Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Sunan Kalijaga Demak
Oleh :
012106169
Pembimbing :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2016
1
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing,
2
BAB 1
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
a. Identitas Pasien
Nama : An. AP
Umur : 13 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Getas, Wonosalam Demak
Tanggal Masuk : 29 Oktober 2016
Ruang : Dahlia
b. Identitas Orang tua
Ayah
Nama : Tn. S
Umur : 26 tahun
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Ibu
Nama : Ny. M
Umur : 37 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Alloanamnesis dengan ayah dan ibu pasien pada tanggal
30 Oktober 2016 pukul 17.00 WIB yang dilakukan di bangsal dahlia
RSUD Sunan Kalijaga Demak serta didukung catatan medik.
a. Keluhan Utama
Mencret
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Sebelum masuk rumah sakit
13 hari SMRS Sunan Kalijaga Demak pasien mengeluh belum bisa
buang angin post operasi megacolon di RSUP Kariade 1 bulan
yang lalu. Pasien juga muntah, perut terasa kembung dan BAB cair
dengan frekuensi >10 kali dalam sehari, sekali BAB kurang lebih
¼ gelas aqua, berwarna kekuningan, sedikit berlendir, ampas
sedikit.tidak bercampur darah, tidak nyemprot serta tidak berbau
asam. Pasien terlihat seperti ingin minum terus. Ibu mengakui mata
anaknya lebih layu / lebih cowong dari biasanya.
Pasien dibawa berobat ke RSUP Kariadi dan dirawat selama 12
hari.
1 hari SMRS Sunan Kalijaga Demak, ibu pasien mengatakan
bahwa putranya lemas, demam hingga suhu 39OC.
Pasien dibawa ke IGD RSUD Sunan Kalijaga Demak pada tanggal
26 Oktober 2016 dengan keluhan BAB cair >10 kali, sekali BAB
kurang lebih ¼ gelas aqua, berwarna kekuningan, tidak berlendir,
3
ampas sedikit, tidak bercampur darah, tidak nyemprot dan tidak
berbau asam, muntah sebanyak 3x dalam sehari, serta demam.
BAK tidak dapat dinilai frekuensi, warna dan jumlahnya, karena
sering bercampur dengan feses. Pasien masuk ke ruang ICU selama
3 hari dan dipindahkan ke ruang Dahlia pada tgl 29 Oktober 2016.
4
• 1 bulan: BCG, Polio 1
• 2 bulan: DPT, HB1, HiB 1, dan Polio 2
• 3 bulan: DPT, HB2, HiB 2, dan Polio 3
• 4 bulan: DPT, HB3, HiB 3, dan Polio 4
• 9 bulan: campak
Kesan : Anak sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap
Perkembangan
- Usia 1 tahun :
Personal Sosial :
5
Main bola dengan pemeriksa (+)
Dah dah dengan tangan (+)
Motorik Halus :
Menaruh kubus dicangkir (+)
Membenturkan kubus (+)
Bahasa :
Mengoceh (+)
Papa mama spesifik(+)
Motorik Kasar :
Berdiri 2 detik (+)
Berdiri sendiri (+)
6
4. Status Gizi
7
HAZ = Usia 13 bulan, PB 84 cm
8
WAZ = Usia 13 bulan, BB 9,2 kg
Kesan : gizi kurang ( -3 sampai -2 SD)
9
WHZ = BB 9,2 kg, TB 84 cm
Kesan : status gizi kurang ( - 3 SD sampai -2 SD) -- > perawakan kurus
5. Status Internus
a. Kepala :mesocephale, ubun-ubun besar teraba cekung, kulit
kepala tidak ada kelainan, rambut hitam dan distribusi merata, tidak
ada kaku kuduk.
b. Bibir : kering (+), Sianosis (-)
c. Kulit : Sianosis (-), turgor kembali cepat <2 detik, ikterus
(-), ruam merah (-)
d. Mata : Pupil bulat, isokor, refleks cahaya (+/+) normal,
konjungtivitis (-/-), sklera ikterik (-/-),cekung (+/+), air mata (-)
e. Hidung : bentuk normal, sekret bening (+/+), nafas cuping
hidung (-), epistaksis (-/-)
f. Telinga : bentuk normal, serumen (-/-), discharge (-/-)
g. Mulut : sianosis (-), pendarahan gusi (-), sariawan(+)
h. Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (-), ruam merah (-)
10
i. Thorax :
Pulmo
Inspeksi : Hemithoraks dextra et sinistra simetris dalam
keadaan statis maupun dinamis, retraksi suprasternal, intercostal
dan epigastrial (-). Ruam merah (+)
Palpasi : stem fremitus dextra et sinistra simetris
Perkusi : sonor (+)
Auskultasi : suara dasar : bronkovesikuler
Suara tambahan : ronki (-/-), wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, 2 cm medial linea
mid clavicula sinistra, tidak melebar,tidak kuat angkat
Perkusi : Redup
Auskultasi :BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-), bising (-)
j.Abdomen :
Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) meningkat ()
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : defense muscular (-),hepatomegali (-)
k. Genitalia : perempuan, tidak ada kelainan
l.Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral -/- -/-
Dingin
Sianosis -/- -/-
Udem -/- -/-
Ruam -/- -/-
merah
Capillary <2" <2"
Refill
Time
11
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin
Trombositosis
Faeses Rutin
Pemeriksaan 31/10/2016
Warna Kuning
Lendir Lembek
Darah Positif
Lemak Positif
Leukosit Positif
Eritrosit Positif
Amoeba Positif
Bakteri Positif
Kesan : Amoebiasis
Faeses Rutin
12
Pemeriksaan 03/11/2016
Warna Kuning
Lendir Lembek
Darah Negatif
Lemak Negatif
Leukosit Negatif
Eritrosit Negatif
Amoeba Negatif
Bakteri Positif
13
- BAB cair 2 hari terus - Status gizi kurang
menerus > 5x, sedikit - Nafsu makan turun
berlendir, ampas sedikit, - Kualitas makan dan
- Muntah >3kali minum kurang baik
- Lemas
- Mata cowong
- Ubun-ubun cekung
- Turgor kulit lambat >2”
- Demam 37,8oC
- Trombositosis
- Bakteri (+), Amoeba (+),
Erit (+), Leu (+)
V. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis utama : DADRS pasca DADB
o Inf D5 ¼ NS 15 tpm
o Inj. Ceftriakson 1x 750 mg
14
o Inj. Ranitidin 2x 10 mg
o Inj. PCT 135 mg (k/p)
o P.O. Vit A 1 x 200.000 IU
o P.O Zink 2 x 10 mg
Non medikamentosa
o Tirah baring
o Diet Cair 8x10 – 20 cc
o Susu soya (pasien alergi susu sapi)
o Ip. Mx :
o Monitoring tanda – tanda dehidrasi berat, frekuensi BAB, konsistensi
tinja, nafsu makan/minum.
o Monitoring KU, kesadaran, suhu, frekuensi jantung, frekuensi
pernapasan, dan tekanan darah.
o Cek lab darah rutin ulang bila tidak tampak perbaikan.
o Monitoring berat badan setelah sembuh
o Ip. Ex :
o Memberitahukan pada pasien dan keluarganya tentang penyakit yang
sedang diderita bahwa yang paling penting dari penyakit ini adalah
terjadi kekurangan cairan sehingga orang tua harus lebih disiplin
memberikan lebih banyak cairan untuk anak lewat minum.
o Memotivasi orangtua agar sabar dan telaten memberikan oralit pada
anak. Oralit diberikan 1 sendok makan untuk anak usia < 2 tahun, tiap
1-2 menit, jika anak muntah diberikan ulang 10 menit kemudian. Tiap
kali setelah BAB, berikan oralit ½ gelas belimbing. Oralit dihentikan
bila tampak ada pembengkakan pada kelopak mata.
15
memberikan lebih banyak cairan untuk anak lewat minum. Bila anak
menginginkan banyak minum, berikan minum yang banyak. Bila
masih minum ASI, berikan ASI lebih sering dan lebih lama.
o Jika sudah dibolehkan pulang, memberitahukan pada orangtua pasien
untuk segera membawa anak ke petugas kesehatan bila anak: BAB cair
lebih sering, muntah berulang-ulang, tampak kehausan, malas
minum/makan, demam, tinja bercampur darah, kondisi anak tidak
membaik dalam 3 hari.
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
16
Thorak Pemb KGB (-) Pemb KGB (-) Pemb KGB (-) Pemb KGB (-)
Simetris, retraksi Simetris, retraksi Simetris, retraksi Simetris, retraksi
(-), (-), (-), (-),
Abdomen Supel, BU (+), Supel, BU (+), Supel, BU (+), Supel, BU (+),
nyeri tekan(-) nyeri tekan(-) nyeri tekan(-) nyeri tekan(-)
epigastrium(-), epigastrium(-), epigastrium(-), epigastrium(-),
hepatomegali (-) hepatomegali (-) hepatomegali (-) hepatomegali (-)
Ekstremitas Akral dingin (-) Akral dingin (-) Akral dingin (-) Akral dingin (-)
Penunjang: FESES RUTIN
Warna kuning
Konsistensi cair
Lendir (+)
Darah (-)
Lemak(+)
Leukosit(+)
Eritrosit(+)
Telur cacing(-)
Amoeba(+)
Bakteri(+)
17
Keadaan umum Sadar, lemas Sadar, gerak aktif (+)
Vital: nadi 100 x/mnt 100 x/mnt
RR 38 x/mnt 38 x/mnt
Suhu 36,6 ºC 37,8 ºC
Antopometri: BB 9,2 kg 9,2 kg
PB 84 cm 84 cm
PF : Kepala Mesochepal Mesochepal
Mata isokor isokor
Hidung Nafas cuping (-), sekret beningdikt Nafas cuping (-),
Bibir Sianosis (-), kering (+), Sianosis (-), kering (-),
ruam kulit (+)
Pemb KGB (-) ruam kulit (+)
Leher Simetris, retraksi (-), ruam (+) Pemb KGB (-)
Ruam (+) Supel, BU (+), nyeri Simetris, retraksi (-), ruam (+)
Thorak tekan(-) Ruam(+) Supel, BU (+), nyeri
epigastrium(-), hepatomegali (-) tekan(-)
Abdomen Akral dingin (- epigastrium(-), hepatomegali
(-)
Akral dingin (-)
Ekstremitas
Penunjang:
FESES RUTIN
Warna kuning
Konsistensi cair
Lendir (+)
Darah (-)
Lemak(+)
Leukosit(+)
Eritrosit(+)
Telur cacing(-)
Amoeba(+)
Bakteri(+)
Asses - Perbaikan post op megacolon - Perbaikan post op
- Pasca DADB megacolon
- Disentri amoeba (+) - Pasca DADB
- Miliaria - Miliaria
18
Terapi - inf. RL 15 tpm - Salep metronidazole 3x1 mg
- inj. Ceftri 1x 750 mg BLPL
- Ranit 2x10 mg
- PCT 135 mg
- Zink 1x10 mg Syr
- Salep Metronidazol 3x1 mg
- Amitaksime 2x100 gr.
- Salep Hidrocortisone 3x1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DIARE AKUT
A. DEFINISI
Diare akut pada anak adalah diare yang terjadi secara mendadak dan
berlangsung kurang dari 14 hari (kebanyakan kurang dari 7 hari) pada bayi atau
anak yang sebelumnya sehat. Ada juga yang memberi batasan diare akut pada
anak yaitu buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi cair
B. EPIDEMIOLOGI
Diare akut merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak-anak di berbagai negara berkembang termasuk di Indonesia. Terdapat 60 juta
19
episode diare akut setiap tahunnya di Indonesia dimana 1-5 % daripadanya akan
menjadi diare kronik dan bila sampai terjadi dehidrasi berat yang tidak segera
ditolong, 50-60% diantaranya dapat meninggal dunia.
Faktor lingkungan
Gizi
Kependudukan
Pendidikan
Keadaan sosial ekonomi
Perilaku masyarakat
C. ETIOLOGI
Penyebab diare akut antara lain yaitu virus, bakteri, parasit, alergi susu sapi,
laktose defisiensi primer dan obat-obatan tertentu . Penyebab utama oleh virus
adalah Rotavirus (40-60%) sedangkan virus lainnya yaitu virus Norwalk,
Astrovirus, Calcivirus, Coronavirus, Minirotavirus dan virus bulat kecil.
20
Plesiomonas shigelloides, Vibrio cholerae non-01, V. Parahemolyticus, Yersina
enterocolotica.
D. PATOGENESIS
Virus
Beberapa jenis virus seperti Rotavirus, berkembang biak dalam epitel vili usus
halus, menyebabkan kerusakan sel epitel dan pemendekan vili. Hilangnya sel-
sel vili yang secara normal mempunyai fungsi absorbsi dan penggantian
sementara oleh sel epitel berbentuk kripta yang belum matang, menyebabkan
usus mensekresi air dan elekrolit. Kerusakan vili dapat juga dihubungkan
dengan hilangnya enzim disakaridase terutama laktase. Penyembuhan terjadi
bila vili mengalami regenerasi dan epitel vilinya menjadi matang.
Bakteri
21
elektrolit. Penyembuhan terjadi bila sel yang sakit diganti dengan sel yang
sehat setelah 2-4 hari.
Invasi mukosa. Shigella, C. Jejuni, E. coli enteroinvasife dan Salmonella dapat
menyebabkan diare berdarah melalui invasi dan perusakan sel epitel mukosa.
Ini terjadi sebagian besar di colon dan bagian distal ileum. Invasi mungkin
diikuti dengan pembentukan mikroabses dan ulkus superfisial yang
menyebabkan adanya sel darah merah dan sel darah putih atau terlihat adanya
darah dalam tinja. Toksin yang dihasilkan oleh kuman ini menyebabkan
kerusakan jaringan dan kemungkinan juga sekresi air dan elektrolit dari
mukosa.
Parasit
Obat-obatan
E. PATOFISIOLOGI
22
Ada 2 prinsip mekanisme terjadinya diare yaitu sekretorik dan osmotik.
Diare sekretorik
Diare sekretorik disebabkan karena sekresi air dan elektrolit ke dalam usus
halus. Hal ini terjadi bila absorbsi natrium oleh vili gagal sedangkan sekresi
chlorida di sel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hasil akhirnya adalah
sekresi cairan yang menebabkan kehilangan air dan elektrolit dari tubuh sebagai
tinja cair yang dapat menyebabkan dehidrasi. Pada diare infeksi perubahan ini
terjadi karena adanya rangsangan pada mukosa usus oleh toksin bakteri seperti
toksin E.coli dan V. cholerae atau virus (Rotavirus).
Diare osmotik
Diare osmotik terjadi bila suatu bahan yang secara osmotik aktif dan sulit
diserap. Jika bahan semacam itu berupa larutan isotonik, air dan bahan yang larut
di dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila substansi
berupa larutan hipotonik, air dan beberapa elektrolit akan pindah dari cairan
ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai osmolaritas dari isi usus sama dengan
cairan ekstraseluler dan darah. Hal ini meningkatkan volume tinja dan
menyebabkan dehidrasi karena kehilangan cairan tubuh (Ditjen PPM & PLP,
1999).
F. MANIFESTASI KLINIS
Awalnya anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu makan
berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Gejala muntah dapat terjadi
sebelum dan atau sesudah diare. Bila telah banyak kehilangan air dan elektrolit
terjadilah dehidrasi. Berat badan turun. Pada bayi, ubun-ubun besar cekung. Tonus
dan turgor kulit berkurang. Selaput lendir bibir dan mulut kering (Aswitha, dkk,
2000).
23
Cara praktis penatalaksanaan diare yaitu berdasarkan tipe klinis diare itu
sendiri. Terdapat 4 macam tipe klinis diare, dimana tiap macam menggambarkan
kelainan yang mendasari dan perubahan fisiologi yang berbeda-beda :
Diare cair akut (termasuk kolera) yang berlangsung beberapa jam sampai
dengan beberapa hari. Pada diare ini perlu diwaspadai bahaya terjadinya
dehidrasi, juga dapat terjadi penurunan berat badan apabila intake
makanan kurang.
Diare akut dengan pendarahan (disentri) , dimana pada diare ini bahaya
utamanya adalah kerusakan usus, sepsis, dan malnutrisi serta dehidrasi.
Diare persisten (berlangsung selama 14 hari atau lebih), dimana bahaya
utamanya adalah malnutrisi dan infeksi non intestinal berat serta dehidrasi.
Diare dengan malnutisi berat (marasmus atau kwashiorkor) dengan bahaya
utamanya antara lain infeksi sistemik berat, dehidrasi, gagal jantung, dan
defisiensi mineral dan vitamin (WHO, 2004).
G. PENCEGAHAN
H. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Riwayat diare sekarang :
- Sudah berapa lama diare berlangsung
24
- Total diare dalam 24 jam, diperkirakan dari frekuensi diare dan
jumlah tinja
- Keadaan klinis tinja (warna, konsistensi, ada lendir atau darah tidak)
- Muntah (frekuensi dan jumlah)
- Demam
- Buang air kecil terakhir
- Anak lemah, rewel, rasa haus, kesadaran menurun
- Jumlah cairan yang masuk selama diare
- Tindakan yang telah diambil (diberi cairan, ASI, makanan, obat,
oralit)
- Apakah ada yang menderita diare di sekitarnya
- Riwayat bepergian ke daerah yang sedang terkena wabah diare
- Kontak dengan orang yang sakit
- Penggunaan antibiotik
b. Riwayat diare sebelumnya : kapan, berapa lama
c. Riwayat penyakit penyerta saat ini
d. Riwayat imunisasi : lengkap atau tidak.
e. Riwayat makanan sebelum diare : ASI, susu formula, makan makanan
yang tidak biasa (Subagyo, 2004).
2. Pemeriksaan fisik
25
- Tanda vital dalam batas normal
- Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada,
mukosa mulut dan bibir basah
- Turgor abdomen baik, bising usus normal
- Akral hangat
Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali apabila terdapat komplikasi lain
(tidak mau minum, muntah terus menerus, diare yang frekuen).
26
Terdapat 2 atau lebih dari tanda-tanda
berikut ini :
Gelisah, rewel
Mata cekung
Dehidrasi ringan/sedang
Haus, minum dengan lahap
Cubitan kulit perut kembalinya
lambat
1. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaaan tinja
- Makroskopis : bau, warna, lendir, darah , konsistensi
- Mikroskopis: eritrosit, lekosit, bakteri, parasit
- Kimia : PH, elektrolit (Na, K, HCO3)
- Biakan dan uji sensitivitas
27
b. Pemeriksaan darah : Darah lengkap, analisis gas darah dan elektrolit
(terutama Na, K, Ca, dan P serum pada diare yang
disertai kejang), kadar uerum dan kreatinin darah.
c. Pemeriksaan urin : urin rutin (Aswitha, dkk, 2001)
I. PENATALAKSANAAN
1. Atasi dehidrasi
Tanpa dehidrasi
Cairan rumah tangga dan ASI diberikan semaunya, oralit diberikan
sesuai usia setiap kali buang air besar atau muntah dengan dosis:
Dehidrasi berat
Rehidrasi parenteral dengan cairan ringer laktat atau ringer asetat
100 cc/kgBB. Cara pemberian :
2. Pemakaian antibiotik
Bila ada indikasi seperti pada Shigella dan Cholera. Antibiotik sesuai dengan
hasil pemeriksaan penunjang. Sebagai pilihan adalah kotrimoksazol,
amoksisilin dan atau sesuai hasil uji sensitivitas.
3. Diet
28
Anak tidak boleh dipuasakan, makanan diberikan sedikit-sedikit tapi sering,
rendah serat, buah-buahan diberikan terutama pisang.
Usia < 6 bulan (usia yang mempunyai resiko tinggi mengalami dehidrasi),
buang air besar cair > dari 8 kali dalam 24 jam dan muntah > dari 4 kali
sehari (Armon, 2001).
J. PEMANTAUAN
1) Terapi
Setelah pemberian caiaran rehidrasi harus dinilai ulang derajat dehidrasi, berat
badan, gejala dan tanda dehidrasi. Jika masuh dehidrasi maka dilakukan
rehidrasi ulang sesuai dengan derajat dehidrasinya. Jika setelah 3 hari
pemberian antibiotik klinis dan laboratorium tidak ada perubahan maka
dipikirkan penggantian antibiotik sesuai hasil uji sensitivitas.
2) Tumbuh kembang
3) Timbang berat badan sebelum dan sesudah rehidrasi, 2 minggu setelah sembuh
dan seterusnya secara periodik sesuai umur. Jika anak mengalami gizi buruk
maka dikelola sesuai dengan SPM gizi buruk
Penderita dapat dipulangkan bila penderita tidak dehidrasi, keadaaan umum dan
tanda vital baik, sudah bisa makan dan minum (IDAI, 2010).
29
II. MEGACOLON KONGENITAL / HIRSCHPRUNG
A. DEFINISI
Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus, dan paling
sering pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus secara ritmis akan
menekan feses hingga ke rectum. Pada penyakit Hirschsprung, saraf (sel ganglion)
yang berfungsi untuk mengontrol otot pada organ usus tidak ditemukan. Hal ini
mengakibatkan feses tidak dapat terdorong, seperti fungsi fisiologis seharusnya
(Henna N, 2011).
Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus yang paling sering dialami
oleh neonatus. Demikian pula, kebanyakan kasus Hirschsprung terdiagnosis pada
bayi, walaupun beberapa kasus baru dapat terdiagnosis hingga usia remaja atau
dewasa muda (Izadi M, 2007). Terdapat kecenderungan bahwa penyakit Hirschsprung
dipengaruhi oleh riwayat atau latar belakang keluarga dari ibu. Angka kejadian
penyakit Hirschsprung, sekitar 1 di antara 4400 sampai 7000 kelahiran hidup, dengan
rata-rata 1:5000 kelahiran hidup (Lakshmi,2008). Dengan mayoritas penderita adalah
laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan 4:1.
B. EMBRIOLOGI KOLON
30
Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon kiri
berasal dari usus belakang. Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita
yang disebut taenia yang berukuran lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon
berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (kantong kecil) dan biasa disebut haustra
(bejana). Kolon tranversum dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal dan
dilengkapi dengan mesentrium.
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 1,5 m yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar
lebih besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), namun semakin dekat
dengan anus diameternya pun semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum,
kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat
pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus
besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan
mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus.
Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden, dan sigmoid. Kolon
membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut
dengan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi Krista
iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri
sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian utama usus yang terakhir
disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke
bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan
dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis
ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci) (Lindseth, 2006).
Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses
akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air dan
elektrolit. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses
31
yang sudah terdehidrasi sampai berlangsungnya defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar
800 ml air per hari dengan berat akhir feses yang dikeluarkan adalah 200 gram. dan
80%-90% diantaranya adalah air. Sisanya terdiri dari residu makanan yang tidak
terabsorpsi, bakteri, sel epitel yang terlepas, dan mineral yang tidak terabsorpsi
(Guyton, 1994).
D. PATOFISIOLOGI
32
fungsional. Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan
pelebaran dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.
E. MANIFESTASI KLINIS
a. Periode neonatus
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen. Terdapat 90% lebih
kasus bayi dengan penyakit Hirchsprung tidak dapat mengeluarkan mekonium
pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan mengeluarkan mekonium setelah 24
jam pertama (24-48 jam). Muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen biasanya
dapat berkurang apabila mekonium dapat dikeluarkan segera. Bayi yang
mengonsumsi ASI lebih jarang mengalami konstipasi, atau masih dalam derajat
yang ringan karena tingginya kadar laktosa pada payudara, yang akan
mengakibatkan feses jadi berair dan dapat dikeluarkan dengan mudah (Kessman,
2008).
b. Periode anak-anak
Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada beberapa
kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia kanak-kanak
(Lakhsmi, 2008). Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni, konstipasi
kronis, gagal tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat
pada dinding abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional kolon yang
berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang komplit, perforasi sekum, fecal
33
impaction atau enterocolitis akut yang dapat mengancam jiwa dan sepsis juga
dapat terjadi (Kessman, 2008).
TANDA
F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
34
3. Pemeriksaan Biopsi
4. Pemeriksaan Radiologi
35
rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi, terdapat daerah transisi, terlihat
di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi, serta terdapat daerah
pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. Apabila dari foto barium enema
tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan
dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan
membaur dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feses ke arah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang
tidak mengalami Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka
barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid
36
5. Pemeriksaan Anorectal Manometry
G. PENATALAKSANAAN
37
untuk pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan mencegah terjadinya
sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga keseimbangan cairan,
elektrolit, dan asam basa tubuh.
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap
pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi
definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah
komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan
menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien. Tahapan
kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang
ganglionik dengan bagian bawah rektum.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi
sfingter. Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit
Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri
dan translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel
neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile
atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis.
Pada keadaan yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan
megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat,
distensi abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi nekrosis akibat iskemia
38
mukosa diatas segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis,
pnematosis dan perforasi usus. Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber
pada kondisi obstruksi usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan
sirkulasi darah pada dinding usus, sehingga dinding usus mengalami iskemia dan
anoksia. Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan kuman menjadi lebih
virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke mukosa, sub mukosa, lapisan
muscular, dan akhirnya ke rongg peritoneal atau terjadi sepsis. Keadaan iskemia
dinding usus dapat berlanjut yang akhirnya menyebabkan nekrosis dan perforasi.
Proses kerusakan dinding usus mulai dari mukosa, dan dapat menyebabkan
enterokilitis.
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita
penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun
paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1
minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feces berbau busuk dan
disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi. Kejadian nterokolitis berdasarkan prosedur operasi yang dipergunakan
Swenson sebesar 16,9%, Boley-Soave sebesar 14,8%, Duhamel sebesar 15,4%
dan sebesar Lester Martin 20%. Gambaran klinis distensi abdomen ada sebanyak
29 orang, diare sebanyak 38 orang, darah pada feses sebanyak 2 orang , muntah
sebanyak 31 orang, dan panas ada sebanyak 22 orang.
I. PROGNOSIS
Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat
bergantung pada diagnosis awal dan pendekatan operasi. Secara umum
prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat
tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien
yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20%.
39
III. MILIARIA
A. DEFINISI
Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat yang ditandai oleh
adanya vesikel milier. Sinonim untuk penyakit ini adalah biang keringat, keringat
buntet, liken tropikus, prickle heat. Berdasarkan survey yang dilakukan di Jepang
didapatkan 5000 bayi baru lahir menderita miliaria. Survey tersebut
mengungkapkan bahwa miliaria kristalina terjadi pada 4,5% nenonatus dengan
usia rata-rata 1 minggu dan miliaria rubra terjadi pada 4% neonatus dengan usia
rata-rata 11-14 hari. Dari sebuah survey yang dilakukan di Iran ditemukan insiden
miliaria pada 1,3% bayi baru lahir. Miliaria umumnya terjadi di daerah tropis dan
banyak diderita pada mereka yang baru saja pindah dari daerah yang beriklim
sedang ke daerah yang beriklim tropis.
40
2. Milaria rubra
a. Jenis tersering, terdiri atas vesikel miliar atau papulo vesikel di atas
dasar eritematosa sekitar lubang keringat, tersebar diskret.
3. Miliaria profunda
41
Miliaria pustulosa
o Pemeriksaan Penunjang
o Tidak diperlukan.
Diagnosis Klinis
Diagnosis Banding
Komplikasi
Infeksi sekunder
Penatalaksanaan
42
Topikal
4. Memilih lingkungan yang lebih sejuk dan sirkulasi udara (ventilasi) cukup.
Kriteria Rujukan
43
Tidak ada indikasi rujukan
Peralatan
Prognosis
HIRSCHPRUNG (HCSR)
HSCR selalu menjadi salah satu topik yang paling menarik untuk anak ahli
bedah karena fitur menarik dan pengobatan yang menantang. Meskipun anomali
kongenital ini dapat disembuhkan dan berarti kemajuan dalam pengobatan
diperoleh selama dekade terakhir, sebagian kecil pasien masih dapat
mengembangkan komplikasi serius dan akhirnya meninggal. Penyebab utama
tentu dapat ditemukan di Hirschsprung terkait enterocolitis (HAEC), yang pada
dasarnya dapat terjadi dari lahir sampai dewasa, terlepas dari panjang
aganglionosis dan ditandai oleh distensi abdomen, diare eksplosif, demam, lesu,
dan bahkan syok septik.
44
Temuan ini telah dijelaskan di kedua ganglionated dan usus aganglionated,
menunjukkan mekanisme yang melampaui ketiadaan sederhana ganglia. Salah
satu teori patogenesis HAEC adalah obstruksi parsial, karena aganglionosis
sendiri atau masalah bedah yang menentukan keadaan terus-menerus dari
stasis fekal dan bakteri. Kurangnya defekasi mengarah ke pertumbuhan bakteri
yang berlebihan, usus dilatasi, usus dinding peregangan, aliran darah terganggu
pada mukosa dan selanjutnya peningkatan permeabilitas dengan translokasi
bakteri. Perkembangan abnormal dari sistem saraf enterik (ENS) memainkan
peran penting dalam patogenesis HAEC. Bahkan, ENS adalah sangat penting di
dalam homeostasis usus , karena mengatur motilitas, mukosa pertahanan
kekebalan tubuh, fungsi barrier usus, dan komensal Flora mikro dengan efek
neuroimmune modulasi kompleks. Di khususnya, pleksus myenteric tampaknya
berurusan dengan peraturan motilitas usus, sedangkan pleksus mukosa sub
tampaknyaebagian besar terlibat dalam mengatur sistem neuroimmune kompleks.
45
dibandingkan dengan subyek kontrol, membatasi peran IgA di mukosa
pertahanan.
• Kelas II: diare cukup banyak, sedang sampai distensi abdomen parah
berhubungan dengan ringan sampai sedang manifestasi sistemik (misalnya
demam, dan takikardia);
• Kelas III: diare berat, ditandai distensi abdomen,shock atau shock yang
akan terjadi.Gejala awal dari HAEC dapat dibedakan dari gastroenteritis
infektif.yang didapat. Meskipun demikian, HAEC dapat berkembang cepat
dan bahkan mengakibatkan kematian, sebagian besar ahli bedah pediatrik
akan memperlakukan semua pasien tanpa memandang diagnosis HAEC
univocal, untuk menghindari tertundanya pengobatan atau misdiagnosis.
46
colonscopy mungkin menunjukkan lesi seperti plak khas enterocolitis
pseudomembran sekunder Clostridium Difficile tetapi harus didekati dengan hati-
hati karena risiko perforasi. Demikian pula, peran hisap dubur biopsi kontroversial
dan tidak dianjurkan pada fase akutdari HAEC karena risiko tinggi perforasi.
47
Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi. Kejadian enterokolitis berdasarkan prosedur operasi yang
dipergunakan Swenson sebesar 16,9%, Boley-Soave sebesar 14,8%, Duhamel
sebesar 15,4% dan sebesar Lester Martin 20%. Gambaran klinis distensi abdomen
ada sebanyak 29 orang, diare sebanyak 38 orang, darah pada feses sebanyak 2
orang , muntah sebanyak 31 orang, dan panas ada sebanyak 22 orang.
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap
pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi
definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah
komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan
menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien. Tahapan
kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang
ganglionik dengan bagian bawah rektum.
48
49
BAB III
ANALISIS KASUS
Diagnosa diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang pasca diare akut dehidrasi berat,
perbaikan post op.megacolon serta Miliaria pada pasien ini ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Pasien BAB cair sejak 2 hari yang lalu (akut < 2 minggu)
Frekuensi BAB cair ± 10 kali sehari (> 3 kali dalam 24 jam)
Terdapat perubahan konsistensi tinja yakni cair.
Malas minum
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak lemas, dan kesan gizi kurang
Mata cowong +/+, air mata (-)
UUB cekung (+)
Bibir kering (+)
3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan feses rutin didapatkan konsistensi lembek, terdapat lendir
dan sedikit darah, warna feses kekuninga, namun tidak ditemukan telur cacing.
positif serta amoeba positif sehingga kesannya adalah disentri amoeba positif.
Penatalaksanaa pada pasien ini yaitu diberi cairan rehidrasi berupa infus D5 ¼
NS 15 tpm, Ceftriaxon 1x750 mg, Ranitidin 2x10 mg, PCT 125 mg, Zink 1x10
mg.
Pada pasien ini memiliki riwayat post operasi megacolon. Tindakan Tindakan
bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa kolostomi pada
usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini dimaksudkan guna
menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu
komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah : menurunkan angka
kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus
pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan
anastomose. Kolostomi tidak dikerjakan bila dekompresi secara medic berhasil dan
direncanakan bedah efenitif langsung (Kartono, 2004).
50
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yang di buat untuk sementara atau menetap. Indikasi kolostomi adalah
dekompresi usus pada obstruksi, stoma sementara untuk bedah reseksi usus pada
radang, atau perforasi, dan sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi
anastomosis distal. Kolostomi dapat berupa stoma ikat atau stoma ujung. (Pieter,
2005).
Kelompok pasien ini mempunyai kolon yang sangat terdilatasi, yang terlalu besar
untuk dianastomosiskan dengan rectum dalam bedah defenitif. Dengan tindakan
kolostomi, kolon dilatasi akan mengecil kembali setelah 3 sampai 6 bulan
pascabedaah, sehingga anastomosis lebih mudah dikerjakan dengan hasil yang lebih
baik
3. Pasien dengan enterokolitis berat dan dengan keadaan umum yang buruk.
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi pascabedah, dengan kolostomi
pasien akan cepat mencapai perbaikan keadaan umum. Pada pasien yang tidak
termasuk dalam kategori 1, 2, dan 3 tersebut dapat langsung dilakukan tindakan bedah
definitif. Kolostomi yang bersifat sementara akan dilakukan penutupan. Berdasarkan
lubang kolostomi dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: yaitu dibuat dari bagian
proksimal usus. Segmen
1. Single barreled stoma distal dapat dibuang atau ditutup. biasanya meliputi kolon
transversum.
Kedua ujung dari2. Double barreled kolon yang direksesi dikeluarkan melalui
dinding abdominal mengakibatkan dua stoma. Stoma distal hanya mengalirkan mukus
dan stoma proksimal mengalirkan feses.
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung yang dapat
digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi
51
sfingter. Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit
Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan
translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin,
kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus
dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang sangat berat
enterokolitis akan menyebabkan megakolon toksik yang ditandai dengan
demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok (Rossi,
2014).
DAFTAR PUSTAKA
1. Armon, 2001. An evidence and consensus based guideline for acute diarrhoea
management.
2. Aswitha, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran; Gastroenterologi Anak.
Media Aesculapius. Jakarta, hal : 470 –471.
52
3. Ditjen PPM & PLP, 1999. Buku Ajar Diare. Jakarta, hal : 8-10.
4. IDAI, 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Badan Penerbit IDAI. Jakarta, hal :
58-62.
5. Irwanto, 2002. Ilmu Penyalit Anak; Diagnosa dan Penatalaksanaan. Salemba
Medika. Jakarta, hal : 73 – 79.
6. Subagyo, 2004. Standar Pelayanan Medis Kelompok Staf Medis Fungsional
Anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Surakarta, hal : 58-63.
7. WHO, 2004. Diarrhoea : Water, Sanitation and Hygiene Links to Health.
8. Henna, N et all. 2011. Children With clinical Presentations of Hirschsprung’s
Disease-A Clinicopathological Experience. Biomedica; 27: 1-4
9. Hidayat,M et all. 2009. Anorectal Function of Hirschsprung’s Patient after
Definitive Surgery. The Indonesian Journal of Medical Science; 2: 77-85
10. Izadi, M et all. 2007. Clinical manifestations of Hirschsprung’s disease: A 6-
year course review on admitted patients in Guilan, North Province of Iran.
Iranian Cardiovascular Research Journal; 1: 25-31
11. Kessmann; J. 2006. Hirschsprung’s Disease: Diagnosis and Management.
American Family Physician; 74: 1319-1322
12. Lakshmi, P; James, W. 2008. Hirschsprung’s Disease. Hershey Medical Center;
44-46
13. Prakash, M. 2011. Hirschsprung’s Disease Scientific Update. SQU Medical
Journal; 11: 138-145
14. Puri, P; Shinkai, T. 2004. Pathogenesis of Hirschsprung’s Disease and It’s
Variant : Recent Progress.University College Dublin; 13: 18-24
15. Kartono, D., 2010. Penyakit Hirschsprung. Cetakan Kedua. Sagung Seto.
Jakarta
16. Pieter, J. dkk., 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Dalam
:Buku Ajar Ilmu Bedah. Cetakan Pertama. EGC. Jakarta
17. Lindseth, G. N., 2006. Gangguan Usus Besar. Dalam Patofisiologi. Edisi
Keenam. EGC. Jakarta.
18. Guyton, A. C., 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Cetakan Pertama.
EGC.Jakarta.
19. Behrman, R. E. dan William T. S., 1995. Penyakit Hirschsprung. Dalam : Ilmu
Kesehatan Anak Nelson. Cetakan Ketiga. EGC. Jakarta
53
20. Markum, A. H., 2002. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta
21. Rossi et al., J Gastroint Dig Syst 2014, 4:1; Hirschsprung Associated
Enterocolitis in http://www.omicsonline.org/open-access/hirschsprung-
associated-enterocolitis-2161-069X-4-170.pdf ,
54