5. Pada sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi
kaidah sedang pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu lembaga untuk
mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk
melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran.
6. Pada sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum
sedangkan pada sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.
7. Keputusan hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental
tidak dianggap sebagai kaidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum anglo
saxon keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus
diikuti.
8. Pada sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah lebih
tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum anglo
saxon pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.
9. Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan
kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem
hukum anglo saxon kategorisasi fundamental tidak dikenal.Pada sistem hukum eropa
kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang pada sistem hukum anglo
saxon berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.
Perbedaan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
Kepala Negara adalah jabatan yang dilaksanakan secara individu maupun kolektif, namun
tetap memiliki peranan sebagai ketua atau pemimpin tertinggi dari sebuah Negara. Negara
yang dimaksud adalah Negara Republik, Negara Monarki, Negara Federasi, Negara
Persekutuan, serta bentuk-bentuk negara lainnya. Tanggung jawab Kepala Negara antara lain
yaitu memiliki hak politis yang ditetapkan sesuai dengan konstitusi sebuah Negara. Oleh
sebab itu, Kepala Negara dapat dibedakan berdasarkan konstitusi yang berbeda-beda di tiap-
tiap Negara tertentu di seluruh dunia.
Kepala Negara Simbolis : Kepala Negara yang tidak memiliki Hak Prerogratif serta
Hak Politik. Artinya, Kepala Negara tidak dapat mencampuri masalah pemerintahan
dan legislatif. Kepala Negara Sombolis juga memiliki sedikit kewenangan jika Kepala
Pemerintahan adalah seorang Perdana Menteri serta mempunyai sistem Parlementer.
Kepala Negara Populis : Kepala Negara yang memiliki Hak Prerogratif dan Politik.
Kepala Negara dapat mencampuri masalah pemerintahan dan legislatif. Kepala
Negara Populis memiliki banyak kewenangan jika Kepala Pemerintahan adalah
seorang Presiden atau seorang Perdana Menteri yang memiliki sistem Presindensiil
atau Semi-presidensiil.
Berdasarkan tanggung jawab serta hak politis yang ditetapkan oleh masing-masing
konstitusi suatu Negara, maka Kepala Negara berdasarkan jenis konstitusi dapat
dibagi menjadi dua, yaitu :
Kepala Pemerintahan adalah pemimpin kabinet atau pemerintah, yang mana harus
memastikan berjalannya suatu pemerintahan suatu Negara. Di dalam sistem Presidensiil
maupun Monarki, Kepala Pemerintahan biasanya juga menjabat sebagai Kepala Negara yang
disebut sebagai Presiden atau Raja. Dalam sistem Parlementer, yang menjabat sebagai Kepala
Pemerintahan adalah Perdana Menteri. Dalam menjalankan tugas sebagai Kepala
Pemerintahan, Presiden dibantu oleh menteri-menteri dalam kabinet untuk melakukan tugas
pemerintahan serta memegang tampu kekuasaan legislatif.
1. UUD 1945 Pasal 10: Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
2. UUD 1945 Pasal 13 ayat 1: Presiden mengangkat duta dan konsul.
3. UUD 1945 Pasal 13 ayat 3: Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
4. UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu
5. UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4: Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional
6. UUD 1945 Pasal 32 Ayat 1: Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara
dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
7. UUD 1945 Pasal 32 Ayat 2: Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah
sebagai kekayaan budaya nasional.
8. UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1: Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara.
9. UUD 1945 Pasal 34 Ayat 2: Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan
10. UUD 1945 Pasal 34 Ayat 3: Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak
Wewenang Presiden
Selain harus melaksanakan tugas dan kewajiban seorang Presiden sebagai Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan, Presiden juga memiliki hak atau wewenangnya sendiri dalam
memimpin suatu Negara. Hak atau wewenang Presiden tersebut juga telah tertuang dalam
peraturan perundangan-undangan, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dalam menjalankan
kewenangan Presiden yang cukup banyak, Presiden dapat dibantu oleh Wakil Presiden serta
membentuk jajaran kabinet kementerian. Wewenang tersebut antara lain adalah sebagai
berikut :
Di Luar Kekuasaan
Selain tugas Presiden sebagai Kepala Negara, tugas sebagai Kepala Pemerintahan, serta
Wewenang Presiden, masih terdapat peraturan di luar kekuasaan seorang Presiden, yaitu
tertuang dalam UUD 1945 Pasal 7C: "Presiden tidak dapat membekukan dan/atau
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat." Peraturan ini telah tercantum dalam peraturan
perundangan-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dipilih berdasarkan perolehan suara sebanyak
lebih dari 50% dari total jumlah perolehan suara dan dengan minimal 20% suara di masing-
masing Provinsi dari 50% jumlah Provinsi di Negara Indonesia. Jika dalam Pemilu tersebut
tidak diperoleh pasangan calon Presiden yang unggul dengan suara terbanyak atau sesuai
dengan persyaratan, maka dua pasangan calon Presiden yang memperoleh suara terbanyak
pertama dan kedua berhak melakukan pemilihan umum putaran kedua untuk menentukan
pemenang berdasarkan suara terbanyak yang diberikan masyarakat terhadap dua kandidat
pasangan calon Presiden tersebut.
Syarat untuk menjadi calon Presiden menurut peraturan Undang-Undang Dasar 1945 adalah :
Calon Presiden menurut UUD 1945 Pasal 6 ayat 1 adalah WNI sejak lahir.
Menurut UUD 1945 Pasal 6A ayat 1, Presiden dan Wakil dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat.
Presiden terpilih akan memegang jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia selama lima
tahun penuh dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama namun hanya
untuk satu kali masa jabatan.
Tidak hanya dipilih dan dilantik oleh MPR, menurut UUD 1945 Pasal 9, sebelum memangku
jabatannya seorang Presiden dan Wakil Presiden wajib mengucapkan sumpah menurut
agamanya, dan berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Berikut adalah Sumpah dan Janji Presiden dan Wakil
Presiden:
“Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil
Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh
Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan
selurus-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa.”
Tercantum juga dalam UUD 1945 Pasal 9 ayat 2 bahwa jika MPR dan DPR tidak dapat
mengadakan sidang untuk proses pengangkatan Presiden maka Presiden dan wakilnya
mengucapkan sumpah dan janji di hadapan Pimpinan MPR yang disaksikan Pimpinan
Mahkamah Agung. Jika seorang Presiden tidak mengucapkan sumpah maka secara hukum
presiden ini masih belum dianggap sepenuhnya sah dan dapat menimbulkan masalah seperti
yang terjadi pada pengangkatan Presiden B.J. Habibie karena menurut pasal 8 yang berhak
menggantikan Presiden yang mengundurkan diri adalah wakil presiden yang saat itu adalah
Bapak B.J. Habibie, namun beliau belum mengucapkan sumpah sesuai UUD 1945 pasal 9.
Pemberhentian Presiden
Jabatan Presiden memegang peranan dan wewenang yang paling besar dalam menjalankan
pemerintahan. Oleh karenanya peran seorang Presiden diawasi agar tidak sampai
diselewangkan atau disalahgunakan. Jika karena suatu hal seperti penyalahgunaan atau
karena pengunduran diri dari Presiden atau terjadi hal darurat seperti mangkatnya Presiden
maka MPR berhak memberhentikan presiden tersebut sesuai UUD 1945 pasal 7A, “Presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR”
Proses pemberhentian presiden awalnya diajukan oleh DPR ke Mahkamah Konstitusi. DPR
berhak melaporkan tindakan yang melanggar hukum dan tindakan lainnya yang membuat
seorang presiden tidak lagi memenuhi syarat memangku jabatannya. Gugatan yang dibuat
oleh DPR harus disetujui sekurang-kurangnya 2/3 suara dari anggota DPR seperti yang
dimaksudkan dalam pasal 7B ayat 3.
Proses selanjutnya Mahkamah Konstitusi memeriksa gugatan dari DPR paling lama sembilan
puluh hari dari hari pengajuan. Jika Mahkamah Konstitusi menyetujui gugatan maka DPR
da[at mengajukan rapat paripurna untuk mengajukan gugatan kedua ke MPR. MPR akan
memberikan keputusan paling lama tiga puluh hari dari rapat paripurna. MPR harus
mengadakan rapat yang dihadiri setidaknya 3/4 anggota MPR dan dihadiri pula oleh
Presiden untuk memberikan penjelasan. Apabila gugatan pemeberhentian Presiden disetujui
sedikitnya 2/3 anggota MPR maka barulah Presiden diharuskan untuk turun dari jabatan
presiden dan memberikan laporan pertanggungjawabannya selama menjadi presiden.
Oleh karena itu, kemudian muncul suatu konsep tentang idealnya seorang raja, yakni
harus memiliki sifat "astabrata" atau delapan kebajikan sebagai seorang pemimpin seperti
yang dimiliki oleh delapan dewa dalam kepercayaan Hindu, seperti berikt ini:
d. memiliki sifat kasih sayang, welas asih terhadap rakyat, sifat Dewa Candra;
h. memiliki keberanian yang menyala-nyala dan tekad yang bulat, sifat Dewa Brahma.
Jika pada masa Hindu–Buddha para brahmana berperan sebagai penasihat raja
maka pada masa Islam yang menjadi penasihat raja ialah pada wali/sunan atau kiai. Raja
pada masa Islam juga memiliki kekuasaan yang besar sepertipada masa kerajaan-kerajaan
Hindu–Buddha. Bahkan, untuk raja-raja Jawa umumnya dan Mataram Islam khususnya,
muncul konsep keagung-binatharaan.
Dalam dunia pewayangan kekuasaan yang besar itu bisa digambarkan sebagai gung
binathara bau dhendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan
penguasa dunia). Raja tidak hanya berkuasa di bidang politik, tetapi juga di bidang agama
sehingga muncul gelar Sayidin Panatagama.
Raja yang dikatakan baik adalah raja yng menjalankan kekuasaannya dalam
keseimbangan antara kewenangannya yang besar dan kewajibannya yang besar juga. Konsep
itulah yang disebut keagungbinatharaan, yakni berbudi bawa leksana, ambeg adil para
marta, (meluap budi luhur mulia dan sikap adilnya terhadap sesama).
Selain itu, tugas raja adalah anjaga tata titi tentreming praja (menjaga keteraturan
dan ketenteraman hidup rakyat) supaya tercapai suasana karta tuwin raharja (aman dan
sejahtera). Jika diibaratkan sama dengan konsep Hindu Buddha berupa astabrata.
Selanjutnya, untuk pembinaan kekuasaan dilakukan dengan menyusun silsilah (silsilah
politik) sebagai garis keturunan yang berhak menggantikan takhta kerajaan.