Anda di halaman 1dari 54

REFLEKSI KASUS

SEORANG ANAK DENGAN DIARE AKUT DEHIDRASI RINGAN SEDANG

PASCA DIARE AKUT DEHIDRASI BERAT , PERBAIKAN POST OPERASI

MEGACOLON DAN MILIARIA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Sunan Kalijaga Demak

Oleh :

Githae Dwi Desiani

012106169

Pembimbing :

dr. Ariawan Setiadi, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT

ANAK RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK

2016

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Githae Dwi Desiani


NIM : 012106169
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian : Ilmu Kesehatan Anak
Judul : Seorang anak dengan DADRS pasca DADB, perbaikan post operasi
Megacolon, dan Miliaria

Demak, November 2016


Mengetahui dan Menyetujui
Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Sunan Kalijaga Kab. Demak

Pembimbing,

dr. Ariawan Setiadi, Sp.A

2
BAB 1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
a. Identitas Pasien
Nama : An. AP
Umur : 13 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Getas, Wonosalam Demak
Tanggal Masuk : 29 Oktober 2016
Ruang : Dahlia
b. Identitas Orang tua
Ayah
Nama : Tn. S
Umur : 26 tahun
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Ibu
Nama : Ny. M
Umur : 37 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Alloanamnesis dengan ayah dan ibu pasien pada tanggal
30 Oktober 2016 pukul 17.00 WIB yang dilakukan di bangsal dahlia
RSUD Sunan Kalijaga Demak serta didukung catatan medik.
a. Keluhan Utama
Mencret
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Sebelum masuk rumah sakit
 13 hari SMRS Sunan Kalijaga Demak pasien mengeluh belum bisa
buang angin post operasi megacolon di RSUP Kariade 1 bulan
yang lalu. Pasien juga muntah, perut terasa kembung dan BAB cair
dengan frekuensi >10 kali dalam sehari, sekali BAB kurang lebih
¼ gelas aqua, berwarna kekuningan, sedikit berlendir, ampas
sedikit.tidak bercampur darah, tidak nyemprot serta tidak berbau
asam. Pasien terlihat seperti ingin minum terus. Ibu mengakui mata
anaknya lebih layu / lebih cowong dari biasanya.
 Pasien dibawa berobat ke RSUP Kariadi dan dirawat selama 12
hari.
 1 hari SMRS Sunan Kalijaga Demak, ibu pasien mengatakan
bahwa putranya lemas, demam hingga suhu 39OC.
 Pasien dibawa ke IGD RSUD Sunan Kalijaga Demak pada tanggal
26 Oktober 2016 dengan keluhan BAB cair >10 kali, sekali BAB
kurang lebih ¼ gelas aqua, berwarna kekuningan, tidak berlendir,

3
ampas sedikit, tidak bercampur darah, tidak nyemprot dan tidak
berbau asam, muntah sebanyak 3x dalam sehari, serta demam.
BAK tidak dapat dinilai frekuensi, warna dan jumlahnya, karena
sering bercampur dengan feses. Pasien masuk ke ruang ICU selama
3 hari dan dipindahkan ke ruang Dahlia pada tgl 29 Oktober 2016.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat operasi Colostomi karena Megacolon
Kongenital di RSUP Kariadi 1 bulan yang lalu,

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang sakit seperti ini.

e. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan anak pertama. Ayah dan ibu seorang pegawai
swasta. Pasien berobat menggunakan BPJS PBI. Kesan ekonomi
cukup.

f. Riwayat Pemeliharaan Prenatal


Ibu memeriksakan kandungannya secara teratur. Mulai saat
mengetahui kehamilan hingga usia kehamilan 9 bulan pemeriksaan
rutin dilakukan 1x / bulan di puskesmas. Selama hamil ibu
mendapatkan suntikan TT. Ibu mengaku tidak menderita penyakit saat
kehamilan. Riwayat perdarahan dan trauma saat hamil disangkal.
Riwayat minum obat tanpa resep dokter ataupun minum jamu
disangkal.
Kesan : riwayat pemeliharaan prenatal baik.
g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Saat hamil, ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya. Pasien
merupakan anak laki-laki yang lahir dari ibu G1P1A0 hamil 38 minggu,
letak kepala, lahir spontan di RSUD Sunan Kalijaga Demak, langsung
menangis, berat badan lahir 2800 gram, panjang badan lupa, lingkar
kepala lupa dan lingkar dada lupa, tidak ada kelainan bawaan.
Kesan : neonatus aterm, lahir spontan per vaginam
h. Riwayat Pemeliharaan Postnatal
Pemeliharaan sewaktu bayi dilakukan di bidan dan anak dalam kondisi
sehat.
Kesan : riwayat pemeliharaan postnatal baik
i. Riwayat Imunisasi

• < 7 hari: Hepatitis B (HB) 0

4
• 1 bulan: BCG, Polio 1
• 2 bulan: DPT, HB1, HiB 1, dan Polio 2
• 3 bulan: DPT, HB2, HiB 2, dan Polio 3
• 4 bulan: DPT, HB3, HiB 3, dan Polio 4
• 9 bulan: campak
Kesan : Anak sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap

j. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak


Pertumbuhan
Pasien sering dibawa kontrol ke posyandu untuk mengisi KMS.
Usia : 1 tahun 2 bulan
BB Sekarang : 9,2 kg
TB Sekarang : 84 cm
IMT : 13,04 (antara -3 SD hingga -2 SD)
Kesan  Status Gizi kurang

Perkembangan
- Usia 1 tahun :
 Personal Sosial :

5
Main bola dengan pemeriksa (+)
Dah dah dengan tangan (+)
 Motorik Halus :
Menaruh kubus dicangkir (+)
Membenturkan kubus (+)
 Bahasa :
Mengoceh (+)
Papa mama spesifik(+)
 Motorik Kasar :
Berdiri 2 detik (+)
Berdiri sendiri (+)

Kesan : perkembangan baik sesuai umur

k. Riwayat Pemberian Makan dan Minum


ASI diberikan tidak full 6 bulan kadang di beri susu formula
mulai umur 4 bulan, setelah umur 7-8 bulan anak diberikan makanan
pendamping ASI berupa bubur buatan ibu sendiri, pisang yang dilumat
halus, nasi tim, dan buah. Mulai umur 9-10 bulan anak diberikan
makanan yang di buat dengan di tumbuk contohnya nasi ,sayur , tahu,
ikan, tetapi agak susah makannya. Mulai umur 11 bulan sampai 1
tahun diberikan makanan seperti orang dewasa contohny nasi, sayur
bening, tempe, ikan.

Kesan : kualitas dan kuantitas makanan kurang baik

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 30 Oktober 2016 pukul 17.00 WIB di


bangsal dahlia RSUD Sunan Kalijaga Demak.
Anak laki-laki usia 1 tahun 2 bulan, berat badan 9,2 kg, tinggi badan 84
cm, lingkar kepala 46 cm
1. Keadaan Umum : Lemah
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tanda vital :
- Tekanan Darah :-
- Nadi :120x/menit,reguler, isi dan tegangan cukup.
- Laju nafas : 46x/ menit
- Suhu : 37,8° C ( aksila )

6
4. Status Gizi

WAZ = Usia 13 bulan, BB 9,2 kg, TB 84 cm


Status gizi IMT (antara – 3 SD hingga -2 SD)
=BB/TB2 (dalam m)
=9,2/0,842
=10,95
Kesan : Gizi kurang

7
HAZ = Usia 13 bulan, PB 84 cm

Kesan : Perawakan sesuai untuk usianya ( 2 SD)\

8
WAZ = Usia 13 bulan, BB 9,2 kg
Kesan : gizi kurang ( -3 sampai -2 SD)

9
WHZ = BB 9,2 kg, TB 84 cm
Kesan : status gizi kurang ( - 3 SD sampai -2 SD) -- > perawakan kurus

5. Status Internus
a. Kepala :mesocephale, ubun-ubun besar teraba cekung, kulit
kepala tidak ada kelainan, rambut hitam dan distribusi merata, tidak
ada kaku kuduk.
b. Bibir : kering (+), Sianosis (-)
c. Kulit : Sianosis (-), turgor kembali cepat <2 detik, ikterus
(-), ruam merah (-)
d. Mata : Pupil bulat, isokor, refleks cahaya (+/+) normal,
konjungtivitis (-/-), sklera ikterik (-/-),cekung (+/+), air mata (-)
e. Hidung : bentuk normal, sekret bening (+/+), nafas cuping
hidung (-), epistaksis (-/-)
f. Telinga : bentuk normal, serumen (-/-), discharge (-/-)
g. Mulut : sianosis (-), pendarahan gusi (-), sariawan(+)
h. Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (-), ruam merah (-)

10
i. Thorax :
 Pulmo
Inspeksi : Hemithoraks dextra et sinistra simetris dalam
keadaan statis maupun dinamis, retraksi suprasternal, intercostal
dan epigastrial (-). Ruam merah (+)
Palpasi : stem fremitus dextra et sinistra simetris
Perkusi : sonor (+)
Auskultasi : suara dasar : bronkovesikuler
Suara tambahan : ronki (-/-), wheezing (-/-)
 Cor
Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, 2 cm medial linea
mid clavicula sinistra, tidak melebar,tidak kuat angkat
Perkusi : Redup
Auskultasi :BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-), bising (-)
j.Abdomen :
Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) meningkat ()
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : defense muscular (-),hepatomegali (-)
k. Genitalia : perempuan, tidak ada kelainan
l.Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral -/- -/-
Dingin
Sianosis -/- -/-
Udem -/- -/-
Ruam -/- -/-
merah
Capillary <2" <2"
Refill
Time

11
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Darah Rutin

Pemeriksaan 29/10/2016 Nilai normal

Hb 13,9 g/Cl 9 – 15 mg/dl


Ht 39,6 % 35 – 44 % Kesan :

Leukosit 11.900/ mm3 6000 – 17500

Trombosit 546.000/ mm3 150.000 – 450.000

GDS 151 100 – 200 mg/dl

Trombositosis

 Faeses Rutin

Pemeriksaan 31/10/2016

Warna Kuning

Lendir Lembek

Darah Positif

Lemak Positif

Leukosit Positif

Eritrosit Positif

Telur cacing Negatif

Amoeba Positif

Bakteri Positif
Kesan : Amoebiasis

 Faeses Rutin

12
Pemeriksaan 03/11/2016

Warna Kuning

Lendir Lembek

Darah Negatif

Lemak Negatif

Leukosit Negatif

Eritrosit Negatif

Telur cacing Negatif

Amoeba Negatif

Bakteri Positif

Kesan : bakteri (+)

Problem aktif Problem pasif

13
- BAB cair 2 hari terus - Status gizi kurang
menerus > 5x, sedikit - Nafsu makan turun
berlendir, ampas sedikit, - Kualitas makan dan
- Muntah >3kali minum kurang baik
- Lemas
- Mata cowong
- Ubun-ubun cekung
- Turgor kulit lambat >2”
- Demam 37,8oC
- Trombositosis
- Bakteri (+), Amoeba (+),
Erit (+), Leu (+)

V. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis utama : DADRS pasca DADB

Diagnosis banding : DADB, Diare Persisten, Disentri Amoeba


VI. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis utama : DADRS pasca DADB
• Diagnosis komorbid : Perbaikan Post op. Megacolon Kongenital
Miliaria
• Diagnosis komplikasi :-
• Diagnosis gizi : gizi kurang
• Diagnosis sosial ekonomi : cukup
• Diagnosis Imunisasi : imunisasi dasar lengkap
• Diagnosis Pertumbuhan : Baik, Pertumbuhan sesuai dengan usia
• Diagnosis Perkembangan :
1. Personal sosial : sesuai usia
2. Motorik Halus : sesuai usia
3. Bahasa : sesuai usia
4. Motorik kasar : sesuai usia

VII. INITIAL PLAN


 Ip. Dx :
a. Subyektif :-

b. Obyektif : Pemeriksaan Darah Rutin, Pemeriksaan Feses Rutin,


Pemeriksaan Elektrolit, pemeriksaan foto polos abdomen
 Ip. Tx :
Medikamentosa

o Inf D5 ¼ NS 15 tpm
o Inj. Ceftriakson 1x 750 mg

14
o Inj. Ranitidin 2x 10 mg
o Inj. PCT 135 mg (k/p)
o P.O. Vit A 1 x 200.000 IU
o P.O Zink 2 x 10 mg

Non medikamentosa

o Tirah baring
o Diet Cair 8x10 – 20 cc
o Susu soya (pasien alergi susu sapi)

o Ip. Mx :
o Monitoring tanda – tanda dehidrasi berat, frekuensi BAB, konsistensi
tinja, nafsu makan/minum.
o Monitoring KU, kesadaran, suhu, frekuensi jantung, frekuensi
pernapasan, dan tekanan darah.
o Cek lab darah rutin ulang bila tidak tampak perbaikan.
o Monitoring berat badan setelah sembuh

o Ip. Ex :
o Memberitahukan pada pasien dan keluarganya tentang penyakit yang
sedang diderita bahwa yang paling penting dari penyakit ini adalah
terjadi kekurangan cairan sehingga orang tua harus lebih disiplin
memberikan lebih banyak cairan untuk anak lewat minum.
o Memotivasi orangtua agar sabar dan telaten memberikan oralit pada
anak. Oralit diberikan 1 sendok makan untuk anak usia < 2 tahun, tiap
1-2 menit, jika anak muntah diberikan ulang 10 menit kemudian. Tiap
kali setelah BAB, berikan oralit ½ gelas belimbing. Oralit dihentikan
bila tampak ada pembengkakan pada kelopak mata.

o Memberitahukan orangtua agar memberikan Zinc selama 10 hari


berturut-turut. Meskipun diare sudah berhenti, pemberian Zinc harus
tetap dilanjutkan untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan
mengurangi resiko berulangnya diare 2 – 3 bulan ke depan.
o Memberitahukan pada pasien dan keluarganya tentang penyakit yang
sedang di derita bahwa yang paling penting dari penyakit ini adalah
terjadi kekurangan cairan sehingga orangtua harus lebih disiplin

15
memberikan lebih banyak cairan untuk anak lewat minum. Bila anak
menginginkan banyak minum, berikan minum yang banyak. Bila
masih minum ASI, berikan ASI lebih sering dan lebih lama.
o Jika sudah dibolehkan pulang, memberitahukan pada orangtua pasien
untuk segera membawa anak ke petugas kesehatan bila anak: BAB cair
lebih sering, muntah berulang-ulang, tampak kehausan, malas
minum/makan, demam, tinja bercampur darah, kondisi anak tidak
membaik dalam 3 hari.

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

IX. PROGRESS NOTE

Waktu/tgl 30/10/2016 31/10/2016 1/11//2016 2/11/2016


keluhan - Mencret 2x - Mencret 50x - Makan sedikit - Makan sedikit
- Perut (sedikit2) sedikit sedikit
kembung - Nafsu makan - Mencret 15x - Mencret 2x
- BAK (+) turun (sedikit2, (kuning, ampas
- Nafsu makan - Muntah (-) Kehijauan) sedikit)
turun - Panas (-) - Panas (-) - Muntah 1x
- Muntah (-)
- Panas (-)
Keadaan Sadar, lemah Sadar, lemah Sadar, lemah Sadar, lemah
umum
Vital: nadi 100 x/mnt 100 x/mnt 94x/mnt 100x/mnt
RR 30 x/mnt 30 x/mnt 25x/mnt 30x/mnt
Suhu 36,3 ºC 36,0 ºC 37,4 º C 36,3 º C
Antopometri:
BB 9,2 kg 9,2 kg 9,2 kg 9,2 kg
PB 84 cm 84 cm 84 cm 84 cm
PF : Kepala Mesochepal Mesochepal Mesochepal Mesochepal
Mata Isokor Isokor Isokor Isokor
Hidung (2mm/2mm), (2mm/2mm), (2mm/2mm), (2mm/2mm),
cowong (+/+) Cowong (+/+) cowong (+/+) cowong (-/-)
Bibir Nafas cuping (-), Nafas cuping (-), Nafas cuping (-), Nafas cuping (-),
sekret bening sekret bening sekret bening sekret beningdikt
Leher Sianosis (-), Sianosis (-), Sianosis (-), Sianosis (-), kering
kering (+) kering (+) kering (-) (-)

16
Thorak Pemb KGB (-) Pemb KGB (-) Pemb KGB (-) Pemb KGB (-)
Simetris, retraksi Simetris, retraksi Simetris, retraksi Simetris, retraksi
(-), (-), (-), (-),
Abdomen Supel, BU (+), Supel, BU (+), Supel, BU (+), Supel, BU (+),
nyeri tekan(-) nyeri tekan(-) nyeri tekan(-) nyeri tekan(-)
epigastrium(-), epigastrium(-), epigastrium(-), epigastrium(-),
hepatomegali (-) hepatomegali (-) hepatomegali (-) hepatomegali (-)

Ekstremitas Akral dingin (-) Akral dingin (-) Akral dingin (-) Akral dingin (-)
Penunjang: FESES RUTIN
Warna kuning
Konsistensi cair
Lendir (+)
Darah (-)
Lemak(+)
Leukosit(+)
Eritrosit(+)
Telur cacing(-)
Amoeba(+)
Bakteri(+)

Asses Pasca DADB - GEDB - Perbaikan - Perbaikan post


- Perbaikan post op op megacolon
post op megacolon - Pasca DADB
megacolon - Pasca DADB - Disentri
- Pasca DADB - Disentri amoeba (+)
Amoeba (+)
Terapi - Inj.Ceftriaxon - Infus D5 ¼ ns - Inf.KN3B 15 - Inf. RL 15 tpm
2x750 mg 15tpm tpm - Inj ceftri 1x750
- Inj.Ranitidin - Inj.Ceftri - Inj ceftri - Inj.PCT 135 mg
2x10 mg 1x750 mg 1x650 - Inj.Ranit 2x10
- Inj. PCT 135 - Inj.Ranit 2x10 - Inj.PCT 135 mg
mg mg mg - Zink 1x10 mg
- Inj.Pct 135 - Inj.Ranit 2x10 syr
mg mg - Metronidazole
- Zink 1x10 mg - Zink 1x10 mg 3x1 mg
- Inj.metro - Metronidazol - Amitaksime
3x50 mg 3x 1mg 2x100 gr
- Aff DC - Amitaksime
+NGT 2x100 gr

Waktu/tgl 3/11/2016 4/11/2016


keluhan - Makan sedikit-dikit - Mencret 2x (tak ada
- Mencret 15x (ada ampas, lender, ada ampas sedikit)
kuning) - Muntah (-)
- Muntah 1x - Makan sudah mulai
- Timbul bintik2 dr kemarin siang banyak
(leher-perut). - Ruam kulit (+)
- Muntah (-)

17
Keadaan umum Sadar, lemas Sadar, gerak aktif (+)
Vital: nadi 100 x/mnt 100 x/mnt
RR 38 x/mnt 38 x/mnt
Suhu 36,6 ºC 37,8 ºC
Antopometri: BB 9,2 kg 9,2 kg
PB 84 cm 84 cm
PF : Kepala Mesochepal Mesochepal
Mata isokor isokor
Hidung Nafas cuping (-), sekret beningdikt Nafas cuping (-),
Bibir Sianosis (-), kering (+), Sianosis (-), kering (-),
ruam kulit (+)
Pemb KGB (-) ruam kulit (+)
Leher Simetris, retraksi (-), ruam (+) Pemb KGB (-)
Ruam (+) Supel, BU (+), nyeri Simetris, retraksi (-), ruam (+)
Thorak tekan(-) Ruam(+) Supel, BU (+), nyeri
epigastrium(-), hepatomegali (-) tekan(-)
Abdomen Akral dingin (- epigastrium(-), hepatomegali
(-)
Akral dingin (-)

Ekstremitas
Penunjang:
FESES RUTIN
Warna kuning
Konsistensi cair
Lendir (+)
Darah (-)
Lemak(+)
Leukosit(+)
Eritrosit(+)
Telur cacing(-)
Amoeba(+)
Bakteri(+)
Asses - Perbaikan post op megacolon - Perbaikan post op
- Pasca DADB megacolon
- Disentri amoeba (+) - Pasca DADB
- Miliaria - Miliaria

18
Terapi - inf. RL 15 tpm - Salep metronidazole 3x1 mg
- inj. Ceftri 1x 750 mg BLPL
- Ranit 2x10 mg
- PCT 135 mg
- Zink 1x10 mg Syr
- Salep Metronidazol 3x1 mg
- Amitaksime 2x100 gr.
- Salep Hidrocortisone 3x1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DIARE AKUT

A. DEFINISI
Diare akut pada anak adalah diare yang terjadi secara mendadak dan

berlangsung kurang dari 14 hari (kebanyakan kurang dari 7 hari) pada bayi atau

anak yang sebelumnya sehat. Ada juga yang memberi batasan diare akut pada

anak yaitu buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi cair

dan berlangsung kurang dari 1 minggu (IDAI, 2010).

B. EPIDEMIOLOGI
Diare akut merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak-anak di berbagai negara berkembang termasuk di Indonesia. Terdapat 60 juta

19
episode diare akut setiap tahunnya di Indonesia dimana 1-5 % daripadanya akan
menjadi diare kronik dan bila sampai terjadi dehidrasi berat yang tidak segera
ditolong, 50-60% diantaranya dapat meninggal dunia.

Berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian diare antara lain :

 Faktor lingkungan
 Gizi
 Kependudukan
 Pendidikan
 Keadaan sosial ekonomi
 Perilaku masyarakat

Faktor lingkungan yang dimaksud adalah kebersihan lingkungan dan


perorangan seperti kebersihan puting susu, kebersihan botol dan dot susu, maupun
kebersihan air yang digunakan untuk mengolah susu dan makanan. Faktor gizi
misalnya adalah tidak diberikannya makanan tambahan meskipun anak telah
berusia 4-6 bulan. Faktor pendidikan yang utama adalah pengetahuan ibu tentang
masalah kesehatan. Faktor kependudukan menunjukkan bahwa insiden diare lebih
tinggi pada penduduk perkotaan yang padat dan miskin atau kumuh. Sedangkan
faktor perilaku orangtua dan masyarakat misalnya adalah kebiasaan ibu yang tidak
mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar atau
membuang tinja anak. Faktor-faktor di atas terkait erat dengan faktor ekonomi
masing-masing keluarga (Irwanto, dkk, 2002).

C. ETIOLOGI

Penyebab diare akut antara lain yaitu virus, bakteri, parasit, alergi susu sapi,
laktose defisiensi primer dan obat-obatan tertentu . Penyebab utama oleh virus
adalah Rotavirus (40-60%) sedangkan virus lainnya yaitu virus Norwalk,
Astrovirus, Calcivirus, Coronavirus, Minirotavirus dan virus bulat kecil.

Bakter-bakteri yang dapat menyebabkan diare adalah Aeromonas hydrophyla,


Escherichia coli enteroaggregatife, E. coli enteroinvansife, E. coli halemortagik,

20
Plesiomonas shigelloides, Vibrio cholerae non-01, V. Parahemolyticus, Yersina
enterocolotica.

Sedangkan penyebab diare oleh parasit adalah Giardia lamblia, Entamoeba


histolytica, Isospora belli, Balantidium coli, Cryptosporodium, Capillaria
philipinensis, Fasiolopsis buski, Sarcocystis suihominis, Strongiloides strecoralis,
dan Trichuris trichiura (Irwanto, dkk, 2002).

D. PATOGENESIS

Virus

 Beberapa jenis virus seperti Rotavirus, berkembang biak dalam epitel vili usus
halus, menyebabkan kerusakan sel epitel dan pemendekan vili. Hilangnya sel-
sel vili yang secara normal mempunyai fungsi absorbsi dan penggantian
sementara oleh sel epitel berbentuk kripta yang belum matang, menyebabkan
usus mensekresi air dan elekrolit. Kerusakan vili dapat juga dihubungkan
dengan hilangnya enzim disakaridase terutama laktase. Penyembuhan terjadi
bila vili mengalami regenerasi dan epitel vilinya menjadi matang.

Bakteri

 Penempelan di mukosa. Bakteri yang berkembang biak dalam usus halus


pertama-tama harus menempel mukosa untuk menghindarkan diri dari
penyapuan. Penempelan terjadi melalui antigen yang menyerupai rambut
getar, disebut pili atau fimbria yang melekat pada reseptor di permukaan usus.
Hal ini terjadi misalnya pada E. coli enterotoksigenik dan V. Cholera. Pada
beberapa keadaan, penempelan di mukosa dihubungkan dengan perubahan
epitel usus yang menyebabkan pengurangan kapasitas penyerapan atau
menyebabkan sekresi cairan.
 Toksin yang menyebabkan sekresi. E. coli enterotoksigenik, V. cholerae dan
beberapa bakteri lain mengeluarkan toksin yang menghambat fungsi sel epitel.
Toksin ini mengurangi absorbsi natrium melalui vili dan mungkin
meningkatkan sekresi chlorida dari kripta, yang menyebabkan sekresi air dan

21
elektrolit. Penyembuhan terjadi bila sel yang sakit diganti dengan sel yang
sehat setelah 2-4 hari.
 Invasi mukosa. Shigella, C. Jejuni, E. coli enteroinvasife dan Salmonella dapat
menyebabkan diare berdarah melalui invasi dan perusakan sel epitel mukosa.
Ini terjadi sebagian besar di colon dan bagian distal ileum. Invasi mungkin
diikuti dengan pembentukan mikroabses dan ulkus superfisial yang
menyebabkan adanya sel darah merah dan sel darah putih atau terlihat adanya
darah dalam tinja. Toksin yang dihasilkan oleh kuman ini menyebabkan
kerusakan jaringan dan kemungkinan juga sekresi air dan elektrolit dari
mukosa.

Parasit

 Penempelan mukosa. G. Lamblia dan Cryptosporodium menempel pada


epitel usus halus dan menyebabkan pemendekan vili yang kemungkinan
menyebabkan diare.
 Invasi mukosa. E. histolytica menyebabkan diare dengan cara menginvasi
epitel mukosa di kolon atau ileum yang menyebabkan mikroabses dan ulkus.
Namun hal ini baru terjadi bila strainnya sangat ganas.

Obat-obatan

 Beberapa macam obat terutama antibiotika dapat juga menjadi penyebab


diare. Antibiotika agaknya membunuh flora normal usus sehigga organisme
yang tidak biasa atau yang kebal terhadap antibiotik itu sendiri akan
berkembang bebas. Disamping itu sifat farmakokinetika dari antibiotika itu
sendiri juga memegang peran penting. Sebagai contoh ampisilin dan
klindamisin adalah antibiotik yang dikeluarkan di dalam empedu yang
merubah flora tinja secara intesif walaupun diberikan secara parental.
Antibiotik juga bisa menyebabkan malabsorbsi, misalnya tetrasiklin,
kanamisin, polmiksin, dan neomisin (Irwanto, dkk, 2002).

E. PATOFISIOLOGI

22
Ada 2 prinsip mekanisme terjadinya diare yaitu sekretorik dan osmotik.

Diare sekretorik

Diare sekretorik disebabkan karena sekresi air dan elektrolit ke dalam usus
halus. Hal ini terjadi bila absorbsi natrium oleh vili gagal sedangkan sekresi
chlorida di sel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hasil akhirnya adalah
sekresi cairan yang menebabkan kehilangan air dan elektrolit dari tubuh sebagai
tinja cair yang dapat menyebabkan dehidrasi. Pada diare infeksi perubahan ini
terjadi karena adanya rangsangan pada mukosa usus oleh toksin bakteri seperti
toksin E.coli dan V. cholerae atau virus (Rotavirus).

Diare osmotik

Diare osmotik terjadi bila suatu bahan yang secara osmotik aktif dan sulit
diserap. Jika bahan semacam itu berupa larutan isotonik, air dan bahan yang larut
di dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila substansi
berupa larutan hipotonik, air dan beberapa elektrolit akan pindah dari cairan
ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai osmolaritas dari isi usus sama dengan
cairan ekstraseluler dan darah. Hal ini meningkatkan volume tinja dan
menyebabkan dehidrasi karena kehilangan cairan tubuh (Ditjen PPM & PLP,
1999).

Pada diare akan terjadi kekurangan air (dehidrasi), gangguan keseimbangan


asam basa (asidosis metabolik), yang secara klinis berupa pernafasan kusmaull,
hipoglikemia, gangguan gizi, dan gangguan sirkulasi (Aswitha, dkk, 2000).

F. MANIFESTASI KLINIS

Awalnya anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu makan
berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Gejala muntah dapat terjadi
sebelum dan atau sesudah diare. Bila telah banyak kehilangan air dan elektrolit
terjadilah dehidrasi. Berat badan turun. Pada bayi, ubun-ubun besar cekung. Tonus
dan turgor kulit berkurang. Selaput lendir bibir dan mulut kering (Aswitha, dkk,
2000).

23
Cara praktis penatalaksanaan diare yaitu berdasarkan tipe klinis diare itu
sendiri. Terdapat 4 macam tipe klinis diare, dimana tiap macam menggambarkan
kelainan yang mendasari dan perubahan fisiologi yang berbeda-beda :

 Diare cair akut (termasuk kolera) yang berlangsung beberapa jam sampai
dengan beberapa hari. Pada diare ini perlu diwaspadai bahaya terjadinya
dehidrasi, juga dapat terjadi penurunan berat badan apabila intake
makanan kurang.
 Diare akut dengan pendarahan (disentri) , dimana pada diare ini bahaya
utamanya adalah kerusakan usus, sepsis, dan malnutrisi serta dehidrasi.
 Diare persisten (berlangsung selama 14 hari atau lebih), dimana bahaya
utamanya adalah malnutrisi dan infeksi non intestinal berat serta dehidrasi.
 Diare dengan malnutisi berat (marasmus atau kwashiorkor) dengan bahaya
utamanya antara lain infeksi sistemik berat, dehidrasi, gagal jantung, dan
defisiensi mineral dan vitamin (WHO, 2004).

G. PENCEGAHAN

Diare dapat dicegah dengan memperbaiki usaha multisektoral antara lain


sebagai berikut :

- Meningkatkan sarana air besih dan sanitasi umum


- Promosi pendidikan higiene
- Pemberian ASI eksklusif
- Meningkatkan ketrampilan mengasuh anak
- Imunisasi pada anak : khususnya untuk membasmi campak
- Menggunakan jamban /wc
- Menjaga kebersihan makanan dan minuman
- Mencuci tangan dengan sabun sebelum menyentuh makanan
- Mencuci peralatan makan (WHO, 2004).

H. DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Riwayat diare sekarang :
- Sudah berapa lama diare berlangsung

24
- Total diare dalam 24 jam, diperkirakan dari frekuensi diare dan
jumlah tinja
- Keadaan klinis tinja (warna, konsistensi, ada lendir atau darah tidak)
- Muntah (frekuensi dan jumlah)
- Demam
- Buang air kecil terakhir
- Anak lemah, rewel, rasa haus, kesadaran menurun
- Jumlah cairan yang masuk selama diare
- Tindakan yang telah diambil (diberi cairan, ASI, makanan, obat,
oralit)
- Apakah ada yang menderita diare di sekitarnya
- Riwayat bepergian ke daerah yang sedang terkena wabah diare
- Kontak dengan orang yang sakit
- Penggunaan antibiotik
b. Riwayat diare sebelumnya : kapan, berapa lama
c. Riwayat penyakit penyerta saat ini
d. Riwayat imunisasi : lengkap atau tidak.
e. Riwayat makanan sebelum diare : ASI, susu formula, makan makanan
yang tidak biasa (Subagyo, 2004).

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan tanda utama yaitu,


kesadaran, rasa haus, turgor kulit abdomen. Perhatikan juga tanda tambahan,
yaitu ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata cekung atau tidak, ada atau
tidaknya air mata, kering atau tidaknya mukosa mulut, bibir dan lidah. Jangan
lupa menimbang berat badan. Perhatikan pula ada tidaknya pernafasan cuping
hidung, retraksi interkostal, akral dingin, perfusi jaringan serta derajat
dehidrasinya.

Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai dengan kriteria berikut :

a. Tanpa dehidrasi (kehilangan caiaran < 5% berat badan)


- Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan
- Keadaan umum baik baik dan sadar

25
- Tanda vital dalam batas normal
- Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada,
mukosa mulut dan bibir basah
- Turgor abdomen baik, bising usus normal
- Akral hangat
Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali apabila terdapat komplikasi lain
(tidak mau minum, muntah terus menerus, diare yang frekuen).

b. Dehidarasi ringan sedang (kehilangan cairan 5-10% berat badan)


- Apabila di dapatkan dua tanda utama ditambah dua atau lebih tanda
tambahan
- Keadaan umum gelisah dan cengeng
- Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang,
mukosa mulut dan bibir sedikit kering
- Turgor kurang
- Akral hangat
- Pasien harus rawat inap
c. Dehidrasi berat (kehilangan cairan > 10% berat badan)
- Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dua atau lebih tanda
tambahan
- Keadaan umum lemah, letargi tau koma
- Ubun-ubun besar sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak
ada, mukosa mulut dan bibir sangat kering
- Turgor buruk
- Akral dingin
- Pasien harus rawat inap (IDAI, 2010).

Penilaian dehidrasi menurut MTBS

26
Terdapat 2 atau lebih dari tanda-tanda
berikut ini :

 Letargis atau tidak sadar


 Mata cekung
 Tidak bisa minum atau malas
Dehidrasi berat
minum
 Cubitan kulit perut kembalinya
sangat lambat

Terdapat 2 atau lebih tanda-tanda


berikut ini:

 Gelisah, rewel
 Mata cekung
Dehidrasi ringan/sedang
 Haus, minum dengan lahap
 Cubitan kulit perut kembalinya
lambat

Tidak cukup tanda-tanda untuk


diklasifikasikan dehidrasi berat atau Tanpa dehidrasi
ringan/sedang

1. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaaan tinja
- Makroskopis : bau, warna, lendir, darah , konsistensi
- Mikroskopis: eritrosit, lekosit, bakteri, parasit
- Kimia : PH, elektrolit (Na, K, HCO3)
- Biakan dan uji sensitivitas

27
b. Pemeriksaan darah : Darah lengkap, analisis gas darah dan elektrolit
(terutama Na, K, Ca, dan P serum pada diare yang
disertai kejang), kadar uerum dan kreatinin darah.
c. Pemeriksaan urin : urin rutin (Aswitha, dkk, 2001)

I. PENATALAKSANAAN

1. Atasi dehidrasi
 Tanpa dehidrasi
Cairan rumah tangga dan ASI diberikan semaunya, oralit diberikan
sesuai usia setiap kali buang air besar atau muntah dengan dosis:

- < 1 tahun: 50-100 cc


- 1-5 tahun : 100-200 cc
- 5 tahun : semaunya.
 Dehidrasi ringan sedang
Rehidrasi dengan oralit 75 cc/kgBB dalam 3 jam pertama dilanjutkan
pemberian kehilangan cairan yang sedang berlangsung sesuai umur
seperti di atas setiap kali buang air besar.

 Dehidrasi berat
Rehidrasi parenteral dengan cairan ringer laktat atau ringer asetat
100 cc/kgBB. Cara pemberian :

- < 1 tahun 30cc/kgBB dalam 1 jam pertama dilanjutkan 70


cc/kgBB dalam 5 jam berikutnya.
- 1 tahun : 30 cc/kgBB dalam ½ jam pertama dilanjutkan 70
cc/kgBB dalam 2 ½ jam berikutnya.
Minum diberikan jika pasien sudah mau minum 5 cc/kgBB selama
proses rehidrasi.

2. Pemakaian antibiotik
Bila ada indikasi seperti pada Shigella dan Cholera. Antibiotik sesuai dengan
hasil pemeriksaan penunjang. Sebagai pilihan adalah kotrimoksazol,
amoksisilin dan atau sesuai hasil uji sensitivitas.

3. Diet

28
Anak tidak boleh dipuasakan, makanan diberikan sedikit-sedikit tapi sering,
rendah serat, buah-buahan diberikan terutama pisang.

4. Jangan mengunakan spasmolitika


5. Koreksi elektrolit : koreksi bila terjadi hipernatremia, hiponatremia,
hiperkalemia atau hipokalemia.
6. Vitamin A
- 6 bulan – 1 tahun : 100.000 IU
- >1 tahun : 200.000 IU

7. Pendidikan orangtua : penyuluhan tentang penanganan diare dan cara-cara


pencegahan diare (IDAI, 2004).

Indikasi rawat inap :

 Diare akut dengan dehidrasi berat

 Diare akut dehidrasi ringan sedang dengan komplikasi

 Usia < 6 bulan (usia yang mempunyai resiko tinggi mengalami dehidrasi),
buang air besar cair > dari 8 kali dalam 24 jam dan muntah > dari 4 kali
sehari (Armon, 2001).

J. PEMANTAUAN

1) Terapi
Setelah pemberian caiaran rehidrasi harus dinilai ulang derajat dehidrasi, berat
badan, gejala dan tanda dehidrasi. Jika masuh dehidrasi maka dilakukan
rehidrasi ulang sesuai dengan derajat dehidrasinya. Jika setelah 3 hari
pemberian antibiotik klinis dan laboratorium tidak ada perubahan maka
dipikirkan penggantian antibiotik sesuai hasil uji sensitivitas.

2) Tumbuh kembang
3) Timbang berat badan sebelum dan sesudah rehidrasi, 2 minggu setelah sembuh
dan seterusnya secara periodik sesuai umur. Jika anak mengalami gizi buruk
maka dikelola sesuai dengan SPM gizi buruk
Penderita dapat dipulangkan bila penderita tidak dehidrasi, keadaaan umum dan
tanda vital baik, sudah bisa makan dan minum (IDAI, 2010).

29
II. MEGACOLON KONGENITAL / HIRSCHPRUNG

A. DEFINISI

Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus, dan paling
sering pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus secara ritmis akan
menekan feses hingga ke rectum. Pada penyakit Hirschsprung, saraf (sel ganglion)
yang berfungsi untuk mengontrol otot pada organ usus tidak ditemukan. Hal ini
mengakibatkan feses tidak dapat terdorong, seperti fungsi fisiologis seharusnya
(Henna N, 2011).

Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus yang paling sering dialami
oleh neonatus. Demikian pula, kebanyakan kasus Hirschsprung terdiagnosis pada
bayi, walaupun beberapa kasus baru dapat terdiagnosis hingga usia remaja atau
dewasa muda (Izadi M, 2007). Terdapat kecenderungan bahwa penyakit Hirschsprung
dipengaruhi oleh riwayat atau latar belakang keluarga dari ibu. Angka kejadian
penyakit Hirschsprung, sekitar 1 di antara 4400 sampai 7000 kelahiran hidup, dengan
rata-rata 1:5000 kelahiran hidup (Lakshmi,2008). Dengan mayoritas penderita adalah
laki-laki dibandingkan wanita dengan perbandingan 4:1.

B. EMBRIOLOGI KOLON

Dalam perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik bermigrasi


darikrista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian melanjutkan ke arah
distal. Sel-sel saraf pertama sampai di esofagus dalam gestasi minggu kelima. Sel-sel
saraf sampai di midgut dan mencapai kolon distal dalam minggu kedua belas. Migrasi
berlangsung mula-mula ke dalam pleksus Auerbach, selanjutnya sel-sel ini menuju
kedalam pleksus submukosa. Sel-sel krista neural dalam migrasinya dibimbing oleh
berbagai glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf yang berkembang lebih awal
daripada sel-sel krista neural.

Glikoprotein yang berperan termasuk fibronektin dan asam hialuronik, yang


membentuk jalan bagi migrasi sel neural. Serabut saraf berkembang ke bawah menuju
saluran gastrointestinal dan kemudian bergerak menuju intestine, dimulai dari
membran dasar dan berakhir di lapisan muscular (Kartono, 2010).

30
Secara embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon kiri
berasal dari usus belakang. Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita
yang disebut taenia yang berukuran lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon
berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (kantong kecil) dan biasa disebut haustra
(bejana). Kolon tranversum dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal dan
dilengkapi dengan mesentrium.

Gangguan rotasi usus embrional dapat terjadi dalam perkembangan embriologik


sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesentrium yang lengkap. Keadaan ini
memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar usus yang sama halnya
dapat terjadi dengan mesentrium yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya
yang sempit (Pieter, 2005).

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI KOLON

Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 1,5 m yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar
lebih besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), namun semakin dekat
dengan anus diameternya pun semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum,
kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat
pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus
besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan
mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus.

Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden, dan sigmoid. Kolon
membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut
dengan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi Krista
iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri
sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian utama usus yang terakhir
disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke
bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan
dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis
ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci) (Lindseth, 2006).

Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses
akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air dan
elektrolit. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses

31
yang sudah terdehidrasi sampai berlangsungnya defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar
800 ml air per hari dengan berat akhir feses yang dikeluarkan adalah 200 gram. dan
80%-90% diantaranya adalah air. Sisanya terdiri dari residu makanan yang tidak
terabsorpsi, bakteri, sel epitel yang terlepas, dan mineral yang tidak terabsorpsi
(Guyton, 1994).

D. PATOFISIOLOGI

Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan primer


dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada pleksus
submukosa (Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen kolon atau
lebih. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan
tenaga pendorong (peristaltik), yang menyebabkan akumulasi/ penumpukan isi
usus dan distensi usus yang berdekatan dengan kerusakan (megakolon). Selain itu,
kegagalan sfingter anus internal untuk berelaksasi berkontribusi terhadap gejala
klinis adanya obstruksi, karena dapat mempersulit evakuasi zat padat (feses),
cairan, dan gas .

Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang


aganglionik mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus

32
fungsional. Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan
pelebaran dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.

Penyakit Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi kraniokaudal pada


prekursor sel ganglion sepanjang saluran gastrointestinal antara usia kehamilan
minggu ke-5 dan ke-12. Distensi dan iskemia pada usus bisa terjadi sebagai akibat
distensi pada dinding usus, yang berkontribusi menyebabkan enterokolitis
(inflamasi pada usus halus dan kolon), yang merupakan penyebab kematian pada
bayi/anak dengan penyakit Hirschsprung (Markum, 2002).

E. MANIFESTASI KLINIS

Berdasarkan usia penderita gejala penyakit Hirschsprung dapat dibedakan


menjadi 2, yaitu:

a. Periode neonatus

Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen. Terdapat 90% lebih
kasus bayi dengan penyakit Hirchsprung tidak dapat mengeluarkan mekonium
pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan mengeluarkan mekonium setelah 24
jam pertama (24-48 jam). Muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen biasanya
dapat berkurang apabila mekonium dapat dikeluarkan segera. Bayi yang
mengonsumsi ASI lebih jarang mengalami konstipasi, atau masih dalam derajat
yang ringan karena tingginya kadar laktosa pada payudara, yang akan
mengakibatkan feses jadi berair dan dapat dikeluarkan dengan mudah (Kessman,
2008).

b. Periode anak-anak

Walaupun kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada beberapa
kasus dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia kanak-kanak
(Lakhsmi, 2008). Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni, konstipasi
kronis, gagal tumbuh, dan malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat
pada dinding abdomen disebabkan oleh obstruksi fungsional kolon yang
berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang komplit, perforasi sekum, fecal

33
impaction atau enterocolitis akut yang dapat mengancam jiwa dan sepsis juga
dapat terjadi (Kessman, 2008).

TANDA

1. Anemia dan tanda-tanda malnutrisi

2. Perut membuncit (abdomen distention) mungkin karena retensi kotoran.

3. Terlihat gelombang peristaltic pada dinding abdomen

4. Pemeriksaan rectal touche (colok dubur) menunjukkan sfingter anal yang


padat/ketat, dan biasanya feses akan langsung menyemprot keluar dengan
bau feses dan gas yang busuk.

5. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di sekitar


umbilicus, punggung dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat
komplikasi peritonitis (Kessman, 2008; Lakhsmi, 2008)

F. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Pada heteroanamnesis, sering didapatkan adanya keterlambatan


pengeluaran mekonium yang pertama, mekonium keluar >24 jam; adanya
muntah bilious (berwarna hijau); perut kembung; gangguan defekasi/
konstipasi kronis; konsistensi feses yg encer; gagal tumbuh (pada anak-anak);
berat badan tidak berubah; bahkan cenderung menurun; nafsu makan
menurun; ibu mengalami polyhidramnion; adanya riwayat keluarga. (Hidayat
M,2009; Lorijn,2006).

2. Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit di seluruh lapang


pandang. Apabila keadaan sudah parah, akan terlihat pergerakan usus pada
dinding abdomen. Saat dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising
usus melemah atau jarang. Untuk menentukan diagnosis penyakit
Hirschsprung dapat pula dilakukan pemeriksaan rectal touche dapat dirasakan
sfingter anal yang kaku dan sempit, saat jari ditarik terdapat explosive stool
(Izadi,2007; Lorijn,2006; Schulten, 2011).

34
3. Pemeriksaan Biopsi

Memastikan keberadaan sel ganglion pada segmen yang terinfeksi,


merupakan langkah penting dalam mendiagnosis penyakit Hirschsprung. Ada
beberapa teknik, yang dapat digunakan untuk mengambil sampel jaringan
rektum. Hasil yang didapatkan akan lebih akurat, apabila spesimen/sampel
adekuat dan diambil oleh ahli patologi yang berpengalaman. Apabila pada
jaringan ditemukan sel ganglion, maka diagnosis penyakit Hirschsprung
dieksklusi. Namun pelaksanaan biopsi cenderung berisiko, untuk itu dapat di
pilih teknik lain yang kurang invasive, seperti Barium enema dan anorektal
manometri, untuk menunjang diagnosis(Lorijn,2006;Schulten,201 1).

4. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penting pada penyakit


Hirschsprung. Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan
enema barium merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk mendeteksi
penyakit Hirschsprung secara dini pada neonatus. Pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi masih sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standar
dalam menegakkan diagnosa penyakit Hirschsprung adalah enema barium,
dimana akan dijumpai tiga tanda khas yaitu adanya daerah penyempitan di bagian

35
rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi, terdapat daerah transisi, terlihat
di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi, serta terdapat daerah
pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. Apabila dari foto barium enema
tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan
dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan
membaur dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feses ke arah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang
tidak mengalami Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka
barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid

36
5. Pemeriksaan Anorectal Manometry

Pada individu normal, distensi pada ampula rectum menyebabkan relaksasi


sfingter internal anal. Efek ini dipicu oleh saraf intrinsic pada jaringan rectal,
absensi/kelainan pada saraf internal ini ditemukan pada pasien yang terdiagnosis
penyakit Hirschsprung. Proses relaksasi ini bisa diduplikasi ke dalam laboratorium
motilitas dengan menggunakan metode yang disebut anorectal manometry.

Selama anorektal manometri, balon fleksibel didekatkan pada sfingter


anal. Normalnya pada saat balon dari posisi kembang didekatkan pada sfingter
anal, tekanan dari balon akan menyebabkan sfingter anal relaksasi, mirip seperti
distensi pada ampula rectum manusia. Namun pada pasien dengan penyakit
Hirschsprung sfingter anal tidak bereaksi terhadap tekanan pada balon. Pada bayi
baru lahir, keakuratan anorektal manometri dapat mencapai 100%
(Schulten,2011).

G. PENATALAKSANAAN

Sampai pada saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat


dilakukan dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat dilakukan tetapi
untuk menangani distensi abdomen dengan pemasangan pipa anus atau
pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian antibiotika dimaksudkan

37
untuk pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan mencegah terjadinya
sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga keseimbangan cairan,
elektrolit, dan asam basa tubuh.

Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap
pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi
definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah
komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan
menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien. Tahapan
kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang
ganglionik dengan bagian bawah rektum.

Dikenal beberapa prosedur tindakan definitif yaitu prosedur Swenson’s


sigmoidectomy, prosedur Duhamel, prosedur Soave’s Transanal Endorectal Pull-
Through, prosedur Rehbein dengan cara reseksi anterior, prosedur Laparoskopic
Pull-Through, prosedur dan prosedur miomektomi anorektal.

Setelah diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan maka sejumlah


tindakan praoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam
keadaan dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi
dengan pemberian cairan intravena, antibiotik, dan pemasangan pipa lambung.
Apabila sebelum operasi ternyata telah mengalami enterokolitis maka cairan
resusitasi cairan dilakukan secara agresif, pemberian antibiotik broad spektrum
secara ketat kemudian segera dilakukan tindakan dekompresi usus.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi
sfingter. Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit
Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri
dan translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel
neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile
atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis.
Pada keadaan yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan
megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat,
distensi abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi nekrosis akibat iskemia

38
mukosa diatas segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis,
pnematosis dan perforasi usus. Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber
pada kondisi obstruksi usus letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan
sirkulasi darah pada dinding usus, sehingga dinding usus mengalami iskemia dan
anoksia. Jaringan iskemik mudah terinfeksi oleh kuman, dan kuman menjadi lebih
virulen. Terjadi invasi kuman dari lumen usus, ke mukosa, sub mukosa, lapisan
muscular, dan akhirnya ke rongg peritoneal atau terjadi sepsis. Keadaan iskemia
dinding usus dapat berlanjut yang akhirnya menyebabkan nekrosis dan perforasi.
Proses kerusakan dinding usus mulai dari mukosa, dan dapat menyebabkan
enterokilitis.
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita
penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun
paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1
minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feces berbau busuk dan
disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi. Kejadian nterokolitis berdasarkan prosedur operasi yang dipergunakan
Swenson sebesar 16,9%, Boley-Soave sebesar 14,8%, Duhamel sebesar 15,4%
dan sebesar Lester Martin 20%. Gambaran klinis distensi abdomen ada sebanyak
29 orang, diare sebanyak 38 orang, darah pada feses sebanyak 2 orang , muntah
sebanyak 31 orang, dan panas ada sebanyak 22 orang.

I. PROGNOSIS
Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat
bergantung pada diagnosis awal dan pendekatan operasi. Secara umum
prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat
tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien
yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20%.

39
III. MILIARIA

A. DEFINISI

Miliaria adalah kelainan kulit akibat retensi keringat yang ditandai oleh
adanya vesikel milier. Sinonim untuk penyakit ini adalah biang keringat, keringat
buntet, liken tropikus, prickle heat. Berdasarkan survey yang dilakukan di Jepang
didapatkan 5000 bayi baru lahir menderita miliaria. Survey tersebut
mengungkapkan bahwa miliaria kristalina terjadi pada 4,5% nenonatus dengan
usia rata-rata 1 minggu dan miliaria rubra terjadi pada 4% neonatus dengan usia
rata-rata 11-14 hari. Dari sebuah survey yang dilakukan di Iran ditemukan insiden
miliaria pada 1,3% bayi baru lahir. Miliaria umumnya terjadi di daerah tropis dan
banyak diderita pada mereka yang baru saja pindah dari daerah yang beriklim
sedang ke daerah yang beriklim tropis.

B. HASIL ANAMNESIS (SUBJECTIVE)


Keluhan yang dirasakan adalah gatal yang disertai timbulnya vesikel atau
bintil, terutama muncul saat berkeringat, pada lokasi predileksi, kecuali pada
miliaria profunda.
Faktor Risiko
1. Tinggal di lingkungan tropis, panas, kelembaban yang tinggi.
2. Pemakaian baju terlalu ketat.

C. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonis
Tergantung pada jenis atau klasifikasi miliaria.
Klasifikasi miliaria :
1. Miliaria kristalina
a. Terdiri atas vesikel miliar (1-2 mm), sub korneal tanpa tanda inflamasi,
mudah pecah dengan garukan, dan deskuamasi dalam beberapa hari.
b. Predileksi pada badan yang tertutup pakaian.
c. Gejala subjektif ringan dan tidak memerlukan pengobatan.

40
2. Milaria rubra
a. Jenis tersering, terdiri atas vesikel miliar atau papulo vesikel di atas
dasar eritematosa sekitar lubang keringat, tersebar diskret.

Gejala subjektif gatal dan pedih pada di daerah predileksi.

3. Miliaria profunda

a. Merupakan kelanjutan miliaria rubra, berbentuk papul putih keras berukuran


1-3 mm, mirip folikulitis, dapat disertai pustul.

b. Predileksi pada badan dan ekstremitas.

41
Miliaria pustulosa

o Berasal dari miliaria rubra, dimana vesikelnya berubah menjadi pustul.

o Pemeriksaan Penunjang

o Tidak diperlukan.

Penegakan Diagnostik (Assessment)

Diagnosis Klinis

Ditegakkan ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaaan fisik.

Diagnosis Banding

Campak / morbili, Folikulitis, Varisela, Kandidiasis kutis, Erupsi obat


morbiliformis

Komplikasi

Infeksi sekunder

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

Prinsipnya adalah mengurangi pruritus, menekan inflamasi, dan membuka retensi


keringat. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah:

1. Melakukan modifikasi gaya hidup, yaitu:

a. Memakai pakaian yang tipis dan dapat menyerap keringat.

b. Menghindari panas dan kelembaban yang berlebihan

c. Menjaga kebersihan kulit

d. Mengusahakan ventilasi yang baik

2. Memberikan farmakoterapi, seperti:

42
Topikal

 _Bedak kocok: likuor faberi atau bedak kocok yang mengandung

kalamin dan antipruritus lain (mentol dan kamfora) diberikan 2 kali

sehari selama 1 minggu.

 _Lanolin topikal atau bedak salisil 2% dibubuhi mentol .-2%


sekaligus diberikan 2 kali sehari selama 1 minggu. Terapi berfungsi
sebagai antipruritus untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya
miliaria profunda.

b. Sistemik (bila gatal dan bila diperlukan)

o  _Antihistamin sedatif: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari


selama 7 hari atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama 7 hari

o  _Antihistamin non sedatif: loratadin 1 x 10 mg per hari selama 7


hari.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan

Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.

Konseling dan Edukasi

Edukasi dilakukan dengan memberitahu keluarga agar dapat membantu pasien


untuk:

1. Menghindari kondisi hidrasi berlebihan atau membantu pasien untuk memakai


pakaian yang sesuai dengan kondisinya.

2. Menjaga ventilasi udara di dalam rumah.

3. Menghindari banyak berkeringat.

4. Memilih lingkungan yang lebih sejuk dan sirkulasi udara (ventilasi) cukup.

5. Mandi air dingin dan memakai sabun.

Kriteria Rujukan

43
Tidak ada indikasi rujukan

Peralatan

Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit miliaria.

Prognosis

Prognosis umumnya bonam, pasien dapat sembuh tanpa komplikasi.

IV. HUBUNGAN DIARE DENGAN MEGACOLON KONGENITAL /

HIRSCHPRUNG (HCSR)

HSCR selalu menjadi salah satu topik yang paling menarik untuk anak ahli
bedah karena fitur menarik dan pengobatan yang menantang. Meskipun anomali
kongenital ini dapat disembuhkan dan berarti kemajuan dalam pengobatan
diperoleh selama dekade terakhir, sebagian kecil pasien masih dapat
mengembangkan komplikasi serius dan akhirnya meninggal. Penyebab utama
tentu dapat ditemukan di Hirschsprung terkait enterocolitis (HAEC), yang pada
dasarnya dapat terjadi dari lahir sampai dewasa, terlepas dari panjang
aganglionosis dan ditandai oleh distensi abdomen, diare eksplosif, demam, lesu,
dan bahkan syok septik.

Patofisiologi HAEC masih kurang dipahami. HAEC merupakan entitas


klinis yang ditentukan oleh kombinasi dari berbagai disfungsi dan / atau gangguan
homeostasis usus. Penilaian dari kelainan histologis ditemukan pada usus dari
pasien yang menderita HAEC telah memberikan pemahaman mengenai
patogenesis penyakit. Dari sudut histologis pandang, HAEC ditandai dengan
kehadiran cryptitis, dengan peradangan besar dan infiltrasi neutrofilik dari kripta.
Dalam tahap HAEC yang ringan , kripta mempertahankan lendir seperti yang
terjadi pada kista fibrosis. Pada HAEC yang lebih lanjut, ada perkembangan
mikroskopik penyakit, dengan abses samar, sekumpulan debris fibrinopurulent
intraluminal, ulserasi mukosa dan perkembangan berikutnya menjadi nekrosis
transmural dan perforasi usus.

44
Temuan ini telah dijelaskan di kedua ganglionated dan usus aganglionated,
menunjukkan mekanisme yang melampaui ketiadaan sederhana ganglia. Salah
satu teori patogenesis HAEC adalah obstruksi parsial, karena aganglionosis
sendiri atau masalah bedah yang menentukan keadaan terus-menerus dari
stasis fekal dan bakteri. Kurangnya defekasi mengarah ke pertumbuhan bakteri
yang berlebihan, usus dilatasi, usus dinding peregangan, aliran darah terganggu
pada mukosa dan selanjutnya peningkatan permeabilitas dengan translokasi
bakteri. Perkembangan abnormal dari sistem saraf enterik (ENS) memainkan
peran penting dalam patogenesis HAEC. Bahkan, ENS adalah sangat penting di
dalam homeostasis usus , karena mengatur motilitas, mukosa pertahanan
kekebalan tubuh, fungsi barrier usus, dan komensal Flora mikro dengan efek
neuroimmune modulasi kompleks. Di khususnya, pleksus myenteric tampaknya
berurusan dengan peraturan motilitas usus, sedangkan pleksus mukosa sub
tampaknyaebagian besar terlibat dalam mengatur sistem neuroimmune kompleks.

Ketika ENS terganggu, integritas penghalang epitel beresiko; disfungsi


neuroimmune sehingga dapat menyebabkan penyebaran tersebut seperti lingkaran
setan inflamasi HAEC. Kelainan pada jumlah atau komposisi di musin, diproduksi
oleh sel goblet dapat berkontribusi untuk disfungsi ini. merek lendir lapisan
primer tipis terhadap invasi bakteri, mencegah dari kerusakan sel-sel epitel. Selain
itu, sel Paneth berkontribusi pada produksi lendir untuk sekresi defensin,
antimikroba protein yang memperkuat viskoelastik dan defensif sifat lapisan usus.
Hal ini juga menunjukkan bahwa kekurangan sekresi musin (Diatur oleh sel
neuroendokrin mukosa sub) dapat mempengaruhi kepatuhan organisme
enteropathogenetic, mempromosikan infeksi dan akibatnya berkontribusi pada
pengembangan HAEC.

Kelainan dari lapisan lendir telah ditunjukkan pada proksimal ganglionated


usus setelah definitif pull-melalui bedah, yang dapat berkontribusi untuk
kekambuhan pasca operasi dari HAEC. Juga sistem kekebalan tubuh mukosa yang
terlibat dalam mencegah bakteri translokasi di dalam usus. Bahkan pasien HSCR
memiliki kekurangan dalam transfer sekretori imunoglobulin IgA di mukosa usus.
Hal ini menyebabkan iklim mikro kekurangan dan telah diusulkan oleh beberapa
penulis sebagai salah satu kemungkinan penyebab HAEC. Pada pasien dengan
HAEC, produksi mukosa IgA utuh namun transfer intraluminal kekurangan,

45
dibandingkan dengan subyek kontrol, membatasi peran IgA di mukosa
pertahanan.

Pastor pada tahun 2008, mengembangkan lebih standar definisi HAEC.


Mereka menggunakan metode Delphi, suatu teknik untuk mencapai konsensus di
antara panel ahli. Penulis mengembangkan sistem penilaian dan ditetapkan
definisi HAEC mendasarkan pada 18 kriteria klinis-radiologis termasuk gejala, tes
darah, sinar-X dan riwayat pribadi.. Baik Elhalaby dan kriteria Pastor adalah alat
yang berguna untuk pengertian HAEC dan diagnosis, yang paling dapat
diandalkan sistem penilaian klinis dikembangkan untuk HAEC adalah mulai
Elhalaby yang dikelompokkan dalam tingkat keparahan HAEC menjadi tiga besar
kategori.

• Grade I: diare banyak ringan, ringan sampai distensi abdomen sedang,


tidak ada manifestasi sistemik yang signifikan;

• Kelas II: diare cukup banyak, sedang sampai distensi abdomen parah
berhubungan dengan ringan sampai sedang manifestasi sistemik (misalnya
demam, dan takikardia);

• Kelas III: diare berat, ditandai distensi abdomen,shock atau shock yang
akan terjadi.Gejala awal dari HAEC dapat dibedakan dari gastroenteritis
infektif.yang didapat. Meskipun demikian, HAEC dapat berkembang cepat
dan bahkan mengakibatkan kematian, sebagian besar ahli bedah pediatrik
akan memperlakukan semua pasien tanpa memandang diagnosis HAEC
univocal, untuk menghindari tertundanya pengobatan atau misdiagnosis.

Pencitraan diagnostik untuk HAEC sebagian besar terdiri dalam sebuah


foto polos radiografi abdomen, yang dapat memperlihatkan tipikal usus "cut-off
Sign" directo sigmoid usus dengan adanya udara distal , loop dilatasi dari usus,
udara tingkat cairan, dan udara perut bahkan gratis dalam kasus perforasi. X-ray
memiliki sensitivitas yang baik (90%) tetapi spesifisitas rendah (24%). Dalam
beberapa kasus ultrasonografi dapat digunakan untuk mengidentifikasi ascites
peritoneal atau internal yang septations yang sugestif dari peritonitis atau radang
usus.alat diagnostik disarankan lainnya termasuk endoskopi dan biopsi
mendesak.Meskipun demikian prosedur itu memiliki kelemahan. Bahkan,

46
colonscopy mungkin menunjukkan lesi seperti plak khas enterocolitis
pseudomembran sekunder Clostridium Difficile tetapi harus didekati dengan hati-
hati karena risiko perforasi. Demikian pula, peran hisap dubur biopsi kontroversial
dan tidak dianjurkan pada fase akutdari HAEC karena risiko tinggi perforasi.

Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit


Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri
dan translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel
neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile
atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan
yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan megakolon toksik yang
ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen,
dehidrasi dan syok.

Terjadinya ulserasi nekrosis akibat iskemia mukosa diatas segmen


aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pnematosis dan perforasi usus.
Proses kerusakan dinding usus mulai dari mukosa, dan dapat menyebabkan
enterokilitis. Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja,
namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada
usia 1 minggu.

Enterokolitis bukan merupakan satu-satunya penyebab diare yang dapat


mengakibatkan dehidrasi berat. Adapun komplikasi akibat metode pembedahan
yang di lakukan juga dapat menyebabkan diare berlebihan. Hal tersebut
sesuai dengan teori yang mengemukakan bahwa komplikasi pasca tindakan bedah
penyakit Hirschsprung yang dapat digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi sfingter.

Infeksi pada penyakit Hirschsprung bersumber pada kondisi obstruksi usus


letak rendah. Distensi usus mengakibatkan hambatan sirkulasi darah pada dinding
usus, sehingga dinding usus mengalami iskemia dan anoksia. Jaringan iskemik
mudah terinfeksi oleh kuman, dan kuman menjadi lebih virulen. Terjadi invasi
kuman dari lumen usus, ke mukosa, sub mukosa, lapisan muscular, dan akhirnya
ke rongga peritoneal atau terjadi sepsis. Keadaan iskemia dinding usus dapat
berlanjut yang akhirnya menyebabkan nekrosis dan perforasi.

47
Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi. Kejadian enterokolitis berdasarkan prosedur operasi yang
dipergunakan Swenson sebesar 16,9%, Boley-Soave sebesar 14,8%, Duhamel
sebesar 15,4% dan sebesar Lester Martin 20%. Gambaran klinis distensi abdomen
ada sebanyak 29 orang, diare sebanyak 38 orang, darah pada feses sebanyak 2
orang , muntah sebanyak 31 orang, dan panas ada sebanyak 22 orang.

Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap
pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi
definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah
komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan
menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien. Tahapan
kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang
ganglionik dengan bagian bawah rektum.

Dikenal beberapa prosedur tindakan definitif yaitu prosedur Swenson’s


sigmoidectomy, prosedur Duhamel, prosedur Soave’s Transanal Endorectal Pull-
Through, prosedur Rehbein dengan cara reseksi anterior, prosedur Laparoskopic
Pull-Through, prosedur dan prosedur miomektomi anorektal.

Setelah diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan maka sejumlah


tindakan praoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam
keadaan dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi
dengan pemberian cairan intravena, antibiotik, dan pemasangan pipa lambung.
Apabila sebelum operasi ternyata telah mengalami enterokolitis maka cairan
resusitasi cairan dilakukan secara agresif, pemberian antibiotik broad spektrum
secara ketat kemudian segera dilakukan tindakan dekompresi usus.

48
49
BAB III
ANALISIS KASUS

Diagnosa diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang pasca diare akut dehidrasi berat,

perbaikan post op.megacolon serta Miliaria pada pasien ini ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis
 Pasien BAB cair sejak 2 hari yang lalu (akut < 2 minggu)
 Frekuensi BAB cair ± 10 kali sehari (> 3 kali dalam 24 jam)
 Terdapat perubahan konsistensi tinja yakni cair.
 Malas minum
2. Pemeriksaan Fisik
 Tampak lemas, dan kesan gizi kurang
 Mata cowong +/+, air mata (-)
 UUB cekung (+)
 Bibir kering (+)
3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan feses rutin didapatkan konsistensi lembek, terdapat lendir

dan sedikit darah, warna feses kekuninga, namun tidak ditemukan telur cacing.

Secara mikroskopis didapatkan hasil leukosit maupun eritrosit positif, bakteri

positif serta amoeba positif sehingga kesannya adalah disentri amoeba positif.
Penatalaksanaa pada pasien ini yaitu diberi cairan rehidrasi berupa infus D5 ¼

NS 15 tpm, Ceftriaxon 1x750 mg, Ranitidin 2x10 mg, PCT 125 mg, Zink 1x10

mg.

Pada pasien ini memiliki riwayat post operasi megacolon. Tindakan Tindakan
bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa kolostomi pada
usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini dimaksudkan guna
menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu
komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah : menurunkan angka
kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus
pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan
anastomose. Kolostomi tidak dikerjakan bila dekompresi secara medic berhasil dan
direncanakan bedah efenitif langsung (Kartono, 2004).

50
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yang di buat untuk sementara atau menetap. Indikasi kolostomi adalah
dekompresi usus pada obstruksi, stoma sementara untuk bedah reseksi usus pada
radang, atau perforasi, dan sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi
anastomosis distal. Kolostomi dapat berupa stoma ikat atau stoma ujung. (Pieter,
2005).

Kolostomi dikerjakan pada:

1. Pasien neonatus  Tindakan Bedah defenitif langsung tanpa kolostomi


menimbulkan banyak komplikasi dan kematian. Kematian dapat mencapai 28,6%,
sedangkan pada bayi 1,7%. Kematian ini disebabkan oleh kebocoran anastomosis dan
abses dalam rongga pelvis.

2. Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis.

Kelompok pasien ini mempunyai kolon yang sangat terdilatasi, yang terlalu besar
untuk dianastomosiskan dengan rectum dalam bedah defenitif. Dengan tindakan
kolostomi, kolon dilatasi akan mengecil kembali setelah 3 sampai 6 bulan
pascabedaah, sehingga anastomosis lebih mudah dikerjakan dengan hasil yang lebih
baik

3. Pasien dengan enterokolitis berat dan dengan keadaan umum yang buruk.
Tindakan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi pascabedah, dengan kolostomi
pasien akan cepat mencapai perbaikan keadaan umum. Pada pasien yang tidak
termasuk dalam kategori 1, 2, dan 3 tersebut dapat langsung dilakukan tindakan bedah
definitif. Kolostomi yang bersifat sementara akan dilakukan penutupan. Berdasarkan
lubang kolostomi dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: yaitu dibuat dari bagian
proksimal usus. Segmen
1. Single barreled stoma distal dapat dibuang atau ditutup. biasanya meliputi kolon
transversum.
Kedua ujung dari2. Double barreled kolon yang direksesi dikeluarkan melalui
dinding abdominal mengakibatkan dua stoma. Stoma distal hanya mengalirkan mukus
dan stoma proksimal mengalirkan feses.
Komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung yang dapat
digolongkan atas kebocoran anastome, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi

51
sfingter. Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita penyakit
Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi bakteri dan
translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan sel neuroendokrin,
kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus
dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan yang sangat berat
enterokolitis akan menyebabkan megakolon toksik yang ditandai dengan
demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok (Rossi,
2014).

DAFTAR PUSTAKA

1. Armon, 2001. An evidence and consensus based guideline for acute diarrhoea
management.
2. Aswitha, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran; Gastroenterologi Anak.
Media Aesculapius. Jakarta, hal : 470 –471.

52
3. Ditjen PPM & PLP, 1999. Buku Ajar Diare. Jakarta, hal : 8-10.
4. IDAI, 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Badan Penerbit IDAI. Jakarta, hal :
58-62.
5. Irwanto, 2002. Ilmu Penyalit Anak; Diagnosa dan Penatalaksanaan. Salemba
Medika. Jakarta, hal : 73 – 79.
6. Subagyo, 2004. Standar Pelayanan Medis Kelompok Staf Medis Fungsional
Anak RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Surakarta, hal : 58-63.
7. WHO, 2004. Diarrhoea : Water, Sanitation and Hygiene Links to Health.
8. Henna, N et all. 2011. Children With clinical Presentations of Hirschsprung’s
Disease-A Clinicopathological Experience. Biomedica; 27: 1-4
9. Hidayat,M et all. 2009. Anorectal Function of Hirschsprung’s Patient after
Definitive Surgery. The Indonesian Journal of Medical Science; 2: 77-85
10. Izadi, M et all. 2007. Clinical manifestations of Hirschsprung’s disease: A 6-
year course review on admitted patients in Guilan, North Province of Iran.
Iranian Cardiovascular Research Journal; 1: 25-31
11. Kessmann; J. 2006. Hirschsprung’s Disease: Diagnosis and Management.
American Family Physician; 74: 1319-1322
12. Lakshmi, P; James, W. 2008. Hirschsprung’s Disease. Hershey Medical Center;
44-46
13. Prakash, M. 2011. Hirschsprung’s Disease Scientific Update. SQU Medical
Journal; 11: 138-145
14. Puri, P; Shinkai, T. 2004. Pathogenesis of Hirschsprung’s Disease and It’s
Variant : Recent Progress.University College Dublin; 13: 18-24
15. Kartono, D., 2010. Penyakit Hirschsprung. Cetakan Kedua. Sagung Seto.
Jakarta
16. Pieter, J. dkk., 2005. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Dalam
:Buku Ajar Ilmu Bedah. Cetakan Pertama. EGC. Jakarta
17. Lindseth, G. N., 2006. Gangguan Usus Besar. Dalam Patofisiologi. Edisi
Keenam. EGC. Jakarta.
18. Guyton, A. C., 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Cetakan Pertama.
EGC.Jakarta.
19. Behrman, R. E. dan William T. S., 1995. Penyakit Hirschsprung. Dalam : Ilmu
Kesehatan Anak Nelson. Cetakan Ketiga. EGC. Jakarta

53
20. Markum, A. H., 2002. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta
21. Rossi et al., J Gastroint Dig Syst 2014, 4:1; Hirschsprung Associated
Enterocolitis in http://www.omicsonline.org/open-access/hirschsprung-
associated-enterocolitis-2161-069X-4-170.pdf ,

54

Anda mungkin juga menyukai