Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL PRAKATA


DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN…………………………………………………….1
1.1Latar Belakang…………………………………………………………..1
1.2Rumusan Masalah……………………………………………………….2
1.3 Tujuan dan Manfaat…………………………………………………….3
BAB 2. PEMBAHASAN……………………………………………………….4
2.1...................................................................................................Pengerti
an Pembelajaran kolaboratif……………………………….4
2.2 Karakteristik Pembelajaran
kolaboratif…………………………….7
2.3Tujuan Pembelajaran Kolaboratif………………………………………..9
2.4 Peranan dan pentingnya tim dalam pembelajaran
kolaboratif......11
2.5Langkah-langkah pembelajaran kolaboratif…………………16
2.6Implementasi pembelajaran kolaboratif dalam mata pelajaran
sejarah…………………………………………………………...16
2.7Macam-macam pembelajaran kolaboratif…………………………
17
2.8Kekurangan dan kelebihan pembelajaran kolaboratif……………
23
2.9Kendala pembelajaran kolaboratif…………………………………
24
BAB 3. PENUTUP……………………………………………………………...25
3.1Kesimpulan………………………………………………………… 25
3.2Saran…………………………………………………………………25
DAFTAR PUSTAKA

1
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembelajaran kolaboratif dapat didefinisikan sebagai filsafat pembelajaran
yang memudahkan para siswa bekerjasama, saling membina, belajar dan berubah
bersama, serta maju bersama pula. Inilah filsafat yang dibutuhkan dunia global saat
ini. Bila orang-orang yang berbeda dapat belajar untuk bekerjasama di dalam kelas, di
kemudian hari mereka lebih dapat diharapkan untuk menjadi warganegara yang lebih
baik bagi bangsa dan negaranya, bahkan bagi seluruh dunia. Akan lebih mudah bagi
mereka untuk berinteraksi secara positif dengan orang-orang yang berbeda pola
pikirnya, bukan hanya dalam skala lokal, melainkan juga dalam skala nasional
bahkan mondial . (Sanjaya, 2012:196)
Menurut Vygotsky Collaborative learning ini sangat berakar bahwa ada sebuah
sifat sosial yang melekat pada pembelajaran, yang tercermin melalui teorinya tentang
zona pengembangan proksimal. Sering kali, pembelajaran kolaboratif digunakan
sebagai istilah umum untuk berbagai pendekatan dalam pendidikan itu. melibatkan
upaya intelektual bersama oleh siswa atau siswa dan guru. Dengan demikian,
pembelajaran kolaboratif umumnya berlangsung ketika kelompok siswa bekerja sama
untuk mencari pengertian, makna, atau solusi untuk membuat sebuah artefak atau
produk pembelajaran mereka. Lebih jauh, pembelajaran kolaboratif mengubah
hubungan tradisional murid-guru di kelas, menghasilkan kontroversi mengenai
apakah paradigma kolaboratif lebih bermanfaat daripada merugikan. Kegiatan
belajar secara kolaboratif dapat mencakup penulisan kolaboratif, proyek kelompok,
pemecahan masalah secara bersama, debat, studi tim, dan kegiatan lainnya.
Pendekatan ini terkait erat dengan pembelajaran kooperatif.
Belajar kolaboratif menuntut adanya modifikasi tujuan pembelajaran dari yang
semula sekedar penyampaian informasi menjadi konstruksi pengetahuan oleh
individu melalui belajar kelompok. Dalam belajar kolaboratif, tidak ada perbedaan

2
tugas untuk masing-masing individu, melainkan tugas itu milik bersama dan
diselesikan secara bersama tanpa membedakan percakapan belajar siswa.
Lingkungan dunia kerja modern memerlukan orang-orang yang mampu
menghargai pentingnya tanggungjawab, bukan saja dari tim secara keseluruhan
melainkan juga dari tiap-tiap personel dalam tim tersebut. Oleh sebab itu, menjadi
sangat penting penghargaan terhadap tanggungjawab tersebut untuk dikembangkan
secara maksimal kepada pebelajar sebagai persiapan sebelum memasuki dunia kerja.
Penyebab belum optimalnya kegiatan pembelajaran yaitu karena 3 hal, yakni:
(1) pembelajar kurang mampu menyelenggarakan proses pembelajaran yang sesuai
dengan tuntutan perkembangan di bidang teknologi pembelajaran, (2) pembelajar
keliru dalam memandang proses pembelajaran, dan (3) pembelajar menggunakan
konsep-konsep pembelajaran yang tidak relevan dengan perkembangan teknologi
pembelajaran (Boud & Feletti,1991).

1.2 Rumusan masalah


Dari latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka memunculkan
beberapa rumusan masalah, diantaranya yaitu :
1. Apa pembelajaran kolaboratif itu?
2. Bagaimana karakteristik pembelajaran Kolaboratif?
3. Bagaimana tujuan pembelajaran kolaboratif?
4. Bagaimana peranan dan pentingnya pembelajaran kolaboratif dalam
pembelajaran?
5. Bagaimana langkah-langkah pembelajaran kolaboratif?
6. Bagaimana implementasi pembelajaran kolaboratif pada mata
pelajaran sejarah?
7. Bagaimana macam-macam pembelajaran kolaboratif?
8. Apa saja kekurangan dan kelebihan pembelajaran kolaboratif?
9. Apa saja kendala-kendala pembelajaran kolaboratif?

1.3 Tujuan

Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka terdapat beberapa
tujuan, diantaranya yaitu :

3
1. Untuk memahami dan mengerti pengertian pembelajaran kolaboratif;
2. Untuk memahami dan mengerti karakteristik dari pembelajaran kolaboratif;

3. Mampu mengerti Tujuan pembelajaran kolaboratif;

4. Mampu memahami Peranan dan pentingnya pembelajaran kolaboratif;

5. Dapat memahami Langkah-langkah pembelajaran kolaboratif;

6. Dapat memahami Implementasi pembelajaran kolaboratif pada mata pelajaran


sejarah;

7. Dapat mengetahui macam-macam pembelajaran kolaboratif;


8. Dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan pembelajaran kolaboratif;
9. Dapat memahami kendala dari penerapan pembelajaran kolaboratif pada ,mata
pelajaran sejarah;

1.4 Manfaat
Dari tujuan yang telah dikemukakan diatas, maka terdapat beberapa manfaat,
diantaranya yaitu :

1. Sebagai bahan bacaan dalam rangka menambah pengetahuan


khususnya mengenai metode Pembelajaran Kolaboratif;
2. sebagai bahan bacaan dalam rangka menambah pengetahuan tentang
Pembelajaran Kolaboratif.

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pembelajaran Kolaboratif


Pembelajaran kolaboratif dapat didefinisikan sebagai filsafat pembelajaran
yang memudahkan para siswa bekerjasama, saling membina, belajar dan berubah

4
bersama, serta maju bersama pula. Inilah filsafat yang dibutuhkan dunia global saat
ini. Bila orang-orang yang berbeda dapat belajar untuk bekerjasama di dalam kelas, di
kemudian hari mereka lebih dapat diharapkan untuk menjadi warganegara yang lebih
baik bagi bangsa dan negaranya, bahkan bagi seluruh dunia. Akan lebih mudah bagi
mereka untuk berinteraksi secara positif dengan orang-orang yang berbeda pola
pikirnya, bukan hanya dalam skala lokal, melainkan juga dalam skala nasional
bahkan mondial. (Utomo Dananjaya,2012:139).
Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada
kesuksesan praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran
(technology for instruction), pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif
para siswa dan meminimisasi perbedaan-perbedaan antar individu. Pembelajaran
kolaboratif telah menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua
kekuatan yang bertemu, yaitu :
1. Realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas
kolaboratif dalam kehidupan di dunia nyata.
2. Menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya
mewujudkan pembelajaran bermakna.
Ide pembelajaran kolaboratif bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep
belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan. Pada tahun 1916,
John Dewey, menulis sebuah buku “Democracy and Education” yang isinya bahwa
kelas merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar
tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob et
al., 1996), adalah:
1. Siswa hendaknya aktif, learning by doing.
2. Belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik.
3. Pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap.
4. Kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa.

5
5. Pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling
memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur
demokratis sangat penting.
6. Kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata dan
bertujuan mengembangkan dunia tersebut.
Metode kolaboratif didasarkan pada asumsi-asumsi mengenai siswa proses
belajar sebagai berikut (Smith & MacGregor, 1992) :
1. Belajar itu aktif dan konstruktif
Untuk mempelajari bahan pelajaran, siswa harus terlibat secara aktif dengan
bahan itu. Siswa perlu mengintegrasikan bahan baru ini dengan pengetahuan
yang telah dimiliki sebelumnya. Siswa membangun makna atau mencipta
sesuatu yang baru yang terkait dengan bahan pelajaran.
2. Belajar itu bergantung konteks
Kegiatan pembelajaran menghadapkan siswa pada tugas atau masalah
menantang yang terkait dengan konteks yang sudah dikenal siswa. Siswa
terlibat langsung dalam penyelesaian tugas atau pemecahan masalah itu.
3. Siswa itu beraneka latar belakang
Para siswa mempunyai perbedaan dalam banyak hal, seperti latar belakang,
gaya belajar, pengalaman, dan aspirasi. Perbedaan-perbedaan itu diakui dan
diterima dalam kegiatan kerjasama, dan bahkan diperlukan untuk
meningkatkan mutu pencapaian hasil bersama dalam proses belajar.
4. Belajar itu bersifat sosial
Proses belajar merupakan proses interaksi sosial yang di dalamnya siswa
membangun makna yang diterima bersama.
Menurut Piaget dan Vigotsky, Strategi pembelajaran kolaboratif didukung oleh
adanya tiga teori, yaitu :
1. Teori Kognitif

6
Teori ini berkaitan dengan terjadinya pertukaran konsep antar anggota
kelompok pada pembelajaran kolaboratif sehingga dalam suatu kelompok
akan terjadi proses transformasi ilmu pengetahuan pada setiap anggota.
2. Teori Konstruktivisme Sosial
Pada teori ini terlihat adanya interaksi sosial antar anggota yang akan
membantu perkembangan individu dan meningkatkan sikap saling
menghormati pendapat semu anggota semua kelompok.
3. Teori Motivasi
Teori ini teraplikasi dalam struktur pembelajaran kolaboratif karena
pembelajaran tersebut akan memberikan lingkungan yang kondusif bagi
siswa untuk belajar, menambah keberanian anggota untuk memberi pendapat
dan menciptakan situasi saling memerlukan pada seluruh anggota dalam
kelompok.

Piaget dengan konsepnya “active learning” berpendapat bahwa para siswa


belajar lebih baik jika mereka berpikir secara kelompok, menurut pikiran mereka
maka oleh sebab itu menjelaskan sebuah pekerjaan lebih baik menampilkan di depan
keras. Piaget juga berpendapat bila suatu kelompok aktif klompok tersebut akan
melibatkan yang lain untuk berpikir bersama, sehingga dalam belajar lebih menarik
(Smith, B.L. and Mac Gregor, 2004).

2.2 Karakteristik Pembelajaran Kolaboratif


Myers (1991) memandang collaborative learning sebagai pembelajaran yang
berorientasi "transaksi" ditinjau dari sisi metodologi. Orientasi itu memandang
pembelajaran sebagai dialogue antara pebelajar dengan pebelajar, pebelajar dengan
pembelajar, pebelajar dengan masyarakat dan lingkungannya. Para pebelajar
dipandang sebagai pemecah masalah. Perspektif ini memandang mengajar sebagai "
percakapan" di mana para pembelajar dan para pebelajar belajar bersama-sama
melalui suatu proses negosiasi. Proses negosiasi dalam pola belajar kolaborasi
7
memiliki 6 karakteristik, yakni (1) tim berbagi tugas untuk mencapai tujuan
pembelajaran, (2) diantara anggota tim saling memberi masukan untuk lebih
memahami masalah yang dihadapi, (3) para anggota tim saling menanyakan untuk
lebih mengerti secara mendalam, (4) tiap anggota tim menguasakan kepada anggota
lain untuk berbicara dan memberi masukan, (5) kerja tim dipertanggungjawabkan ke
(orang) yang lain, dan dipertanggung-jawabkan kepada dirinya sendiri, dan (6)
diantara anggota tim ada saling ketergantungan. (Mustaji 2010)
Ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan dalam pola belajar kolaboratif,
yakni peran pebelajar dan peran pembelajar (Panitz,1996). Peran pebelajar yang harus
dikembangkan adalah (1) mengarahkan, yaitu menyusun rencana yang akan
dilaksanakan dan mengajukan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi, (2)
menerangkan, yaitu memberikan penjelasan atau kesimpulan-kesimpulan pada
anggota kelompok yang lain, (3) bertanya, yaitu mengajukan pertanyaan-pertanyaan
untuk mengumpulkan informasi yang ingin diketahui, (4) mengkritik, yaitu
mengajukan sanggahan dan mempertanyakan alasan dari usulan/ pendapat/pernyataan
yang diajukan, (5) merangkum, yaitu membuat kesimpulan dari hasil diskusi atau
penjelasan yang diberikan, (6) mencatat, yaitu membuat catatan tentang segala
sesuatu yang terjadi dan diperoleh kelompok, dan (7) penengah, yaitu meredakan
konflik dan mencoba meminimalkan ketegangan yang terjadi antara anggota
kelompok.
Dalam kerja kolaboratif, pebelajar berbagi tanggung-jawab yang digambarkan
dan yang disetujui oleh tiap anggota. Persetujuan itu meliputi (1) kesanggupan untuk
menghadiri, kesiapan dan tepat waktu untuk memenuhi kerja tim, (2) diskusi dan
perselisihan paham memusatkan pada masalah yang dipecahkan dengan
menghindarkan kritik pribadi, dan (3) ada tanggung jawab tugas dan
menyelesaikannya tepat waktu. Pebelajar boleh melaksanakan tugas, sesuai dengan
pengalaman mereka sendiri meskipun sedikit pengalaman dibanding anggota lainnya
yang penting dapat berpikir jernih/baik sesuai dengan kapabilitasnya.
Peran-peran yang harus dihindari oleh pebelajar adalah:
8
(1) free-rider, yaitu membiarkan teman-temannya melakukan tugas tim, tanpa
berusaha ikut serta memberikan kontribusi dalam proses kolaborasi;
(2) sucker, yaitu tidak ikut serta memberikan kontribusinya karena tidak bersedia
membagi pengetahuan yang dimilikinya;
(3) mendominasi, yaitu menguasai jalannya proses penyelesaian tugas, sehingga
kontribusi anggotatim yang lain tidak optimal;
(4) ganging up on task, yaitu cenderung menghindari tugas dan hanya menunjukkan
sedikit usaha untuk menyelesaikannya;
Dalam pembelajaran kolaborasi, pembelajar tidak lagi memberikan ceramah di
depan kelas, tapi dapat berperan seperti:
(1) fasilitator, dengan menyediakan sarana yang memperlancar proses belajar;
mengatur lingkungan fisik, memberikan atau menunjukkan sumber-sumber informasi,
menciptakan iklim kondusif yang dapat mendorong pebelajar memiliki sikap dan
tingkah laku tertentu, dan merancang tugas;
(2) model, secara aktif berupaya menjadi contoh dalam melakukan kegiatan belajar
efektif, seperti mencontohkan penggunaan strategi belajar atau cara mengungkapkan
pemikiran secara verbal (think aloud) yang dapat membantu proses konstruksi
pengetahuan;
(3) pelatih (coach), memberikan petunjuk, umpan balik, dan pengarahan terhadap
upaya belajar pebelajar. Pebelajar tetap mencoba memecahkan masalahnya sebelum
memperoleh masukan pengajar. (Mustaji 2010)

2.3 Tujuan Pembelajaran Kolaborasi


Dalam penerapan pembelajaran kolaborasi, terdapat pergeseran peran si belajar
(MacGregor, 2005) :
1. Dari pendengar, pengamat dan pencatat menjadi pemecah masalah
yang aktif, pemberi masukan dan suka diskusi.
2. Dari persiapan kelas dengan harapan yang rendah atau sedang menjadi
ke persiapan kelas dengan harapan yang tinggi.
9
3. Dari kehadiran pribadi atau individual dengan sedikit resiko atau
permasalahan menjadi kehadiran publik dengan banyak resiko dan
permasalahan.
4. Dari pilihan pribadi menjadi pilihan yang sesuai dengan harapan
komunitasnya.
5. Dari kompetisi antar teman sejawat menjadi kolaborasi antar teman
sejawat.
6. Dari tanggung jawab dan belajar mandiri, menjadi tanggung jawab
kelompok dan belajar saling ketergantungan.
7. Dahulu melihat guru dan teks sebagai sumber utama yang memiliki
otoritas dan sumber pengetahuan sekarang guru dan teks bukanlah satu-
satunya sumber belajar. Banyak sumber belajar lainnya yang dapat digali
dari komunitas kelompoknya.
Menurut Dananjaya (2012),Tujuan Pembelajaran Kolaboratif dalam
pembelajaran adalah:
a. Melatih Kejasama antar siswa.
b. membiasakan siswa bekerja dalam tim.
c. Menganalisis gagasan.
Gokhale mendefinisikan bahwa “collaborative learning” mengacu pada
metode pengajaran di mana siswa dalam satu kelompok yang bervariasi tingkat
kecakapannya bekerjasama dalam kelompok kecil yang mengarah pada tujuan
bersama. Pengertian kolaborasi sendiri yaitu:
1) Keohane berpendapat bahwa kolaborasi adalah bekerja
bersama dengan yang lain, kerja sama, bekerja dalam begian satu team, dan di
dalamnya bercampur didalam satu kelompok menuju keberhasilan bersama.
2) Patel berpendapat bahwa kolaborasi adalah suatu proses
saling ketergantungan fungsional dalam mencoba untuk keterampilan
koordinasi, to coordinate skills, tools, and rewards.
Dari pengertian kolaborasi yang diungkapkan oleh berbagai ahli tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pengertian belajar kolaborasi adalah suatu strategi pembelajaran
10
di mana para siswa dengan variasi yang bertingkat bekerjasama dalam kelompok
kecil kearah satu tujuan. Dalam kelompok ini para siswa saling membantu antara satu
dengan yang lain. Jadi situasi belajar kolaboratif ada unsur ketergantungan yang
positif untuk mencapai kesuksesan.
Belajar kolaboratif menuntut adanya modifikasi tujuan pembelajaran dari yang
semula sekedar penyampaian informasi menjadi konstruksi pengetahuan oleh
individu melalui belajar kelompok. Dalam belajar kolaboratif, tidak ada perbedaan
tugas untuk masing-masing individu, melainkan tugas itu milik bersama dan
diselesikan secara bersama tanpa membedakan percakapan belajar siswa. Dari uraian
diatas, kita bisa mengetahui hal yang ditekankan dalam belajar kolaboratif yaitu
bagaimana cara agar siswa dalam aktivitas belajar kelompok terjadi adanya
kerjasama, interaksi, dan pertukaran informasi.
Selain itu, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pembelajaran kolaboratif
adalah sebagai berikut :
1. Memaksimalkan proses kerjasama yang berlangsung
secara alamiah di antara para siswa.
2. Menciptakan lingkungan pembelajaran yang berpusat
pada siswa, kontekstual, terintegrasi, dan bersuasana kerjasama.
3. Menghargai pentingnya keaslian, kontribusi, dan
pengalaman siswa dalam kaitannya dengan bahan pelajaran dan proses
belajar.
4. Memberi kesempatan kepada siswa menjadi partisipan
aktif dalam proses belajar.
5. Mengembangkan berpikir kritis dan ketrampilan
pemecahan masalah.
6. Mendorong eksplorasi bahan pelajaran yang melibatkan
bermacam-macam sudut pandang.
7. Menghargai pentingnya konteks sosial bagi proses
belajar.
11
8. Menumbuhkan hubungan yang saling mendukung dan
saling menghargai di antara para siswa, dan di antara siswa dan guru.
9. Membangun semangat belajar sepanjang hayat.

2.4 Peranan dan Pentingnya Tim dalam Pembelajaran Kolaborasi


McCahon & Lavelle, (1998) menyarankan agar dalam collaborative learning,
kelas dibagi ke dalam beberapa tim dan tiap tim ditugasi untuk melakukan riset
sederhana, kemudian dievaluasi dan didiskusikan kembali di dalam kelas. Tim yang
dimaksud adalah: “a group of two to five students who are tied together by a common
purpose to complete a task and to include every group member” (Dishon dan
O’Leary, 1994). Dalam konteks ini, Benne and Seats (1991) menegaskan bahwa
premis mayor dalam suatu tim adalah bahwa setiap orang dalam tim tersebut harus
berfungsi sebagai pemain yang kolaboratif dan produktif untuk menuju tercapainya
hasil yang diinginkan. Dengan sangat menekankan pentingnya kohesivitas, Duin,
Jorn, DeBower, dan Johnson (1994) mendefinisikan “collaboration” sebagai suatu
proses di mana dua orang atau lebih merencanakan, mengimplementasikan, dan
mengevaluasi kegiatan bersama.
Konsep “tim” dengan segala aspeknya ini harus benar-benar dipahami oleh
pebelajar. Kurangnya pemahaman tentang konsep ini dapat berakibat kurangnya
kesadaran akan pentingnya kerjasama, tidak dapat memprioritaskan tujuan tim
daripada tujuan individu, dan pada gilirannya dapat berakibat berbuat kesalahan
dalam menyelenggarakan pertemuan, mengabaikan batas waktu penyelesaian
pekerjaan tim, kurang penuh dalam bertanggungjawab, serta kurang dapat bekerja
secara efisien (Ravenscroft dan Buckless,1995).
Dalam pembentukan tim, jumlah anggota, sifat, dan kompleksitas pekerjaan
merupakan faktor kunci. Mengenai berapa orang sebaiknya jumlah anggota dalam
ternyata ada berbagai pendapat. Secara umum, para ahli merekomendasikan agar
pembentukan tim dalam kelas sebaiknya terdiri dari tiga sampai dengan lima orang
(Howard, 1999). Namun, ia menegaskan bahwa untuk permulaan latihan
12
pengembangan keterampilan kolaborasi sebaiknya para pembelajar
memperkenalkannya dengan kelompok kecil lebih dulu, sekitar dua sampai tiga orang
dalam satu kelompok. Tujuan utamanya agar pebelajar familiar bekerja/belajar secara
kolaborasi dengan orang lain. Untuk kegiatan semacam riset/investigasi yang
ditindaklanjuti dengan pembuatan laporan dan menyajikannya di kelas, Howard
(1999) menyarankan sebaiknya tim terdiri dari tiga sampai dengan lima orang agar
dapat bekerja secara efektif. Ia juga menyarankan jumlah anggota sebaiknya gasal,
jangan genap agar kalau suatu saat terjadi konflik dapat diatasi dengan voting dalam
penyelesaiannya.
Selain jumlah pebelajar yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan suatu
tim, Bowen (1998) mengingatkan bahwa keragaman latar belakang pebelajar juga
perlu diperhatikan dan latar belakang mana yang akan lebih diberikan tekanan.
Misalnya, kualitas perspektif pebelajar dalam memandang berbagai persoalan, jenis
kelamin, dan latar belakang etnik. Namun, Bowen (1998) menekankan bahwa tujuan
kegiatan merupakan faktor utama untuk mempertimbangkan pembentukan tim. Untuk
kegiatan jangka pendek, seperti kegiatan di kelas bagi pebelajar yang tujuan
utamanya adalah latihan bekerja secara kolaboratif dalam tim, pemilihan anggota tim
cukup dilakukan secara acak. Sebaliknya, jika tujuan tim dimaksudkan untuk
menelusuri kesempatan karir di berbagai instansi atau perusahaan, maka pemilihan
anggota tim akan lebih tepat didasarkan atas minat karir yang sejenis.
Setiap tim harus memiliki seorang ketua untuk memimpin pertemuan atau
rapat, menjadi penghubung antara tim dengan pembelajar, dan melaksanakan fungsi-
fungsi kepemimpinan lainnya. Ketua tim juga harus bekerjasama dengan pembelajar
untuk menangani setiap masalah yang muncul dan memerlukan bantuan pembelajar.
Sangat boleh jadi suatu tim menghadapi suatu konflik atau masalah yang tidak dapat
diatasi sendiri oleh anggota timnya sehingga terpaksa harus melibatkan pembelajar
dalam memecahkannya. Namun demikian, menurut Bowen (1998) penting untuk
ditekankan bahwa apa sebenarnya inti konflik atau masalah yang dihadapi, mengapa
hal itu bisa terjadi, dan bagaimana mengatasinya, sebaiknya didiskusikan oleh
13
anggota tim lebih dahulu tanpa buru-buru mengundang campur tangan pembelajar
agar pebelajar terbiasa mengenali dengan cermat dan mampu mengatasi secara efektif
setiap masalah atau konflik yang dihadapi oleh timnya.
Bisa jadi anggota tim lupa terhadap detail pekerjaan penting yang harus
ditanganinya. Oleh sebab itu, akan sangat berguna jika pembelajar memberikannya
dalam bentuk tulisan semacam handout dalam membimbing pebelajar melakukan
kegiatan-kegiatan tim secara kolaboratif. Berikut sejumlah strategi yang diajukan
oleh Howard (1999) untuk membantu tim memfokuskan pada tugas pokok yang
harus dikerjakannya:
1. Membagikan secara tertulis petunjuk pelaksanaan kegiatan yang dikerjakan oleh
tim. Petunjuk itu dibuat detail agar pebelajar tidak mengalami kebingungan dalam
melaksanakannya. Dengan cara demikian, pebelajar tidak hanya menyandarkan
pada ingatan semata atau catatan-catatan yang dibuat tiap anggota tim.
2. Membuat schedule untuk penyelesaian tugas sementara yang di dalamnya
meliputi: tanggal penyelesaian kegiatan, kartu catatan, dan garis besar penyusunan
laporan. Jika schedule telah disusun, misalnya untuk melaksanakan riset
perpustakaan, melakukan berbagai keterampilan di kelas yang berbeda bersama
pembelajar dari disiplin ilmu yang berbeda, atau melakukan pertemuan di tempat
lain di luar kelas, semua itu harus dicantumkan di dalam schedule.
3. Mendiskusikan dengan pebelajar dan memberikan fotokopi lembaran evaluasi
yang dapat digunakan untuk menilai aspek-aspek kegiatan tim. Ini berguna untuk
membantu pebelajar memahami bagaimana menyelesaikan kegiatannya dengan
baik dan benar.
4. Mengusahakan setiap anggota tim memiliki buku catatan kegiatan yang dibagi ke
dalam bagian-bagian guna mengorganisasikan kegiatan yang harus diselesaikan.
Lembaran tugas, petunjuk pelaksanaan kegiatan, dan schedule kegiatan harus
dilekatkan di bagian depan buku catatan pebelajar
Pembagian tanggungjawab yang dilakukan oleh pembelajar secara kurang
bijaksana dapat mengurangi keberhasilan pola kerja kolaborasi. Seringkali orang
14
berpendapat bahwa pembagian kerja anggota tim sebaiknya didasarkan pada
penguasaan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Misalnya, suatu tim yang
beranggotakan tiga orang, di mana satu orang mahir dalam mengoperasikan
komputer, satu orang lagi memiliki kelebihan dalam melakukan riset, dan seorang
lagi memiliki kelebihan dalam menyusun laporan kegiatan. Kedengarannya memang
ideal jika pembagian tugas disesuaikan dengan penguasaan yang telah dimiliki tiap
anggota tim tersebut. (Mustadji, 2010)
Menurut Davis dan Miller (1996), pembagian tugas semacam itu sesungguhnya
mengandung kelemahan serius karena pebelajar tidak terlatih menguasai dan
menyelesaikan pekerjaan dalam lingkup yang lebih luas yang sebenarnya dituntut
secara kompetitif manakala nanti sudah memasuki dunia kerja. Akibatnya, pebelajar
menyimpan kelemahan dan keterbatasan kesempatan untuk memperoleh atau
meningkatkan kompetensi lainnya yang juga penting. Atas dasar itu, Davis dan Miller
(1996) menyarankan bahwa untuk mencapai hasil maksimal dalam bekerja secara
kolaboratif seharusnya setiap anggota tim menerima tanggungjawab tidak hanya pada
tugas-tugas yang mereka sudah memiliki keterampilan atau penguasaan, melainkan
juga pada tugas-tugas yang belum mereka kuasai sambil belajar dan meningkatkan
keterampilannya selama menyelesaikan kegiatan dengan anggota timnya.
Lingkungan dunia kerja modern memerlukan orang-orang yang mampu
menghargai pentingnya tanggungjawab, bukan saja dari tim secara keseluruhan
melainkan juga dari tiap-tiap personel dalam tim tersebut. Oleh sebab itu, menjadi
sangat penting penghargaan terhadap tanggungjawab tersebut untuk dikembangkan
secara maksimal kepada pebelajar sebagai persiapan sebelum memasuki dunia kerja.
Pengembangan tanggungjawab ini, menurut Bowen (1998), dapat dirancang dan
dikembangkan secara langsung oleh pembelajar atau melalui kesepakatan tim atau
bisa juga melalui konsensus antara pembelajar dengan pebelajar. Hal terpenting
adalah apapun bentuk proses yang ditempuh dalam membangun tanggung jawab itu,
para anggota tim harus memahami betul bahwa mereka bertanggungjawab terhadap
semua pertemuan yang diselenggarakan oleh tim, memberikan sumbangan terhadap
15
kegiatan diskusi dalam tim, dan menyelesaikan tugas-tugas tim secara baik dan tepat
waktu. (Utomo Dananjaya 2012:142)
Jika seorang pebelajar terpaksa tidak dapat hadir dalam suatu pertemuan tim,
maka dia berkewajiban memberitahu ketua tim atau anggota tim lainnya tentang
penyebab ketidakhadirannya itu. Cara ini harus dibiasakan agar tetap terjaga rasa
tanggungjawab terhadap tim (Alexander & Stone,1997). Bahkan, jika
memungkinkan, meskipun seorang pebelajar tidak dapat hadir dalam pertemuan tim,
tetapi harus mengirimkan gagasan-gagasannya secara tertulis, laporan tertulis,
dan/atau tugas-tugas yang telah diselesaikannya sehingga dapat dibahas dalam
pertemuan tim. Setelah pertemuan tim selesai, pebelajar yang tidak hadir tersebut
juga harus mengontak lagi ketua tim atau anggota tim lainnya untuk mendapatkan
informasi tentang hasil diskusi selama pertemuan tim atau barangkali ada kertas kerja
atau tulisan yang dapat di (McCahon & Lavelle, 1998).

2.5 Langkah-langkah Pembelajaran Kolaboratif


Dalam pembelajaran kolaboratif agar pelaksanaan pembelajaran menjadi
bermakna yaitu harus melewati langkah-langkah Berikut ini: Para siswa dalam
kelompok menetapkan tujuan belajar dan membagi tugas sendiri-sendiri. Semua
siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan menulis.
1. Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi mengidentifikasi,
mendemontrasikan, meneliti, menganalisis, dan memformulasikan jawaban-
jawaban tugas atau masalah dalam LKS atau masalah yang ditemukan
sendiri.
2. Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan masalah,
masing-masing siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara lengkap.
3. Guru menunjuk salah satu kelompok secara acak (selanjutnya
diupayakan agar semua kelompok dapat giliran ke depan) untuk melakukan
presentasi hasil diskusi kelompok kolaboratifnya di depan kelas, siswa pada
kelompok lain mengamati, mencermati, membandingkan hasil presentasi
16
tersebut, dan menanggapi. Kegiatan ini dilakukan selama lebih kurang 20-30
menit.
4. Masing-masing siswa dalam kelompok kolaboratif melakukan
elaborasi, inferensi, dan revisi (bila diperlukan) terhadap laporan yang akan
dikumpulan.
5. Laporan masing-masing siswa terhadap tugas-tugas yang telah
dikumpulkan, disusun perkelompok kolaboratif.
6. Laporan siswa dikoreksi, dikomentari, dinilai, dikembalikan pada
pertemuan berikutnya, dan didiskusikan.

2.6 Implementasi pembelajaran Kolaboratif Pada Mata Pelajaran Sejarah


Strategi Pembelajaran sejarah kolaboratif memiliki ciri utama latihan
bekerjasama. Dari berbagai metode yang dikembangkan tampak yang menjadi tujuan
pokok dari strategi tersebut adalah melatih dan memberikan pengalaman bagaimana
melakukan kerjasama dan merasakan manfaat kebersamaan terutama pada saat
memecahkan masalah bersama. Dan dari strategi tersebut diharapkan peserta didik
mampu dan biasa melakukan kerjasama dalam hal – hal positif dalam kehidupan
sehari – hari.
Bahkan menurut Bourdillon ( 1999 ) penerapan strategi kolaboratif dalam
pembelajaran sejarah tidak sebatas sebagai wahana pembelajaran kerjasama, tapi juga
memiliki manfaat mendidik warga negara yang bertanggung jawab, rasional,
partisipatif dalam pengambilan keputusan baik sebagai warga masyarakat maupun
warga bangsa.

2.7 Macam-macam Pembelajaran Kolaboratif


Ada banyak macam pembelajaran kolaboratif yang pernah dikembangkan oleh
para ahli maupun praktisi pendidikan, teristimewa oleh para ahli Student Team
Learning pada John Hopkins University. Tetapi hanya sekitar sepuluh macam yang
mendapatkan perhatian secara luas, yaitu :

17
1. Learning Together

Dalam metode ini kelompok-kelompok sekelas beranggotakan siswa-siswa


yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan
tugas yang diberikan oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan
satu set lembar tugas. Penilaian didasarkan pada hasil kerja kelompok.
2. Teams-Games-Tournament (TGT)

Setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para anggota suatu kelompok


akan berlomba dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan
masing-masing. Penilaian didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok.
3. Group Investigation (GI)

Semua anggota kelompok dituntut untuk merencanakan suatu penelitian beserta


perencanaan pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja
yang akan dikerjakan dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana
perencanaan penyajiannya di depan forum kelas. Penilaian didasarkan pada proses
dan hasil kerja kelompok.
4. Academic-Constructive Controversy (AC)

Setiap anggota kelompok dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi


konflik intelektual yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik
bersama anggota sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan
pembelajaran ini mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan
masalah, pemikiran kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan
keselarasan. Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok
mempertahankan posisi yang dipilihnya.
5. Jigsaw Proscedure (JP)

Dalam bentuk pembelajaran ini, anggota suatu kelompok diberi tugas yang
berbeda-beda tentang suatu pokok bahasan. Agar setiap anggota dapat memahami

18
keseluruhan pokok bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian
didasarkan pada rata-rata skor tes kelompok.
6. Student Team Achievement Divisions (STAD)

Para siswa dalam suatu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil.
Anggota-anggota dalam setiap kelompok saling belajar dan membelajarkan
sesamanya. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan berpengaruh terhadap
keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok akan berpengaruh
terhadap keberhasilan individu siswa. Penilaian didasarkan pada pencapaian hasil
belajar individual maupun kelompok.
7. Complex Instruction (CI)

Metode pembelajaran ini menekankan pelaksanaan suatu proyek yang


berorientasi pada penemuan, khususnya dalam bidang sains, matematika dan
pengetahuan sosial. Fokusnya adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua
anggota kelompok terhadap pokok bahasan. Metode ini umumnya digunakan dalam
pembelajaran yang bersifat bilingual (menggunakan dua bahasa) dan di antara para
siswa yang sangat heterogen. Penilaian didasarkan pada proses dan hasil kerja
kelompok.
8. Team Accelerated Instruction (TAI)

Bentuk pembelajaran ini merupakan kombinasi antara pembelajaran


kooperatif/kolaboratif dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap
anggota kelompok diberi soal-soal yang harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu.
Setelah itu dilaksanakan penilaian bersama-sama dalam kelompok. Jika soal tahap
pertama telah diselesaikan dengan benar, setiap siswa mengerjakan soal-soal tahap
berikutnya. Namun jika seorang siswa belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama
dengan benar, ia harus menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan
soal disusun berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian didasarkan pada hasil
belajar individual maupun kelompok.

19
9. Cooperative Learning Stuctures (CLS)

Dalam pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua siswa
(berpasangan). Seorang siswa bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee.
Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee
benar, ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam
selang waktu yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua siswa yang saling
berpasangan itu berganti peran.
10.Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)

Model pembelajaran ini mirip dengan TAI. Sesuai namanya, model


pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca, menulis dan tata bahasa.
Dalam pembelajaran ini, para siswa saling menilai kemampuan membaca, menulis
dan tata bahasa, baik secara tertulis maupun lisan di dalam kelompoknya.
Keterampilan yang dibutuhkan oleh peserta yang berpartisipasi dalam model
pembelajaran kolaboratif adalah:
1. Pembentukan kelompok
2. Bekerja dalam satu kelompok
3. Pemecahan masalah kelompok
4. Manajemen perbedaan kelompok
Menurut Reid (2004) untuk menggembangkan collaborative learning ada lima
tahapan yang harus dilakukan, yaitu:
1. Engagement
Pada tahap ini, pengajar melakukan penilaian terhadap kemampuan, minat,
bakat dan kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing siswa. Lalu, siswa
dikelompokkan yang di dalamnya terdapat siswa terpandai, siswa sedang, dan
siswa yang rendah prestasinya.
2. Exploration
Setelah dilakukan pengelompokkan, lalu pengajar mulai memberi tugas,
misalnya dengan memberi permasalahan agar dipecahkan oleh kelompok

20
tersebut. Dengan masalah yang diperoleh, semua anggota kelompok harus
berusaha untuk menyumbangkan kemampuan berupa ilmu, pendapat ataupun
gagasannya.
3. Transformation
Dari perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing siswa, lalu
setiap anggota saling bertukar pikiran dan melakukan diskusi kelompok.
Dengan begitu, siswa yang semula mempunyai prestasi rendah, lama
kelamaan akan dapat menaikkan prestasinya karena adanya proses
transformasi dari siswa yang memiliki prestasi tinggi kepada siswa yang
prestasinya rendah.
4. Presentation
Setelah selesai melakukan diskusi dan menyusun laporan, lalu setiap
kelompok mempresentasikan hasil diskusinya. Pada saat salah satu kelompok
melakukan presentasi, maka kelompok lain mengamati, mencermati,
membandingkan hasil presentasi tersebut, dan menanggapi.
5. Reflection
Setelah selesai melakukan presentasi, lalu terjadi proses Tanya-jawab antar
kelompok. Kelompok yang melakukan presentasi akan menerima pertanyaan,
tanggapan ataupun sanggahan dari kelompok lain. Dengan pertanyaan yang
diajukan oleh kelompok lain, anggota kelompok harus bekerjasama secara
kompak untuk menanggapi dengan baik.
Brandt (2004) menekankan adanya lima elemen dasar yang dibutuhkan agar
kerjasama dalam proses pembelajaran dapat sukses, yaitu :
1. Possitive interdependence (saling ketergantungan positif)
Yaitu siswa harus percaya bahwa mereka adalah proses belajar bersama dan
mereka peduli pada belajar siswa yang lain. Dalam pembelajaran ini setiap
siswa harus merasa bahwa ia bergantung secara positif dan terikat dengan
antarsesama anggota kelompoknya dengan tanggung jawab menguasai bahan
pelajaran dan memastikan bahwa semua anggota kelompoknya pun
21
menguasainya. Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lain juga tidak
sukses.
2. Verbal, face to face interaction (interaksi langsung antarsiswa)
Yaitu hasil belajar yang terbaik dapat diperoleh dengan adanya komunikasi
verbal antarsiswa yang didukung oleh saling ketergantungan positif. Siswa
harus saling berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan
belajar. Siswa juga harus menjelaskan, berargumen, elaborasi, dan terikat
terhadap apa yang mereka pelajari sekarang untuk mengikat apa yang mereka
pelajari sebelumnya.
3. Individual accountability (pertanggungjawaban individu)
Yaitu setiap kelompok harus realis bahwa mereka harus belajar. Agar dalam
suatu kelompok siswa dapat menyumbang, mendukung dan membantu satu
sama lain, setiap siswa dituntut harus menguasai materi yang dijadikan pokok
bahasan. Dengan demikian setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk
mempelajari pokok bahasan dan bertanggung jawab pula terhadap hasil
belajar kelompok.
4. Social skills (keterampilan berkolaborasi)
Yaitu keterampilan sosial siswa sangat penting dalam pembelajaran. Siswa
dituntut mempunyai keterampilan berkolaborasi, sehingga dalam kelompok
tercipta interaksi yang dinamis untuk saling belajar dan membelajarkan
sebagai bagian dari proses belajar kolaboratif. Siswa harus belajar dan diajar
kepemimpian, komunikasi, kepercayaan, membangun dan keterampilan dalam
memecahkan konflik.
5. Group processing (keefektifan proses kelompok)
Yaitu kelompok harus mampu menilai kebaikan apa yang mereka kerjakan
secara bersama dan bagaimana mereka dapat melakukan secara lebih baik.
Siswa memproses keefektifan kelompok belajarnya dengan cara menjelaskan
tindakan mana yang dapat menyumbang belajar dan mana yang tidak serta

22
membuat keputusan-keputusan tindakan yang dapat dilanjutkan atau yang
perlu diubah.
Tiga pola pengelompokkan, yaitu :
a. The two-person group (tutoring)
Yaitu satu orang ditugasi mengajar yang lain. Jadi, siswa dapat berperan
sebagai pengajar yang disebut tutor, sedangkan siswa yang lain disebut tutee.
b. The small group (interactive recitation; discussion)
Adalah cara penyampaian baha pelajaran di mana guru memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau
menyusun berbagai alternative pemecahan masalah.
c. Small or large group (recitation)
Yaitu suatu metode mengajar dan pengajar memberikan tugas untuk
mempelajari sesuatu kepada pembelajar, kemudian melaporkan hasilnya.
Tugas-tugas yang diberikan oleh pengajar dapat dilaksanakan di rumah,
sekolah, perpustakaan, laboratorium, atau di tempat lain.
Karakteristik dalam belajar kolaboratif adalah :
1. Siswa belajar dalam satu kelompok dan memiliki rasa ketergantungan
dalam proses belajar, penyelesaian tugas kelompok mengharuskan semua
anggota bekerja bersama.
2. Interaksi intensif secara tatap muka antar anggota kelompok.
3. Masing-masing siswa bertanggung jawab terhadap tugas yang telah
disepakati.
4. Siswa harus belajar dan memiliki ketrampilan komunikasi
interpesonal.
5. Peran guru sebagai mediator.
6. Adanya sharing pengetahuan dan interaksi antara guru dan siswa, atau
siswa dan siswa.
7. pengelompokkan secara heterogen.

23
2.8 Kekurangan Dan Kelebihan Pembelajaran Kolaboratif
a. Kelebihan
1. Siswa belajar bermusyawarah
2. Siswa belajar menghargai pendapat orang lain
3. Dapat mengembangkan cara berpikir kritis dan rasional
4. Dapat memupuk rasa kerja sama
5. Adanya persaingan yang sehat
b.Kelemahan
1. Pendapat serta pertanyaan siswa dapat menyimpang dari pokok
persoalan.Membutuhkan waktu cukup banyak.
2. Adanya sifat-sifat pribadi yang ingin menonjolkan diri atau sebaliknya
yang lemah merasa rendah diri dan selalu tergantung pada orang lain.
3. Kebulatan atau kesimpulan bahan kadang sukar dicapai. (Utomo
Dananjaya,2012:139).

2.9 Kendala Pembelajaran Kolaboratif


Kendala atau masalah yang timbul, meliputi fasilitas penunjang pembelajaran
dengan PBM, resistensi pembelajar, resistensi pebelajar, dan informasi yang diperoleh
dilakukan untuk melakukan perbaikan dari sisi perencanaan, pelaksanaan, dan
penilaian pembelajaran. Hasil Pengujian Model Pembelajaran Kolaborasi Gokhale
(1995), menemukan bahwa kelompok pebelajar yang belajar dengan pola belajar
kolaborasi lebih tinggi prestasi belajarnya dibanding kelompok pebelajar yang belajar
secara kompetitif.
Penyebab belum optimalnya kegiatan pembelajaran yaitu karena 3 hal, yakni
(1) pembelajar kurang mampu menyelenggarakan proses pembelajaran yang sesuai
dengan tuntutan perkembangan di bidang teknologi pembelajaran, (2) pembelajar
keliru dalam memandang proses pembelajaran, dan (3) pembelajar menggunakan
konsep-konsep pembelajaran yang tidak relevan dengan perkembangan teknologi
pembelajaran (Boud & Feletti,1991). Sistem pembelajaran harus didesain agar
pebelajar mampu berpikir kritis, memecahkan masalah, mandiri (Barrows & Kelson,
2004).

24
BAB. III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas, kita bisa mengetahui hal yang ditekankan dalam belajar
kolaboratif yaitu bagaimana cara agar siswa dalam aktivitas belajar kelompok terjadi
adanya kerjasama, interaksi, dan pertukaran informasi. disimpulkan bahwa pengertian
belajar kolaborasi adalah suatu strategi pembelajaran di mana para siswa dengan
variasi yang bertingkat bekerjasama dalam kelompok kecil kearah satu tujuan. Dalam
kelompok ini para siswa saling membantu antara satu dengan yang lain
Di era serba modern ini Pembelajaran kolaboratif sangat cocok diterapkan pada
siswa karena dianggap lebih efisien dibandingkan dengan metode lain, siswa dapat
belajar bermusyawarah, Siswa belajar menghargai pendapat orang lain, Dapat
mengembangkan cara berpikir kritis dan rasional, Dapat memupuk rasa kerja sama,
Adanya persaingan yang sehat. Jadi situasi belajar kolaboratif ada unsur
ketergantungan yang positif untuk mencapai kesuksesan.

3.2 Saran
Karena model pembelajaran kolaboratif hanya dapat dipakai untuk materi
materi tertentu, maka seorang guru atau seorang calon guru disarankan agar mampu
memilih dan memilah materi mana yang tepat dan cocok yang dapat diterapkan
dalam proses belajar agar tidak menyita waktunya juga tidak hanya melibatkan
beberapa siswa saja, karena model pembelajaran kolaboratif diperlukan keaktifan
seluruh siswa.

Selain itu alat – alat bantu mengajar (audio visual, dll) haruslah diusahakan
oleh guru atau calon guru yang hendak menerapkan metode ini, tujuannya untuk
memberikan siswa pengalaman langsung.

25
DAFTAR PUSTAKA

Dananjaya,utomo. 2012.Media Pembelajaran Aktif. Bandung: Nuansa

Erlina. 2012. Pendidikan sejarah. [http://ccs.infospace.com/ClickHandler.ashx?du


file.upi.edu%2fDirektori%2fFPIPS%2fJUR._PEND._SEJARAH
%2f196207181986012-ERLINA_WIJANARTI%2fC] [serial online] [diakses
pada tanggal 13 oktober 2013]

Matthews.2010.. Building bridges between cooperative and collaborative learning.


[http://www.teachersrock.net] [serial on line] [diakses pada tanggal 12 oktober
2013]

Mustadji, Prof,Dr. 2010. Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model


Pembelajaran Kolaborasi Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi.
[http://pasca.tp.ac.id/site/ desain-pembelajaran-dengan-menggunakan-model-
pembelajaran-kolaborasi-untuk-meningkatkan-kemampuan-berkolaborasi]
[serial online] [diakses pada tanggal 12 oktober 2013]

26
27

Anda mungkin juga menyukai