Anda di halaman 1dari 18

BAB II

KONSEP PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

A. Pengertian Korupsi

Kata “korupsi berasal dari bahasa latin “corruption” atau “corruptus.

Selanjutnya dikatakan bahwa corruption berasal dari kata corrupere, suatu bahasa

latin yang lebih tua. Arti korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan,

kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari

kesucian.

Sedangkan istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata

bahasa Indonesia adalah perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan

uang sogok atau sebagainya.33

Sedangkan secara terminology, menurut pasal 2 ayat 1 Undang-undang

nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-undang nomor

20 tahun 2001 tentang pemberantasan tidak pidana korupsi, bahwa yang dimaksud

korupsi adalah:

“Setiap orang yang melawan hukum, perbuatan memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara..”34

Dari definisi di atas, setidaknya terdapat tiga unsur bagi seseorang disebut

melakukan tindakan korupsi, yaitu :35

33
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan
Tinggi, (Jakarta: Kemendikbud, 2011), hlm 24.
34
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Edisi Lengkap 2005 dengan Penjelasannya, (Bandung: Fokus Media, 2005), hlm. 87.
35
Arya Maheka, Mengenali dan Membrantas Korupsi, (Jakarta: KPK, 2003), hlm. 14.

18
19

1) Melawan hukum, artinya meskipun perbuatannya tidak diatur dalam

Undang-undang (secara formal), namun seseorang dapat dipidana jika

melakukan perbuatan yang dianggap tercela karena tidak sesuai dengan

rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat

(melawan hukum materi).

2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain. Tindakan ini tidak selalu berarti

hanya untuk pribadi seseorang melawan hukum dan menyalahgunakan

kekuasaan, tetapi berlaku bagi anggota keluarga, rekan-rekan atau kerabat

lainnya.

3) Dapat merugikan keuangan atau pereonomian Negara, yakin seluruh

kekayaan Negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak

dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara.

B. Bentuk-bentuk korupsi

Pemahaman tentang korupsi harus diterjemahkan secara operasional agar

mudah dipahami oleh masyarakat secara lisan, dan diharapkan dapat membantu

mensosialisasikan dan meminimalisir kejahatan korupsi yang diprogramkan oleh

pemerintah. Beberapa riset telah mencoba mengklasifikasikan bentuk-bentuk

korupsi dalam pengertian yang lebih actual. Diantara bentuk-bentuk korupsi

tersebut adalah :36

a. Favoritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang

berimplikasikan pada tindakan privatisasi sumber daya. Tujuannya adalah

untuk memperkaya diri sendiri, misalnya dilakukan dengan cara

36
Agus Wibowo, Pendidikan Anti Korupsi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 28.
20

mendistribusikan sumber daya yang dibuat sebisa mungkin agar individu

yang bersangkutan dapat membuat klaim kepemilikan atas sumber daya

tersebut. Pihak-pihak yang terkait antara lain keluarga, rekan kerja, suku

maupun kelompok agama tertentu.

b. Nepotisme, adalah merupakan bentuk spesifik dari favouritism. Salah satu

contoh dari tindakan ini adalah pejabat-pejabat public yang berusaha

mengamankan kekuasaan dan posisi politiknya dengan cara menempatkan

anggota keluarganya dalam posisi kunci dalam lembaga politik atau

lembaga ekonomi.

c. Penyuapan (bribery), mencakup tindakan memberi dan menerima suap.

Model pembayarannya seringkali berupa uang atau barang dengan tujuan

memperoleh kemudahan, dispensasi dan memperlancar proses sesuatu hal

yang bersifat menguntungkan bagi dirinya sendiri.

d. Emblezzlement, yaitu suatu tindakan penipuan dan pencurian sumber daya

yang dilakukan oleh pihak-pihak tertetu yang mengelola sumber daya

tersebut. Bentuk penipuan atau pencuriannya dapat berupa dana public

atau sumber daya alam tertentu.

e. Froud, yaitu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan

(trickery or swindle). Misalnya proses memanipulasi atau mendistori

informasi dan fakta dengan tujuan meraih keuntungan tertentu. Umumnya,

perilaku tindakan memanipulatif ini adalah mereka yang memiliki proses

superior dan menduduki jabatan strategis. Contohnya agensi pemerintah


21

yang bekerja sama dengan pihak-pihak swasta membangun jaringan

perdagangan illegal.

f. Extortion, adalah tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya

dengan cara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh

pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, misalnya uang proteksi atau

keamanan. Tindakan ini sering kali dilakukan oleh mafia-mafia local atau

regional.

Dari bentuk-bentuk korupsi tersebut, kemudian dapat dikelompokan bagian-

bagian korupsi menjadi tujuh bagian antara lain :37

1) Kerugian Keuangan Negara

Kerugian keuangan Negara ialah segala sesuau yang merugikan

kekayaan Negara dalam bentuk apapun, baik secara langsung maupun

tidak langsung, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara.

Mengenai prilaku, dijelaskan bahwa koruptor (orang yang melakukan

korupsi) bukan hanya berbentuk sekelompok orang, tetapi berlaku bagi

anggota keluarga, rekan-rekan atau kerabat lainnya.

2) Suap-Menyuap

Suap-menyuap adalah memberi atau menjanjikan sesuatu kepada

pegawai negri atau penyelengara Negara dengan maksud supaya mereka

dapat berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang

bertentangan dengan kewajibannya. Bentuk korupsi ini disebabkan adanya

unsur memberi dan menerima dari berbagai pegawai negeri karena

37
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana
Korupsi, (Jakarta: KPK, 2006), hlm. 21.
22

jabatannya yang bertentangan dengan tugasnya, seperti memberikan

hadiah, menyuap hakim, menyuap advokat, dan sebagainya.

3) Penggelapan dalam Jabatan

Mengenai bentuk korupsi penggelapan dalam jabatan ini antara

lain pegawai negeri menggelapkan atau membiarkan penggelapan,

memasukan buku untuk pemeriksaan administrasi, membantu dan

merusakkan bukti.

4) Pemerasan

Pemerasan yaitu memaksa seseorang memberikan sesuatu

membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk

mengerjakan sesuatu bagi dirinya. Misalnya membuat kesamaran atau

melakukan pemaksaan seolah-olah orang lain berhutang kepadanya, tetapi

sebenarnya hal tersebut bukan merupakan hutang.

5) Perbuatan Curang

Perbuatan curang disini merupakan perbuatan yang dapat

membahayakan keamanan orang, barang, atau keselamatan Negara dalam

keadaan perang. Pelaku dalam hal ini antara lain pemborong, ahli

bangunan, penjual bahan bangunan, dan lain sebagainya.

6) Benturan Pengadaan dalam Kepentingan

Mengenai benturan pengadaan dalam kepentingan, dalam hal ini

yaitu pegawai negeri atau penyelenggara Negara dengan sengaja, baik

secara langsung atau tidak langsung turut serta dalam pemborongan

pengadaan atau persewaan. Tindak korupsi ini berlangsung pada saat


23

seluruh atau sebagian pegawai negeri atau penyelenggara Negara

ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

7) Gratifikasi

Gratifikasi merupakan setiap penerimaan seseorang dari orang lain

yang bukan tergolong ke dalam (tindak pidana) suap, dan berhubungan

dengan jabatan serta berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Misalnya pemberi uang, tiket perjalanan, pengobatan cuma-cuma dan

fasilitas lainnya.

C. Pendidikan Anti Korupsi dan Landasan Pendidikan Anti Korupsi

1. Pengertian Pendidikan Anti Korupsi

Munculnya gagasan pendidikan anti korupsi ini dilatar belakangi adanya

kegelisahan sebagian masyarakat yang merasa pesimis terhadap pemberantasan

korupsi ditanah air. Pemberantasan korupsi, baik melalui jalur Undang-undang,

hukum, partisipasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun instruksi

presiden, ternyata belum menuai hasil yang memuaskan. Dengan memperhatikan

upaya pemberantasan korupsi ini, maka pendidikan anti korupsi termasuk salah

satu dari sekian banyak metode yang ditempuh oleh pemerintah.

Secara sederhana, pendidikan anti korupsi adalah usaha sadar dan terencana

untuk mewujudkan proses belajar mengajar yang kritis terhadap nilai-nilai anti

korupsi. Sehingga dalam proses tersebut pendidikan anti korupsi bukan sekedar

media bagi transfer pengalihan pengetahuan (kognitif), namun juga menekankan

pada upaya pembentukan karakter (afektif), dan kesadaran moral dalam


24

melakukan perlawanan (psikomotorik), terhadap penyimpangan perilaku

korupsi.38

Pendidikan anti korupsi dapat dimaknai sebagai upaya yang dilakukan untuk

meminimalisir dan memberantas korupsi melalui pendidikan. Pendidikan dipilih

sebagai salah satu alternatif pemberantasan korupsi, karena pendidikan sendiri

memiliki dua fungsi essensial, yakni menumbuhkan kreatifitas dan menanamkan

serta mensosialisasikan nilai-nilai luhur. Diharapkan dengan aktualisasi dua

fungsi ini, dapat melahirkan generasi penerus bangsa yang mampu melakukan

pembinaan dan pembentukan moral, mental dan spirit anti korupsi.39

Pendidikan anti korupsi bukan cuma berkutat pada pemberian wawasan dan

pemahaman saja. Tetapi diharapkan menyentuh pada ranah afektif dan

psikomotorik, yakni membentuk sikap dan prilaku anti korupsi pada anak didik.

Menurut Muhammad Nuh, program pendidikan anti korupsi bertujuan untuk

menciptakan generasi muda yang bermoral baik dan berprilaku anti koruptif.

Sebab dengan begitu maka mereka akan terhindar dari berbagai macam sikap dan

perilaku koruptif. Bahkan ketika mendengar korupsi saja mereka sudah alergi.

Agar pendidikan anti korupsi ini bisa optimal, menurut kemendikbud, perlu

dukungan dari segenap elemen bangsa. Pemerintah daerah, Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM), serta masyarakat diharapkan peduli dan memantau

38
Agus Wibowo, Pendidikan Anti Korupsi………., hlm. 38.
39
Ummi Kulsum, Skripsi Jurusan Tarbiyah (Pekalongan: STAIN Pekalongan, 2009), hlm.
24.
25

mekanisme pengolahan manajemen sekolah. Sebab dalam manajemen sekolah

yang tidak transparan dan akuntabel, korupsi bisa terjadi dan berkembang pesat.40

Selanjutnya, untuk mewujudkan pendidikan anti korupsi, pendidikan

disekolah juga harus diorentasikan pada tatanan moral action, agar peserta didik

tidak hanya berhenti pada kompetensi saja, tetapi sampai memiliki kemauan dan

kebiasaan dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.41

Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa

pendidikan anti korupsi adalah usaha secara sadar dan terencana untuk

mewujudkan proses belajar mengajar yang kritis terhadap nilai-nilai dan praksis

anti korupsi untuk meminimalisir dan memberantas korupsi.

2. Landasan Pendidikan Anti Korupsi

1) Landasan Filosofis

Sebelum manusia mengaktualisasikan dirinya, terlebih dahulu perlu

dipahami proses perkembangan manusia karena proses ini berkaitan dengan

perkembangan dan survive manusia. Proses perkembangan ini terdiri dari dua

tahap. Pertama Hominisasi, yaitu proses tumbuh sebagaimana dialami makhluk

lain. Pada proses ini, manusia mengalami perkembangan berdasarkan instingnya

sebagaimana binatang pada umumnya. Kedua Humanisasi, yaitu suatu proses

dimana manusia terus menerus mengembangkan dirinya dengan alam semesta dan

berusaha untuk meningkatkan derajatnya melebihi kehidupan hewani. 42 Proses

kedua ini penting untuk dipahami manusia demi keberlangsungan hidup yang

40
Abdul Majid Hariadi, Kurikulum Pendidikan Anti Korupsi, Tribunnews.com, 2011.
Diunduh pada tanggal 24 Mei 2014.
41
Agus Wibowo, Pendidikan Anti Korupsi………., hlm. 38-39.
42
Tony Widiasto, Pendidikan Manusia Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2004), hlm. 69.
26

lebih mencerahkan. Ketika berinteraksi dengan sesama individu berdasarkan nilai-

nilai kehidupan.

Menurut Andrias Harefa, manusia pada prinsipnya adalah sebagai makhluk

spiritual dan bermoral yang diciptakan oleh Tuhan yang bersifat Homo Inago Dei

(mencipatakan Tuhan sebagai penciptanya). Artinya, manusia harus mampu

menghadirkan citra teladan Tuhan Yang Maha Esa dan Yang Rohani dengan

melalui sikap dan perbuatan manusia, seperti budi pekerti yang luhur atau akhlak

mulia sesuai dengan yang menciptanya.43

Berkaitan dengan pendidikan anti korupsi, pembahasan mengenai landasan

filosofis yang menekankan pada proses cara berpikir yang sangat mendalam

sampai hakikat secara menyeluruh terhadap keberadaan manusia, diharapkan

dapat menjadi pertimbangan mengenai kebijakan yang berkenaan dengan

pendidikan. 44 Pentingnya pemahaman tentang hakekat manusia tersebut dapat

dijadikan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan, misalnya pendidikan harus

menempatkan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek.

Manusia disebut sebagai objek karena manusia sendiri menjadi sasaran

pendidikan, terutama sebagai makhluk yang sedang tumbuh dan berkembang.

Pendidikan menjadikan manusia sebagai subjek karena manusia memiliki daya

potensi yang berfungsi untuk pengembangan diri yang seharusnya menjadi

manusia yang berkepribadian dan berwatak.45

43
Andrias Harefa, Pembelajaran di Era Serba Otonom, (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 41.
44
Imam Barnadib, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), hlm. 18.
45
Asmoro Hadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 5.
27

2) Landasan Psikologi

Manusia dilahirkan ke dunia memiliki karakter yang beragam, baik secara

fisik maupun psikisnya. Keunikan dan kekhasan merupakan akar dan kebutuhan

manusia untuk berkomunikasi sekaligus sebagai cara untuk menunjukan

kehadiran diri persoalannya. Kebijakan dan strategi pendidikan haruslah berakar

dari keunikan personal manusia.46

Diantara kajian psikologis, dikenal teori motivasi. Motivasi, menurut

Rochmat Mulyana berfungsi sebagai kekuatan psikis yang mendorong seseorang

untuk memulai atau mempertahankan tingkah lakunya.47 Setiap manusia memiliki

motivasi dalam bertindak sesuai dengan keinginan, minat dan kebutuhannya.

Pemahaman tentang kondisi psikis manusia dalam kajian pendidikan diharapkan

dapat menciptakan generasi yang memiliki motivasi berprestasi tinggi yang

didasarkan pada pilihan kebenaran dan kebaikan tanpa terjebak pada godaan

terhadap keburukan atau kejahatan.

3) Landasan Sosiologis

Manusia, selain sebagai mahluk individual dan spiritual, juga bertindak

sebagai mahluk social. Manusia tidak dapat hidup mutlak sendiri (absolut egoism)

dan tidak akan mampu hidup sepenuhnya untuk mementingkan orang lain

(absolut altruism).48

Pentingnya landasan sosiologis dalam pendidikan anti korupsi didasarkan

pada asumsi bahwa untuk mewujudkan tatanan nilai sosial diperlukan prinsip

46
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritualisme Pendidikan, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2002), hlm. 87.
47
Rochmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabet, 2004), hlm.
127.
48
Rochmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai……….,hlm. 131.
28

moralitas secara kolektif yang dimulai dari setiap individu. Artinya, antara

individu dan kolektif harus memiliki prinsip integritas yang harus diorentasikan

pada dua dimensi. Pertama, integritas segala unsur diri, sehingga secara internal

menjadi perpaduan. Kedua, seorang individu yang mengintegritaskan diri dalam

masyarakatnya, yang kemudian terbentuk tata sosial yang beradab. Terbentukanya

tata sosial yang beradab ini merupakan bentuk tindak lanjut dari perkembangan

setiap individu yang memiliki keunikan masing-masing, kemudian bertemu antara

satu dengan lainnya dan membangun kehidupan bersama. Disinilah pentingnya

pembinaan mental anti korupsi melalui pendidikan, diharapkan dari setiap

individu tumbuh kesadaran (conscience) anti korupsi yang kemudian ditransfer

antara manusia satu dengan lainnya agar terbentuk tata social beradab dalam

setiap komunitas masyarakat tertentu.

D. Pendekatan penanaman nilai anti korupsi

Pada hakekatnya Pendekatan adalah suatu cara memandang terhadap suatu

hal.49 Dengan demikian pendekatan dalam pendidikan yang secara mikro adalah

kegiatan belajar mengajar mengandung makna bagaimana kita memandang proses

belajar mengajar itu.

Pada pelaksanaanya pendekatan pada penanaman nilai anti korupsi pada

pembahasan kali ini, perlu dijabarkan ke dalam pembelajaran PAI, yaitu :50

49
Chabib Toha, PBM-PAI Eksistensi dan proses belajar mengajar Pendidikan Agama
Islam,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 197.
50
Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 174.
29

a. Pendekatan Pembiasaan

Pendekatan ini dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada

peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran agamanya.

b. Pendekatan emosional

Pendekatan ini merupakan usaha untuk menggugah perasaan dan

emosi peserta didik dalam menyakini, memahami, dan menghayati akidah

Islam serta memberi motivasi agar peserta didik ikhlas mengamalkan

ajaran agamanya, khususnya yang berkaitan dengan akhlakul karimah.

c. Pendekatan rasional

Yakni usaha untuk memberikan kepada rasio atau akal dalam

memahami dan menerima kebenaran ajaran agama. Informasi-informasi

tentang nilai baik dan benar akan diolah secara psikologis yang melahirkan

sikap efektif terhadap obyek nilai tersebut. Apabila kesadaran rasionalnya

menerima suatu obyek nilai sebagai kebenaran, maka sikap efektifnya

akan memberikan dorongan untuk menyenangi, menyetujui, dan

menghargai terhadap nilai tersebut.51

d. Pendekatan fungsional

Yaitu usaha menyajikan ajaran agama Islam dengan menekankan

kepada segi kemanfaatannya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-

hari sesuai dengan tingkat perkembangannya.

51
Chabib Toha, Kepeta Selekta………., hlm. 8.
30

e. Pendekatan keteladanan

Pendekatan ini dilakukan dengan menyuguhkan keteladanan, baik

yang langsung melalui penciptaan kondisi pergaulan yang akrab antara

personal sekolah, perilaku pendidik dan tenaga kependidikan yang

mencerminkan akhlak terpuji maupun tidak langsung melalui suguhan

ilustrasi berupa kisah-kisah keteladanan.

Dengan melihat dan mengamati kepribadian seseorang yang

memiliki konsistensi dan keteladanan yang dapatr diandalkan, akan

tumbuh kesadaran peserta didik untuk menerima nilai-nilai tersebut

sebagai nilai yang baik dan benar.

E. Strategi penanaman nilai anti korupsi

Strategi sebenarnya berasal dari istilah kemiliteran yaitu usaha untuk

mendapatkan posisi yang menguntungkan dengan tujuan mencapai

kemenangan/kesuksesan.52

Jika strategi ini dimasukkan dalam dunia pendidikan secara makro dan skala

global, strategi merupakan kebijakan-kebijakan yang mendasar dalam

pengembangan pendidikan sehingga tercapai tujuan pendidikan secara lebih

terarah, lebih efektif dan efisien.53

Menurut Noeng Muhadjir, sebagaimana dikutip oleh Chabib Toha, ada

beberapa strategi yang bisa digunakan dalam pembelajaran nilai, yaitu :54

52
Djamaluddin darwis, Strategi Belajar Mengajar,dalam bukunya H. M. Chabib Toha,
PBM-PAI Eksistensi dan proses belajar mengajar Pendidikan Agama Islam,(Yogyakarta Pustaka
Pelajar, 1998), hlm. 195.
53
Ibid, hlm. 196.
54
Chabib toha, Kapeta Selekta………., hlm. 77-78.
31

a. Strategi tradisional

Yaitu dengan jalan memberikan nasehat atau indoktrinasi. Strategi ini

ditempuh dengan jalan memberitahukan secara langsung nilai-nilai

mana yang baik dan yang kurang baik.

b. Strategi bebas

Yaitu peserta didik diberi kebebasan sepenuhnya untuk memilih dan

menentukan nilai mana yang akan diambilnya karena nilai yang baik

belum tentu baik pula bagi peserta didik itu sendiri.

c. Strategi reflektif

Yaitu dengan jalan mondar mandir antara menggunakan pendekatan

teoritik ke pendekatan empirik, atau pendekatan deduktif dan induktif.

d. Strategi transinternal

Yaitu guru dan peserta didik sama-sama terlibat dalam proses

komunikasi aktif, yang tidak hanya melibatkan komunikasi verbal dan

fisik tapi juga melibatkan komunikasi batin (kepribadian) antara

keduanya. Strategi ini merupakan cara untuk membelajarkan nilai

dengan jalan melakukan transformasi nilai, dilanjutkan dengan transaksi

dan transinternalisasi.

F. Metode penanaman nilai anti korupsi

Banyak di antara kita yang habis kesabaran saat menyaksikan berbagai

usaha menghapus korupsi tidak menunjukkan kemajuan berarti. Kita seperti lari

di tempat, secepat apapun larinya kita selalu menemukan diri di tempat yang

sama. Bisa dikatakan metode pendidikan dalam pendidikan nilai masih memiliki
32

kelemahan karena dikonsentrasikan pada pengembangan otak kiri /kognitif yang

cirinya adalah hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal

konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi dan nuraninya.

Oleh karena itu, Pendekatan di atas kemudian dijabarkan ke dalam beberapa

metode pembelajaran PAI yang berorientasi pada penanaman nilai. Metode

tersebut antara lain :55

a. Metode dogmatik

Metode ini merupakan metode untuk mengajarkan nilai kepada peserta

didik dengan jalan menyajikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang

harus diterima apa adanya tanpa mempersoalkan hakikat itu sendiri.

b. Metode deduktif

Metode ini menyajikan nilai-nilai kebenaran dengan jalan menguraikan

konsep-konsep kebenaran itu agar dipahami oleh peserta didik.

c. Metode Induktif

Yaitu membelajarkan nilai yang di mulai dengan mengenalkan kasus-

kasus dalam kehidupan sehari-hari, kemudian ditarik maknanya secara

hakiki tentang nilai-nilai kebenaran yang berada dalam kehidupan

tersebut.

d. Metode reflektif

Metode ini merupakan gabungan dari penggunaan metode deduktif dan

induktif, yaitu membelajarkan nilai-nilai dengan jalan mondar-mandir

55
Muhaimin, dkk. Paradigma Pendidikan Islam………., hlm. 174-176 .
33

antara melihat kasus-kasus kehidupan sehari-hari, kemudian dikembalikan

kepada konsep teoritiknya yang umum atau sebaliknya.

G. Tekhnik penanaman nilai anti korupsi

Tekhnik pembelajaran PAI yang berorientasi pada nilai (afektif) ada

beberapa macam, diantaranya :56

a. Tekhnik Indoktrinasi

Prosedur tekhnik ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu Pertama,

tahap brainswashing, yakni pendidik memulai pendidikan nilai dengan

jalan merusak tata nilai yang sudah mapan dalam pribadi peserta didik

untuk dikacaukan, sehingga mereka tidak mempunyai pendirian lagi.

Kedua, Tahap menanamkan fanatisme, yakni pendidik menanamkan ide-

ide baru yang dianggap benar sehingga nilai-nilai yang ditanamkan masuk

kepada peserta didik tanpa melalui pertimbangan rasional yang mapan.

Ketiga, Tahap penanaman doktrin, pada saat penanaman doktrin ini hanya

dikenal adanya satu nilai kebenaran yang disajikan, dan tidak ada alternatif

lain.

Tekhnik indoktrinasi dipergunakan untuk strategi tradisional, pendekatan

doktriner dan otoritatif, sedangkan metode yang digunakan adalah metode

dogmatik.

b. Tekhnik Klarifikasi

Tekhnik ini merupakan suatu cara untuk membantu peserta didik untuk

menentukan nilai-nilai yang akan dipilih. Dalam tekhnik terdapat beberapa

56
Chabib Toha, Kappita Selekta………., hlm. 87-94.
34

tahap yang dilalui, yaitu tahap pemberian contoh, tahap mengenali

kelebihan dan kekurangan nilai, dan tahap mengorganisasikan tata nilai

pada diri peserta didik.

c. Tekhnik moral reasoning

Tekhnik ini sama dengan penggunaan problem solving dalam proses

belajar mengajar. Peserta didik dihadapkan pada penyajian nilai moral

yang dilematis untuk dinilai dan dievaluasi oleh peserta didik, kemudian

mereka diminta memilih niali-nilai yang baik dan benar untuk di ikuti.

d. Tekhnik meramalkan konsekuensi

Tekhnik merupakan penerapan dari pendekatan rasional dalam

mengajarkan nilai, dalam arti mengandalkan kemampuan berfikir peserta

didik untuk membuat proyeksi tentang hal-hal yang akan terjadi dalam

penerapan satu sistem nilai tertentu.

e. Tekhnik menganalisis nilai

Tekhnik merupakan penerapan dari pendekatan rasional dalam

mengajarkan nilai kepada pesrta didik. Penggunaan tekhnik ini bertujuan

memberikan wawasan yang luas kepada peserta didik dalam memilih nilai

agar mereka yakin benar bahwa nilai yang dipilih didasarkan atas

kebenaran yang di dapat dipertanggung jawabkan.

f. Tekhnik internalisasi nilai

Sasaran tekhnik ini adalah sampai pada tahap pemilikan nilai yang

menyatu dalam kepribadian peserta didik, atau sampai pada taraf

karakterisasi atau mewatak. Tahapan tekhnik ini terdiri dari :


35

1) Transformasi nilai, guru sekedar menginformasikan nilai-nilai yang

baik dan yang kurang baik kepada peserta didik, semata-mata

merupakan komunikasi verbal.

2) Transaksi nilai, tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan

komunikasi dua arah, atau interaksi yang bersifat timbal balik.

3) Transinternalisasi, tahap ini jauh lebih dalam dari sekedar transaksi,

komunikasi yang terjadi adalah komunikasi dua kepribadian yang

masing-masing terlibat secara aktif.57

57
Muhaimin, dkk. Paradigma Pendidikan………., hlm. 178.

Anda mungkin juga menyukai