Anda di halaman 1dari 27

ABSTRAK

Kontroversi seputar tonsilektomi telah lama terjadi. Tonsilektomi sebagai


tindakan

operasi terbanyak dan biasa dilakukan di bidang THT belum mempunyai


keseragaman

indikasi. Indikasi tonsilektomi yang diterima luas pada saat ini adalah
tonsilitis kronik dengan

insidensi 7 atau lebih episode sakit tenggorok akibat tonsilitis dalam 1


tahun atau 5

episode/tahun dalam dua tahun dan 3 episode/tahun dalam 3 tahun. Kajian


manfaat

tonsilektomi terhadap kejadian sakit tenggorok, kualitas hidup, keuntungan


ekonomi, dan

gambaran imunologis tonsil belum dibahas secara mendalam.

PENDAHULUAN

Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan tertua,

berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatina dari

fossa tonsilaris. Tonsilektomi dideskripsikan pertama kali di

India pada tahun 1000 SM. Pada tahun 30 SM, Celsus

melaporkan tindakan tonsilektomi untuk pertama kali

menggunakan skalpel untuk eksisi tonsil, namun belum

maksimal karena tidak semua jaringan berhasil diangkat.

Selanjutnya Meyer (1867) melaporkan kasus adenotonsilektomi

pada wanita 20 tahun yang mengeluh hidung tersumbat

dan pendengaran menurun. Crowe (1917) melaporkan

tonsilektomi pada 1000 pasien dengan mouth gauge, yang

sekarang dikenal sebagai Crowe-Davis mouth gauge.1

Teknik tonsilektomi terus mengalami perkembangan,

tahun 1827 tonsil diangkat menggunakan guillotine, pada saat

itu dinamai primary enucleation, pertama kali digunakan oleh

Physick. Tahun 1867, Meyer menggunakan pisau berbentuk

lingkaran, mengangkat tonsila adenoid melalui kavitas nasi,

pada pasien dengan penurunan pendengaran dan sumbatan


hidung. Pada tahun 1910 Wilis dan Pybus melaporkan

pengangkatan tonsil lengkap dengan kapsulnya. Pada tahun

1912, Sluder menemukan alat untuk mengambil tonsil

sehingga keberhasilan pengambilan tonsil lengkap dengan

kapsulnya mencapai 99,6 %.1 Teknik tonsilektomi lain terus

dikembangkan seperti elektrokauter ditujukan untuk

mengurangi efek yang tidak diharapkan.2

Pengaruh rangsangan bakteri yang terus menerus terhadap

tonsil pada tonsilitis kronik menyebabkan sistem imunitas

lokal tertekan; menurunnya respon imunologis limfosit tonsil

dan perubahan epitel akan mengurangi reseptor antigen. Hal

ini menyebabkan kegagalan fungsi tonsil sebagai gatekeeper

dan menurunkan respon imunologi tonsil terhadap antigen.

Pengobatan tonsilitis kronik sangat sulit dan lazim

dilakukan tonsilektomi. Kontroversi seputar tonsilektomi telah

lama terjadi, meskipun demikian di bidang THT tonsilektomi

merupakan tindakan terbanyak dan biasa dilakukan

Tonsilektomi dianggap sebagai tindakan kecil, namun dapat

menimbulkan komplikasi baik durante maupun postoperasi,

dapat berupa abses paru dan pneumonitis akibat aspirasi darah

dan debris atau infeksi yang ada sebelumnya, maupun

perdarahan. Di samping itu tonsilektomi dapat menimbulkan

berbagai masalah dan berisiko menimbulkan nyeri pasca

tonsilektomi dan infeksi.

Tonsilektomi sebagai tindakan operasi terbanyak di

bidang THT belum seragam indikasinya. Manfaat tonsilektomi

terhadap kejadian sakit tenggorok, kualitas hidup, keuntungan

ekonomi, dan gambaran imunologis tonsil belum dibahas

secara mendalam.

KEKERAPAN
Di Inggris (1987-1993) telah dilakukan 70.000 - 90.000

tonsilektomi dan adenoidektomi per tahun. Di Skotlandia

selama 1990 – 1996 terjadi penurunan jumlah adenotonsilektomi,

angka tonsilektomi pada anak turun dari 602 per 100

000 menjadi 511 per 100 000, 44 % perempuan dan 54%

dengan adenoidektomi.3 Di Amerika Serikat tonsilektomi

dilakukan sampai 1.500.000 tindakan pada tahun 1970 dan

286.000 orang menjalani adenotonsilektomi, sedangkan tahun

1985 dilakukan 400.000 tonsilektomi.1

Di Indonesia sampai saat ini jumlah kasus tonsilektomi

masih sulit didapat. Dari catatan medis RSUP Dr Sardjito

tonsilektomi merupakan lebih dari separuh dari seluruh

tindakan pembedahan di bagian THT. Data pada tahun 1996

dan tahun 1997 sejumlah 107 tindakan, tahun 1998 ada 102

tindakan, dan tahun 1999 94 tindakan. Tonsilektomi tahun

2003 tercatat sebanyak 59 kasus, tahun 2004 hingga bulan

Agustus sebanyak 45 kasus, rentang umur terbanyak 5-15

tahun, indikasi tersering adalah tonsilitis kronis. Terlihat

angka tonsilektomi dari tahun ke tahun mengalami penurunan,

mungkin disebabkan indikasi tonsilektomi makin ketat.4

ANATOMI

Gambar 1. Anatomi tonsila palatina

Tonsil palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak

di fossa tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan

salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsil palatina lebih

padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya

ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial

terdapat kripta.10

Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang dan

masuk ke bagian dalam jaringan tonsil. Umumnya berjumlah


8-20 buah dan kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta.

Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel

permukaan medial tonsil. Saluran kripta ke arah luar biasanya

bertambah luas; hal ini membuktikan asalnya dari sisa

perkembangan kantong brakial II. Secara klinik kripta dapat

merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena

dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas, kuman.9,10,11

Permukaan lateral tonsil yang tersembunyi ditutupi oleh

suatu membran jaringan ikat disebut kapsul; walaupun para

ahli anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para pakar

klinik menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih

yang menutupi 4/5 bagian tonsil.10 Plika triangularis atau plika

retrotonsilaris atau plika transversalis merupakan struktur

normal yang telah ada sejak masa embrio. Plika triangularis

terletak di antara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub

bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari otot

palatofaringeus.10 Fossa tonsil atau sinus tonsil yang di

dalamnya terletak tonsil palatina, dibatasi oleh otot-otot

orofaring: 1) Batas anterior adalah otot palatoglossus, disebut

plika anterior, 2) Batas posterior adalah otot palatofaringeus,

disebut plika posterior, 3) Batas lateral atau dinding luarnya

adalah otot konstriktor faring superior. Plika anterior

berbentuk seperti kipas di rongga mulut, mulai dari palatum

mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Plika posterior adalah

otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba

Eustachius dan dasar tengkorak. ke arah bawah meluas hingga

dinding lateral esofagus. (Gambar 1)

Plika anterior dan plika posterior ini bersatu di atas di

palatum mole. Ke arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan

di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Di bagian atas


fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil.

Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa

tonsil.

Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a.

karotis eksterna yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang

mempunyai cabang a. tonsilaris dan a. palatina asenden, a.

maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a. palatina

desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis

dorsal, dan a. faringeal asenden.

Arteri tonsilaris berjalan ke atas di bagian luar m.

konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan

palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan cabangcabangnya

melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil.

Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil

melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis

dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke

tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina

desenden atau a. palatina posterior atau lesser palatine artery

memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan

membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Venavena

dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan

pleksus dari faring.10,11,12

Aliran getah bening dari daerah tonsil menuju ke

rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node)

bagian superior di bawah m. sternokleidomastoideus.

Selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktuli

torasikus. Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh

melalui perjalanan aliran getah bening.

Inervasi tonsil bagian atas berasal dari serabut saraf V

melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah dari saraf


glossofaringeus (N. IX).12

MORFOLOGI TONSILA PALATINA

1. Kripte dan Epitel Tonsil

Susunan kripte tubuler di bagian dalam menjadi salah

satu karakteristik tonsila palatina. Tonsila palatina memiliki

10 – 30 kripte dan luas permukaan 300 cm2. Masing-masing

kripte tidak hanya bercabang tapi juga saling anastomosis.

Bersama dengan variasi bentuk dan ukuran folikel limfoid

menyebabkan keragaman bentuk tonsil. Kripte berisi sel

degenerasi dan debris selular. Epitel kripte adalah modifikasi

epitel skuamosa berstratifikasi yang menutupi bagian luar

tonsil dan orofaring. Derajat retikulasi (jumlah limfosit

intraepitel) epitel sangat bervariasi. Retikulasi epitel kripte

berperan penting dalam inisiasi imun respon pada tonsila

palatina. Pada kripte antigen lumen diambil oleh sel khusus

dari retikulasi epitel skuamosa yang menyerupai membran sel

intestinal peyer's patches, atau yang dikenal sel M.

Sel M melakukan endositosis antigen, mentranspor

antigen ke dalam vesikel di basolateral membran dan

eksositosis ke rongga intra dan subepitel tempat terjadinya

kontak dengan jaringan limfoid. Sel M tonsil terdiri dari

sedikit sel epitel kripte dan memiliki mikrovilli khusus di

bagian apeks. Fungsi transpor sel M tidak hanya menyediakan

sampling antigen tapi juga sebagai gateway bagi infeksi

mukosa atau imunisasi. Sel M memiliki relevansi klinis karena

beragam antigen menggunakan sel M sebagai pintu masuk

untuk menginvasi host.

Sel T dan sel B dapat ditemukan di semua bagian epitel

tanpa pola distribusi tertentu. Sebagian makrofag dan

dendritic cells juga berkontribusi terhadap populasi sel non


epitel. Sel plasma dominan terdapat di sekitar kapiler

intraepitel. Banyaknya sel immunokompeten dalam epitel

kripte membentuk satu mikrokompartemen limfoid tersendiri

dalam tonsila palatina14 (gambar 2).

Gambar 2. Diagram skematis tonsil palatine dan komposisi sel14

2. Folikel Limfoid

Folikel limfoid primer tampak di tonsil dari minggu ke 16

kehamilan, dan sentrum germinativum dibentuk segera setelah

lahir. Folikel limfoid di tonsila palatina berbentuk bulat atau

elips, terletak di bawah epitel dan di sisi dengan intensitas

maturasi dan diferensiasi sel B sebaik aktivasi sel T (gb. 3).

Folikel limfoid sekunder berisi sentrum germinativum

terdiri dari zona gelap, dengan sejumlah besar proliferasi B

blast atau sentroblast, zona terang (bagian basal dan apeks)

terisi sebagian besar oleh sentrosit dan sebuah mantle zone

berisi naïve B cells. Dengan menggunakan teknik antibodi

monoklonal, lima kelas sel B (Bm 1= naïve B cells sampai Bm

5= memory B cells) telah diidentifikasi pada tonsil manusia.

Folikel limfoid tonsil berisi jaringan follicular dendritic

cells (FDC) dan sebuah kelas khusus sel dendritik sentrum

germinativum yang mengaktivasi sel T di sentrum

germinativum. FDC mampu menahan sejumlah besar

kompleks imun di membran plasma untuk jangka lama dan

dengan cara beraksi sebagai antigen presenting cells yang

memberikan lingkungan yang sesuai untuk proliferasi dan

diferensiasi sel B di sentrum germinativum. Selanjutnya FDC

berperan dalam modulasi kerentanan terhadap apoptosis sel B

di folikel limfoid. Secara ultrastruktur teridentifikasi 7

populasi FDC berbeda namun belum jelas apakah mereka

memiliki fungsi yang berbeda. Seperti sel B, FDC sebagian


besar terletak dalam dark zone, sedangkan proliferasinya

terbanyak terletak pada light zone.14

3. Daerah Ekstrafolikuler

Daerah ekstrafolikular berisi sel T (terutama fenotip

helper, CD 4), interdigitating dendritic cells (IDC), makrofag,

dan venula khusus yang dikenal high endothelial venules

(HEV). HEV diperlukan sebagai pintu masuk sel T dan B dari

darah ke dalam tonsil. Dalam zona ekstrafolikuler, terdapat sel

penghasil sitokin spesifik (IL - 1α dan TNFα dari makrofag

sebaik IDC, IL-2 dan IFN-γ dari sel T) dan produksi

antibodi.14

Gambar 3. Foto mikrografi tonsila palatina menunjukkan distribusi

kelas-kelas sel T (CD 3+), sel B ( CD 20+), sel T helper

(CD4+) dan sel T sitotoksik (CD 8+). Catatan: CD 4 Dan CD

8 tidak hanya terdapat pada sel T helper dan sel T sitotoksik,

tapi juga beberapa sel non limfoid.14

IMUNOBIOLOGI TONSIL

Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing

dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid.

Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10

tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T

sangat berkurang di semua kompartemen tonsil. Selain itu juga

terjadi pada sejumlah IDC dan FDC yang merupakan agedependent

tonsilar involution.14

Gambaran struktur imunologis tonsil menunjukkan

seluruh elemen yang dibutuhkan untuk sistem imunologi

mukosa. Bakteri, virus, atau antigen makanan akan diabsorpsi

secara selektif oleh makrofag, sel HLA (+) dan sel M dari tipe

tonsil. Selanjutnya, antigen ditranspor dan dipresentasikan ke

sel T di area ekstra folikuler dan ke sel B di sentrum


germinativum oleh FDCs.15

Interaksi antara sel T dengan antigen yang

dipresentasikan oleh APC akan mengakibatkan terjadinya

peristiwa biokimiawi dalam sel T berupa peningkatan kadar

ion Ca++ dalam sitoplasma dan mengaktifkan enzim kinase

protein C yang merupakan sebagian signal untuk

mengaktifkan sel T. Dua faktor tersebut belum cukup untuk

mengaktifkan sel T karena ada faktor ke tiga yaitu IL-1 yang

disekresi oleh APC. Peranan sitokin dalam aktivasi sel T

terlihat di Gambar 4.

Gambar 4. Peranan sitokin dalam aktivasi sel T 15

Sel T yang telah aktif ditandai dengan sekresi IL-2 dan

ekspresi reseptor IL-2, sehingga akan 1) meningkatkan jumlah

klon sel T sendiri, 2) meningkatkan perbanyakan limfosit lain

yang telah diaktifkan oleh antigen yang sama atau mirip,

namun tidak dapat menghasilkan IL-2 (sel CD8+), 3)

meningkatkan jumlah sel limfosit yang telah dirangsang

sebelumnya tetapi memiliki reseptor IL-2 (sel memori yang

tidak spesifik terhadap antigen yang merangsangnya), dan 4)

meningkatkan pertumbuhan sel-sel bukan limfosit T tetapi

memiliki reseptor IL-2 (limfosit B dan natural killer cell –

NK). Hubungan antara ekspresi reseptor IL-2 dengan kadar

ion Ca++ intraseluler dibuktikan oleh Komada dkk (1987) yang

mendapatkan ekspresi maksimum reseptor IL-2 sesuai dengan

kadar maksimum ion Ca++ intrasel.16

Aktifasi limfosit B oleh antigen menjadi sel yang mampu

menghasilkan antibodi memerlukan bantuan sel Th. Terhadap

sel B selain IL-2 yang bertindak sebagai aktifator dan

promotor pembelahan, sitokin lain yang berpengaruh adalah

IL-4 sebagai aktifator limfosit B istirahat, IL-5 sebagai faktor


pertumbuhan limfosit B aktif dan IL-6 sebagai faktor

diferensiasi akhir yang mampu menjadikan sel B melepaskan

immunoglobulin (gambar 5).

Plasma sel didistribusikan pada zona ekstrafolikuler dan

epitel kripte, selanjutnya imunoglobulin disekresikan ke dalam

kripte. Maka dari itu, tonsil berperan penting dalam

memelihara flora normal dalam kripte orang sehat. Selain itu

tonsil juga akan mensekresikan IgA ke dalam lumen kripte

dan juga bertindak sebagai sumber sel B IgA dengan rantai J

positif dimer untuk area lain pada sistim respirasi atas seperti

kelenjar parotis, lakrimalis, mukosa hidung dan mukosa

telinga tengah.15

Gambar 5 . Peran sitokin pada aktivasi sel 15

Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi

menjadi 3 kejadian yaitu 1) respon imun tahap I, 2) respon

imun tahap II, dan 3) migrasi limfosit. Respon imun tahap I

terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel

kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai

barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor

antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk

kompartemen mikro intraepitel spesifik yang membawa

bersamaan material asing, limfosit dan APC seperti makrofag

dan sel dendritik dalam konsentrasi tinggi. Interaksi sel M

dengan sel yang berbeda dalam sistem imun di

mikrokompartemen selama inisiasi respon imun selular atau

humoral belum dipahami.

Sel limfoid ditemukan dalam ruang epitel kripte tonsila

palatina terutama tersusun atas limfosit B dan sel T helper

(CD4+). Respon imun membutuhkan bantuan sitokin. Sitokin

adalah peptida yang terlibat dalam regulasi proses imun dan


dihasilkan secara dominan oleh stimulasi antigen lokal

limfosit intraepitel, sel limfoid lain atau sel non limfoid. Sel T

intraepitel menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL –2, IL-

4, IL-6, TNF-α, TNF-β / LT-α, INF γ, dan TGF-β.

Diperkirakan 50-90% limfosit intraepitel adalah sel B

berupa mature memory cells B dengan potensial APC yang

memungkinkan terjadinya kontak antara antigen presenting B

cells dan T cells, menyebabkan respon antibodi yang cepat.

Beragam isotipe Ig dihasilkan dalam tonsila palatina, 82 %

dari sentrum germinativum menghasilkan Ig D, 55% Ig M,

36% IgG dan 29 % IgA.

IgA merupakan komponen substansial sistem imun

humoral tonsila palatina. Produksi J-chain oleh penghasil Ig

merupakan faktor krusial dalam transpor epitel polimer Ig

melalui komponen sekretoris transmembran. Distribusi Jchain

itu sendiri tergantung dari lokasi sel (29% IgA

dihasilkan di sentrum germinativum dan 59% IgA dihasilkan

di regio ekstrafolikular). Ig terbentuk secara pasif ditranspor

ke dalam kripte.

Respon imun tonsila palatina tahap ke dua terjadi setelah

antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah

ekstrafolikular atau folikel limfoid. Di daerah ekstrafolikular,

IDC dan makrofag memproses antigen dan menampakkan

atigen terhadap CD4+ limfosit T. Sel TFH

kemudian menstimuli limfosit B folikel sehingga berproliferasi dan

bermigrasi dari dark zone ke light zone, mengembangkan

suatu antibodi melalui sel memori B dan antibodi melalui sel

plasma. Sel plasma tonsil juga menghasilkan lima kelas Ig

(IgG 65%, IgA 20%, sisanya Ig M, IgD, IgE) yang membantu

melawan dan mencegah infeksi. Lebih lanjut, kontak antigen


dengan sel B memori dalam folikel limfoid berperan penting

untuk menghasilkan respon imun sekunder. Meskipun jumlah

sel T terbatas namun mampu menghasilkan beberapa sitokin

(misal IL-4) yang menghambat apoptosis sel B.

Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit

yang berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui

HEVdan kembali ke sirkulasi melalui limfe. Tonsil berperan

tidak hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar bagi limfosit,

beberapa molekul adesi (ICAM-1 dan L-selectin), kemokin,

dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte akan menarik sel

B untuk berperan di dalam kripte.14

TONSILITIS KRONIS

Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi

tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat;

mungkin serangan mereda tetapi kemudian dalam waktu

pendek kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini

biasanya diikuti dengan pengobatan dan serangan yang

berulang setiap enam minggu hingga 3 – 4 bulan. Seringnya

serangan merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis

kronis yang merupakan infeksi fokal.11,12,17

Gejala tonsilits kronis menurut Mawson (1977): 1) gejala

lokal, bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit

tenggorok, sulit sampai sakit menelan, 2) gejala sistemis, rasa

tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris,

nyeri otot dan persendian, 3) gejala klinis tonsil dengan debris

di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), udem atau hipertrofi

tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan

kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior

hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.18

Boies (1978) dan Paparella (1980), mengemukakan gejala


tonsilitis kronis antara lain: 1) gejala klinis, rasa nyeri di

tenggorok disertai demam ringan, nyeri sendi, 2) gejala lokal,

hipertrofi tonsil, permukaan berbenjol–benjol, kripte melebar

dan jika kripte ditekan keluar massa seperti keju. Kadang–

kadang tonsil atrofi atau degenerasi fibrotik dan terlihat dalam

fossa tonsilaris, jika ditekan terdapat discharge purulen, dan

pembesaran kelenjar limfe regional.4,12

Gambaran respon imun selular pada tonsillitis kronik

menunjukkan terjadinya peningkatan deposit antigen pada

jaringan tonsil. Hal ini menyebabkan peningkatan regulasi selsel

imunokompeten yang terjadi terus-menerus. Fenomena

peningkatan tersebut telah dibuktikan oleh Agren et al. yang

mendapatkan peningkatan insidensi sel yang mengekspresikan

IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4.19

IL-1 terdiri dari 2 bentuk yakni IL-1α dan IL-1β keduanya

mempunyai aktifitas biologis sama. IL-1α dibuat oleh

makrofag sedangkan IL-1β dibuat oleh sel-sel epitel (endotel)

dan fibroblas setelah diaktifkan antigen, merupakan sitokin

kunci pada proses inflamasi yang berperan sentral dalam

respon imun. Pengaruh IL-1 terhadap sel T adalah

meningkatkan kemampuan proliferasi sel Th2 setelah

stimulasi oleh IL-4, dan bersama IL-6 menginduksi ekspresi

reseptor IL-2 pada sel T istirahat. Terhadap sel sel B, IL-1

bersama IL-4 merupakan aktifator dan khusus IL-1α berperan

membantu sintesis DNA pada perkembangan sel B.

IL-2 dikenal sebelumnya sebagai T-cell growth factor

diproduksi oleh sel T. Hanya sel T aktif mengekspresikan

reseptor dengan afinitas tinggi dan mensekresi IL-2 sehingga

ekspansi sel T terkontrol. IL-2 berpengaruh terhadap sel T

sebagai aktifator dan faktor pertumbuhan yang kuat, berperan


menginduksi pertumbuhan dan differensiasi sel NK dan sel B,

serta mengaktifkan makrofag dan monosit.

IL-4 dikenal sebagai B-cell activating differentiating

factor-1 (BCDF-1) berpengaruh terhadap sel B dalam induksi,

aktivasi, dan diferensiasi, terutama untuk memproduksi IgG

dan IgE, sehingga IL-4 yang tinggi berperan dalam alergi. IL-

4 diproduksi oleh subpopulasi sel T dan sel mast setelah sel T

diaktifkan atau terjadi ikatan silang reseptor pada basofil dan

sel mast. IL-4 juga berperan mengarahkan perkembangan sel

T menjadi sel Th2 dengan cara menghambat differensiasi sel

Th0 menjadi sel Th1. Pengaruh terhadap Th0 dinetralisir oleh

IL-12 yang mengadakan regulasi silang dengan IL-4.

Terhadap makrofag IL-4 akan menginduksi ekspresi MHC II,

tetapi menghambat produksi sitokin.

IL-5 merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel T

aktif, dengan bentuk aktif fungsional berupa disulfid dengan

ikatan dimer. Bentuk ikatan ini memungkinkan IL-5

berinteraksi pada reseptor yang diekspresikan oleh eosinofil,

basofil dan sel B aktif. Pada sel B, IL-5 bertindak sebagai

faktor pengaktif sel B dan bersinergis dengan IL-6 berperan

besar dalam produksi IgA. Dikenal juga sebagai faktor

differensiasi eosinofil dan patologis berperan pada penyakit

alergi melalui sekresi eosinophil major basic protein dan

neurotoksin akibat degranulasi eosinofil.

IL-6 menjadi B-cell differentiating factor diproduksi oleh

makrofag, endotel dan fibroblast. Fungsi utamanya adalah

menginduksi sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel

pembentuk antibodi dan jika bersama IL-1 bertindak sebagai

co-stimulator ekspresi reseptor IL-2 pada sel T.

IL-8 diproduksi oleh makrofag dan endotel, terlibat dalam


inflamasi dan migrasi sel, merupakaan inducer kuat

kemotaksis neutrofil, sel T memori, monosit, dan basofil. IL-8

juga dikenal sebagai faktor angiogenik yang berperan serta

pada peningkatan vaskularisasi beberapa tumor.

IL-10 menjadi mediator penghambat produksi sitokin,

menghambat INFγ, menghambat presentasi aantigen dan

menghambat makrofag memproduksi IL-1, IL-6 dan TNFα

serta berperan dalam regulasi IgE. Diproduksi oleh sel Th0

dan Th2 dari sel T dan produksinya dihambat oleh INFγ.

Disamping IL-10 berperan sebagai sitokin anti inflamasi, IL-

10 juga bersinergi dengan sitokin lain dalam menstimulasi

proliferasi sel B. Bersama TGFβ menyebabkan produksi IgA

oleh sel B.

TNFα merupakan imunomodulator respon imun yang

kuat memperantarai induksi molekul adhesi, produksi sitokin,

aktifasi neutrofil, dan sinergi dengan sitokin lain bersifat

mitogen terhadap endotel. Disekresi oleh beberapa sel antara

lain oleh makrofag, sel T, sel B, dan sel NK. TNFα yang

disekresi oleh makrofag setelah berinteraksi dengan

komponen bakteri.

INFγ dikenal sebagai antivirus merupakan glikoprotein

monomer yang dibuat oleh sel T aktif (Th0, Th1 dan CD8+)

dan sel NK. INFγ pengaktif kuat bagi makrofag untuk

menginduksi NO sintetase, TNFα dan IL-1. Hal ini

menjelaskan bagaimana sitokin meningkatkan kemampuan

mikrobakterisidal makrofag. INFγ juga sinergis dengan

beberapa sitokin lain, misalnya TNFα memperantarai

sitotoksisitas berbagai tipe sel.20

INDIKASI TONSILEKTOMI

Saat ini indikasi tonsilektomi masih beragam. Di abad ke


20 tonsilektomi dilakukan karena tonsil merupakan fokus

infeksi untuk penyakit sistemik seperti reumatisme. Menurut

Ballenger (1997), tidak ada rumusan baku untuk indikasi

tonsilektomi. Grey (1994) dan Simpson (1967) membagi

indikasi tonsilektomi menjadi indikasi lokal, fokal dan umum,

sedangkan Boies (1997) atas indikasi relatif dan indikasi

absolut. Royal College Paediatric & Child Health / RCPCH

(2000) dan Scottish Intercollegiate Guideline Network / SIGN

(2001), tidak membagi indikasi tonsilektomi menjadi indikasi

relatif dan indikasi absolut.

Antoni W (2002) menyatakan bahwa kriteria pasien

dirujuk untuk tonsilektomi adalah 1) ada riwayat abses

peritonsiler, 2) ada riwayat obstruksi akibat hipertrofi tonsil,

3) ada riwayat empat atau lebih episode faringitis streptokokal

yang telah dikonfirmasi laboratorium dalam 1 tahun atau sakit

tenggorokan kronik dengan adenopati yang tidak responsif

terhadap terapi selama 6 bulan atau lebih, 4) ada episode sakit

tenggorokan yang mengganggu fungsi normal.7

Rekomendasi kriteria rujukan indikasi tonsilektomi pada

tonsilitis dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network

(SIGN) adalah adanya semua kriteria berikut 1) sakit

tenggorokan disebabkan tonsilitis, 2) Lima atau lebih episode

sakit tenggorokan tiap tahun, 3) gejala sekurangnya 1 tahun,

dan 4) episode sakit tenggorokan mengganggu dan membatasi

fungsi normal.

Indikasi yang menjadi perdebatan adalah definisi tonsilitis

kronis dan tonsilitis rekuren, di samping itu sampai sekarang

belum ada definisi praktis tonsilitis yang jelas dan diterima

secara luas. Hal ini menyulitkan penelitian mengenai tonsilitis.

Paradise et al. (2003) mendefinisikan secara klinis sebagai


sakit tenggorok dengan 1) suhu oral 38,3° C, 2) eksudat tonsil

atau faring, 3) pembesaran > 2 cm atau nyeri tekan pada

limfadenopati servikal dan 4) swab tenggorok menunjukkan

Streptokokus β hemolitikus grup A (SBHGA).8

Capper dan

Canter menyatakan bahwa kesepakatan gambaran diagnostik

tonsillitis dan indikasi tonsilektomi sangat rendah. Indikasi

yang paling banyak dianut adalah tonsillitis rekuren dan

obstruksi traktus aerodigestif. Perbedaan definisi antara

peneliti menyebabkan banyak penelitian sulit dibandingkan.9

Simpson et al. (1967) dan Gray (1992) membedakan

indikasi tonsilektomi dalam indikasi lokal, fokal dan general

(umum). Yang termasuk indikasi lokal: 1) abses peritonsil, 2)

tonsilitis rekuren, 3) tonsilitis kronis, 4) tonsil sebagai karier

Streptococcus Beta Hemolyticus Group A (SBGA), 5)

hipertrofi tonsil sehingga menyebabkan sumbatan jalan nafas

dan saluran makanan yang gagal diatasi secara konservatif, 6)

untuk pengambilan prosesus styloideus pada neuralgia, 7)

kecurigaan keganasan jika biopsi tidak cukup. Yang termasuk

indikasi fokal adalah: 1) adenitis servikal menetap, 2) infeksi

saluran nafas atas berulang, 3) rematik akut berulang yang

dihubungkan dengan tonsilitis, 4) glomerulonefritis akut yang

dihubungkan dengan tonsilitis, 5) radang dan infeksi,

konjungtiva, sendi dan fascia yang dihubungkan dengan

tonsilitis. Yang termasuk indikasi umum adalah: berat badan

tidak bertambah, malaise.

Indikasi tonsilektomi menurut Adam (1996)

dibagi atas

indikasi absolut dan indikasi relatif. Indikasi absolut adalah: 1)

timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan nafas kronis,


2) hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnea waktu

tidur, 3) hipertrofi berlebihan menyebabkan disfagi dan

penurunan berat badan, 4) biopsi eksisi kecurigaan keganasan,

5) abses peritonsil berulang atau abses yang meluas ke

jaringan sekitarnya. Selain itu ada indikasi relatif yang masih

dapat diterima yaitu: 1) serangan tonsilitis berulang yang

tercatat, tonsilitis terkait streptokokus menetap dan patogenik

(keadaan karier), 2) hipertrofi tonsil dengan obstruksi

fungsional, 3) riwayat demam rematik, 4) radang tonsil kronis

tidak responsif terhadap terapi medikamentosa.

Rekomendasi indikasi tonsilektomi dari Scottish

Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) adalah pasien

yang memenuhi semua kriteria berikut: 1) Sakit tenggorokan

disebabkan tonsilitis, 2) Lima atau lebih episode sakit

tenggorok tiap tahun, 3) Gejala sekurangnya 1 tahun, 4)

Episode sakit tenggorokan mengganggu dan membatasi fungsi

normal.

Pasien jarang dirujuk ke spesialis dalam kondisi akut,

oleh sebab itu episode sakit dan disability pasien harus

dikonfirmasi. Dianjurkan periode 6 bulan pengamatan untuk

menentukan pola gejala sakit tenggorokan dan memberi

kesempatan pasien mempertimbangkan secara penuh implikasi

operasi. Saat keputusan tonsilektomi diambil, seharusnya

segera dilakukan saat keuntungan maksimal sebelum

penyembuhan alami terjadi.

PEMBAHASAN

Tonsilitis kronik sangat sulit diobati dan tonsilektomi

lazim dilakukan. Tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan berbagai

masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi seperti

perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi.


Kriteria pembedahan yang diterima luas saat ini adalah

adanya 7 episode tonsilitis dalam satu tahun, 5 episode

tonsilitis tiap tahun selama 2 tahun atau 3 episode tonsilitis

tiap tahun selama 3 tahun. Kriteria lain yang sering dijadikan

landasan adalah 1) Sakit tenggorokan disebabkan tonsilitis, 2)

Lima atau lebih episode sakit tenggorokan tiap tahun, 3)

adanya riwayat peritonsiler abses, 4) ada riwayat empat atau

lebih episode faringitis streptokokus yang telah dikonfirmasi

laboratorium dalam 1 tahun atau sakit tenggorokan kronik

dengan adenopati yang tidak respon terhadap terapi selama 6

bulan atau lebih, 5) ada episode sakit tenggorokan yang

menyebabkan gangguan fungsi normal.

Tonsilektomi perlu dipertimbangkan bila ada keyakinan

tonsil sebagai fokus infeksi dan gagal dieradikasi dengan

terapi antibiotika yang adekuat. Tindakan tonsilektomi

dilakukan setelah meneliti kembali kegagalan pengobatan

dengan antibiotika standar. Kegagalan terapi dapat pula

diakibatkan karena organisme yang ada telah membentuk

koloni yang tidak responsif terhadap terapi, organisme resisten

terhadap terapi antibiotika standar atau penderita tidak patuh

minum obat sesuai takaran.

Tonsil sebagai sumber infeksi (focal infection) merupakan

keadaan patologis akibat inflamasi kronis dan akan

menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi organ lain. Hal ini

dapat terjadi karena kripta tonsil dapat menyimpan bakteri

atau produknya yang dapat menyebar ke bagian tubuh

lainnya..

Tonsila palatina yang terpapar infeksi bakteri dan virus

dapat merupakan sumber autoantibodi terhadap sejumlah

sistem organ sehingga tonsil memainkan peranan penting


terhadap patogenitas penyakit autoimun.. Tonsilitis fokal oleh

virus atau bakteri dapat menghasilkan berbagai antigen yang

mirip dengan bagian lain tubuh yang dapat memacu imunitas

seluler (cell-mediated) maupun imunitas humoral sehingga

terjadi komplek imun terhadap bagian lain tubuh seperti kulit,

mesangium ginjal dan mungkin sendi kostoklavikula. Struktur

tonsil dengan banyak tampaknya merupakan pintu gerbang

bagi antigen asing dan merangsang respon imun pada tonsil.

Tonsilektomi sering dilakukan pada tonsilitis kronik atau

rekuren karena tonsil tersebut telah dekompensata dari segi

imunologis. Pemeriksaan radioautografi elektron pada limfosit

tonsil 20 penderita tonsilitis kronik dekompensata,

menunjukkan di jaringan limfoid tonsil terjadi proliferasi

limfosit T dan B dengan differensiasi jelek. Proses ini

ditunjukkan dengan kuatnya inkorporasi 3H+-thymidine

berbagai tipe limfosit yang berbeda. Tingginya inkorporasi

prekursor radioaktif pada limfosit B menunjukkan terjadinya

diferensiasi menetap pada populasi limfosit ini. Esensinya

bahwa limfosit B menunjukkan menetapnya produksi

maksimal substrat protein aktif yang memperantarai imunitas

humoral pada tonsilitis kronik.21

Penelitian Unal et al. menggunakan desain before and

after, mengenai kadar sitokin (IL-1, IL-4, IL-6, IL-8 dan TNF-

α) pada penderita tonsilitis kronik yang menjalani

tonsilektomi. Didapatkan penurunan kadar sitokin IL-1, IL-6,

dan IL-8 setelah tonsilektomi. Peningkatan IL-1β dan IL-6

bertanggung jawab terhadap efek sistemik tonsilitis kronik

seperti demam rematik, pustulosis palmaris ataupun

glomerulonefritis akut.

Penyakit nefropati Ig A, yang ditandai dengan adanya


deposit Ig A terutama di mesangium glomerulus, sering terjadi

setelah ISPA seperti tonsilitis atau faringitis. Tonsil sebagai

sumber infeksi fokal bertanggung jawab pada peningkatan

sirkulasi komplek imun Ig A nefrogenik. Suzuki et al. (2003)

menyebutkan bahwa pada pasien nefropati Ig A ditemukan

deposit membran luar Haemophilus parainfluensa di

glomerulus dan peningkatan serum Ig A terhadap antigen

membran luar Haemophilus parainfluensa.23

Tonsilektomi tidak mencegah terjadinya sakit

tenggorokan berulang. Hasil penelitian Paradise et al.

menunjukkan angka kejadian sakit tenggorokan pada tahun

pertama kunjungan pada kelompok yang menjalani

tonsilektomi 1,96 (P= 0,02); kelompok adenotonsilektomi

1,85 (P= 0,01); dan kelompok kontrol 2,78. Pada tahun ke dua

masing-masing menjadi 1,59 (P= 0,01); 1,78 (P= 0,01); dan

2,85. Pada tahun ke tiga kelompok tonsilektomi 1,19

(P=0,002); kelompok adenotonsilektomi 1,36 (P= 0,01); dan

kelompok kontrol 2,25. Insiden infeksi sakit tenggorokan di

kelompok tonsilektomi atau adenotonsilektomi lebih rendah

dibandingkan kelompok kontrol selama 3 tahun follow up.

Sedangkan kejadiaan sakit tenggorokan di kelompok yang

menjalani tonsilektomi saja dan di kelompok

adenotonsilektomi tidak berbeda bermakna.24

Dengan desain case series atas 290 penderita peritonsiler

abses, Kronenberg et al. (1987) mendapatkan bahwa penderita

tonsilitis rekuren memiliki angka kekambuhan abses

peritonsiler lebih besar dibandingkan dengan yang tanpa

riwayat tonsilitis rekuren (40% berbanding 10.5%, nilai p=

0.0001). Tindakan konservatif tanpa tonsilektomi memberikan

angka kekambuhan 22%.


Gangguan fungsi pada penderita tonsilitis kronik dan

dampaknya terhadap kualitas hidup telah banyak diteliti.

Penderita tonsilitis kronik yang terganggu fungsi respirasi dan

deglutisi mengalami penurunan kualitas hidup, meningkatkan

biaya perawatan kesehatan dan kehilangan waktu untuk

sekolah atau bekerja. Obstructive sleep apnea syndrome

(OSAS), yang prevalensinya 1 – 3 % pada anak TK dan usia

sekolah, menimbulkan masalah kesulitan bernafas malam hari

terutama saat tidur, gangguan emosional, gangguan perilaku

dan gangguan neurokognitif.

Penelitian before and after surgery oleh Goldstein et al.

menggunakan Child behavior checklist (CBCL) dan OSA-18

(18 item berkaitan survai QOL pada penderita OSAS) menilai

64 pasien obstruksi saluran nafas dan atau tonsilitis. Hasil

penelitian menyebutkan bahwa gangguan perilaku dan

emosional ditemukan pada anak dengan OSAS sebelum

diobati dan membaik setelah adenotonsilektomi. Skor CBCL

menunjukan korelasi signifikan dengan skor QOL (OSA-18).

Penelitian Lianne et al. dengan desain prospektif,

observasional, before and after trial, atas 101 pasien OSD

(obstructive sleep disorders) yang menjalani

adenotonsilektomi; menggunakan OSD-6, yang meliputi

keluhan fisik, gangguan tidur, kesulitan bicara, kelainan

menelan, distress emosional, keterbatasan fisik, dan perhatian

orang tua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir

90% anak yang menjalani tonsilektomi mengalami

peningkatan QOL setelah pembedahan - 75% perbaikan besar

dan 6% perbaikan sedang.

Neil et al. meneliti daya guna tonsilektomi pada dewasa

dan menentukan pengaruhnya terhadap QOL. Desain yang


dipakai cross-sectional, menggunakan parameter Glasgow

Benefit Inventory (GBI) meliputi demografi, penggunaan

antibiotik, kunjungan pasien, kehilangan waktu kerja

disebabkan tonsilitis kronik selama 12 bulan sebelum dan

setelah tonsilektomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

tonsilektomi pada dewasa memberikan perbaikan QOL pasien.

Tonsilektomi juga menurunkan pemakaian sarana kesehatan

dan waktu kerja yang hilang.

Keuntungan tonsilektomi secara ekonomi diteliti oleh

Bhattacharyya et al. menggunakan break even time analysis

model pada 83 pasien yang menjalani tonsilektomi karena

tonsilitis kronik, menggunakan GBI dan kuesioner untuk

menilai sebelum dan setelah tonsilektomi. Dalam 1 tahun

terdapat penurunan pemakaian antibiotik, kunjungan pasien ke

dokter dan hari kerja yang hilang. Break even point

keseluruhan tonsilektomi dicapai pada 2,3 tahun. Berdasar

fakta tersebut dapat disimpulkan tonsilektomi menurunkan

pemakaian fasilitas kesehatan, meminimalkan economic

burden tonsilitis kronik pada populasi dewasa.

KESIMPULAN

Tonsilektomi merupakan tindakan operasi bidang THT

tersering. Indikasi tonsilektomi yang diterima luas pada saat

ini adalah tonsilitis kronik dengan 7 atau lebih episode sakit

tenggorok akibat tonsilitis dalam 1 tahun atau 5 episode/tahun

dalam dua tahun dan 3 episode/tahun dalam 3 tahun. Indikasi

lain adalah riwayat abses peritonsilar, karier SBHGA, dan

gangguan fungsi.

Pada tonsilitis kronik terjadi penurunan fungsi imunitas

tonsil. Penurunan fungsi ditunjukkan melalui peningkatan

deposit antigen persisten pada jaringan tonsil sehingga terjadi


peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten berakibat

peningkatan insiden sel yang mengekspresikan IL-1β, TNF-α,

IL-6, IL-8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4.

Tonsilektomi harus dengan indikasi tepat mengingat

peranan tonsil sebagai bagian sistem pertahanan tubuh.

Penelitian menunjukkan bahwa pada tonsilitis rekuren atau

kronik, tonsilektomi menurunkan angka kejadian sakit

tenggorok, meningkatkan QOL, menurunkan pemakaian

fasilitas kesehatan dan meminimalkan beban ekonomi

penderita tonsilitis. Pada anak-anak hendaknya dikerjakan

pada tonsilitis kronik yang telah mengganggu fungsi normal

seperti obstructive sleep disorders dan gangguan fungsi

digesti. Sedang pada kasus Ig A nefropati, palmaris pustulosa,

demam rematik tonsilektomi dikerjakan untuk menghilangkan

fokus infeksi.

KEPUSTAKAAN

1. Quinn FB, Ryan MB. The tonsil and adenoid in pediatric patient. In

Grand Round Presentation, UMTB, Dept. Otolaryngology. www.

UMTB.edu. 2002.

2. Timms MS, Temple RH. Coablation tonsillectomy: a double blind

randomized controlled study, J Laryngol. Otol. 2002; 116: 450-.2.

3. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of sore throat

and indications for tonsilectomy. www.show.scot. nhs.uk. 1999

4. Paparella MM. Otolaryngology. Philadelphia: WB Saunders 1980: 417-

19.

5. Ulina S. Hasil guna ketoprofen dalam mengatasi nyeri pasca

tonsilektomi. Karya Akhir Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan

Tenggorok. RSUP DR. Sardjito/FK UGM. 2002.

6. Royal College Paediatric & Child Health. Management of acute and

recurring sore throat and indication for tonsillectomy. RCPCH. London.


2000.

7. Anthony WC. Pharyngitis and Tonsillitis. In Best Practice of Medicine.

www.info@mdx.com. 2002.

8. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn K, Benard BS, Rockette HE, Lasky

MK. Tonsillectomy and adenotonsilectomy for recurrent throat infection

in moderately affected children. Pediatrics 2002;110: 7-15.

9. Ballanger JB. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.

Ed.13. Binarupa Aksara. Jakarta: 318-323.

10. Gray RF, Hawthrorne M. Anatomy of the mouth and pharynx. In:

Synopsis of Otolaryngology. 5th.ed. Singapore: Butterworth Heinemann

1992: 288 – 304.

11. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology

mouth and pharynx. In: Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat Disease,

a pocket reference. 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook 1994:307 -

12. Adam GL. Penyakit – penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies

Buku Ajar Penyakit THT. Edisi bahasa Indonesia. EGC Jakarta 1996:

13. Ballantyne J, Groves J. Acute infection of the pharynx and tonsil. Scott

Brown's Otolaryngology. 5th ed. Butterworth. London, Sydney. Durban

Toronto: 1987. 76 – 98.

14. Nave H, Gebert A, Pabst. Morphology and immunology of the human

palatine tonsil. Anat Embryol 2001;204: 367-373.

15. Bernstein JM, Yamanaka N, Nadal D. Imunobiology of the tonsil and

adenoid. In Handbook of Mucosal Immunology. Academic Press Inc.:

1994. pp. 625-640.

16. Subowo. Imunobiologi. 10 th

ed.. Bandung:Angkasa, 1993.

17. Simpson JF, Robin IG, Ballantyne JC, Groves J. A synopsis of

otolaryngology. 2nd ed. Bristol: John Wright and Sons Ltd. 1967. p: 189-

193.

18. Mawson SR. Disease of the tonsil and adenoid. In: The Disease of the
Ear, Nose and Throat. London: Butterworth 1977; 3: 123 – 170. 19. Agren K,
Anderson U, Nordlander B, Nord CE, Linde A, Ernberg I et al.

Upregulated local cytokine production in recurrent tonsillitis compare

with tonsillar hypertrophy. Acta Otolaryngol 1995;115: 689-696.

20. Male D, Cooke A, Owen M, Trowsdale J, Champion B. Advance

Immunology. 3 rd ed. Mosby Year Books. London. 1996.

21. Chikovani NV, Gabuniia UA, Lomaia TG. Morphology of the palatine

tonsils lymphocytes in chronic tonsillitis using data of electron

microscopic radioautography. Arch Pathol 1989;51: 55-59.

22. Murat U, Oztruck C, Gorur K. Effect of tonsillectomy on serum

concentration of Interleukin and TNFα in patients in chronic tonsillitis.

Otorhinolaryngol 2002;64: 254 – 256.

23. Suzuki S, Fujieda S, Sunaga H, Yamamoto C, Kimura H, Gejyo F. 2000.

Synthesis of immunoglobulins against Haemophilus parainfluenza by

tonsillar lymphocyte from patients Ig A nephropaty. Nephrol Dial

Transplant 15: 619-624.

24. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Benard BS, Rockette HE,

Kurs-Lasky M. Tonsilect

omy and adenotonsilectomy for rekuren throat

infection in moderately affected children. Pediatrics 2002; 110: 7-15.

25. Kronenberg J, Wolf M, Leventon G. Peritonsilar absess: recurrence rate

and indications of tonsillectomy. Otolaryngol 1987;8: 82-84.

26. Goldstein NA, Fatima M, Campbell TF, Rosenfeld RM. Child behaviour

and quality of life before and after tonsillectomy and adenoidectomy.

Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002;128: 770-775.

27. Lianne M. Impact of adenotonsilectomy on quality of life in children

with obstructive sleep disorders. Arch otolaryngol head neck surg.,

2002;128:489-496.

28. Bhattacharyya N, Kepness LJ, Shapiro J. Efficacy and quality of life

impact of adult tonsillectomy. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2001;

127: 1347-1350.
29. Bhattacharyya N,Kepness LJ.Economic benefit of tonsilectomy in adults

with chronic tonsillitis. Ann Otol Rhinol Laryngol 2002;111: 983-8.

Anda mungkin juga menyukai