Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

LARINGOMALASIA

Pembimbing :
dr. H. R. Krisnabudhi, Sp.THT-KL

Disusun Oleh :
Zaky Alfathu
0961050183

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN


PERIODE 20 JANUARI – 16 FEBRUARI 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2014
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Zaky Alfathu


NIM : 0961050183
Fakultas : Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorok
Diajukan : 12 Februari 2014
Judul : Laringomalasia

Cibinong, 12 Februari 2014


Pembimbing bagian Ilmu Telinga Hidung
Tenggorok RSUD Cibinong

dr. H.R Krisnabudhi, sp. THT –KL


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha esa atas berkat
dan rahmatNya, penulis mendapatkan kesempatan, sehingga referat Laringomalasia
ini bisa diselesaikan dengan tepat waktu.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong yang telah memberikan
kesempatan untuk mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik dan mempelajari
THT-KL di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong.
2. dr. H. R. Krisnabudhi, Sp.THT-KL, dokter pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan, kesempatan, dan pengajaran yang sangat berguna
bagi penulis dalam penulisan referat ini.
3. dr. Dadang Chandra, Sp. THT-KL, dokter pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan dalam mengikuti kepaniteraan
THT-KL di Rumah sakit Daerah Umum Cibinong.
4. dr. Martinus, perwakilan diklat Rumah Sakit Daerah Umum Cibinong yang
juga banyak memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan tentang THT-KL.
5. Ibu Yosephine, perawat di poli THT-KL yang telah banyak membantu dan
banyak memberikan saran-saran yang berguna bagi penulis dalam menjalani
kepaniteraan.
6. Keluarga dan teman-teman yang telah banyak membantu dan memberikan
dukungan dalam penulisan referat ini.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam referat ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat
memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut.

Cibinong, 12 Februari 2014


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………... i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………... ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………................. iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………….. 1
BAB II EMBRIOLOGI LARING…………………………………………………. 2
BAB III ANATOMI LARING…………………………………………………….. 4
BAB IV FISIOLOGI LARING…………………………………………………….6
BAB V LARINGOMALASIA…………………………………………………….. 9
2.1. DEFINISI………………………………………………………………… 9
2.2. EPIDEMIOLOGI……………………………………………………….... 9
2.3. ETIOLOGI……………………………………………………………….. 9
2.4. KLASIFIKASI LARINGOMALASIA…………………………………... 10
2.5. PATOFISIOLOGI………………………………………………………... 11
2.6. GAMBARAN KLINIS………………………………………………….... 13
2.7. DIAGNOSIS……………………………………………………………....14
2.8. DIAGNOSIS BANDING……………………………………………….... 16
2.9. PENATALAKSANAAN……………………………………………….... 16
2.10. PROGNOSIS…………………………………………………………..…. 17

BAB III RESUME…………………………………………………………………. 18


BAB VI DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 20
BAB I
PENDAHULUAN

Laringomalasia adalah kelainan kongenital pada laring berupa flaksiditas dan


inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan
epiglotis, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas yang menimbulkan
gejala utama berupa stridor inspiratoris kronik pada bayi dan anak. Laringomalasia
pertama kali diperkenalkan oleh Jackson pada tahun 1942 sebagai kelainan
kongenital laring yang paling sering ditemukan. Kelainan ini dapat hadir bersama
dengan trakeomalasia. 1,2
Pada penelitian Holinger pada 219 pasien dengan stridor, kelainan kongenital
pada laring menempati urutan pertama (60,3%) dan penyebab tersering keadaan
stridor pada neonatus, bayi dan anak-anak adalah laringomalasia (59,8%). Kejadian
laringomalasia pada laki-laki dua kali lebih banyak daripada perempuan.3
Biasanya, pasien dengan keadaan ini menunjukkan gejala pada saat baru
dilahirkan, dan setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara bertahap
berkembang stridor inspiratoris dengan nada tinggi dan kadang kesulitan dalam
pemberian makanan. Laringomalasia merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri,
yang mula-mula terjadi segera setelah kelahiran dan memberat pada bulan keenam,
serta membaik pada umur 12-18 bulan dan dapat bertahan sampai usia 4 tahun atau
masa anak-anak.2,3
Berdasarkan fakta bahwa laringomalasia menempati urutan kelainan
kongenital tersering pada neonatus, bayi dan anak-anak, maka diperlukan pemahaman
lebih lanjut, sehingga memudahkan kita untuk mengetahui diagnosis dini dan
penatalaksanaan mutakhir laringomalasia.
BAB II
EMBRIOLOGI LARING

Seluruh sistem pernafasan merupakan hasil pertumbuhan faring primitif. Pada


saat embrio berusia 3,5 minggu suatu alur yang disebut laringotrakeal groove tumbuh
dalam embrio pada bagian ventral foregut. Alur ini terletak disebelah posterior dari
eminensia hipobronkial dan terletak lebih dekat dengan lengkung ke IV daripada
5
lengkung ke III.
Selama masa pertumbuhan embrional ketika tuba yang single ini menjadi dua
struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi lapisan
epitel, kemudian epitel diresopsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama mengalami
rekanulisasi. Berbagai malformasi dapat terjadi pada kedua tuba ini, misalnya fistula
trakeoesofageal. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah menjadi esofagus dan
5
bagian laringotrakeal.
Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif dan terletak
diantara lengkung IV dan V. Aditus laring pada perkembangan pertama berbentuk
celah vertikal yang kemudian menjadi berbentuk T dengan tumbuhnya hipobrachial
eminence yang tampak pada minggu ke 3 dan kemudian akan tumbuh menjadi
epiglottis. Sepasang aritenoid yang tampak pada minggu ke 5 dan pada
perkembangan selanjutnya sepasang massa aritenoid ini akan membentuk tonjolan
yang kemudian akan menjadi kartilago kuneiforme dan kartilago kornikulata. Kedua
aritenoid ini dipisahkan oleh incisura interaritenoid yang kemudian berobliterasi.
Ketika ketiga organ ini tumbuh selama minggu ke 5 – 10, lumen laring mengalami
obliterasi, baru pada minggu ke 9 kembali terbentuk lumen yang berbentuk oval.
Kegagalan pembentukan lumen ini akan menyebabkan atresia atau stenosis laring.
5
Plika vokalis sejati dan plika vokalis palsu terbentuk antara minggu ke 8 – 9.
Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang
terletak dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan selanjutnya
sfingter ini terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri (mudigah 13 – 16 mm). Otot-
otot laring pertama yang dikenal adalah interaritenoid, ariepiglotika, krikoaritenoid
posterior dan krikotiroid. Otot-otot laring intrinsik berasal dari mesoderm lengkung
brakial ke 6 dan dipersarafi oleh N. Rekuren Laringeus. M. Krikotiroid berasal dari
mesoderm lengkung brakial ke 4 dan dipersarafi oleh N. Laringeus Superior.
Kumpulan otot ekstrinsik berasal dari eminensia epikardial dan dipersarafi oleh N.
6
Hipoglosus.
Tulang hyoid akan mengalami penulangan pada enam tempat, dimulai pada
saat lahir dan lengkap setelah 2 tahun. Katilago tiroid akan mulai mengalami
penulangan pada usia 20 sampai 23 tahun, mulai pada tepi inferior. Kartilago krikoid
7
mulai usia 25 sampai 30 tahun inkomplit, begitu pula dengan aritenoid.
BAB III
ANATOMI LARING

Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra
cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi.
Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang
3
menelan makanan.
Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana
didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan
3
disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adam’s apple atau jakun.
Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang
berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior
kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari
vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta
disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di
sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus
3
kelenjar tiroid.
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago
tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid
dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat
melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada
usia 2 tahun
Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan
3
otot-otot.
Kartilago
3
Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu : Kelompok kartilago mayor,
terdiri dari kartilago tiroidea 1 buah, kartilago krikoidea 1 buah, kartilago aritenoidea
2 buah ; Kartilago minor, terdiri dari kartilago kornikulata Santorini 2 buah, kartilago
kuneiforme Wrisberg 2 buah, kartilago epiglotis, 1 buah

Gambar 1: Tulang dan kartilago laring tampak lateral3

Ligamentum dan Membrana


Ligamentum dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu: Ligamentum
ekstrinsik, terdiri dari membran tirohioid, ligamentum tirohioid, ligamentum
tiroepiglotis, ligamentum hioepiglotis, ligamentum krikotrakeal; Ligamentum
intrinsik, terdiri dari membran quadrangularis, ligamentum vestibular, konus
elastikus, ligamentum krikotiroid media, ligamentum vokalis
Anatomi Laring Bagian Dalam
3
Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut : Supraglotis (vestibulum
superior), yaitu ruangan diantara permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring;
Glotis (pars media), yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita
suara sejati serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni;
Infraglotis (pars inferior), yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah
kartilago krikoidea.
BAB IV
FISIOLOGI LARING

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi
10
disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut :
9
Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi
antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan
udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi seperti
rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada dasar yang
dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan
penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-
ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan
bagaimana suara terbentuk :
10
Fungsi Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot
yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan
berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis,
plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid melalui serabut
afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup.
Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup
oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan
masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
8
Fungsi Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar
rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya
menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2

dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima

glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.

Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris,


sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan

laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi

pita suara.
9
Fungsi Sirkulasi
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian
tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding
laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti
jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor dari
reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui N.
Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila serabut ini
terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.
7
Fungsi Fiksasi
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,
misalnya batuk, bersin dan mengedan.
10
Fungsi Menelan
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu :
Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M.
Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago
krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah,
kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran
pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh
epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus
laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus
laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
11
Fungsi Batuk
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,
sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi benda
asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada mukosa
laring.
11
Fungsi Ekspektorasi
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.
11
Fungsi Emosi
Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada
waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.
BAB V
LARINGOMALASIA

DEFINISI

Laringomalasia adalah kelainan kongenital pada laring berupa flaksiditas dan


inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan
epiglotis, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas yang menimbulkan
gejala utama berupa stridor inspiratoris kronik pada bayi dan anak.2

EPIDEMIOLOGI

Laringomalasia diperkenalkan pertama kali oleh Jackson pada tahun 1942.1


Laringomalasia adalah anomali kongenital pada laring yang paling sering terjadi.
Anak laki-laki dilaporkan mengalami laringomalasia 2 kali lebih sering daripada anak
perempuan. Laringomalasia secara umum merupakan kondisi self-limiting, akan
tetapi dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan nafas yang ditimbulkannya.
Selain itu, laringomalasia juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal dan
kegagalan pertumbuhan pada anak. Laringomalasia dan trakeomalasia merupakan dua
kelainan kongenital tersering pada laring (59,8%) dan trakea (45,7%)
neonatus,bayi,dan anak yang sering menyebabkan stridor.2

ETIOLOGI

Penyebab laringomalasia masih belum diketahui, namun banyak teori yang


menjelaskan patofisiologi laringomalasia. Terdapat hipotesis yang dibuat berdasarkan
model embriologi. Epiglotis dibentuk oleh lengkung brakial ketiga dan keempat. Pada
laringomalasia terjadi pertumbuhan lengkung ketiga yang lebih cepat dibandingkan
yang keempat sehingga epiglotis melengkung ke dalam.
Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia, yaitu teori
anatomi dan teori neurogenik. Menurut teori anatomi, terdapat hipotesis bahwa terjadi
abnormalitas kelenturan tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya
struktur supraglotis. Pada kepustakaan disebutkan bahwa kelainan congenital ini
bersifat otosomal dominan.
Pada teori neuromuskular, dipercaya penyebab primer kelainan ini adalah
terlambatnya perkembangan kontrol neuromuscular dibanding dengan teori anatomi.
Penyebab neurogenik selanjutnya dihubungkan pula dengan abnormalitas neurogenik
lainnya. Belmont dan Grundfast menemukan 80% dari 30 anak dengan
laringomalasia mempunyai penyakit refluks gastroesofagus (PRGE), 13% terjadi
hipotonia dan 10% mengalami apnea tidur sentral. Mereka menganggap bahwa
disfungsi atau imaturitas dari control neuromuscular yang menjadi akar penyebab
semua kelainan tersebut. 3,12,13

KLASIFIKASI LARINGOMALASIA

Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat


klasifikasi untuk laringomalasia. Laringomalasia umumnya dikategorikan ke dalam
tiga tipe besar berdasarkan bagian anatomis supraglotis yang mengalami prolaps
walaupun kombinasi apapun dapat terjadi.
Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua
melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang ketiga prolapsnya
mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas selama periode inspirasi.
Gambar 2: Tipe 1 laringomalasia, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang
tumpang tindih;

Gambar 3: Tipe 2 laringomalasia, yaitu memendeknya plika ariepiglotika;

Gambar 4: Tipe 3 Laringomalasia, yaitu melekuknya epiglotis ke arah posterior.


PATOFISIOLOGI

Laringomalasia dapat terjadi di epiglotis, kartilago aritenoid, maupun pada


keduanya. Jika mengenai epiglotis, biasanya terjadi elongasi dan bagian dindingnya
terlipat. Epiglotis yang bersilangan membentuk omega, dan lesi ini dikenal sebagai
epiglotis omega (omega-shaped epiglottis). Jika mengenai kartilago aritenoid, tampak
terjadi pembesaran. Pada kedua kasus, kartilago tampak terkulai dan pada
pemeriksaan endoskopi tampak terjadi prolaps di atas laring selama inspirasi.
Obstruksi inspiratoris ini menyebabkan stridor inspiratoris, yang terdengar sebagai
suara dengan nada yang tinggi.14
Matriks tulang rawan terdiri atas dua fase, yaitu fase cair dan fase padat dari
jaringan fibrosa dan proteoglikan yang dibentuk dari rangkaian mukopolisakarida.
Penelitian terhadap perkembangan tulang rawan laring menunjukkan perubahan yang
konsisten pada isi proteoglikan dengan pematangan. Tulang rawan neonatus terdiri
dari kondroitin-4-sulfat dengan sedikit kondroitin-6-sulfat dan hampir tanpa keratin
sulfat. Tulang rawan orang dewasa sebagian besar terdiri dari keratin sulfat dan
kondroitin-6-sulfat. Dengan bertambahnya pematangan, matriks tulang rawan
bertambah, akan menjadi kurang air, lebih fibrosis dan kaku. Bentuk omega dari
epiglotis yang berlebihan, plika ariepiglotik yang besar, dan perlunakan jaringan yang
hebat mungkin ada dalam berbagai tahap pada masing-masing kasus.3
Supraglotis yang terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis dan kartilago
aritenoid ditemukan mengalami prolaps ke dalam jalan napas selama inspirasi.
Laringomalasia umumnya dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan bagian
anatomis supraglotis yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun dapat
terjadi. Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua
melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang ketiga prolapsnya
mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas selama periode inspirasi.15
Laringomalasia merupakan penyebab tersering dari stridor inspiratoris kronik
pada bayi. Bayi dengan laringomalasia memiliki insidens untuk terkena refluks
gastroesophageal, diperkirakan sebagai akibat dari tekanan intratorakal yang lebih
negatif yang dibutuhkan untuk mengatasi obstruksi inspiratoris. Dengan demikian,
anak-anak dengan masalah refluks seperti ini dapat memiliki perubahan patologis
yang sama dengan laringomalasia, terutama pada pembesaran dan pembengkakan
dari kartilago aritenoid

Gambar 5: Gambaran Pemeriksaan Fisik Laringomalasia

GAMBARAN KLINIS

Tiga gejala yang terjadi pada berbagai tingkat dan kombinasi pada anak
dengan kelainan laring kongenital adalah obstruksi jalan napas, tangis abnormal yang
dapat berupa tangis tanpa suara (muffle) atau disertai stridor inspiratoris serta
kesulitan menelan yang merupakan akibat dari anomali laring yang dapat menekan
esofagus.12
Laringomalasia merupakan suatu proses jinak yang dapat sembuh spontan
pada 70% bayi saat usia 1-2 tahun. Gejala stridor inspirasi kebanyakan timbul segera
setelah lahir atau dalam usia beberapa minggu atau bulan kemudian. Pada beberapa
bayi tidak menimbulkan gejala sampai anak mulai aktif (sekitar 3 bulan) atau
dipresipitasi oleh infeksi saluran nafas. Stridor yang terjadi bersifat bervibrasi dan
bernada tinggi. Stridor akan bertambah berat sampai usia 8 bulan, menetap sampai
usia 9 bulan dan kemudian bersifat intermiten dan hanya timbul bila usaha bernafas
bertambah seperti saat anak aktif, menangis, makan, kepala fleksi, atau posisi
supinasi. Setelah itu keadaan makin membaik. Rata-rata stridor terjadi adalah selama
4 tahun 2 bulan. Tidak ada korelasi antara lama berlangsungnya stridor dengan
derajat atau waktu serangan.12,14
Stridor dapat disertai dengan retraksi sternum, interkosta, dan epigastrium
akibat usaha pernafasan, dan anak dapat ditemukan dalam keadaan pektus
ekskavatum.14
Masalah makan sering terjadi akibat obstruksi napas yang berat. Penderita
laringomalasia biasanya lambat bila makan yang kadang-kadang disertai muntah
sesudah makan. Keadaan ini dapat menimbulkan masalah gizi kurang dan gagal
tumbuh. Berdasarkan pemeriksaan radiologi, refluks lambung terjadi pada 80% dan
regurgitasi pada 40% setelah usia 3 bulan. Masalah makan dipercaya sebagai akibat
sekunder dari tekanan negative yang tinggi di esophagus intratorak pada saat
inspirasi.
Pneumonitis aspirasi dilaporkan terjadi pada 7% anak dengan laringomalasia.
Mekanisme kelainan ini belum jelas, namun mungkin berhubungan dengan tekanan
negative dan masalah makan.
Apne obstruksi tidur (23%) dan apnea sentral (10%) juga ditemukan. Keadaan
hipoksia dan hiperkapnia akibat hipoksia dan hiperkapnia akibat obstruksi nafas atas
yang lama akan berisiko tinggi untuk terjadinya serangan apnea yang mengancam
jiwa dan timbul hipertensi pulmonal, yang dapat menyebabkan kor pulmonal, aritmia
jantung, penyakit paru obstruksi kronis, masalah kognitif dan personal sebagai akibat
sekunder dari laringomalasia.12
Berdasarkan letak prolaps dari struktur supraglotis, Olney dkk membuat
klasifikasi untuk laringomalasia. Klasifikasi ini bertujuan untuk mempermudah
pemilihan teknik operasi supraglotoplasti. Klasifikasinya adalah sebagai berikut: tipe
1, yaitu prolaps dari mukosa kartilago aritenoid yang tumpang tindih; tipe 2, yaitu
memendeknya plika ariepiglotika; tipe 3, yaitu melekuknya epiglotis ke arah
posterior. Bentuk omega epiglotis tidak selalu menjadi ciri khas karena ini hanya
ditemukan pada 30-50% pasien, dan kebanyakan tidak ditemukan adanya stridor.12,14

DIAGNOSIS3,12,14
Laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang berupa laringoskopi fleksibel dan radiologi.
Anamnesis
Dari anamnesis dapat kita temukan : Riwayat stridor inspiratoris diketahui
mulai 2 bulan awal kehidupan. Suara biasa muncul pada minggu 4-6 awal; Stridor
berupa tipe inspiratoris dan terdengar seperti kongesti nasal, yang biasanya
membingungkan. Namun demikian stridornya persisten dan tidak terdapat sekret
nasal; Stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika menangis, ketika
terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa kasus, selama dan setelah
makan; Tangisan bayi biasanya normal; Biasanya tidak terdapat intoleransi ketika
diberi makanan, namun bayi kadang tersedak atau batuk ketika diberi makan jika ada
refluks pada bayi; Bayi gembira dan tidak menderita.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis ditemukan: Pada pemeriksaan bayi terlihat gembira
dan berinteraksi secara wajar; Dapat terlihat takipneu ringan; Tanda-tanda vital
normal, saturasi oksigen juga normal; Biasanya terdengar aliran udara nasal, suara ini
meningkat jika posisi bayi terlentang; Tangisan bayi biasanya normal, penting untuk
mendengar tangisan bayi selama pemeriksaan; Stridor murni berupa inspiratoris.
Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus sternalis
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laring dengan menggunakan
laringoskop serat fiber fleksibel selama periode pernapasan spontan. Penemuan
endoskopik yang paling sering adalah kolapsnya plika ariepiglotik dan kartilago
kuneiform ke sebelah dalam. Laringoskopi langsung merupakan cara yang terbaik
untuk memastikan diagnosis. Pemeriksaan dilakukan pada anak dalam keadaan sadar
dengan posisi tegak melalui kedua hidung tanpa adanya premedikasi. Bilah
laringoskop dimasukkan ke valekula dengan tekanan yang minimal pada epiglotis
untuk menegakkan diagnosis. Pada inspirasi, struktur sekitar vestibulum, terutama
plika ariepiglotik, epiglotis, dan kartilago aritenoid akan tampak turun ke saluran
nafas, disertai stridor yang sinkron. Visualisasi langsung memperlihatkan epiglotis
berbentuk omega selama inspirasi.
Melalui pemeriksaan ini, juga dapat dinilai pasase hidung, nasofaring, dan
supraglotis. Pada laringomalasia, pita suara dapat bergerak dengan baik, namun pada
keadaan berat, sulit memvisualisasikan pita suara akibat kolapnya supraglotis
Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko
terlewatkannya diagnosis laringomalasia ringan bila pasien menangis dan penilaian
keadaan subglotis kurang akurat
Olney, dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan
laringoskopi dan bronkoskopi. Kriterianya adalah: Bayi dengan gangguan pernapasan
berat, gagal tumbuh, mengalami fase apnea, atau pneumonia berulang; Bayi dengan
gejala yang tidak sesuai dengan gambaran laringomalasia pada laringoskopi fleksibel;
Bayi dengan lesi lain di laring; Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti.
Nusbaum dan Maggi melaporkan 68% dari 297 anak dengan laringomalasia
mempunyaikelainan pernafasan lainnya yang ditemukan dengan bronkoskopi.
DIAGNOSIS BANDING

Setiap kelainan yang menyebabkan obstruksi pada laring diagnosis banding


dari laringomalasia baik akibat kelainan kongenital, infeksi, trauma, benda asing,
tumor, paralisis pita suara, stenosis laring dan trakea.
Laringomalasia didiagnosis banding dengan penyebab stridor inspiratoris lain
pada anak-anak. Antara lain yaitu, hemangioma supraglotik, massa atau adanya
jaringan intraluminal seperti laryngeal web dan kista laring, kelainan akibat trauma
seperti edema dan stenosis supraglotik, maupun kelainan pada pita suara. 15,16

PENATALAKSANAAN1,2,4,15,17

Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah
waktu. Lesi sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah dua tahun.
Stridor mulanya meningkat pada 6 bulan pertama, seiring bertambahnya aliran udara
pernafasan bersama dengan bertambahnya umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat
menetap hingga dewasa. Dalam hal ini, stridor baru muncul setelah beraktifitas berat
atau terkena infeksi. Jika bayi mengeluarkan stridor yang lebih keras dan
mengganggu tidur, hal ini dapat diatasi dengan menghindari tempat tidur, bantal atau
selimut yang terlalu lembut, sehingga akan memperbaiki posisi bayi sehingga dapat
mengurangi bunyi. Jika terjadi hipoksemia berat pada bayi (ditandai dengan saturasi
oksigen <90%) maka sebaiknya diberikan tambahan oksigen. Tidak ada obat-obatan
yang dibutuhkan untuk kelainan ini.12
Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara konservatif.
Pada keadaan ini, hal yang dapat dilakukan adalah memberi keterangan dan
keyakinan utnuk menenangkan orang tua pasien tentang prognosis dan tindak lanjut
yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang dan pertumbuhan yang normal dapat
dicapai. Jarang terjadi dimana seorang anak memiliki kelainan yang signifikan
sehingga memerlukan operasi. Trakeostomi merupakan prosedur pilihan untuk
laringomalasia berat. 12
Supraglotoplasti dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan.
Berdasarkan klasifikasi Olney terdapat tiga teknik supraglotoplasti yang dapat
dilakukan. Teknik yang dipilih tergantung pada kelainan laringomalasianya. Pada tipe
1, dimana terjadi prolaps mukosa aritenoid pada kartilago aritenoid yang tumpang
tindih, dilakukan eksisi jaringan mukosa yang berlebihan pada bagian posterolateral
dengan menggunakan pisau bedah atau dengan laser CO2. Laringomalasia tipe 2
dikoreksi dengan cara memotong plika ariepiglotika yang pendek yang menyebabkan
mendekatnya struktur anterior dan posterior supraglotis. Laringomalasia tipe 3
ditangani dengan cara eksisi melewati ligament glosoepiglotika untuk menarik
epiglottis ke depan dan menjahitkan sebagian dari epiglottis ke dasar lidah.

PROGNOSIS

Prognosis laringomalasia umumnya baik. Biasanya dapat sembuh sendiri, dan


tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien, gejala
menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa
kasus, walaupun tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan
seperti ini, biasanya stridor akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa.14
BAB VI

RESUME

Laringomalasia adalah kelainan kongenital pada laring (59,8%) berupa


flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika
ariepiglotik dan epiglotis, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas yang
menimbulkan gejala utama berupa stridor inspiratoris kronik pada bayi dan anak.
Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasia, yaitu teori
anatomi dan teori neurogenik. Menurut teori anatomi, terdapat hipotesis bahwa terjadi
abnormalitas kelenturan tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya
struktur supraglotis. Pada teori neuromuskular, dipercayai terjadinya disfungsi atau
imaturitas dari control neuromuscular.
Laringomalasia umumnya dikategorikan ke dalam tiga tipe besar berdasarkan
bagian anatomis supraglotis yang mengalami prolaps walaupun kombinasi apapun
dapat terjadi. Tipe pertama melibatkan prolapsnya epiglotis di atas glotis. Yang kedua
melipatnya tepi lateral epiglotis di atas dirinya sendiri, dan yang ketiga prolapsnya
mukosa aritenoid yang berlebihan ke dalam jalan napas selama periode inspirasi.
Laringomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis (obstruksi jalan napas,
tangis abnormal yang dapat berupa tangis tanpa suara atau disertai stridor inspiratoris
serta kesulitan menelan), pemeriksaan fisik (tampak takipnea ringan), endoskopi
(kolapsnya plika ariepiglotik dan kartilago kuneiform ke sebelah dalam) dan
radiologi.
Diagnosis banding laringomalasia adalah hemangioma supraglotik, massa
atau adanya jaringan intraluminal seperti laryngeal web dan kista laring, kelainan
akibat trauma seperti edema dan stenosis supraglotik, maupun kelainan pada pita
suara.
Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah
waktu. Lesi sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah dua tahun.
Stridor mulanya meningkat pada 6 bulan pertama, seiring bertambahnya aliran udara
pernafasan bersama dengan bertambahnya umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat
menetap hingga dewasa. Supraglotoplasti dapat dilakukan pada kasus-kasus yang
lebih ringan
Prognosis laringomalasia umumnya baik.
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies – Buku Ajar THT. Penerbit buku
kedokteran EGC.Jakarta. 1997.
2. Bailey BJ, Calhoun KH. Head and Neck Surgery – Otolaringology, Volume
one, 2nd Edition. Lippincott – Raven Publishers. Philadelphia, USA.
3. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid
Satu, Edisi 13. Binarupa Aksara. Jakarta. 1994
4. Hermani B, Kartosoediro S, Syahrial MH. Disfonia dan Kelainan Laring.
Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan
Leher. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ;2007. h 231-7.
5. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 598-606
6. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth &
Co Ltd. 1997. page 1/12/1-1/12/18
7. Moore, E.J and Senders, C.W. Cleft lip and palate. In : Lee, K.J. Essential
Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut.
McGraw-Hill, 2003: 241-242.
8. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology -
Head and Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby, 1993.
9. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons.
Volume 1 : Head and Neck. A hoeber-harper international edition, 1966 : 425-
456
10. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 724-736, 747, 755-
760.
11. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey.
Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1.
Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins, 2001: 479-486.
12. Lusk RP. Congenital Anomalies of The Larynx. Dalam Ballenger JJ, Snow JB.
Otolaryngology Head and Neck Surgery 15th Edition. Baltimore : William &
Wilkins ;1996 p 498-501.
13. Tucker HM. The Larynx, 2nd Edition. Thieme Medical Publishing Division.
Ohio, USA. 1993.
14. Bye MR. Laringomalacia. Available at http://www.emedicine.com/
ped/topic1280.htm . Accessed on June 14th 2013.
15. Paston F. Laringomalacia and Tracheomalacia. Available at
http://pedclerk.bsd.uchicago.edu/tracheomalacia.html . Accessed on June 14th
2013.
16. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment in Otolaringology – Head and
Neck Surgery. Lange Medical Book, Mc Graw-Hill Company. New York,
USA. 2004.
17. Cotton RT, Myer CM. Practical Pediatric Otolaryngology. Philadelphia :
Lippincott-Raven Publisher; 1999. p 497-501.

Anda mungkin juga menyukai