1
“The Rule of Law and Transitional Justice in Conflict and Post-conflict Societies,” Report of the Secretary General, 23
August 2004, UN Doc. S/2004/616, para.8.
2
ibid., para.21.
1
ulang
kasus
pengabaian
keadilan
transisi
guna
mempertahankan
status
quo
atas
nama
memprioritaskan
“perdamaian”,
khususnya
pada
kasus
Indonesia/Timor
Leste,
dan
menguraikan
berbagai
makna
yang
terkandung
di
dalamnya.
1. Kecenderungan
keadilan
transisi
secara
makro
Berhubungan
dengan
penelitian
tentang
keadilan
transisi,
sudah
banyak
dilaksanakan
studi
kasus,
baik
secara
individu
atau
melalui
studi
banding,
dan
juga
dilakukan
analisis
kuantitatif
secara
lintas
negara
(cross
nasional)3,
sehingga
akhir-‐akhir
ini
sedang
tercipta
suatu
cabang
ilmu
dari
bidang
ilmu
studi
hubungan
internasional
dan
ilmu
politik
komperatif.
Pelembagaan
studi
keadilan
transisi
juga
telah
berkembang
sedemikian
rupa.
Misalnya,
lembaga
studi
yang
terkait
dengan
keadilan
transisi,
telah
didirikan
di
beberapa
negara,
seperti
The
International
Center
for
Transitional
Justice
(HQ
di
New
York)
pada
tahun
2001
dan
jurnal
tentang
keadilan
transisi
berupa
International
Journal
of
Transitional
Justice,
yang
terbit
sejak
tahun
2007.
Salah
satu
latarbelakang
dari
gerakan
tersebut
dan
tidak
dapat
diabaikan
adalah
adanya
gelombang
besar
yang
disebut
“justice
cascade
(kaskade
keadilan)”4,
yaitu
tuntutan
atas
tanggungjawab
pelanggar
HAM
(terutama
pelanggaran
HAM
yang
dilakukan
oleh
pihak
militer
dan
kepolisian)
yang
berat
yang
terjadi
di
masa
lalu
dalam
proses
demokratisasi.
Cascade,
bagai
mengalirnya
air
jeram,
dimana
selama
ini
meski
para
pimpinan
politik
termasuk
kepala
negara
yang
melakukan
pembantaian
atau
kejahatan
terhadap
kemanusiaan,
tidak
dihukum
dan
hal
itu
dianggap
hal
yang
lumrah
terjadi,
tetapi
belakangan
ini
tuntutan
dalam
kasus
semacam
ini,
desakan
agar
pelakunya
diadili
di
pengadilan
semakin
meningkat
dan
dalam
kenyataannya,
jumlah
kepala
negara
yang
dituntut
ke
pengadilan
atas
dugaan
perbuatan
kejahatan
berat
dalam
tenggang
waktu
Januari
1990
hingga
Mei
2008
mencapai
67
orang5.
Gagasan
“justice
cascade”
ini
pertama
kali
dicetuskan
oleh
Sikkink
dkk,
dan
mereka
menunjukkan
bahwa
“justice
cascade”
yang
berasal
dari
Eropa
Selatan
dan
Amerika
Latin
telah
menyebar
ke
seluruh
dunia,
fenomena
ini
tidak
dapat
tersangkalkan.
Memang,
bermula
dari
Yunani
dan
Portugis
pasca
demokratisasi,
pengadilan
yang
terkait
dalam
kasus
penculikan
dan
penghilangan
paksa
para
aktivis
pada
rezim
militer
di
Argentina,
dan
penangkapan
Pinochet
di
Inggris,
atas
permintaan
dari
Spanyol,
hingga
sampai
tahap
pengadilan
terhadap
Pinochet
yang
dilakukan
di
Chili,
upaya-‐upaya
itu
membuka
lembaran
3
ibid., para.21.
4
Kathryn Sikkink, The Justice Cascade: How Human Rights Prosecutions Are Changing World Politics (New
York: W. W. Norton & Company, 2011); Ellen L. Lutz and Kathryn Sikkink, “The Justice Cascade: The
Evolution and Impact of Foreign Human Trials in Latin America,” Chicago Journal of International Law 2(1),
2001, pp. 1-34.
5
Kathryn Sikkink, The Justice Cascade: How Human Rights Prosecutions Are Changing World Politics (New
York: W. W. Norton & Company, 2011); Ellen L. Lutz and Kathryn Sikkink, “The Justice Cascade: The
Evolution and Impact of Foreign Human Trials in Latin America,” Chicago Journal of International Law 2(1),
2001, pp. 1-34.
2
baru,
maka
arus
jeram
(cascade)
ini
semakin
deras
dalam
waktu
yang
cukup
singkat.
Dan
ditambah
pula,
upaya
pengadilan
internasional
antara
lain
pengadilan
pidana
internasional
ad
hoc
untuk
bekas
Yugoslavia
(ICTY)
dan
Rwanda
(ICTR),
yang
akhirnya
membawa
hasil
berupa
terbentuknya
pengadilan
kriminal
internasional
yang
permanen.
Namun,
“justice
cascade”
ini
tidak
tersebar
secara
merata
dan
sifat
politik
yang
melekat
pun
juga
berbeda-‐beda,
tergantug
kasusnya
(case
by
case).
Sehubungan
dengan
itu,
salah
satu
poin
penting
yang
ditunjukkan
oleh
Sikkink
dkk,
adalah
pengaruh
dari
karakteristik
proses
transisi
demokratisasi
terhadap
keadilan
transisi.
Misalnya,
terjadinya
transisi
terputus
(“ruptured”
transition)
seperti
di
Yunani,
Portugis
dan
Argentina,
disebabkan
oleh
pengaruh
elit
politik
rezim
lama
yang
telah
lenyap,
sehingga
terbuka
peluang
mengadili
pelanggar
HAM
di
masa
lalu
oleh
badan
yudisial.
Akan
tetapi,
jika
transisi
paket
(“pacted”
transition)
berupa
hasil
kompromi
antara
para
elit
rezim
lama
dengan
pihak
pro
demokratisasi
seperti
di
Spanyol
dan
Uruguay,
sebab
pengaruh
elit
rezim
lama
masih
cukup
besar,
sehingga
para
pelaku
pelanggaran
HAM
cenderung
dibebaskan
dari
ancaman
hukuman
pidana
lewat
pemberian
amnesti,
sehingga
kejahatan
masa
lalu
tidak
dipersoalkan
lagi.
Namun
demikian,
sebagaimana
dikatakan
oleh
Sikkink,
jika
ada
upaya
untuk
mengadili
para
elit
rezim
lama
yang
terlibat
dalam
pelangaran
HAM
secara
terorganisir
di
negara
tetangganya,
di
negara-‐negara
yang
melakukan
transisi
paket
lewat
komporomi
tadi
pun,
kadangkala
juga
mengikuti
upaya
tersebut,
dan
kemudian
berupaya
mewujudkan
keadilan
transisi
(keadilan
transisi)
secara
sungguh-‐sungguh.
Dengan
demikian,
meskipun
jalur
yang
dijalankan
berbeda
sesuai
proses
demokratisasinya,
tetapi
melalui
proses
pembelajaran
satu
sama
lain
“justice
cascade”
semakin
menyebar
secara
pasti.
Fonomena
itu
memang
terjadi,
khusus
di
Eropa
Selatan
dan
Amerika
Latin,
tetapi
jika
melihat
negara-‐negara
selain
wilayah
tersebut,
terutama
di
wilayah
Asia,
walaupun
gelombang
“justice
cascade”
telah
sampai
disana,
masih
terdapat
berbagai
rintangan
dan
tantangan,
sehingga
secara
nyata
banyak
kasus
keadilan
transisi
yang
dikebiri
atau
tidak
berjalan
sama
sekali.
Lagi
pula,
sebagaimana
arus
air
pasti
diiringi
oleh
arus
balik,
“justice
cascade”
juga
terlihat
semakin
melemah
di
tengah
suasana
yang
kadang
lebih
mengutamakan
kepentingan
keamanan
dan
logika
geopolitik
daripada
hak
asasi
manusia,
terutama
dalam
peristiwa
11
September
tahun
2001
di
AS
dan
terjadinya
“perang
dengan
terorisme”
pasca
pristiwa
itu.
Sebagai
salah
satu
contoh,
khususnya
dapat
ditunjuk
pada
kasus
Kambodia
dan
Timor
Leste,
dimana
terjadinya
genosida
setelah
pertengahan
tahun
1970-‐an6.
Dalam
tulisan
ini
penulis
menfokuskan
pada
kasus
Timor
Leste
dan
menguraikan
kenyataan
keadilan
transisi
di
sana.
6
Jumlah korban tewas akibat genosida sebenarnya berbeda-beda menurut berbagai laporan. Angka ini diperkirakan
antara 1.6 ~1.8 juta orang di bawah penguasan Khmer Merah di Kambodia, dan 100 ~ 180 ribu orang di Timor Leste.Ben
Kiernan, “The Demography of Genocide in Southeast Asia: The Death Tolls in Cambodia, 1975-79, and East Rimor,
1975-80,” in Genocide and Resistance in Southeast Asia: Documentation, Denial & Justice in Cambodia & East Timor.
New Brunswick: Transaction Books, 2008, pp.269-282; CAVR, Chega! The Report of the Commission for Reception,
Truth, and Reconciliation Timor-Leste.Executive Summary.2005, p.146.
3
2.
Pelanggaran
HAM
yang
tidak
diadili:
Politik
yang
melumpuhkan
keadilan
transisi
(1) Struktur
yang
tak
berubah
dan
pembiaran
masalah
pelanggaran
HAM
:
dari
logika
perang
dingin
ke
logika
geopolitik
Walaupun
informasi
tentang
invasi
dan
penjajahan
TNI
terhadap
Timor
Leste
sejak
tahun
1975
dan
yang
diikuti
dengan
terjadinya
pembantaian
massal
dalam
proses
tersebut,
hanya
sebagian
kecil
saja
yang
sudah
disampaikan
oleh
para
pengungsi
yang
ke
Portugis
atau
ke
Australia,
tetapi
dalam
kenyataannya
sebagian
besar
informasi
itu
tertutupi
dan
tidak
dapat
diketahui
oleh
pihak
luar7
Salah
satu
alasan
mengapa
penjajahan
Indonesia
dan
pelanggaran
HAM
berat
di
Timor
Leste
tersebut
tidak
dipersoalkan
oleh
Amerika
Serikat,
Austraria,
Jepang
dan
lain-‐lain
tentu
karena
adanya
logika
perang
dingin
pada
waktu
itu.
Sebab
pada
era
itu,
pada
saat
bersamaan
dengan
kemerdekaan
Angola
dan
Mozanbik
dari
penjajahan
Portugis,
dimana
di
negara-‐negara
tersebut
terbentuk
pemerintahan
sosialis
atas
dukungan
dan
bantuan
dari
Uni
Soviet
dan
Kuba.
Sedangkan
di
Afrika
Selatan
dan
Amerika
Serikat
memberi
bantuan
militer
kepada
gerilyawan
melawan
pemerintah
yang
sah.
Dengan
demikian
terjadinya
perang
dingin
yang
diwakili
oleh
kedua
kutub
di
suatu
negara.
Negara-‐negara
Barat,
terutama
pemerintah
AS
dan
Australia
yang
khawatir
akan
terjadinya
hal
serupa
di
Timor
Leste
yang
merupakan
jajahan
Portugis,
mengakui
penjajahan
Indonesia
di
bawah
rezim
Suharto
yang
menyatakan
sikap
anti
komunisnya.
Tak
dapat
dipungkiri,
bahwa
salah
satu
alasannya
adalah
menurut
logika
perang
dingin.
Kemudian,
dalam
proses
perubahan
zaman,
berakhirnya
masa
perang
dingin
antara
AS
dengan
Uni
Soviet,
keadaan
sedikit
berubah.
Terutama
pada
bulan
Oktober
tahun
1989,
saat
Paus
Yohanes
Paulus
II,
Uskup
Roma
berkunjung
ke
Timor
Leste,
terjadi
unjuk
rasa
yang
menuntut
kemerdekaan
yang
diikuti
dengan
terjadinya
insiden
Santa
Cruz
pada
November
1991,
menarik
perhatian
masyarakat
internasional.
Belanda,
Denmark
dan
Kanada
menghentikan
pemberian
bantuan
ekonomi
yang
baru
kepada
Indonesia,
dan
pada
Maret
tahun
berikutnya
Belanda
menghentikan
pula
bantuan
yang
sudah
disepakati
sebelumnya.
Tetapi
pemerintah
Jepang,
negara
donator
terbesar
bagi
pemerintahan
Suharto
tetap
memberikan
bantuan
ekonominya.
Lalu,
ketika
Ramos
Horta
dkk
berkunjung
ke
Jepang
pada
tahun
1997,
satu
tahun
kemudian
setelah
meraih
Penghargaan
Nobel
Perdamaian,
meski
Perdana
Menteri
Jepang
Hasimoto
(pada
waktu
itu)
sedang
berkunjung
ke
Jakarta,
ia
menyampaikan
kepada
presiden
Suharto
bahwa
pemerintah
Jepang
tidak
bersedia
untuk
bertemu
dengan
Ramos
Horta
dan
7
Mengenai sejarah perjuangan Timor-Leste demi kemerdekaan, dapat melihat:Akihisa Matsuno, “Higashi Timor
Dokuritsushi (Sejarah Kemerdekaan Timor-Leste)”(in Japanese). Waseda University Press, 2002 danGeoffrey Robinson,
“If You Leave Us Here, We Will Die” How Genocide Was Stopped in East Timor.Princeton: Princeton University Press,
2010.
4
secara
nyata
para
pejabat
tinggi
pemerintah
Jepang
termasuk
Menteri
Luar
Negeri
Jepang,
Ikeda
menolak
bertemu
dengan
Horta8.
Pendek
kata,
dapat
diasumsikan
bahwa
atas
pertimbangan
kepentingan
ekonomi
dalam
hal
perdagangan
dengan
Indonesia,
pemerintah
Jepang
memilih
memelihara
hubungan
diplomasi
yang
baik
dengan
pemerintah
Suharto,
daripada
memilih
komitmen
tentang
pelanggaran
HAM
di
Timor
Leste
(de
facto
Jepang
bersikap
pura-‐pura
tidak
tahu-‐menahu
pelanggaran
HAM
oleh
pemerintah
Indonesia).
Sebagaimana
dengan
melihat
sikap
negara-‐negara
Barat
akhir-‐akhir
ini
yang
mengutamakan
hubungan
ekonomi
dengan
pemerintah
RRC,
dan
pura-‐pura
tidak
tahu-‐menahu
adanya
pelanggaran
HAM
terhadap
masyarakat
Tibet
oleh
pemerintah
RRC,
logika
geopolitik
atau
geo-‐ekonomik
dianggap
lebih
penting
daripada
etika
pelindungan
HAM,
dan
fenomena
ini
malah
semakin
sering
terjadi.
Yang
ingin
penulis
tunjukkan
di
sini,
adalah
bahwa
meski
keadaan
tersebut
semakin
berubah
sebagai
suatu
kecenderungan
yang
bersifat
makro,
tetapi
kenyataannya
logika
geo-‐ekonomik
lebih
diperioritaskan
dari
pada
isu
HAM,
dan
hal
ini
tetap
memberi
dampak
negatif
pada
proses
transisi
demokratisasi,
bahkan
transisi
keadilan
(keadilan
transisi)
yang
terkait
erat
dengan
itu.
Hal
itu
berlaku
juga
pada
Indonesia
yang
seharusnya
telah
mewujudkan
“demokratisasi”
dan
Timor-‐Leste
yang
telah
merdeka.
Upaya
penciptaan
perdamaian
di
Timor
Leste
dinilai
relatif
berhasil
dibanding
dengan
kasus
Bosnia
dan
Kosovo9.
Namun,
di
sisi
lain,
kekerasan
pasca
referendum/jajak
pendapat
di
bawah
pengawasan
PBB
pada
tahun
1999
dan
pemberontakan
para
veteran
Falintil
yang
dikenal
dengan
Krisis
200610,
upaya
tersebut
tidak
dapat
berjalan
dengan
lancar,
sehingga
tidak
sedikit
pula
yang
menganggap
upaya-‐upaya
tersebut
kurang
memadai.
Apalagi
upaya
untuk
mewujudkan
keadilan
transisi
dan
yang
terkait
dengan
itu,
secara
de
facto
dinilai
kurang
berhasil.
Jika
penulis
ingin
menyajikan
kesimpulan
tulisan
ini
terlebih
dahulu
dapat
dikatakan
seperti
di
bawah
ini.
Keadilan
transisi
di
Indonesia
dan
Timor-‐Leste
tidak
mengubah
secara
mendasar
budaya
politik
impunitas
yang
melekat
atau
berakar
pada
wilayah
ini,
sebagai
akibat
dari
pilihan
yang
terlalu
mengutamakan
perdamaian
sebatas
rhetoric
(retorika)
karena
terlalu
menyegani
Indonesia,
negara
besar
di
wilayah
ini.
Hal
ini
dikarenakan
bukan
hanya
(1)
kesungkanan
elit
politik
(terutama
Presiden
Xanana
Gusmão)
pemimpin
di
negara
kecil
yang
baru
merdeka
ini,
terhadap
Indonesia,
tetapi
juga(2)
proses
demokratisasi
yang
sebenarnya
di
Indonesia
pun
mundur
(terhalang)
(pengaruh
TNI
masih
kuat),
dan
(3)
keadaan
politik
internasional
terutama
sikap
negara-‐negara
Barat
dan
8
“Presiden Suharto dan PM Hasimoto Bertemu Hari Ini” (Asahi Shinbun-Pagi, 10.1.1979) (in Japanese)
9
Oisín Tansey, Regime-Building: Democratization and International Administration. Oxford: Oxford University Press,
2009, pp.210-211.
10
Krisis 2006 dapat melihat misalnya;。Report of the United Nations Independent Special Commission of Inquiry for
Timor-Lest. Geneva, 2 October 2006.
5
Jepang
yang
secara
substansial
mengakui
keadilan
transisi
terlumpuhkan.
Terutama
berhubungan
dengan
butir
(3)
di
atas,
suasana
politik
internasional
itu
tidak
jauh
berbeda
dengan
pada
era
perang
dingin,
dimana
negara-‐negara
Barat
dan
Jepang
tidak
mempersoalkan
pelanggaran
HAM
di
Timor
Leste.
(2)
“Parodi
Keadilan”
di
Indonesia
Pengadilan
pidana
internasional
ad
hoc
untuk
Rwanda
(ICTR)
dan
untuk
bekas
Yugoslavia
(ICTY)
masing-‐masing
dibentuk
pada
tahun
1990-‐an
berdasarkan
resolusi
Dewan
Keamanan
PBB.
Dan
sebenarnya
pernah
dan
sedang
ada
tuntutan
untuk
membentuk
pengadilan
internasional
serupa
terhadap
kasus
pelanggaran
HAM
yang
terjadi
setelah
referendum/jajak
pendapat
di
Timor
Leste
pada
tahun
1999.
Memang,
pada
awal
tahun
2001
Komisi
Penyelidik
PBB
juga
telah
mengeluarkan
rekomendasi
agar
membentuk
pengadilan
internasional
ad
hoc
berkaitan
dengan
pelanggaran
HAM
di
Timor
Leste11.
Akan
tetapi,
untuk
menyelenggarakan
pengadilan
internasional
dibutuhkan
biaya
dan
tenaga
yang
amat
besar
serta
adanya
protes
dari
pemerintah
Indonesia,
sehingga
terpaksa
hanya
membentuk
hybrid
court
yang
tidak
tertata
dan
tidak
berkekuatan
mengikat.
Hybrid
courtdi
Timor
Leste
terdiri
dari
dua
instansi,
yaitu
SCU
(Serious
Crimes
Unit/
Unit
Kejahatan
Berat)
yang
dibentuk
di
lingkungan
Kejaksaan
Agung
di
UNTAET
dan
SPSC
(Special
Panel
for
Serious
Crimes/Panel
Khusus
untuk
Kejahatan
Serius)
di
bawah
PBB
di
Dili.
Tetapi
sejalan
dengan
itu,
pengadilan
HAM
ad
hoc
juga
dibentuk
oleh
pihak
Indonesia.
Selain
itu,
sebagai
mekanisme
yang
melingkupi
keadilan
transisi
dalam
arti
luas,
tidak
hanya
sebatas
keadilan
yudisial,
tetapi
terbentuk
pula
Komisi
Penerimaan,
Kebenaran
dan
Rekonsiliasi
(Commission
for
Reception,
Truth,
and
Reconciliation
[Comissão
de
Acolhimento,
Verdade
e
Reconciliação],
selanjutnya,
CAVR)
dibentuk
oleh
UNTAET
sebagai
badan
independen
dan
Komisi
Kebenaran
dan
Persahabatan
(KKP)
yang
dibentuk
atas
kesepakatan
antara
pemerintah
Indonesia
dan
Timor
Leste.
Kegiatan
kedua
instansi
itu
juga
dijalankan
seiring
dengan
prosedur
penuntutan
pidana
yang
dijalankan
oleh
SCU.
Karena
pelanggaran
HAM
di
Timor-‐Leste
dilakukan
oleh
negara
Indonesia,
sehingga
jika
selama
pihak
yang
bertanggungjawab
atas
pelanggaran
itu
tidak
diadili,
secara
substansial
keadilan
transisi
akan
kehilangan
makna.
Meski
CAVR
maupun
KKP
telah
mengindikasikan
siapa
penanggungjawabnya,
tetapi
pihak
pemerintah
Indonesia
tidak
mau
menyerahkan
pelakunya,
dua
instansi
ini
tidak
dapat
mengadili
pelakunya,
terutama
SCU
mengalami
kehilangan
efektivitasnya
sama
sekali.
Sebaliknya,
pengadilan
HAM
ad
hoc
di
Jakarta
sejauhmana
mampu
mengungkapkan
dan
memvonis
para
pelaku
pelanggaran
HAM
tahun
1999,
hal
itu
merupakan
ujian
yang
penting.
Namun,
seperti
beberapa
laporan
telah
menunjukkan
bahwa
tidak
hanya
“perjanjian
yang
disebut
keadilan
transisi
saja
tidak
ditaati”12,
melainkan
sejak
awal
“kegagalannya
telah
11
“Report of the International Commission of Inquiry on East Timor to the Secretary-General,” UN General Assembly
54th Session, Agenda Item 96, UN Doc.A/54/726, S/2000/59, 31 January 2001, para. 153.
12
Open Society Justice Initiative and Coalition for International Justice, Unfulfilled Promises: Achieving Justice for
6
terencana” 13 .
Maksudnya,
pengadilan
HAM
ad
hoc
berperan
untuk
mengakhiri
keadilan
transisi
dengan
mengingkari
harapan
keadilan
para
korban
dan
keluarganya.
Terhadap
serangkaian
pelanggaran
HAM
secara
massal
(penghancuran,
pembantaian,
pemindahan
paksa
dan
sebagainya)
pada
tahun
1999,
pihak
komisi
HAM
PBB
dan
lain-‐lain
berupaya
untuk
membentuk
komisi
penyelidik
international
dan
pengadilan
internasional
ad
hoc.
Sedangkan,
pemerintah
Indonesia
secara
de
facto,
menolak
intervensi
yudisial
dari
masyarakat
internasional
lewat
“janji”
akan
membentuk
KPP-‐HAM
(Komisi
Penyelidikan
Pelanggaran
Hak
Asasi
Manusia)
di
bawah
Komnas
HAM
(Komisi
Nasional
Hak
Asasi
Manusia),
dan
berdasarkan
UU
tentang
HAM
(UU
No.39/1999),
akan
mengadili
pelaku
pelanggaran
HAM
berat
di
pengadilan
dalam
negeri.
Untuk
mengadili
pelaku
pelaggaran
HAM
berat
seperti
pembunuhan
massal
dan
penghancuran
secara
sistematis
di
Timor
Leste
tahun
1999,
kenapa
tidak
dapat
membentuk
pengadilan
internasional
ad
hoc
seperti
untuk
Rwanda
dan
bekas
Yugosravia?
Salah
satu
alasannya,
adalah
karena
keterbatasan
dana
serta
tenaga,
dan
ditambah
pula
dengan
janji
Indonesia
kepada
PBB,
akan
mengambil
tindakan
yudisial
yang
memadai
sebagi
pengganti
penolakan
intervensi
dari
masyarakat
internasional14.
Maka,
selanjutnya
sikap
pengadilan
HAM
ad
hoc
di
Indonesia
disoroti,
sejauhmana
para
hakim
berani
menghukum
terdakwa
yang
terlibat
dalam
pelanggaran
HAM
tersebut.
Memang,
pemerintahan
Gus
Dur,
setelah
pemerintahan
Habibie,
telah
mencoba
menangani
masalah
itu
secara
aktif.
Tetapi,
setelah
jatuhnya
Gus
Dur
dari
jabatan
presiden
dan
diganti
dengan
pemerintahan
Megawati
yang
berbasis
dukungan
TNI,
pengadilan
ad
hoc
yang
tidak
dapat
mempertahankan
independensi
secara
yudisial,
de
facto
mengalami
kegagalan
karena
adanya
tekanan
besar
dari
pihak
TNI.
Jenderal TNI Wiranto dan
Mayjen
Zacky
Makarim
yang
disebut
sebagai
penanggungjawab
tertinggi
atas
pelanggaran
HAM
pada
tahun
1999
menurut
SCU
maupun
laporan
KPP-‐HAM15
tidak
dituntut
di
muka
pengadilan.
Lagi
pula
hanya
6
orang
terdakwa
divonis
bersalah
di
antara
18
orang
yang
dituntut
di
tingkat
Pengadilan
Negeri,
kemudian
semua
terdakwa
dari
pihak
Indonesia
termasuk
aparat
TNI
dibebaskan
di
Pengadilan
Tingkat
banding16.
Hanya
satu-‐satunya
yang
divonis
penjara
selama
10
tahun
adalah
Eurico
Guterres,
komandan
Milisi
Aitarak
di
Dili,
tetapi
tidak
juga
diekuseksi.
Kemudian
atas
bukti
yang
baru,
putusan
itu
dibatalkan
pula
dan
divonis
tidak
bersalah17.
7
Terhadap
Mayjen
Adam
R.
Damiri
yang
bertugas
sebagai
Pangdam
Udayana
pada
waktu
itu
divonis
hanya
3
tahun
penjara
oleh
Pengadilan
Negeri
dengan
alasan
terlibat
pada
kejahatan
kemanusiaan
yang
memberi
perintah
pembunuhan,
dan
putusan
itu
sempat
menarik
perhatian
publik.
Namun,
ia
juga
akhirnya
divonis
tidak
bersalah
oleh
pengadilan
banding
dengan
alasan
barang
bukti
tidak
cukup.
Perubahan
putusan
pengadilan
terhadap
Adam
Damiri
itu
malah
membuat
kita
terkesan
adanya
arus
balik
(backlash)
yang
deras
secara
menyeluruh
melawan
upaya
penegakan
keadilan18.
Terhadap
serangkaian
putusan
pengadilan
ad
hoc
yang
bersifat
backlash
itu,
yang
meringankan
atau
membebaskan
terdakwa
dari
pihak
Indonesia
tersebut,
Komisi
Pakar
PBB
menyampaikan
laporan19
yang
mengkritik
kinerja
pengadilan
ad
hoc
tersebut
kepada
Sekjen
PBB.
Menurutnya,
kurangnya
komitmen
dalam
prosedur
tindakan
pidana
yang
efektif
yang
dapat
dilihat
dari
adanya
kekeliruan
yang
menonjol
dalam
proses
investigasi,
perlindungan
saksi
serta
korban
dan
penyediaan
alat
bukti,
sehingga
prosedur
sidang
di
pengadilan
ad
hoc
sangat
lemah.
Terutama,
menyangkut
masalah
yang
cukup
serius,
meskipun
laporan
KPP-‐HAM
dan
lain-‐lain
telah
membuktikan
keterlibatan
TNI
dalam
pelanggaran
HAM
secara
terorganisir,
tetapi
langkah-‐langkah
penyidikan
sengaja
tidak
dilaksanakan
secara
tegas20.
Pihak
kejaksaan
dalam
pengadilan
ad
hoc
tidak
hanya
membatasi
ruang
lingkup
obyek
penyidikan
sebagai
tindak
pidana
seperti
tabel
1,
tetapi
tanggungjawab
masing-‐masing
tersangka
juga
jauh
lebih
diringankan
jika
dibanding
dengan
SCU
maupun
KPP-‐HAM
seperti
tabel
2.
Semakin
naik
banding
hingga
kasasi,
vonis
terhadap
terdakwa
justru
semakin
ringan.
Akibatnya
dapat
dikatakan
bahwa
pengadilan
HAM
ad
hoc
memberi
kontribusi
dalam
terjadinya
“budaya
politik
impunitas”
terhadap
pelanggaran
HAM
oleh
negara.
Tabel
1.
RuangLingkup
Obyek
InvestigasiKejahatan
Terhadap
Kemanusiaan
Kejaksaan
pengadilan
ad
hoc
Laporan
KPP-‐HAM
Kategori
kejahatan
Pembunuhan
massal,
penyiksaan,
penghilangan
paksa,
kekerasan
seksual/pemerkosaan,
pembumihangusan,
pemindahan
paksa/pengusiran,
penghilangan
barang
bukti.
Kasus
kejahatan
Empat
(4)
kasus:
Tidak
hanya
4
kasus
di
kiri
tabel,
①kasus penyerangan Gereja tetapi
terdapat
16
kasus.
Liquisa,
②penyerangan
kompleks
Gereja
Suai,
③
penyerangan
rumah
Manuel
Carrascalao,④penyerangan
rumah
Uskup
Belo)
18
Cohen,Intended to Fail----, p. 3.
19
UN, Security Council, “AnnexⅡ Report to the Secretary-General of the Commission of Experts to Review of the
Prosecution of Serious Violations of Human Rights in Timor-Leste (then East Timor) in 1999 (以下、COE Report),” in
Letter dated 24 June 2005 from the Secretary-General addressed to the President of the Security Council. UN Doc.
S/2005/458, 15 July 2005, para.370-375.
20
Ibid.,
8
Wilayah
yang
3
lokasi
(Suai,
Dili
dan
Liquisa)
Seluruh
distrik
(13
distrik)
Timor
diselidiki
Leste
Jumlah
tersangka
16
orang
Lebih
dari
100
orang
termasuk
para
pemberi
komando
kepada
anggota
dan
pelaku
di
lapangan
secara
langsung
di
pihak
Indonesia.
Tenggang
waktu
April
s/d
September
1999
Januari
s/d
September
1999
(Sumber:
“AnnexⅡ
Report
to
the
Secretary-‐General
of
the
Commission
of
Experts
to
Review
of
the
Prosecution
of
Serious
Violations
of
Human
Rights
in
Timor-‐Leste
(then
East
Timor)
in
1999,”
in
Letter
dated
24
June
2005
from
the
Secretary-‐General
addressed
to
the
President
of
the
Security
Council
,UN
Doc.
S/2005/458,
p.551.)
Tabel
2:Tanggapan
institusi
yudisial
terhadap
pelaku
tindak
pidana
Terduga
Kejaksaan
SCU
Laporan
KPP-‐HAM
Pengadilan
ad
hoc
(kejahatan
terhadap
kemanusiaan)
Jenderal
TNI
Penghentian
Bertanggungjawab
Bertanggungjawab
Wiranto;Panglima
penuntutan
pidana
atas
komando.
TNI
dan
Menteri
Pertahanan
Nasional
Mayjen
TNI
Adam
Bertanggungjawab
Bertanggungjawab
Bertanggungjawab
Damiri;
Pangdam IX atas
komando.
pidana
dan
komando.
Udayana
Mayjen
Zacky
Penghentian
Bertanggungjawab
Bertanggungjawab
Makarim
penuntutan
pidana
pidana
dan
atas
komando.
Mayjen
Kiki
Penghentian
Bertanggungjawab
Tidak
ada
nama
Syahnakri
penuntutan
pidana
pidana
dan
atas
dalam
dafter
komando.
Brigjen
FX.
Tono
Bertanggungjawab
Bertanggungjawab
Bertanggungjawab
Suratman;Komandan
atas
komando.
pidana
dan
atas
Korem
164
Wira
komando.
Dharma
Dili
Kolonel
M.
Nur
Bertanggungjawab
Bertanggungjawab
Bertanggungjawab
Muis;Komandan
atas
komando.
atas
komando.
Korem
164
Wira
Dharma
Dili
(Suksesi
Suratman)
Letkol
Yayat
Bertanggungjawab
Bertanggungjawab
Bertanggungjawab
Sudrajat;Perwira
pidana
dan
atas
atas
komando.
Kopassus/SGI
BKO
komando.
Korem
Dili
Abilio
Bertanggungjawab
Bertanggungjawab
Bertanggungjawab
Soares;Gubernur
atas
komandon.
pidana
KDH
Tingkat
I
Timor
Timur
(sumber:
“AnnexⅡ
Report
to
the
Secretary-‐General
of
the
Commission
of
Experts
to
Review
of
the
Prosecution
of
Serious
Violations
of
Human
Rights
in
Timor-‐Leste
(then
East
Timor)
in
1999,”
in
Letter
dated
24
June
2005
from
the
Secretary-‐General
addressed
to
the
President
of
the
Security
Council
,UN
Doc.
S/2005/458,
p.49.
Pangkat
serta
jabatannya
menurut
laporan
KPP=HAM)
9
Lagi
pula,
yang
perlu
digarisbawahi
adalah
orang-‐orang
yang
disebut
namanya
sebagai
pelaku
utama
kejatahan
terhadap
kemanusiaan
oleh
KPP-‐HAM
dan
SCU,
hampir
semuanya
tidak
dicopot
dari
jabatan
pemerintahan
sama
sekali,
malah
ada
juga
yang
berhasil
naik
panggung
politik
di
tingkat
pusat,
seperti
Wiranto
mantan
menteri
pertahanan
nasional
dan
Prabowo
mantan
panglima
kopasus.
Konkritnya,
kedua
orang
itu
tidak
hanya
mencalonkan
diri
sebagai
calon
presiden
dari
Partai
Golkar
pada
2004,
tetapi
juga
Prabowo
mendirikan
Partai
Gerindra
sebagai
ketua
partai
pada
2008,
kemudian
mengikuti
pemilihan
presiden
tahun
2009
sebagai
calon
wakil
presiden
yang
berpasangan
dengan
Megawati,
calon
presiden
dan
mendapatkan
sekitar
27%
dari
total
suara21.
Sementara,
meski
tidak
disebut
namanya
sebagai
tersangka
kejahatan
terhadap
kemanusiaan
dalam
laporan
KPP-‐HAM,
Susilo
Bambang
Yudoyono
juga
pernah
mengikuti
operasi
militer
dalam
invasi
dan
penjajahan
Timor-‐Leste
dan
menurut
sebagian
akademisi
seharusnya
ia
bertanggungjawab
atas
komando 22
pelanggaran
HAM
berat
di
Timor-‐Leste.
Namun,
SBY
mempromosikan
diri
sebagai
“orang
yang
bersih”
dan
mencalonkan
diri
untuk
jabatan
presiden
pada
pemilihan
presiden
tahun
2004
serta
2009,
dan
menang
dengan
memperoleh
suara
sebesar
sekitar
61%.
Kendati
terlihat
kecenderungan
“demilitarisasi”
di
jabatan
pemerintahan,
tetapi
para
veteran
yang
berperan
besar
pada
zaman
Orde
Baru
masih
tetap
mempertahankan
pengaruh
besarnya
pasca
“demokratisasi”.
Artinya,
proses
demokratisasi
di
Indonesia
terjadi
pada
suasana
pengaruh
kaum
elit
rezim
lama
yang
masih
relatif
kuat
di
antara
pola
transisi
paket
(pacted
transition),
dimana
terjadi
kompromi
antara
kaum
elit
rezim
lama
dengan
pihak
pro-‐demokratitasi.
Akibatnya,
keadilan
transisi
cenderung
terkebiri
kecuali
pada
periode
pemerintahan
presiden
Gus
Dur
yang
relatif
menghindari
kaum
elit
rezim
lama.
Orang
yang
dituduh
sebagai
pelaku
kejahatan
terhadap
kemanusiaan
dibebaskan
dari
segala
tuduhan,
bahkan
berhasil
memainkan
peran
di
panggung
politik
pusat.
Proses
ini
mengingatkan
kita
pada
mantan
Perdana
Menteri
Jepang,
Shinsuke
Kishi
yang
ditahan
sebagai
tersangka
kejahatan
dalam
perang
dunia
II
melalui
pengadilan
Tokyo,
tapi
di
kemudian
hari
terjadi
arus
balik
pada
era
perang
dingin,
penuntutannya
dihentikan
serta
sanksi
berupa
penghentian
dari
jabatan
pemerintah
juga
dihapuskan,
dan
akhirnya
menjadi
perdana
menteri.
Analogi
ini
menunjukkan
bahwa
dampak
dari
perubahan
kebijakan
pemerintah
AS
terhadap
hak
asasi
manusia
dan
kemanusiaan
sebagi
suatu
backlash
dalam
keadilan
transisi,
tidak
dapat
diabaikan.
Pemerintah
AS
menghentikan
bantuan
militer
kepada
Indonesia
dengan
alasan
pelanggaran
HAM
secara
sitematis
di
Timor
Leste
tahun
1999.
Sebenarnya,
ketika
terjadi
insiden
Santa
Cruz
tahun
1991,
pemerintah
AS
telah
menghentikan
pemberian
bantuan
militer
kepada
Indonesia
tahun
sebelumnya.
Tetapi
semenjak
tahun
1995,
dijalankan
kembali
sebatas
program
International
Military
Education
and
Training
(selanjutnya
IMET).
Namun,
sehubungan
terjadinya
serangkaian
kekerasan
di
21
Honna, Jun “Daitoryosen-Yudoyono no Saisen to Kenyokuseiji to Doin project, “Indonesian no Senkyo—Yudoyono
saisen no haikeito Dainiki seiken no tembo”---edited by Honna Jun& Kawamura Koichi, IDE, 2010, P.53 (Japanese)
22
Gerry van Klinken and David Bourchier, “Crimes against Humanity in East Timor in 1999: The Key Suspects,” in
Masters of Terror----.edited by Richard Tanter, Gerry van Klinken and Desmond Ball, pp.153-54.
10
Timor
Leste
tahun
1999,
sehingga
IMET
dihentikan
lagi,
dan
mencakup
seluruh
bantuan.23.
Namun
demikian,
semenjak
serangan
11
September
2001,
dalam
konteks
“Perang
melawan
Terorisme”
yang
digelorakan
oleh
Presiden
AS
Bush,
Asia
Tenggara,
terutama
Indonesia
dan
Filipina
diposisikan
sebagai
garis
terdepan
sekunder
dalam
perang
terhadap
ekstrimis
Islam,
dan
sesuai
dengan
penilaian
semakin
pentingnya
posisi
strategis
tersebut,
pada
awal
tahun
2002
pemerintah
AS
membuka
kembali
keran
saluran
bantuan
militer
terhadap
Indonesia24.
Khususnya
terhadap
peristiwa
teror
pemboman
di
Kuta,
Bali
pada
tgl.12
Januari
2002
dan
pemboman
Hotel
JW
Mariot
di
Jakarta
pada
tgl.
5
Agustus
2003 25,
Indonesia
semakin
meningkatkan
hubungan
kerjasama
di
bidang
“Perang
melawan
Terorisme”
yang
diprakarsai
oleh
AS.
Akibatnya,
bukan
hanya
sebatas
keadilan
transisi
yang
berkaitan
dengan
Timor-‐Leste
yang
terkebiri,
juga
di
antara
tersangka
yang
dibebaskan
dari
tuduhan
dalam
proses
keadilan
transisi,
seperti
Guteres,
Damiri
atau
Timbul
Silaen
(Kapolda
Timtim
pada
saat
terjadinya
kekerasaan
tahun
1991),
di
kemudian
hari
ternyata
ada
juga
yang
diangkat
sebagai
komandan
operasi
militer
terhadap
gerakan
separatis
di
Papua
(Irian
Jaya)26
dan
Aceh,
dan
mereka
mengulangi
tindakan
pelanggaran
HAM
seperti
yang
dilakukannya
di
Timor
Leste27.
Bahkan
Guteres
yang
menggunakan
para
milisi
Aitarak
di
Timor
Leste
dalam
pembantaian,
menerapkan
pula
metode
itu
di
Papua
dengan
membentuk
milisi
yang
bernama
Front
Pembela
Merah
Putih
dalam
rangka
operasi
militer
di
sana28.
Perbuatan
itu
merupakan
sebuah
tantangan
terhadap
proses
keadilan
transisi
yang
berkeinginan
mengadili
pelaku
pelanggaran
HAM
secara
sistematis
termasuk
kejahatan
terhadap
kemanusiaan
di
Timor-‐Leste,
dan
juga
ingin
mempertahankan
logika
negara
pertahanan
keamanan
selama
ini29,
dimana
demi
kepentingan
pertahanan
dan
keamanan
nasional
serta
keutuhan
teritorial,
maka
mengorbankan
hak
asasi
manusia
dan
keamanan
manusia
yang
dinilai
sebagai
akibat
logis
yang
tidak
dapat
terhindarkan.
Menurut
pandangan
TNI,
kekerasan
yang
terjadi
di
Timor-‐Timur
merupakan
“perang
saudara”
antara
yang
pro-‐
dan
yang
kontra-‐
integrasi
di
tengah
masyarakat
Timor-‐Timur
sendiri
dan
kemerdekaan
Timor-‐Leste
dari
Indonesia
juga
merupakan
hasil
dari
tipu
muslihat
23
Anthony L. Smith, “A Glass Half Full: Indonesia-U.S. Relations in the Age of Terror,” Contemporary
Southeast Asia 25(4), 2003, P.453.
24
ibid., p.459.
25
Meski tidak ada pernyataan, tetapi dianggap kedua insiden itu dilakukan oleh Jamaah Islamiyah
26
Pada 1999 Presiden Gus Dur menyetujui perubahan nama Propinsi Pupua dari Irian Jaya dan pengibaran bendera
Morning Star yang merupakan lambang gerakan Papua Merkeda. Walaupun kebijakan Gus Dur ini dikecam di sidang
DPR pada 2000, tetapi 2003 Propinsi Irian Jaya diubah menjadi Propinsi Pupua secara resmi. Tetapi dibawah
pemerintahan presiden Megawati pihak konservatif meraih kekuasaan kembali, mengebiri makna UU No.21/tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Propinsi Papua dan untuk melumpuhkan gerakan Papua Merdeka memekarkan wilayahnya dan
mendirikan Propinsi Papua Barat. Richard Chauvel, “Australia’s Strategic Environment: The Problem of Papua,” Agenda
11(1), 2004, pp.44-48.
27
ibid., p. 39, 52; Open Society Justice Initiative and Coalition for International Justice, op.cit.,p.23; Joseph Nevins, A
Not-So-Distant Horror: Mass Violence in East Timor. Ithaca: Cornell University Press, 2005, p.177.
28
Neles Tebay, West Papua: The Struggle for Peace with Justice (London: Catholic Institute for International Relations,
2005), p.18.
29
Berhubung dengan logika tentang pertahanan dan keamanan nasional, tesis karya Iris Marion Young amat sugestif.
Lihat Iris Marion Young, “The Logic of Masculinist Protection: Reflections on the Current Security State,” Sings:
Journal of Women in Culture and Society, 29(2), 2003, pp.1-25.
11
masyarakat
internasional
termasuk
Australia
didalamnya 30 .
Maksudnya,
argumen
yang
menyebut
adanya
keterlibatanTNI
pada
pelanggaran
HAM
dalam
kekerasan
tahun
1999
di
Timor
Timur
adalah
salah,
dan
dalam
hal
itu
TNI
sama
sekali
tidak
perlu
memikul
pertanggungjawaban.
Itulah
pernyataan
resmi
TNI.
Sebagai
akibat
“politik
penghindaran”
itu,
budaya
politik
yang
menimbulkan
pelanggaran
HAM
secara
berulang
tidak
dapat
diperbaiki.
Dengan
demikikan
penulis
menyimpulkan
faktor-‐faktor
terkebirinya
proses
keadilan
transisi
sebagai
berikut.
Pertama,
kekuasan
politik
para
kaum
elit
rezim
lama
masih
cukup
kuat.
Kedua,
adanya
peranan
hegemoni
AS
yang
menopang
struktur
kekuasaan
tersebut.
Dan
ketiga,
PBB
yang
seharusnya
menjalankan
keadilan
transisi
maupun
pihak
elit
politik
di
Timor
Leste
yang
sebenarnya
merupakan
korban
sendiri
juga
tidak
terlepas
dari
permasalahan.
(3) SCU
:
Keterbatasan
Hybrid
Justice
yang
tak
tertata
Melihat
kondisi
Timor
Leste
tahun
1999,
Komisi
Hak
Asasi
Manusia
PBB
menyelenggarakan
special
session,
dan
meminta
Sekjan
PBB
untuk
membentuk
Komisi
Penyelidik
Internasional31.
Pada
Januari
2000,
Komisi
Penyelidik
PBB
yang
dibentuk
sesuai
permintaan
tersebut,
mengusulkan
agar
membentuk
pengadilan
pidana
internasional
yang
mengadili
pelaku
pelanggaran
HAM
berat
berdasarkan
hasil
penyelidikan 32.
Akan
tetapi
kantor
pusat
PBB
tidak
mengabulkan
usulan
itu
karena
permasalahan
biaya
dan
kepedulian
(atau
pengharapan)
terhadap
Indonesia 33 .
Maka,
prosedur
penuntutan
pidana
terhadap
pelanggaran
itu
dijalankan
melalui
dua
jalur
masing-‐masing
pengadilan
HAM
ad
hoc
di
Indonesia
dan
hybrid
court
di
Timor
Leste
secara
terpisah.
Seperti
disebut
di
atas,
hybrid
court
di
Timor
Leste
terdiri
dari
SCU
(Serious
Crimes
Unit)
yang
berfungsi
sebagai
kejaksaan
dan
SPSC
(Special
Panel
for
Serious
Crimes)
yang
berfungsi
sebagai
pengadilan,
dan
keduanya
disebut
proses
hukum
terhadap
kejahatan
berat
(Serious
Crimes
process).
Penilaian
pihak
luar
terhadap
proses
kejahatan
berat
itu
rata-‐rata
kurang
memuaskan34.
Misalnya,
SPSC
terdiri
dari
dua
orang
hakim
dari
luar
negeri
dan
satu
orang
hakim
di
negara
setempat,
tetapi
tingkat
pengetahuan,
kompetensi
serta
pengalaman
mereka
di
bidang
hukum
kurang
memadai.
Selain
itu
infrastruktur
informasi
hukum
kurang
lengkap,
perlindungan
saksi
dan
korban
kurang
perhatian
serta
masalah
komunikasi
disebabkan
tidak
adanya
penerjemah
dan
lain-‐lain.
Masalah-‐masalah
itu
telah
disebut
sejak
awal
institusi
itu
berjalan,
sama
halnya
30
Pandangan pihak Indonesia, terutama para elit TNI yang menganggap tipu muslihat masyarakat internasional dalam hal
masalah Timor Leste ditunjuk dalam tesis karya Akihisa Matsuno. Lihat Akihisa Matsuno, iblid., pp.85~86.
31
Commission on Human Rights Resolution 1999/S-4/1, 27 September 1999, para.6.
32
“Report of the International Commission of Inquiry on East Timor to the Secretary-Genral,” UN Doc. A/54/727,
S/2009/59, paras. 152-153.
33
Megan Hirst and Howard Varney, Justice Abandoned: An Assessment of the Seriosu Crimes Process in East Timor.
New York: International Center for Transnational Justice, June 2005, p.4.
34
Sejumlah buku yang mengulas dan menilai putusan SPSC dari 2001 hingga 2005 telah diterbitkan , dan di situ terlihat
penuh komentar dan kritik yang sangat pedes, misalnya tidak memenuhi kriteria international dsb.Adnré Klip and Göran
Sluiter eds. Annotated Leading Cases of International Tribunals. Volume ⅩⅢ Timor Leste The Special Panels for
Serious Cimes 2001-2003. Antwerp: Intersentia, 2008;-----.Annotated Leading Cases of International Tribunals. Volume
ⅩⅥ Timor Leste The Special Panels for Serious Cimes 2003-2005. Antwerp: Intersentia, 2009, passim.
12
seperti
SCU35.
SCU
sendiri
menjalankan
prosedur
penuntutan
pidana
dari
tahun
2000
hingga
2005
sejalan
dengan
pengadilan
HAM
ad
hoc
di
Indonesia,
tetapi
sejak
awal
lembaga
ini
juga
menghadapi
banyak
permasalahan.
Sebetulnya
mandat
SCU
mencakup
penyidikan
pelanggaran
hak
asasi
manusia
yang
terjadi
sebelum
tahun
1999,
yakni
selama
seperempat
abad
di
bawah
invasi
dan
penguasaan
militer
Indonesia
semenjak
tahun
1975,
tetapi
sumber
daya
yang
dapat
digunakan
sangat
terbatas,
maka
terpaksa
membatasi
kasus
pelanggaran
hanya
dalam
kurun
dari
Januari
hingga
September
1999
saja.
Artinya,
pelanggaran
HAM
berat
selama
kurun
waktu
25
tahun
tidak
diproses
sebagai
perkara
tindak
pidana.
Pengungkapan
fakta
pelanggaran
tersebut
dilaksanakan
oleh
CAVR.
Penulis
akan
menyinggungnya
di
bagian
belakang
tulisan
ini.
Meski
periode
yang
difokuskan
sudah
dibatasi,
tetapi
SCU
juga
kurang
berhasil 36 .
Ini
selain
dikarenakan
masalah
karakterlistik
hybrid
justice,
(1)
kekurangan
pengalaman
para
pihak
yudisial
di
Timor
Leste,
(2)
kekurangan
dana,
(3)
program
peningkatan
kemampuan
sumber
daya
manusia
setempat
yang
kurang
mamadai,
(4)
kurangnya
dukungan
politik
di
dalam
negeri
dan
(5)kekurangan
dukungan
termasuk
lemahnya
political
will
dari
PBB.
Contohnya,
akibat
kekerasan
tahun
1999
diperkirakan
lebih
dari
1300
orang
kehilangan
nyawa,
namun
karena
proses
penyidikan
hanya
dapat
menangani
40%
dari
total
korban,
sehingga
tuntutan
dalam
upaya
penyidikan
yang
datang
dari
pihak
keluarga
korban
semakin
meningkat.
Namun,
SCU
menghadapi
dilema,
jika
menangani
kasus
secara
sendiri-‐sendiri,
untuk
menyidik
tersangka
yang
merupakan
kaki
tangan
di
lapangan
akan
memakan
waktu
lama
serta
membutuhkan
tenaga
dalam
jumlah
besar,
dan
sebaliknya
penyidikan
terhadap
tersangka
utama
tidak
dapat
dilaksanakan
dengan
memadai37.
Menurut
laporan
Komisi
Pakar
(Commission
of
Expert)
PBB
juga
menyebutkan
masalah-‐masalah
yang
serius
dalam
SCU
seperti
kurangnya
political
will,
dan
lemahnya
strategi
yang
efektif
untuk
memproses
perkara.
Pendek
kata,
dikarenakan
SCU
yang
tidak
memiliki
strategi
yang
efektif
dengan
memaksimalkan
pemanfaatan
sumber
daya
yang
terbatas,
maka
tidak
berhasil
dengan
mamadai
untuk
mengungkapkan
gambaran
yang
menyeluruh
tentang
pelanggaran
berat
hak
asasi
manusia38.
Upaya
hybrid
court
di
Timor-‐Leste
yang
dibantu
oleh
PBB
kurang
berhasil
akibat
kekurangan
political
will,
kepemimpinan,
kemampuan
managemen
dan
akuntabilitasnya.
Hanya
saja
apabila
upaya
tersebut
dapat
terhindar
dari
kegagalan
total,
menurut
seorang
penilai,
disebabkan
oleh
faktor
kebetulan
adanya
kesungguhan
orang
secara
pribadi
yang
berupaya
keras
untuk
mengungkapkannya39.
Tetapi
kita
harus
ingat
bahwa
hambatan
terbesar
dalam
prosedur
penuntutan
pidana
ini
adalah
justru
sikap
pemerintah
RI
yang
tidak
kooperatif
dan
hambatan
dari
pimpinan
politik
35
Caitlin Reiget and Marieke Wierda, The Serious Crimes Process in Timor-Leste: In Retrospect, New York:
International Center for Transnational Justice, 2006, pp.14-16.
36
Suzanne Kazenstein, “Hybrid Tribunals: Searching for Justice in East Timor,” Harvard Human Rights Journal 16, 2003,
p.245-278.
37
Reiget and Wierda, op.cit., p.20.
38
COE Report, para.51, 63-64.
39
David Cohen, Indifference and Accountability: The United Nations and the Politics of International Justice in East
Timor. Honolulu: East-West Center, June 2006, passim.
13
pemerintah
Timor-‐Leste.
Hingga
tahun
2005,
SCU
menutut
sejumlah
391
orang
sebagai
tersangka
kejahatan
berat
terhadap
kemanusiaan.
Di
antaranya,
termasuk
37
orang
perwira
TNI,
4
orang
perwira
Polri,
60
orang
warga
Timor
Leste
yang
terkait
militer,
dan
5
orang
pejabat
tinggi
sipil
seperti
mantan
gubernur
atau
bupati,
tetapi
339
orang
diantaranya
telah
berada
di
wilayah
Indonesia,
yaitu
di
luar
wilayah
yuridiksi
Timor-‐Leste40.
Oleh
karenanya,
SCU
meminta
surat
penangakapan
Wiranto,
mantan
Menteri
Pertahanan
sebagai
penanggungjawab
tertinggi
atas
kekerasan
dan
pelanggaran
tahun
1999,
dan
bulan
Mei
2004
pengadilan
mengabulkan
permintaan
itu
dan
menerbitkan
surat
penangkapannya.
Akan
tetapi,
presiden
Gusmão
memanggil
jaksa
agung,
menekan
dan
memaksakannya
untuk
menarik
kembali
permohonan
penangkapan
itu.
Maka,
secara
nyata
menutupi
jalur
pencarian
orang
(tersangka)
melalui
interpol41.
Seperti
dijelaskan
di
atas,
pada
waktu
itu
Wiranto
sedang
merebut
kursi
calon
presiden
di
partai
Golkar.
Barangkali
hal
itu
juga
jadi
pertimbangan,
tapi
selain
itu,
demi
mempertahankan
kebijakan
“perdamaian”,
presiden
Gusmão
sengaja
pergi
ke
pulau
Bali
dan
memperlihatkan
sikap
yang
ramah
dengan
Wiranto
dengan
saling
berdekapan 42 .
Semenjak
itu,
pihak
Timor
Leste
de
facto
tidak
dapat
mengeluarkan
surat
penangkapan
tersangka
utama
orang
Indonesia
yang
diduga
terlibat
pada
pelanggaran
hak
asasi
manusia
pada
tahun
199943.
Mengapa
para
elit
politik
Timor-‐Leste
termasuk
presiden
Gusmão
mempertahankan
kebijakan
perdamaian
sampai
mengorbankan
keadilan
lewat
hukum
acara
pidana?
Tentu
salah
satu
alasannya
adalah
untuk
mempertahankan
hubungan
baik
dengan
Indonesia,
negara
besar
dan
negara
tetangganya.
Karena
mereka
takukeadilan
transisiika
upaya
penuntutan
secara
pidana
akan
menyinggung
perasaan
kaum
konservatif
di
Indonesia,
dan
berakibat
buruk
terhadap
hubungan
Indonesia
dan
Timor-‐Leste,
maka
pada
Mei
2004
Gusmão
mengusulkan
pendekatan
kebenaran
dan
perdamaian
secara
internasional
kepada
presiden
Megawati
(kala
itu)44 .
Seperti
dikatakan
oleh
Ramos
Horta,
sepanjang
tanpa
persetujuan
negara-‐negara
Dewan
Keamanan
PBB
termasuk
AS,
tidak
mungkin
dibentuk
pengadilan
internasional
yang
mengadili
elit
politik
Indonesia.
Oleh
karenanya
bagi
Timor-‐Leste
hanya
ada
opsi
perdamaian
tanpa
penghukuman.
Inilah
pemahaman
para
elit
politik
di
Timor-‐Leste45.
Di
samping
itu,
pemerintah
RI,
terutama
SBY
yang
menjadi
presiden
pada
Oktober
2004
mengajak
keikutsertaannya
dalam
KPP
yang
lebih
menitikberatkan
pada
perdamaian,
dan
pemerintah
Jepang
juga
dengan
kuat
mendukung
KKP,
maka
dalam
kondisi
itu
elit
politik
Timor-‐Leste
mau
tak
mau
memilih
jalur
(kebijakan)
perdamaian
meski
sebagian
besar
masyarakat
dalam
negeri
menuntut
keadilan
jalur
hukum 46 .
Menurukeadilan
transisieffrey
Kingston
yang
40
ibid., para. 48.
41
ibid., para.71-73.
42
ibid., para.71.
43
ibid., para.74.
44
Megan Hirst, Too Much Friendship, Too Little Truth: Monitoring Report on the Commission of Truth and Friendship in
Indonesia and Timor-Leste. New York: International Justice Center for Transnational Justice, January 2008, p.10-11.
45
ibid.,p.11.
46
Jeffrey Kingston, “Balancing Justice and Reconciliation in East,” Critical Asian Studies 38 (3), 2006, p.298.
14
mewawancarai
Gusmão
dan
Horta,
kedua
elit
itu
beranggapan
negatif
terhadap
penuntutan
keadilan
yudisial
tanpa
pertimbangan
yang
matang
seperti
LSM-‐LSM
hak
asasi
manusia,
dan
menyatakan
perdamaianlah
yang
lebih
penting 47 .
Dari
pandangan
tersebut,
Gusmão
mengkritik
penuntutan
pidana
atau
kompensasi
(reparasi)
sebagai
idealisme
yang
belebihan
seperti
bukan
saja
oleh
SCU
tetapi
juga
isi
laporan
CAVR.
Akan
tetapi
menurut
laporan
Komisi
Pakar
PBB,
hasil
polling
opini
publik
di
Timor
Leste
tahun
2004
menunjukkan
bahwa
sekitar
39%
yang
menjawab;
“lebih
baik
mengutamakan
perdamaian
meski
upaya
perwujudan
keadilan
dikorbankan”,
sedangkan
yang
mendukung;
“harus
mewujudkan
keadilan
meski
perdamaian
terhambat”
mencapai
sekitar
52% 48 .
Berdasarkan
hasil
polling
itu,
Komisi
ini
merekomendasikan
agar
memajukan
prosedur
penuntutan
pidana
pada
masa
depan
karena
pelanggaran
HAM
berat
dalam
keadaan
impunitas
tidak
boleh
dibiarkan49.Terutama,
kekerasan
dan
pelanggaran
hak
asasi
manusia
yang
dilakukan
oleh
militer
Indonesia
dan
tidak
diproses
secara
hukum,
apakah
bisa
dianggap
sebagai
opsi
terbaik
atau
tidak,
dimana
terdapat
perbedaan
pandangan
antara
elit
politik
dengan
masyakarat
internasional
dan
dalam
negeri50.
(4)
KKP:
Perdamaian
tanpa
hukuman
KKP
didirikan
atas
kesepakatan
antara
Gusmão
dengan
SBY
dan
misinya
adalah
pengungkapan
kebenaran
dengan
membahas
ulang
sejumlah
laporan
yang
berkaitan
dengan
kekerasan
dan
pelangaran
HAM
tahun
1999
(KKP-‐HAM,
Pengadilan
HAM
ad
hoc,
SCU,
CAVR
dan
sebagainya).
KKP
memulai
kegiatannya
sejak
tahun
2005
dan
pada
tanggal
15
Juli
2008
saat
pertemuan
kedua
presiden
di
Bali
disampaikan
laporan
terakhir
yang
berjudul
“Dari
Kenangan
Menuju
Harapan
(Per
Memoriam
Ad
Spem)”
yang
terdiri
dari
sekitar
300
halaman51.
Menyikapi
laporan
tersebut,
SBY
mengakui
adanya
pelanggaran
hak
asasi
manusia
oleh
aparatur
TNI,
sebagaimana
disebut
dalam
laporan
itu
dan
menyatakan
penyesalannya,
namun
tidak
menyatakan
permintaan
maaf
secara
resmi,
maupun
pernyataan
perlu
menjalankan
proses
acara
pidana
lebih
lanjut
tentang
pelanggaran
tersebut.
Tetapi,
yang
perlu
diperhatikan
di
sini
adalah
bahwa
yang
menginginkan
“perdamaian
tanpa
menghukum”
47
ibid., p.280-83.
48
COE Report, para.381.
49
ibid., para.387.Pad bulan Juni 2005, Sekjen PBB mengajukan laporan Komisi Pakar kepada DK PBB. Walaupun DK
PBB tidak menerima begitu saja rekomendasi di laporan itu, tetapi meminta penyelidikan dan laporan lebih lanjut yang
mengusulkan pendekatan “lebih realistis dan praktis “ untuk mengungkapkan keadilan dan kebenaran di Timor-Leste.
Berdasarkan itu SCIT (Serius Crimes Investigation Team) dibentuk pada 2008.Namun, karena kewenangan dan
sumberdaya yang diberikan kepada SCIT ini pun terbatas, maka kiranya tidak dapat memperbaiki kondisi impunitas. ICTJ
Brussels (James Kirk, Carlito da Costa Bobo et al.), Impunity in Timor-Leste: Can the Serious Crimes Investigation Make
a Difference? Brussels: International Center for Transitional Justice, June 2010.
50
Apabila ditanyakan apa yang diperlukan sekarang, tentu jumlah orang yang menjawab bantuan ekonomi daripada
keadilan jauh lebih banyak, dan hal itu wajar, terutama di daerah pedesaan kecenderungan itu sangat menonjol. Lagi pula
informasi tentang keadilan transisi termasuk CAVR juga tidak tersebar di daerah pedesaan.Oleh karena itu kita perlu peka
pada cela antara kerangka keadilan transisi yang diberikan dari pihak luar dengan keadaran masyarakat setempat. Harus
memperhatikan pernyataan Robins yaitu, perlunya evaluasi terhadap instrument keadilan transisi ini dari pandangan para
korban.Simon Robins, “Challenging the Therapeutic Ethic: A Victim-Centred Evaluation of Transitional Justice Process
in Timor-Leste,” The International Journal of Transitional Justice, 6, 2012, pp.83-105.
51
Per Memoriam Ad Spem: Final Report of the Commission of Truth and Friendship (CTF) Indonesia-Timor-Leste,
Denpasar, 2008. [http://www.laohamutuk.org/Justice/Reparations/CTFReportEn.pdf](akses tgl.31.8.2012)
15
adalah
pihak
elit
politik
Timor-‐Leste
termasuk
Gusmão
seagaimana
telah
disinggung
di
atas.
Yaitu,
sebagaimana
penulis
katakan
di
bagian
awal
tulisan
ini,
apabila
pola
transisi
paket
(pacted
transition)
dimana
proses
demokratisasi
terjadi
atas
kompromi
antara
pihak
elit
rezim
lama
dengan
pihak
pro-‐demokratisasi,
biasanya
pengaruh
kaum
elit
rezim
lama
masih
cukup
kuat,
sehingga
pelanggaran
berat
hak
asasi
manusia
yang
terjadi
di
masa
lalu
tidak
dipersoalkan
atau
impunitas.
Kondisi
politik
lokal
atau
hubungan
antara
Indonesia
dengan
Timor-‐Leste
tergolong
dalam
pola
itu.
Oleh
karenanya,
elit
politik
Timor-‐Leste
yang
berhasil
meraih
kedaulatan
negara,
serta
hak
untuk
menentukan
nasib
bangsa
sendiri
melaui
kemerdekaan,
malah
mempertimbangkan
kekuatan
elit
rezim
lama
di
negara
tetangganya
dan
memilih
opsi
“perdamaian
tanpa
menghukum”.
Niat
mereka
terlihat
pula
pada
judul
laporan
”Dari
Kenangan
Menuju
Harapan”
itu.
Sikap
pemerintah
Timor-‐Leste
itu
mengundang
kritik
yang
pedas
bukan
hanya
dari
LSM-‐LSM
hak
asasi
manusia
dan
akademisi
di
Timor-‐Leste
dan
Indonesia,
tetapi
dari
Komisi
Pakar
PBB
juga.
Salah
satu
masalah
yang
ditunjuk
oleh
Komisi
Pakar
PBB
adalah
bahwa
dari
tahap
awal,
KKP
telah
berencana
mengambil
tindakan
amnesti
terhadap
pelaku
pelanggaran
HAM
berat
yang
tergolong
kejahatan
terhadap
kemanusiaan
tanpa
penuntutan
pidana,
dan
menurutnya
komisi
tidak
dapat
mengakui
langkah
KPP
itu
karena
tidak
sesuai
dengan
kriteria
internasional 52 .
Sambil
mengutip
kecaman-‐kecaman
LSM
di
Indonesia,
laporan
komisi
menunjukkan
bahwa
masalah
pelanggaran
HAM
di
Timor-‐Timor
bukanlah
masalah
antara
rakyat
Indonesia
dan
Timor-‐Leste,
melainkan
masalah
kekerasan
aparatur
militer
Indonesia
atau
milisi
terhadap
masyarakat
Timor-‐Leste”,
dan
lagi
pula,
pendekatan
perdamaian
tanpa
menghukum
oleh
KKP
yang
dijalankan
di
bawah
kesepakatan
antara
kaum
elit
politik
di
kedua
negara
itu
tidak
didukung
oleh
masyarakat
Timor-‐Leste
secara
luas,
malah
kebanyakan
masyarakat
merasa
tidak
puas
terhadap
impunitas
aparatur
militer
Indonesia53.
Berdasarkan
pandangan
tersebut,
PBB
menolak
untuk
terlibat
pada
proses
KKP
itu
sendiri.
Kendati
penyusunan
laporan
terakhir
KKP
dikerjakan
di
tengah
kritik
yang
sengit
dari
masyarakat
internasional,
tetapi
ada
satu
poin
yang
dianggap
positif
adalah
KKP
mengakui
bahwa
TNI
secara
organisir
terlibat
pada
serangkaian
pelanggaran
HAM
di
Timor-‐Leste
pada
tahun
1999,
sehingga
sebagai
organisasi
TNI
harus
bertanggjawab
atas
perbuatan
itu54.
Karena
KKP
tidak
memiliki
wewenang
untuk
membentuk
pengadilan
baru,
dan
sejak
awal
pendiriannya,
komisi
ini
diharapkan
agar
mengeluarkan
rekomendasi
yang
sesuai
dengan
tujuan
politik
menuju
perdamaian
tanpa
menghukum
pelaku
kejahatan,
sehingga
laporan
KKP
mengandung
banyak
masalah.
Misalnya,
sama
sekali
tidak
menyinggung
tanggungjawab
para
pelaku
secara
peribadi.
Namun,
ada
yang
menilai
positif
laporan
itu
karena
tidak
menutup
kemungkinan
akan
adanya
penuntutan
pidana
terhadap
pelanggaran
HAM
berat
di
52
COE Report, para.337-341.
53
ibid.,para.348-351.
54
Per Memoriam Ad Spem---, pp.259-264.
16
masa
depan55.
Ditambah
pula,
KKP
pada
awalnya
menyatakan
bahwa
terhadap
pelaku
yang
bersikap
kooperatif
dengan
memberi
keterangan
di
tempat
terbuka
harus
diberikan
amnesti,
tetapi
dalam
laporan
terakhir
dinyatakan
bahwa
dikarenakan
amnesti
tidak
sesuai
dengan
tujuan
pencegahan
terulangnya
kekerasan
dalam
rangka
pemulihan
martabat
manusia,
penciptaan
fondasi
untuk
perdamaian
kedua
negara
dan
penjaminan
supremasi
hukum,
sehingga
tehadap
pelaku
yang
melanggar
HAM
berat
yang
tergolong
kejahatan
terhadap
kemanusiaan
pada
prinsipnya
tidak
diberikan
amnesti.
Sikap
KKP
ini
juga
dinilai
positif56.
Meskipun
laporan
terakhir
sedikit
berkesesuaian
dengan
isi
laporan
Komisi
Pakar
PBB,
tetapi
nampak
jelas
sebagian
besar
para
elit
politik
termasuk
presiden
kedua
negara
itu
berorientasi
pada
“perdamaian
tanpa
penghukuman
kejatahan”
yang
merupakan
tujuan
pendirian
KKP
itu
sendiri.
(5)
CAVR:
Persiapan
untuk
Mencari
Keadilan
di
Masa
Mendatang
dengan
Rekonstruksi
Catatan
Sejarah?
CAVR
(Komisi
Penerimaan,
Kebenaran
dan
Rekonsiliasi)
didirikan
pada
tahun
2001
sebagai
lembaga
independen
berdasarkan
Regulasi
10/20011
UNTAET
bertujuan
untuk
mencatat
semua
pelanggaran
hak
asasi
manusia
yang
terjadi
di
Timor
Leste.
CAVR
didirikan
atas
inisiatif
dari
pihak
Timor-‐Leste
sendiri57,
bukan
inisiatif
dari
pihak
PBB
karena
pendirian
lembaga
ini
merupakan
tanggapan
terhadap
usulan
pendirian
Komisi
Kebenaran
dan
Rekonsiliasi
(KKR)
di
kongres
nasional
CNRT
(Conselho
Nacional
de
Reconstrução
do
Timor)
pada
tahun
2000-‐-‐setahun
sebelum
pendiriannya-‐-‐menjelang
merdeka
secara
resmi.
Kongres
CNRT
itu
sekaligus
mengeluarkan
misi
yang
akan
menuju
pembangunan
masyarakat
yang
damai
melalui
perdamaian
dengan
kemerdekaan
negara,
serta
gagasan
akan
mencari
identitas
nasional
yang
inklusif
sambil
menyusun
sejarah
nasional
baru
melalui
rekonstruksi
catatan
sejarah
yang
pahit
selama
ini58.
Berhubungan
dengan
gagasan
itu,
salah
satu
mandat
CAVR
adalah
mencatat
segala
pelanggaran
HAM
berat
di
Timor-‐Timor
dari
tgl.
25
April
1974
hingga
tgl.
25
October
1999.
Hal
itu
patut
diperhatikan
sebab
berbeda
dengan
pengadilan
HAM
ad
hoc,
SCU
dan
KKP
yang
menyelidiki
hanya
sebatas
serangkaian
kekerasan
tahun
1999
saja.
Pengungkapan
fakta
tentang
segala
pelanggaran
HAM
secara
sistematis
selama
seperempat
abad
dan
data
yang
dikumpulkan
dan
didatabasekan
itu,
akan
menjadi
referensi
yang
amat
penting
jika
penuntutan
pidana
dimungkinkan
di
masa
mendatang.
55
Megan Hirst, An Unfinished Truth: An Analysis of the Commission of Truth and Friendship’s Final Report on the 1999
Atrocities in East Timor. New York: International Justice Center for Transitional Justice, March 2009, p.16.
56
Per Memoriam Ad Spem---, pp.290-91; Hirst, op.cit., p.26.
57
CAVR,Chega! Executive Summary, p.10.
58
David Webster, “History, Nation and Narrative in East Timor’s Truth Commission Report,” Pacific Affairs, 80(4),
2007/8, pp.581-591.CAVR mencatat “Sejalah Konflik” (Bagian 3, sebanyak 186 halaman) dilaporan akhir. Di situ
dinyatakan maksud penyusuannya seperti berikut;“penulisan sejarah East Timor ini merupakan langkah penting dalam
pembangunan suatu bangsa,” dan “Laporan ini tidak dimaksud untuk menjadi sejarah yangeksklusif, yang hanya merekam
pandangan dan pencapaian para pemimpin nasional, atau darisalah satu pihak dalam pecaturan politik.”CAVR, Chega!
The Report of the Commission for Reception, Truth, and Reconciliation Timor-Leste. Part 3.
p.5.[http://www.cavr-timorleste.org/index.html] (akses tgl. 31.8. 2012)
17
Untuk
mencatat
segala
pelanggaran
HAM
secara
sistematis
selama
dalam
kurun
waktu
25
tahun,
CAVR
mengumpulkan
pernyataan
7.669
dari
13
distrik
di
Timor-‐Leste,
mengumpulkan
data
statistik
makro
tentang
jumlah
yang
dibunuh
melalui
investigasi
kuburan
dalam
keadaan
tanpa
ada
data
dasar,
dan
melakukan
lebih
dari
1.000
wawancara.
Menurut
hasil
penyelidikan
itu
diperkirakan
sekitar
80.000
hingga
180.000
orang
meninggal
akibat
langsung
dari
invasi
dan
penguasaan
militer
Indonesia.
Perincian
hasil
penyelidikan
itu
telah
dipublikasikan
pada
Desember
2005
sebagai
laporan
akhir
setebal
lebih
dari
2.500
halaman
yang
diberi
judul
“Chega!
(sudah
cukup)”.
Sebagian
besar
dari
laporan
itu
menjelaskan
tentang
pelanggaran
HAM
(Bagian
7),
terutama
Bab
7.2;
Pembunuhan
Di
luar
Hukum
dan
Penghilangan
Paksa
(sebanyak
356
halaman),
Bab
7.4:
Penahanan,
Penyiksaan
dan
Penganiayaan
(sebanyak
299
halaman),
Bab
7.3
:
Pemindahan
Paksa
dan
Kelaparan
(sebanyak
170
halaman)
dan
Bab
7.7:
Pemerkosaan,
Perbudakan
Seksual,
dan
Bentuk-‐Bentuk
Lain
Kekerasan
Seksual
(sebanyak
118
halaman)
menunjukkan
kepada
kita
betapa
besarnya
skala
pelanggaran
HAM,
keji
dan
sadisnya
perbuatan
itu59.
Perlu
digarisbahwahi
pula
bahwa
CAVR
dimandatkan
selain
melakukan
pencarian
kebenaran
dan
penuntutan
pidana,
mendukung
penerimaan
dan
reintegrasi
termasuk
Prosedur
Rekonsiliasi
Komunitas
(PRK).
Menanggapi
mandat
itu,
CAVR
melakukan
pertemuan
PRK
yang
diiuti
oleh
rata-‐rata
16
orang
per
hari
selama
294
hari
dengan
tujuan
untuk
memajukan
rekonsiliasi,
menerima
1.541
pernyataan
dari
pelaku
pelanggaran,
dan
mendorong
reintegrasi
mereka
yang
bertindak
pidana
ringan
dalam
masyarakat
setempat60.
Pertemuan
itu
disiarkan
langsung
melalui
TV
dan
radio,
hal
itu
meningkatkan
perhatian
masyarakat
terhadap
kegiatan
CAVR
serta
memperluas
kesempatan
bagi
orang
yang
menghadapi
masalah
pada
masa
lalu.
Sebagaimana
langkah-‐langkah
itu
dilakukan
sambil
belajar
dari
pengalaman
KKR
(Komisi
Kebenaran
dan
Rekonsiliasi)
Afrika
Selatan,
CAVR
tidak
hanya
mencari
keadilan
secara
yudisial
melalui
penuntutan
pidana,
yaitu
tidak
sebatas
keadilan
retributif
dalam
arti
sempit,
tetapi
mencari
keadilan
dalam
arti
luas
termasuk
keadilan
restoratif.
Hal
ini
merupakan
ciri
khas
CAVR
dan
dinilai
sangat
positif61.
Memang
kita
perlu
menilai
dengan
positif
bahwa
model
CAVR
itu
menutupi
bagian
yang
tidak
dapat
diselesaikan
dengan
hanya
keadilan
retributif
atau
punitif
(hukuman),
dan
mendorong
rekonsiliasi
di
tingkat
akar
rumput
serta
reintegrasi
masyarakat
secara
aktif
dengan
mengaitkan
konsep
tradisional
legal
cultural
di
masyarakat
lokal
(misalnya
cara
penyelesaian
konflik
yang
disebut
“Nahe
Biti
(buka
tikar)”62.
Tetapi
lokalisasi
keadilan
transisi
memiliki
sisi
yang
lemah,
karena
bisa
saja
dimanfaatkan
untuk
mengebiri
keadilan
retributif
(supremasi
hukum
formal)
serta
melegitimasikan
rezim
penguasa
pada
waktu
itu63.
59
ibid.,passim.
60
ibid.,pp.22-23.
61
Akihisa Matuno,”Heiwa kochiku ni okeru shinjitsu tankyu: Funso gono Higashi Timor no jirei kara” in “Peace-Building
from the Perspectives of the Post-Conflict Countries: The Roles and Tasks of International Criminal Justice”---edited
Hideaki Shiroyama, Yuji Ishida and Kan Endo, Tokyo: Toshindo, 2007, pp.97-100 .(in Japanese)
62
Dionísio Babo-Soares, “Nahe Biti: The Philosophy and Process of Grassroots Reconciliation (and Justice) in East
Timor,” The Asia Pacific Journal of Anthropology, 5(1), 2004, pp.15-33.
63
Rosalind Shar and Lars Waldorf, “Introduction: Localizing Transitional Justice,” in Localizing Transitional Justice.
18
Sebenarnya
metode
keadilan
restoratif
semacam
ini
beresiko,
karena
dalam
arti
tertentu,
terlalu
menitikberatkan
pada
rekonsiliasi,
sehingga
masalah
itu
mudah
dialihkan
ke
masalah
pribadi
seperti
pemaafan
secara
psikologis
atau
mentalitas,
padahal
masalah
itu
sebenarnya
masalah
sistem
berupa
struktur
yang
tidak
adil,
dan
bisa
saja
masalah
itu
dibiarkan
begitu
saja64.
Lagi
pula
keadilan
restroratif
pasca
konflik
merupakan
prosedur
yudisial
informal
yang
mendadak
untuk
melengkapi
kekurangan
sumber
daya
manusia
di
bidang
hukum,
dan
diterapkan
untuk
sebatas
tindak
pidana
ringan.
Artinya,
tidak
melengkapi
prosedur
yudisial
untuk
menuntut
perkara
pelanggaran
HAM
berat
termasuk
kejahatan
terhadap
kemanusiaan.
Oleh
karena
itu,
pada
umumnya
para
korban
tidak
merasa
puas
dengan
metode
tersebut65.
Untuk
itu,
kasus
kejahatan
berat
perlu
diselasaikan
dengan
prosedur
acara
pidana
secara
resmi
sesuai
dengan
yang
semestinya.
Hanya
pada
saat
sekarang,
akibat
keadaan
politik
seperti
di
atas
(keterbatasan
“demokratisasi”
di
Indonesia,
realisme
para
elit
politik
Timor
Leste 66
dan
logika
geo-‐ekonomik
AS,
Jepang
dan
Australia
yang
lebih
mementingkan
hubungan
dengan
Indonesia,
penerapan
prosedur
itu
belum
dapat
dilaksanakan.
Satu
faktor
yang
perlu
digarisbawahi
dalam
pernyataan
CAVR
berhubungan
dengan
struktur
politik
internasional
yang
mengebiri
keadilan
transisional
adalah
masalah
“pelaku
penyerta”
dalam
hal
pelanggaran
HAM
berat
di
Timor-‐Leste
selama
periode
25
tahun,
yakni
pertanggungjawaban
negara
donator
bagi
Indonesia
seperti
AS,
Australia
dan
Jepang 67 .
Laporan
CAVR
menyatakan
pendapat
berupa
rekomendasi
bahwa
negara-‐negara
(terutama
AS,
Inggris
dan
Prancis)
serta
perusahaan
yang
memberi
atau
menjual
senjata
kepada
Indonesia
perlu
bertanggungjawab
untuk
pemberian
ganti
rugi
(reparasi)
kepada
para
korban68.
Sebagaimana
ditulis
di
atas,
para
pimpinan
politik
Timor
Leste
termasuk
Gusmão
mengkritik
rekomendasi-‐rekomendasi
tersebut
sebagai
idealisme
yang
ambisius.
Tetapi
kita
tidak
boleh
melupakan
bahwa
kondisi
pelanggaran
HAM
berat
oleh
militer
Indonesia
selama
periode
25
tahun
itu,
justru
bisa
terjadi
oleh
karena
kebanyakan
orang
menyerah
terhadap
keadaan
dan
keterbatasan
politik
internasional
pada
waktu
itu
sebagai
“realitas”.
Untuk
mencegah
pelumpuhan
keadilan
transisi
mungkin
perlu
menggalang
kembali
“kekuatan
idealisme”
yang
mampu
mengubah
keadaan
nyata
sebagaimana
terlihat
dalam
rekomendasi-‐rekomendasi
CAVR69.
Secara
konkret
Dewan
Keamanan
PBB
perlu
membentuk
pengadilan
internasional
ad
hoc
agar
dapat
mengadili
para
pelaku
pelanggaran
HAM
selama
priode
25
tahun
dari
1974
sampai
1999
yang
diselidiki
oleh
CAVR 70 .
Memang
hanya
Edited by Rosalind Shaw and Lars Waldorf. Stanford: Stanford University Press, 2010, pp.14-20.
64
Nevins,A Not-So-Distant Horror---, pp. 171-171.
65
Robinson, op.cit.,p.224.
66
Maksud realism di sini bukan yang berorientasi penyeimbangan kekuatan yang harus menyimbangi dengan negara
lawan, melainkan berorientasi bandwagon(ikut-ikutan) yang harus menakluk kepada pihak yang lebih berkuasa seperti
hegemoni.
67
CAVR, Chega!,Part 8, pp.91-93.
68
CAVR, Chega!,Part 11, P.4.
69
Joseph Nevins, “The CAVR: Justice and Reconciliation in a Time of ”Impoverished Political Possibilities”,” Pacific
Affairs, 80(4), 2007/2008, p.602.
70
Robinson, op.cit.p.228.
19
mengandalkan
mekanisme
yudisial
saja
tidaklah
cukup,
namun
dengan
hanya
upaya
rekonsiliasi
saja
tentu
sama
sekali
tidak
cukup
pula.
Kesimpulan
Pada
bagian
awal
tulisan
ini,
penulis
menyatakan
bahwa
tujuan
keadilan
transisi
berbentuk
best
mix
antara
keadilan
resributif
(penuntutan
pidana)
dengan
keadilan
restoratif
(KKR)
merupakan
upaya
untuk
mencapai
keadilan
dan
perdamaian
yang
saling
mengokohkan
pada
saat
bersamaan.
Sesuai
hal
tersebut,
keadilan
transisi
terkait
dengan
pelanggaran
HAM
secara
sistematis
di
Timor-‐Leste
dapat
dikatakan
bahwa
kasus
yang
mengabaikan
upaya
pencarian
keadilan
demi
mempertahankan
satus
quo
atas
nama
perdamaian.
Terutama
prosedur
penuntutan
pidana
oleh
badan
yudisial
terdapat
kekeliruan
yang
amat
serius,
dan
para
penanggungjawab
di
pihak
Indonesia
atas
pelanggaran
berat
termasuk
pembantaian
secara
sistematis
dan
operasi
pembumihangusan
pada
tahun
1999
yang
akhirnya
satu
orang
pun
tidak
dikenakan
hukuman.
Malah
di
antara
mereka
ada
juga
yang
terjun
ke
dunia
politik
dalam
hal
menjadi
capres
seperti
Wiranto
dan
Prabowo,
atau
yang
melakukan
pelanggaran
HAM
berat
secara
berulang
dalam
operasi
militer
untuk
melumpuhkan
gerakan
pelawan
pemerintah
di
Papua
atau
daerah
lain
seperti
Eurico
Guterres
dan
Timbul
Silaen.
Salah
satu
faktor
penghalang
perluasan
justice
cascade,
adalah
kegagalan
proses
demokrasi
di
negara
bersangkutan
sendiri,
yaitu
penataan
pemerintahan
yang
bersifat
otoritarisme
(kembali)
dan
ditambah
fonomena
backlash
di
politik
internasional
dan
politik
regional
yang
memberi
pengakuan
itu.
Khususnya
pada
kasus
Timor
Leste
dan
Kambodia
nampak
jelas
kecenderungan
itu.
Tetapi
dalam
kasus
yang
mengadili
Pinocet
menunjukkan
tidak
sedikit
kemungkinan,
adanya
penuntutan
pidana
terhadap
mantan
kepala
negara
atau
pejabat
tinggi
negara
pada
masa
mendatang.
Artinya,
di
wilayah
Asia
juga
kemungkinan
akan
terjadi
gelombang
justice
cascade.
Untuk
persiapan
di
masa
depan
itu,
salah
satu
upaya
yang
dapat
dilakukan
sekarang
adalah
pengumpulan
alat
bukti
melalui
penyelidikan.
Dari
pandangan
itu,
dokumen-‐dokumen
pernyataan
yang
dikumpulakan
CAVR
amat
penting.
Selain
itu
dengan
adanya
pesan
dari
masyarakat
sipil
secara
kontinue
bahwa
“tidak
membiarkan
budaya
politik
impunitas”
terhadap
kejatahan
berat
oleh
Negara,
akan
dimungkinkan
sedikit
demi
sedikit
mengubah
kondisi
“perdamaian
tanpa
penghukuman”
yang
telah
dijadikan
suatu
realitas
akibat
kompromi
antara
para
elit
politik
di
kedua
pihak
sekarang.
Sebagai
masalah
terkait
dengan
keadilan
transisi
sering
dipertanyakan
yang
mana
yang
harus
diutamakan,
apakah
perdamaian
atau
keadilan,
tetapi
pertanyaan
yang
bersifat
dikotonomi
itu
sendiri
sudah
salah.
Namun,
pihak
yang
melihat
realisme
politik,
malah
cenderung
memandang
keadilan
transisi
itu
dari
segi
dikotonomi
itu,
dan
menganggap
bahwa
pengungkapan
keadilan
atas
desakan
akan
mengakibatkan
politik
yang
tidak
stabil,
akhirnya
akan
merusak
perdamaian
itu
sendiri
71 .
Padahal,
seperti
kasus
Indonesia/Timor-‐Leste
71
Jack Snyder and Leslie Vinjamuri, “Trials and Errors: Principle and Pragmatism in Strategies of International Justice,”
20
menunjukkan
bahwa
apabila
mempertahankan
ketertiban
politik
rezim
lama
atas
nama
perdamaian
dengan
alasan
upaya
desakan
perwujudan
keadilan,
malah
dapat
merusak
perdamaian,
ternyata
perbuatan
pelanggaran
HAM
secara
sistematis
terulang
kembali.
Terhadap
kritik
dari
pandangan
realisme
politik
itu,
Sikking
dkk
berargumentasi
bahwa
hampir
tidak
ada
kasus
yang
menimbulkan
konflik
akibat
penuntutan
pidana.
Bahkan
upaya
penegakan
keadilan
retributif
yang
melakukan
prosedur
penuntutan
pidana
terhadap
pelanggaran
berat
akan
dimungkinkan
mencegah
terulangnya
pelanggaran
HAM
serta
perdamaian
yang
berkesinambungan
dalam
jangka
waktu
panjang
melalui
dua
jalur,
yaitu
pencegahan
kejahatan
dan
sosialisasi
norma
terhadap
HAM.
Yakni,
bukanlah
kita
harus
memilih
salah
satu
dari
perdamaian
atau
keadilan,
tetapi
proses
untuk
saling
mengkokohkan
perdamaian
maupun
keadilan
merupakan
optimalisasi
keadilan
transisi
untuk
menuju
demokrasi
yang
sebenarnya.
Sebaliknya,
sepanjang
kita
masih
mempertahankan
jalur
keadilan
transisi
yang
diingkari
atas
nama
“perdamaian”
dan
mengabaikan
keadilan,
“masalah
ketidak-‐adilan”
akan
terus
dipersoalkan
dan
tak
kunjung
selesai.
21