Anda di halaman 1dari 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kata Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.
Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan, dan merugikan kepentingan umum. Korupsi
menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma
yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi
kepentingan pribadi. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang
merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus. Banyak para ahli yang
mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya
yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi
batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi
merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah
urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan
kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk
memperkaya diri sendiri. Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan
jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis,
1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia
menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan
yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan
hadiahdalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim
menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang
pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang
yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Dampak Korupsi Terhadap Ekonomi ·
Korupsi mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam bentuk
peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika kebijakan dilakukan dalam
pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan dan kebijakan, misalnya, pada
perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan sebagainya, malah akan mendorong terjadinya
inefisiensi. · Korupsi mendistorsi insentif seseorang, dan seharusnya melakukan kegiatan yang
produktif menjadi keinginan untuk merealisasikan peluang korupsi dan pada akhimya
menyumbangkan negatif value added. Korupsi menjadi bagian dari welfare cost memperbesar
biaya produksi, dan selanjutnya memperbesar biaya yang harus dibayar oleh konsumen dan
masyarakat (dalam kasus pajak), sehingga secara keseluruhan berakibat pada kesejahteraan
masyarakat yang turun. · Korupsi mereduksi peran pundamental pemerintah (misalnya pada
penerapan dan pembuatan kontrak, proteksi, pemberian property rights dan sebagainya). Pada
akhirnya hal ini akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi yang dicapai. ·
Korupsi mengurangi legitimasi dari peran pasar pada perekonomian, dan juga proses demokrasi.
Kasus seperti ini sangat terlihat pada negara yang sedang mengalami masa transisi, baik dari tipe
perekonomian yang sentralistik ke perekonomian yang lebih terbuka atau pemerintahan otoriter
ke pemerintahan yang lebih demokratis, sebagaimana terjadi dalam kasus Indonesia. · Korupsi
memperbesar angka kemiskinan. ini sangat wajar. Selain dikarenakan program-program
pemerintah sebagaimana disebut di atas tidak mencapai sasaran, korupsi juga mengurangi
potensi pendapatan yang mungkin diterima oleh si miskin. Menurut Tanzi (2002), perusahaan
perusahaan kecil adalah pihak yang paling sering menjadi sasaran korupsi dalam bentuk
pungutan tak resmi (pungutan liar). Bahkan, pungutan tak resmi ini bisa mencapai hampir dua
puluh persen dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan ini amat mengkhawatirkan,
dikarenakan pada negara negara berkembang seperti Indonesia, perusahaan kecil (UKM adalah
mesin pertumbuhan karena perannya yang banyak menycrap tenaga kerja).

3.2 Dampak Korupsi Terhadap Sosial dan Kemiskinan Ada beberapa dampak buruk yang akan
diterima oleh kaum miskin akibat korupsi, diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum
miskin) cenderung menerima pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih mudah ketika
melayani para pejabat dan konglemerat dengan harapan akan memiliki gengsi sendiri dan
imbalam materi tentunya, peristiwa seperti ini masih sering kita temui ditengah–tengah
masyarakat. Kedua, Investasi dalam prasarana cenderung mengabaikan proyek–proyek yang
menolong kaum miskin, yang sering terjadi biasanya para penguasa akan membangun prasarana
yang mercusuar namun minim manfaatnya untuk masyarakat, atau kalau toh ada biasanya
momen menjelang kampanye dengan niat mendapatkan simpatik dan dukungan dari masyarakat.
Ketiga, orang yang miskin dapat terkena pajak yang regresif, hal ini dikarenakan mereka tidak
memiliki wawasan dan pengetahuan tentang soal pajak sehingga gampang dikelabuhi oleh
oknum. Keempat, kaum miskin akan menghadapi kesulitan dalam menjual hasil pertanian karena
terhambat dengan tingginya biaya baik yang legal maupun yang tidak legal, sudah menjadi
rahasia umum ketika seseorang harus berurusan dengan instansi pemerintah maka dia
menyediakan uang, hal ini dilakukan agar proses dokumentasi tidak menjadi berbelit–belit
bahkan ada sebuah pepatah “kalau bias dipersulit kenapa dipermudah”. Korupsi, tentu saja
berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan masyarakat miskin di desa dan kota. Awal
mulanya, korupsi menyebabkan Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional kurang
jumlahnya. Untuk mencukupkan anggaran pembangunan, pemerintah pusat menaikkan
pendapatan negara, salah satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah sama sekali
tidak mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM tersebut harga-harga kebutuhan
pokok seperti beras semakin tinggi biaya pendidikan semakin mahal, dan pengangguran
bertambah. Tanpa disadari, masyarakat miskin telah menyetor 2 kali kepada para koruptor.
Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya kepada negara lewat pajak dan retribusi,
misalnya pajak tanah dan retribusi puskesmas. Namun oleh negara hak mereka tidak
diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin” tersebut telah dikuras untuk kepentingan pejabat.
Kedua, upaya menaikkan pendapatan negara melalui kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali
“menyetor” negara untuk kepentingan para koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi
rakyat miskin. Padahal seharusnya negara meminta kepada koruptor untuk mengembalikan uang
rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya, malah menambah beban rakyat miskin

3.3 Dampak Korupsi Teradap Birokrasi Pemerintahan Birokrasi, baik sipil maupun militer,
memang merupakan kelompok yang paling rawan terhadap korupsi. Sebab, di tangan mereka
terdapat kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga
negara. Oleh karena itu, Transparency International, lembaga internasional yang bergerak dalam
upaya anti korupsi, secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan
publik untuk kepentingan pribadi. Lebih jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik
ini dalam dua jenis, yaitu korupsi administratif dan korupsi politik. Secara administratif, korupsi
bisa dilakukan ‘sesuai dengan hukum’, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang seharusnya
memang dilakukan, serta korupsi yang ‘bertentangan dengan hukum’ yaitu meminta imbalan
uang untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan. Pada kasus
Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam bentuk uang pelicin dalam mengurus
berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau
Paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat ini
memang harus diproses dengan cepat. Sementara jenis korupsi yang kedua, muncul antara lain
dalam bentuk ‘uang damai’ dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agar si pelanggar terhindar dari
jerat hukum. Sementara pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan,
muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan
bersenjata serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan oknum militer
yang seringkali berlindung di balik institusi militer. Tim peneliti dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria Samego mencatat empat kerusakan yang
terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi: ü Secara formal material anggaran pemerintah untuk
menopang kebutuhan angkatan bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan
pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa
ABRI memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI
memiliki sumber dana lain di luar APBN ü Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang
mereka lakukan dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi
biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan
prajurit secara keseluruhan. ü Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada
gilirannya juga menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan
yang sama. Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka
yang mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI memberikan sumbangsihnya
pada mereka yang ada di lapangan. ü Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin
melunturkan semanagat profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam
kenikmatan berbisnis baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu,
sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal
kepentingan nasional dan untuk mengadakan pembangunan ekonomi bagi seluruh bangsa
Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih menjadi pengawal
bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil, perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis
besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan terjadi pula dikotomi, tidak saja antara
masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara perwira yang profesional dan Saptamargais
dengan para perwira yang berorientasi komersial.

3.4 Dampak Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi Dalam data Indeks Persepsi Korupsi
Transparansi Internasional 2012, India menempati peringkat ke-94 dengan skor 36, di bawah
Thailand, Maroko, dan Zambia. Meskipun India adalah negara demokrasi, korupsi tetap jadi
penyakit yang terus melanda. Sebaliknya, di Singapura, penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih telah menjadi praktik yang lama berlangsung. Padahal, Singapura bukanlah tergolong
negara demokrasi. Skor indeks persepsi korupsi Singapura adalah 87, menempati peringkat ke-5,
di atas Swiss, Kanada, dan Belanda. Dalam kasus India dan Singapura, demokrasi tak tampak
berkorelasi dengan berkurangnya korupsi. Di negara-negara demokrasi baru, demokrasi juga
seperti tak berpengaruh terhadap pengurangan korupsi. Sebagai contoh, Indonesia telah menjadi
negara demokrasi sejak tahun 1998. Menurut Freedom House, lembaga pemeringkat demokrasi
dunia, Indonesia sudah tergolong negara bebas sepenuhnya (demokrasi) sejak 2004. Namun,
Indeks Persepsi Korupsi 2012 menempatkan Indonesia di peringkat ke-118 dengan skor 32.
Artinya, masyarakat merasakan bahwa korupsi masih merajalela di negeri ini. Mengapa di
sejumlah negara, terutama negara-negara demokrasi baru, demokrasi tampak tidak menihilkan
korupsi? Jawabannya terkait dengan kualitas demokrasi di suatu negara. Ada dua aspek penting
yang terkait dengan demokrasi: prosedur dan substansi. Negara-negara demokrasi baru seperti
Indonesia umumnya masih tergolong ke dalam demokrasi prosedural. Yang sudah berjalan
adalah aspek-aspek yang terkait dengan pemilihan umum. Hal ini tidak cukup menjamin
berlangsungnya demokrasi yang dapat meminimalkan korupsi. Para aktor yang korup dalam
demokrasi prosedural dapat memanipulasi pemilihan umum yang justru membuat mereka
menjadi pemegang tampuk kekuasaan.

3.5 Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum Sejak lahirnya UU No. 24/PrP/1960 berlaku
sampai 1971, setelah diungkapkannya Undang-undang pengganti yakni UU No. 3 pada tanggal
29 Maret 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Baik pada waktu berlakunya
kedua undang-undang tersebut dinilai tidak mampu berbuat banyak dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena undang-undang yang dibuat dianggap tidak
sempurna yaitu sesuai dengan perkembangan zaman, padahal undang-undang seharusnya dibuat
dengan tingkat prediktibilitas yang tinggi. Namun pada saat membuat peraturan perundang-
undangan ditingkat legislatif terjadi sebuah tindak pidana korupsi baik dari segi waktu maupun
keuangan. Dimana legislatif hanya memakan gaji semu yang diperoleh mereka ketika melakukan
rapat. Sehingga apa yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan itu hanya melindungi
kaum pejabat saja dan mengabaikan masyarakat. Menyikapi hal seperti itu pada tahun 1999
dinyatakan undang-undang yang dianggap lebih baik, yaitu UU No.31 tahun 1999 yang
kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1971.
kemudian pada tanggal 27 Desember telah dikeluarkan UU No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, yaitu sebuah lembaga negara independen yang berperan besar dalam
pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini berarti dengan dikeluarkannya undang-undang
dianggap lebih sempurna, maka diharapkan aparat penegak hukum dapat menegakkan atau
menjalankan hukum tersebut dengan sempurna. Akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya
adalah budaya suap telah menggerogoti kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan
penegakkan hukum sebagai pelaksanaan produk hukum di Indonesia. Secara tegas terjadi
ketidaksesuaian antara undang-undang yang dibuat dengan aparat penegak hukum, hal ini
dikarenakan sebagai kekuatan politik yang melindungi pejabat-pejabat negara. Sejak
dikeluarkannya undang-undang tahun 1960, gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena
pejabat atau penyelenggara negara terlalu turut campur dalam pemberantasan urusan penegakkan
hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya peradilan. Dengan hal yang demikian
berarti penegakan hukum tindak pidana di Indonesia telah terjadi feodalisme hukum secara
sistematis oleh pejabat-pejabat negara. Sampai sekarang ini banyak penegak hukum dibuat tidak
berdaya untuk mengadili pejabat tinggi yang melakukan korupsi. Dalam domen logos, pejabat
tinggi yang korup mendapat dan menikmati privilege karena mendapat perlakuan yang istimewa,
dan pada domen teknologos, hukum pidana korupsi tidak diterapkan adanya pretrial sehingga
banyak koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti.
3.6 Dampak Korupsi Terhadap Peratahanan Keamanan Korupsi di Bidang Pertahanan dan
Keamanan belum dapat disentuh oleh agen-agen pemberantas kosupsi. Dalam bidang Pertahanan
dan Keamanan, peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan, muncul akibat tidak adanya
transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan bersenjata dan kepolisian serta
nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan oknum TNI/Polri yang seringkali
berlindung di balik institusi Pertahanan dan Keamanan. Tim peneliti dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria Samego (1998) mencatat empat kerusakan
yang terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi: Secara formal material anggaran pemerintah untuk
menopang kebutuhan angkatan bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan
pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa
ABRI memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI
memiliki sumber dana lain di luar APBN Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka
lakukan dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi
yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara
keseluruhan. Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga
menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama.
Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang
mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI memberikan sumbangsihnya pada
mereka yang ada di lapangan. Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin
melunturkan semangat profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam
kenikmatan berbisnis baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu,
sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal
kepentingan nasional dan untuk mengadakan pembangunan ekonomi bagi seluruh bangsa
Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih menjadi pengawal
bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil, perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis
besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan terjadi pula dikotomi, tidak saja antara
masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara perwira yang profesional dan Saptamargais
dengan para perwira yang berorientasi komersial.

3.7 Dampak Korupsi Terhadap Kerusakan Lingkungan Kebanyakan manusia menempatkan


lingkungan hidup hanya sebagai bahan eksploitasi untuk tujuan jangka pendek. Kondisi ini tentu
sangat medesak untuk segera dikendalikan. Perlu diadakan suatu sistem yang konkrit untuk
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Jika tidak,
kerusakan lingkungan hidup sudah pasti akan menjadi ancaman besar bagi peradaban masyarakat
dunia. Paradigma yang menempatkan lingkungan sebagai obyek eksploitasi telah membawa
kerusakan lingkungan fatal yang berujung kepada berbagai bencana alam yang sangat
merugikan. Hal ini pun dikuatkan oleh Emil Salim yang menyimpulkan bahwa ada lima
tantangan besar yang harus dihadapi gerakan penyelamatan lingkungan hidup, diantaranya :
pertama adalah penyelematan air dari eksploitasi secara berlebihan dan pecemaran yang kian
meningkat, baik air tanah, sungai, danau, rawa, maupun air laut. Kedua, merosotnya kualitas
tanah dan hutan akibat tekanan penduduk dan eksploitasi besar-besaran untuk keperluan
pembangunan. Ketiga, menciutnya keanekaan hayati akibat rusaknya habitat lingkungan
berbagai tumbuh-tumbuhan dan hewan. Keempat, perubahan iklim, dan yang terakhir adalah
meningkatnya jumlah kota-kota berpenduduk banyak. Melihat kerusakan lingkungan hutan yang
begitu parah seharusnya sudah membuat negara ini menindak dengan keras terhadap pelaku-
pelaku kejahatan kerusakan lingkungan, terutama yang disertai praktik KKN. Dalam praktik
KKN di ranah lingkungan hidup yang patut diwaspadai adalah para pelaku perusak lingkungan
yang datang dari kalangan pemodal besar seperti perusahaan-perusahaan besar yang terlibat di
sektor kehutanan maupun pertambangan. Hal ini ditegaskan oleh mantan wakil ketua KPK
Chandra Hamzah dalam sebuah worksop investigasi kasus lingkungan di Jakarta, dimana
menurutnya, perusahaan-perusahaan yang melakukan kerusakan terhadap alam umumnya sulit
ditindak karena mereka mengantongi izin usaha yang cukup. Karena itu menurutnya, yang perlu
diwaspadai adalah proses kontrol administrasi dalam pemberian izin sebelum perusahaan-
perusahaan tersebut beroperasi. Baik itu izin usaha baik dari pemerintah daerah maupun dari
pemerintah pusat. Lalu menurut beliau, perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak di bidang
kehutanan namun pada RKAT tahun berikutnya tercatat memiliki jumlah keuntungan yang
sangat besar, maka patut dicurigai perusahan tersebut mendapatkan hasil bukan dari pohon-
pohon yang mereka tanam melainkan dari hutan-hutan alam yang seharusnya tidak boleh
ditebang. Permasalahan yang terjadi, masyarakat kita kurang peduli akan kerugian ekologis ini,
seringkali pelaku-pelaku usaha yang menyebabkan kerusakan lingkungan hanya terfokus
mengenai ganti rugi terhadap penduduk setempat. Memang benar ganti rugi itu perlu bahkan itu
kewajiban mereka, namun ganti kerugian oleh para pelaku usaha jangan hanya sebatas ganti rugi
materi kepada manusia, namun juga kepada alam. Alam yang rusak tidak bisa diperbaiki hanya
dengan semalam perlu waktu berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin saja kerusakan tersebut
tidak akan bisa diperbaiki.

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Semua bentuk korupsi dicirkan tiga aspek. Pertama pengkhianatan terhadap kepercayaan atau
amanah yang diberikan, kedua penyalahgunaan wewenang, pengambilan keuntungan material
ciri-ciri tersebut dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk korupsi yang mencangkup penyapan
pemersasn, penggelapan dan nepotisme Kesemua jenis ini apapun alasannya dan motivasinya
merupakan bentuk pelanggaran terhadap norma-norma tanggung jawab dan menyebabkan
kerugian bagi badan-badan negara dan publik. 4.2 Saran Dengan penulis makalah ini, penulis
mengharapkan kepada pembaca agar dapat memilih manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat
dijadikan sebagai kegiatan motivasi agar kita tidak terjerumus oleh hal-hal korupsi dan dapat
menambah wawasan dan pemikiran yang intelektual hususnya dalam mata kuliah anti korupsi”.

DAFTAR PUSTAKA
MM.Khan. 2000. Political And Administrative Corruption Annota Ted Bibliography. Undang-
Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Yang Bersih Dan Bebas Dari Kolusi,
Korupsi Dan Nepotisme Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantas Tindak
Pidana Korupsi

Sumber: http://forester-untad.blogspot.co.id/2014/05/makalah-dampak-tindakan-korupsi.html
Konten adalah milik dan hak cipta forester untad blog
http://forester-untad.blogspot.co.id/2014/05/makalah-dampak-tindakan-korupsi.html

Anda mungkin juga menyukai