Anda di halaman 1dari 39

PRESENTASI KASUS

TUBERCULOSIS PARU

Disusun oleh :
NUR AMALAH
110170050

Tutor :
dr. Deva Ramatunisa, SpA.MH.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WALED
UNSWAGATI

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 2


STATUS PASIEN .............................................................................................................. 1
I. IDENTITAS ................................................................................................................ 1
1.1 Identitas Pasien ..................................................................................................... 1
1.2. Identitas Orang Tua.............................................................................................. 1
II. ANAMNESA ............................................................................................................. 2
III. PEMERIKSAAN FISIK ........................................................................................... 9
3.1 Pemeriksaan Umum ........................................................................................... 9
3.2 Status Generalis ............................................................................................... 13
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG ........................................................................... 15
V. RESUME ................................................................................................................. 15
VI. DIAGNOSA KERJA .............................................................................................. 16
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG .......................................................................... 16
VIII. PENATALAKSANAAN .................................................................................... 16
IX. PROGNOSIS ........................................................................................................ 17
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 24
2.1 Definisi ................................................................................................................ 24
2.2 Epidemiologi ....................................................................................................... 24
2.3 Etiologi ................................................................................................................ 25
2.4 Patogenesis .......................................................................................................... 26
2.5 Manifestasi Klinis ............................................................................................... 27
2.6 Komplikasi .......................................................................................................... 29
2.7 Penatalaksanaan .................................................................................................. 30
2.8 Pencegahan.......................................................................................................... 31
2.9 Prognosis.............................................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 32

2
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An. I
Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat dan tanggal lahir : 23 Juni 2015
Umur : 2 tahun
Alamat : waled kota
Tanggal masuk rumah sakit : 16 Juni 2017

1.2. IDENTITAS ORANG TUA

Data Orang Tua Ayah Ibu


Nama Tn. F Ny. I
Umur 39 tahun 37 tahun
Perkawinan ke 1 1
Pendidikan SMP SMA
Pekerjaan Pedagang Ibu Rumah Tangga
Pangkat - -
Agama Islam Islam
Suku Bangsa Sunda Sunda

Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung.

II. ANAMNESA
Autoanamnesa dan alloanamnesa dengan ibu pasien pada tanggal 16 Juni 2017
pukul 11.00 WIB.
Keluhan utama : Batuk

3
Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien diantar orangtua dengan keluhan batuk lama sejak 1 bulan yang
lalu, batuk tidak berdahak, batuk tidak dipengaruhi oleh cuaca seperti panas atau
dingin, batuk dirasakan tanpa sebab yang jelas. Keluhan disertai dengan panas
badan secara tiba-tiba tanpa penyebab yang jelas, panas badan dirasakan setiap
waktu tidak dipengaruhi oleh cuaca dan berat badan sulit naik. Keluhan sesak
nafas disangkal. BAB ± 1 -2 x dalam sehari, BAK ± 2 kali dalam sehari
Sejak 1 tahun yang lalu orangtua pasien mengatakan bahwa pasien
sering sakit batuk dan pilek disertai panas badan yang tidak terlalu tinggi disertai
dengan sulit makan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Sejak 1 tahun yang lalu pasien sering mangalami batuk dan pilek yang
disertai dengan panas badan, pasien sering berobat ke puskesmas dan diberikan
obat seperti obat parecetamol, GG, dexametason namun keluhan tidak kunjung
sembuh. Penyakit yang sudah pernah dialami:

 Morbili : (-)
 Varicella : (-)
 Pertusis : (-)
 Diare : (+)
 Batuk/pilek : (+)

Riwayat Penyakit keluarga

Orangtua pasien mengatakan kakek dari pasien pernah menjalani


pengobatan paru selama 6 bulan ketika pasien berusia 1 tahun, keluhan serupa juga
diderita oleh kaka pertamanya yang sekarang telah berumur 7 tahun dan sedang

4
menjalani pengobatan paru bulan ke 4. Tidak ada riwayat penyakit kronis maupun
riwayat penyakit keganasan pada anggota keluarga lainnya.

Riwayat Pengobatan

Pasien sering berobat ke puskesmas dan diberikan obat seperti obat


parecetamol, GG, dexametason namun keluhan tidak kunjung sembuh.

Riwayat Kehamilan Ibu

 Pasien merupakan anak kedua dari ibu P2A0 dengan usia kehamilan 39
minggu.

 Ibu pasien mengatakan telah melakukan pemeriksaan kehamilan ke bidan desa


namun tidak teratur dan mendapatkan imunisasi TT 2kali.

 Selama kehamilan ibu mengaku dalam kondisi sehat, tidak mengonsumsi


obat-obatan, tidak pernah minum minuman beralkohol, dan tidak merokok.
 Riwayat batuk kronis disangkal
 Riwayat abortus dan lahir mati tidak ada

Riwayat kelahiran

Penolong : Bidan
Cara persalinan : Spontan
Berat lahir : 2900 gram
Panjang lahir : 49 cm
Masa gestasi : Cukup bulan
Keadaan bayi setelah lahir : Langsung menangis, bergerak aktif, warna
kulit tubuh tampak kemerahan
Kelainan bawaan : Tidak ada

Kesan: Riwayat kelahiran baik.

5
Riwayat Imunisasi

Jenis
I II III IV V VI
Imunisasi
BCG 3 bulan

DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan

Polio Saat lahir 2 bulan 4 bulan 6 bulan

Hepatitis B Saat lahir 1 bulan 6 bulan

Campak 9 bulan

Riwayat Perkembangan Dan Pertumbuhan Anak

 Perkembangan Psikomotor

o Miring : 3 bulan

o Tengkurap : 4 bulan

o Berceloteh : 6 bulan

o Duduk : 7 bulan

o Merangkak : 9 bulan

o Berdiri : 14 bulan

o Berjalan : 18 bulan

 Gangguan perkembangan mental/emosi : Tidak ada

Kesimpulan : Perkembangan dan pertumbuhan anak sesuai umur

6
Riwayat Makanan

Usia
ASI / PASI Buah / Biskuit Bubur susu Nasi tim
( bulan )

0-2 ASI -/- - -


2-4 ASI -/- - -
4-6 ASI -/- - -
ASI + Susu Bubur
6-8 Pisang/ biskuit -
formula susu
ASI + Susu Pisang/ Bubur
8-10 Nasi Tim
formula pepaya/ biskuit susu
ASI + Susu Pisang/ Bubur
10-12 Nasi Tim
formula pepaya/ biskuit susu

Kesan : asupan makanan cukup.

Riwayat keluarga

Ayah pasien berusia 39 tahun, pekerjaan sebagai pedagang di pasar dengan


pendidikan terakhir SMP. Ibu pasien berusia 37 tahun sebagai ibu rumah tangga
lulusan SMA. Penderita adalah anak kedua dari dua bersaudara.

Riwayat Keadaan Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Penderita tinggal bersama ayah dan ibunya yang beratapkan genteng,


berdinding tembok, lantai semen. Terdiri dari 2 kamar tidur yang dihuni oleh 2-3
orang. Terdapat 1 kamar mandi dan WC yang terletak didalam rumah. Rumah
tersebut memiliki ventilasi yang kurang, jendela sebanyak 2 buah, dengan dapur
sebelah kamar dan memakai kayu bakar. Sumber air minum dari sumur, sumber
penerangan listrik berasal dari PLN. Penanganan buang sampah dibunag di tempat
pembuangan sampah.

7
III. PEMERIKSAAN FISIK

3.1 Pemeriksaan Umum

Dilakukan pada tanggal 10 Juni 2017, pukul 14.00 WIB.

 Keadaan umum:Tampak sakit sedang

 Kesadaran:Compos mentis

 Tanda-Tanda Vital:

o Frekuensi nadi : 104x/menit, reguler


o Frekuensi nafas : 28x/menit
o Suhu tubuh : 36,3 °C

 Antropometri:
o Tinggi badan : 85 cm
o Berat badan : 10 kg

 BB/U : >25 percentile (normoweiht)


 TB/U : >25 percentile (normoweiht)
 BMI/U : 10-25 percentile (normoweiht)
Kesan status gizi : gizi baik.
 Status gizi : BMI = BB (kg) : TB (m)2
= 10 : 85 (m)2
= 10 : (0,85)2 = 10 : 0.7225= 13,84 kg/m2

3.2 Status Generalis

Dilakukan pada tanggal 16 Juni 2017, pukul 11.00 WIB.

Kepala :
Bentuk mesochepal, distribusi rambut merata, berwarna hitam, tidak mudah
rontok, UUB menutup.

8
Mata :
Konjungtiva tidak anemis , sklera ikterik tidak ikterik, refleks kornea kesan
normal, refleks cahaya normal, lensa jernih, pupil bulat isokor dengan diameter 3
mm.

Telinga :
Bentuk simetris, dijumpai adanya sekret.

Hidung :
Bentuk hidung normal, tidak dijumpai deviasi septum, pernapasan cuping hidung
tidak ada, tidak dijumpai adanya sekret.

Mulut :
Sianosis tidak ada, selaput mulut basah, terdapat karies dentis, tonsil T1 –T1
tidak hiperhemis, faring tidak hiperhemis, ovula simetris terletak ditengah.

Leher :
Terdapat pembesaran kelenjar getah bening beupa nodul pada regio
submandibula sinistra dengan diameter 1 cm dan tidak ada nyeri tekan, JVP tidak
meningkat.

Thoraks :
 Anterior
Inspeksi : Bentuk simetris, warna kulit sawo matang, tidak ada otot
bantu pernapasan,tidak ada retraksi intercosta, pulsasi iktus kordis tidak
terlihat.
Palpasi : Nyeri tekan (-), kuat angkat iktus kordis (-), fremitus taktil
+/+
Perkusi : Sonor kanan dan kiri, Batas paru hepar ICS 5 midclavikula
dekstra

9
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, ronkhi +/+, wh-/-

 Posterior
Inspeksi : Hemithorax sinistra dan dextra simetris
Palpasi : Simetris, fremitus vokal kanan = kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, ronkhi +/+, wh-/-

Jantung :
 Inspeksi : Iktus kordis tidak nampak
 Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga IV, linea medioclavikula sinistra,
tidak kuat angkat, tidak melebar.
 Perkusi : Redup
o Batas jantung kanan : ICS 4 linea parasternalis dextra
o Batas jantung kiri : ICS 5 linea midclavikula sinistra
o Batas pinggangjantung : ICS 3 linea parasternal sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, tidak ada murmur, tidak ada
gallop

Abdomen :
 Inspeksi : Warna sawo matang, bentuk datar, tidak ada
pembesaran massa, peristaltik usus tidak terlihat.
 Auskultasi : Bising usus terdengar dan tidak meningkat
 Perkusi : Timpani pada seluruh lapang kuadran
 Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, tidak terdapat nyeri tekan
regio epigastrium, pembesaran massa, Deffans muscular, pekak alih dan
pekak sisi.

Genitalia Eksterna
Tidak ada kelainan bentuk, lubang uretra, penis, testis, skrotum dalam batas
normal.

10
Ekstremitas :
Edema tidak ada, akral hangat, CRT < 2 “, kekuatan otot kiri dan kanan 5,
refleks fisiologis normal, refleks patologis tidak ada.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Jenis Pemeriksaan Hasil


Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hb 13,2 13,5 – 17,5 gr/dl
Ht 38 36 - 48%
Eritrosit 4,6 4,0– 5,4 juta/µL
Leukosit 9800 4.800 –10.800/µL
Trombosit 302.000 150.000 -400.000/µL
MCV 75 80 – 96 fL
MCH 26 27 – 32 pg
MCHC 35 32 – 36 gr/dL

 Rontgen Thoraks
Cor : Tidak membesar
Pulmo : Perbercakan halus pada kedua lapang paru dekstra dan
sinistra ec KP aktif
 Tes mantuks (+) diameter 10-11 mm
 Anjuran pemeriksaan : Pemeriksaan LED.

V. RESUME

Pasien anak laki-laki berumur 2tahun dengan berat badan 10 kg datang ke


RSUD Waled, dengan keluhan utama batuk >1 bulan, batuk disertai panas badan
secara tiba-tiba, dan berat badan sulit naik. Riwayat kontak dengan pasien TBC (+)
kakek pasien pernah menjalani pengobatan TBC selama 6 bulan sedangkan kaka

11
pasien yang berumur 7 tahun sedang menjalani pengobatan paru bulan ke 4 Pasien
pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya 1 tahun yang lalu, namun pasien
sering berobat ke puskesmas dan diberikan obat seperti obat parecetamol, GG,
dexametason tetapi keluhan tidak kunjung sembuh.
Dari hasil pemeriksaan fisik,ditemukan terdapat suara tambahan seperti rhonki
kanan dan kiri positif serta nyeri tekan epigastrium positif. Dari hasil pemeriksaan
penunjang pada rontgen thoraks paru terdapat perbercakan halus pada kedua lapang
paru dekstra dan sinistra ec kp aktif untuk pemeriksaan Tes mantuk didapatkan hasil
positif dengan diameter 10-11 mm sedangkan pada pemeriksaan scoring TB total
score > 6 yang menunjukan pasien didiagnosis TB paru.

VI.DIAGNOSA KERJA
Tuberculosis Paru

VIII. PENATALAKSANAAN

Farmakologi :

 Rifampisin 1 x 150 mg pulv.Po


 Isoniazid 1 x 100 mg pulv. Po
 Pirazinamid 1 x 350 mg pulv. Po

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Ad bonam


Quo ad functionam : Ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

12
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh
anak <15 tahun. Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang
signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test
tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup
droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara
intraseluler pada jaringan paru dan jaringan limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen
toraks bisa normal atau hanya terdapat granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru
dan jaringan limfoidnya serta didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu,
seseorang dikatakan sakit TB jika terdapat gejala klinis yang mendukung serta
didukung oleh gambaran kelainan rontgen toraks, pada tahap inilah seseorang
dikatakan menderita tuberkulosis.4
TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB). Ketika
penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB
atau basil ke udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup
sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam)
positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap
tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB.
Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi sakit TB.
Kuman TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan
membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan
tubuh seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi lebih besar.
Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan
teratur..2

14
EPIDEMIOLOGI
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis,
dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB
paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga
di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka
kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun dinegara maju.3
Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993)
didapatkan 171 kasus TB anak usia <15 tahun. Diperkirakan jumlah kasus TB anak
per tahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Di Negara berkembang, TB pada anak
berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju
angkanya lebih rendah yaitu 5-7%.2
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia
adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang
per tahun. Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di
Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penyandang TB. Kelompok usia
terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan
16,5%.3
Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB
maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi
faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor risiko
terjadinya infeksi TB antara lain anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB
aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat
dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain),
yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.3
Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini adalah
faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB.
Faktor risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji
tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan
imunokompromais, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.2

15
ETIOLOGI
Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang
merupakan patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari Mycobacterium
yang paling umum menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis, M. Bovis, M.
Africanum, M. Microti dan M. Canetti. Dari kelima jenis ini M. Tuberkulosis
merupakan penyebab paling penting dari penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3
varian M. Tuberkulosis yaitu varian humanus, bovinum dan avium. Yang paling
banyak ditemukan menginfeksi manusia M. Tuberkulosis varian humanus.5
M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak berkapsul,
nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta memiliki
ukuran panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer. M.Tuberkulosis
tumbuh optimal pada suhu 37-410C dan merupakan bakteri aerob obligat yang
berkembang biak secara optimal pada jaringan yang mengandung banyak udara
seperti jaringan paru. Dinding sel yang kaya akan lipid menjadikan basil ini resisten
terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan komplemen. Sebagian besar dari dinding
selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid membuat
kuman tahan terhadap asam sehingga disebut BTA dan kuman ini tahan terhadap
gangguan kimia dan fisika. Oleh karena ketahanannya terhadap asam, M.
Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang stabil antara asam mikolat pada
dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan golongan aryl methan seperti
carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman ini dapat bertahan hidup di udara
yang kering atau basah karena kuman dalam keadaan dorman. Dan dari keadaan
dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali.1
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam
sitoplasma makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid.
Kuman ini bersifat aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi
jaringan yang tinggi mengandung oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini
adalah bagian apikal paru karena tekanan O2 pada apikal lebih tinggi dari pada
tempat lainnya.4

16
M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur
dan glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat, dengan
waktu generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik
yang solid membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat
membutuhkan tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini
dapat dideteksi dalam 1- 3 minggu dengan menggunakan medium cair yang selektif
seperti BACTEC dan uji sensitivitas terhadap obat hanya membutuhkan waktu
tambahan 3-5 hari.5

PATOGENESIS
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 μm), kuman TB dalam droplet nuklei yang terhirup
dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi pada sebagian
kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang
sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.2
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara focus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB

17
berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu.6 Pada saat
terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat system imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil kuman
TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk,
kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas
seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).3
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.2
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).3
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal
pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil. Obstruksi
total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.6

18
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar
secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.3
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang diorgan yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang,
ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi
tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut
dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi
TB apeks paru saat dewasa.2
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama)
biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru
kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi
kuman di dalam fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang
terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.6
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi TB
pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem
skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun,
tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi
5-25 tahun setelah infeksi primer.2

19
20
Gambar 3.2. Kalender perjalanan penyakit TB primer3

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberculin biasanya


positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal
terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum,
tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB
primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.2

Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung


dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis
sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua
dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah
infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun

21
pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada
tahun pertama setelah diagnosis TB.3

MANIFESTASI KLINIS
Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat
bervariasi dan bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara
keduanya.Faktor kuman bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan
faktor penjamu bergantung pada usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu
pada awal terjadinya infeksi.2
Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda
dan gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan sedangkan pada
kelompok dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease.3
Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi
sistemik yang dapat dialami anak yaitu:3
1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat
disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam
pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus.
2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan.
3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak
naik dengan adekuat (failure to thrive).
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi pada
anak bukan merupakan gejala utama.
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

22
A. Manifestasi Spesifik Paru
1. TB Asimptomatis
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang
diasosiasikan dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif
tanpa gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat
pembesaran nodus limfe di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat
normal. Kadang-kadang, demam subfebris ditemukan pada onset penyakit.
Sekiranya anak berkontak dengan individu dengan TB menular yg tes
tuberkulin positif, diagnosis TB asimptomatis harus segera disingkirkan
setelah rontgen foto thorak dan pemeriksaan fisik yang teliti.4
2. TB Paru Primer
Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis
dan limfadenitis regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah
adenitis yang relatif besar berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik
thorak berlangsung secara predominan dari kiri ke kanan, nodus pada bagian
kanan atas paratrakeal sering dinilai paling terafeksi.4
Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi
akan terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh
tuberkulosis. Apabila nodus limfe membesar, obstruksi parsial dari bronkus
dapat menimbulkan hiperinflasi dan berlanjut kepada atelektasis. Gambaran
radiologis pada penyakit ini mirip penyakit yang disebabkan oleh aspirasi
benda asing. Atelektasis segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi
bersamaan.3
Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan
diameter saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang
paling sering adalah batuk non produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik
contohnya obstruksi bronkus dengan tanda adanya air trapping dan gejala
wheezing jarang dikeluhkan.6

23
3. TB Paru Progresif
TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru
primer. Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak
mengalami kalsifikasi membesar dengan stabil membentuk caseous centre
yang kemudiannya meleleh ke dalam broncus adjacent membentuk kavitas
primer. Likuifikasi ini berhubungan dengan besarnya jumlah basil TB,
merupakan faktor yang menyebabkan seorang anak dapat mentransmisikan M.
tuberkulosis kepada individu lainnya. Dapat terjadi diseminasi lanjut basil
tuberkel ke lobus lain dan ke seluruh paru. Gambaran klinis pada penyakit ini
adalah bronkopneumonia dengan demam tinggi, batuk sedang sampai berat,
keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan penurunan bunyi nafas.4
4. TB Paru Kronis/Reaktivasi
Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis
sangat jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada
anak-anak yang mempunyai strata sosioekonomi yang rendah, anak
perempuan dan pada anak dengan diagnosis TB yang lambat ditegakkan.
Penyakit ini sering ditemukan pada remaja berbanding anak dengan gambaran
radiologis mirip pada orang dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas
dan kavitas. Anak dengan penyakit ini cenderung mengalami demam,
anoreksia, malaise, penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif,
nyeri dada dan hemoptisis.3
5. Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau
digeneralisir, unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada
anak kurang dari 2 tahun dan hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah
5 tahun. Onset dari pleurisy berlangsung cepat mirip pneumonia bakteri,
dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan
penurunan bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat
berlangsung beberapa minggu.7,8

24
KOMPLIKASI
Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis,
penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang
dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar
untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang
mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau
adanya lesi pada daerah hilus.13,14

PENATALAKSANAAN
A. FARMAKOLOGI
1. Pengobatan TB
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R),
isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S).
Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan
pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua)
adalah paraaminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide,
prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin,
ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika
terjadi MDR.5

a. Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT)
yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap
kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang),
bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan
ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh
termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki
angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.2,5
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan
adalah 5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu

25
kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg
dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup
biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi
puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan
menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui
asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada
orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari
pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan
dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai
janin/bayi tidak membahayakan.2,3
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada
pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia.
Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami
peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan
pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu
pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang
menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin
dilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis.2

b. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang
tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui
sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan
kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan
dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600
mg/hari, dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan
dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis
isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid.3

26
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang
kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah,
sputum, dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek
samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan
hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan
kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan
bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat
diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal
10mg/kgBB/hari.
Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat
menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi
dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofiin,
kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya
tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang
sesuai digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi
dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi
sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat
menimbulkan malabsorpsi.2,5

c. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel
suasana asam, dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid
secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2
gram/hari. Kadar serum puncak 45 μg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada
saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat
banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10 % orang
dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia,
artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis

27
hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah
hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas
jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg,
tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan makanan.2,3

d. Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya
pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain
itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi
terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari,
maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam
waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg.
etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian
oral dengan dosis satu atau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada
SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.5
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok
dan buta warna merah-hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari
pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi
WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol
dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari.
Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB
resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat
digunakan.2,3

e. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam

28
pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase
intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan
kadar puncak 40-50 μg/ml dalam waktu 1-2 jam.5
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi
baik pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal.
Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal
terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung
(tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat
menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada
wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi
akan menderita tuli berat.2,5

Gambar 5.1. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya2,5

29
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain
karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin
diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut
kosong satu jam sebelum makan.

2. Panduan Obat TB
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga
macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada
fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk
membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka
panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada
anak setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika
obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian
besar kasus TB pada anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan
pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, daN
pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan
isoniazid.2,3
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti
milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif
diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan
etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan
isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB
milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB
diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi
dalam tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering
off selama 2-4 minggu.3,5

30
3. Evaluasi Hasil Pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan
dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena
diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi
pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi
radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi
klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya
ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya
demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila
respon pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.3,5
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan
secara rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas
seperti TB milier, efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB
milier, foto rontgen toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil
pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto rontgen toraks
dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana
evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.5
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan
tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan
evaluasi lebih lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang
terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila

31
awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke
sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan
meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum
obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan
gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan
dapat dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu
dilakukan secara rutin.5,6
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu
subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan)
bertahan dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan
terjadinya kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa
komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda bermakna
dengan pengobatan 6 bulan.5

4. Evaluasi Efek Samping Pengobatan


OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang
cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek
samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.2,5
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang
tidak melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi
15mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh
peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum
Glutamic-Piruvat Transaminase (SGPT) hingga ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3
kali batas normal (40U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total
lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai
beberapapun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.1,3
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati
yang terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak
membutuhkan perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa

32
peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat
mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan
≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala
memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis
rifampisin. Akan tetapi mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan
pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini cukup menimbulkan
keraguan. Akhirnya, isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika
diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan
hepatotoksisitas dengan tepat.1,5
Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3
kali batas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan,
kemudian kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu
penghentian. OAT diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal.
Tetapi berikutnya dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan
rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan
pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat
timbul kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan
langsung secara penuh (full-dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan
pengobatan.5

5. Putus Obat
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan
selama ≥ 2 minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada
hasil evaluasi klinis saat pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani
pengobatan dan berapa lama obat telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk
untuk penanganan selanjutnya.2

6. Multi Drug Resistance (MDR) TB


Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten
terhadap dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan

33
rifampisin. Kecurigaan adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak
ada perbaikan dengan pengobatan. Manajemen TB semakin sulit dengan
meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada beberapa
penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal,
penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat
yang tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.9
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji
kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB
tinggi. Akan tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang
terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di
banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia
belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens
MDR-TB mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu
dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS),
maka prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja.2

B. NON MEDIKAMENTOSA
1. Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien
menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan
pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan
pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya
untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan
langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly
observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah
direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan
TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan
TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.2
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen
yaitu sebagai berikut : 2,12

34
 Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan
dana.
 Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
 Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh pengawas minum obat (PMO).
 Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu
terjamin.
 Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TB.

2. Sumber Penularan dan Case Finding


Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari
sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber
penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat
dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara
pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah
ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu
mencari anak lain disekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji
tuberkulin.2
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak
disekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi
TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji
tuberkulin.3,5

3. Aspek Edukasi dan Sosial Ekonomi


Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena
pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu
yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu,
diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan

35
makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik,
pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang
optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui
mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB
padak anak tidak menular kepada orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien
TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.3,5
PENCEGAHAN
1. Imunisasi
Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia
sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml,
diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan
lebih mudah dan lemak subkutis lebuh tebal, ulkus tidak menggangu struktur
otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3
bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak
yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan,
pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.3,5
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-
80%. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis
TB dan spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan
terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas.
Fakta diklinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai
parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi
umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia.
Imunisasi BCG relative aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek
samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis
(adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG
adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat,
gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi
mencapai berat badan optimal.5
2. Kemoprofilaksis

36
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan
kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah
berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer
diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal.
Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,
terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberculin
negatif). Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji
tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan sumber penularan telah sembuh dan
tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan.
Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika
didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan,
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi
lebih lanjut.2,3
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi,
tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan
radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi
hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang
menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh
anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili,
varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan
kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberculin
dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk
kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer,
profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai
respon dan efek samping obat.3,5

37
PROGNOSIS
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT
terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman
sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang
minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih
harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai
rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut.
Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke
waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak
adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan. 14
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin,
angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT
(terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB
milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai
100%.12,14

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo W. Aru, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed ke-4.

Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, 2009; hal. 988-9.

2. Latief A, dkk. Diagnosis Fisik Pada Anak. Ed ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto,

2003; hal. 70-4.

3. Disadur http://www.oxfordimmunotec.com/Tuberculosis_International 23

Agustus 2012

4. Disadur www.TBCIndonesia.or.id. 23 Agustus 2012.

5. Sameer Wagle. Sep 2, 2008. Hemolytic Disease of Newborn. Disadur dari

www.emedicine.com. 23 Agustus 2012.

6. Prashant G Deshpande .Oct 3, 2008. TBC. Disadur dari www.emedicine.com.

23 Agustus 2012

7. Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Ed ke-3. Jilid II. Jakarta:

Fakultas Kedokteran UI, 2000; h. 459-69.

8. Rudolph M. Abraham, Hoffman E. I. Julian, Rudolph D. Colin. Buku Ajar

Pediatri. Vol.2. Ed ke-20. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006

9. Behrman E. Richard, Kliegman Robert, Arvin M. Ann. Ilmu Kesehatan Anak.

Edisi ke-15 Vol. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000

10. Mubin Halim A. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan

Terapi. Ed ke-2. Jakarta: EGC, 2007; h. 230-3.

39

Anda mungkin juga menyukai