Anda di halaman 1dari 10

Anatomi

Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang mempersarafi
semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik kecil (nervus intermedius
Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan lidah, dan komponen otonom yang merupakan
cabang sekretomotor yang mempersarafi glandula lakrimalis. Saraf fasialis keluar dari otak di sudut
serebello-pontin memasuki meatus akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis
fasialis memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke muskulus
stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen
labirin merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis; foramen meatal pada segmen
ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm. Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000
serabut saraf yang terdiri dari 7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut
saraf lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik
untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjar parotis, submandibula,
sublingual dan lakrimal. Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu :

1. Segmen supranuklear

2. Segmen batang otak

3. Segmen meatal

4. Segmen labirin

5. Segmen timpani

6. Segmen mastoid

7. Segmen ekstra temporal

(sumber: Ropper, Allan H. Robert H Brown. 2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology 8th
edition. United States of America : The McGraw-Hill Companies )

Etiologi dan Patofisiologi

Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy, yaitu iskemik
vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi
penyakit ini.
Teori iskemik vaskuler

Teori ini sangat popular, dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari bell’s palsy.
Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N. VII. Terjadi vasokontriksi arteriole
yang melayani N. VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan
permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar
akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan
lagi dan akan lebih menekan kapiler dan vena dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik.
Dengan demikian akan terjadi keadaan circulus vitiosus. Pada kasus-kasus berat, hal ini dapat
menyebabkan saraf mengalami nekrosis dan kontinuitas yang terputus.

2. Teori infeksi virus

Menurut teori ini bell’s palsy disebabkan oleh virus, dengan bukti secara tidak langsung adanya
riwayat penyakit virus yang terjadi sebelum bell’s palsy. Juga dikatakan perjalanan klinis BP sangat
menyerupai viral neuropathy pada saraf perifer lainnya. Walaupun etiologi dari Bell’s palsy tidak
diketahui, penyakit ini dipercaya disebabkan oleh infeksi virus yang melibatkan ganglion
genikulatum. Adalah mungkin bahwa beberapa kasus bell’s palsy disebabkan oleh infeksi herpes
simpleks yang laten.

Teori virus ini didukung oleh Adour dkk. Dikatakan bahwa BP terjadi karena proses
reaktivasi dari virus herpes. Sesudah suatu infeksi akut primer, virus herpes simpleks tipe I dalam
jangka waktu cukup lama dapat berdiam di dalam ganglion sensoris. Reaktivasi ini dpat terjadi juka
daya tahan tubuh menurun, sehingga terjadi neuritis/ neuropati dengan proses peradangan. Edema.
Menurut Adour, lokasi nyeri dapat terjadi di sepanjang kanalis fasialis. Sebaliknya sebagian ahli
berpendapat bahwa lokasi primer dari edema N. VII pada bell’s palsy adalah sekitar foramen
stilomastoideum.

Murakami et al. menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi


sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling saraf ketujuh
pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang
berat. Murakami et al. menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan
paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis
dan ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau
herpetika dapat diadopsi. Gambaran patologi dan mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi,
edema, dan gangguan vaskular saraf.
Walaupun penyebab virus dicurigai, ternyata beberapa studi prospektif untuk membuktikan
peranan infeksi virus sebagai seriologi bell’s palsy adalah negative, berarti tidak dapat mendukung
teori infeksi virus.

3. Teori herediter

Willbrand, 1974, mendapatkan 6% penderita bell’s palsy yang kausanya herediter yaitu
autosomal dominan. Ini mungkin karena kanalis falopii yang sempit pada keturunan atau keluarga
tersebut sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.

4. Teori imunologi

Dikatakan bahwa BP terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul
sebelumnya atau setelah pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita bell’s palsy
diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam
kanalis fasialis falopii dan juga sebagai immunosupressor .

Patogenesis

Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik bell’s palsy adalah proses
edema yang menyebabkan kompresi N.VII. Pulec memandang BP sebagai suatu sindroma kompresi
saraf fasialis atau sebagai suatu “entrapment syndrome”.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis motorik yang dijumpai pada pasien Bell’s palsy yaitu adanya kelemahan
otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan melakukan gerakan volunter seperti
(saat gerakan aktif maupun pasif) tidak dapat mengangkat alis dan menutup mata, sudut mulut
tertarik ke sisi wajah yang sehat (mulut mencong), sulit mencucu atau bersiul, sulit mengembangkan
cuping hidung, dan otot-otot yang terkena yaitu m. frontalis, m.orbicularis oculi, m. orbicularis oris,
m. zigomaticus dan m. nasalis. Selain tanda-tanda motorik, terjadi gangguan pengecap rasa manis,
asam dan asin pada 2/3 lidah bagian anterior, sebagian pasien mengalami mati rasa atau merasakan
tebal di wajahnya.

Tanda dan gejala klinis pada Bell’s Palsy menurut Chasid dan Djamil (2000) adalah:
a) Lesi di luar foramen stilomastoideus, muncul tanda dan gejala sebagai berikut : mulut tertarik
ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi dalam pada wajah
menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata pada sisi lesi tidak tertutup atau tidak dilindungi
maka air mata akan keluar terus menerus.

b) Lesi di canalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani. Tanda dan gejala sama seperti
penjelasan di atas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah 2/3 bagian anterior dan
salivasi di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya
nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik dimana korda timpani
bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis.

c) Lesi yang tinggi dalam canalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius. Tanda dan gejala
seperti penjelasan pada kedua poin di atas, ditambah dengan adanya hiperakusis (pendengaran yang
sangat tajam).

d) Lesi yang mengenai ganglion genikuli. Tanda dan gejala seperti penjelasan ketiga poin diatas
disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga dan di belakang telinga.

e) Lesi di meatus austikus internus. Tanda dan gejala sama seperti kerusakan pada ganglion
genikulatum, hanya saja disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus
vestibulocochlearis.

f) Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons. Tanda dan gejala sama seperti di atas
disertai tanda dan gejala terlibatnya nervus trigeminus, nervus abducens, nervus vestibulocochlearis,
nervus accessories dan nervus hypoglossus.
Diagnosis

Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral atau perifer.
Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi
karena otot dahi dipersarafi oleh korteks sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer
terjadi pada satu sisi wajah. Untuk menegakan diagnosis Bell’ Palsy harus ditetapkan dulu adanya
paralisis fasialis tipe perifer. Untuk membuat diagnosis diperlukan beberapa pemeriksaan.

a.Pemeriksaan telinga dan audiometri, ini untuk menyingkirkan adanya infeksi telinga tengah dan
kolestoma.

b.Pemeriksaan neurologi dan nervi kraniales. Ini untuk mencari adanya Ca nasopharing atau tumor
pada sudut serebelo pontin.

c.Pemeriksaan radiologi pada os temporal dan mastoid untuk mencari adanya mastoiditis dan fraktur
os temporal.

Inspeksi
Derajat bells palsy menurut: House-Brackmann Scale

Pemeriksaan Fisik

Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk
menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. Adapun
pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan
menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup
mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas. Bila terdapat hiperakusis, saat
stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang
muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau
kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis
lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis
dan dahi pada sisi yang lumpuh.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer.
Kelainan sentral :
1. Stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis
di hemisfer serebri kontralateral.
2. Kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat
kanker di bagian tubuh lainnya.
3. Sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis
optika
4. Trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat
trauma sebelumnya.
Kelainan perifer :
1. Otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan
foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi.
2. Herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat
nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus
varicella-zoster.
3. Sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut.
4. Kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata
kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral.
5. Tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII.
6. Tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula).
7. Sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis,
parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.

Pemeriksaan Penunjang
Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan
untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan
CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan
keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai
neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel.
Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis. Pemeriksaan
neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai prediktor kesembuhan,
bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular.10,11
Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang
lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut
setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-value
(NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo Compound Motor
Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex
didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. 11 Pemeriksaan blink reflex ini sangat
bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian
sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6%
kasus.
Tatalaksana
Algoritma Tatalaksana Bell’s Palsy (Brackmann 2010)

Terapi Non-farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat
dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata,
plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak
mata atas dan bawah).
Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas
dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui
pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14
hari onset.
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset
terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula bahwa 95%
pasien sembuh dengan pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik.13 Rehabilitasi
fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan
di rumah.
Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu
kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
A. Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan
tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase
superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-
2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
B. Kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat,
mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuscular
di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat,
terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini
dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
C. Kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang
saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi
yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol
gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi.
D. Kategori relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah
karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan
lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus
pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan
untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali
per hari. Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien
dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk
memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada
keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik. Konsultasi ke
bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila
terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi
secara berurutan pada pasien.
Prognosis

Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf
substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s palsy sembuh total
dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu.11 Sekitar 10% mengalami
asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat
rekuren.

DAFTAR PUSTAKA

Mardjono M, Sidharta P. 2012. Neurologis Klinis Dasar. Jakarta: PT Dian Rakyat.


Isselbacher dkk. .2014. Horrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih bahasa Asdie Ahmad H
Edisi, 13. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai

  • 5468 Daftar Isi
    5468 Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    5468 Daftar Isi
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Isi
    Isi
    Dokumen25 halaman
    Isi
    natijatun istiqomah
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • LBM 1
    LBM 1
    Dokumen18 halaman
    LBM 1
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • LBM 1
    LBM 1
    Dokumen18 halaman
    LBM 1
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Kelompok Ii Pcos
    Kelompok Ii Pcos
    Dokumen11 halaman
    Kelompok Ii Pcos
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen1 halaman
    COVER
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Laporan Praktikum Histologi Sistem Urogenital
    Laporan Praktikum Histologi Sistem Urogenital
    Dokumen7 halaman
    Laporan Praktikum Histologi Sistem Urogenital
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Trevel Medicine
    Trevel Medicine
    Dokumen17 halaman
    Trevel Medicine
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Laporan 4 Fix
    Laporan 4 Fix
    Dokumen19 halaman
    Laporan 4 Fix
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • LP Fraktur Tertutup
    LP Fraktur Tertutup
    Dokumen7 halaman
    LP Fraktur Tertutup
    yusfi indra gunawan
    Belum ada peringkat
  • System Genital
    System Genital
    Dokumen4 halaman
    System Genital
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Berkas Persyaratan Tamtama
    Berkas Persyaratan Tamtama
    Dokumen11 halaman
    Berkas Persyaratan Tamtama
    Anonymous ctioZkJ2z9
    Belum ada peringkat
  • Makalah BELL S Palsy
    Makalah BELL S Palsy
    Dokumen10 halaman
    Makalah BELL S Palsy
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Epi Lepsi
    Epi Lepsi
    Dokumen16 halaman
    Epi Lepsi
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • LP Fraktur Tertutup
    LP Fraktur Tertutup
    Dokumen7 halaman
    LP Fraktur Tertutup
    yusfi indra gunawan
    Belum ada peringkat
  • Epi Lepsi
    Epi Lepsi
    Dokumen16 halaman
    Epi Lepsi
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Tugas Ria Done!
    Tugas Ria Done!
    Dokumen3 halaman
    Tugas Ria Done!
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Prinsip Penatalaksanaan Fraktur
    Prinsip Penatalaksanaan Fraktur
    Dokumen14 halaman
    Prinsip Penatalaksanaan Fraktur
    agathariyadi
    Belum ada peringkat
  • Photo Fobia
    Photo Fobia
    Dokumen1 halaman
    Photo Fobia
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Prinsip Penatalaksanaan Fraktur
    Prinsip Penatalaksanaan Fraktur
    Dokumen14 halaman
    Prinsip Penatalaksanaan Fraktur
    agathariyadi
    Belum ada peringkat
  • Photo Fobia
    Photo Fobia
    Dokumen1 halaman
    Photo Fobia
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Isis
    Isis
    Dokumen43 halaman
    Isis
    Gan's
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Makalah Kusta Blum Jadi
    Makalah Kusta Blum Jadi
    Dokumen4 halaman
    Makalah Kusta Blum Jadi
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Photo Fobia
    Photo Fobia
    Dokumen1 halaman
    Photo Fobia
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Epi Lepsi
    Epi Lepsi
    Dokumen16 halaman
    Epi Lepsi
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat
  • Isi Makalah
    Isi Makalah
    Dokumen29 halaman
    Isi Makalah
    MeghawatyPutry
    Belum ada peringkat