Anda di halaman 1dari 30

DAMPAK PSAK SEWA YANG BARU

TERHADAP PLN
(Kasus: Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik)

ABSTRAK
Makalah ini menjelaskan mengenai bagaimana dampak atas penerapan
PSAK sewa yang baru, yaitu PSAK 30 “Sewa” terhadap laporan keuangan suatu
perusahaan. Kita akan melihat dampak riilnya melalui studi kasus terhadap
Laporan Keuangan PT PLN, suatu BUMN yang bertugas menyediakan tenaga
listrik untuk kebutuhan masyarakat umum. Menggunakan data dari PT PLN, kita
akan temukan bagaimana PT PLN mempertimbangkan untuk memperlakukan
perjanjian jual beli tenaga listrik dari produsen swasta sebagai suatu perjanjian
sewa berdasarkan panduan ISAK 8 “Penentuan Apakah Suatu Perjanjian
Mengandung Suatu Sewa“ sehingga berimplikasi pada penerapan PSAK 30 “
Sewa”, khususnya mengenai sewa pembiayaan. Kemudian, dibahas pula
bagaimana pada akhirnya penerapan PSAK 30 “Sewa” secara restrospektif
menyebabkan diakuinya aset dan kewajiban terkait perjanjian sewa dalam
laporan posisi keuangan serta mengakibatkan perubahan pada saldo laba/rugi
pada laporan laba/rugi komprehensif tahun sebelumnya. Dampaknya, rasio-rasio
keuangan perusahaan pun ikut berubah dan berpotensi mengakibatkan terjadinya
pelanggaran beberapa covenant atas obligasi yang dimiliki.

1. PENDAHULUAN
Sewa guna usaha (leasing) pertama kali berkembang sebagai alat
pembelanjaan atau pembiayaan perusahaan sejak adanya Accounting Research
Bulletin No.38 tentang Disclosure of Long Term Lease on Financial Statement of
Lessees. Financial Accounting Standards Board (FASB) menerbitkan FASB
Statement No. 13 (Accounting for Leases) pada tahun 1976 yang memberikan
panduan akuntansi terhadap sewa guna usaha baik untuk lessor maupun lessee.
International Accounting Standards Committee (IASC) pada tahun 1982
menerbitkan standar mengenai “Leases” yang hampir sama dengan FASB
Statement No. 13.
Sewa guna usaha (leasing) pertama kali diperkenalkan di Indonesia
melalui surat keputusan bersama antara Menteri Keuangan dan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia dengan Nomor Kep-122/MK/2/1974,
No.32/M/SK/2/1974 dan No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang

1 Universitas Indonesia
“Perizinan Usaha Leasing”. Sejak saat itu, perkembangan sewa di Indonesia
dapat terlihat dari munculnya perusahaan-perusahaan sewa guna usaha di
Indonesia. Selanjutnya, antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1990, dikeluarkan
Surat Edaran Direktur Jendral Moneter Dalam Negeri No. SE/499/MD/1984
tanggal 24 Januari 1984 tentang ketentuan dan tata cara penyampaian perusahaan
leasing, serta Keputusan Menteri No. 125/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember
1988.
Mengikuti perkembangan usaha sewa dan praktik akuntansi baik di
Indonesia maupun dunia Internasional, maka standar akuntansi terkait dengan
leasing di Indonesia telah mengalami dinamika dan perubahan. Masalah
perlakuan akuntansi terkait sewa secara khusus diaturoleh Ikatan Akuntan
Indonesia dalam PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) 30. Sejak
disahkan tanggal 07 September 1994 dan dinyatakan efektif berlaku 1 Januari
1991 hingga sekarang, PSAK 30 (1994) “ Akuntansi Sewa Guna Usaha” telah
mengalami revisi sebanyak 2 kali. Revisi pertama, PSAK 30 (2007) “Sewa”
disahkan pada tahun 27 Juni 2007 untuk menggantikan PSAK (1994) “ Akuntansi
Sewa Guna Usaha”. Keluarnya PSAK 30 (2007) Sewa disusul dengan keluarnya
ISAK (Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan) 8 “Penentuan Apakah Suatu
Perjanjian Mengandung Suatu Sewa” sebagai panduan menilai apakah suatu
perjanjian dianggap sebagai sewa atau mengandung sewa sehingga harus
menerapkan PSAK 30. Revisi kedua , PSAK 30 (2011) “Sewa” dilakukan untuk
mengadopsi ketentuan IAS 17 per 1 Januari 2009 dan dinyatakan efektif berlaku
per 1 Januari 2012.
Munculnya standar akuntansi mengenai sewa yang baru tersebut membuat
implikasi yang cukup signifikan dalam penyajian laporan keuangan perusahaan.
Hal tersebut terjadi karena penerapan kebijakan akuntansi yang baru tersebut
membawa pengaruh pada perubahan kebijakan akuntansi yang harus dilakukan
perusahaan.
Dalam makalah ini, akan disajikan pembahasan/analisa mengenai
penerapan standar akuntansi yang terkait dengan sewa (PSAK 30 “Sewa” dan
ISAK 8 “Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa”) serta isu
yang timbul dalam praktek penyusunan laporan keuangan di Indonesia (kasus PT

2 Universitas Indonesia
PLN). Pembahasan tersebut akan dibagi dalam beberapa bagian. Pada bagian
pertama, akan diberikan landasan teori mengenai standar akuntansi terkait sewa
yang berlaku di Indonesia sesuai PSAK 30 “Sewa” dan ISAK 8 “Penentuan
Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa”. Pada bagian kedua, akan
diberikan suatu studi kasus penerapan PSAK 30 “Sewa” dan ISAK 8 “Penentuan
Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa” oleh perusahaan PLN, mulai
dari latar belakang penerapan, isu permasalahan yang muncul sampai dampaknya
pada perusahaan. Terakhir, akan diambil kesimpulan mengenai kasus penerapan
PSAK sewa yang baru oleh PT PLN dan dampaknya.

2. STANDAR AKUNTANSI YANG BERLAKU: PSAK 30 DAN


ISAK 8
2.1 ISAK 8 “PENENTUAN APAKAH SUATU PERJANJIAN
MENGANDUNG SUATU SEWA”
Sebelum memasuki pembahasan mengenai leasing, kita akan membahas
dulu mengenai ISAK 8. Dalam menentukan apakah suatu perjanjian mengandung
suatu sewa atau tidak, kita harus menggunakan panduan ISAK 8: “Penentuan
Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa” yang mengadopsi IFRIC 4
“Determining Whether an Arrangement Containts a Leases”. Suatu entitas dapat
melakukan suatu perjanjian, yang terdiri dari satu atau serangkaian transaksi
terkait, dimana bentuk legal perjanjian tersebut bukan sewa tetapi perjanjian itu
memberikan hak kepada pihak lain untuk menggunakan suatu aset, dengan
imbalan suatu atau serangkaian pembayaran. Dalam menentukan apakah suatu
perjanjian merupakan perjanjian sewa atau suatu perjanjian yang mengandung
sewa, perlu diperhatikan substansi perjanjian dan dilakukan evaluasi, apakah:
a. Pemenuhan perjanjian bergantung pada penggunaan aset tertentu
Aset bukan merupakan subjek sewa jika pemenuhan perjanjian tidak
sepenuhnya bergantung pada aset tersebut, walaupun secara eksplisit
diidentifikasikan seperti itu di dalam perjanjian.
b. Perjanjian memberikan hak untuk menggunakan aset
Suatu perjanjian dianggap memberikan hak untuk menggunakan aset jika
perjanjian tersebut memberikan hak kepada lessee untuk mengendalikan

3 Universitas Indonesia
penggunaan aset tersebut. Di dalam ISAK 8, dijelaskan kondisi-kondisi yang
harus dipenuhi agar terdapat pengalihak hak untuk menggunakan aset, yaitu:
i. Lessee mempunyai kemampuan atau hak untuk mengoperasikan aset atau
mengarahkan pihak lain untuk mengoperasikan aset tersebut sesuai
dengan cara ditentukan pembeli dan pada saat yang bersamaan, pembeli
mendapatkan atau mengendalikan keluaran (output) atau kegunaan
lainnya atas aset tersebut, dalam jumlah yang lebih dari tidak signifikan.
ii. Pembeli mempunyai kemampuan atau hak untuk mengendalikan akses
fisik terhadap aset tersebut dan pada saat yang bersamaan, pembeli
mendapatkan atau mengendalikan keluaran atau kegunaan lainnya atas
aset tersebut, dalam jumlah yang lebih dari tidak signifikan.
iii. Fakta dan kondisi yang ada menunjukkan bahwa kecil kemungkinan bagi
satu atau lebih pihak lain selain pembeli akan mengambil keluaran atau
kegunaan lainnya dalam jumlah yang lebih dari tidak signifikan yang
akan diproduksi atau dihasilkan oleh aset tersebut selama masa
perjanjian; dan harga yang dibayar pembeli untuk keluaran tersebut
bukan harga yang secara kontraktual tetap untuk setiap unit keluaran
ataupun harga yang sama dengan harga pasar per unit keluaran pada saat
penyerahan keluaran tersebut.

2.2 PSAK 30 “SEWA”


Di Indonesia, standar akuntansi yang mengatur mengenai sewa terdapat
pada PSAK No. 30 mengenai Sewa. Dalam Paragraf 04 PSAK No. 30, dijelaskan
arti sewa, yaitu suatu perjanjian yang mana lessor memberikan kepada lessee hak
untuk menggunakan suatu aset selama periode waktu yang disepakati. Sebagai
imbalannya, lessee melakukan pembayaran atau serangkaian pembayaran kepada
lessor. Penyewa Guna Usaha (Lessee) adalah perusahaan atau perorangan yang
menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari pihak Perusahaan Sewa
Guna Usaha (lessor). Di IFRS, leasing diatur dalam IAS 17 mengenai Leases.

4 Universitas Indonesia
Gambar 1. Hubungan antara Lessee dan Lessor

2.2.1 Klasifikasi Sewa


Di dalam PSAK No. 30 dan IAS 17, leasing diklasifikasikan ke dalam 2
kategori, yaitu sewa pembiayaan (financial lease) dan sewa operasi (operating
lease). Berikut adalah arti dari kedua klasifikasi tersebut:
1. Sewa Pembiayaan
Sewa pembiayaan adalah sewa yang mengalihkan secara substansial seluruh
risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu aset. Hak milik
pada akhirnya dapat dialihkan atau dapat juga tidak dialihkan.
2. Sewa Operasi
Sewa operasi adalah sewa selain sewa pembiayaan, yaitu jika sewa tidak
mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait
dengan kepemilikan aset.
Klasifikasi sewa didasarkan atas sejauh mana risiko dan manfaat yang
terkait dengan kepemilikan aset sewaan berada pada lessor atau lessee. Risiko
termasuk kemungkinan kerugian dari kapasitas tidak terpakai atau keusangan
teknologi dan variasi imbal hasil karena perubahan kondisi ekonomi. Manfaat
dapat tercermin dari ekspektasi operasi yang menguntungkan selama umur
ekonomi aset dan keuntungan dari kenaikan nilai atau realisasi dari nilai residu.

2.2.2 Sewa Dalam Laporan Keuangan Lessee


Sewa Pembiayaan
Pada awal masa sewa, lessee mengakui sewa pembiayaan sebagai aset dan
liabilitas dalam laporan posisi keuangan sebesar nilai wajar aset sewaan atau
sebesar nilai kini dari pembayaran sewa minimum, jika nilai kini tersebut lebih

5 Universitas Indonesia
rendah daripada nilai wajar. Transaksi dan kejadian dicatat dan disajikan sesuai
dengan substansi dan realitas keuangannya, dan tidak selalu mengikuti bentuk
hukumnya. Meskipun bentuk hukum perjanjian sewa menyatakan bahwa lessee
tidak memperoleh hak secara hukum atas aset sewaan, tetapi dalam hal sewa
pembiayaan, secara substansi dan realitas keuangan lessor memperoleh manfaat
ekonomi dari penggunaan aset sewaan tersebut selama sebagian besar umur
ekonomisnya
Sewa pembiayaan diakui dalam laporan posisi keuangan lessee sebagai
aset dan kewajiban untuk membayar sewa masa depan. Pada awal masa sewa, aset
dan liabilitas untuk membayar sewa masa depan diakui dalam laporan posisi
keuangan pada jumlah yang sama, kecuali untuk biaya langsung awal dari lessee
yang ditambahkan ke jumlah yang diakui awal.
BIAYA LANGSUNG AWAL
Ya Tidak
Biaya Komisi General Overheads
Biaya legal (legal fees) Biaya iklan
Biaya yang timbul dari pengevaluasian dan Biaya yang berhubungan dengan
pencatatan garansi, jaminan dan perjanjian pembujukan sewa potensial
keamanan lainnya
Biaya yang berhubungan dengan Biaya yang timbul dari pelayanan sewa
penegosiasian syarat sewa yang ada
Biaya yang timbul dalam persiapan dan Biaya yang berhubungan dengan aktivitas
memroses dokumen sewa pendukung lainnya
Biaya yang timbul dari penyelesaian
transaksi
Tabel 1. Biaya langsung awal yang dapat dan tidak dapat ditambahkan ke jumlah yang
diakui awal
Pembayaran sewa minimum dipisahkan antara mana yang merupakan
beban keuangan dan pengurangan liabilitas. Beban keuangan dialokasikan pada
setiap periode selama masa sewa sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu
suku bunga periodik yang konstan atas saldo liabilitas. Rental kontinjen
dibebankan pada periode terjadinya.
Dalam sewa pembiayaan, terdapat beban penyusutan untuk aset
tersusutkan dan beban keuangan yang timbul pada setiap periode akuntansi.
Kebijakan penyusutan untuk aset sewaan konsisten dengan aset yang dimiliki oleh
perusahaan dan penghitungan penyusutan yang diakui berdasarkan PSAK 16:
Aset Tetap dan PSAK 19: Aset Tak Berwujud. Jangka waktu penyusutan aset
sewaan jika tidak ada kepastian bahwa lessee akan mendapatkan hak kepemilikan

6 Universitas Indonesia
pada akhir masa sewa adalah jangka waktu yang lebih pendek antara masa sewa
dan umur manfaatnya. Pembayaran utang sewa tidak boleh langsung diakui
sebagai beban, karena jumlah beban penyusutan dan beban keuangan untuk suatu
periode tidak sama nilainya dengan jumlah pembayaran utang sewa untuk periode
tersebut.
Menurut PSAK 30, paragraf 30, lessee mengungkapkan hal berikut untuk
sewa pembiayaan:
a. Jumlah tercatat neto untuk setiap kelompok aset pada tanggal pelaporan.
b. Rekonsiliasi antara total pembayaran sewa minimum masa depan pada akhir
periode pelaporan dan nilai kininya. Selain itu, entitas mengungkapkan total
pembayaran sewa minimum masa depan pada akhir periode pelaporan, dan
nilai kininya untuk setiap periode, sampai dengan satu tahun, lebih dari satu
tahun sampai lima tahun, dan lebih dari lima tahun.
c. Rental kontinjen yang diakui sebagai beban pada periode.
d. Total perkiraan penerimaan pembayaran minimum sewa-lanjut masa depan
dari kontrak sewa-lanjut yang tidak dapat dibatalkan pada akhir periode
pelaporan.
e. Penjelasan umum isi perjanjian sewa yang material yang meliputi, tetapi tidak
terbatas pada, hal dasar penentual utang rental kontinjen, keberadaan dan
persyaratan dari opsi pembaruan atau pembelian dan klausul eskalasi, dan
pembatasan yang ditetapkan dalam perjanjian sewa, misalnya yang terkait
dengan dividen, tambahan utang, dan sewa-lanjut.

Sewa Operasi
Pembayaran sewa dalam sewa operasi diakui sebagai beban dengan dasar
garis lurus selama masa sewa. Menurut PSAK 30, paragraf 34, pengungkapan
untuk sewa operasi, lessee juga mengungkapkan hal berikut untuk sewa operasi:
a. Total pembayaran sewa minimum masa depan dalam sewa operasi yang tidak
dapat dibatalkan untuk setiap peropde sampai dengan satu tahun, lebih dari
satu tahun sampai lima tahun, lebih dari lima tahun.

7 Universitas Indonesia
b. Total perkiraan penerimaan pembayaran minimum sewa-lanjut masa depan
dari kontrak sewa-lanjut yang tidak dapat dibatalkan pada akhir periode
pelaporan.
c. Pembayaran sewa dan sewa-lanjut yang diakui sebagai beban pada periode,
dengan pengungkapan terpisah untuk jumlah pembayaran minimum sewa,
rental kontinjen, dan pembayaran sewa-lanjut;
d. Penjelasan umum perjanjian sewa lessee yang signifikan, yang meliputi,
namun tidak terbatas pada dasar penentuan utang rental kontinjen, keberadaan
dan persyaratan dari opsi pembaruan atau pembelian dan klausal eskalasi, dan
pembatasan yang ditetapkan dalam perjanjian sewa, seperti pembatasan
dividen utang tambahan, dan sewa-lanjut.

2.2.2 Sewa Dalam Laporan Keuangan Lessor


Sewa Pembiayaan
Dalam sewa pembiayaan dimana seluruh risiko dan manfaat yang terkait
dengan kepemilikan aset dialihkan dari lessor ke lessee, penerimaan piutang sewa
diakui oleh lessor sebagai pembayaran pokok dan pendapatan keuangan sebagai
penggantian dan imbalan atas investasi dan jasanya.
Biaya langsung awal yang dapat diatribusikan langsung pada proses
negosiasi dan pengaturan sewa antara lain, komisi, biaya hukum dan biaya
internal yang bersifat tambahan. Biaya langsung awal tidak termasuk biaya umum
seperti yang lazimnya dikeluarkan oleh tim penjualan dan pemasaran.
Lessor mengalokasikan pendapatan keuangan selama masa sewa dengan
dasar yang sistematis dan rasional. Alokasi pendapatan ini didasarkan pada suatu
pola yang mencerminkan suatu tingkat pengembalian periodik yang konstan atas
investasi neto lessor dalam sewa pembiayaan. Pembayaran sewa dalam suatu
periode diterapkan pada investasi sewa bruto untuk mengurangi pokok dan
pendapatan keuangan yang belum diterima.
Lessor pabrikan atau dealer sering memberikan pilihan penawaran untuk
membeli atau menyewa suatu aset kepada pelanggan. Sewa pembiayaan oleh
lessor pabrikan atau dealer seringkali menimbulkan:

8 Universitas Indonesia
a. keuntungan/kerugian yang setara dengan laba rugi dari penjualan biasa atas
aset sewaan yang ditentukan pada harga jual normal setelah dikurangi
potongan penjualan, dan
b. pendapatan keuntungan selama masa sewa.
Pendapatan penjualan diakui pada awal masa sewa oleh lessor pabrikan atau
dealer sebesar nilai wajar aset.
Menurut PSAK 30, paragraf 47, lessor mengungkapkan hal berikut untuk
sewa pembiayaan:
a. rekonsiliasi antara investasi sewa bruto dan nilai kini piutang pembayaran
sewa minimum pada akhir periode pelaporan. Di samping itu, lessor
mengungkapkan investasi sewa bruto dan nilai kini piutang pembayaran sewa
minimum pada akhir periode pelaporan untuk setiap periode kurang dari satu
tahun, lebih dari satu tahun sampai lima tahun, dan lebih dari lima tahun.
b. Pendapatan keuangan yang belum diterima.
c. Nilai residu yang tidak dijamin yang diakru sebagai manfaat lessor.
d. Akumulasi penyisihan piutang tidak tertagih atas pembayaran sewa
minimum.
e. Rental kontinjen yang diakui sebagai pendapatan dalam periode; dan
f. Penjelasan umum isi perjanjian sewa lessor yang material.

Sewa Operasi
Menurut PSAK 30, paragraf 56, lessor mengungkapkan hal berikut untuk
sewa operasi:
a. Jumlah agregat pembayaran sewa minimum masa depan dalam sewa operasi
yang tidak dapat dibatalkan untuk setiap periode sampai dengan satu tahun,
lebih dari satu tahun sampai lima tahun, dan lebih dari lima tahun
b. Total rental kontinjen yang diakui sebagai pendapatan pada periode; dan
c. Penjelasan umum isi perjanjian sewa lessor.

9 Universitas Indonesia
3. STUDI KASUS: PENERAPAN PSAK SEWA YANG BARU
PADA PLN
Penerapan ISAK 8 “Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandung
Sewa”, memberikan implikasi pada perusahaan untuk mengevaluasi/melakukan
asessment ulang terhadap perjanjian memberikan hak untuk menggunakan aset
apakah merupakan perjanjian sewa atau perjanjian yang mengandung sewa.
Selanjutnya, setelah dilakukan evaluasi sebagaimana dimaksud diatas, atas
perjanjian yang mengandung sewa maka pihak-pihak yang melakukan perjanjian
harus menerapkan ketentuan PSAK 30 “Sewa” dalam penyusunan dan penyajian
laporan keuangan.
Sesuai PSAK 30 “Sewa” terhadap perjanjian yang ditetapkan mengandung
sewa harus ditentukan apakah termasuk kategori sewa pembiayaan atau sewa
operasi. Jika dalam perjanjian sewa terdapat pengalihan secara substansial seluruh
resiko atau manfaat terkait dengan kepemilikan suatu aset, maka perusahaan
tersebut harus mengakui perjanjian yang mengandung sewa tersebut sebagai sewa
pembiayaan. Disisi lain, apabila dalam perjanjian sewa tersebut tidak terdapat
secara substansial seluruh resiko atau manfaat terkait dengan kepemilikan suatu
aset, maka perjanjian tersebut dianggap sebagai sewa operasi.
Sesuai PSAK 30 “Sewa”, perlakuan akuntansi atas sewa pembiayaan dan
sewa operasi sangatlah berbeda. Pada sewa pembiayaan, Lessee mengakui aset
dan liabilitas sewa di Laporan posisi keuangan serta melakukan amortisasi atas
aset yang dicatat sepanjang umur ekonomis sewa. Kemudian, apabila timbul
bunga atas pembayaran cicilan sewa, maka diakui sebagai biaya bunga di Laporan
Laba/Rugi. Sedangkan atas sewa operasi, Lessee tidak perlu mengakui aset atau
liabilitas pada laporan posisi keuangan dan hanya perlu mengakui setiap
pembayaran sewa sebagai biaya sewa di Laporan Laba/Rugi.
Penerapan retrospektif ISAK 8 dan PSAK 30 tentunya membawa dampak
yang signifikan terhadap kebijakan akuntansi yang digunakan serta
mempengaruhi penyajian dan pengungkapan laporan keuangan untuk tahun
berjalan atau tahun sebelumnya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, perbedaan
kebijakan akuntansi tersebut membawa pengaruh pada perubahan nilai aset dan
kewajiban yang muncul laporan posisi keuangan serta menyebabkan perubahan

10 Universitas Indonesia
pada saldo laba yang muncul dalam laporan laba/rugi perusahaan. Bahkan secara
ekstrem, perubahan tersebut bisa berdampak pada pelanggaran Covenant
kewajiban perusahaan karena berubahnya besaran rasio keuangan perusahaan
yang tidak sesuai harapan.
Dampak riil atas penerapan retrospektif ISAK 8 dan PSAK 30 pada
laporan keuangan perusahaan dapat ditunjukkan secara jelas melalui sebuah studi
kasus. Salah satu perusahaan yang bisa menjadi contoh nyata adalah PT PLN
(Persero) yang mulai menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 pada tahun 2012
(artinya, laporan tahun 2010 dan 2011 disajikan kembali secara retrospektif).
Diharapkan melalui studi terhadap Laporan Keuangan PT PLN (Persero) tersebut
kita bisa mendapatkan gambaran secara utuh mengenai dampak atas penerapan
PSAK 30 “Sewa” seperti yang diharapkan sebelumnya. Untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih jelas mengenai penerapan retrospektif yang terjadi atas
PSAK 30 “Sewa”, maka pembahasan akan lebih berfokus pada data perusahaan
yang meliputi data statistik bisnis maupun laporan keuangan tahun 2011 PT PLN.
Pembahasan studi kasus akan kita bagi dalam beberapa bagian. Pertama,
akan diberikan gambaran umum mengenai kegiatan operasional/bisnis PT PLN.
Kedua, akan dibahas perjalanan panjang menuju penerapan ISAK 8 dan PSAK 30
oleh PT PLN (Persero). Ketiga, akan diperlihatkan bagaimana perlakuan
akuntansi, pelaporan, dan pengungkapan transaksi terkait kegiatan sewa yang
dilakukan PT PLN. Terakhir, akan dilakukan analisa dampak praktek akuntansi
terkait sewa sesuai ISAK 8 dan PSAK 30 yang dilakukan oleh PLN terhadap
gambaran performa perusahaan.

11 Universitas Indonesia
3.1 GAMBARAN UMUM BISNIS PT PLN

Gambar 2. Struktur Ketenagalistrikan Indonesia

PLN merupakan salah satu BUMN yang berdasarkan anggaran dasar dan
ketentuan perundang-undangan oleh pemerintah diberi amanat untuk
menyediakan barang publik berupa tenaga listrik bagi kepentingan umum dalam
jumlah dan mutu yang memadai serta memupuk keuntungan dan melaksanakan
penugasan Pemerintah di bidang ketenagalistrikan dalam rangka menunjang
pembangunan dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas. Sesuai
dengan UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, Pemerintah wajib memberikan
kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN termasuk
margin yang diharapkan kepada BUMN yang diberikan penugasan khusus.
Perusahaan merupakan BUMN yang sedang melaksanakan penugasan khusus
berupa penyediaan tenaga listrik bersubsidi kepada masyarakat.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik bagi kepentingan umum, PT
PLN maupun anak perusahaannya berupaya untuk melakukan produksi sendiri
maupun melakukan perjanjian jual beli tenaga listrik (PPA – Power Purchase
Agreement dan ESC – Energy Sales Contract) dengan penyedia dan pengembang
tenaga listrik swasta (IPP – Independent Power Producers). IPP tersebut
merupakan pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk kepentingan umum,
yang dapat diserahkan kepada entitas usaha lain dengan tanggung jawab untuk
menghasilkan tenaga listrik guna kepentingan umum. Selama tahun 2011, jumlah

12 Universitas Indonesia
energi yang berhasil disediakan oleh PT PLN melalui kegiatan produksi sendiri
dan sewa, serta pembelian disajikan pada gambar 3 dibawah ini.

Gambar 3. Jumlah Energi Listrik yang Diproduksi PT PLN Tahun 2011


(sumber: Laporan Statistik PLN tahun 2011)

Dari gambar 3 diatas, dapat kita lihat bahwa produksi energi listrik yang
dilakukan sendiri oleh PLN berjumlah 142,739,06 GWh (77,82% total produksi)
dan berasal dari PLTA (pembangkit listrik tenaga air); PLTU (Pembangkit Listrik
Tenaga Uap); PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi); PLTGU
(Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap); PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga
Diesel); PLTMG (Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas); PLTS (Pembangkit
Listrik tenaga Surya); PLT Bayu (Pembangkit Listrik Tenaga Angin); PLTG
(Pembangkit Listrik Tenaga Gas); dan Sewa Pembangkit. Sedangkan energi listrik
yang diperoleh PT PLN melalui pembelian dari pihak IPP berjumlah 40.681,87
GWh (22,18% total produksi) yang didapat melalui PPA/ESC.
Dari total produksi energi listrik PT PLN yang mencapai 183.420,93
GWh sebagaimana disebutkan diatas, jumlah energi yang terjual pada tahun 2011
mencapai 157.992,66 GWh dan didistribusikan kepada sekitar 45.895.145
pelanggan/konsumen yang terdiri dari kelompok industri, rumah tangga, bisnis,
dan lainnya. Selam tahun 2011, energi listrik tersebut dijual kepada pelanggan
dengan harga jual listrik rata-rata per kWh sebesar Rp.714,24,-.

13 Universitas Indonesia
3.2 PERJALANAN PANJANG MENUJU PENERAPAN ISAK 8 DAN
PSAK 30 OLEH PT PLN
Suatu upaya yang cukup panjang telah dilalui untuk menerapkan ISAK 8
dan PSAK 30 pada laporan keuangan PT PLN. Awalnya, sesuai surat Ketua
Bapepam-LK Nomor S-2366/BL/2009 tertanggal 30 Maret 2009, dinyatakan
bahwa perusahaan dan anak perusahaan PLN dikecualikan dari penerapan ISAK 8
sampai DSAK-IAI menerbitkan intepretasi akuntansi yang secara spesifik
mengatur mengenai akuntansi untuk Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang
dimiliki. Sebagai hasilnya, Perusahaan dan entitas anak tetap mengikuti kebijakan
akuntansi yang berlaku, dimana pembelian listrik dianggap sebagai transaksi
pembelian komoditas normal. Namun, pembahasan mengenai apakah perjanjian
mengandung sewa (dalam hal ini terkait perjanjian PPA dan ESC PLN) harus
menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 tetap menjadi sebuah bahan kajian dan bahkan
telah menjadi sebuah tema yang dibahas dalam Kongres IAI XI di Jakarta tanggal
9 Desember 2010. Tujuh Bulan sebelumnya, tepatnya tanggal 8 Mei 2010, pada
acara bertajuk Forum Diskusi IFRS antara BUMN dan Tim Implementasi IFRS
diangkat isu yang serupa. Salah satu sesi diskusi dengan judul “PPA dan ESC:
Transaksi Pembelian, Sewa Pembiayaan, atau Perjanjian Konsesi Jasa dalam Case
PLN” ikut menyeruak dibawakan oleh tim implementasi IFRS maupun pihak PLN
dengan perwakilan BUMN yang hadir dalam forum diskusi di Bandung tersebut.
Kita ketahui bahwa PSAK 30 (2007) “Sewa” disahkan 27 Juni 2007 dan
efektif berlaku sejak 1 Jaanuari 2008, sementara itu ISAK 8 “Penentuan Apakah
Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa” ditetapkan tanggal 16 September
2008, lalu mengapa penerapannya pada kasus PLN belum juga dilakukan
memerlukan waktu yang lama. Muncul sebuah pertanyaan “Apa isu permasalahan
yang menjadi dibahas dan menjadi hambatan dalam penerapan PSAK 30 dan
ISAK 8 oleh PLN dalam case perjanjian PPA dan ESC?”. Ringkasan isu
permasalahan yang muncul seputar kasus tersebut dapat dilihat dalam gambar 4 di
bawah ini.

14 Universitas Indonesia
Gambar 4. Isu Permasalahan yang Dibahas Terkait PPA dan ESC
(sumber: www.IAIglobal.co.id)

Sebagaimana diambil dari bahan presentasi Kongres XI IAI di Jakarta,


berikut akan diberikan uraian kronologis mengenai isu yang dibahas dalam setiap
diskusi yang dilakukan:
1. Dalam ISAK 8 Paragraf 06 dinyatakan bahwa: “Dalam menentukan apakah
suatu perjanjian merupakan perjanjian sewa atau perjanjian yang
mengandung sewa perlu diperhatikan substansi perjanjian dan dilakukan
evaluasi apakah: (1) pemenuhan perjanjian bergantung pada penggunaan
suatu aset atau aset-aset tertentu; dan (2) perjanjian tersebut memberikan
suatu hak untuk menggunakan aset tersebut.”
2. Berdasarkan klausul “take or pay” sebagaimana dimaksud dalam poin 1
diatas, Kemudian atas case perjanjian PPA dan ESC antara PLN dangan IPP
dilakukan evaluasi apakah merupakan perjanjian sewa atau perjanjian yang
mengandung sewa dengan menggunakan 2 kriteria klausul diatas.
3. Untuk menguji klausul “pemenuhan perjanjian bergantung pada penggunaan
aset tertentu”, beberapa pertanyaan dimunculkan terkait perjanjian PPA dan
ESC antara PLN dengan IPP diantaranya:

15 Universitas Indonesia
a. Apakah aset (pembangkit) diidentifikasikan secara eksplisit dalam
perjanjian?
b. Apakah pemeasok (IPP) tidak mempunyai hak dan kemampuan untuk
menyediakan barang atau jasa (tenaga listrik) dengan menggunakan aset
lain yang tidak disebutkan dalam perjanjian?
c. Apakah tidak terdapat persyaratan untuk mengganti aset lain jika aset
yang disewakan (pembangkit) tidak beroperasi dengan baik?
4. Sedangkan untuk menguji klausul “perjanjian memberikan hak untuk
menggunakan aset”, pertanyaan terkait perjanjian PPA dan ESC antara PLN
dengan IPP yang dimunculkan antara lain:
a. Apakah PLN memiliki kemampuan/hak untuk mengoperasikan
pembangkit sesuai dengan cara yang ditentukan PLN? dan PLN
mendapatkan output dari pembangkit dalam jumlah yang lebih dari tidak
signifikan?
b. Apakah PLN memiliki kemampuan/hak untuk mengendalikan akses fisik
terhadap pembangkit? dan
c. Apakah PLN mendapatkan keluaran dari pembangkit dalam jumlah yang
lebih dari tidak signifikan?
d. Apakah kecil kemungkinan bagi pihak selain PLN untuk mengambil
output dalam jumlah lebih dari tidak signifikan? dan
e. Apakah harga yang dibayar PLN untuk listrik yang dihasilkan secara
kontraktual tetap untuk setiap unit keluaran?

5. Dari hasil evaluasi yang dilakukan berdasarkan panduan ISAK 8 sebagaimana


dilakukan diatas, perjanjian PPA dan ESC hampir semua 1 perjanjian
mengandung sewa sehingga berlaku PSAK 30 “Sewa”. Kesimpulan tersebut
diambil atas dasar pertimbangan bahwa perusahaan dan entitas anak PLN

1
Sesuai laporan keuangan PT PLN, sampai saat ini terdapat ± 33 perjanjian jual beli tenaga listrik yang mengandung
sewa, yang terdiri dari 26 perjanjian masuk kategori sewa pembiayaan yang sudah beroperasi; 6 sewa operasi yang
sudah beroperasi, serta 31 perjanjian lainnya masih belum beroperasi . Disisi lain, terdapat juga perjanjian jual beli
listrik yang diperlakukan sebagai transaksi pembelian normal, yaitu Perjanjian jual beli tenaga listrik dengan PT
Cikarang Listrindo dengan kapasitas 300 MW yang berlokasi di Jawa Barat hingga tahun 2018. Rincian mengenai
perjanjian jual beli tenaga listrik yang masuk kategori sewa dan sudah aktif beroperasi tersebut dapat dilihat dalam
tabel di halaman berikutnya.

16 Universitas Indonesia
dan IPP memiliki perjanjian take or pay, dimana Perusahaan mengambil lebih
dari jumlah yang tidak signifikan dari seluruh listrik dan energi yang
dihasilkan oleh pembangkit listrik.
6. Berikutnya, muncul pembahasan mengenai assessment atas perjanjian PPA
dan ESC yang memenuhi ketentuan perjanjian mengandung sewa tersebut
“apakah dapat dimasukkan kedalam kategori sewa pembiayaan sesuai PSAK
30”.

Tabel 2. Daftar Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang masuk kategori sewa
pembiayaan dan sudah beroperasi.

17 Universitas Indonesia
Tabel 3. Daftar Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang masuk kategori sewa operasi
dan sudah beroperasi.

7. Sesuai PSAK 30 Paragraf 08, dinyatakan bahwa “suatu sewa diklasifikasikan


sebagai sewa pembiayaan jika sewa tersebut mengalihkan secara substansial
seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset”. Untuk
menguji klausul tersebut dilakukan assessment dengan menggunakan 5
kriteria situasi (PSAK 30 Paragraf 10) dan 3 indikator situasi (PSAK 30
Paragraf 11) yang mengarahkan suatu sewa diklasiikasikan sebagai suatu
sewa pembiayaan. Kelima kriteria situasi yang secara individual dan
gabungan mengarahkan suatu sewa diklasifikasikan sebagai suatu sewa
pembiayaan tersebut adalah:
a. sewa mengalihkan kepemilikan aset kepada lessee pada akhir masa sewa.
b. lessee memiliki opsi untuk membeli aset pada harga yang diperkirakan
cukup rendah dibandingkan nilai wajar pada tanggal opsi mulai
dilaksanakan, sehingga pada awal sewa dapat dipastikan bahwa opsi
tersebut akan dilaksanakan.
c. masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomi aset meskipun hak
milik tidak dialihkan.
d. pada awal sewa, nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum secara
substansial mendekati nilai wajar aset sewaan.
e. aset sewaan bersifat khusus dan hanya lessee yang dapat
menggunakannya tanpa perlu modifikasi secara material.

18 Universitas Indonesia
Sedangkan ketiga indikator situasi yang secara individul atau gabungan dapat
juga menunjukkan bahwa sewa diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan
adalah:
a. Jika lessee dapat membatalkan sewa, maka kerugian lessor yang terkait
dengan pembatalan tersebut ditanggung oleh lessee.
b. keuntungan atau kerugian dari fluktuasi nilai wajar residu dibebankan
pada lessee (misalnya, dalam bentuk potongan harga rental yang sama
dengan sebagian besar hasil penjualan penjualan residu pada akhir sewa).
c. lesse memiliki kemampuan untuk melanjutkan sewa untuk periode kedua
dengan nilai rental yang secara substansial lebih rendah daripada nilai
pasar rental.
8. Berdasarkan kriteria dan indikator situasi diatas, maka hampir semua 2
perjanjian PPA dan ESC yang dilakukan oleh PLN dengan IPP ternyata
memenuhi persyaratan untuk dikategorikan sebagai sewa pembiayaan. Jenis
perjanjian tersebut ditetapkan sebagai sewa pembiayaan karena porsi
signifikan dari risiko dan manfaat atas sejumlah pembangkit listrik telah
dialihkan ke Perusahaan dan entitas anak PLN dengan dasar bahwa masa
sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomik aset dan terdapat opsi beli
pada akhir masa sewa. Hal tersebut tentu membawa implikasi yang sangat
signifikan dalam penyajian laporan keuangan PT PLN.
9. Setelah disimpulkan bahwa sesuai ISAK 8 dan PSAK 30 PPA dan ESC
masuk kategori sewa pembiayaan, ternyata muncul permasalahan baru yang
cukup membingungkan. Permasalahan tersebut adalah munculnya perdebatan
mengenai penggunaan ISAK 8 sebagai panduan dalam menentukan perjanjian
PPA dan ESC sebagai perjanjian sewa. Mengapa? Hal tersebut terjadi karena
dalam ISAK 8 paragraf 04b dinyatakan bahwa “Interpretasi ini (ISAK 8)
tidak berlaku untuk perjanjian konsesi jasa publik ke swasta dalam ruang
lingkup ISAK 16: Perjanjian Konsesi Jasa”. Akibatnya adalah, sesuai
ketentuan, transaksi penyediaan tenaga listrik oleh IPP ke PLN dikecualikan
dari penerapan ISAK 8 sesuai ISAK 8 paragraf 04b.

2 1
penjelasan sama dengan yang terdapat pada catatan kaki .

19 Universitas Indonesia
10. Apa konsekuensi atas perdebatan pada poin 10 diatas? muncul perdebatan
untuk menerapkan ISAK 16 “Jasa Konsesi” dalam kasus PPA. Namun,
beberapa pertanyaan diajukan terkait permasalahan tersebut, diantaranya:
a. Apakah PPA merupakan perjanjian jasa konsesi? jawabannya adalah ya.
b. Dengan memperhatikan struktur kelistrikan di Indonesia, PLN merupakan
Grantor atau Operator? Grantor (Pemberi konsesi).
c. Apabila PLN merupakan Grantor, maka bukankah ISAK 16 “Jasa
Konsesi” tidak mengatur mengenai hal itu? Ya, karena dalam ISAK 16
Paragraf 04 dinyatakan bahwa Interpretasi dalam ISAK 16 hanya
memberikan panduan akuntansi untuk operator atas perjanjian konsesi
jasa publik ke swasta.
11. Dikarenakan semua isu diatas, maka kita ketahui bahwa intepretasi akuntansi
yang secara spesifik mengatur mengenai akuntansi untuk Perjanjian Jual Beli
Tenaga Listrik belum ada. Dengan demikian, penerapan ISAK 8 dan PSAK
30 menjadi pilihan yang dapat diambil oleh pihak PT PLN secara sukarela.
Setelah melakukan evaluasi ataspak penerapan PSAK sewa yang baru,
pembahasan dan diskusi yang dilaksanakan diatas akhirnya berujung pada
keputusan PT PLN mulai menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 di tahun 2012,
dimana pada laporan keuangan triwulan pertama 2012 telah disajikan penerapan
retrospektif ISAK 8 dan PSAK 30 pada laporan keuangan tahun 2010 dan 2011.
Sebelum menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 tersebut, PT PLN menulis surat
kepada Kepala Bapepam-LK tanggal 22 Desember 2011 untuk menyatakan
perubahan kebijakan akuntansi secara sukarela dan menerapkan ketentuan ISAK 8
dan PSAK 30 terhadap Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik mulai tanggal 1 Januari
2012.
Sebagai langkah lanjutan penerapan rerospektif ISAK 8 dan PSAK 30, PT
PLN meminta persetujuan dari para pihak yang terkait dengan Laporan Keuangan
PT PLN. Dalam sebuah publikasi yang dapat dilihat melalui situs resmi PT PLN,
diketahui bahwa pada tanggal 09 s/d 12 Januari 2012 PT PLN telah melakukan
Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) dan Rapat Umum Pemegang Sukuk
Ijarah (RUPSI) untuk mendapat persetujuan pemegang obligasi dan sukuk Ijarah
PT PLN atas perubahan ketentuan kewajiban keuangan (financial covenant)

20 Universitas Indonesia
dalam Perjanjian Perwaliamanatan sehubungan dengan Penerapan Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 30, Interpretasi Standar Akuntansi
Keuangan (ISAK) No. 8 dan ISAK No. 16 beserta aturan pelaksanaan terkait.
Gambaran kronologis mengenai perjalanan panjang penerapan ISAK 8 dan
PSAK 30 sebagaimana dibahas pada bagian ini dapat dilihat pada gambar 5
dibawah ini.

Gambar 5. Perjalanan Panjang Penerapan ISAK 8 dan PSAK 30 pada PT PLN

3.2 PERLAKUAN, PELAPORAN, PENGUNGKAPAN PERJANJIAN


TERKAIT SEWA DALAM LK PT PLN
Keputusan yang diambil oleh PT PLN untuk mulai menerapkan ISAK 8
dan PSAK 30 secara retrospektif tentu saja membawa perubahan dalam perlakuan,
pelaporan, serta pengungkapan perjanjian terkait sewa dalam laporan keuangan
PT PLN. Berikut akan diberikan perbandingan mengenai perubahan perlakuan,
pelaporan serta pengungkapan terkait kebijakan akuntansi yang diambil tersebut.

21 Universitas Indonesia
ASPEK SEBELUM PENERAPAN SESUDAH PENERAPAN
Perlakuan mencatat sebagai pembelian melakukan reklasifikasi
atas Kontrak listrik normal. pembelian listrik tertentu
PPA dan ESC sebagai sewa dan beban
bunga.
Pengakuan mengakui biaya pembelian mencatat aset sewa
dalam tenaga listrik dari IPP sebagai pembiayaan dan hutang sewa
Laporan beban pada saat terjadinya dan pembiayaan serta mencatat
Keuangan tidak mencatat apapun terkait beban penyusutan untuk aset
pembayaran dimasa depan. sewa pembiayaan.
Pengungkapan Disajikan dalam catatan atas Disajikan dalam catatan atas
PPA dan ESC laporan keuangan dan tidak laporan keuangan dan
dalam CALK berdampak pada laporan memberikan dampak pada
posisi keuangan. laporan posisi keuangan.
Struktur 1. Komponen Tetap
harga Komponen A
pembelian - pembayaran take or pay - angsuran minimum lease
3
tenaga listrik (TOP) payments (terdiri atas sewa
dan bunga)
- pembayaran diatas TOP - sewa kontijen (interest)
Komponen B Beban pemeliharaan
2. Komponen Variabel
Komponen C Beban bahan bakar
Komponen D Beban pemeliharaan
Komponen E Beban lain-lain

Tabel 4. Perbedaan Perlakuan Akuntansi Sebelum dan Sesudah Penerapan PSAK30 dan
ISAK8

3.3 DAMPAK PENERAPAN PRAKTEK AKUNTANSI TERKAIT SEWA


SESUAI ISAK 8 DAN PSAK 30 PADA PLN
Terkait dengan perlakuan, pelaporan dan pengungkapan perjanjian yang
mengandung sewa pada laporan keuangan perusahaan sebagai akibat penerapan
PSAK 30 dan ISAK 8, sebagaimana dapat dilihat dalam laporan keuangan parsial
tahun 2011 yang disajikan kembali dalam gambar 6 terjadi perubahan atas nilai
aset dan kewajiban pada laporan posisi keuangan serta perubahan atas saldo
laba/rugi yang ditampilkan pada laporan laba/rugi. Perubahan-perubahan tersebut

3
struktur harga tenaga listrik terdiri dari 2 komponen, yaitu:
pertama, komponen tetap yang terdiri dari (1) komponen A “capacity payment” – merupakan pembayaran atas investasi
aset tetap yang telah dilakukan oleh IPP; (2) Komponen B – merupakan pembayaran atas beban tetap dalam
pemeliharaan aset yang dilakukan oleh IPP, juga mencakup beban kepegawaian dan administrasi.
kedua, komponen variabel yang terdiri dari (1) komponen C – merupakan pembayaran atas beban energi yang bersifat
variabel sesuai dengan tingkat pemakaian yang terjadi dan disepakati; (2) komponen D – merupakan beban
operasi/pemeliharaan yang bersifat variabel; (3) komponen E merupakan beban selisih kurs dan beban lain-lain.

22 Universitas Indonesia
secara tidak langsung berimbas pada berubahnya rasio keuangan PT PLN dan
berdampak pula pada kondisi technical default atas financial covenant yang
dibuat perusahaan.
3.3.1 Dampak Terhadap Komponen Laporan Keuangan (Laporan Posisi
Keuangan dan Laporan Laba Rugi Komprehensif)
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa pengakuan perjanjian jual
beli tenaga lisrik (PPA & ESC) sebagai sewa pembiayaan mengakibatkan
penyajian retrospektif yang berakibat prerubahan pada aset dan kewajiban serta
laba usaha.
Dalam membahas dampak perlakuan akuntansi yang terjadi, dimana PT
PLN mulai menerapkan ISAK 8 dan PSAK 30 di awal tahun 2012, laporan
keuangan tahun 2010 dan 2011 telah disajikan kembali pada laporan keuangan
triwulan pertama 2012 sehingga kita dapat membandingkan Laporan Posisi
Keuangan per 31 Desember 2011 dan per 31 Desember 2010 setelah disajikan
kembali dengan laporan yang sama sebelum penerapan ISAK 8 dan PSAK 30.
Adapun untuk laporan laba rugi komprehensif, kita hanya mendapatkan data
pembanding antara laporan laba rugi komprehensif untuk periode yang berakhir
31 Maret 2011 setelah disajikan kembali dengan laporan yang sama sebelum
penerapan.
1. Penyajian kembali Laporan Posisi Keuangan per 31 Desember 2011.
Akun Sebelum Sesudah Kenaikan
Disajikan Disajikan (Penurunan)
Kembali Kembali
Aset Lancar 58,252,342 58,252,342 -
Aset Tidak Lancar 368,266,521 416,843,767 48,577,246
Liabilitas 271,169,696 336,846,168 65,676,472
Ekuitas 155,349,167 138,249,941 (17,099,226)

Tabel 5. Penyajian kembali Laporan Posisi Keuangan per 31 Desember 2011.

23 Universitas Indonesia
Kenaikan (penurunan) di atas berasal dari akun-akun berikut:
Akun Sebelum Sesudah Kenaikan
Disajikan Disajikan (Penurunan)
Kembali Kembali
Aset Tetap 261,226,207 309,803,453 48,577,246
Utang Sewa
23,922,731 89,599,204 65,676,473
Pembiayaan
Saldo Laba-tidak
ditentukan 55,285,174 38,185,947 (17,099,227)
penggunaannya
Tabel 6. Penyajian kembali Laporan Posisi Keuangan per 31 Desember 2011 per Akun.
(sumber: LK PT PLN TW. 1 2012 dan LK PLN 2011 (dalam jutaan rupiah).

2. Penyajian kembali Laporan Posisi Keuangan per 31 Desember 2010.


Akun Sebelum Sesudah Kenaikan
Disajikan Disajikan (Penurunan)
Kembali Kembali
Aset Lancar 44,773,286 44,773,286 -
Aset Tidak Lancar 324,417,296 372,706,591 48,289,295
Liabilitas 219,507,987 282,252,109 62,744,122
Ekuitas 149,682,595 135,227,768 (14,454,827)
Tabel 7. Penyajian kembali Laporan Posisi Keuangan per 31 Desember 2010.

Kenaikan (penurunan) di atas berasal dari akun-akun berikut:


Akun Sebelum Sesudah Kenaikan
Disajikan Disajikan (Penurunan)
Kembali Kembali
Aset Tetap 210,651,868 258,941,163 48,289,295
Utang Sewa
14,166,649 76,910,771 62,744,122
Pembiayaan
Saldo Laba-tidak
ditentukan 58,107,990 43,653,163 (14,454,827)
penggunaannya
Tabel 8. Penyajian kembali Laporan Posisi Keuangan per 31 Desember 2010 per Akun.
(sumber: LK PT PLN TW. 1 2012 dan LK PLN 2011 (dalam jutaan rupiah))

24 Universitas Indonesia
Dari informasi di atas dapat kita lihat bahwa penyajian kembali Laporan
Posisi Keuangan per 31 Desember 2011 mengakibatkan Aset tetap bertambah
sebesar Rp 48,57 T dan Liabilitas bertambah sebesar Rp 65,67 T serta rugi sebesar
Rp 17,09 T. Sedangkan untuk tahun 2010, Aset tetap bertambah sebesar Rp 48,28
T dan Liabilitas bertambah sebesar Rp 62,74 T serta rugi sebesar Rp 14,45 T.

3. Penyajian Kembali Laporan Laba Rugi Komprehensif Untuk Periode Yang


Berakhir 31 Maret 2011.
Sebelum Disajikan Sesudah Disajikan Kenaikan
Akun
Kembali Kembali (Penurunan)

Pendapatan Usaha 44,403,162 44,403,162 -


Beban Usaha
Bahan Bakar dan Pelumas 26,377,813 28,720,959 2,343,146
Pembelian Tenaga Listrik 6,831,249 1,499,249 (5,332,000)
Pemeliharaan 2,203,731 2,623,475 419,744
Kepegawaian 2,370,500 2,370,500 -
Penyusutan 3,310,405 3,983,550 673,145
Lain-lain 939,869 939,869 -
Jumlah Beban Usaha 42,033,567 40,137,602 (1,895,965)
Laba sebelum Pos Keuangan dll 2,369,595 4,265,560 1,895,965
Pos Keuangan dan Lain-lain Bersih
Penghasilan Bunga 151,570 151,570 -
Keuntungan (kerugian) Kurs 1,726,443 3,673,144 1,946,701
Beban Bunga dan Keuangan (1,559,023) (3,986,977) (2,427,954)
Lain-lain - bersih 197,806 197,806 -
Pos Keuangan dan Lain-lain Bersih 536,796 35,543 (501,253)
Laba sebelum pajak 2,906,391 4,301,103 1,394,712
Beban Pajak (81,142) (81,142) -
Laba Tahun Berjalan dan
Jumlah Laba Komprehensif 2,825,249 4,219,961 1,394,712
Tabel 9. Penyajian kembali Laporan Laba Rugi Komprehensif untuk periode yang berakhir
30 Maret 2011
(sumber: LK PT PLN TW. 1 2012 dan LK PLN TW. 1 2011 (dalam jutaan rupiah)).

Dari informasi di atas, penyajian kembali laporan laba rugi komprehensif tersebut
mengakibatkan beban berkurang sebesar Rp 5,3 T dari pembelian tenaga listrik
namun disisi lain beban bertambah dri beban penyusutan, beban bunga, bahan
bakar dan beban pemeliharaan sebesar +/- 5,8 T.

25 Universitas Indonesia
3.3.2 Dampak Terhadap Rasio-rasio Keuangan Yang berhubungan dengan
Debt Covenant Obligasi.
Perubahan pada elemen-elemen laporan keuangan tentu saja
mempengaruhi rasio-rasio keuangan perusahaan. Bertambahnya liabilitas secara
significant mengakibatkan turunnya rasio-rasio yang berhubungan dengan
kemampuan membayar bunga hutang sebagaimana yang disyaratkan dalam debt
covenant seperti EICR (EBITDA Interest Coverage) dan CICR (Consolidated
Interest Coverage Ratio). Demikian juga dengan DER (Debt to Equity Ratio) akan
naik dengan bertambahnya hutang perusahaan.
Dalam Forum Diskusi IFRS antara BUMN dan Tim Implementasi IFRS,
yaitu dalam Bahan presentasi “PLN dan ISAK 16 (ED)”, telah disajikan
bagaimana asumsi penyajian kembali dari tahun 2006-2009 menyebabkan rasio-
rasio terkait debt covenant menjadi turun secara signifikan.

Gambar 6. Perbandingan EICR th 2005-2009

26 Universitas Indonesia
Gambar 7. Perbandingan CICR th 2005-2009

Gambar 8. Perbandingan DER th 2005-2009

CICR yang merupakan kovenan Obligasi Internasional mensyaratkan nilai


minimum 2 (dua). Dengan penerapan ISAK 8 akan menyebabkan nilai CICR < 2.

27 Universitas Indonesia
Demikian juga dengan EICR dengan syarat yang sama dengan CICR. Dengan
demikian terjadi Potensi Technical Default atas Obligasi (USD & IDR)PLN.
3.3.3 Dampak Terhadap Rasio-rasio Keuangan Lainnya.
Rasio yang berhubungan dengan laporan posisi keuangan, kita akan
digunakan beberapa rasio, yaitu: Intensity of investment (NCA/TA), equity to
assets (E/A), dan debt to equity (D/E). Beberapa studi mengidentifikasi bahwa
rasio tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi resiko operasi maupun resiko
keuangan (e.g., Bowman (1980); Imhoff, Lipe, and Wright (1993); Ely (1995);
Gallery and Imhoff (1998); Beattie, Goodacre, and Thomson (2000b)). Adapun
Untuk rasio-rasio keuangan yang berhubungan dengan laporan laba rugi
komprehensif digunakan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan, yaitu: Profit
Margin, Earning per Share, dan Times Interest Earned.
Karena keterbatasan data, untuk keperluan perbandingan rasio keuangan
setelah disajikan kembali dengan sebelumnya, kita akan menggunakan Laporan
Posisi keuangan adalah per 31 Desember 2011 dan per 31 Desember 2010,
sedangkan untuk laporan laba rugi komprehensif adalah laporan Untuk Periode
Yang Berakhir 31 Maret 2011. Oleh karena itu, rasio-rasio yang memerlukan data
baik laporan posisi keuangan maupun laporan laba rugi komprehensif, seperti:
Return on Asset, Return on Invested Capital, dan Return on Shareholders’ Equity,
belum bisa kami sajikan.
Jenis Rasio Numerator Denominator
Intensity of Investment Non Current asset Total Assets
(TA)
Debt to Equity (D/E) Total Liabilities Equity
Equity to Assets (E/A) Equity Total Assets

Tabel 10. Rumus Rasio


Rasio dari data Laporan Posisi Keuangan per 31 Des 2011
Rasio Sebelum Sesudah Kenaikan
Disajikan Disajikan (penurunan)
Kembali Kembali
Intensity of Investment (TA) 0.14 0.12 -0.01
Debt to Equity (D/E) 1.75 2.44 0.69
Equity to Assets (E/A) 0.36 0.29 -0.07

Tabel 11.Perhitungan Rasio Laporan Posisi Keuangan per 31 Des 2011

28 Universitas Indonesia
Rasio dari data Laporan Posisi Keuangan per 31 Des 2010
Rasio LK 2010 Sebelum Sesudah Kenaikan
Disajikan Disajikan (penurunan)
Kembali Kembali
Intensity of Investment (TA) 0.12 0.11 -0.01
Debt to Equity (D/E) 1.47 2.09 0.62
Equity to Assets (E/A) 0.41 0.32 -0.08

Tabel 12.Perhitungan Rasio Laporan Posisi Keuangan per 31 Des 2010


Dapat dilihat dari data di atas bahwa rasio TA dan EA turun karena bertambahnya
aset sedangkan rasi D/E naik karena bertambahnya liabilitas.

4 KESIMPULAN
Pada studi kasus kali ini, kita menemukan bahwa penerapan PSAK 30
“Sewa” dan ISAK 8 “Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu
Sewa” pada suatu perusahaan memerlukan pembahasan dan kajian yang panjang.
Hal tersebut ditunjukkan pada pembahasan mengenai kasus perjanjian jual beli
tenaga listrik (PPA dan ESC) yang dilakukan PT PLN dengan IPP.
Setidaknya terdapat 3 isu yang menjadi permasalahan terkait dengan
perjanjian jual beli tenaga listrik. Pertama, penentuan PPA dan ESC dipandang
sebagai perjanjian sewa atau mengandung sewa sesuai panduan ISAK 8. Kedua,
asessment PPA dan ESC sebagai kategori sewa pembiayaan sesuai PSAK 30.
Ketiga, dampak atas perlakuan PPA dan ESC sebagai sewa pembiayaan terhadap
penyajian laporan keuangan, serta perubahan saldo elemen laporan keuangan dan
rasio keuangan perusahaan.
Walaupun penerapan PSAK 30 dan ISAK 8 memberikan manfaat positif
bagi pengguna laporan keuangan, yaitu dengan menyajikan secara penuh
perjanjian jual beli tenaga listrik sebagai aset dan kewajiban sewa dalam halaman
muka laporan posisi keuangan. Namun, hal tersebut memberikan dampak
sebaliknya bagi gambaran kinerja keuangan perusahaan. Munculnya dan naiknya
nilai aset, kewajiban, serta beban penyusutan terkait sewa pembiayaan dalam
laporan keuangan perusahaan mengakibatkan turunnya rasio-rasio keuangan
perusahaan yang dapat berpotensi mengakibatkan technical default atas sebagian
kewajiban perusahaan.

29 Universitas Indonesia
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebelum menerapkan suatu
praktek akuntansi sesuai standar perlu dilakukan evaluasi mengenai dampaknya
terhadap laporan keuangan dan kinerja keuangan suatu perusahaan. Hal tersebut
dilakukan demi meminimalisir terjadinya munculnya kewajiban bagi perusahaan
sehubungan dengan penerapan standar baru tersebut.

REFERENSI
Admin, Akuntansi Sewa dari Sisi Penyewa: Operating, Finance, Right of Use
Lease, 2012, www.JurnalAkuntansiKeuangan.com
Bryan et al., 2010, The Financial Statement Effect of Capitalizing Operating
Leases, The CPA Journal, August, 36-41.
De Martino, Giulia, 2011, Considerations on the Subject of Lease Accounting,
Advances in Accounting, Volume 27, Issue 2, December, 355-365.
Eipstein, B.J., and Eva K. Jermakowicz, IFRS 2011: Interpretation and
Application of IFRS, John Wiley, 2010.
Forum Diskusi IFRS antara BUMN dan Tim Implementasi IFRS, Bahan
presentasi “PLN dan ISAK 16 (ED)”, 2010, www.IAIGlobal.or.id
IAI, Standar Akuntansi Keuangan Per 1 Juni 2012.
Kieso, Donald E., dan Jerry Weygandt, Warfield, Terry., Intermediate
Accounting, Vol. 2, IFRS Edition, John Wiley and Sons, 2011.
Kongres IAI XI, Bahan presentasi “Issue Perpajakan dalam Implementasi PSAK
yang Konvergen dengan IFRS dan KetentuanTransisi PSAK”, 2010,
www.IAIGlobal.or.id
KPMG, News on the Horizon: Leases, September 2010, www.kpmg.com
KPMG, IFRS – Leases Newsletter, May 2011, Issue 6, 2011, www.kpmg.com
Laporan Keuangan PT PLN Tahun 2010,2011,2012 (1Q dan 2Q);
www.PLN.co.id
Laporan tahunan PLN tahun 2011 dan Laporan Statistik PLN tahun 2011;
www.PLN.co.id
Rolf et al., 2008, Impact of Lease Capitalization on Financial Ratios of Listed
German Companies, Sbr 60, April, 122-144.
UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN.

30 Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai