Anda di halaman 1dari 29

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 1/29

BAB I
PENDAHULUAN
Walaupun fenomena ini tidak membatalkan operasi
A. Latar Belakang1 yang telah disepakati pasien (orangtua) dan dokter,
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling namun ternyata dapat membantu dalam proses
sering dilakukan dalam sejarah operasi. Kontroversi seleksi operasi tonsilektomi sehingga benar-benar
mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila dilakukan untuk kandidat yang tepat.
dibandingkan dengan prosedur operasi manapun.
Konsensus umum yang beredar sekarang Tonsilektomi telah dilakukan oleh dokter THT,
menyatakan bahwa tonsilektomi telah dilakukan dokter bedah umum, dokter umum dan dokter
dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada keluarga selama lebih dari 50 tahun terakhir.
anak-anak pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya Namun, dalam 30 tahun terakhir, kebutuhan akan
jumlah ini karena keyakinan para dokter dan adanya standarisasi teknik operasi menyebabkan
orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan pergeseran pola praktek operasi tonsilektomi. Saat
bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis. ini di Amerika Serikat tonsilektomi secara ekslusif
Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak hanya dilakukan oleh dokter THT.
dilakukan untuk tonsilitis berulang, namun juga
untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk Tingkat komplikasi, seperti perdarahan
kesulitan makan, kegagalan penambahan berat pascaoperasi berkisar antara 0,1-8,1% dari jumlah
badan, overbite, tounge thrust, halitosis, kasus. Kematian pada operasi sangat jarang.
mendengkur, gangguan bicara dan enuresis. Kematian dapat terjadi akibat komplikasi bedah
maupun anestesi. Tantangan terbesar selain
Saat ini walau jumlah operasi tonsilektomi telah operasinya sendiri adalah pengambilan keputusan
mengalami penurunan bermakna, namun masih dan teknik yang dilakukan dalam pelaksanaannya.
menjadi operasi yang paling sering dilakukan.
Pengeluaran pelayanan medik untuk prosedur ini B. Permasalahan
diperkirakan adalah setengah triliun dolar pertahun.
Dalam praktek sehari-hari, terdapat beberapa
Pada pertengahan abad yang lalu, mulai masalah utama seputar tonsilektomi, yaitu
terdapat pergeseran dari hampir tidak adanya penentuan indikasi tonsilektomi baik bagi anak
kriteria yang jelas untuk melakukan tonsilektomi maupun dewasa dan belum adanya koordinasi
menuju kriteria yang lebih tegas dan jelas. Selama antara masing-masing cabang ilmu kedokteran
ini telah dikembangkan berbagai studi untuk spesialis dalam hal ini. Selain itu, ditinjau dari segi
menyusun indikasi formal yang ternyata keamanan, hingga kini belum ada acuan mengenai
menghasilkan perseteruan berbagai pihak terkait. teknik terpilih dalam melakukan tindakan
Dalam penyusunannya ditemukan kesulitan untuk tonsilektomi.
memprediksi kemungkinan infeksi di kemudian hari
sehingga dianjurkan terapi dilakukan dengan C. Tujuan
pendekatan personal dan tidak berdasarkan
peraturan yang kaku. American Academy of 1. Tujuan Umum
Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar kebijakan
mengeluarkan rekomendasi resmi mengenai penerapan teknologi tonsilektomi di Indonesia.
tindakan tonsilektomi yang merupakan kesepakatan 2. Tujuan Khusus
para ahli. Mengkaji dan menyeragamkan penentuan indikasi
operasi tonsiloadenoidektomi berdasarkan bukti ilmu
Saat ini, selain hasil analisa klinis, isu di bidang kedokteran yang mutakhir dan sahih (Evidence
ekonomi mulai muncul dalam pertimbangan Based Medicine).
pemilihan suatu tindakan, karena mulai munculnya  Mensosialisasikan indikasi-indikasi tersebut
aturan yang ketat dalam pembayaran pelayanan kepada seluruh dokter THT di Indonesia agar
kesehatan oleh pembayar pihak ketiga. Pembayar dapat dilaksanakan dengan tetap
pihak ketiga mensyaratkan adanya indikasi yang mempertimbangkan imbang “Manfaat dan
jelas dan terdokumentasi sebelum suatu prosedur Risiko”.
dilakukan. Selain itu, beberapa pembayar pihak  Mengkaji dan menentukan standarisasi
ketiga juga mensyaratkan adanya second opinion. teknik operasi tonsiloadenoidektomi yang aman,
efektif dan efisien, serta dapat dikerjakan di
Indonesia.
BAB II
METODOLOGI PENILAIAN

A. Penelusuran Kepustakaan
Derajat rekomendasi :
Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan A. Evidence yang termasuk dalam level
melalui kepustakaan elektronik: Pubmed, Cochrane Ia dan Ib.
Library, New England Journal of Medicine, British B. Evidence yang termasuk dalam level
Medical Journal, Laryngoscope, Archives IIa dan II b.
Otolaryngology Head Neck Surgery, American C. Evidence yang termasuk dalam level
Academy of Pediatrics, American Society of IIIa, IIIb dan IV.
Anaesthesiologist, dalam 20 tahun terakhir (1984-
2004). Informasi juga didapatkan dari beberapa
guidelines antara lain yang disusun oleh American C. Pengumpulan Data Lokal
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
(AAO-HNS), Evidence Based Medicine Guidelines, Data lokal diperoleh dari jumlah operasi tonsilektomi
Scottish Intercollegiate Guidelines Network serta dan tonsiloadenoidektomi di RSUPNCM selama 5
hasil kajian HTA dari Catalonian Agency Health tahun terakhir dan Rumah Sakit Fatmawati selama 3
Technology Assessment Barcelona. tahun terakhir.

Kata kunci yang digunakan adalah


tonsillectomy, adenoidectomy, D. Ruang Lingkup
tonsilloadenoidectomy, tonsil, tonsillitis, technique,
anesthesia. Kajian tonsilektomi pada anak dan dewasa ini
dibatasi pada indikasi, teknik operasi serta teknik
anestesi terpilih untuk tonsilektomi.
B. Hierarchy of Evidence dan Derajat
Rekomendasi

Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai


berdasarkan evidence based medicine,
ditentukan hierarchy of evidence dan derajat
rekomendasi. Hierarchy of evidence dan
derajat rekomendasi diklasifikasikan
berdasarkan definisi dari Scottish
Intercollegiate Guidelines Network, sesuai
dengan definisi yang dinyatakan oleh US
Agency for Health Care Policy and Research.

Hierarchy of evidence:
Ia. Meta-analysis of randomised
controlled trials.
Ib. Minimal satu randomised controlled
trials.
IIa. Minimal penelitian non-randomised
controlled trials.
IIb. Cohort dan Case control studies
IIIa. Cross-sectional studies
IIIb. Case series dan case report
IV. Konsensus dan pendapat ahli
BAB III
TONSILEKTOMI

C. Embriologi dan Anatomi Tonsil12


A. Definisi
1. Embriologi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi
pengangkatan seluruh tonsil palatina.2,3 Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil invaginasi kantong brakial ke II ke dinding faring
palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya
dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. 4 terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal kantong
tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian
B. Epidemiologi yang mengalami invaginasi akan membagi lagi
dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang Kripta tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6
praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan.
tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi tersebut dan terjadi nodul pada bulan ke 6, yang
dari operator dalam pelaksanaannya.5 Di AS karena akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan
kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan
pada operasi mayor.6,7 Di Indonesia, tonsilektomi berasal dari mesenkim, dengan demikian
digolongkan pada operasi sedang karena durasi terbentuklah massa jaringan tonsil.
operasi pendek dan teknik tidak sulit.8
2. Anatomi
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah
dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi, Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang
adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap mengelilingi faring. Bagian terpentingnya adalah
tahunnya di Amerika Serikat. 9 Angka ini tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur
menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral
dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000 faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar
anak-anak di bawah 15 tahun menjalani dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding
tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.
Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani
tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) a. To
menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga nsil Palatina
ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang
dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid
tonsilektomi meningkat dari 72 per 100.000 pada yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut
tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
pada tahun 1996 (3.200 operasi).7 palatoglosus) dan pilar posterior (otot
palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai
operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil.
belum ada. Namun, data yang didapatkan dari Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris,
RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-2003) daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa
menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat Dibatasi oleh:
pada jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan  Lateral– m. konstriktor faring
puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan superior
terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). 10  Anterior – m. palatoglosus
Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam  Posterior – m. palatofaringeus
3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan  Superior – palatum mole
kecenderungan kenaikan jumlah operasi  Inferior – tonsil lingual
tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi.11 Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3
komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum
(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus
(terdiri dari jaringan linfoid). faringeal.
Fosa Tonsil
Aliran getah bening
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot
orofaring, yaitu batas anterior adalah otot Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju
palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya rangkaian getah bening servikal profunda ( deep
adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior jugular node) bagian superior di bawah M.
mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar
mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil
lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak
dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas ada.
hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada
tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak Persarafan
terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di
bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut
terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan saraf ke V melalui ganglion sfenopalatina dan
dinding lateral faring. bagian bawah dari saraf glosofaringeus.

Kapsul Tonsil Imunologi Tonsil

Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu Tonsil merupakan jaringan limfoid yang
membran jaringan ikat, yang disebut kapsul. mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan
Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit
kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim
bagian tonsil. imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen
Plika Triangularis presenting cells) yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel
bawah tonsil terdapat plika triangularis yang limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa
merupakan suatu struktur normal yang telah ada IgG.
sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi
penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit
terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi
lidah. utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama
Pendarahan produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik.
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A.
karotis eksterna, yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. b. To
fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. nsil Faringeal (Adenoid)
palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan
cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan
dengan cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A. terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang
faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari
bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara sebuah ceruk dengan celah atau kantong
kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai
asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring.
pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan
pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk
eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing- pasien dewasa harus dibedakan apakah mereka
masing anak. Pada umumnya adenoid akan mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya
mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi
kemudian akan mengalami regresi. saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk
tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada
dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut,
D. Indikasi Tonsilektomi kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi
semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak dapat sangat sederhana seperti halitosis, debris
berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif kriptus dari tonsil (“cryptic tonsillitis”) dan pada
dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat keadaan yang lebih berat dapat timbul gejala seperti
ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak di
tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi
lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan mungkin dapat berdasarkan terdapat dan beratnya
hipertrofi tonsil.9 satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien
Untuk keadaan emergency seperti adanya seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat
obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah untuk tonsilektomi karena gejala tersebut dapat
tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak
indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non mengancam nyawa.15
emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan Kontraindikasi
ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan
menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan
tidaknya dilakukan tonsilektomi.13 sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya
1. Indikasi Absolutx6 (AAO) dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan
tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan
a. Pembengkaka risiko”. Keadaan tersebut adalah: 8
n tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran 1. Gangguan perdarahan
napas, disfagia berat, gangguan tidur dan 2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
komplikasi kardiopulmoner 3. Anemia
b. Abses 4. Infeksi akut yang berat
peritonsil yang tidak membaik dengan
pengobatan medis dan drainase
c. Tonsilitis E. Persiapan Praoperasix8=gabungan
yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis 1. Penilaian Praoperasi
yang membutuhkan biopsi untuk menentukan Keputusan untuk melakukan operasi tonsilektomi
patologi anatomi pada seorang pasien terletak di tangan dokter ahli
di bidang ini, yaitu dokter spesialis telinga, hidung
2. In dan tenggorok atau dokter yang bertanggungjawab
dikasi Relatifx6 (AAO) bila dalam keadaan tertentu tidak ada dokter
spesialis THT.
a. Terjadi 3 episode Mengingat tonsilektomi umumnya dilakukan di
atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi bawah anestesi umum, maka kondisi kesehatan
antibiotik adekuat pasien terlebih dahulu harus dievaluasi untuk
b. Halitosis akibat menyatakan kelayakannya menjalani operasi
tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan tersebut. Karena sebagian besar pasien yang
pemberian terapi medis menjalani tonsilektomi adalah anak-anak dan
c. Tonsilitis kronik atau sisanya orang dewasa, diperlukan keterlibatan dan
berulang pada karier streptokokus yang tidak kerjasama dokter umum, dokter spesialis anak dan
membaik dengan pemberian antibiotik β- dokter spesialis penyakit dalam untuk memberikan
laktamase resisten penilaian preoperasi terhadap pasien. Dalam
beberapa literatur disebutkan bahwa konsultasi
Pada keadaan tertentu seperti pada abses kepada dokter spesialis anak maupun penyakit
peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapat dalam hanya dilakukan untuk kondisi tertentu oleh
dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.8 dokter spesialis THT atau anestesi. Misalnya anak
dengan malnutrisi, kelainan metabolik atau penyakit
tertentu yang dapat meningkatkan mortalitas dan
morbiditas selama dan pascaoperasi. Konsultasi ini
dapat dilakukan baik oleh dokter spesialis THT
maupun spesialis anestesi.

Penilaian preoperasi pada pasien rawat jalan dapat mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan
meminimalkan pembatalan atau penundaan operasi (American Family Physician). Penilaian preoperasi secara
umum terdiri dari penilaian klinis yang diperoleh dari anamsesis, rekam medik dan pemeriksaan fisik.
Penilaian laboratoris dan radiologik kadang dibutuhkan. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan baik di
kalangan klinisi maupun institusi pelayanan kesehatan dalam memilih pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan secara rutin atau atas indikasi tertentu. Hal ini memiliki dampak pada keselamatan pasien selain
meningkatnya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pasien, pemerintah atau pihak ketiga.

b. Anamnesis dan Rekam Medik

 Riwayat kesehatan.
 Adanya penyulit seperti asma, alergi, epilepsi, kelainan maksilofasial pada anak
dan pada orang dewasa asma, kelainan paru, diabetes melitus, hipertensi, epilepsi, dll.
 AFP: riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan usia kelahiran), imunisasi, infeksi
terakhir terutama infeksi saluran napas khususnya pneumonia, Penyakit kronik terutama paru-paru dan
jantung, kelainan anatomi, obat yang sedang dan pernah digunakan beserta dosisnya.
 Riwayat operasi terdahulu dan riwayat anestesi
c. Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum
 Status gizi: malnutrisi
 Penilaian jantung dan paru: peningkatan tekanan darah, murmur pada jantung, tanda-tanda
gagal jantung kongestif dan penyakit paru obstruktif menahun.
 Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter spesialis THT untuk pasien dengan penyulit
berupa kelainan anatomis, kelainan kongenital di daerah orofaring dan kelainan fungsional. Pada pasien
ini, kelainan yang telah ada dapat menyulitkan proses operasi. Selain itu penting untuk
mendokumentasikan semua temuan pemeriksaan fisik dalam rekam medik.

d. Pemeriksaan Penunjang17

Berdasarkan hasil kajian HTA Indonesia 2003 tentang persiapan rutin prabedah elektif, maka pemeriksaan
penunjang yang direkomendasikan untuk tonsilektomi adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan darah tepi: Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit
2) Pemeriksaan hemostasis: BT/CT, PT/APTT

Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan atas indikasi. (lihat tabel 1)

TABEL 1. PERSIAPAN PRABEDAH ELEKTIF17

PERSIAPAN ANAK (0-18 tahun) DEWASA (>18 tahun)

Jawaban Rekomendasi Jawaban Rekomendasi

Darah tepi Pemeriksaan darah tepi lengkap rutin Pemeriksaan darah tepi lengkap
YA (Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, TIDAK dilakukan pada pasien dengan
trombosit) dilakukan pada anak usia<5 penyakit hati, riwayat anemia,
tahun, sedangkan untuk anak usia ≥ 5 perdarahan dan kelainan darah
tahun pemeriksaan darah tepi dilakukan lainnya, serta tergantung tipe dan
atas indikasi, yaitu pasien yang derajat invasif prosedur operasi.
diperkirakan menderita anemia
defisiensi, pasien dengan penyakit
jantung, ginjal, saluran napas atau
infeksi .
Kimia darah Pemeriksaan kimia darah dilakukan bila Pemeriksaan kimia darah rutin
TIDAK terdapat risiko kelainan ginjal, hati, TIDAK hanya dilakukan pada pasien usia
endokrin, terapi perioperatif, dan lanjut, adanya kelainan endokrin,
pemakaian obat alternatif. kelainan fungsi ginjal dan hati,
pemakaian obat tertentu atau
pengobatan alternatif.
Hemostatis Pemeriksaan hemostasis dilakukan pada Pemeriksaan hemostasis dilakukan
TIDAK pasien dengan riwayat atau kondisi TIDAK pada pasien yang memiliki riwayat
klinis mengarah pada kelainan kelainan koagulasi, atau riwayat
koagulasi, akan menjalani operasi yang terbaru yang mengarah pada
dapat menimbulkan gangguan kelainan koagulasi, atau sedang
koagulasi (seperti cardiopulmonary by- memakai obat antikoagulan,
pass), ketika dibutuhkan hemostasis pasien yang memerlukan
yang adekuat (seperti tonsilektomi), antikoagulan pascabedah, pasien
dan kemungkinan perdarahan yang memiliki kelainan hati dan
pascabedah (seperti operasi saraf). ginjal.

PERSIAPAN ANAK (0-18 tahun) DEWASA (>18 tahun)

Jawaban Rekomendasi Jawaban Rekomendasi

Urinalisis Pemeriksaan urin rutin dilakukan pada Pemeriksaan urin rutin dilakukan
TIDAK operasi yang melibatkan manipulasi TIDAK pada operasi yang melibatkan
saluran kemih dan pasien dengan manipulasi saluran kemih dan
gejala infeksi saluran kemih. pasien dengan gejala infeksi
saluran kemih.
Foto toraks Pemeriksaan foto toraks rutin prabedah Pemeriksaan foto toraks dilakukan
TIDAK tidak perlu dilakukan. TIDAK pada pasien usia di atas 60 tahun,
pasien dengan tanda dan gejala
penyakit kardiopulmonal, infeksi
saluran napas akut, riwayat
merokok.

EKG Hanya dilakukan atas indikasi Pemeriksaan EKG dilakukan pada


TIDAK TIDAK pasien dengan diabetes mellitus,
hipertensi, nyeri dada, gagal
jantung kongestif, riwayat
merokok, penyakit vaskular perifer,
dan obesitas, yang tidak memiliki
hasil EKG dalam 1 tahun terakhir
tanpa memperhatikan usia. Selain
itu EKG juga dilakukan pada pasien
dengan gejala kardiovaskular
periodik atau tanda dan gejala
penyakit jantung tidak stabil
(unstable), dan semua pasien
berusia usia >40 tahun.
Fungsi Paru Hanya dilakukan atas indikasi Pemeriksaan spirometri dilakukan
TIDAK TIDAK pada pasien dengan riwayat
merokok atau dispnea yang akan
menjalani operasi pintasan
(bypass) koroner atau abdomen
bagian atas; pasien dengan
dispnea tanpa sebab atau gejala
paru yang akan menjalani operasi
leher dan kepala, ortopedi, atau
abdomen bawah; semua pasien
yang akan menjalani reseksi paru
dan semua pasien usia lanjut.
Puasa Lihat tabel 2 Lihat tabel 2
YA YA

e. Informed consent8 f. Persiapan praoperasi17

Informed consent perlu diberikan kepada pasien Puasa harus dilakukan sebelum operasi dilakukan.
sehubungan dengan risiko dan komplikasi yang Lama puasa dapat dilihat pada tabel 2, berdasarkan
potensial akan dialami pasien. umur pasien.
Tabel 2. JANGKA WAKTU PUASA PERSIAPAN RUTIN PRABEDAH ELEKTIF17

Usia Jangka waktu puasa


Makanan padat Cairan jernih
Anak <6 bulan 4 jam 2 jam
6 –36 bulan 6 jam 3 jam
>36 bulan 8 jam 3 jam
Dewasa 8 jam 3 jam

2. Penilaian Praanestesia

Penilaian preanestesia (preanesthesia evaluation) merupakan proses evaluasi/penilaian klinis yang dilakukan
sebelum melaksanakan pelayanan anestesi baik untuk prosedur bedah maupun nonbedah. Penilaian
preanestesi ini merupakan tanggung jawab dokter ahli anestesia dan terdiri dari: 18

a. Anamnesis dan Evaluasi rekam medik

Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan sangat bermanfaat dalam mengetahui riwayat kesehatan dan
penyakit yang pernah atau sedang diderita pasien. Terutama adanya infeksi saluran pernapasan atas yang
dapat mengganggu manajemen anestesi. Sehingga dapat dilakukan pelayanan anestesi yang baik dan
persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan komplikasi yang mungkin akan dihadapi dokter anestesi yang
bersangkutan. Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat kondisi-kondisi tertentu yang didapatkan dengan
anamnesis disamping data dari rekam medik.

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik minimum: evaluasi jalan napas, test Malampatti untuk feasibility intubasi , evaluasi paru-
paru, jantung dan catatan mengenai tanda vital pasien.

Penilaian praanestesia dilakukan sebelum pelaksanaan operasi.

b. Tes praoperasi

Tes yang dilakukan sebelum operasi terdiri dari tes rutin dan tes yang dilakukan atas dasar indikasi tertentu.

F. Teknik Operasi Tonsilektomi

Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi oleh Cornelius
Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan. 9,19 Selama bertahun-tahun, berbagai teknik dan instrumen
untuk tonsilektomi telah dikembangkan. Sampai saat ini teknik tonsilektomi yang optimal dengan morbiditas
yang rendah masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak
seperti kebanyakan operasi dimana luka sembuh per primam, penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi
per sekundam.19

Diskusi terkini dalam memilih jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan
perioperatif dan pascaoperatif serta durasi operasi. 19 Selain itu juga ditentukan oleh kemampuan dan
pengalaman ahli bedah serta ketersediaan teknologi yang mendukung. 20 Beberapa teknik dan peralatan baru
ditemukan dan dikembangkan di samping teknik tonsilektomi standar. 9
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.

1. Guillotine

Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang
cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Namun tidak ada literatur yang menyebutkan kapan tepatnya
metode ini mulai dikerjakan. Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya merupakan
pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang
untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.5

Laporan operasi tonsilektomi pertama dilakukan oleh Celcus pada abad ke-1, kemudian Albucassis di
Cordova membuat sebuah buku yang mengulas mengenai operasi dan pengobatan secara lengkap dengan
teknik tonsilektomi yang menggunakan pisau seperti guillotine. Greenfield Sluder pada sekitar akhir abad ke-
19 dan awal abad ke-20 merupakan seorang ahli yang sangat merekomendasikan teknik Guillotine dalam
tonsilektomi. Beliau mempopulerkan alat Sluder yang merupakan modifikasi alat Guillotin. 5

Hingga kini, di UK tonsilektomi cara guillotine masih banyak digunakan. Hingga dikatakan bahwa teknik
Guillotine merupakan teknik tonsilketomi tertua yang masih aman untuk digunakan hingga sekarang. Negara-
negara maju sudah jarang yang melakukan cara ini, namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan.
Di Indonesia, terutama di daerah masih lazim dilkukan cara ini dibandingkan cara diseksi. 5

Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat, komplikasi anestesi kecil,
biaya kecil.21

2. Diseksi

Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Hanya sedikit ahli THT yang secara rutin
melakukan tonsilektomi dengan teknik Sluder.22 Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah
mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat pembuka mulut
Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak digunakan
pada pasien anak.x11
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan desain yang lebih baik untuk
tonsilektomi, prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak berubah. Pasien menjalani anestesi umum ( general
endotracheal anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi
membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan
manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi
pada daerah tersebut dengan salin.9

Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan benar dengan mouth gag pada
tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh ahli bedah dan harus diposisikan serta dicek fungsinya sebelum
tindakan dimulai. Mouth gag diselipkan dan bilah diposisikan sehingga pipa endotrakeal terfiksasi aman
diantara lidah dan bilah. Mouth gag paling baik ditempatkan dengan cara membuka mulut menggunakan
jempol dan 2 jari pertama tangan kiri, untuk mempertahankan pipa endotrakeal tetap di garis tengah lidah.
Mouth gag diselipkan dan didorong ke inferior dengan hati-hati agar ujung bilah tidak mengenai palatum
superior sampai tonsil karena dapat menyebabkan perdarahan. Saat bilah telah berada diposisinya dan pipa
endotrakeal dan lidah di tengah, wire bail untuk gigi atas dikaitkan ke gigi dan mouth gag dibuka. Tindakan
ini harus dilakukan dengan visualisasi langsung untuk menghindarkan kerusakan mukosa orofaringeal akibat
ujung bilah. Setelah mouth gag dibuka dilakukan pemeriksaan secara hati-hati untuk mengetahui apakah pipa
endotrakeal terlindungi adekuat, bibir tidak terjepit, sebagian besar dasar lidah ditutupi oleh bilah dan kutub
superior dan inferior tonsil terlihat. Kepala di ekstensikan dan mouth gag dielevasikan. Sebelum memulai
operasi, harus dilakukan inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan palatum durum dan molle. 1

Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur garis tengah untuk tempat pipa
endotrakeal (ring blade). Bilah mouth gag tersedia dalam beberapa ukuran. Anak dan dewasa (khususnya
wanita) menggunakan bilah no. 3 dan laki-laki dewasa memerlukan bilah no. 4. Bilah no. 2 jarang digunakan
kecuali pada anak yang kecil. Intubasi nasal trakea lebih tepat dilakukan dan sering digunakan oleh banyak
ahli bedah bila tidak dilakukan adenoidektomi. 1

Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan disamping teknik diseksi standar, yaitu:

1. Electrosurgery (Bedah listrik)20


Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum, karena mudah memicu terjadinya
ledakan. Namun, dengan makin berkembangnya zat anestetik yang nonflammable dan perbaikan peralatan
operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik makin meluas.

Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi radiofrekuensi) untuk
menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar
pada 0.1 hingga 4 MHz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi
saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena
adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien
termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway).

Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade, monopolar suction, bipolar
dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk
memotong, menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang dapat
melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur. Dapat pula digunakan sebagai
tambahan pada prosedur operasi lain.

2. Radiofrekuensi24

Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan. Densitas baru di sekitar ujung elektroda
cukup tinggi untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6
minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan jaringan
juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada medium penghantar seperti larutan salin. Partikel
yang terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan.
Karena proses ini terjadi pada suhu rendah (400C-700C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak.
Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie, Elmed Surgitron system (bekerja pada
frekuensi 3,8 MHz), the Somnus somnoplasty system (bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare coblation
system dan Argon plasma coagulators. Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, ablasi
sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat menurunkan morbiditas
tonsilektomi. Namun masih diperlukan studi yang lebih besar dengan desain yang baik untuk mengevaluasi
keuntungan dan analisa biaya dari teknik ini.

3. Skalpel harmonik25

Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasikan jaringan
dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan
elektrokauter dan laser. Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur
sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya 150 0C-4000C), sedangkan dengan
skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 50 0C -1000C). Sistim skalpel
harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.

Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang bergetar dengan frekuensi 55,5
kHz sejauh lebih dari 80 µm (paling penting), dan hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung
pemotong saat kontak dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan tekanan jaringan
internal, sehingga menyebabkan fragmentasi berongga dan pemisahan jaringan. Koagulasi muncul ketika
energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah ikatan hidrogen tersier menjadi protein denaturasi dan
melalui pembentukan panas dari friksi jaringan internal akibat vibrasi frekuensi tinggi.

Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding teknik bedah lain, yaitu:
 Dibandingkan dengan elektrokauter atau laser, kerusakan akibat panas minimal
karena proses pemotongan dan koagulasi terjadi pada temperatur lebih rendah dan c harring, desiccation
(pengeringan) dan asap juga lebih sedikit. Tidak seperti elektrokauter, skalpel harmonik tidak memiliki
energi listrik yang ditransfer ke atau melalui pasien, sehingga tidak ada stray energi (energi yang
tersasar) yang dapat menyebabkan shock atau luka bakar.
 Dibandingkan teknik skalpel, lapangan bedah terlihat jelas karena lebih sedikit
perdarahan, perdarahan pasca operasi juga minimal.
 Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan elektrokauter, teknik ini
mengurangi nyeri pascaoperasi.
 Teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa mentoleransi
kehilangan darah seperti pada anak-anak, pasien dengan anemia atau defisiensi faktor VIII dan pasien
yang mendapatkan terapi antikoagulan.

4. Coblation26

Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated tonsillar ablation, ionised field tonsillar ablation;
radiofrequency tonsillar ablation; bipolar radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation.

Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan listrik radiofrekuensi ( radiofrequency
electrical) baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium yang dapat
merusak jaringan sekitar. Coblation probe memanaskan jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan probe
diatermi standar (suhu 600C (45-850C) dibanding lebih dari 1000C).

National Institute for clinical excellence menyatakan bahwa efikasi teknik coblation sama dengan teknik
tonsilektomi standar tetapi teknik ini bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah
perdarahan.

5. Intracapsular partial tonsillectomy27

Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan menggunakan


mikrodebrider endoskopi. Meskipun mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk
tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam
membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.

Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk menghindari terlukanya otot-otot faring
akibat tindakan operasi dan memberikan lapisan “pelindung biologis” bagi otot dari sekret. Hal ini akan
mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya peradangan lokal yang menimbulkan nyeri,
sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu pemulihan. Jaringan tonsil yang tersisa
akan meningkatkan insiden tonsillar regrowth. Tonsillar regrowth dan tonsilitis kronis merupakan hal yang
perlu mendapat perhatian khusus dalam teknik tonsilektomi intrakapsuler. Tonsilitis kronis dikontraindikasikan
untuk teknik ini.

Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca operasi lebih rendah dibanding
tonsilektomi standar. Tetapi masih diperlukan studi dengan desain yang baik untuk menilai keuntungan teknik
ini.

6. Laser (CO2-KTP)28

Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP ( Potassium Titanyl Phospote) untuk menguapkan dan
mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan ‘recesses’ pada tonsil
yang meyebabkan infeksi kronik dan rekuren.

LTA dilakukan selama 15-20 menit dan dapat dilakukan di poliklinik dengan anestesi lokal. Dengan teknik ini
nyeri pascaoperasi minimal, morbiditas menurun dan kebutuhan analgesia pascaoperasi berkurang. Tekhnik
ini direkomendasikan untuk tonsilitis kronik dan rekuren, sore throat kronik, halitosis berat atau obstruksi
jalan nafas yang disebabkan pembesaran tonsil.

G. Penyulit

Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus dalam melakukan tonsilektomi maupun
tonsiloadenoidektomi pada anak dan dewasa:4
1. Kelainan anatomi:
- Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan)
- Kelainan maksilofasial dan dentofasial
2. Kelainan pada komponen darah:
- Hemoglobin < 10 g/100 dl
- Hematokrit < 30 g%
- Kelainan perdarahan dan pembekuan (Hemofilia)
3. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain
4. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI)
5. Multiple Allergy
6. Penyakit lain, seperti:
- Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain
- Hipertensi dan penyakit kardiovaskular
- Obesitas, kejang demam, epilepsi

H. Teknik Anestesi29
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan dan
keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Di
Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi
kecuali di rumah sakit pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan.

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa anestesi umum biasanya dilakukan untuk tonsilektomi pada anak-
anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dan gelisah. Pilihan untuk menggunakan anestesi lokal bisa
merupakan keputusan pasien yang tidak menginginkan tonsilektomi konvensional atau dalam keadaan yang
tidak memungkinkan untuk menjalani anestesi umum. Biasanya ditujukan untuk tonsilektomi pada orang
dewasa. Dimana sebelumnya pasien telah diseleksi kondisi kesehatannya terlebih dahulu dan
mempertimbangkan tingkat keterampilan dokter bedah yang bersangkutan sehingga pasien dinilai dapat
mentoleransi teknik anestesi ini dengan baik.

Tujuan tindakan anestesi pada operasi tonsilektomi dan adenoidektomi:


1. Melakukan induksi dengan lancar dan atraumatik
2. Menciptakan kondisi yang optimal untuk pelaksanaan operasi
3. Menyediakan akses intravena yang digunakan untuk masuknya cairan atau obat-obatan yang dibutuhkan
4. Menyediakan rapid emergence.

Premedikasi30
Pemberian premedikasi ditentukan berdasarkan evaluasi preoperasi. Saat pemberian obat premedikasi
dilakukan setelah pasien berada di bawah pengawasan dokter/perawat terlatih. Anak-anak dengan riwayat
sleep apneu atau obstruksi saluran napas intermitten atau dengan tonsil yang sangat besar harus lebih
diperhatikan.

Anestesi Umum
Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan tonsiloadenoidektomi. Obat anestesia eter tidak boleh
digunakan lagi jika pembedahan menggunakan kauter/diatermi. Teknik anestesi yang dianjurkan adalah
menggunakan pipa endotrakeal, karena dengan ini saturasi oksigen bisa ditingkatkan, jalan napas terjaga
bebas, dosis obat anestesi dapat dikontrol dengan mudah. Dokter ahli anestesi serta perawat anestesi
walaupun berada di luar lapangan operasi namun masih memegang kendali jalan napas. 31

1. Anestesi endotrakea30,31
- Pasien dibaringkan di atas meja operasi. Pasang elektroda dada untuk monitor ECG (bila tidak ada, dapat
menggunakan precordial stetoskop). Manset pengukur tekanan darah dipasang di lengan dan infus
dextrose 5% atau larutan Ringer dipasang di tangan.
- Jika sulit mencari akses vena pada anak kecil, induksi anestesi dilakukan dengan halotan. Karena halotan
menyebabkan dilatasi pembuluh darah superfisial, infus menjadi lebih mudah dipasang setelah anak tidur.
- Pada anak, induksi menggunakan sungkup dapat dilakukan dengan halotan atau sevoflurane dengan
oksigen dan nitrous oxide. Kehadiran orangtua di ruang operasi selama induksi inhalasi bisa membantu
menenangkan anak yang gelisah.
- Intubasi endotrakea dilakukan dalam anestesi inhalasi yang dalam atau dibantu dengan pelemas otot
nondepolarisasi kerja pendek. Untuk menghindari masuknya darah ke dalam trakea, jika ETT tidak
memiliki cuff, perlu diletakkan kasa bedah di daerah supraglotik tepat di atas pita suara dan sekitar
endotrakeal tube.
- Selama maintenance, pernapasan dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).
- Antisialalogue (atropin) dapat diberikan untuk meminimalkan sekresi di lapangan operasi.
- Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap (suction), dilakukan oksigenasi
dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi, dipasang pharyngeal airway dan oksigenasi dilanjutkan
dengan sungkup.
- Ekstubasi dapat dilakukan bila pasien sudah sadar, dimana jalan napas sudah terjagabebas ( intact
protective airway reflexes).32 Ekstubasi juga dapat dilakukan saat pasien masih dalam anestesi dalam.
Pemberian lidocaine 1-1.5 mg/kg IV bisa mengurangi risiko batuk dan laringospasme pada saat ekstubasi.
- Pasien kemudian dibaringkan dengan dengan posisi lateral dengan kepala lebih rendah daripada panggul
(tonsil position) sehingga memudahkan sisa-sisa darah mengumpul di sekitar pipi dan mudah dihisap
keluar.
- Kejadian mual dan muntah setelah tonsilektomi adalah sebesar 60% sehingga dapat diberikan antiemetik
sebagai pencegahan.

Perdarahan pascatonsilektomi32
- Pada perdarahan pasca tonsilektomi, lambung pasien bisa penuh berisi darah yang tertelan. Darah dalam
lambung dapat memicu muntah secara spontan maupun pada waktu induksi anestesi untuk re-operasi.
Pengosongan lambung dengan oro/nasogastric tube diperlukan sebelum anestesi.

Perkembangan baru adalah menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA) sebagai pengganti pipa endotrakeal.
Keuntungan LMA dibanding ETT adalah berkurangnya risiko stridor postoperasi. Obstruksi saluran napas
postoperasi juga lebih sedikit. Tetapi cara ini memerlukan perhatian khusus seperti: 30
- Selama anestesi anak harus bernapas spontan. Pemberian ventilasi tekanan positif akan meningkatkan
risiko regurgitasi isi lambung terutama bila tahanan jalan napas besar dan compliance paru rendah.
- Pemasangan LMA akan sulit pada pasien dengan pembesaran tonsil.
- LMA harus dilepaskan sebelum pasien sadar kembali.
- Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi harus ditimbang juga dengan risiko yang mungkin terjadi
dan pengambilan keputusan harus berdasarkan pertimbangan per individu.

2. Modifikasi Crowe-Davis mouth gag31

Keberatan dokter ahli THT tentang penggunaan intubasi endotrakeal adalah karena pipa ETT menyita
lapangan operasi. Dengan modifikasi Crowe-Davis mouth gag ETT dapat diletakkan pada celah sepanjang
permukaan bawah dari bilah lidah. Sehingga lapang operasi menjadi bebas.

Pengamatan selama operasi


Selama operasi yang harus dipantau:
- Jalan napas tetap bebas, posisi ETT yang baik tidak mengganggu operasi
- Pernapasan dan gerak dada cukup
- (kalau ada) Saturasi oksigen di atas 95%
- Denyut nadi yang teratur
- Jumlah perdarahan dan jumlah cairan infus yang masuk

Alat monitoring tambahan yang dianjurkan:


- Pulse oxymetri
Pada pasien yang menjalani tonsilektomi untuk tatalaksana obstructive sleep apnea, ketersediaan
monitoring postoperatif dan pulseoksimetri merupakan keharusan. Begitu juga dengan pasien dengan
sindroma Down yang bisa mengalami depresi susunan saraf pusat untuk waktu yang lama setelah anestesi
umum selama tonsilektomi berlangsung.
Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan (PACU-Post anesthesia care unit)
Pasca operasi, pasien dibaringkan dalam posisi tonsil. Yaitu dengan berbaring ke kiri dengan posisi kepala
lebih rendah dan mendongak.33 Pasien diobservasi selama beberapa waktu di ruang pemulihan untuk
meminimalkan komplikasi selain untuk memaksimalkan efektivitas biaya dari pelayanan kesehatan. Saat ini,
pasien yang menjalani tonsilektomi sudah bisa pulang pada hari yang sama untuk pasien-pasien yang telah
diseleksi secara tepat sebelumnya. Belum ada kesepakatan mengenai lama observasi optimum sebelum
pasien dipulangkan. Umumnya, observasi dilakukan selama minimal 6 jam untuk mengawasi adanya
perdarahan dini.30
Evaluasi keadaan/status pasien di unit perawatan pascaanestesi (PACU) memerlukan dokter spesialis
anestesi, perawat dan dokter ahli bedah yang bekerja sebagai sebuah tim. Bersama-sama, dilakukan
observasi adanya masalah terkait medis, bedah dan anestesi dengan tujuan dapat memberikan terapi secara
cepat sehingga dapat meminimalkan efek komplikasi yang timbul.

Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi respirasi, frekuensi
denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Frekuensi pemeriksaan tergantung kondisi pasien,
namun paling sering dilakukan setiap 15 menit untuk jam pertama dan selanjutnya setiap setengah jam.

Untuk menentukan secara objektif kapan pasien bisa dipulangkan, dapat digunakan sistem skoring.
Sistem yang saat ini digunakan secara luas adalah Skor Aldrete yang dimodifikasi:
- Kesadaran
2= sadar penuh
1= respons bila nama dipanggil
0= tidak ada respons

- Aktivitas atas perintah


2= menggerakkan semua ektrimitas
1= menggerakkan 2 ekstrimitas
0= tidak bergerak

- Pernapasan
2= bernapas dalam tanpa hambatan
1= dispneu, hiperventilasi, obstruksi
pernapasan
0= apneu
- Sirkulasi
2= tekanan darah dalam kisaran 20%
nilai preoperasi
1= tekanan darah dalam kisaran 50-
20% nilai preoperasi
0= tekanan darah 50% atau kurang
dari nilai preoperasi

- Saturasi oksigen
2= SpO2 > 92% pada udara ruangan
1= dibutuhkan tambahan O2 untuk
mempertahankan SpO2 > 92%
0= SpO2 < 92% dengan tambahan O2

Skor total= 10; skor < atau = 9 membutuhkan PACU

Perawatan postoperasix20
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah yang secara jelas menyatakan bahwa
memberikan pasien diet biasa akan menyebabkan perdarahan postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian
cairan secara rutin saat pasien bangun dan secara bertahap pindah ke makanan lunak merupakan standar di
banyak senter. Cairan intravena diteruskan sampai pasien berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai
intake oral. Kebanyakan pasien bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah operasi dan bisa
dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral secara adekuat, muntah berlebihan atau
perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai pasien dalam keadaan stabil. Pengambilan keputusan untuk tetap
mengobservasi pasien sering hanya berdasarkan pertimbangan perasaan ahli bedah daripada adanya bukti
yang jelas dapat menunjang keputusan tersebut.

Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi randomized oleh Grandis
dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara berkurangnya nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan
antibiotika postoperasi. Antibiotika yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora rongga mulut,
biasanya penisilin yang diberikan per oral. Pasien yang menjalani tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses
peritonsil atau memiliki riwayat faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan antibiotika.
Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin pada pasien dengan kelainan
jantung.

Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga, analgesia yang berlebihan bisa
menyebabkan berkurangnya intake oral karena letargi. Selain itu juga bisa menyebabkan bertambahnya
pembengkakan di faring. Sebelum operasi, pasien harus dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi
selesai untuk mengurangi keluhan pembengkakan faring dan pada akhinya rasa nyeri.

I. Komplikasi

Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal, sehingga
komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar
1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi anestesi
dalam 5-7 hari setelah operasi.35

1. Komplikasi anestesi30
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi dan adenoidektomi
(brookwood ent associates). Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun
komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
- Laringospasme
- Gelisah pasca operasi
- Mual muntah
- Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi32
- Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan
henti jantung32
- Hipersensitif terhadap obat anestesi

2. Komplikasi bedahx22

a. Perdarahan.

Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus). 37 Perdarahan dapat terjadi selama operasi,
segera sesudah operasi atau di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien. Sebanyak 1
dari 100 pasien kembali karena masalah perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi
darah.

Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early bleeding, perdarahan primer atau
“reactionary haemorrage” dengan kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat selama
operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat berbahaya, karena terjadi
sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk belum sempurna. Darah dapat menyumbat
jalan napas sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan syok.
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed bleeding atau perdarahan sekunder.
Umumnya terjadi pada hari ke 5-10 pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%.
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, bisa karena infeksi sekunder pada fosa tonsilar yang
menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan perdarahan dan trauma makanan yang keras.

b. Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi
dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali
oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.

Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi. Penggunaan elektrokauter
menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik “cold” diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascabedah bisa
dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat
kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani
di rumah, perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.

3. Komplikasi lain

Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan
uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.
BAB IV
HASIL DAN DISKUSI

A. Indikasi memutuskan bedah adenotonsilar untuk pasiennya.


Dilaporkan bahwa indikasi absolut
Catalonian Agency Health Technology Assessment tonsiloadenoidektomi adalah hiperplasia
(CAHTA) dalam laporannya tahun 1999 menyatakan adenotonsilar dengan obstructive sleep apnea, gagal
bahwa meskipun bukti empiris praktek tonsilektomi tumbuh (failure to thrive) atau perkembangan
masih sedikit, tetapi terdapat kesepakatan diantara dentofacial abnormal; kecurigaan keganasan; dan
para ahli mengenai kegunaan tonsilektomi pada (untuk tonsilektomi) tonsillitis perdarahan. Indikasi
kasus infeksi berulang. Akan tetapi terdapat relatif tonsiloadenoidektomi adalah hiperplasia
kontroversi mengenai keparahan dan frekuensi adenotonsilar dengan obstruksi saluran nafas atas,
infeksi tersebut dan waktu yang optimal untuk disfagia, penurunan kemampuan bicara dan
melakukan tindakan karena kurangnya bukti ilmiah halitosis. Indikasi relatif lain untuk adenoidektomi
yang ada. Berbagai perkumpulan ilmuwan dan saja adalah otitis media dan rinosinusitis atau
tenaga ahli mengeluarkan rekomendasi untuk adenoiditis rekuren atau kronik. Indikasi relatif lain
praktek tonsilektomi, umumnya berusaha mereview untuk tonsilektomi saja adalah faringotonsilitis
bukti ilmiah yang ada dan karena kurangnya bukti rekuren atau kronik, abses peritonsilar dan infeksi
ilmiah, rekomendasi sebagian besar berdasarkan streptokokus.6
konsensus diantara tenaga ahli.3
Cochrane review (2004) melaporkan bahwa 1. Anak
efektivitas tonsilektomi belum dievaluasi secara
formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk a. Infeksi Tenggorok Berat dan
pengobatan tonsillitis akut atau kronik, tetapi tidak Berulang 2,7,38

ada bukti ilmiah randomized controlled trials untuk


panduan klinisi dalam memformulasikan indikasi Paradise dkk. (1984) melakukan randomized dan
bedah untuk anak dan dewasa. Tidak ditemukan nonrandomized clinical trials secara paralel pada
studi RCT yang mengkaji efektivitas tonsilektomi 187 anak yang berusia 3-15 tahun dengan infeksi
pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT tenggorok berat dan berulang. Dilaporkan bahwa
(Mawson 1967; McKee 1963; Roydhouse 1970; pada pemantauan selama 2 tahun pascaoperasi,
Paradise 1984; Paradise 1992), tetapi yang insiden infeksi tenggorok pada kelompok operasi
diikutkan dalam review hanya 2 studi (Paradise lebih rendah dan bermakna secara statistik (p≤0,05)
1984; Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak dibanding kelompok nonoperasi. Setelah tiga tahun
memenuhi kriteria. Studi pertama oleh Paradise pemantauan tidak terdapat perbedaan bermakna
(1984), dilakukan pada anak yang dengan infeksi diantara kedua kelompok. Pada pemantauan tiap
tenggorok berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat tahun kelompok nonoperasi, ditemukan bahwa
kesimpulan yang tegas tentang tonsilektomi karena episode infeksi < 3 kali dan sebagian besar infeksi
adanya keterbatasan metodologi yaitu adanya ringan.
perbedaan kelompok operasi dengan kelompok
kontrol dalam hal riwayat episode infeksi sebelum Hasil studi ini mendukung tonsilektomi untuk
mengikuti studi (kelompok operasi meliputi anak anak-anak dengan kriteria yang sesuai dengan studi
dengan penyakit yang lebih berat) dan status sosial ini (memiliki ≥7 episode infeksi tengggorokan pada
ekonomi (kelompok nonoperasi memiliki status tahun sebelumnya atau ≥5 episode tiap tahun pada
sosial ekonomi yang lebih tinggi) serta kelompok 2 tahun sebelumnya atau ≥3 episode tiap tahun
tonsilektomi dan tonsilo-adenoidektomi dilaporkan pada 3 tahun sebelumnya; episode ditandai dengan
sebagai satu kelompok operasi. Disamping itu, studi gambaran klinik spesifik [temperatur >38,5 0C,
ini meliputi hanya anak dengan infeksi tenggorok adenopati servikal >2 cm, terdapat eksudat pada
berat, pada pemantauan, banyak kelompok kontrol tonsil atau kultur positif streptokokus -hemolitikus
yang memiliki episode infeksi sedikit dan biasanya kelompok A (GABHS)]; telah diobati dengan
ringan. Studi kedua oleh Paradise (1992) meliputi antibiotika ketika infeksi streptokokus diduga atau
anak dengan infeksi sedang tidak dapat dievaluasi terbukti; dan setiap episode didokumentasikan),
karena saat review dilakukan tidak ada data yang tetapi juga mendukung untuk penanganan
lebih detil dari desain dan bagaimana penelitian ini nonoperasi, sehingga pilihan terapi untuk anak-anak
dilakukan (hasil penelitian baru dalam bentuk tersebut harus berdasarkan individualisasi. Saat ini
abstrak).2 penelitian ini hanya dipublikasikan dalam bentuk
Darrow dan Siemens (2002) melakukan review abstrak sehingga tidak dapat dilakukan telaah lebih
uji klinis untuk memberikan dasar bagi klinisi dalam lanjut.
c. Infeksi Tenggorok Ringan39
b. Infeksi Tenggorok Sedang dan Staaj dkk. (2004) melakukan sebuah RCT yang
Berulang7 melibatkan 300 pasien anak berusia 2 sampai 8
tahun yang mengalami infeksi tenggorok berulang,
Paradise dkk. (1992) melakukan 2 randomized, obstruksi saluran napas atau infeksi saluran napas
unblinded, controlled trials secara paralel di atas berulang dan membutuhkan
Pittsburgh pada 203 anak. Keluaran utama berupa tonsiloadenoidektomi.
timbulnya episode infeksi tenggorok dalam follow up
selama 3 tahun. Dilaporkan bahwa insidens infeksi Anak-anak yang menjalani tonsiloadenoidektomi
tenggorok secara signifikan lebih rendah pada mengalami episode demam 0.21 lebih rendah (95%
kelompok yang menjalani operasi dibandingkan CI -0.12 – 0.54) dibandingkan anak-anak yang
dengan kelompok kontrol selama 3 tahun hanya diobservasi ketat. Pada 6 bulan pertama
pemantauan. Namun, di antara pasien dalam observasi, jumlah episode demam lebih sedikit pada
kelompok kontrol, episode infeksi sedang maupun kelompok tonsiloadenoidektomi, namun setelah 6
rendah secara rata-rata memang rendah (berkisar bulan tidak terdapat perbedaan pada kedua
antara 0.16-0.43 per tahun). kelompok. Dibandingkan dengan kelompok
observasi ketat, pasien pada kelompok
Untuk studi ini, kriteria inklusi yang digunakan tonsiloadenoidektomi memiliki episode infeksi
untuk sampel adalah berusia 3 sampai 15 tahun dan tenggorok yang lebih rendah (0.21, 95% CI 0.06-
memiliki riwayat infeksi tenggorok berulang 0.36), episode nyeri tenggorok yang lebih rendah
(tonsilitis, faringitis, atau tonsilofaringitis). Selain itu, (0.60, 95% CI 0.30-0.90) dan episode infeksi
pasien harus memenuhi kriteria frekuensi atau saluran napas atas yang lebih rendah (0.5,95% CI
gambaran klinis atau dokumentasi dan tidak 0.08-0.97)
memiliki lebih dari 1 kriteria tersebut (penjelasan
kriteria sama dengan penelitian sebelumnya untuk Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa
infeksi tenggorok berat dan berulang). Kriteria tindakan tonsiloadenoidektomi pada pasien dengan
inklusi ini lebih ketat bila dibandingkan dengan keluhan infeksi tenggorok atau hipertrofi
national guidelines yang dikeluarkan oleh the adenotonsiler ringan hanya memberikan sedikit
American Academy of Otolaryngology-Head and manfaat klinis dibandingkan dengan observasi ketat.
Neck Surgery (3 atau lebih infeksi pada tonsil dan Perbedaan klinis hanya nampak pada 6 bulan
atau adenoid per tahun dengan terapi medis yang pertama setelah tindakan dilakukan.
adekuat).
Pada penilaian kualitas hidup anak yang
Sehingga disimpulkan bahwa walaupun terdapat menderita penyakit tonsil dan adenoid ditemukan
manfaat tonsilektomi, harus dipertimbangkan juga bahwa status kesehatan secara keseluruhan dan
kemungkinan risiko yang akan ditemui, morbiditas kualitas hidup anak dengan penyakit tonsil dan
serta biaya operasi. Dalam keadaan biasa, kriteria adenoid bermakna lebih buruk dibandingkan anak
indikasi tonsilektomi yang digunakan dalam yang sehat (studi cross-sectional oleh Stewart dkk. 40
penelitian ini dan yang berasal dari national 2000). Keadaan ini ditunjukkan oleh rendahnya
guidelines sudah cukup untuk digunakan sebagai beberapa nilai rata-rata Child Health Questionnaire
pedoman dalam praktek sehari-hari. version PF28 (CHQ-PF28), meliputi kesehatan
umum, fungsi fisik, perilaku, bodily pain, dan
pengaruh terhadap orang tua (emosional), yang
menunjukkan status kesehatan yang jelek.
Tabel 3. Nilai rata-rata subskala CHQ-PF28 pada anak-anak dengan penyakit tonsil dan adenoid serta anak sehat 40
Subskala Anak-anak dengan penyakit tonsil Anak-anak sehat
dan adenoid (n= 55)* (n= 391)
Fungsi fisik 75,2 (67,3-83,1) 95,0‡
Keterbatasan peranan/sosial
- perilaku/emosional 83,0 ( 74,5-91,5) 92,5‡
81,7 (72,6-90,8) 93,7‡
- fisik
Bodily pain/discomfort 63,5 (54,8-72,3) 81,3‡
Perilaku 59,1 (53,2-64,9) 70,8‡
Kesehatan mental 76,1 (70,9-81,4) 79,7
Kepercayaan diri 77,0 (69,7-84,4) 80,1
Persepsi kesehatan umum 58,5 (52,6-64,5) 74,0‡
Pengaruh terhadap orangtua (emosional) 53,2 (45,5-60,9) 81,3‡
Aktivitas famili 66,3 (56,3-76,4) 88,4‡
Kohesi famili 62,5 (54,3-70,7) 91,1‡
78,4 (73,2-83,7) 72,4‡
* (95% CI) ‡ perbedaan bermakna secara statistik (P<0.05)
Dari studi pengamatan sebelum dan sesudah operasi juga lebih sering (p=0,01), begitu juga
operasi yang dilakukan oleh Goldstein dkk. 41 (2002), dengan penggunaan antibiotik (P<0,01) bila
dilaporkan bahwa kelainan perilaku dan emosional dibandingkan dengan pasien yang streptokokusnya
yang ditemukan pada anak dengan sleep-disordered negatif. Perbedaan diantara kedua kelompok tidak
breathing preoperasi membaik setelah dilakukan bermakna lagi setelah operasi baik untuk kunjungan
operasi dan nilai dari pegukuran standar perilaku dokter maupun penggunaan antibiotik. Saat survei
(the Child Behavior Checklist/CBCL) berhubungan melalui telepon, sebagian besar responden
bermakna dengan nilai survei kualitas hidup melaporkan radang tenggorok mereka jarang
(Pediatric Obstructive Sleep Apnea [OSA-18]). Studi muncul dan merekomendasikan operasi ini (88%
ini melibatkan 64 anak dengan usia 2-18 tahun yang pasien), radang tenggorok yang muncul lebih ringan
menjalani tonsilektomi dan adenoidektomi untuk (87% pasien) dan kehilangan hari kerja atau
penanganan sleep disorder breathing dan tonsilitis sekolah lebih sedikit (90% pasien). Disimpulkan
rekuren. Nilai rata-rata OSA-18 preoperasi 3,9 (1,5) bahwa tonsilektomi dini pada pasien dengan infeksi
dan perubahan nilai setelah operasi 2,3 (95% CI tenggorok berulang dapat memperbaiki kepuasan
1,9-2,7), perubahan paling besar terhadap kualitas pasien, kesehatan dan penggunaan sumber
hidup terjadi untuk gangguan tidur, caregiver pengobatan.
concern dan gejala fisik (perubahan skor ≥ 1,5).
Total problem score rata-rata 7,3 poin lebih rendah Bhattacharya dkk.43 (2001) melaporkan studi
setelah operasi (95% CI 4,9-9,7) dan bermakna cross-sectional pada 65 pasien yang berusia rata-
secara statistik ( P<0,001). Total problem score rata 27,3 tahun (16-60 tahun) yang telah menjalani
preoperasi konsisten dengan kelainan perilaku pada tonsilektomi minimal satu tahun sebelumnya. Waktu
16 anak (25%), dan pascaoperasi skor abnormal pemantauan pada studi ini rata-rata 46,2 bulan
hanya pada 5 anak (8%), P=0,03. S urvey score (15,9 bulan-76,2 bulan). Dari studi ini ditemukan
rata-rata OSA-18 preoperasi berhubungan fair to adanya perbaikan Glasgow Benefit Inventory (GBI)
good dengan CBCL total problem T score preoperasi yang bermakna secara statistik (P<0,001), yakni
(r=0,50, P<0,01) dan perubahan skor OSA-18 pada skor total (+27,1), subskor kesehatan umum
berhubungan fair to good dengan perubahan nilai (+34,7), subskor fungsi sosial (+14,4) dan subskor
CBCL total problem T score (r=0,54, P<0,001). fungsi fisik (+9,5). Hal ini menunjukkan adanya
keuntungan tonsilektomi yang bermakna terhadap
2. Dewasa kesehatan. Setelah tonsilektomi, juga dicatat
adanya penurunan yang bermakna secara statistik
Muis dkk.42 (1998) melaporkan hasil studi analisa (P<0,001) dalam jumlah rata-rata minggu
retrospektif dari 240 rekam medik pasien yang menerima antibiotik (-7,8 minggu), rata-rata
berusia 16 tahun atau lebih yang menjalani kunjungan dokter (-5,4) dan rata-rata kehilangan
tonsilektomi pada tahun 1988-1993 di California. hari kerja (-6,3 hari).
Jumlah kunjungan dokter rata-rata dan penggunaan
antibiotik untuk infeksi tenggorok bermakna lebih Disimpulkan bahwa tonsilektomi pada dewasa
tinggi sebelum tonsilektomi dibandingkan sesudah bermakna memperbaiki kualitas hidup pada pasien
tonsilektomi. Perbedaan jumlah kunjungan dokter dengan tonsilitis kronik. Tonsilektomi bermakna
sebelum dan sesudah tonsilektomi 3,5 (P<0,001) mengurangi penggunaan sumber pengobatan dan
dan perbedaan penggunaan antibiotik 2,11 kehilangan hari kerja setelah tonsilektomi. Faktor
(P<0,001). Pada 35 pasien dengan kultur tenggorok tersebut harus dimasukkan dalam pengambilan
positif streptokokus, kunjungan klinik sebelum keputusan untuk melakukan tonsilektomi.

Tabel 4. Dampak Tonsilitis Kronis Sebelum dan Sesudah Tonsilektomi 43


Rata-rata (SD)
Pengukuran keparahan penyakit 12 bulan 12 bulan Mean net Nilai P
sebelum sesudah change
tonsilektomi tonsilektomi
Jumlah minggu mendapat antibiotik 6,9 (7,0) 0,6 (0,9) -7,8 <0,001
Jumlah kehilangan hari kerja 8,0 (11,,3) 0,5 (1,4) -6,3 <0,001
Jumlah kunjungan dokter 5,8 (5,9) 0,3 (0,8) -5,4 <0,001
B. Teknik Operasi pada pasien anak-anak. Berdasarkan hal ini, maka
teknik Guillotine dapat direkomendasikan terutama
Berbagai kepustakaan yang didapatkan mengenai untuk anak-anak.
perbandingan berbagai teknik terbaru tonsilektomi
tidak ada yang membandingkan secara langsung C. Teknik Anestesi
keuntungan dan kerugian dari masing-masing
teknik. Kebanyakan dari kepustakaan tersebut 1. Anestesia umum
membandingkan 2 teknik terbaru. Penilaian Secara umum, dilakukan dengan anestesi
umumnya berdasarkan durasi operasi, perdarahan endotrakea. Belum ditemukan cukup artikel ilmiah
intra dan pascaoperasi serta nyeri pascaoperasi. yang memaparkan tentang efektivitas penggunaan
anestesi umum dengan anestesi endotrakea.
Cochrane review44 (2004) yang membandingkan Adapun artikel yang didapatkan sejauh ini hanya
morbiditas dihubungkan teknik tonsilektomi diseksi berupa daftar pustaka dari artikel berbahasa Rusia,
dengan diatermi menyimpulkan bahwa data yang Jerman, Jepang, Brazil dan Belanda. Artikel-artikel
ada tidak cukup untuk menunjukkan keunggulan tersebut diterbitkan sekitar tahun 1960 dan 70-an.
salah satu dari metode tonsilektomi. Terdapat bukti
bahwa nyeri lebih banyak terjadi dengan teknik Mengenai pemakaian LMA, didapatkan beberapa
diseksi monopolar dibandingkan cold dissection. abstrak yang mendukung penggunaannya sebagai
RCT yang lebih besar dengan desain yang baik alternatif intubasi endotrakeal.
diperlukan untuk menjelaskan metode yang
optimum untuk tonsilektomi. dari review ini Sebuah metaanalisis yang dilaporkan oleh Kretrz
ditemukan sejumlah 22 studi tetapi 20 studi tidak FJ dkk.45 pada tahun 2000 menyatakan bahwa
diikuitkan karena tidak memenuhi kriteria inklusi laryngeal mask airway (LMA) terbukti merupakan
untuk metode randomisasi, kontrol dan kriteria sebuah alternatif lain untuk intubasi yang aman
outcome. Sejumlah 2 studi yang memenuhi kriteria, pada tonsiloadenoidektomi dengan anestesi umum.
salah satu membandingkan monopolar dissection
diathermy dengan conventional cold dissection pada Webster AC dkk.46 (1993) melaporkan hasil studi
anak dan yang lainnya membandingkan microscopic RCT mengenai perbandingan teknik anestesi
bipolar dissection dengan cold dissection pada anak intubasi endotrakea dengan penggunaan LMA pada
dan dewasa. Pada kedua studi tersebut, perdarahan tonsiloadenoidektomi. Studi ini dilakukan pada 109
intraoperasi pada kelompk diatermi lebih sedikit anak. Didapatkan hasil bahwa patensi jalan napas
dibanading kelompok diseksi. Tidak ada perdarahan dapat diperoleh lebih cepat pada kelompok dengan
primer dilaporkan pada kedua studi. Kejadian LMA dan keadaan ini dapat dipertahankan selama
perdarahan sekunder jarang pada kedua studi dan operasi. Selain itu, LMA tidak menghalangi akses ke
tidak ada perbedaan antara kelompok diseksi lapangan operasi. Detak jantung, tekanan darah
dengan diatermi. Kebutuhan akan analgesik pada 24 rerata dan jumlah darah yang hilang bermakna lebih
jam pertama tidak berbeda diantara kedua rendah daripada kelompok dengan ETT. Pada akhir
kelompok. Tetapi dosis total yang dibutuhkan dalam operasi, dengan fibreoptic laryngoscopy tidak
12 hari pertama bermakna lebih tinggi (p=0,02) ditemukan darah pada laring pada 19 pasien
pada kelompok diatermi. Tidak ada perbedaan yang dengan LMA.
bermakna secara statistik dari jumlah hari sebelum
kembali ke aktivitas normal. Tidak ada perbedaan 2. Anestesia lokal
waktu operasi rata-rata diantara kedua keklompok
ditemukan pada salah satu studi. Bredenkamp JK dkk.47 (1990) melaporkan hasil
analisis retrospektif 64 kasus tonsilektomi pada
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan remaja dan dewasa, ditemukan bahwa anestesi
dengan metode diseksi. Hanya sedikit ahli THT lokal merupakan alternatif yang aman dan efektif
yang secara rutin melakukan tonsilektomi dengan serta lebih cost-effective bila dibandingkan dengan
teknik Sluder. Holmer dkk.22 (2000) melaporkan anestesi umum. Anestesi lokal diberikan bersama
studi prospektif skala kecil (N=86 pasien) yang dengan sedasi intravena dan dilakukan dalam ruang
membandingkan nyeri pascaoperasi pada teknik operasi minor. Operasi dilakukan oleh residen dan
diseksi dan guillotine. Dari studi didapatkan bahwa dokter ahli THT. Dari studi ini didapatkan jumlah
teknik Guillotine lebih sedikit menimbulkan nyeri darah yang hilang pada anestesi lokal 42 ml, tidak
pascaoperasi dibandingkan teknik diseksi (p<0.001). ada kasus perdarahan postoperasi, sedangkan pada
Risiko relatif untuk mengalami nyeri pascaoperasi anestesi umum jumlah darah yang hilang 198 ml
yang berat pada teknik Guillotine adalah 0.36 (95% dan 2 kasus perdarahan postoperasi.
CI 0.18-0.72). Penemuan ini terutama bermakna
Sebuah studi RCT dilakukan oleh Agren K dkk. 48 sedikit dengan penyuntikan anestesi lokal dengan
(1989) untuk membandingkan anestesi umum epinefrin. Namun, keadaan tersebut hanya
dengan anestesi lokal pada tonsilektomi. Parameter bermakna pada beberapa keadaan seperti pada
yang dinilai adalah lama pasien berada di ruang anak yang sangat kecil. Namun, secara keseluruhan,
operasi, durasi operasi, perdarahan preoperasi, penggunaannya untuk mengurangi kehilangan
jumlah ikatan yang dibutuhkan untuk hemostasis, darah pada kebanyakan pasien tidak bermakna
perdarahan postoperasi, infeksi dan penurunan secara klinis. Sedangkan untuk kemudahan dalam
berat badan. Selain itu, juga dianalisis rasa tidak diseksi, sangat ditentukan oleh keahlian dari dokter
nyaman pada pasien setelah operasi yang diukur yang melakukan pembedahan itu sendiri. Komplikasi
melalui skala analog visual dan tes minum. yang terjadi tetap harus diperhitungkan, walaupun
Konsumsi analgesik selama postoperasi juga jarang, dilaporkan komplikasi dapat berat dan
dilaporkan. Dari keseluruhan parameter tersebut, mengancam nyawa. Sehingga berdasarkan studi
dapat disimpulkan bahwa anestesi lokal merupakan yang ada mengenai pemakaian anestesi lokal dan
alternatif yang aman untuk anestesi umum. Selain manfaat serta risiko dari penggunaannya, sampai
itu, anestesi lokal dapat menghemat beberapa saat ini, sebelum dilakukan studi dengan kontrol dan
sumber daya yang harus digunakan bila besar sampel yang mencukupi, risiko pemakaian
menggunakan anestesi umum. anestesi lokal tetap lebih besar daripada manfaat
yang diterima pasien.51
Hasil serupa juga dilaporkan oleh McClairen WC
Jr dan Strauss M pada tahun 1986, bahwa dengan
anestesi lokal didapatkan perbedaan yang signifikan D. Komplikasi
pada beberapa parameter, yaitu durasi operasi lebih
singkat, perdarahan intraoperasi lebih sedikit dan The British Association of Otorhinolaryngologists -
biaya yang dikeluarkan lebih kecil. Namun, tidak Head and Neck Surgeons (BAO-HNS) bersama
terdapat perbedaan yang bermakna untuk insidens dengan the Clinical Effectiveness Unit of The Royal
komplikasi postoperasi atau morbiditas antara kedua College of Surgeons of England (CEU-RCS)
teknik ini. Studi dilakukan dengan analisis melakukan audit tonsilektomi terhadap 13.554 kasus
restrospektif pada 73 pasien dewasa yang menjalani tonsilektomi pada tahun 2003-2004. Dilaporkan
tonsilektomi dalam periode 8,5 tahun.49 sebanyak 0,5% pasien yang menjalani tonsilektomi
mengalami perdarahan primer dan 2,9% lainnya
3. Infiltrasi anestesi lokal pada tonsilektomi. mengalami perdarahan sekunder. Dua pertiga di
antaranya dikategorikan mengalami perdarahan
Saat ini banyak dokter ahli THT menyarankan berat dan membutuhkan operasi ulang dan atau
pemberian anestesi lokal berupa infiltrasi pada transfusi darah. Komplikasi lain yang menyebabkan
tonsilektomi, namun belum ada bukti ilmiah yang penundaan waktu kepulangan pasien seperti nyeri,
sahih dan mutakhir yang jelas-jelas mendukung demam, atau muntah dialami oleh 0,9% pasien. 52
penggunaannya untuk mengurangi nyeri. Adapun
penelitian-penelitian yang telah ada terbatas pada Studi oleh Paradise dkk. Tahun 1992 tentang
besar sampel yang kecil baik yang pro maupun efektivitas tonsilektomi pada infeksi tenggorok
kontra. sedang dan berulang melaporkan: dari 203 pasien,
16 pasien (7,9%) mengalami komplikasi operasi
Kountakis SE50 (2002) melaporkan bahwa tidak baik intraoperatif maupun pascaoperatif.7
ada perbedaan yang bermakna dari intensitas rasa
nyeri yang dirasakan pasien yang diberikan infiltrasi Penelitian-penelitian terbaru menemukan bahwa
lokal bupivacaine pada tonsilektomi dibandingkan risiko terjadinya perdarahan pasca tonsilektomi
kelimpok kontrol. Sampel RCT ini terdiri dari 34 adalah 2-4% dengan mortalitas 1 per 20.000
pasien dewasa dan keluaran yang dinilai adalah prosedur.53
intensitas rasa nyeri postoperasi. Krishna dan Lee (2001) melakukan sebuah
meta-analisa dari 4 studi prospektif dan 8 studi
Olhms LA melakukan sebuah analisis mengenai retrospektif, didapatkan bahwa insiden komlikasi
injeksi anestesi lokal pada anak-anak berdasarkan perdarahan pascatonsilektomi antara 2.3%-11.2%,
studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya. Tujuan dengan sensitifitas 0.00-0.16 dan spesifitas 0.93-
anestesi lokal tersebut adalah untuk mengurangi 1.00.53
nyeri, jumlah darah yang hilang dan memudahkan
proses diseksi. Kehilangan darah dapat dikurangi
BAB V
BIAYA

Suatu jenis terapi untuk dapat diterima baik oleh Di Amerika serikat, total biaya yang harus
pemberi layanan kesehatan, perencana pelayanan dikeluarkan oleh pasien untuk operasi tonsilektomi
kesehatan maupun oleh pihak ke tiga, harus adalah sebesar $3,094.34. Biaya ini terdiri atas
terbukti efektif secara klinis dan cost-effective dalam biaya medik (jasa bedah, anestesi, rumah sakit dan
penanganan suatu penyakit.54 pengobatan pasca operasi) yakni sebesar $2,444,91
dan biaya yang hilang (pengaruh ekonomi) karena
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling tidak bekerja selama 5 hari yakni sebesar $649,43.
sering dilakukan dalam sejarah operasi. Saat ini Break-event point biaya medik tonsilektomi tercapai
jumlah operasi ini telah menurun bermakna, namun setelah 12,7 tahun, sedangkan break-event point
masih menjadi operasi yang paling sering dilakukan. pengaruh ekonomi secara keseluruhan (biaya medik
Diperkirakan pengeluaran pelayanan medik untuk dan biaya akibat kehilangan hari kerja) tercapai
operasi ini mencapai setengah triliun dolar per setelah 2,3 tahun. Break event point adalah saat
tahun.1 dimana biaya yang telah dikeluarkan untuk suatu
intervensi (contoh tindakan bedah) tertutupi oleh
Dari studi kohort yang dilakukan oleh penurunan biaya pelayanan kesehatan (contoh
Bhattacharya dan Kepnes (2002) dilaporkan bahwa berkurangnya penggunaan obat atau kunjungan
pada populasi dewasa, tonsilektomi terbukti efektif dokter) pada penanganan suatu penyakit dalam
secara klinis, dimana setelah dilakukan tonsilektomi tahun-tahun setelah dilakukan intervensi.
terdapat perbaikan kualitas hidup yang bermakna
(skor total GBI +27,54 [±95%CI ±4,63, p<0,001]). Di Indonesia belum ada studi yang menilai
Setelah 12 bulan tonsilektomi juga ditemukan efektivitas tonsilektomi secara klinis dan cost-
penurunan rata-rata pertahun yang bermakna effectiveness tonsilektomi. Pada kajian ini baru
dalam jumlah minggu penggunaan antibiotik dapat disajikan data mengenai tarif tonsilektomi di
(menurun 5,9 minggu [p<0,001]), jumlah rumah sakit pemerintah ataupun swasta di
kehilangan hari kerja karena tonsilitis (menurun 8,7 Indonesia. Data yang ada diwakili oleh satu rumah
hari [p<0,001]) dan jumlah kunjungan dokter untuk sakit pemerintah di Jakarta dan Yogyakarta dan satu
tonsilitis (menurun 5,3 kunjungan [p<0,001]).54 rumah sakit swasta di Jakarta. Dari data tersebut
didapatkan bahwa untuk operasi tonsilektomi, total
Selain terbukti efektif secara klinis, tonsilektomi biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien bervariasi
pada pasien dewasa juga memiliki pengaruh dari Rp 1.450.000,00-Rp 4.000.000,00 untuk rumah
ekonomi. Setelah 12 bulan tonsilektomi ditemukan sakit pemerintah dan Rp 3.111.500,00-Rp 6.
adanya penghematan biaya sebesar 054.000,00 untuk rumah sakit swasta. Besarnya
$1,275,82/tahun dibanding sebelum dilakukan biaya ini tergantung pada jenis perawatan pilihan
tonsilektomi.54 pasien.

Tabel 5. Dampak Ekonomi Tonsilektomi54

12 bulan sebelum 12 bulan sesudah Penghematan biaya


tonsilektomi tonsilektomi
Biaya rata-rata pengobatan $242,89/pasien $14,17/pasien $228,72/tahun
tonsilitis kronis
Biaya rata-rata dihubungkan $1,128,88/pasien $81,78/pasien $1,047.10/tahun
dengan kehilangan hari kerja
akibat tonsilitis kronis
Total penghematan biaya $1,275,82/tahun
ekonomi
BAB VI
REKOMENDASI

A. BATASAN (Derajat Rekomendasi C)


c. Halitosis akibat tonsilitis kronik
1. Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan yang tidak membaik dengan pemberian
seluruh tonsil palatina. terapi medis.
2. Tonsiloadenoidektomi adalah operasi (Derajat rekomendasi C)
pengangkatan seluruh tonsil palatina dan tonsil d. Tonsilitis kronik atau berulang
faringeal (adenoid). pada karier streptokokus B-hemolitikus yang
3. Tonsiloadenoidektomi dilakukan oleh dokter tidak membaik dengan pemberian antibiotik
spesialis THT berdasarkan kompetensi. resisten β-laktamase.
(Derajat rekomendasi C)

B. INDIKASI 3. Operasi tonsilektomi pada anak-anak


tidak selalu disertai adenoidektomi,
1. Indikasi absolut adenoidektomi dilakukan hanya bila ditemukan
a. Hipertrofi tonsil yang pembesaran adenoid.
menyebabkan: (Derajat rekomendasi C)
- Obstruksi saluran napas misal pada
OSAS (Obstructive Sleep Apnea
Syndrome) C. PERSIAPAN OPERASI
(Derajat rekomendasi C)
- Disfagia berat yang disebabkan 1. Anamnesis untuk mendeteksi
obstruksi adanya penyulit (lihat bab penyulit)
(Derajat Rekomendasi C) 2. Pemeriksaan fisik untuk mendeteksi
- Gangguan tidur adanya penyulit (lihat bab penyulit)
(Derajat Rekomendasi C) 3. Pemeriksaan penunjang
- Gangguan pertumbuhan dentofacial a. Pemeriksaan darah tepi: Hb,
(Derajat Rekomendasi C) leukosit, hitung jenis, trombosit
- Gangguan bicara (hiponasal) b. Pemeriksaan hemostasis: BT/CT
(Derajat Rekomendasi C) dan atau PT/APTT
- Komplikasi kardiopulmoner
(Derajat Rekomendasi C) D. TEKNIK OPERASI
b. Riwayat abses peritonsil.
(Derajat Rekomendasi C) 1. Teknik tonsilektomi yang
c. Tonsilitis yang membutuhkan direkomendasikan adalah teknik Guillotine dan
biopsi untuk menentukan patologi anatomi teknik Diseksi
terutama untuk hipertrofi tonsil unilateral. 2. Pelaksanaan operasi dapat
(Derajat Rekomendasi C) dilakukan secara rawat inap atau one day care.
d. Tonsilitis kronik atau berulang 3. Dianjurkan untuk melakukan
sebagai fokal infeksi untuk penyakit- penelitian untuk membandingkan teknik
penyakit lain. Guillotine dan Diseksi di rumah sakit pendidikan.
(Derajat Rekomendasi C) 4. Dianjurkan untuk
mengembangkan teknik Diseksi modern
2. Indikasi relatif khususnya di rumah sakit pendidikan.
a. Terjadi 7 episode atau lebih
infeksi tonsil pada tahun sebelumnya, atau E. TEKNIK ANESTESI
5 episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahun
pada 2 tahun sebelumnya atau 3 episode 1. Anestesi yang digunakan adalah
atau lebih infeksi tonsil tiap tahun pada 3 anestesi umum dengan teknik perlindungan
tahun sebelumnya dengan terapi antibiotik jalan nafas.
adekuat. 2. Pemantauan ditujukan atas fungsi
(Derajat rekomendasi B) nafas dan sirkulasi. Pulse oxymeter dianjurkan
b. Kejang demam berulang yang sebagai alat monitoring.
disertai tonsilitis.
Tabel 6. Indikasi tonsilektomi dari Berbagai Sumber

NO. SUMBER INDIKASI


1. American Academy of Otolaryngology-Head and Indikasi Absolut
Neck Surgery (AAO-HNS)14  Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
 Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
 Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatif
 Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
 Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis
 Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
 Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan.
2. Scottish Intercollegiate Guidelines Network55 Indikasi tonsilektomi pada anak dan dewasa berdasarkan bukti ilmiah, observasi klinis dan hasil audit klinis dimana pasien harus memenuhi semua kriteria di bawah:
 Sore throat yang disebabkan oleh tonsilitis
 5 atau lebih episode sore throat per tahun
 Gejala sekurang-sekurangnya dialami selama 1 tahun.
 Keparahan episode sore throat sampai mengganggu pasien dalam menjalani fungsi kehidupan normal
3. Evidence Based Medicine Guidelines56  Tonsilitis bakterialis berulang (>4x/tahun). Dengan catatan hasil kultur bakteri harus dicantumkan dalam surat rujukan
 Tonsilitis akut dengan komplikasi: abses peritonsiler, septikemia. Pasien dengan abses peritonsiler berusia <40 tahun langsung diterapi dengan tonsilektomi.
 Curiga adanya keganasan (pembesaran asimetri atau ulserasi)
 Sumbatan jalan napas yang disebabkan tonsil (T3-T3), sleep apnea, kelainan oklusi gigi
Tonsilitis kronik, merupakan indikasi relatif tonsilektomi. Tindakan dianjurkan apabila pasien mengalami halitosis, nyeri tenggorok, gagging, dan keluhan tidak hilang
dengan pengobatan biasa.
4. INSALUD (National Institute of Health) Spanyol3 Indikasi absolut
 Kanker tonsil
 Penyumbatan saluran nafas berat pada rinofaring dengan desaturasi atau retensi CO2
Indikasi relatif
 Infeksi rekuren dengan eksudat, dapat dibedakan dengan jelas dari common cold, dengan 7 atau lebih episode pada tahun
ini, atau 5 episode pertahun pada 2 tahun sebelumnya, atau 3 episode pertahun pada 3 tahun sebelumnya.
 Abses peritonsilar
Tidak diindikasikan
 Otitis media akut atau kronik
 Sinusitis akut atau kronik
 Ketulian
 Infeksi saluran nafas atas atau bawah
 Penyakit sistemik
5. National Health & Medical Research Council , 1991  Faringitis rekuren
(Australia)3  Faringitis kronik
 Obstruksi jalan nafas
 Dugaan neoplasma
6. Henry Ford Medical Group, 1995 (USA)3 Berdasarkan hasil literatur review:
 Tonsilitis
 Hipertrofi tonsil
 Experience
7. Infectious Disease Society of America3 Berdasarkan hasil literatur review:
 Faringitis streptokokus rekuren
8. American Academy of Pediatrics3 Berdasarkan hasil literatur review:
Faringitis rekuren
DAFTAR PUSTAKA

1. Eibling DE. Tonsillectomy. In: 18. Pasternak LR, Arens JF, Caplan
Myers EN, editor. Operative Otolaryngology RA, Connis RT, Fleisher LA, Flowerdew R, et al.
Head and Neck Surgery. Philadelphia: WB Practice advisory for preanesthetic evaluation.
Saunders Company 1997.p.186-97 A report by the American Society of
2. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Anesthesiologists Task Force on Preanesthesia
Tonsillectomy versus non-surgical treatment for Evaluation 2003
chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane 19. Bäck L. Paloheimo M, Ylikoski J.
Review). In: The Cochrane Library, Issue 3, Traditional tonsillectomy compared with bipolar
2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd. radiofrequency thermal ablation tonsillectomy
3. Larizgoita I. Tonsillectomy: in adults. Arch otolaryngol Head Neck Surg
scientific evidence, clinical practice and 2001;127:1106-12
uncertainties. Barcelona: CAHTA 1999 20. Maddern BR. Bedah listrik for
4. Bailey BJ. Tonsillectomy. In: tonsillectomy. Laryngoscope 2002;112:11-13
Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR, Newlands 21. Nawawi F. Studi Perbandingan
SD, Vrabec JT, editors. Atlas of Head and Neck cara Guillotine dan Diseksi. FKUI 1990
Surgery-Otolaryngology. Philadelphia:Lippincott 22. Webster AC, Morley-Forster PK,
Williams & Wilkins 2001.2nd edition.p.327-2- Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook MJ.
327-6 Anesthesia for adenotonsillectomy: a
5. Mathews J, Lancaster J, Sherman comparison between tracheal intubation and
I, Sullivan GO. Historical article guillotine the armoured laryngeal mask airway. Can J
tonsillectomy: a glimpse into its history and Anaeth 1993;40:757-8 [Abstract]
current status in the United Kingdom. The 23. x11
Journal of Laryngology and Otology 24. Plant RL. Radiofrequency
2002;116:988-91 treatment of tonsillar hypertrophy.
6. Darrow DH, Siemens C. Laryngoscope 2002:112;20-2
Indications for tonsillectomy and 25. Wiatrak BJ, Willging JP. Skalpel
adenoidectomy. Laryngoscope 2002;112:6-10 harmonik for tonsillectomy. Laryngoscope
7. Paradise JL, Bluestone CD, 2002:112;14-16
Colborn DK, Bernard BS, Rockette HE, Kurs- 26. National Institute for Clinical
Lasky M. Tonsillectomy and adenoidectomy for Excellence. Coblation tonsillectomy. Available
recurrent throat infection in moderately from: http://www.nice.org.uk/ip175overview
affected children. Pediatrics 2002;110:7-15 27. Koltai PJ, Solares A, Mascha EJ,
8. Hasil rapat Tim Ahli Tonsilektomi Meng Xu. Intracapsular partial tonsillectomy for
pada Anak dan Dewasa, HTA Indonesia. tonsillar hypertrophy in children. Laryngoscope
9. Younis RT, Lazar RH. History and 2002,112:17-19.
current practice of tonsillectomy. Laryngoscope 28. American Academy of
2002;112:3-5 Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
10. Data operasi Tonsillectomy procedures. Available from:
Tonsiloadenoidektomi tahun 1999-2003 Bagian http://www.entlink.net/KidsENT/tonsil_procedu
THT FKUI-RSUPNCM. res.cfm
11. Data operasi 29. Practice advisory for
Tonsiloadenoidektomi tahun 2002-2004 RS preanesthesia evaluation. A report by the
Fatmawati. American Society of anesthesiologists task
12. Zuniar. Kumpulan karya ilmiah: force on preanesthesia evaluation. 2003.
Gambaran mikrobiologi pada tonsilitis kronis 30. Ferrari LR, Vassalo SA.
dari hasil usapan tenggorok dan bagian dalam Anesthesia for otolaryngology procedures. In:
tonsil. FKUI-PPDS bidang studi ilmu THT 2001. Cote CJ, Todres ID, Ryan JF, Goudsouzian NG,
13. Berkowitz RG, Zalzal GH. editors. A Practice of anesthesia for infants and
Tonsillectomy in children under 3 years of age. children. Philadelphia: WB Saunders Company
Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 2001. 3rd ed.p.461-67.
116:685-6.[Abstract] 31. Tonsillectomy and
14. Drake A. Carr MS. Tonsillectomy. adenoidectomy. In: Snow JC. Anesthesia in
October, 2004. Available at: otolaryngology and ophthalmology.USA:Charles
http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm C Thomas 1979.p.245-57.
15. Bhattacharya N. When does an 32. Joseph MM. Anesthesia for ear,
adult need tonsillectomy? Cleveland Clinic nose, and throat surgery. In: Longnecker DE,
Journal of Medicine 2003:70;698-701 Tinker JH, Morgan GE,editors. Principles and
16. x8=gabungan mona practice of anesthesiology. London: Mosby
17. Rahardjo E, Sunatrio H, Mustafa 1998.2nd ed.p.2208-10.
I, Umbas R, Thayeb U, Windiastuti E, dkk. 33. Keith Allman, Iain Wilson. Oxford
Persiapan rutin prabedah elektif. HTA Handbook of Anaesthesia, 1 st Edition. Oxford
Indonesia 2003 University Press, 2001, 517
34. x20
35. Frey RJ. Gale Encyclopedia of 49. McClairen WC Jr, Strauss M.
Medicine. Published December, 2002 by the Tonsillectomy: a clinical study comparing the
Gale Group effects of local versus general anesthesia.
36. x22 Laryngoscope 1986;96:308-10 [Abstract]
37. Randal DA, Hoffer ME. 50. Kountakis SE. Effectiveness of
Complication of tonsillectomy and perioperative bupivacaine infiltration in
adenoidectomy. Otolaryngol Head Neck Surg tonsillectomy patients. Am J Otolaryngol
1998;118:61-8 2002;23:76-80
38. Paradise JL, Bluestone CD, 51. Ohlms LA. Injection of local
Bachman RZ, Colborn DK, Bernard BS, Taylor anesthetic in tonsillectomy. Arch Otolaryngol
FH, et al. Efficacy of tonsillectomy for recurrent Head Neck Surg 2001;127:1276-8
throat infection in severely affected children. 52. National Prospective
Result of parallel randomized and Tonsillectomy Audit. Interim report 2004.
nonrandomized clinical trials. JAMA Available from: http://www.tonsil-audit.org
1984;310:674-683 [Abstract] 53. Krishna P, Lee D. Post-
39. van Staaij BK, van den Akker EH, tonsillectomy bleeding: A meta-analysis.
Rovers MM, Hordijk GJ, Hoes AW, Schilder Laryngoscope 2001;111:1358-61
AGM. Effectiveness of adenotonsillectomy in 54. Bhattacharya N, Kepnes LJ.
children with mild symptoms of throat Economic benefit of tonsillectomy in adults with
infections or adenotonsillar hypertrophy: open, chronic tonsillitis. Arch of Otolaryngol and Head
randomised controlled trial. BMJ, Neck Surg 2002;127:1347-50
doi:10.1136/bmj.38210.827917.7C (published 55. Scottish Intercollegiate Guidelines
10 September 2004) Network. Management of sore throat and
40. Stewart MG, Friedman EM, Sulek indications for tonsillectomy. January, 1999.
M, Hulka GF, Kuppersmith RB, Harrill WC, et al. Available at:
Quality of life and health status in pediatric http://www.sign.ac.uk/pdf/sign34.pdf
tonsil and adenoid disease. Arch Otolaryngol, 56. EBM Guidelines. Sore throat and
Head Neck Surg 2000;126:45-8 tonsillitis. April, 2001. Available at:
41. Goldstein NA, Fatima M, Campbell http://www.ebm-guidelines.com
TF, Rosenfeld RM. Child behavior and quality of
life before and after tonsillectomy and
adenoidectomy. Arch Otolaryngol, Head Neck
Surg 2002;128:770-5
42. Muis S, Rasgon BM, Hilsinger RL
Jr. Efficacy of tonsillectomy for recurrent throat
infection in adults. Laryngoscope
1998;108:1325-8
43. Bhattacharya N, Kepnes LJ,
Shapiro J. Efficacy and quality-of-life impact of
adult tonsillectomy. Arch of Otolaryngol and
Head Neck Surg 2001;127:1347-50
44. Pinder D, Hilton M. Dissection
versus diathermy for tonsillectomy (Cochrane
Review). In: The Cochrane Library, Issue
3,2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons,
Ltd.
45. Kretz FJ, Reimann B, Stelzner J,
Heumann H, Lange-Stumpf U. The laryngeal
mask in pediatric adenotonsillectomy. A meta-
analysis of medical studies. Anaesthetist
2000;49:706-12 [Abstract] Article in German
46. Ebster AC, Morley-Forster PK,
Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook MJ.
Anesthesia for adenotonsillectomy: a
comparison between tracheal intubation and
the armoured laryngeal mask airway. Can J
Anaeth 1993;40:757-8.[Abstract]
47. Bredenkamp JK, Abemayor E,
Wackym PA, Ward PH. Tonsillectomy under
local anesthesia: a safe and effective
alternative. Am J Otolaryngol 1990;11:18-22
[Abstract]
48. Agren K, Angquiat S, Danneman
A, Feychting B. Local versus general anesthesia
in tonsillectomy. Clin Otolaryngol 1989;14:97-
100 [Abstract]
PANEL AHLI
dr.Bambang Hermani, SpTHT
Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

dr. Darnila Fachrudin, SpTHT


Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

dr. Syahrial M.H., SpTHT


Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

dr. Bambang Udjidjoko Riyanto, SpTHT


Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta

dr. Susilo, SpAnKIC


Departemen Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

dr. H.N. Nazar, FinaCS


Ikatan Dokter Bedah Indonesia

TIM TEKNIS
Ketua : Prof.Dr.dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K)
Anggota : Prof.Dr.dr. H.R.Eddy Rahardjo, SpAn, KIC
Dr.dr. Akmal Taher, SpB, SpU
dr. Ratna Mardiati, SpKJ
dr. Wuwuh Utami N., MKes
dr. Monalisa Nasrul
dr. Mutiara Arcan
dr. Nastiti Rahajeng

Anda mungkin juga menyukai