Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kebiasaan buruk pada anak seperti menghisap jari merupakan perilaku

normal. Namun bila kebiasaan ini terus berlanjut pada periode gigi permanen

dapat menyebabkan perubahan relasi gigi yang disebut maloklusi. Maloklusi

adalah penyimpangan letak gigi atau malrelasi lengkung geligi diluar rentang

kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi juga bisa merupakan variasi biologi,

sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada bagian tubuh yang lain. Variasi

letak gigi mudah diamati dan terkadang mengganggu estetika sehingga timbul

keinginan untuk melakukan perawatan pada gigi tersebut. Etiologi maloklusi

dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor

ekstrinsik meliputi genetik, kelainan kongenital, dan kelainan pertumbuhan.

Sedangkan faktor intrinsik meliputi gigi sulung tanggal prematur, persistensi gigi,

trauma, pengaruh jaringan lunak, dan kebiasaan buruk. Sebagian anak mempunyai

kebiasaan menghisap jari yang tidak memberi nilai nutrisi. Kebiasaan menghisap

jari biasa terjadi pada anak yang tidak terpenuhi insting menghisapnya pada fase

oral. Apabila kebiasaan ini tetap dilakukan dalam waktu yang lama dapat

menyebabkan terjadinya maloklusi. Kebiasaan menghisap yang dillakukan pada

periode geligi sulung hanya menimbulkan efek yang sedikit atau sama sekali tidak

menimbulkan maloklusi. Bila kebiasaan ini diteruskan sampai fase geligi

permanen erupsi maka akan mengakibatkan protrusi, diastema, incisivus bawah

linguoversi, open bite anterior, dan lengkung rahang atas yang sempit.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 MALOKLUSI

a. Defenisi Oklusi

Oklusi adalah hubungan kontak antara gigi maksila dengan gigi mandibula

saat mulut ditutup. Oklusi ideal merupakan suatu konsep teoritis oklusi yang

sukar atau bahkan tidak mungkin terjadi pada manusia. Oklusi dikatakan

normal ketika susunan dalam lengkung gigi teratur dengan baik serta adanya

keseimbangan fungsional sehingga memberikan estetika yang baik.(1)

Andrew (1972) menyebutkan enam kunci oklusi normal, yang berasal dari

hasil penelitian yang dilakukannya terhadap 120 subyek yang oklusi idealnya

mempunyai enam ciri. Keenam ciri tersebut adalah:

1. Hubungan yang tepat dari gigi-gigi molar pertama tetap pada

bidang sagital.

2. Angulasi mahkota gigi-gigi incisivus yang tepat pada bidang

transversal,

3. Inklinasi mahkota gigi-gigi incisivus yang tepat pada bidang

sagital.

4. Tidak adanya rotasi gigi-gigi individual.

5. Kontak yang akurat dari gigi-gigi individual dalam masing-masing

lengkung gigi, tanpa celah maupun berjejal-jejal.

2
6. Bidang oklusal yang datar atau sedikit melengkung.(1)

b. Defenisi Maloklusi

Penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi lengkung geligi (rahang)

diluar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi juga bisa merupakan

variasi biologi sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada bagian tubuh

yang lain, tetapi karena variasi letak gigi mudah diamati dan mengganggu

estetik sehingga menarik perhatian dan memunculkan keinginan untuk

melakukan perawatan. Terdapat bukti bahwa prevalensi maloklusi meningkat,

peningkatan ini sebagian dipercayai sebagai suatu proses evolusi yang diduga

akibat meningkatnya variabilitas gen dalam populasi yang bercampur dalam

kelompok ras. Meningkatnya letak gigi yang berdesakan mungkin disebabkan

tidak adanya atrisi proksimal dan oklusal yang terjadi pada gigi. Dimana atrisi

adalah suatu keadaan dimana gigi-gigi rahang atas dan rahang bawah saling

beradu sehingga gigi menjadi aus. Pada masa lalu kelompok aborigin di

Australia makan makanan yang kasar sehingga menghasilkan pengurangan

lebar mesio - distal gigi karena adanya atrisi pada gigi. Panjang lengkung gigi

dapat berkurang sekitar sepuluh millimeter dan keadaan ini mengurangi

kecenderungan terjadinya gigi berdesakan.(2,3)

c. Penyebab Maloklusi

Maloklusi dapat disebabkan adanya kelainan gigi dan malrelasi lengkung

geligi atau rahang. Secara garis besar penyebab maloklusi dapat digolongkan

dalam faktor herediter (genetik) dan faktor lokal. Kadang-kadang suatu

3
maloklusi sukar ditentukan secara tepat etiologinya karena adanya berbagai

faktor yang mempengaruhi pertumbuhkembangan.(2)

 Faktor Herediter(2,4)

Pada populasi primitif yang terisolasi jarang dijumpai maloklusi yang

berupa disproporsi ukuran rahang dan gigi sedangkan relasi rahangnya

menunjukkan relasi yang sama. Pada populasi modern lebih sering

ditemukan maloklusi daripada populasi primitif sehingga diduga karena

adanya kawin campur menyebabkan peningkatan prevalensi maloklusi.

Cara yang lebih baik untuk mempelajari pengaruh herediter adalah dengan

mempelajari anak kembar monozigot yang hidup pada lingkungan sama.

Suatu penelitian menyimpulkan bahwa 40% variasi dental dan fasial

dipengharuhi faktor herediter sedangkan penelitian yang lain

menyimpulkan bahwa karakter skelet kranio facial sangat dipengaruhi

faktor herediter sedangkan pengaruh herediter terhadap gigi rendah.

Pengaruh herediter dapat bermanifestasi dalam dua hal yaitu:

a) Disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan

maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa distema

multiple meskipun yang terakhir ini jarang dijumpai.

b) Disproporsi ukuran, posisi, dan bentuk rahang atas dan rahang

bawah yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis.

Dimensi craniofacial, ukuran dan jumlah gigi sangat dipengaruhi

oleh faktor genetik sedangkan dimensi lengkung geligi dipengaruhi

oleh faktor lokal. Urutan pengaruh genetik pada skelet yang paling

4
tinggi adalah mandibula yang proknatik, muka yang panjang serta

adanya deformitas muka.

Menurut Mossey (1999) berbagai komponen ikut menentukan

terjadinya oklusi normal ialah:

a) Ukuran maksila dan mandibula termasuk ramus dan korpus.

b) Faktor yang ikut mempengaruhi relasi maksila dan mandibular

seperti basis kranial dan lingkungan.

c) Jumlah, ukuran, dan morfologi gigi.

d) Morfologi dan sifat jaringan lunak (bibir,lidah,dan pipi).

Kelainan pada komponen tersebut serta interaksinya dapat

menyebabkan maloklusi. Implikasi klinis suatu maloklusi yang lebih

banyak dipengaruhi faktor herditer adalah kasus tersebut mempunyai

prognosis yang kurang baik bila dirawat ortodontik, namun sayangnya

sukar untuk dapat menentukan seberapa pengaruh faktor herediter pada

maloklusi tersebut. Perkembangan pengetahuan genetik molekuler

diharapkan mampu menerangkan penyebab etiologi herediter dengan lebih

tepat.

 Kelainan Gigi

Beberapa kelainan gigi yang dipengaruhi faktor herediter adalah

kekurangan jumlah gigi (hipodontia), kelebihan jumlah gigi

(hiperdontia), misalnya adanya mesiodens, bentuk gigi yang khas

misalnya carabelli pada molar, kaninus yang impaksi di palatal,

5
transposisi gigi misalnya kaninus yang terletak diantara premolar

pertama dan kedua.

 Kekurangan Jumlah Gigi

Kelainan jumlah gigi dapat berupa tidak ada pembentukan gigi atau

agenesis gigi. Anodontia adalah suatu keadaan tidak terbentuk gigi

sama sekali, untungnya frekuensi sangat jarang dan biasanya

merupakan bagian dari Syndrome Dysplasia Ectodermal. Bentuk

gangguan pertumbuhan yang tidak separah anadontia adalah

hipodontia, yaitu suatu keadaan beberapa gigi mengalami agenesis

(sampai dengan 4 gigi), sedangkan aligodontia adalah gigi yang tidak

terbentuk lebih dari empat gigi. Sebagai panduan dapat dikatakan

apabila gigi sulung agenesis maka gigi permanennya juga agenesis,

tetapi meskipun gigi sulung ada bisa saja gigi permanennya agenesis.

Gigi yang agenensis biasanya adalah gigi sejenis tetapi yang letaknya

lebih distal sehingga dapat dipahami bahwa yang sering agenesis

adalah molar ketiga, premolar kedua, dan incisivus lateral.

 Kelebihan jumlah gigi

Yang paling sering ditemukan adalah gigi kelebihan yang terletak di

garis median rahang atas yang biasa disebut mesiodens. Jenis gigi

kelebihan lainnya adalah yang terletak disekitar insisivi lateral

sehingga ada yang menyebut laterodens, premolar tambahan bisa

sampai dua premolar tambahan pada satu sisi sehingga pasien

6
mempunyai empat premolar pada satu sisi. Adanya gigi-gigi kelebihan

dapat menghalangi terjadinya oklusi normal.

 Disharmoni Dentomaksiler

Adalah suatu keadaan disproporsi antara besar gigi dan rahang dalam

hal ini lengkung geligi. Menurut Anggraini (1975) etilogi disharmoni

dentomaksiler adalah faktor herediter. Karena tidak adanya harmoni

antara besar gigi dan lengkung gigi maka keadaan klinis yang dapat

dilihat dalah adanya lengkung geligi dengan diastema yang

menyeluruh pada lengkung geligi bila gigi-gigi kecil dan lengkung

geligi normal, meskipun hal ini jarang dijumpai. Keadaan yang sering

dijumpai adalah gigi-gigi yang besar pada lengkung geligi yang

normal atau gigi-gigi yang normal pada lengkung geligi yang kecil

sehingga menyebabkan letak gigi berdesakan. Meskipun pada

disharmoni dentomaksiler didapatkan gigi-gigi berdesakan tetapi tidak

semua gigi yang berdesakan disebabkan karena disharmoni

dentomaksiler. Disharmoni dentomaksiler mempunyai tanda-tanda

klinis yang khas gambaran maloklusi seperti ini bisa terjadi di rahang

atas maupun di rahang bawah.

Tanda-tanda klinis suatu disharmoni dentomaksiler di region anterior

yang mudah diamati antara lain sebagai berikut:

- Tidak ada distema fisiologis pada fase geligi sulung yang

secara umum dapat dikatakan bahwa bila pada fase geligi

sulung tidak ada diastema fisiologis dapat diduga bahawa

7
kemungkinan besar akan terjadi gigi berdesakan bila gigi-gigi

permanen telah erupsi.

- Pada saat insisivi sentral permanen akan erupsi, gigi ini

merebsorpsi akar insisivi sentral sulung dan insisivi lateral

sulung secara bersamaan sehingga insisivi lateral sulung

tanggal premature.

- Insisivi sentral permanen tumbuh dalam posisi normal oleh

karena mendapat tempat yang cukup. Bila letak insisivi

sentral permanen tidak normal berarti penyebabnya bukan

disharmoni dentomaksiler murni tetapi ada penyebab lain.

- Pada saat insisivi lateral permanen akan erupsi dapat terjadi

dua kemungkinan. Kemungkinan pertama insisivi lateral

permanen meresorpsi akar kaninus sulung sehingga kaninus

sulung tanggal prematur dan insisivi lateral permanen

tumbuh dalam letak yang normal karena tempatnya cukup.(2)

 Faktor Lokal

 Gigi Sulung Tanggal Prematur

Dapat berdampak pada susunan gigi permanen. Semakin muda umur

pasien pasa saat terjadi tanggal premature gigi sulung semakin besar

akibatnya pada gigi permanen. Insisivi sentral dan lateral sulung yang

tanggal premature tidak begitu berdampak tetapi kaninus sulung akan

menyebabkan adanya pergeseran garis median. Perlu diusahakan agar

kaninus sulung tidak tanggal premature. Sebagian peneliti mengatakan

8
bila terjadi tanggal premature sulung karena resorbsi insisivi lateral

atau karena karies disarankan dilakukan balanching extraction,yaitu

pencabutan kaninus sulung kontralateral agar tidak terjadi pergeseran

garis median dan kemudian dipasang space maintainer. Molar pertama

sulung yang tanggal prematur juga dapat menyebabkan pergeseran

garis median. Perlu tidaknya dilakukan balanching extraction harus

dilakukan observasi lebih dahulu. Molar kedua sulung terutama

rahang bawah merupakan gigi sulung yang paling sering tanggal

prematur karena karies, kemudian gigi molar permanen bergeser

kearah diastema sehingga tempat untuk premolar kedua berkurang dan

premolar kedua tumbuh sesuai letak benihnya. Gigi kedua molar

sulung yang tanggal prematur juga dapat menyebabkan asimetri

lengkung geligi, gigi berdesakan serta kemungkinan terjadi supra

erupsi gigi antagonis.

Bila molar kedua sulung tanggal prematur banyaknya pergeseran

molar pertama permanen ke mesial dipengaruhi oleh tinggi tonjol gigi

(bila tinggi tonjol gigi pergeseran semakin sedikit) dan waktu tanggal

tersebut (pergeseran paling banyak bila molar kedua sulung tanggal

sebelum molar permanen erupsi)

 Persistensi gigi

Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained deciduous

teeth berarti gigi sulung yang sudah melewati waktunya tanggal tetapi

tidak tanggal. Perlu diingat bahwa waktu tanggal gigi sulung sangat

9
bervariasi. Keaadaan yang jelas menunjukkan persistensi gigi sulung

adalah apabila gigi permanen pengganti telah erupsi tetapi gigi

sulungnya tidak tanggal. Bila diduga terjadi persistensi gigi sulung

tetapi gigi sulungya tidak ada di rongga mulut, perlu diketahui

anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis kepada orang

tua pasien apakah dahulu pernah terdapat gigi yang bertumpuk di

region tersebut.

 Trauma

Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi

permanen. Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen

sedang terbentuk dapat terjadi gangguan pembentukan enamel,

sedangkan bila mahkota gigi permanen telah terbentuk dapat terjadi

dilaserasi, yaitu akar gigi yang mengalami distrosi bentuk (biasanya

bengkok). Gigi yang mengalami dilaserasi biasanya tidak dapat

mencapai oklusi yang normal bahkan kalau parah tidak dapat dirawat

ortodonti dan tidak ada pilihan lain kecuali dicabut. Kalau ada dugaan

terjadi trauma pasa saat pembentukan gigi permanen perlu diketahui

anamnesis apakah pernah terjadi trauma di sekitar mulut untuk lebih

memperkuat dugaan adanya trauma.

 Pengaruh Jaringan Lunak

Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh yang besar

terhadap letak gigi. Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih

kecil daripada tekanan otot mengunyah tetapi berlangsung lebih lama.

10
Menurut penelitian tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat

mengubah letak gigi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa

bibir,pipi dan lidah yang menempel terus pada gigi hampir selama 24

jam dapat sangat mempengaruhi letak gigi.

Tekanan dari lidah,misalnya karena letak lidah pada posisi istirahat

tidak benar karena adanya makaroglusi dapat mengubah

keseimbangan tekanan lidah dengan bibir dan pipi sehingga insisivi

bergerak ke labial. Dengan demikian patut dipertanyakan apakah

tekanan lidah pada saat menelan dapat memengaruhi letak insisivi

karena meskipun tekananya cukup besar yang dapat menggerakkan

gigi tetapi berlangsung dalam waktu yang singkat.

 Kebiasaan Buruk

Suatu kebiasaan yang berdurasi total sedikitnya 6 jam sehari,

berfrekuensi cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat

menyebabkan maloklusi. Kebiasaan mengisap jari atau benda-benda

lain dalam waktu yang berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi.

Dari ketiga faktor ini yang paling berpengaruh adalah durasi atau lama

kebiasaan berlangsung. Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi

sulung tidak mempunyai dampak pada gigi permanen bila kebiasaan

tersebut telah terhenti sebelum gigi permanen erupsi. Bila kebiasaan

ini terus berlanjut sampai gigi permanen erupsi akan terdapat

maloklusi dengan tanda-tanda berupa insisivi atau proklinasi dan

terdapat diastema, gigitan terbuka, lengkung atas sempit retroklinasi

11
insisivi bawah. Maloklusi yang terjadi ditentukan oleh jari mana yang

dihisap.(2,4,5)

2.2 KLASIFIKASI RELASI SKELETAL

Hubungan posisional antero-posterior dari bagian basal rahang atas dan

bawah, satu sama lain dengan gigi-gigi berada dalam oklusi, disebut sebagai

hubungan skeletal. Keadaan ini kadang-kadang disebut juga sebagai hubungan

basis gigi atau pola skeletal. Klasifikasi dari hubungan skeletal sering digunakan,

yaitu:

1. Skeletal Kelas I, dimana rahang berada pada hubungan antero-posterior

yang ideal pada keadaan oklusi. Skeletal kelas I dibagi lebih lanjut

mengikuti maloklusi gigi seperti:

 Divisi 1 : Hubungan lokal dari incisivus, caninus dan premolar

 Divisi 2 : Protrusi Incisivus maksila

 Divisi 3 : Incisivus maksila di linguoversion

 Divisi 4 : Protrusi bimaxillary

2. Skeletal Kelas II , dimana rahang bawah pada keadaan oklusi, terletak

lebih kebelakang dalam hubungannya dengan rahang atas, dibandingkan

pada kelas I skeletal

 Divisi 1 : Lengkung gigi maksila sempit dengan crowded pada

daerah caninus, cross bite mungkin ada ketinggian wajah vertikal

meningkat. Rahang gigi anterior yang menonjol dari profil yang

retrognatik.

12
 Divisi 2 : Gigi incisivus rahang atas yang cenderung ke lingual

gigi incisivus lateral mungkin normal atau dalam labioversion.

3. Skeletal Kelas III, dimana rahang bawah pada keadaan oklusi lebih

kedepan dari pada kelas I skeletal.(2,6)

2.3 KLASIFIKASI MALOKLUSI MENURUT ANGLE

 Kelas I (Netroklusi)

Maloklusi dengan M1 pertama permanen bawah setengah lebar tonjol

mesial terhadap, molar pertama permanen atas. Relasi lengkung gigi

semacam ini biasa disebut juga dengan istilah netroklusi, kelainan

yang menyertai dapat berupa gigi berdesakan, proklinasi, gigitan

terbuka anterior, dll

 Kelas II (Distoklusi)

Lengkung bawah minimal setengah lebar tonjol lebih posterior dari

relasi yang normal terhadap lengkung gigi geligi atas dilihat pada

relasi molar. Relasi ini juga biasa disebut distoklusi. Maloklusi kelas

II dibagi menjadi 2 divisi menurut inklinasi incisivus :

- Divisi I : Incisivus atas proklinasi atau meskipun incisivus atas

inklinasinya normal tetapi terdapat jarak gigit dan tumpang

gigit yang bertambah.

- Divisi II : Incisivus retroklinasi, jarak gigit biasanya dalam

batas normal tetapi kadang-kadang sedikit bertambah,

tumpang gigit bertambah.

13
 Kelas III (Mesiooklusi)

Lengkung bawah setidaknya satu lebih lebar tonjol lebih ke normal

daripada lengkung geligi atas bila dilihat dari relasi molar pertama

permanen. Relasi lengkung geligi semacam ini biasa juga disebut

mesiooklusi. Relasi anterior menunjukkan adanya gigitan terbalik.(2,7,8)

d. Penanganan Maloklusi

 Penanganan Maloklusi Klas II divisi I

Salah satu perawatan yang dapat digunakan untuk merawat

maloklusi, Klas II divisi I adalah dengan alat miofungsional. Alat

miofungsional adalah alat postural yang merupakan kombinasi dua

perawatan, yaitu adaptasi pertumbuhan rahang dan pergerakan gigi

geligi.

Prinsip perawatan dengan alat miofungsional adalah menggunakan

tekanan otot orofacial untuk mencapai perubahan posisi rahang dan

14
susunan gigi kearah normal. Perawatan maloklusi klas II tergantung

pada kelainan yang berperan apakah skeletal, dental, ataupun

muskuler. Pilihan perawatan dapat berupa orthopedic orthodontic,

miofungsional, bedah ataupun kombinasi. Bila maloklusi klas II

terjadi karena defisiensi maxilla arah transversal pada usia tumbuh

kembang maka pilihan perawatan ditujukan untuk ekpansi maxilla

dengan menggunakan alat orthopedic seperti RPE (rapid palatal

exspansion) dan kuat helix. Pada maloklusi klas II devisi I ada

beberapa perawatan yang dilakukan :

a. Removable Appliance

1. Twin Blok, pesawat twinblok adalah salah satu dari beberapa

alat fungsional lepasan yang ada pada dasarnya terdiri dari

bite-block rahang atas dan rahang bawah. Kedua bite-block

tersebut saling mengunci pada sudut 700 terhadap dataran

oklusal bila rahang atas dan rahang bawah beroklusi. Twin

block merupakan pesawat lepas yang terpisah antara rahang

atas dan rahang bawah, dan saling berkontak pada oklusal

inclined bite plane.

2. Alat frankle, untuk merawat maloklusi klas II devisi I dapat

digunakan alat frankle. Menurut dan bedasarkan hasil

penelitian Creckhmore dan Rednei 1983 menyatakan bahwa

alat frankle merupakan alat yang efektif untuk mengoreksi

15
maloklusi klas II devisi I dengan overjet lebih kecil dari 5 mm

sampai lebih dari 7 mm.

b. Fixed appliance

1. Mandibular anterior repocitioning appliance (mara) orthodonsi

fungsional cekat yang menyalurkan tekanan ke gigi yang

digunakan untuk merawat maloklusi klas II devisi I dengan

cara memajukan mandibula kedepan sehingga tercapai

maloklusi klas I.

2. Alat forsus, alat cekat orthodontic yang berbentuk spring dan

dipasang melekat pada molar maxilla dan lengkung mandibula

alat ini akan menyebabkan perubahan dento alveolar dimana

perubahan dento alveolar menyebabkan incisivus maxilla

retruksi, ekstruksi dan tipping kepalatal, sementara incisivus

mandibula protrusi, intrusi dan tipping kelabial. Molar maxilla

bergerak ke distal dan intrusim molar mandibula bergerak

kemesial dan ekstrusi.

3. Rapid palatal ekspansion (RPE), digunakan sebagai alat untuk

ekspansi rahang yang dapat membuat cara khusus melebarkan

lengkung rahang atas atau langi-langit.

4. Quad helix, diindikasikan untuk mengekspansi rahang

atas.Alat ini dapat digunakan untuk ekspansi rahang dalam

arah anteroposterior. Penyangga dapat diletakkan pada gigi

molar rahang atas.(2,4,5,9)

16
2.4 PERAWATAN ORTODONTIK PADA ANAK(11)

A. Perawatan Ortodontik Preventif

Ortondontik preventif merupakan prosedur untuk mempromosikan

perkembangan dari oklusi normal dan membantu dalam mencegah maloklusi

pada saat perkembangan tersebut terjadi. Tindakan pencegahan dapat

dilaksanakan dapat jika dikuasai jalannya pertumbuhan dan perkembangan gigi

geligi dan tulang-tulang craniofacial yang lain. Dapat dikatakan bahwa

pengawasan terhadap jalannya pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi dan

tulang craniofacial sejak bayi sampai tercapai bentuk muka yang serasi

merupakan tanggung jawab yang sangat penting dan langkah pertama yang

menentukan bagi seorang dokter gigi. Kalau seorang anak dibawah oleh orang

tuanya dalam klinik dokter gigi, tidak berarti orang tua itu hanya

mengharapkan agar gigi anaknya bebas dari rasa sakit dan mempunyai susunan

yang bagus pada waktu itu saja, tetapi orang tua mengharapkan agar anaknya

pada waktu dewasa nanti mempunyai gigi geligi yang baik fungsinya, dan

bentuk susunannya tidak menyimpang dari normal serta raut wajah yang

estetis.

Beberapa anak usia 5 atau 6 tahun memiliki beberapa keuntungan dalam

evaluasi orthodontik. Meskipun perawatan orthodontik tidak lazim dilakukan

pada awal usia tersebut, namun beberapa perawatan pencegah dapat

diindikasikan. Pada usia 7 tahun kebanyakan anak memiliki gigi bercampur

yaitu gigi sulung dan gigi permanen. Beberapa permasalahan orthodontik yang

sering terjadi pada anak-anak dapat disebabkan oleh faktor genetik yang

17
mungkin diwariskan oleh orang tua mereka. Anak-anak kemungkinan

mengalami gigi berjejal, terdapat ruang yang banyak diantara gigi geligi yang

protrusi dan gigi berlebih atau gigi yang hilang dan kadang pertumbuhan

rahangnya bermasalah. Maloklusi lainnya adalah didapat dengan kata lain

mereka berkembang sepanjang waktu. Dapat disebabkan oleh kebiasaan

menghisap ibu jari lainnya, bernafas melalui mulut, penyakit gigi, kebiasaan

menelan yang abnormal, kebersihan mulut yang buruk, kehilangan gigi sulung

terlalu dini, kecelakaan atau nutrisi yang buruk. Trauma ataupun kondisi

lainnya seperti cacat sejak lahir kemungkinan memberi kontribusi bagi

permasalahan orthodontik. Sering kali maloklusi yang diwarriskan dipersulit

oleh permasalahan maloklusi yang didapat.

Untuk mencegah maloklusi akibat gigi yang hilang akibat karies sebagai

langkah orthodontik peventif, dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan

mulut (oral hygiene) dengan menggosok gigi terdapat beberapa teknik

menyikat gigi yaitu:

1. Gerakan vertikal

Arah gerakan menggosok gigi keatas kebawah dalam keadaan rahang

atas dan bawah tertutup. Gerakan ini untuk permukaan gigi yang

menghadap ke pipi (buccal/ labial), sedangkan untuk permukaan gigi

yang menghadap lidah/ palatal (lingual atau palatal), gerakan

menggosok gigi keatas kebawah dalam keadaan mulut terbuka. Cara

ini terdapat kekurangan, yaitu bila menggosok gigi tidak benar dapat

18
menimbulkan resesi gingival/ penurunan gusi sehingga akar gigi

terlihat.

2. Gerakan horizontal

Arah gerakan menggosok gigi kedepan kebelakang dari permukaan

buccal dan lingual. Gerakan menggosok pada bidang kunyah dikenal

sebagai scrub brush. Caranya mudah dilakukan dan sesuai dengan

bentuk anatomi permukaan kunyah. Kombinasi gerakan vertikal-

horizontal, bila dilakukan harus sangat hati-hati karena dapat

menyebabkan resesi gusi/ abrasi lapisan gigi.

3. Gerakan Roll Tehnique/ modifikasi Stillman

Cara ini, gerakannya sederhana, paling dianjurkan, efisien dan

menjangkau semua bagian mulut. Bulu sikat ditempatkan pada

permukaan gusi, jauh dari permukaan oklusal/ bidang kunyah, ujung

bulu sikat mengarah ke apeks/ ujung akar, gerakan perlahan melalui

permukaan gigi sehingga bagian belakang kepala sikat bergerak dalam

lengkungan.

19
B. Perawatan Orthondotik Interseptif

Orthondotik interseptif merupakan tindakan pada tahap awal permasalahan

untuk memperkecil keparahan atau efek yang kemungkinan dapat merugikan di

masa yang akan datang dan untuk menghilangkan penyebabnya. Seperti

perawatan yang mungkin dilakukan pada gigi geligi sulung atau peralihan dan

termasuk mengatur kembali gigi yang mengalami erupsi ektopok, slicing atau

pencabutan gigi sulung, memperbaiki gigi yang mengalami cross bite atau

mengembalikan ruangan yang hilang.

Tujuan perawatan dini adalah mengoreksi maloklusi dan memperbaiki

pola skeletal yang menghambat atau merintangi pasien untuk berkembang

secara normal. Usia khas untuk perawatan dini adalah antara 7 dan 9 tahun,

pada saat keempat incisivus maupun molar pertama sudah erupsi. Beberapa

tujuan tertentu dari penanganan dini dapat diperoleh sebagai tambahan dari

mengontrol faktor pertumbuhan.

Perawatan Orthondotik Interseptif pencegahan adalah suatu prosedur

orthondotik yang dilakukan pada maloklusi yang baru atau sedang dalam

proses terjadi dengan tujuan memperbaiki kearah oklusi normal. Beda antara

orthondotik preventif dengan orthondotik interseptif pada waktu tindakan

dilakukan. Orthondotik preventif dilakukan apabila diperkirakan ada keadaan

yang akan menyebabkan terjadinya suatu maloklusi sedangkan orthondotik

interseptif adalah suatu tindakan yang harus segera dilakukan (fait accompli)

karena terdapat suatu gejala atau proses terjadi maloklusi walau dalam

20
tingkatan yang ringan sehingga maloklusi dapat dihindari atau tidak

berkembang. Contoh:

1. Gigi hilang dini (premature ekstrasi): orthondotik preventif

(penggunaan alat space maintainer).

2. Gigi hilang dini ruang menyempit : orthodontik interseptif

(penggunaan alat space regainer)

C. Komplikasi Perawatan Orthodontik

Perawatan orthondontik dapat meningkatkan fungsi mastikasi, fonasi dan

estetik, serta kesehatan secara keseluruhan, kenyamanan dan kepercayaan diri.

Namun, seperti intervensi lainnya, perawatan orthodontik juga memiliki resiko

dan komplikasi. Jadi, koreksi maloklusi bermanfat apabila keuntungan yang

diberikan lebih besar daripada kerugian yang mungkin terjadi aspek psikologi

dalam perawatan orhtodontik dapat menjadi bahan pertimbangan dan tidak bisa

di abaikan. Seleksi pasien berperan pernting dalam memperkecil resiko

perawatan. Selain itu, dokter juga harus menilai dan mengontrol pasien selama

perawatan dan setelah perawatan agar diperoleh hasil akhir yang baik.(11)

21
2.5 MASA ERUPSI GIGI(10)

A. Gigi Decidui

Masa Erupsi Gigi Sulung (5)

GIGI RAHANG ATAS RAHANG BAWAH

Insisivus pertama (I1) 6 – 10 bulan 5 – 8 bulan

Insisivus kedua (I2) 6 – 12 bulan 7 – 10 bulan

Caninus (C) 16 – 20 bulan 16 – 22 bulan

Molar pertama (Ml) 11 – 18 bulan 11 – 18 bulan

Molar kedua (M2) 20 – 30 bulan 20 – 30 bulan

22
B. Gigi Permanen

Masa Erupsi Gigi Tetap (5)

GIGI RAHANG ATAS RAHANG BAWAH

Insisivus pertama (I1) 7 - 8 tahun 6 - 7 tahun

Insisivus kedua (I2) 5 - 9 tahun 7 - 8 tahun

Caninus (C) 11 - 12 tahun 9 - 11 tahun

Premolar pertama (P1) 10 - 11 tahun 10 - 12 tahun

Premolar kedua (P2) 10 - 12 tahun 11 - 13 tahun

Molar (M1) 6 - 7 tahun 6 - 7 tahun

Molar (M2) 12 – 14 tahun 12 - 13 tahun

Molar (M3) 17 - 30 tahun 17 - 30 tahun

23
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Maloklusi dimana terjadi penyimpangan letak gigi atau malrelasi lengkung

geligi diluar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi juga bisa

merupakan variasi biologi, sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada bagian

tubuhyang lain.

Etiologi maloklusi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor ekstrinsik

dan faktor intrinsik. Faktor ekstrinsik meliputi genetik, kelainan kongenital, dan

kelainan pertumbuhan. Sedangkan faktor intrinsik meliputi gigi sulung tanggal

prematur, persistensi gigi, trauma, pengaruh jaringan lunak, dan kebiasaan buruk.

Sebagian anak mempunyai kebiasaan menghisap jari yang tidak memberi nilai

nutrisi. Kebiasaan menghisap jari biasa terjadi pada anak yang tidak terpenuhi

insting menghisapnya pada fase oral. Apabila kebiasaan ini tetap dilakukan dalam

waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya maloklusi.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Foster TD. Buku Ajar Ortodonsi 3th Ed. Jakarta: EGC, 2012.

2. Rahardjo P. Ortodonti Dasar Edisi 2. Surabaya: Airlangga University

Press, 2012.

3. Hiremath SS. Textbook of Preventive and Community Dentistry. New

Delhi: Elsevier, 2007.

4. Phulari BS. Orthodontics: Principles and Practice. New Delhi: Jaypee,

2011.

5. Koch G, Poulsen S. Pediatric Dentistry: A Clinical Approach. 2nd Edition.

UK: Wiley-Blackwell, 2011.

6. Marya CM. A Textbook of Public Health Dentistry. New Delhi: Jaypee,

2011.

7. Millett D and Welbury R. Orthodontics and Paediatric Dentistry 3th

edition. Sidney: Churchill Livingstone, 2005.

8. Staley RN and Reske NT. Essentials of Orthodontics Diagnosis and

Treatment. UK: Wiley-Blackwell, 2011.

9. Singh G. Textbook of Orthodontics 2nd Edition. New Delhi: Jaypee, 2007.

10. Muthu MS, Sivakumar N. Pediatric Dentistry: Principles & Practice.

New Delhi: Elsevier, 2009.

11. Achmad MH, Handayani H, Fajriani. Buku Ajar Maloklusi Pada Anak,

Etiologi dan Penanganannya. Makassar: Bimer, 2012.

25

Anda mungkin juga menyukai