Anda di halaman 1dari 45

REFERAT

PAIN MANAGEMENT

Oleh:
Mutiara Adisti
1102013190

Nadya Muthia Risky


1102013

Pembimbing:
dr. Dhadi Sp. An

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RSU DR. SLAMET GARUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE MARET 2018
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang
menunjukkan kerusakan jaringan.
Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :

 Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan,


berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan
yang nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai
nyeri akut.
 Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan
kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri
seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.

Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme


proteksi, defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel
nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab
nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai
mekanisme defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami
inflamasi atau patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa
mempercepat penyembuhan.
Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostik, karena dengan adanya
nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui,
misalnya, nyeri yang dirasakan oleh seorang pada daerah perut kanan bawah,
kemungkinan pasien tersebut menderita radang usus buntu. Contoh lain, misalnya
seorang ibu hamil cukup bulan, mengalami rasa nyeri di daerah perut, kemungkinan
merupakan tanda bahwa proses persalinan sudah dimulai.
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah menyebar ke
berbagai jaringan tubuh seperti misalnya ke dalam tulang, nyeri yang dirasakanya tidak
lagi berperan sebagai mekanisme proteksi, defensif atau diagnostik, tetapi akan
menambah penderitaannya semakin berat.
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang
mengakibatkan penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak saja
tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan
bermaksud menjangkau mutu kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati
kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 DEFINISI NYERI

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori
subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan. Dari definisi dan konsep nyeri di atas dapat di tarik dua kesimpulan. Yang
pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan dan
pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi nyeri
terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception). Yang
kedua, perasaan yang sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan jaringan yang
nyata. Jadi nyeri dapat terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain
without nociception).
Istilah nociception berasal dari noci (bahasa Latin untuk bahaya atau cedera)
dan digunakan untuk menggambarkan respons saraf terhadap rangsangan traumatis.
Semua kerusakan jaringan menghasilkan nyeri, tapi tidak semua hasil nyeri dari
kerusakan jaringan. Banyak pasien mengalami nyeri tanpa adanya rangsangan
traumatis. Oleh karena itu, bermanfaat secara klinis untuk membagi nyeri menjadi satu
dari dua kategori: (1) nyeri akut, yang terutama disebabkan oleh kerusakan jaringan,
dan (2) nyeri kronis, yang mungkin disebabkan oleh kerusakan jaringan, namun faktor
psikologis dan perilaku sering menjadi penyebab utama.

1.2 KLASIFIKASI NYERI

Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu :


1. Menurut Jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik.
2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis.
3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non onkologik.
4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat.
Nyeri juga dapat dikelompokkan menurut patofisiologi (misalnya nyeri nosiseptif
atau neuropatik), etiologi (misalnya arthritis atau nyeri pada kanker), atau daerah yang
terkena (misalnya sakit kepala atau nyeri punggung bawah). Klasifikasi seperti itu
berguna dalam pemilihan modalitas pengobatan dan terapi obat. Nyeri nosiseptif
disebabkan oleh aktivasi atau sensitisasi nociceptors perifer, reseptor khusus yang
menularkan rangsangan trauma. Nyeri neuropatik adalah hasil dari cedera atau kelainan
yang didapat dari struktur syaraf perifer atau sentral.

Menurut timbulnya nyeri


 Nyeri akut
Nyeri akut disebabkan oleh rangsangan trauma akibat cedera, proses penyakit, atau
fungsi abnormal otot atau visera. Hal ini biasanya nosiseptif. Nyeri nosiseptif berfungsi
untuk mendeteksi, melokalisasi, dan membatasi kerusakan jaringan. Empat proses
fisiologis dilibatkan: transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Jenis rasa sakit ini
biasanya terkait dengan respons stres neuroendokrin yang sebanding dengan intensitas
rasa sakit.
Bentuknya yang paling umum termasuk nyeri pasca trauma, pasca operasi, dan
kebidanan serta rasa sakit yang terkait dengan penyakit medis akut, seperti infark
miokard, pankreatitis, dan kalkuli ginjal. Sebagian besar bentuk nyeri akut diatasi
dengan pengobatan dalam beberapa hari atau minggu. Bila rasa sakit gagal diatasi
karena penyembuhan yang tidak normal atau pengobatan yang tidak memadai, maka
nyeri menjadi kronis . Dua jenis nyeri akut (nociceptive) –somatik dan visceral :

1. Nyeri somatik - Nyeri somatik dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai superfisial
atau mendalam. Nyeri somatik superfisial disebabkan oleh kerusakan jarngan yang
timbul dari kulit, jaringan subkutan, dan membran mukosa. Hal ini secara khas
terlokalisasi dengan baik dan digambarkan sebagai sensasi tajam, menusuk, berdenyut,
atau terbakar. Rasa sakit somatik mendalam timbul dari otot, tendon, persendian, atau
tulang. Berbeda dengan nyeri somatik superfisial, biasanya memiliki kualitas tumpul
dan kualitas nyeri kurang terlokalisasi dengan baik.
2. Nyeri viseral - Nyeri akut yang hebat disebabkan oleh proses penyakit atau fungsi
abnormal yang melibatkan organ dalam atau penutupnya (misalnya pleura parietal,
pericardium, atau peritoneum). Empat subtipe dijelaskan:
(1) nyeri viseral lokal,
(2) nyeri parietal lokal,
(3) nyeri viseral yang menjalar, dan
(4) nyeri parietal yang menjalar.
Nyeri visceral benar-benar tumpul, menyebar, dan biasanya midline. Hal ini
sering dikaitkan dengan aktivitas simpatik atau parasimpatis yang abnormal yang
menyebabkan mual, muntah, berkeringat, dan perubahan pada tekanan darah dan
denyut jantung.
Nyeri parietal biasanya tajam dan sering digambarkan sebagai sensasi menusuk
yang terlokalisir ke daerah sekitar organ atau menjalar ke tempat yang jauh (Tabel 47-
2). Fenomena nyeri viseral atau parietal yang mengacu pada daerah kutaneous berasal
dari pola perkembangan embriologis dan migrasi jaringan, dan konvergensi aferen
viseral dan somatik ke dalam sistem.

 Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya
berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak
terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain.
Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga
kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan
mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan
eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan
penyebab utama ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang
tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah
pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul
perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya
dari hari ke hari. Misalnya nyeri post-herpetic, nyeri phantom atau nyeri karena
kanker.
Nyeri kronis adalah nyeri yang menetap di luar penyakit akut atau setelah waktu
penyembuhan terjadi; Masa penyembuhan ini biasanya bisa bervariasi dari 1
sampai 6 bulan. Nyeri kronis mungkin nociceptive, neuropathic, atau mixed. Yang
membedakan adalah mekanisme psikologis atau faktor lingkungan sering
memainkan peran utama. Pasien dengan nyeri kronis sering mengalami defisiensi
neuroendokrin dan memiliki gangguan tidur dan afektif yang menonjol (mood).
Nyeri neuropatik secara klasik bersifat paroksismal dan nyeri, memiliki kualitas
terbakar, dan berhubungan dengan hiperpathia. Ketika sistem simpatik memainkan
peran utama, sistem ini sering disebut sakit simpatik.
Bentuk paling umum dari nyeri kronik termasuk yang terkait dengan gangguan
muskuloskeletal, kelainan visceral kronik, lesi perifer saraf, akar saraf, atau ganglia
akar dorsal (termasuk neuropati diabetes, kausalgia, nyeri tungkai, dan neuralgia
postherpetik), lesi pada sistem saraf pusat (stroke, cedera tulang belakang, dan
multiple sclerosis), dan nyeri pada kanker. Rasa sakit sebagian besar gangguan
muskuloskeletal (misalnya rheumatoid arthritis dan osteoartritis) terutama bersifat
nosiseptif, sedangkan rasa sakit yang terkait dengan gangguan saraf perifer atau
pusat terutama bersifat neuropatik. Rasa sakit yang terkait dengan beberapa
kelainan, misalnya kanker dan sakit punggung kronik terutama setelah operasi.
Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik
Nyeri akut Nyeri kronik
- Lamanya dalam hitungan menit - Lamannya sampai hitungan bulan
- Sensasi tajam menusuk - Sensasi terbakar, tumpul, pegal
- Dibawa oleh serat A-delta - Dibawa oleh serat C
- Ditandai peningkatan BP, nadi, dan - Fungsi fisiologi bersifat normal
respirasi
- Kausanya spesifik, dapat diidentifikasi - Kausanya mungkin jelas mungkin tidak
secara biologis - Tidak ada keluhan nyeri, depresi dan
- Respon pasien : Fokus pada nyeri, kelelahan
menangis dan mengerang, cemas - Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon
- Tingkah laku menggosok bagian yang terhadap nyeri
nyeri - Respon terhadap analgesik : sering
- Respon terhadap analgesik : kurang meredakan nyeri
meredakan nyeri secara efektif

Menurut derajat nyerinya


Berdasarkan derajat nyerinya diklasifikasikan menjadi 3 kriteria, yaitu :
1. Nyeri ringan : adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan
aktifitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang : adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang hanya
hilang jika penderita tidur.
3. Nyeri berat : adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,
penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.

1.3 FISIOLOGI NYERI, MEKANISME NYERI AKUT DAN KRONIK


Nyeri dialirkan di sepanjang tiga jalur neuron yang memberikan rangsangan berbahaya
dari perifer ke korteks serebral (Gambar 47-1). Badan sel neuron aferen primer terletak
di ganglia akar dorsal, yang terletak pada foramina vertebral pada masing-masing
tingkat sumsum tulang belakang. Setiap neuron memiliki akson tunggal yang
bercabang, mengirimkan satu ujung ke jaringan perifer yang innervates dan yang
lainnya ke dalam tanduk dorsal sumsum tulang belakang. Di tanduk dorsal, sinapsis
neuron aferen primer dengan neuron orde kedua yang aksonnya melintasi garis tengah
dan naik di saluran spinothalamic kontralateral untuk mencapai talamus. Orde kedua
neuron sinaps di nukleus thalamic dengan neuron orde ketiga, yang pada gilirannya
mengirimkan proyeksi melalui kapsul internal dan corona radiata ke gyrus postcentral
dari korteks serebral (Gambar 47-2).
Neuron Orde Pertama
Mayoritas neuron orde pertama mengirim ujung proksimal akson ke sumsum
tulang belakang melalui akar tulang belakang dorsal (sensorik) pada masing-masing
tingkat servikal, torakal, lumbal, dan sakral. Beberapa serabut afferen yang tidak
bermyelin (C) telah ditunjukkan untuk memasuki sumsum tulang belakang melalui akar
ventral nervus (motor), menghitung pengamatan bahwa beberapa pasien terus
merasakan nyeri bahkan setelah transeksi akar saraf dorsal (rhizotomy) dan melaporkan
nyeri berikut stimulasi akar ventral. Begitu di tanduk dorsal, disamping sinaps dengan
neuron orde kedua, akson neuron orde pertama bersinaps dengan interneuron, neuron
simpatik, dan neuron motor tanduk ventral.
Serabut rasa sakit yang berasal dari kepala dibawa oleh saraf trigeminal (v),
wajah (VII), glossopharyngeal (IX), dan vagal (X). Ganglion gasserian berisi sel tubuh
serat sensorik di divisi oftalmik, maksila, dan mandibular saraf trigeminal. Badan sel
orde pertama aferen neuron saraf wajah terletak di ganglion geniculate; saraf saraf
glossopharyngeal terletak pada ganglia superior dan petrosal; dan saraf vagal terletak
di ganglion jugularis (somatik) dan ganglion nodosum (viseral). Proses aksonal
proksimal dari neuron orde pertama sinilah ganglia ini mencapai inti batang otak
melalui saraf kranial masing-masing, di mana mereka sinaps dengan neuron orde kedua
di inti otak.

Neuron Orde Kedua


Serabut rasa sakit dapat naik atau turun satu sampai tiga segmen medula spinalis
di saluran Lissauer sebelum disinkronkan dengan neuron orde kedua pada gray matter
tanduk dangkal ipsilateral. Dalam banyak kasus, mereka berkomunikasi dengan neuron
orde kedua melalui interneuron.Gray matter medula spinalis dibagi oleh Rexed menjadi
10 lamina (Gambar 47-3 dan Tabel 47-3). Enam lamina pertama, yang membentuk
tanduk dorsal, menerima semua aktivitas saraf aferen dan mewakili lokasi utama
modulasi rasa sakit dengan naik dan turun jalur saraf. Neuron orde kedua adalah neuron
dynamicrange (WDR) nociceptive-specific atau wide dynamic. Neuron spesifik
nociceptive hanya melayani rangsangan berbahaya, namun neuron WDR juga
menerima masukan yang tidak berbahaya dari serat Aβ, A, dan C.
Neuron WDR adalah jenis sel yang paling umum di tanduk dorsal. Meskipun
ditemukan di seluruh tanduk dorsal, neuron WDR paling banyak di lamina V. Selama
stimulasi berulang, neuron WDR secara khas meningkatkan laju penembakan secara
eksponensial dengan mode gradasi ("angin"), bahkan dengan intensitas stimulus yang
sama. Mereka juga memiliki medan reseptif yang besar dibandingkan dengan neuron
spesifik nociceptive.
Sebagian besar serat C nociceptive mengirim atau menghentikan, neuron orde
kedua di lamina I dan II, dan pada tingkat yang lebih rendah, pada lamina V.
Sebaliknya, Serabut nukleoteptif A sinaps terutama terjadi pada lamina I dan V, dan
pada tingkat yang lebih rendah, pada lamina X. Lamina I merespons terutama terhadap
rangsangan berbahaya (nociceptive) dari jaringan kewanitaan kulit dan dalam. Lamina
II, juga disebut gelatinosa substantia, mengandung banyak interneuron dan diyakini
memainkan peran utama dalam memproses dan memodulasi masukan nociceptive dari
nociceptors kutaneous. Ini juga menarik perhatian karena diyakini merupakan tempat
aksi utama opioid. Laminae III dan IV terutama menerima nonnosis masukan sensorik
Laminae VIII dan IX membentuk tanduk anterior (motor). Lamina VII adalah kolom
intermediolateral dan berisi sel tubuh neuron simpatis preganglionik. Pemberian viseral
terutama berhenti di lamina V, dan pada tingkat yang lebih rendah, di lamina I. Kedua
lamina ini mewakili titik-titik konvergensi sentral antara input somatik dan viseral.
Fenomena konvergensi antara input sensoris viseral dan somatik dimanifestasikan
secara klinis sebagai nyeri yang menjalar (lihat Tabel 47-2). Dibandingkan dengan serat
somatik, serat nociceptive visceral jumlahnya lebih sedikit, lebih banyak
didistribusikan, secara proporsional mengaktifkan sejumlah neuron tulang belakang
yang lebih besar, dan tidak diatur secara somatotopic.

A. Traktus Spinothalamicus
Akson dari neuron orde kedua melintasi garis tengah yang dekat dengan tingkat
asal dermatomalnya (pada commissure anterior) ke sisi kontralateral sumsum tulang
belakang sebelum mereka membentuk saluran spinothalamic dan mengirim serat
mereka ke thalamus, formasi reticular , nucleus raphe magnus, dan periaqueductal abu-
abu. Jalur spinothalamic, yang secara klasik dianggap sebagai jalur nyeri utama,
terletak secara anterolateral dalam materi putih sumsum tulang belakang (Gambar 47-
4). Saluran ascending dapat dibagi menjadi saluran lateral dan medial. Proyek lateral
spinothalamic (neospinothalamic) terutama mengarah ke inti posterolateral ventral
thalamus dan membawa aspek diskriminatif rasa sakit, seperti lokasi, intensitas, dan
durasi. Proyek saluran spinothalamic (paleospinothalamic) medial ke thalamus medial
dan bertanggung jawab untuk menengahi persepsi emosional yang tidak autonom dan
tidak menyenangkan dari rasa sakit. Beberapa serat spinothalamic juga
memproyeksikan periaqueductal abu-abu dan dengan demikian dapat menjadi
penghubung penting antara jalur naik dan turun. Serat jaminan juga diproyeksikan ke
sistem pengaktif retikuler dan hipotalamus; ini mungkin bertanggung jawab atas respon
gairah terhadap rasa sakit. Serat juga diproyeksikan ke sistem pengaktifan retikuler dan
hipotalamus; ini mungkin bertanggung jawab atas respon gairah terhadap rasa sakit.
B. Jalur Nyeri Alternatif
Seperti sensasi epikritik, serat nyeri naik secara diffusely, ipsilateral, dan
kontralateral; beberapa pasien terus merasakan nyeri setelah ablasi saluran
spinothalamic kontralateral, dan oleh karena itu jalur nyeri naik lainnya juga penting.
Saluran spinoreticular dianggap menengahi respon gairah dan otonom terhadap rasa
sakit. Saluran spinomesencephalic mungkin penting dalam mengaktifkan jalur
antinociceptive, descending, karena memiliki beberapa proyeksi pada abu-abu
periaqueductal. Saluran spinohypothalamic dan spinotelencephalic mengaktifkan
hipotalamus dan menimbulkan perilaku emosional. Saluran spinocervical naik tanpa
batas ke inti serviks lateral, yang menghubungkan serat ke talamus kontralateral;
Saluran ini kemungkinan merupakan jalur alternatif utama untuk rasa sakit. Terakhir,
beberapa serat di kolom dorsal (yang terutama membawa sentuhan ringan dan
proprioception) responsif terhadap rasa sakit; Mereka naik secara medial dan
ipsilateral.

C. Integrasi dengan Sistem Simpatik dan Motor


Afferen somatik dan viseral penuh terintegrasi dengan motor skeletal dan sistem
simpatis di sumsum tulang belakang, batang otak, dan pusat yang lebih tinggi. Afferent
dornal neuron tanduk sinaps baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
neuron motor tanduk anterior. Sinapsis ini bertanggung jawab atas aktivitas otot
refleks-apakah normal atau abnormal-yang terkait dengan rasa sakit. Dengan cara yang
sama, sinapsis antara neuron nociceptive yang cerdas dan neuron simpatik di kolom
intermediolateral menghasilkan refleksi vasokonstriksi yang dimediasi secara simetris,
kejang otot polos, dan pelepasan katekolamin, baik secara lokal maupun dari medula
adrenal.

Neuron Orde Ketiga


Neuron orde ketiga terletak di thalamus dan mengirim serat ke daerah
somatosensori I dan II pada gyrus postcentral korteks parietal dan dinding superior
fisura sylvian. Persepsi dan lokalisasi diskrit rasa sakit terjadi di daerah korteks ini.
Meskipun kebanyakan neuron dari proyek nukleus thalamic lateral ke korteks
somatosensori primer, neuron dari intralaminar dan proyek inti medial ke gyrus
cingulate anterior dan kemungkinan terlibat dalam menengahi komponen penderitaan
dan emosional rasa sakit.

FISIOLOGI NOCICEPTOR
1. Nociceptor
Sensasi yang tidak berbahaya dapat dipecah menjadi dua komponen: sensasi
cepat, tajam, dan terlokalisasi ("rasa sakit pertama"), yang dilakukan dengan latency
pendek (0,1 s) oleh Aδ fi bers (diuji dengan jarum pin) ; dan onset yang lebih lambat,
tumpul, dan sering menimbulkan sensasi terlokalisasi ("rasa sakit kedua"), yang
dilakukan oleh serat C. Berbeda dengan sensasi epikritik, yang dapat ditransduksi oleh
organ akhir khusus pada neuron aferen (misalnya sel punca pantein untuk sentuhan),
sensasi protopatik ditransduksi terutama oleh ujung saraf bebas. Sebagian besar
nociceptors adalah ujung saraf bebas yang merasakan panas dan kerusakan jaringan
mekanik dan kimia. Jenis meliputi (1) mechanonociceptors, yang merespons tekanan,
(2) silent nociceptors, yang merespons hanya dengan adanya inflamasi, dan (3)
nociceptors mechanoheat polymodal. Yang terakhir paling umum dan merespons
tekanan yang berlebihan, suhu ekstrem (> 42 ° C dan <40 ° C), dan zat berbahaya seperti
bradikinin, histamin, serotonin (5-hydroxytryptamine atau 5-HT), H +, K +, beberapa
prostaglandin, capsaicin, dan mungkin adenosine trifosfat. Setidaknya dua reseptor
nociceptor (yang mengandung saluran ion pada ujung saraf) telah diidentifikasi,
TRPV1 dan TRPV2. Keduanya merespons suhu tinggi. Capsaicin merangsang reseptor
TRPV1. Nociceptors polimodal lambat beradaptasi dengan tekanan kuat dan sensitisasi
panas.

Nociceptors kulit
Nociceptors terdapat dalam jaringan somatik dan viseral. Neuron aferen primer
menjangkau jaringan dengan berjalan di sepanjang saraf somatik, simpatik, atau
parasimpatis. Nociceptors somatik termasuk di kulit (kutaneous) dan jaringan dalam
(otot, tendon, fasia, dan tulang), sedangkan nociceptors visceral termasuk yang ada di
organ dalam.

Nociceptors Somatik dalam


Nociceptors somatik dalam kurang sensitif terhadap rangsangan berbahaya
daripada nociceptors kutaneous namun mudah peka dengan inflammasi. Rasa sakit
yang timbul dari mereka secara khas tumpul dan kurang terlokalisir. Nociceptors
spesifik ada pada otot dan kapsul sendi, dan mereka merespons mekanik, termal, dan
rangsangan kimia.

Visoceral Nociceptors
Organ viseral umumnya jaringan sensitif yang sebagian besar mengandung
nociceptors diam. Beberapa organ tampaknya memiliki ciri khas tertentu, seperti
jantung, paru-paru, testis, dan saluran empedu. Sebagian besar organ lain, seperti usus,
diinervasi oleh nociceptors polymodal yang merespons spasme otot, iskemia, dan
inflamasi. Reseptor ini umumnya tidak merespons pemotongan, pembakaran, atau
penghancuran yang terjadi selama operasi. Beberapa organ, seperti otak, kekurangan
nociceptors sama sekali; Namun, penutup meningeal otak memang mengandung
nociceptors. Serabut saraf aferen ini, bagaimanapun, sering bepergian dengan serat
saraf simpatis eferen untuk mencapai visera. Aktivitas aferen dari neuron ini memasuki
sumsum tulang belakang antara T1 dan L2. Serat C Nociceptive dari kerongkongan,
laring, dan trakea berjalan dengan saraf vagus masuk ke nucleus solitarius di batang
otak. Serabut nyeri dari kandung kemih, prostat, rektum, leher rahim dan uretra, dan
genitalia ditransmisikan ke sumsum tulang belakang melalui saraf parasimpatis pada
tingkat akar saraf S2-S4. Meskipun relatif sedikit dibandingkan dengan serat rasa
somatik, serat dari neuron aferen viseral primer memasuki kabel dan sinaps lebih difusif
dengan serat tunggal, sering kali disinkronkan dengan kadar dermatom ganda dan
sering bersinggungan dengan tanduk dangkal kontralateral.

2. Mediator Kimia Nyeri


Beberapa neuropeptida dan rangsang asam amino berfungsi sebagai
neurotransmitter untuk neuron aferen yang mengalami nyeri (Tabel 47-4). Neuron hese
mengandung lebih dari satu neurotransmitter, yang secara bersamaan dilepaskan. Yang
paling penting dari peptida ini adalah zat P dan calcitonin gene-related peptide (CGRP).
Glutamat adalah asam amino rangsang yang paling penting. Substansi P adalah 11
peptida asam amino yang disintesis dan dilepaskan oleh neuron orde pertama, baik
perifer maupun di tanduk dorsal. Juga ditemukan di bagian lain dari sistem saraf dan
usus, ia memfasilitasi penularan pada jalur nyeri melalui aktivasi reseptor neurokinin-
1. Di perifer, zat neuron P mengirim kolateral yang terkait erat dengan pembuluh darah,
kelenjar keringat, rambut folikel, dan sel mast di dermis. Zat P menyensor nociceptors,
degranulasi histamin dari sel mast dan 5-HT dari platelet, dan merupakan vasodilator
dan chemoattractant kuat untuk leukosit. Substansi neuron pelepas P juga menginervasi
kulit dan mengirim serat kolateral ke ganglia simpatik paravertebral; Oleh karena itu,
rangsangan intens dari viscera dapat menyebabkan pelepasan simpatis postganglionik
secara langsung.
Reseptor opioid dan α2 -adrenergik telah dijelaskan pada atau di dekat terminal saraf
perifer yang tidak bermanuver. Meski bersifat fisiologis, peran tidak jelas, yang terakhir
mungkin menjelaskan analgesia yang diamati pada opioid yang dioleskan secara
perifer, terutama dengan adanya peradangan.
3. Modulasi Nyeri
Modulasi nyeri terjadi secara perifer pada nosiseptor, di sumsum tulang
belakang, dan pada struktur supraspinal. Modulasi ini bisa menghambat (menekan) atau
memfasilitasi (mengintensifkan) rasa sakit.

Peripheral Modulation of Pain


Nociceptors dan neuron menunjukkan sensitisasi setelah stimulasi berulang.
Sensitisasi mungkin diwujudkan sebagai respons yang disempurnakan terhadap
stimulasi berbahaya atau responsivitas yang baru didapat pada rangsangan yang lebih
luas, termasuk rangsangan yang tidak menentu.

A. Hyperalgesia primer
Sensitisasi nociceptors menghasilkan penurunan ambang batas, peningkatan
respons frekuensi terhadap intensitas stimulus yang sama, penurunan latensi respon,
dan penembakan spontan bahkan setelah penghentian stimulus (setelah pelepasan).
Sensitisasi semacam itu biasanya terjadi dengan luka dan mengikuti penerapan panas.
Hyperalgesia primer dimediasi oleh pelepasan zat berbahaya dari jaringan yang rusak.
Histamin dilepaskan dari sel mast, basofil, dan trombosit, sedangkan serotonin
dilepaskan dari sel mast dan platelet. Bradykinin dilepaskan dari jaringan berikut
aktivasi faktor XII. Bradykinin mengaktifkan ujung saraf bebas melalui reseptor
spesifik B1 dan B2. Prostaglandin diproduksi setelah kerusakan jaringan oleh aksi
fosfolipase A 2 pada fosfolipid yang dilepaskan dari membran sel untuk membentuk
asam arakidonat (Gambar 47-5). Jalur siklooksigenase (COX) kemudian mengubah
yang terakhir menjadi endoperoksida, yang kemudian diubah menjadi prostasiklin dan
prostaglandin E 2 (PGE 2). PGE 2 secara langsung mengaktifkan ujung saraf bebas,
sementara prostasiklin mempotensiasi edema dari bradikinin. Jalur lipoxygenase
mengubah asam arakidonat menjadi senyawa hydroperoxy, yang kemudian diubah
menjadi leukotrien. Peran yang terakhir tidak didefinisikan dengan baik, tapi
tampaknya juga potentiate beberapa jenis rasa sakit. Agen farmakologis seperti
asetylsalicylic acid (ASA, atau aspirin), asetaminofen, dan obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID) menghasilkan analgesia dengan penghambatan COX. Efek
analgesik kortikosteroid kemungkinan disebabkan oleh penghambatan produksi
prostaglandin.
B.Hyperalgesia sekunder
Peradangan neurogenik, juga disebut hiperalgesia sekunder, memainkan peran
penting dalam sensitisasi perifer setelah cedera. Hal ini diwujudkan oleh "respon tiga
kali (Lewis)" dari flush merah di sekitar lokasi luka (flare), edema jaringan lokal, dan
sensitisasi terhadap rangsangan berbahaya. Hiperalgesia sekunder terutama disebabkan
oleh pelepasan zat terlantar antimidrogen P (dan mungkin CGRP). Zat P meratakan
histamin dan 5-HT, vasodilatasi pembuluh darah, menyebabkan edema jaringan, dan
menginduksi pembentukan leukotrien. Gejala saraf dari respon ini didukung oleh
temuan berikut: (1) dapat diproduksi dengan stimulasi listrik saraf sensorik, (2) tidak
diamati pada kulit yang distilasi, dan (3) berkurangnya suntikan obat bius lokal
Capsaicin yang dioleskan secara topikal dalam gel, krim, atau patch menghabiskan zat
P dan mengurangi peradangan neurogenik, dan berguna untuk beberapa pasien dengan
neuralgia postherpetik.

Modulasi Sentral Nyeri


A. Fasilitasi
Setidaknya tiga mekanisme bertanggung jawab untuk sensitisasi sentral di sumsum
tulang belakang:
1. Wind-up dan sensitisasi neuron orde kedua. Neuron WDR meningkatkan frekuensi
pelepasannya dengan rangsangan berulang yang sama dan menunjukkan pelepasan
berkepanjangan, bahkan setelah masukan serat aferen C telah berhenti.
2. Ekspansi lapangan reseptor. Neuron dorsal meningkatkan bidang reseptif mereka
sehingga neuron yang berdekatan menjadi responsif terhadap rangsangan (entah
berbahaya atau tidak) yang sebelumnya tidak responsif.
3. Hiperexcitability refleks fleksi. Peningkatan refleks fleksi diamati baik secara
ipsilateral dan kontralateral. Mediator neurokimia dari sensitisasi sentral meliputi zat
P, CGRP, peptida intestinal vasoaktif (VIP), cholecystokinin (CCK), angiotensin, dan
galanin, serta asam amino rangsang l-glutamat dan l-aspartat. Zat ini memicu
perubahan pada rangsangan membran dengan berinteraksi dengan reseptor membran
protein G pada neuron (Gambar 47-5). Glutamat dan aspartat memainkan peran penting
dalam angin, melalui aktivasi mekanisme N-methyl-d-aspartate (NMDA) dan
mekanisme reseptor lainnya, dan dalam induksi dan pemeliharaan sensitisasi sentral.
Aktivasi reseptor NMDA juga menginduksi sintetase nitrat oksida, meningkatkan
pembentukan oksida nitrat. Baik prostaglandin dan oksida nitrat memfasilitasi
pelepasan asam amino eksitasi di sumsum tulang belakang. Dengan demikian,
penghambat COX seperti ASA dan NSAID memiliki tindakan analgesik yang penting
di sumsum tulang belakang.

B. Penghambatan
Transmisi masukan nociceptive di sumsum tulang belakang dapat dihambat oleh
aktivitas segmental di jalur itu sendiri, dan juga oleh penurunan aktivitas saraf dari
pusat supraspinal.
1. Hambatan segmentasi - Tekanan serat aferen besar yang menginduksi sensasi
menghambat aktivitas neuron WDR dan aktivitas spinotalamik. Selain itu, pengaktifan
rangsangan berbahaya di bagian tubuh yang tidak bersebelahan menghambat neuron
WDR di tingkat lain, yang mungkin menjelaskan mengapa rasa sakit di satu bagian
tubuh menghambat rasa sakit di bagian lain. Kedua fenomena ini mendukung teori
"gerbang" untuk pemrosesan nyeri di sumsum tulang belakang. Glycine dan γ-
aminobutyric acid (GABA) adalah asam amino yang berfungsi sebagai inhibitor
neurotransmiter dan kemungkinan memainkan peran penting dalam penghambatan
segmental nyeri pada sumsum tulang belakang. Antagonisme glisin dan GABA
menghasilkan fasilitasi neuron WDR yang kuat dan menghasilkan allodynia dan
hiperestesi. Ada dua subtipe reseptor GABA: GABA A, yang muscimol adalah agonis,
dan GABA B, dimana baclofen adalah agonis. Hambatan segmentasi tampaknya
dimediasi oleh aktivitas reseptor GABA B. Reseptor GABA A berfungsi sebagai
saluran Cl, dan benzodiazepin mengaktifkan saluran ini. Aktivasi reseptor glisin juga
meningkatkan konduktansi-Cl melintasi membran sel neuron. Tindakan glisin lebih
kompleks daripada GABA, karena yang pertama juga memiliki efesien fisiologis
(resitasi) pada reseptor NMDA. Adenosin juga memodulasi aktivitas nociceptive di
tanduk dorsal. Setidaknya dua reseptor diketahui: A 1, yang menghambat adenil siklase,
dan A2, yang merangsang adenil siklase. Reseptor A 1 memediasi aksi antinosenepsi
adenosin. Methylxanthines dapat membalikkan efek ini melalui penghambatan
phosphodiesterase.
2. Hambatan supraspinal - Beberapa struktur supraspinal mengirim serat ke sumsum
tulang belakang untuk menghambat rasa sakit pada tanduk dorsal. Situs penting asal
untuk jalur turun ini meliputi periaqueductal gray, reticular formation, dan nucleus
raphe magnus (NRM). Stimulasi daerah abu-abu periaqueductal di otak tengah
menghasilkan analgesia luas pada manusia. Akson dari traktus ini bertindak secara
presynaptis pada neuron primer dan secara postynaptically pada neuron orde kedua
(atau interneuron). Jalur ini memediasi tindakan antinokokus mereka melalui
mekanisme reseptor α2-adrenergik, serotonergik, dan opiat (μ, δ, dan κ). Peran dari
Monoamina dalam penghambatan rasa sakit menjelaskan efikasi analgesik
antidepresan yang menghalangi reuptake katekolamin dan serotonin. Jalur adrenergik
penghambat berasal terutama dari daerah abu-abu periaqueductal dan formasi retikuler.
Norepinephrine memediasi aksi ini melalui aktivasi reseptor α2 presinaptik atau
postinaptik. Setidaknya sebagian penghambatan turun dari abu-abu periaqueductal
pertama-tama disampaikan ke NRM dan formasi reticular meduler; Serotonergik serat
dari NRM kemudian relay inhibisi ke tanduk tanduk neuron melalui funiculus
dorsolateral.

PATOFISIOLOGI NYERI KRONIK

Nyeri kronis bisa disebabkan oleh kombinasi mekanisme perifer, sentral, dan
psikologis. Sensitisasi nociceptors memainkan peran utama dalam asal rasa sakit yang
terkait dengan mekanisme perifer, seperti gangguan muskuloskeletal dan viseral kronis.
Nyeri neuropatik melibatkan mekanisme saraf pusat dan pusat yang kompleks dan
umumnya terkait dengan lesi saraf perifer sebagian atau keseluruhan, ganglia akar
dorsal, akar saraf, atau lebih struktur sentral (Tabel 47-5). Mekanisme periferal
mencakup pelepasan spontan; sensitisasi reseptor terhadap rangsangan mekanis,
termal, dan kimia; dan up-regulasi reseptor adrenergik. Peradangan saraf mungkin juga
ada. Pemberian anestesi lokal dan antikonvulsan secara sistemik telah ditunjukkan
untuk menekan serentetan spontan neuron yang peka atau trauma. Pengamatan ini
didukung oleh khasiat agen seperti lidocaine, mexiletine, dan carbamazepine pada
banyak pasien dengan nyeri neuropatik. Mekanisme sentral meliputi hilangnya
penghambatan segmental, wind up dari neuron WDR, pelepasan spontan pada sel-sel
saraf yang terhapus, dan reorganisasi koneksi saraf.

Sistem saraf simpatik tampaknya memainkan peran utama pada beberapa pasien
dengan nyeri kronis. Khasiat blok saraf simpatik pada beberapa pasien ini mendukung
konsep nyeri yang simpatik. Gangguan yang menyakitkan yang sering merespons blok
simpatis termasuk sindrom nyeri regional yang kompleks, perbedaan sindrom karena
avulsion atau amputasi saraf, dan neuralgia postherpetik. Namun, teori sederhana
tentang aktivitas simpatik yang meningkat yang mengakibatkan vasokonstriksi, edema,
dan hiperalgesia gagal menjelaskan fase hangat dan eritematosa yang diamati pada
beberapa pasien. Demikian pula, pengamatan klinis dan eksperimental tidak secara
memuaskan mendukung teori transmisi ephaptic antara serabut rasa sakit dan serat
simpatik yang terdilisiasi. Mekanisme psikologis atau faktor lingkungan jarang
merupakan satu-satunya mekanisme untuk nyeri kronis namun biasanya terlihat dalam
kombinasi dengan mekanisme lain (Tabel 47-6).
1.4 DAMPAK SISTEMIK NYERI
RESPONS SISTEMIK NYERI AKUT
Nyeri akut biasanya terkait dengan respons stres neuroendokrin yang sebanding
dengan intensitas nyeri. Jalur rasa sakit yang memediasi cabang aferen. Cabang eferen
dimediasi oleh sistem syaraf simpatik dan endokrin. Aktivasi simpatis meningkatkan
tonus simpatik eferen pada semua viscera dan melepaskan Katekolamin dari medula
adrenal. Respon hormonal berasal dari tonus simpatik yang meningkat dan dari refleks
yang dimediasi secara hipotalamus. Nyeri akut sedang sampai parah, terlepas dari
lokasinya, dapat mempengaruhi fungsi hampir setiap organ dan dapat mempengaruhi
morbiditas dan mortalitas perioperatif.
A. Efek kardiovaskular
Efek kardiovaskular sering terjadi dan hipertensi, takikardia, peningkatan iritabilitas
miokard, dan peningkatan resistensi vaskular sistemik. Curah jantung meningkat pada
kebanyakan pasien normal namun dapat menurun pada pasien dengan fungsi ventrikel
yang terganggu. Karena meningkatnya kebutuhan oksigen miokard, rasa sakit bisa
memperburuk atau memicu iskemia miokard.

B. Efek Pernapasan
Peningkatan konsumsi oksigen tubuh total dan produksi karbon dioksida memerlukan
peningkatan ventilasi menit yang bersamaan. Yang terakhir ini meningkatkan kerja
pernafasan, terutama pada pasien dengan penyakit paru-paru yang mendasarinya. Nyeri
akibat sayatan abdominal atau toraks lebih lanjut mengganggu fungsi paru . Penurunan
gerakan dinding dada mengurangi volume tidal dan kapasitas residu fungsional; ini
menyebabkan atelektasis, shunting intrapulmoner, hipoksemia, dan, yang kurang
umum, hipoventilasi. Pengurangan kapasitas vital mengganggu batuk dan pembersihan
sekresi. Terlepas dari lokasi nyeri, istirahat di tempat tidur lama atau imobilisasi dapat
menghasilkan perubahan fungsi paru yang serupa.

C. Efek Gastrointestinal dan Urin


Tonus simpatik meningkatkan tonus sfingter dan menurunkan motilitas usus dan
kemih, menyebabkan ileus dan retensi urin. Hipersekresi asam lambung dapat
meningkatkan stres ulserasi dan memperburuk konsekuensi aspirasi paru. Mual,
muntah, dan konstipasi sering terjadi.

D. Efek Endokrin
Stres meningkatkan hormon katabolik (katekolamin, kortisol, dan glukagon) dan
menurunkan hormon anabolik (insulin dan testosteron). Pasien berkembang menjadi
keseimbangan nitrogen negatif, intoleransi karbohidrat, dan peningkatan lipolisis.
Peningkatan hormon kortisol, renin, angiotensin, aldosteron, dan antidiuretik
menghasilkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruang
ekstraselular.

E. Efek Hematologis
Stres yang dimediasi meningkatkan adhesi platelet, fibrinolisis berkurang, dan
hiperkoagulabilitas telah dilaporkan.

F. Efek Kekebalan Tubuh


Respon stres neuroendokrin menghasilkan leukositosis dan telah dilaporkan menekan
sistem retikuloendotelial. Yang terakhir ini predisposisi pasien terhadap infeksi.
Stimulus terkait stres juga dapat meningkatkan pertumbuhan tumor dan metastasis.

G. Efek Psikologis
Kecemasan dan gangguan tidur merupakan reaksi umum terhadap nyeri akut. Dengan
durasi nyeri yang lama, depresi tidak biasa. Beberapa pasien bereaksi dengan frustrasi
dan marah yang mungkin ditujukan pada keluarga, teman, atau staf medis.

RESPONS SISTEMIK NYERI KRONIK


Respon stres neuroendokrin umumnya hanya diobservasi pada pasien dengan nyeri
berulang yang parah karena mekanisme perifer (nociceptive) dan pada pasien dengan
mekanisme sentral yang menonjol seperti nyeri yang berhubungan dengan paraplegia.
Hal ini dilemahkan atau tidak ada pada sebagian besar pasien dengan nyeri kronis.
Gangguan tidur dan gangguan afektif, terutama depresi, seringkali menonjol. Banyak
pasien juga mengalami perubahan signifikan pada nafsu makan (kenaikan atau
penurunan) dan tekanan pada hubungan sosial.

1.5 PENILAIAN DAN EVALUASI NYERI


EVALUASI PASIEN DENGAN NYERI KRONIK
Evaluasi pasien dengan nyeri harus mencakup beberapa komponen kunci.
Informasi tentang lokasi, onset, dan kualitas rasa sakit, serta faktor pengurang dan
perburuk, harus diperoleh, disertai dengan riwayat nyeri yang mencakup terapi
sebelumnya dan perubahan gejala dari waktu ke waktu.
Selain gejala fisik, nyeri kronis biasanya melibatkan komponen psikologis yang harus
diatasi juga. Kuesioner, diagram, dan skala nyeri adalah alat yang berguna untuk
membantu pasien menggambarkan secara tepat karakteristik rasa sakit mereka dan
bagaimana hal itu mempengaruhi kualitas hidup mereka. Informasi yang dikumpulkan
selama pemeriksaan fisik dapat membantu membedakan lokasi nyeri, tipe, dan sekuele
sistemik, jika ada. Studi pencitraan seperti radiograf polos, computed tomography
(CT), magnetic resonance imaging (MRI), dan pemindaian tulang sering menunjukkan
penyebab fisiologis. Semua komponen diperlukan untuk evaluasi pasien nyeri secara
menyeluruh sebelum menentukan pilihan pengobatan yang tepat.

PENGUKURAN NYERI
Ketepatan tingkat keparahan nyeri yang dapat diandalkan membantu
menentukan intervensi terapeutik dan mengevaluasi keefektifan perawatan. Ini adalah
tantangan, bagaimanapun, karena rasa sakit adalah pengalaman subyektif yang
dipengaruhi oleh variabel psikologis, budaya, dan variabel lainnya. Definisi yang jelas
diperlukan, karena rasa sakit mungkin dijelaskan dalam hal kerusakan jaringan atau
reaksi fisik atau tubuh.
Skala penilaian numerik, skala penilaian Wong-Baker FACES, skala analog
visual (VAS), dan McGill Pain Questionnaire (MPQ) paling sering digunakan. Dalam
skala numerik, 0 sesuai dengan tidak ada rasa sakit dan 10 dimaksudkan untuk
mencerminkan rasa sakit yang paling mungkin terjadi. Skala nyeri Wong-Baker
FACES, dirancang untuk anak-anak berusia 3 tahun ke atas, berguna pada pasien
dengan siapa komunikasi mungkin sulit dilakukan. Pasien diminta untuk menunjukkan
berbagai ekspresi wajah mulai dari wajah yang tersenyum (tanpa rasa sakit) hingga
orang yang sangat tidak bahagia yang mengungkapkan rasa sakit yang paling mungkin
terjadi. VAS adalah garis horizontal 10 cm yang diberi label "tidak sakit" di salah satu
ujung dan "rasa sakit terburuk yang bisa dibayangkan" di ujung sana. Pasien diminta
untuk menandai jalur ini dimana intensitas rasa sakitnya terletak. Jarak dari "tidak
sakit" ke tanda pasien secara numerik mengkuantifikasi rasa sakit. VAS adalah metode
sederhana dan efisien yang berkorelasi dengan baik dengan metode terpercaya lainnya.
MPQ adalah daftar kata-kata yang menggambarkan gejala. Tidak seperti metode
penilaian rasa sakit lainnya yang mengasumsikan rasa sakit itu satu dimensi dan
menggambarkan intensitas namun tidak berkualitas, usaha MPQ untuk menentukan
rasa sakit dalam tiga dimensi utama:
(1) jalur sensorik-diskriminatif (jalur nociceptive),
(2) struktur motivasional-afektif (struktur retikular dan limbik), dan
(3) kognitif evaluatif (korteks serebral).
Ini berisi 20 set kata deskriptif yang terbagi dalam empat kelompok besar: 10
indrawi, 5 afektif, 1 evaluatif, dan 4 lainnya. Pasien memilih alat yang sesuai dengan
rasa sakitnya dan mengitari kata-kata di setiap rangkaian yang paling tepat
menggambarkan rasa sakitnya. Kata-kata di setiap kelas diberi rangking sesuai dengan
tingkat keparahan rasa sakit. Indeks penilaian rasa sakit diturunkan berdasarkan kata-
kata yang dipilih.

EVALUASI PSIKOLOGIS
Evaluasi psikologis berguna bila evaluasi medis gagal mengungkapkan
penyebab nyeri yang nyata, ketika intensitas nyeri, karakteristik, atau durasi tidak
proporsional terhadap penyakit atau cedera, atau saat depresi atau masalah psikologis
lainnya tampak jelas. Jenis evaluasi ini membantu menentukan peran faktor psikologis
atau perilaku. Tes yang paling umum digunakan adalah Minnesota Multiphasic
Personality Inventory (MMPI) dan Beck Depression Inventory.
MMPI adalah kuesioner true-false 566-item yang mencoba untuk
mendefinisikan kepribadian pasien pada 10 skala klinis. Tiga skala validitas berfungsi
untuk mengidentifikasi pasien dengan sengaja mencoba menyembunyikan sifat atau
mengubah hasilnya. Perbedaan budaya bisa mempengaruhi skor. Selain itu, tes ini
panjang dan beberapa pasien menemukan pertanyaannya yang menghina. MMPI
digunakan terutama untuk mengkonfirmasi kesan klinis tentang peran faktor
psikologis; Tidak dapat dipercaya membedakan antara nyeri "organik" dan
"fungsional".
Depresi sangat umum pada penderita sakit kronis. Seringkali sulit untuk
menentukan kontribusi relatif depresi terhadap penderitaan yang berhubungan dengan
rasa sakit. The Beck Depression Inventory adalah tes yang berguna untuk
mengidentifikasi pasien dengan depresi berat.
Beberapa tes telah dikembangkan untuk menilai keterbatasan fungsional atau
gangguan (cacat). Ini termasuk Multidimensional Pain Inventory (MPI), Survei Hasil
Medis 36-Item Short Form (SF-36), Indeks Kecacatan Nyeri (PDI), dan Oswestry
Disability Index (ODI).
Gangguan emosional umumnya terkait dengan keluhan sakit kronis, dan nyeri
kronis sering mengakibatkan berbagai tingkat tekanan psikologis. Penentuan yang
datang lebih dulu seringkali sulit. Dalam kedua kasus, baik rasa sakit dan tekanan
emosional perlu diobati. Tabel 47-7 mencantumkan gangguan emosional di mana
pengobatan harus diarahkan terutama pada gangguan emosional.

Derajat Nyeri
Berbagai cara dipakai untuk mengukur derajat nyeri, cara yang sederhana
dengan menentukan derajat nyeri secara kualitatif sebagai berikut :
1. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan
aktivitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu, yang hanya
hilang apabila penderita tidur.
3. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,
pendeita tidak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri waktu tidur.
Pada saat ini banyak yang menentukan derajat nyeri secara semi-kuantitatif dengan
menggunakan penggaris yang diberi angka pada skala 0 yang berarti tidak nyeri sampai
10 untuk nyeri yang maksimal. Cara ini popular disebut Numerical Rating Score (NRS).
Disini secara subyektif penderita diberi penjelasan terlebih dahulu bahwa bila tidak ada
nyeri diberi angka 0, sedang nyeri terhebat yang tak tertahankan lagi diberi angka 10.
Kemudian penderita diminta menentukan derajat nyerinya dalam cakupan 0 sampai 10.
Untuk mempermudah biasanya disodorkan gambar skala dari 0-10 pada penderita
untuk diminta menentukan tempat derajat nyeri yang dideritanya.

Cara lain yang sudah popular terlebih dahulu adalah mempergunakan Visual
Analogue Scale.
Walaupun menilai nyeri merupakan hal yang sangat subyektif, penderitaan
nyeri pasien perlu dievaluasi secara berkala.

1.6 PENANGANAN NYERI

Prinsip Umum Penatalaksanaan Nyeri


Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus
memahami tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan nyeri
ini terdapat prinsip-prinsip umum yaitu :
1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama
2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-
besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil.
Pendekatan Farmakologik
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic
Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri
dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non
opioid.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan
obat opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga,
disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk
nyeri kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1

Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat
pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-masing
taraf penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik,
memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai
obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.
Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling sering digunakan. Terdapat
tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid dan antagonis
dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut adjuvan atau
koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-obat analgesik harus
digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada pula mengatasi nyeri secara
terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan NSAID, bila pada proses transmisi
diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses modulasi diberikan narkotik.

Intervensi farmakologi dalam management nyeri meliputi acetaminophen,


cyclooxygenase (COX) inhibitor, golongan opioid, antidepresan, agen-agen
neuroleptic, anti konvulsan, kortikosteroid hingga anestesi lokal yang bersifat sistemik.

NON-OPIOID
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai sedang,
menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen (tylenol) dan OAINS.
Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek antipiretik, analgesik, dan anti
inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang sering digunakan adalah asam asetil
salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil). OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri
akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat
kanker ringan.
1. Acetaminophen

Acetaminophen (paracetamol) merupakan agen yang memiliki efek analgetik


dan antipiretik. Bentuknya dapat oral juga dapat intravena. Acetaminophen
menghambat sintesis prostaglandin namun tidak begitu signifikan dalam menghambat
aktivitas antiinflamasi. Acetaminophen memiliki efek-efek, dan pada dosis tinggi
dapat menjadi hepatotoxic. Dosis maksimal hairan untuk dewasa adalah 3000mg/d.
Toksisitas obat ini dapat meningkat dengan penggunaan isoniazid, zidovudine dan
barbiturat.

2. Non steroid anti-inflammatory drugs (NSAID)

Analgetik orak non-opioid meliputi salisilat, acetaminophen dan NSAID.


NSAID menghambat sintesis prostaglandin (COX). Prostaglandin merangsang input
nociceptor dan memblok sintesis rasa nyeri sehingga mengakibatkan efek analgesia,
antipiretik dan antiinflamasi yang merupakan karakteristik dari NSAID. Terdapat 2 tipe
COX. COX 1 bersifat lebih umum dan tersebar di semua badan namun COX 2 hanya
terekspresikan bila terdapat inflamasi. Banyak tipe nyeri, salahsatunya nyeri setelah
operasi tulang dan ginekologi dan berespon baik terhadap COX inhibitor. COX
inhibitor memiliki peran penting dalam sistem nervus sentral dan perifer. COX 2
inhibitor selektif (celecoxib) memiliki toksisitas lebih rendah terutama efek samping
gastrointestinal. Namun COX 2 inhibitor tidak dapat menangani agregasi platelet.
Contohnya adalah Rofecoxib yang meningkatkan resiko kardiovaskular, dan sudah
ditarik dari pasaran Amerika Serikat.

Semua analgetik oral non opioid dapat diserap di usus. Makanan membuat
penyerapan lebih lama namun tidak memiliki efek dalam bioavilabilitas. Dosisnya
harus dikurangi atau dipilih medikasi alternative lainnya pada pasien dengan gangguan
hepar dan ginjal.

Efek samping paling umum dari aspririn (asam asetilsalisilat) dan NSAID
lainnya adalah nyeri perut, rasa terbakar di dada, mual, dyspepsia; beberapa pasien
mengalami ulkus mukosa gaster karena inhibisi prostaglandin yang memediasi mucus
dan sekresi bikarbonat. Diklofenak tersedia baik dalam sediaan oral maupun gel topical
atau patch (untuk mengurangi efek samping lambung).

Efek lainnya NSAID adalah pusing, dan nyeri kepala. Semua COX inhibitor
kecuali COX 2 inhibitor selektid merangsang disfungsi platelet. Aspirin dapat
mengacaukan platelet, menghambat penempelan platelet untuk 1-2 minggu, sehingga
efek antiplatelet dari NSAID lainnya dapat bertahan 1-6 hari. NSAID dapat
menyebabkan bronkospasme pada pasien polip nasal, rhinitis dan asma. NSAID juga
dapat menyebabkan insufisiensi renal akut terutama pada pasien disfungsi renal.

Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau


toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis melebihi kadar
tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang tersering berkaitan dengan
pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu pendarahan,
pengelihatan kabur, perubahan minor uji fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati, dan
berkurangnya fungsi ginjal.
3. Antidepresan

Antidepresan sangat berguna pada pasien dengan neuropathic pain. Medikasi


ini dapat menghasilkan efek analgetik dengan dosis lebih rendah dari yang dibutuhkan
untuk mencapai efek antidepresan, dan ini semua akibat blockade dari re-uptake
serotonin dan norepinephrine di presinaps. Agen trisiklik lainnya juga lebih efektif
menghasikan efek analgetik daripada golongan SSRI . Antidepresan berpotensi yang
sama dengan opioid dan dapat membantu membuat normal pola tidur.
Semua obat antidepresan melalui metabolisme hepar dengan tingginya ikatan
protein. Efek samping yang dihasilkan meliputi efek antimuskarinik (mulut kering,
pengelihatan ganda, retensi urin dan konstipasi), anti histamine (sedasi dan
meningkatnya pH lambung), blockade alfa adrenergic (hipotensi orthostatic).

4. Neuroleptik

Obat neuroleptic biasanya berguna untuk pasien dengan nyeri neuropati


refrakter dan berguna untuk pasien dengan agitasi atau gejala psikotik. Yang paling
umum digunakan adalah flufenazin, haloperidol, chlorpromazine, dna perphenazine.
Mereka dapat memblokade reseptor dopaminergic di bagian mesolimbic area. Namun,
hal yang sama akan terjadi di jalur nigrostriatal dan mengakibatkan munculnya efek
samping ekstrapiramidal seeperti masklike facies, festinating gait, cogwheel rigidity
dan bradikinesia. Efek samping jangka panjang berupa akathisia dan tardive
dyskinesia . Sama seperti antidepresan, kebanyakan obat ini memiliki efek
antihistamin, antimuskarinik dan alfa adrenergic blocker.

5. Antispasmodik dan Muscle Relaxant


Antispasmodik berguna untuk pasien dengan kaku/kram otot dan nyeri yang
berkaitan dengan spasme atau kontraktur. Tizanidine merupakan alfa 2 adrenergik
agonis yang digunakan untuk mengobati spasme otot dalam multiple sclerosis, low
back pain. Cyclobenzaprin juga efektif utntuk kondisi tersebut namun mekanisme nya
belum diketahui.

Baclofen, GABA agonis efektif untuk mengobati spasme otot yang berkaitan
dengan multiple sklerisis atau spinal cord injury akibat infus intratrakheal.

6. Kortikosteroid

Glucocotrticoids digunakan untuk management nyeri dengan mengandalkan


efek antiinflamasi dan efek analgetiknya. Bisa diberikan topical, oral maupun
parenteral (intravena, subkutan, intrabursal, intraarticular, epidural). Masing-masing
obat berbeda dalam porensinya dan durasinya hingga mencapai efek yang diinginkan.(
duration of action). Dosis yang besar atau penggunan yang lama dapat menimbulkan
efek samping yang signifikan. Kadar glucocorticoid yang berlebih dapat menyebabkan
hipertensi, hiperglikemia, infeksi, ulkus peptikum, osteoporosis, nekrosis aseptic pada
head femur, katarak dan psikosis namun jarang). Pasien dengan diabetes dapat
menimbulkan meningkanya kadar gula darah seteelah injeksi kortikosteroid. Pasien
juga dapat mengalami cuhsing’s syndrome. Kadar mineralkortikoid yang tinggi dapat
menyebabkan retensi sodium dan hypokalemia.

Kebanyakan preparat kortikosteroid merupakan suspensi daripada solution. Hal


ini dapat meningkatkan resiko neural damage ketika ada hambatan arterial saat injeksi
arterial terjadi. Karena relative keclnya partikel suspense, dexamethasone menjadi
kortikosteroid pilihan untuk prosedur injeksi yang melibatkan area vascular, misalnya
kepala dan leher.
7. Antikonvulsan

Obat antikonvulsan berguna untuk


pasien dengan nyeri neuropati, terutama
trigeminal neuralgia dan neuropati diabetik.
Antikonvulsan akan memblok pintu kalsium
atau sodium channel. Obat umum yang
digunakan adalah fenitoin, carbamazepine,
asam valproate, clonazepam, dan gabapentin.

8. Anestesi Lokal

Infus sistemik dari anestesi lokal menghasilkan efek sedasi dan analgesia
sentral, biasanya digunakan untuk pasien dengan nyeri neuroleptic. Lidocaine, procaine
dan chloroprocaine adalah obat yang paling umum digunakan. Obat-obat tersebut dapat
diberikan secara bolus perlahan datau menggunakan drip infus. Lidocaine diberikan via
infus sekitar 5-30 menit dari total 1-5mg/kg. Procaine, 200-400 mg dan dapat diberikan
intravena. Chloroprocaine (1%solution) dimasukan kedalam infus dengan dosis 1
mg/kg/min untuk total 10-20mg/kg. Monitoring menggunakan data ekg, tekanan darah,
respirasi, saturasi oksigen, status mental beserta peralatan resusitasi lengkap. Tanda-
tanda toksisitas seperti tinnitus, sedasi terlalu dalam, nistagmus dapat diatasi dengan
memperlambat atau menghentikan infus yang berisi anestesi lokal untuk mencegah
perkembangan toksisitas menjadi kejang.

9. Alfa -2 Adrenergic Agonist

Obat ini dapat dimasukan secara epidural dan intrathecal dan efektif untuk
mengobati nyeri neuropati dan pasien dengan toleransi opioid. Clonidine dosis oral
adalah 0,1-0,3 mg/d. Jika digunakan bersamaan dengan anestesi lokal atau opioid dalan
epidural maupun intrathecal infusion, clonidine dapat menghasilkan efek sinergik dan
memperpanjang efek anlesik, terutama untuk nyeri neuropati.

OPIOID

Obat yang paling umum diresepkan oral adalah codein, oxycodone an


hydrocodone. Obat-obatan tersebut mudah diserap, namun melewati jalur hepar
dan mengalami metabolisme disana, sebelum pada akhirnya dieliminasi di ginjal
seperti layaknya opioid lainnya. Berbeda dengan NSAID yang bekerja di perifer,
morfin menimbulkan efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid
telah semakin jelas sejak penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem
limbik, talamus, PAG, substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid
endogen seperti morfin menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid
dengan cara serupa dengan opioid endogen (endorfin-enkefalin); yaitu morfin
memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor
opioid di nukleus modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada
sistem-sistem desenden yang menghambat nyeri.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu,
semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan
(adiksi). Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan
dalam jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi
silang yang cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete.
Misalnya codein, tramadol, morfin solutio.
Codein dirubah oleh hepar menjadi morfin. Efek samping dari penggunaan opioid
oral sama dengan opioid sistemik lain. Jika diminum secara tertatur dapat membuat
feses menjadi lebih lunak dan kadang dibutuhkan laxadyn. Tramadol merupakan
opioid sistemik oral yang memblok reuptake neuronal dari norepinephrine dan
serotonin. Efisiensi nya sama dengan kombinasi kodein dengan acetaminophen
namun, tidak seperti yang lainnya, tramadol lebih memiliki efek samping lebih
rendah pada depresi nafas dan memiliki sedikit efek dalam pengosongan lambung.

Nyeri kanker tipe sedang hingga berat biasanya diatasi dengan immediate-
release morfin seperti Roxanol 10-30mg tiap 1-4 jam. Oral transmucosal fentanyl
juga dapat digunakan untuk mengatasi nyeri. Sedasi yang berlebih dapat diatasi
dengan dextroamfetamin atau methylphenidate, 5 mg pada pagi hari dan 5 mg siang
hari. Mual dapat diatasi dengan metoclopramide. Hydromorphone merupakan
alternative yang baik pengganti morfin untuk pasien lanjut usia dan pada pasien
dengan gangguan ginjal karena efek samping yang lebih rendah.

Pasien yang mengalami toleransi opioid membutuhkan dosis opioid lebih


banyak untuk menghasilkan efek analgetik yang sama. Ketergantungan terjadi bila
dosis penggunaakn opioid secara signifikan langsung diturunkan atau tidak
dilanjutkan secara mendadak. Hal ini dapat ditandai dengana danya ‘craving’
namun jarang pada pasien kanker. Ketika terjadi fase withdrawl, dapat digantikan
dengan antagonis opioid yang tidak melewati sawar darah-otak seperti
methylnaltrexone dan alvimopan yang mengurangi efek samping sistemik tanpa
signifikan mempengaruhi efek analgetik.
Antagonis dan agonis-antagonis opioid
Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan
mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu
antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.
Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang
paling serius adalah depresi nafas dan sedasi.
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti pentazosin
(talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang bergantung
pada narkotik, maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus obat. Agonis-
antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih
kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan
(misalnya depresi pernafasan) dibandingkan dengan antagonis opioid murni.

A. Opioid Parenteral

Rute opioid intravena, intraspinal (epidural atau intrathecal) atau transdermal


digunakan bila pasien gagal untuk merespon regimen oral. Namun pada pasien yang
mengalami peningkatan rasa nyeri yang signifikan , penting untuk re-evaluasi
pasien dalam hal diagnosis nyeri dan progresifitas penyakit. Pada pasien kanker,
terapi operasi, radiasi, kemoterapi, terapi hormonal dan neurolisis mungkin dapat
membantu. Opioid intramuscular kurang optimal karena absorbs sistemik yang
bervariasi.

B. Opioid Intra Vena

Terapi opioid parenteral akan maksimal bila dibarengi dengan penggunaan


intravena infus. Alat infus portable memiliki patient-controlled analgesia (PCA)
yang memungkinkan paisen untuk self-treat dari rasa nyeri yang dirasa.

C. Opioid Spinal

Kegunaan opioid intraspinal adalah sebagai alternative yang baik bagi pasien
yang nyeri nya tidak pulih dengan teknik analgesia lain, atau bagi pasien yang
memiliki efek samping yang tidak dapat diatasi. Epidural dan intrathecal opioid
memulihkan nyeri dengan dosis opioid lebih rendah dan lebih sedikit / minimal
efek sampingnya. Kateter epidural/intrathecal dapat dipasang perkutan atau
ditanam untuk menghasilkan pulihnya rasa nyeri jangka panjang.
Masalah paling banyak ditemui dalam intrathecal opioid adalah toleransi.
Karena itu, terapi ajuvan mungkin dibutuhkan termasuk anestesi lokal atau
campuran opioid dengan anestesi lokal (bupivacaine atau ropivacaine 2-24 mg/d),
clonidine (2-4 mcg/kgBB/h atau 48-800 mcg/d)Clonidine berguna untuk nyeri
neuropatik. Pada dosis tinggi dapat membuat hipotensi dan bradikardi.

Komplikasi dari opioid spinal adalah infeksi lokal pada kulit, abses epidural,
meningitis dan kematian. Infeksi di permukaan dapat diturunkan dikurangi dengan
penggunaan silver –imperegnated cuff untuk menutup tempat keluarnya.
Komplikasi lain seperti epidural hematoma dan depresi nafas. Depresi nafas karena
overdosis spinal opioid dapat diobati dengan menurunkan tetesan infus paling
rendah dan memasukan naloxone intravena kedalam infus.

D. Transdermal Fentanyl

Transdermal fentanyl digunakan sebagai alternative dari sustaind-release


morfin oral. Biasanya dalam 1 patch terdapat dosis fentanyl 10mg yang
menghasilkan difusi transdermal yang lebih besar. Sediaan patch nya bermacam-
macam (25, 50, 75 dan 100 mcg/h untuk 2-3 hari). Patch paling besar setara dengan
60mg/d morfin intravena. Hambatan utama dalam absorbs fentanyl adalah melalui
stratum korneum kulit. Sediaan rute transdermal juga menghinddari metabolism
hepar.

MULTIMODAL ANALGESIA

Multimodal analgesia digunakan untuk mengkombinasikan beberapa golongan


obat yang memiliki mekanisme farmakologi yang berbeda maupun mengkombinasikan
efek yang sama untuk mengkontrol faktor-faktor yang akan mengakibatkan munculnya
rasa nyeri setelah operasi. Beberapa pendekatan memungkinkan untuk mencapai efek
analgetik, namun juga menurunkan dosis analgetik dan efek sampingnya. Hal ini sering
meliputi teknik analgetik regional seperti local anaestetik wound infusion, epidural
analgesia, atau peripheral nerve block.
1. NSAIDs

Penambahan NSAID ke dalam penggunaan opioid sistemuk untuk


menghilangkan intensitas nyeri pasca operasi, menurunkan kebutuhan opioid hingga
30% dan menurunkan efek samping opioid seperti PONV dan sedasi. Namun NSAIDs
dapat meningkatkan resiko gastrointestinal dan perdarahan pasca operasi, menurunkan
fungsi ginjal dan meningkatkan resiko bocornya anastomosis setelah operasi colorectal,
serta memperlambat penyembuhan lukanya.

Cyclooxygenase-2 (COX 2) inhibitor yang dimasukan saat operasi berlangsung


dapat menurunkan nyeri pasca operasi dan menurunkan kebutuhan opioid serta efek
sampingnya. Selain itu juga dapat menurunkan disfungsi platelet, perdarahan
gastrointestinal yang dihasilkan oleh NSAIDs. Namun kekurangannya adalah untuk
keamanan pasien yang memiliki gangguan kardiovaskular maupun pasien yang
menjalani operasi kardiovaskular, terutama penggunaan rofecoxib dan valdecoxib.
2. Acetaminophen (paracetamol)

Oral, rektal dan parenteral merupakan sediaan umum acetaminophen dalam


multimodal analgesia. Efek analgesic dari acetaminophen lebihr endah 20-30% dari
NSAIDs namun penggunaannya lebih aman. Efek analgetiknya bertambah jika
penggunaan dibarengi dengan NSAIDs dan secara signifikan dapat menurunkan
intensitas nyeri juga menurunkan konsumsi opioid setelah operasi orthopedic maupun
operasi abdomen. Namun acetaminophen tidak dapat menurunkan efek samping opioid.
Penggunaan acetaminophen dikombinasikan dengan regional anestesi memungkinkan
NSADs dan COX-2 inhibitor digunakan sebagai pilihan pengganti untuk mengkontrol
nyeri yang muncul kembali dan membatasi insiden efek samping dari NSAID.

3. Opioid
Walaupun penggunaan analgetik non opioid, terapi adjuvant dan anestesi
regional dapat menurunkan efek samping yang dhiashilkan opioid, penggunaan opioid
sistemik masih sering digunakan untuk managemen nyeri operasi. Opioid parenteral
digunakan pasca operasi selama fase trasnsisional ke analgetik oral. Penggunaan opioid
menghasilkan kontrol nyeri yang lebih baik, kepuasan pasien yang lebih. Opioid oral
immediate-release dan controlled-resease oxycodone atau hidromorphone
dikombinasikan dengan NSAIDs atau acetaminophen atau keduanya digunakan
umumnya selama perioperative. Preoperatif dapat menggunakan extended-release
oxycodone untuk pasien yang akan menjalani operasi berdurasi singkat yang
membutuhkan konsentrasi plasma yang adekuat dan analgetik dalam cairan infusnya.
Tramadol, agonis opioid parsial dihubungkan dengan meningkatan insiden PONV.

4. Epidural Analgesia

Sebagai tambahan untuk menghasilkan analgetik yang memuaskan, epidural


block dapat membutakan respon stress selama operasi, mengurangi morbiditas pasca
operasi, dan mempercepat pemulihan fungsi pasca operatif. Dibandingkan dengan
sistemik opioid, epidural thoracic analgesia lebih statis dan dinamis dalam meredakan
rasa nyeri. Anestesi lokal jangka panjang seperti ropivacaine (0,2%), bupivacaine (0,1-
0,125%), dan levobupivacaine (0,1-0,125%) umum digunakan bersama dengan opioid
lipofilik dengan continuous epidural infusion atau PCEA (patient controlled epidural
analgesia). Memasukan dosis rendah anestetetic via epidural thoracic menghindari
blockade motoric ekstemitas bawah yang membuat proses pemulihan dan mobilisasi
pasca operasi lebih lama. Menambahkan fentanyl atau sufentanil ke epidural local
anesthestic membuat kualitas analgesia pasca operatif lebih baik tanpa memperlama
pemulihan fungsi usus.

5. Periveral Nerve Block

Periveral nerve block baik single shot maupun continuous merupakan cara cepat
pada pasien operasi orthopedic dan dapat meningkatkan pemulihan pasca operasi dan
kepuasan pasien. Opioid yang dimasukan dan memblok saraf sekitar dapat
meminimalisit resiko efek samping dari opioid. Periveral nerve block juga merupakan
komponen dari multimodial analgesia untuk operasi abdomen; contohnya transversus
abnominis plane (TAP) memblock pasien yang menjalani total abdominal
hysterectomy dan menghasilkan analgesia yang efektif dan menurunkan konsumsi
morfin dan sedasi jika dibandingkan dengan pasien yang menerima morfin tunggal via
PCA.

6. Local anesthetic wound infusion

Efisiensi alagetik lokal menggunakan wond infusion sudah digunakan pada


banyak tindakan operasi. Hasil dapat inkosisten karena faktor-faktor yang
mempengaruhi termasuk tipe, konsentrasi, dosis anestesi lokal, teknik pemasangan
kateter, tipe kateter, lokasi insisi dll.

Anda mungkin juga menyukai