Anda di halaman 1dari 8

"Bisa Karena Terbiasa"

Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik".

Seindah Cinta Ketika Berlabuh, Kisah Yang Mungkin Akan Membuat Airmata Anda
Berderai.. Siap-siap Sedia Saputangan ya…

Awalnya, aku bertemu dengannya di sebuah acara yang diselenggarakan di rumahku sendiri.
Gadis itu sangat berbeda dengan cewek-cewek lain yang sibuk berbicara dengan laki-laki
dan berpasang-pasangan. Sedangkan dia dengan pakaian muslimah rapi yang dikenakannya
membantu mamaku menyiapkan hidangan dan segala kebutuhan dalam acara tersebut.

Sesekali gadis itu bermain di taman bersama anak-anak kecil yang lucu, kulihat betapa
lembutnya dia dengan senyuman manis kepada anak-anak. Dari sikapnya itu aku tertarik untuk
mengenalnya. Akhirnya dengan pede-nya keberanikan diri untuk mendekatinya dan hendak
berkenalan dengannya.

Namun, kenyataannya dia menolak bersalaman dengannku, dan cuma mengatakan, “Maaf…”
dan berlalu begitu saja meninggalkanku.

Betapa malunya aku terhadap teman-teman yang berada di sekitarku…….


“Ini cewek kok jual mahal banget !” Padahal begitu banyak cewek yang justru berlomba-
lomba mau jadi pacarku. Dia, mau kenalan saja tidak mau !” ujarku.

Dari kejadian itu aku menjadi penasaran dengan gadis tersebut. Lalu aku mencari tahu
tentangnya. Ternyata dia adalah anak tunggal sahabat rekan bisnis papa. Setiap ada acara
pertemuan di rumah gadis itu, aku selalu ikut bersama papa.

Gadis itu bernama Nina, kuliah di Fakultas Kedokteran dan dia anak yang tidak suka berpesta,
berfoya-foya, dan keluyuran seperti cewek kebanyakan di kalangan kami. Aku pun jarang
melihatnya jika aku pergi ke rumahnya; dengan berbagai alasan yang kudengar dari
pembantunya: sakitlah, lagi mengerjakan tugas, atau kecapaian. Pokoknya, dia tidak pernah
mau keluar.

Hingga suatu hari aku dan papa sedang bertamu ke rumahnya. Pada saat itu, Nina baru saja
pulang dengan busana muslimahnya yang rapi, terlihat turun dari mobil. Namun belum jauh
melangkah dia pun terjatuh pingsan dan mukanya terlihat sangat pucat. Kami yang berada di
ruang tamu bergegas keluar dan papanya pun menggendong ke kamar serta meminta tolong kami
untuk menghubungi dokter. Dari hasil pemeriksaan dokter, Nina harus dirawat di rumah sakit.

Keesokan harinya, aku datang ke rumah sakit bermaksud untuk menjenguknya. Betapa kagetnya
aku ketika kutahu Nina terkena leukimia (kanker darah).

Aku bertanya,

“Kenapa gadis selembut dan sesopan dia harus mengalami hal itu ?”.

Perasaan kesalku padanya kini berubah menjadi kasihan dan khawatir. Setiap usai kuliah,
kusempatkan untuk datang menjenguknya. Aku mendapatinya sering menangis sendirian. Entah
itu karena tidak ada yang menjaganya atau karena penyakit yang diderita.

Beberapa hari di rumah sakit, Nina memintaku keluar setiap kali aku masuk. Aku pun
mendatanginya di rumah, tapi dia tidak pernah mau keluar menemuiku dan hanya mengurung
diri di dalam kamar. Aku tidak menyerah begitu saja, kucoba menelpon Nina dan berharap dia
mau bicara denganku. Namun, dia tetap tidak mau mengangkat telpon dariku, lalu kukirimkan
SMS padanya agar dia mau menjadi pacarku, tetapi tidak ada balasan malah HP-nya
dinonaktifkan semalaman.

Keesokan harinya aku nekat datang ke rumahnya untuk meminta maaf atas kelancanganku.
Ternyata ia akan berangkat ke Makasar, ke kampung orang tuanya. Karena orang tuanya tak
dapat mengantarnya, aku pun menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi Nina lebih memilih
naik taksi dengan alasan tidak mau merepotkan orang lain. Sebelum naik ke mobil, dia
menitipkan kertas untukku kepada mamanya.

Alangkah hancur hatiku ketika membaca sebait kalimat yang berbunyi,

“Maaf saat ini aku hanya ingin berkonsentrasi kuliah.”


Hatiku remuk dan aku pulang dengan perasaan kesal sekali. Ini pertama kalinya aku ingin
pacaran, tapi ditolak. Sebenarnya, aku tidak begitu suka dengan hubungan seperti pacaran
itu karena begitu banyak dampak negatifnya, sampai ada yang rela bunuh diri karena
ditinggalkan kekasihnya –na’udzubillahi min dzalik.

Namun entah mengapa ketika aku melihat Nina hatiku pun tergoda untuk menjalin hubungan itu.
Sejak perpisahan itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya sampai gelar sarjana aku raih.
Lalu aku pun bekerja di perusahaan milik keluargaku sebagai satu-satunya ahli waris.

Melihat ketekunanku dalam bekerja, papa Nina ,menyukaiku hingga hubungan kami menjadi
akrab dan ku utarakanlah maksudku bahwa aku menyukai Nina, anaknya, dan ternyata papa
Nina setuju untuk menjadikanku sebagai menantunya.

24 Oktober 2006, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, aku dan orang tuaku bersilaturahmi ke
rumah keluarga Nina dengan maksud untuk membicarakan perjodohan antara aku dan Nina.
Tapi pada saat itu Nina baru dirawat di rumah sakit sejak bulan Ramadhan. Saat kutemui, Nina
terlihat sangat pucat, lemah, dan senyumannya seakan menghilang dari bibirnya. Hari itu orang
tua kami resmi menjodohkan kami. Bahkan aku diminta untuk menjaganya karena orang tuanya
akan berangkat ke luar negeri. Tetapi Nina tidak pernah mau meladeniku.

Suatu hari aku mendapati Nina terlihat kesakitan, terlihat darah keluar dari hidung dan
mulutnya. Aku bermaksud untuk membantu mengusap darah dan keringat yang ada di
wajahnya, tetapi secara spontan dia menamparku pada saat aku menyentuh wajahnya.

Betapa kaget diriku dibuatnya, aku tidak menyangka sama sekali Nina akan manamparku.
Sungguh betapa istiqomahnya dia dalam menjaga kehormatan untuk tidak disentuh laki-
laki yang bukan muhrimnya. Saat itu aku belum mengetahui tentang masalah ini dalam
agama.

Kejadian tersebut secara tak sengaja terlihat mama Nina maka Nina pun dimarahi habis-
habisan hingga sebuah tamparan mendarat di pipinya. Kulihat Nina segera melepas
infusnya dan berlari menuju kamar mandi. Nina pun mengurung diri di kamar mandi
tersebut. Dengan terpaksa kami mendobrak pintu kamar mandi dan kami dapati Nina
tergeletak di lantai tak sadarkan diri karena terlalu banyak darah yang keluar.

Setelah sadar, aku berusaha bicara dan meminta maaf kepadanya atas kejadian tadi, namun Nina
terus-terusan menangis. Aku pun bertambah bingung apa yang mesti aku lakukan untuk
menenangkannya.

Tanpa pikir panjang aku memeluknya, tapi Nina malah mendorongku dengan keras dan
berlari keluar dari kamar menuju taman. Ketika kudekati Nina berteriak hingga menjadikan
orang-orang memukulku karena menyangka aku mengganggu Nina.

Karena itulah, Nina semalaman tidur di taman dan aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan.
Setelah waktu subuh menjelang kulihat Nina beranjak untuk melaksanakan shalat shubuh di
masjid, aku pun turut shalat. Namun setelah shalat, tiba-tiba Nina menghilang entah
kemana.

Aku mencarinya berkeliling rumah sakit tersebut. Dan lama berselang kulihat banyak
kerumunan orang dan ternyata Nina sudah tak sadarkan diri tergeletak dengan HP
berada di sampingnya, sepertinya dia bosan telah berbicara dengan seseorang. Keadaan
Nina saat itu sangat kritis sehingga pernafasannya harus dibantu dengan oksigen. Kata dokter,
paru-paru Nina basah yang mungkin diakibatkan semalaman tidur di taman.

Nina tak kunjung juga sadar. Dengan perasaan khawatir dan bingung aku berdoa dengan
menatap wajahnya yang pucat pasi…

Tiba-tiba ada sebuah SMS yang masuk ke HP Nina, tanpa sadar aku pun membaca dan
membalas SMS tersebut. Aku juga membuka beberapa SMS yang masuk ke HP-nya dan aku
sangat terharu dengan isinya, tenyata banyak sekali orang yang menyayanginya.

Di antaranya adalah orang yang bernama Ukhti. Dulu sebelum aku mengetahui Ukhti adalah
panggilan untuk saudari perempuan, aku sempat cemburu dibuatnya. Aku mengira Ukhti itu
adalah pacar Nina yang menjadi alasan dia menolakku.

Setelah Nina tersadar dari pingsannya, aku menunjukkan SMS yang dikirimkan saudari-
saudarinya dan dia sangat marah ketika tahu aku sudah membaca dan membalas SMS dari
saudari-saudarinya. Dia pun akhirnya melarangku untuk memegang HP-nya apalagi mengangkat
atau menghubungi saudari-saudarinya.

Namun, tetap saja aku sering ber-SMS-an dengan saudari-saudarinya untuk mengetahui kenapa
sikap Nina begini dan begitu. Dari sinilah aku mendapat sebuah jawaban bahwa Nina tidak
mau bersentuhan apalagi berduaan denganku karena aku bukan mahramnya dan Nina
menolak untuk berpacaran serta bertunangan denganku karena di dalam Islam tidak ada
hal-hal seperti itu dan hal itu merupakan kebiasaan orang-orang non Muslim.

Aku tahu juga Nina mencari seorang ikhwan yang mencintai karena Allah bukan atss dasar
hawa nafsu. Akhirnya aku tahu kan sikap Nina selama ini semata-mata dia hanya ingin
menjalankan syariat Islam secara benar. Hari berlalu dan aku terus belajar sedikit demi
sedikit tentang Islam dari Nina dan saudari-saudarinya, terutama dalam melaksanakan shalat
lima waktu tepat pada waktunya. Saat itu aku merasakan ketenangan dan ketentraman
selama menjalankannya dan menimbulkan perasaan rindu kepada Alloh untuk senantiasa
beribadah kepada-Nya.

Niatku pun muncul untuk segera menikahi Nina agar tidak terjadi fitnah, namun kondisi Nina
semakin memburuk. Dia selalu mengigau memanggil saudari-saudarinya yang dicintainya
karena Allah…..

Melihat hal itu, aku membawanya ke kota Makassar, kampung mama kandung Nina untuk
mempertemukannya dengan saudari-saudarinya, Qadarulloh (atas kehendak Allah), aku tidak
berhasil mempertemukan mereka. Yang ada kondisi Nina semakin parah dan penyakitku
juga tiba-tiba kambuh sehingga aku pun haus dirawat di rumah sakit. Orang tua Nina datang
dan membawanya kembali ke kota Makassar tanpa sepengetahuanku karena pada saat itu aku
juga diopname.

Di kota Makassar, Nina diawasi dengan ketat oleh papanya, karena papa Nina kurang suka
dengan akhwat, apalagi yang bercadar. Rumah sakit dan rumah yang ditempati Nina
dirahasiakan. Dan Nina pun tak tahu di manakah ia berada. Karena kondisinya masih lemah,
diapun tak bisa berbuat apa-apa, bahkan ia kadang dibius, apalagi ketika akan dipindahkan dari
satu tempat ke tempat yag satunya agar tidak tahu di mana keberadaaannya, karena papanya
tidak ingin ada akhwat yang menjenguk Nina. Sampai HPnya pun diambil dari Nina.

Namun, karena Nina masih mempunyai HP yang ia sembunyian dari papanya, sehingga beberapa
kali Nina berusaha kabur untuk menemui saudari-saudarinya, akhirnya Nina dikurung di
dalam kamar. Mendengar hal itu, aku langsung menyusul Nina ke Makassar dan aku sempat
bicara dengannya dari balik pintu. Nina menyuruhku untuk menemui seorang ustadz di
sebuah masjid di kota itu. Dari pertemuanku dengan ustadz tersebut aku pun diajak ta’lim
beberapa hari dan aku menginap di sana.

Papa Nina menyangka Nina telah mengusirku sehingga ia pun dimarahi. Setibanya di rumah, aku
jelaskan duduk perkaranya kepada papa Nina, bahwa ia tidak bersalah dan aku mengatakan
agar pernikahan kami dipercepat.

Hari Kamis, 24 November 2006. Kami melangsungkan pernikahan dengan sangat sederhana.
Acara tersebut Cuma dihadiri oleh orangtua kami beserta dua orang rekanan papa. Setelah akad
nikah aku langsung mengantar ustadz sekalian shalat dhuhur.

Betapa senangnya hatiku, akkhirnya aku bisa merasakan cinta yang tulus karena Allah.
Semoga kami bisa membentuk keluarga sakinah mawaddah, wa rahmah dan senantiasa
dalam ketaatan kepada Allah…..Itulah doaku saat itu.

Sepulang dari mengantar ustadz, perasaan bahagia itu seakan buyar mendapati Nina yang
baru saja menjadi istriku tergeletak di lantai, dari hidung dan mulutnya kembali berlumuran
darah. Dan tangannya terlihat ada goresan. Kami langsung membawanya ke rumah sakit,
diperjalanan, kondisi Nina terlihat sangat lemah. Terdengar suaranya memanggilku dan
berkata agar aku harus tetap di jalan yang diridhai-Nya sambil memegang erat tanganku
dengan tulus, air mataku tak tertahankan melihat keadaan Nina yang terus berdzikir
sambil menangis…..Dia juga selalu menanyakan saudari-saudarinya dimana ?

Setibanya di rumah sakit, aku bertanya-tanya kenapa tangan Nina tergores. Aku pun menulis
SMS kepada saudari-saudari Nina.

Ternyata, tangan Nina tergores ketika hendak menemui saudari-saudainya dengan keluar
dari kamar. Karena pintu kamar terkunci, Nina ingin keluar melalui jendela sehingga
menyebabkan tangannya tergores.
Nina tak kunjung sadar hingga larut malam, aku pun tertidur dan tidak menyadari kalau Nina
bangkit dari tempat tidurnya.

Dia ingin sekali menemui saudari-saudarinya dan dia tidak menyadari kalau hari telah larut
malam. Dia Cuma berkata, “Pengin ketemu saudariku karena sudah tak ada waktu lagi.”

Berhubung Nina masih lemah, dia pun jatuh pingsan setelah bebrapa saat melangkah.

Aku benar-benar kaget dan bingung mau memanggil dokter tapi tidak ada yang menemani Nina.
Akhirnya, aku menghubungi salah seorang saudarinya untuk menemani.

Setelah aku dan dokter tiba, Nina sudah tidak bernafas dan bergerak lagi. Pertahananku runtuh
dan hancurlah harapanku melihat Nina tidak lagi berdaya….

Dokter menyuruhku keluar. Pada saat itu kukira Nina telah tiada, makanya aku segera menulis
SMS kepada saudari Nina untuk memberitahu bahwa Nina telah tiada. Namun begitu dokter
keluar, masya Allah !

Denyut jantung Nina kembali beredetak dan ia dinyatakan koma. Aku hendak memberi kabar
kepada saudari Nina tapi baterai HP-ku habis dan tiba-tiba penyakitku pun kambuh lagi
sehingga aku harus diinfus juga…..

Jam 11.30, perasaanku mengatakan Nina memangilku, maka aku segera bangkit dari tempat
tidur dan melepas infus dari tanganku menuju kamar Nina. Kutatap wajah Nina bersamaan
dengan kumandang adzan shalat Jum’at. Sembari menjawab adzan, aku terus menatap wajah
Nina berharap dia akan membuka matanya.

Begitu lafadz laa ilaaha illallah, suara mesin pendeteksi jantung berbunyi, menandakan
bahwa Nina telah tiada. Aku berteriak memanggil dokter, tapi qadarullah istriku sayang telah
pergi untuk selama-lamanya dari dunia ini.

Nina langsung dimandikan dan dishalatkan selepas shalat Jum’at, lalu diterbangkan ke rumah
papanya di Malaysia. Untuk terakhir kalinya kubuka kain putih yang menutupi wajah
Nina. Wajahnya terlihat berseri…..

Aku harus merelakan semua ini, aku harus kuat dan menerima takdir-Nya. Teringat kata-kata
Nina, “Berdoalah jika memang Alloh memangilku lebih awal dengan doa, “Ya Alloh, berilah
kesabaran dan pahala dari musibah yang menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik.”

Setelah pemakaman, aku langsung balik ke Jakarta karena kondisiku yang kurang stabil…

Astaghfirullah !!! aku lupa memberitahu saudari-saudari Nina. Mungkin karena aku terlalu larut
dalam kesedihan, hingga secara spontanitas aku menghubungi mereka dan menyampaikan bahwa
Nina benar-benar talah tiada. Aku tahu pasti, mereka pasti sedih dengan kepergian saudari
mereka yang mereka cintai karena Alloh.
Dari ketiga saudari Nina, ada seorang yang tidak percaya dan sepertinya dia sangat membenciku.
Entah, mengapa sikapnya seperti itu ?

Sekiranya mereka tahu, bahwa sebelum kepergiannya, Nina selalu memanggil nama mereka,
tentulah mereka semakin sedih. Dalam HP Nina terlihat banyak SMS yang menunjukkan betapa
indahnya ukhuwah dengan saudari-saudarinya. Semoga saudari-saudari Nina memaafkan
kesalahannya dan kesalahan diriku pribadi.

“Salam sayang dari Nina tu kakak Rini, Sakinah, dan Aisyah serta akhwat di Makassar.
Teruslah berjuang menegakkan dakwah ilallah. Syukran atas perhatian kalian….”

*****

Tak beberapa lama setelah kisah ini dimuat di Media Muslim Muda Elfata, redaksi Elfata
menerima SMS dari seorang ukhti, saudari Nina. Isi SMS tersebut adalah, “Afwan ,
mungkin perlu Elfata sampaikan kepada pembaca mengenai kisah ‘Akhirnya Cintaku
Berlabuh karena Allah’ di mana Kak Nina telah meninggal dan kini Kak Adhit pun telah
tiada. Kurang lebih 2 pekan (Kak Adhit –red) dirawat di rumah sakit karena penyakit
pada paru-parunya. Sebelum sempat dioperasi, maut telah menjemputnya. Ana
menyampaikan hal ini karena masih banyak yang mengirim salam, memberi dukungan ke
Kak Adhit yang kubaca di Elfata dan beberapa orang yang kutemui di jalan juga selalu
bertanya, Kak Adhit bagaimana ? Ana salah satu ukhti dalam cerita tersebut…Syukran.”

PERCIK RENUNGAN

Subhanallah ! Kisah Adhit dan Nina di atas dapat kita jadikan sebuah cermin untuk berkaca.
Renungkanlah keteguhan Nina untuk tak meladeni tawaran cinta asmara yang tak terselimuti
indahnya syariat. Padahal Nina adalah seorang yang sedang membutuhkan dukungan,
pertolongan, dan sandaran bahu tempat menangis. Nina berprinsip, meski dalam situasi sesulit
apapun, kemurnian syariat tetap harus dijaga dan diamalkan.

Gelombang kesulitan tak harus menjadikan kita surut dalam berkonsisten dengan syariat ini.
Bahkan bisa jadi kesulitan demi kesulitan yang kita alami menjadi parameter seberapa jauh kita
telah mengamalkan ajaran agama ini. Di lain sisi, ketidaktahuan seseorang akan syariat ini
seringkali menjadikan pelakunya bertindak tanpa adanya rambu-rambu yang telah dicanangkan
agama.

Namun, bisa jadi ketidaktahuan akan syariat ini menjadi titik awal seseorang merasakan
indahnya agama dan manisnya iman sebagaimana yang terjadi pada Adhit, ikhwan yang
menceritakan kisahnya ini. Semoga Allah merahmati mereka, menerima ruh mereka berdua
dan menjadikan mereka berdua termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih yang dijanjikan surga-
Nya. Amiin.

Sumber:
Kumpulan KISAH NYATA UNGGULAN Majalah ELFATA ‘Seindah Cinta ketika Berlabuh’, 2008,
FAtaMeDia

Share By: http://www.uhibbukumfillah.co.cc

dinukil ulang dari: http://biruawan.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai