan atau lebih

Stadium II
BB turun <10% BB sebelumnya BB turun tanpa sebab yang jelas, atau BB turun < 10% terdokumentasi
BB tidak bertambah pada kehamilan

URTI rekuren (>1x selama 6 bulan) Sinusitis LAB


Otitis Media
Tonsilopharyngitis
Herpes Zoster Vesicular rash, nyeri , distribusi Diagnosis klinik
dermatomal, tidak melewati midline
tubuh.
Angular cheilitis Pecah2 pada sudut bibir yang bukan Diagnosis klinik
diakibatkan oleh def fe, biasanya
berespon dengan pemberian terapi
antijamur
Ulserasi oral rekuren ( ≥2 x selama 6 Aphthous, nyeri, dan pseudomembran Diagnosis klinik
bulan terakhir) kuning abu-abu

Papular preuritic eruption Lesi popular Diagnosis klinik


Seborrhoic dermatitis Kulit gatal, bersisik, terutama pada Diagnosis klinik
daerah berambut

Infeksi jamur pada kuku Paronikia Kultur jamur


Onycholisis

Stadium III
BB turun > 10 % BB sebelumnya BB turun tanpa sebab yang jelas. BB turun > 10% terdokumentasi
Tampak kurus, BMI < 18,5 kg/m2atau
BB turun pada kehamilan

Diare kronik lebih dari 1 bulan Diare kronik lebih dari 1 bulan yang Pem feses
tidak dapat dijelaskan penyebabnya

Demam persisten Demam persisten lebih dari 1 bulan Suhu > 37.50, dengan kultur darah
negative, ziehl-nelsen negative, apusan
darah malaria negative, foto thorax
normal, dan tidak ada focus infeksi

Kandidiasis oral persisten Berupa pseudomembraneus berwarna Diagnosis klinik


putih atau erythematous form

Oral hairy leukoplakia Diagnosis klinik


TB ( berulang) Gejala kronik : batuk, batuk darah, BTA sputum +, kultur positif
sesak, nyeri dada, BB turun, keringat
malam, demam. Dengan sputum BTA
+ atau sputum BTA – dengan
gambaran radiologis yang mendukung.
Infeksi bakteri berat (pneumonia, Demam disertai gejala dan tanda Isolasi bakteri
meningitis, empiema, pyomiositis, spesifik, dan merespon terhadap
infeksi tulang dan sendi, septicemia, pemberian antibiotic.
PID)

Acute necrotizing ulcerative gingivitis Papilla gingival ulserasi, sangat nyeri, Diagnosis klinik
atau necrotizing gigi tanggal, perdarahan, bau mulut
ulcerative periodontitis. tidak sedap, dll.

Anemia ( (8 gr%) - Lab


Neutropenia (<0,5×109/L)
Trombositopenia (<50×109/L) kronik

Stadium IV
HIV wasting sindrom BB turun > 10% , wasting, BMI < 18.5 kg/m2
Disertai salah satu :
Diare kronik > 1 bulan tanpa sebab yang jelas
Atau
Demam > 1 bulan tanpa sebab yang jelas
Pneumocystis pneumonia Dispnoe on exertion atau batuk tidak Cytology, imunofloresent mikroskopi.
produktif, takipneu, dan demam. Dan
CXR : infiltrate difus bilateral Dan
Tidak ada bukti infeksi pneumonia
bacterial, krepitasi bilateral, dan
auskultasi dengan atau tanpa obs jalan
nafas

Pneumonia bacterial rekuren ≥ 2x selama 6 bulan terakhir, onset Kultur


akut (<2 minggu), dengan gejala berat
( demam, batuk sesak, nyeri dada)
Dan konsolodasi pada pemeriksaan
foto thorax atau pemeriksaan fisik.
Antigen test
Herpes simplek kronik (orolabial, Herpes simplek kronik (orolabial, Kultur, DNA herpes simplek virus,
genital, anorectal) genital, anorectal) lebih dari 1 bulan citologi, histology.

Oesofagial candidiasis Nyeri retrosternal, disfagi, disertai oral Endoskopi, bronkoskopi, mikroskopi,
candidiasis histology.

TB ekstraparu Pleural, pericardia, peritoneal Isolasi M.TB, CXR


involvement, meningitis, mediastinal
atau abdominal lymphadenopathy atau
ostetis.
Sarcoma kaposi Typical gross appearance in skin or Endoskopi, bronkoskopi, histology
oropharynx of persistent, initially flat,
patches with a pink or violaceous
colour, skin lesions that usually
develop into plaques or nodules.

CMV disease (selain hati, limfa, dan Retinitis Kultur, DNA, histologi
KGB)
CNS toxoplasmosis Kelainan neurologis, penurunan Antibodi toxoplasma (+) dan satu atau
kesadaran, dan respon terhadap terapi lebih masa intracranial pada
spesifik pemeriksaan CT scan atau MRI

HIV encephalopati Gangguan kognitif / motorik Neuroimaging


progressive yang tidak disebabkan oleh
sebab lain

Criptococcosis ekstrapulmonal Demam, sakit kepala, meningism, Isolasi criptococus neoformans atau
(termasuk meningitis) bingung, perubahan tingkah laku, antigen test
respon terhadap criptococcal terapi
Disseminated non tuberculous - Ditemukannya bakteri atipikal
mycobacteria infection

Progressive multifocal - Gangguan neurologis progresif


leukoencephalopathy. (gangguan kognitif, berbicara, berjalan,
penglihatan, kelemahan ekstremitas, dan
gangguan saraf cranial) disertai dengan
lesi hypodense pada white matter, atau
(+) poliomavirus JC PCR pada LCS,
Chronic cryptosporidiosis - Cysts (+) pada pem Ziehl-Nielsen

Chronic isosporiasis. - Identifikasi Isospora.


Disseminated mycosis - Histology, antigen detection
(coccidiomycosis atau Atau culture
histoplasmosis).

Recurrent non-typhoid Kultur darah


Salmonella bacteraemia.

Lymphoma (cerebral atau Bcell - Histology


non-Hodgkin). neuroimaging techniques

Invasive ca cerviks - Histology atau cytologi


Atypical disseminated leishmaniasis. - Histology

Symptometic HIV-associated - Biopsy ginjal


nephropathy.
Symptometic HIV-associated - Kardiomegali, echo
cardiomyopathy.

Tabel 1. Kriteria Klinik HIV/AIDS pada dewasa dan anak (WHO)10,11


Dalam menegakkan diagnosa HIV, dilakukan beberapa pemeriksaan laboratorium
antara lain:
a. Pemeriksaan Antibodi anti-HIV dan deteksi virus
Pemeriksaan adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan Rapid Test, Enzime
Linked Sorbent Assay (ELISA) dan Western Blot. Pada pemeriksaan ELISA, hasil test ini
positif bila antibodi dalam serum mengikat antigen virus murni di dalam enzyme-linked
antihuman globulin. Pemeriksaan Western Bolt merupakan penentu diagnosis AIDS setelah
test ELISA dinyatakan positif. Bila terjadi serokonversi HIV pada test ELISA dalam keadaan
infeksi HIV primer, harus segera dikonfirmasikan dengan test WB ini. Hasil test yang positif
akan menggambarkan garis presipitasi pada proses elektroforesis antigen-antibodi HIV di
sebuah kertas nitroselulosa yang terdiri atas protein struktur utama virus. Setiap protein
terletak pada posisi yang berbeda pada garis, dan terlihatnya satu pita menandakan reaktivitas
antibodi terhadap komponen tertentu virus. 7,11
b. Pemeriksaan Status imunologi
Pada pemeriksaan status imunologi ini yang dilakukan adalah menghitung kadar
CD4 dalam darah untuk menilai derajat beratnya infeksi HIV dan untuk memprediksi onset
terjadinya infeksi oportunistik. Pemeriksaan kadar CD4 ini harus diulang setiap 3 bulan untuk
menilai perkembangan penyakit dan dasar pertimbangan untuk tindakan profilaksis dan
pengobatan. Berikut ini adalah tabel hubungan antara jumlah limfosit T, kadar CD4 dan
tingkat gejala klinis penyakit. 7,11
Stadium klinis Jumlah Limfosit T (/mm3) Jumlah CD4 (/mm3)
Tanpa Gejala >2500 501-600
Gejala Minor 1001-2500 351-500
Gejala Mayor dan infeksi 501-1000 200-300
oportunistik
AIDS <500 <200

Tabel 2. Hubungan Stadium Klinis, Jumlah Limfosit T dan CD4.11

Penularan HIV dari ibu ke bayi memiliki resiko sebesar 15-35%. Terendah dilaporkan
di Eropa dan tertinggi di Afrika. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi, antara lain :
A. Faktor Ibu
1. Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah
virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan
HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah
(kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
2. Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya.
Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
3. Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan
risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan
risiko penularan HIV ke bayi.
4. Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, Infeksi Menular Seksual, infeksi saluran reproduksi
lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko
penularan HIV ke bayi.
5. Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di
puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.3
B. Faktor Bayi
1. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan tertular
HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.
2. Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar.
3. Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.
4. Respon imun neonatus.3

C. Faktor Obstetrik
Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat mengajukan
rekomendasi penatalaksanaan obstetrik untuk mengurangi transmisi HIV vertikal.
Rekomendasi yang dianjurkan adalah: 3
1. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada
kehamilan di atas 36 minggu, belum mendapat antiretrovirus, dan
sedang menunggu hasil pemeriksaan kadar HIV dan CD4 yang
diperkirakan ada sebelum persalinan.
Rekomendasi : Ada beberapa regimen yang harus didiskusikan dengan jelas.
Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat terapi
antiretrovirus seperti regimen PACTG 076. Wanita hamil yang
terinfeksi HIV-AIDS dilakukan konseling tentang seksio sesarea
untuk mengurangi resiko transmisi dan resiko komplikasi
pascaoperasi, anestesi, dan resiko operasi lain padanya. Jika
diputuskan seksio sesarea, seksio direncanakan pada minggu ke-38
kehamilan,. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-
AIDS mendapat zidovudin intravena yang dimulai 3 jam
sebelumnya, dan bayi mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.
Keputusan akan meneruskan antiretrovirus setelah melahirkan atau
tidak tergantung pada hasil pemeriksaan kadar virus dan CD4.
2. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang datang pada
kehamilan awal, sedang mendapat kombinasi antiretrovirus, dan
kadar HIV tetap di atas 1000 kopi/mL pada minggu ke 36
kehamilan.
Rekomendasi : Regimen antiretrovirus yang digunakan tetap diteruskan. Wanita
hamil yang terinfeksi HIV-AIDS harus mendapat konseling bahwa
kadar HIV-nya mungkin tidak turun sampai kurang dari 1000
kopi/mL sebelum persalinan, sehingga dianjurkan untuk
melakukan seksio sesarea. Demikian juga dengan resiko
komplikasi seksio yang meningkat, seperti infeksi pascaoperasi,
anestesi, dan operasi. Jika diputuskan seksio sesarea, seksio
direncanakan pada minggu ke-38 kehamilan. Selama seksio, wanita
hamil yang terinfeksi HIV-AIDS mendapat zidovudin intravena
yang dimulai minimal 3 jam sebelumnya. antiretrovirus lain tetap
diteruskan sebelum dan sesudah persalinan. Bayi mendapat
zidovudin sirup selama 6 minggu.
3. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sedang mendapat
kombinasi antiretrovirus, dan kadar HIV tidak terdeteksi pada
minggu ke 36 kehamilan.
Rekomendasi : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS diberikan konseling
bahwa kemungkinan transmisi jika kadar HIV tidak terdeteksi
mungkin kurang dari 2 %, bahkan pada persalinan pervaginam.
Pemilihan cara persalinan harus mempertimbangkan keuntungan
dan resiko komplikasi seksio.
4. Cara Persalinan : Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS yang sudah direncanakan
seksio sesarea elektif, namun datang pada awal persalinan atau
setelah ketuban pecah.
Rekomendasi : Zidovudin intravena segera diberikan. Jika kemajuan persalinan
cepat, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS ditawarkan untuk
menjalani persalinan pervaginam. Jika dilatasi serviks minimal dan
diduga persalinan akan berlangsung lama, dapat dipilih antara
zidovudine intravena dan melakukan seksio sesarea atau
memberikan pitosin untuk mempercepat persalinan. Jika
diputuskan untuk menjalani persalinan pervaginam, elektrode
kepala, monitor invasife dan alat bantu lain sebaiknya dihindari.
Bayi sebaiknya mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu.

Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik
yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah:
1. Jenis Persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar dari pada persalinan melalui
bedah sesar (sectio caesaria).
2. Lama Persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan
lendir ibu.
3. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga
dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
4. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV
karena berpotensi melukai ibu atau bayi.3

Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh beberapa
lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi jika
terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV bisa menembus
plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak.Penularan HIV dari ibu ke anak
pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV
pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%.3
Waktu Risiko
Selama hamil 5 – 10 %
Bersalin 10 – 20 %
Menyusui 5 – 20 %
Risiko penularan keseluruhan 20 – 50 %
Tabel 3. Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Penanganan pasien hamil dengan HIV dibagi menjadi penanganan antepartum,
intrapartum dan postpartum, yakni :
1. Penanganan ante partum
a. Konseling
Pada konseling, ibu hamil diajak berkomunikasi dua arah, dengan memberikan
informasi mengenai HIV dan hubungannya dengan kehamilan, tanpa mengarahkan dimana
kemudian ibu hamil ini dapat mengambil keputusan mengenai kehamilannya dan
persalinannya. Pada kehamilan trimester pertama, konseling perlu dilakukan dengan
intensif untuk memutuskan apakah kehamilan akan diteruskan atau tidak.12
b. Pemeriksaan ante natal
Dilakukan pemeriksaan ante natal seperti biasa, tetapi perlu dilakukan eksplorasi
mengenai partner hubungan seksual, apakah pernah menderita penyakit hubungan seksual
(STD), atau pernah mendapatkan transfusi darah, dan ditanyakan juga apakah sering
mendapatkan pengobatan dengan suntikan.11
c. Pemberian obat anti virus
Tujuan utama pemberian antiretrovirus pada kehamilan adalah menekan
perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup,
mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV. Pada kehamilan,
keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas,
teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai
toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil
masih sedikit.12

2. Penanganan intra partum


Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan konseling
lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan, dan berdasarkan penilaian dari tenaga
kesehatan. Pilihan persalinan meliputi persalinan per vaginam dan perabdominam (bedah
sesar atau seksio sesarea). Dalam konseling perlu disampaikan mengenai manfaat terapi
ARV sebagai cara terbaik mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Dengan terapi ARV
yang sekurangnya dimulai pada minggu ke-14 kehamilan, persalinan per vaginam
merupakan persalinan yang aman. Apabila tersedia fasilitas pemeriksaan viral load,
dengan viral load < 1.000kopi/μL, persalinan per vaginam aman untuk dilakukan.
Persalinan bedah sesar hanya boleh didasarkan atas indikasi obstetrik atau jika pemberian
ARV baru dimulai pada saat usia kehamilan 36 minggu atau lebih, sehingga diperkirakan
viral load > 1.000 kopi/μL.3
Kewaspadaan menyeluruh atau “Universal Precaution” harus diperhatikan untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya penularan dari ibu ke bayi, penolong maupun
petugas kesehatan lainnya.Hindari memecahkan ketuban pada awal persalinan, terjadinya
partus lama dan laserasi pada ibu maupun bayi. Karena itu pada kemacetan persalinan
maka tindakan Seksio Sesarea adalah lebih baik dari memaksakan persalinan per
vaginam.Petugas kesehatan harus memakai sarung tangan vynil, bukan saja pada pada
pertolongan persalinan tetapi juga pada waktu membersihkan darah , bekas air ketuban dan
bahan lain dari pasien yang melahirkan dengan HIV. Penolong persalinan harus memakai
kacamata pelindung, masker, baju operasi yang tidak tembus air dan sering kali
membersihkan atau mencuci tangan. Membersihkan lendir atau air ketuban dari mulut bayi
harus memakai mesin isap, tidak dengan kateter yang diisap dengan mulut.Bayi yang baru
lahir segera dimandikan dengan dengan air yang mengandung disinfektan yang tidak
mengganggu bayi.8
3. Penanganan pasca persalinan
Pada pasca persalinan dilakukan pencegahan terjadinya penularan melalui ASI, di
samping penularan parenteral melalui suntikan dan luka atau lecet pada bayi. Pencegahan
penularan melalui ASI sudah tentu dilakukan dengan mencegah pemberian ASI, tetapi
untuk daerah yang sedang berkembang hal ini masih menjadi perdebatan karena
dikhawatirkan bayi tidak mendapatkan pengganti ASI. Ibu pengidap HIV harus diadviskan
mencegah kehamilan berikutnya dengan alat kontrasepsi.12

Pada tahun 2013 WHO mengeluarkan aturan pemberian obat ARV untuk pencegahan
HIV dari Ibu ke bayi, yaitu :13
a. Untuk IBU :
Lini Pertama: TDF + 3 TC (atau FTC) + EFV sebanyak 1 kali sehari pada ibu yang
hamil dan sedang menyusui, termasuk ibu yang berada dalam trimester pertama
kehamilan
LiniKedua: 2 NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor) + PI (Ritonavir
boosted Protease Inhibitor)
NRTI lini kedua ini direkomendasikan jika
- Kegagalan TDF + 3 TC (atau FTC), regimen pengobatan lini pertama gunakan
AZT+ 3TC dan NRTI sebagai dasar regimen lini kedua
- Kegagalan AZT atau d4T + 3TC , regimen pengobatan lini pertama gunakan
TDF+ 3TC (atau FTC) dan NRTI sebagai dasar regimen pengobatan lini kedua.

Tabel 4. Regimen maternal


Tabel 5. Obat-obat pada antenatal,intrapartum dan postpartum12

b. Untuk bayi :
Profilaksis NVP (Niverapin) setiap hari selama 6 minggu setelah lahirnya bayi atau
postpartum apabila HIV diidentifikasi dan jika bayinya sedang menerima makanan
penganti,maka harus diberikan profilaksis NVP setiap hari (atau AZT dua kali sehari).
Regimen ARV Usia Bayi Dosis

AZT Sampai Usia 6 minggu


(rekomendasi hanya pada bayi dengan  2000-2499 gram 10 mg, 2x sehari
makanan pengganti)  ≥ 2500 gram 15 m, 2x sehari

NVP Sampai Usia 6 minggu


 2000-2499 gram 10 mg, 1x sehari
 ≥ 2500 gram 15 m, 1x sehari

>6 minggu – 6 bulan 20 mg, 1x sehari

>6bulan – 9 bulan 30 mg, 1x sehari

>9 bulan – berakhirnya periode 40 mg, 1x sehari


menyusui
Tabel 6. Dosis Pemberian ARV dan NVP untuk Bayi yang menyusui.13

Tabel 7. Maternal dan Infant ART Profilaksis pada skenario klinik berbeda13
Tabel 8. Efek samping obat ARV pada ibu hamil dan bayi13
Pada pasien ini dilakukan penanganan simptomatik dan dilakukan konseling
mengenai pentingnya ARV, penjelasan dosis obat dan lama penggunaan walaupun pasien
sempat menolak mengkonsumsi ARV. Selain itu tetap menyarankan pasien untuk melakukan
pemeriksaan kadar virus dan CD4 Pentingnya penggunaan kondom saat berhubungan seksual
serta menghindari penularan melalui darah juga perlu dijelaskan kepada pasien. Pada saat ini,
mulai dibicarakan persiapan cara persalinan dan kontrasepsi sesudahnya. Pasien sudah
menyiapkan diri untuk dilakukan operasi SC sekaligus tubektomi mengingat umur yang
sudah 39 tahun. Memberikan motivasi untuk tetap semangat serta tetap menyarankan pasien
untuk berkata jujur kepada suami dan keluarga.
Aspek Ilmu Kesehatan Masyarakat
Faktor-faktor yang berhubungan dengan HIV/AIDS adalah 3,14,15,16:
a. Umur
Di Indonesia persentase kumulatif HIV paling banyak ditemukan kasus pada
kelompok umur 25-49 tahun (73,4%). Dan pada kasus AIDS yang paling banyak
terdeteksi yaitu pada kelompok umur 30-39 tahun (39,5%). Kelompok umur yang
paling beresiko terhadap penularan HIV dan kejadian AIDS adalah kelompok umur
produktif yaitu rentang umur 20-39 tahun .
b. Jenis kelamin
Menurut Kemenkes (2013), jenis kelamin laki-laki merupakan prevalensi terbanyak
yang menderita HIV/AIDS
c. Pekerjaan
Masyarakat yang beresiko untuk penularan infeksi HIV cukup beragam, seperti
mahasiswa, lingkungan gay, penjara, pemandian umum, pelacuran, dan lingkungan
tunawisma. Ada variasi tingkat resiko dalam masyarakat tergantung dari masing-
masing pekerjaannya, tetapi ketika HIV menyebar dalam diri mereka, biasanya
menyebar dengan cepat karena adanya jaringan terkait erat yang terhubung melalui
seks dan narkoba.
d. Pendidikan
Pendidikan formal yang ditempuh seseorang pada dasarnya adalah merupakan suatu
proses menuju kematangan intelektual, untuk itu pendidikan tidak dapat terlepas dari
proses belajar. Pendidikan merupakan upaya atau kegiatan untuk menciptakan
perilaku masyarakat yang kondusif .
e. Status perkawinan
Perkawinan dan kesetiaan perempuan tidak cukup untuk melindungi mereka dari
infeksi HIV di banyak negara. Contohnya wilayah Zimbabwe, Durban dan Suweo
(Afrika Selatan) yang dilaporkan 66% populasinya hanya memiliki satu pasangan
hidup, 79% tidak melakukan hubungan seks paling kurang sampai mereka berusia 17
tahun. Namun 40% perempuan muda di sana telah terinfeksi HIV meskipun mereka
tetap setia dengan satu pasangan saja. Dari laporan WHO, dikatakan bahwa jumlah
infeksi baru yang cukup signifikan terjadi di kalangan perempuan hamil yang sudah
menikah dan ditularkan oleh suami mereka. Resiko progresivitas infeksi HIV 2 kali
lebih besar terjadi pada kelompok yang belum menikah.
f. Kepatuhan minum obat
Terapi antiretroviral (ARV) telah terbukti secara bermakna menurunkan angka
kematian dan kesakitan orang dengan HIV/AIDS. Untuk mencapai tujuan tersebut,
tentu dibutuhkan sikap dan perilaku yang mempengaruhi seseorang untuk patuh
terhadap minum obat.
g. Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap
objek melalui indra yang dimilikinya. Menurut Notoatmodjo (2007), yang
menyebabkan seseorang untuk berperilaku karena adanya 4 alasan pokok yaitu
pemikiran dan perasaan, acuan, dan referensi dari seseorang, sumber daya dan sosio
budaya. Bentuk dari pemikiran dan perasaan salah satunya adalah pengetahuan.
Seseorang akan berperilaku didasarkan beberapa pertimbangan yang diperoleh dari
tingkat pengetahuannya.
h. Keyakinan perilaku adalah hal-hal yang diyakini oleh individu mengenai sebuah
perilaku dari segi positif dan negatif. Keyakinan normatif yang berkaitan dengan
pengaruh lingkungan termasuk faktor lingkungan sosial khususnya orang-orang yang
berpengaruh bagi kehidupan individu dapat mempengaruhi keputusan individu. Selain
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman, keyakinan individu mengenai suatu
perilaku akan dapat dilaksanakan ditentukan juga oleh ketersediaan waktu untuk
melaksanakan perilaku tersebut, tersedianya fasilitas untuk melaksanakannya, dan
memiliki kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan yang menghambat
pelaksanaan perilaku. Hal-hal inilah yang akhirnya membuat individu untuk
mempunyai niat dan kontrol diri dalam melakukan suatu tindakan.
Dilihat dari umur, maka usia pasien masuk dalam rentang kelompok usia produktif
yang sering ditemukan HIV/AIDS. Pasien dalam kasus ini merupakan ibu rumah tangga
lulusan SD yang tertular melalui suaminya yang semasa hidupnya bekerja sebagai pekerja di
kantor pelabuhan dan tukang gunting rambut kelilingan. Ada kemungkinan suami pasien
terpapar saat sudah menikah atau sebelum menikah dimana pasien tidak mengetahui
bagaimana perilaku suami saat sebelum menikah. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang
sangat minimal membuat pasien lambat menyadari kondisi suami, sehingga ketika suami
datang ke tenaga kesehatan sudah dalam stadium akhir seperti diare dan batuk kronik,
penurunan berat badan, tumbuhnya jamur di dalam mulut. Saat ini pasien telah menikah
kembali dan dalam kondisi hamil, namun hingga saat ini pasien belum memberitahukan
penyakitnya kepada suami kedua sehingga ini menjadi kendala pasien dalam mengkonsumsi
obat dan melakukan tindakan pencegahan berupa pemakaian kondom saat melakukan
hubungan seksual.
Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap
pengidap HIV-AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan
pengasingan, penolakan, diskriminasi dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi
HIV. Kekerasan atau ketakutan atas hukuman sosial ini telah mencegah banyak orang untuk
melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes mereka atau berusaha untuk memperoleh
perawatan sehingga mungkin mengubah suatu sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi
“hukuman mati” dan menjadikan meluasnya penyebaran HIV AIDS.
Stigma AIDS sering dikaitkan dengan homoseksualitas, biseksualitas, seks bebas, dan
penggunaan narkoba melalui suntikan. Seseorang yang terjangkit HIV AIDS dapat
berdampak sangat luas dalam hubungan sosial dengan keluarga, hubungan dengan teman-
teman, relasi dan jaringan kerja akan berubah baik kuantitas maupun kualitas. Upaya kuratif
pada aspek sosial difokuskan dalam upaya mendorong pengidap HIV/AIDS agar menjadi
produktif dan punya kontribusi terhadap masyarakat, maka secara tidak langsung akan
mengurangi stigma buruk di masyarakat17.
Nursalam (2005) menjelaskan bahwa seseorang penderita HIV/AIDS setidaknya
membutuhkan bentuk dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi
tiga hal, yaitu:
a. Emotional support, meliputi perasaan nyaman, dihargai, dicintai dan diperhatikan
b. Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
c. Materials support, meliputi bantuan atau pelayanan berupa suatu barang dalam
mengatasi suatu masalah.
Dampak HIV/AIDS di bidang ekonomi dapat dimulai dari tingkat individu, keluarga,
masyarakat dan akhirnya pada negara dan mungkin dunia. Epidemi HIV/AIDS akan
menimbulkan biaya tinggi, baik pada pihak penderita maupun pihak rumah sakit. Hal ini
dikarenakan obat penyembuh yang belum ditemukan, sehingga biaya harus terus dikeluarkan
hanya untuk perawatan dan memperpanjang usia penderita.
Pengidap HIV/AIDS pada umumnya berada dalam situasi yang membuat penderita
merasakan menjelang kematian dalam waktu dekat. Individu yang dinyatakan terinfeksi HIV,
sebagian besar menunjukkan perubahan karakter psikososial. Pasien yang didiagnosis dengan
HIV akan mengalami masalah fisik, psikologis, sosial dan spritual. Masalah psikologis yang
timbul adalah :
a. Stres yang ditandai dengan menolak, marah, depresi dan keinginan untuk mati. Individu
yang terinfeksi HIV/AIDS atas pemberitahuan dokter, biasanya mengalami shock, bisa
putus asa karena shock berat. Penderita mengalami depresi berat, sehingga
menyebabkan penyakit semakin lama semakin berat, timbul berbagai infeksi
oportunistik, dan penderita semakin tersiksa. Biaya pengobatan tambah besar, penyakit
bertambah banyak, obat yang diberikan harus tambah banyak dengan berbagai efek
samping yang dapat memperparah keadaan penderita.
b. Keyakinan diri yang rendah pada penderita HIV/AIDS akan menyebabkan penderita
mengalami hypochondria, dimana penderita seringkali memikirkan mengenai
kehilangan, kesepian, dan perasaan berdosa di atas segala apa yang telah dilakukan
sehingga menyebabkan penderita kurang menitikberatkan langkah-langkah penjagaan
kesehatan dan kerohanian. Seorang pasien yang telah didiagnosis HIV positif dan
mengetahuinya, menyebabkan kondisi mental penderita akan mengalami fase yang
sering disingkat SABDA (Shock, Anger, Bargain, Depressed, Acceptance).
c. Semakin tinggi tingkat kecemasan pada penderita HIV/AIDS, maka kesejahteraan
psikologis pada penderita HIV/AIDS akan semakin rendah
Motivasi sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan penderita HIV/AIDS baik berupa
motivasi ekstrinsik (dukungan orang tua, teman dan sebagainya) maupun motivasi intrinsik
(dari individu sendiri). Dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dan melindungi seseorang
terhadap efek negatif stres berat. Motivasi terhadap penderita HIV/AIDS dapat juga berupa
terapi yang mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Membantu penderita mempertahankan kontrol akan hidupnya dan membantu
menemukan mekanisme pertahanan yang sehat, termasuk sikap yang selalu positif
dalam menghadapi begitu banyak tantangan dan stres dalam perjalanan penyakitnya.
2. Membantu penderita menghadapi perasaan bersalah, penyangkalan, panik dan putus
asa.
3. Bekerja bersama penderita menciptakan perasaan menghormati diri sendiri dan
menyelesaikan konflik penderita jika ada.
4. Membantu penderita berkomunikasi dengan keluarga, pasangan hidup dan teman-teman
mengenai penyakitnya dan rasa takut akan penolakan serta ditinggalkan, juga
membantu membina hubungan interpersonal yang memuaskan.
5. Membantu penderita membangun strategi untuk berhadapan dengan krisis nyata yang
mungkin terjadi, baik dalam kesehatan maupun sosioekonomi, dan hal-hal dalam
kehidupan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. 2013. Guidelines for second generation HIV surveillance:
an update: Know your epidemic. Joint United Nations Programme on HIV/ AIDS.
World Health Organization.
2. UNAIDS. 2013. UNAIDS Report On The Global AIDS Epidemic 2013. Global
Report. UNAIDS.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Rencana Aksi Nasional
Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan 2014-2019. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Statistik Kasus HIV/AIDS di
Indonesia. Dirjen P2PL.
5. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. 2010. Strategi dan Rencana Aksi Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014.
6. Fauci A, Braunwald E, et.al. Human Immunodeficiency Virus Disease. In: Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 17th Edition. United States of America. McGraw-Hill
Companies 2008.p.1-10
7. Cunningham FG, Gant NF, Lereno KJ, Gilstrap III LC, Hanth JC, Wenstrom KD.
2001. Human Immunodeficiency Virus Infection. In : William’sObstetric. 22nd
Edition. New York: Mc Graw-Hill.p.1-8
8. Decherney A, Goodwin M. et.al. 2007. Human Immunodeficiency Virus Infection. In :
Current Diagnosis and Treatment Obstetrics and Gynecology. 10th Edition. United
States of America. McGraw-Hill Companies.p.1-6
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Pedoman Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Anak.
10. World Heealth Organization. HIV classification:CDC and WHO Staging System.
HRSA HIV/AIDS Bureau. 2012. World Health Organization.
11. Marino T. 2012. HIV in Pregnancy. 28 November 2012. Medscape.
12. PMTCT Guidelines. 2013. The South African Antiretroviral Treatment Guidelines.
Department of Health South Africa.
13. World Health Organization . Consolidated guidelines on the use of antiretroviral
drugs for treating and preventing HIV infection. Joint United Nations Programme on
HIV/ AIDS. June 2013. World Health Organization.
14. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar.
Jakarta : PT. Rineka Cipta.
15. Pusponegoro, et.al. 2013. Hubungan Penyuluhan Dengan Pengetahuan, Sikap dan
Perilaku Ibu Hamil Tentang HIV dan Program Voluntary Counseling and Testing di
Puskesmas Pulo Gadung Tahun 2013. Departemen Obstetri dan Ginekologi. FKUI.
16. Roza J. 2013. Faktor yang Berhubungan dengan Status HIV Klien VCT di RSUD
Mandau Kabupaten Bengkalis Tahun 2013. Jakarta : Universitas Indonesia.
17. Susan et.al. 2012. Disengagement and Engagement Coping with HIV/AIDS Stigma
and Psychological Well Being of People with HIV/AIDS. Journal of Social and
Clinical Psychology, vol 21 (2) : pp 123-50.
18. Nursalam. 2005. Model Asuhan Keperawatan Pada Pasien HIV AIDS. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai