Mushthofa Bisyri
3. Kiai dulu kalau tidak butuh apa-apa, namanya kaya. Kiai sekarang?
4. Mewacanakan konsep zuhud untuk konteks masyarakat Indonesia yang tengah begitu
konsumtif dan hedon adalah laku ekstrem. Kita harus berangkat dari konsep “kecil” berupa:
kesederhanaan. Sebab kesederhanaan akan melahirkan kekayaan dari dalam, bukan
kekayaan dari luar.
5. Yang hilang dari para mubaligh, pendidik dan da’i sekarang adalah ruh ad da’wah (ruh
dakwah) yang sejuk dan menyegarkan. Ruh dakwah yang ditebarkan oleh Nabi, Walisanga,
ulama-ulama salaf, terkikis oleh perangai dakwah yang mengancam dan menakutkan. Model
dakwah seperti ini tidak mengajak, tapi malah mendepak. Padahal, “aku diutus untuk
mengajak, bukan untuk melaknat”, ujar salah satu hadits Nabi.
6. Ada perbedaan tajam antara makna dakwah (ajakan) dan amar (perintah). Tapi kini kedua
term itu dicampur-adukkan maknanya hingga menghasilkan konsep yang rancu.
7. Kebanyakan kiai dulu tidak mengenal apa itu Nasionalisme produk Barat. Kesadaran
mereka dari awal: Indonesia ini rumah kita, maka harus kita jaga dan tidak boleh dijajah
atau dirusak. Sebab itu, santri yang tak mencintai negerinya akan kualat oleh tuah Mbah
Wahab, Mbah Hasyim Asyari, dan kiai-kiai lain yang menyimpan Indonesia dalam urat
nadinya.
8. Satu di antara penyakit orang Indonesia adalah: kepentingan dulu dikedepankan, masalah
dalil baru dicari belakangan.
9. Salah satu ciri khas pesantren adalah tanggung jawab ilmiah ila yawmil qiyamah.
10. Dalam mendidik, metode cerita/dongeng ditengarai masih sangat efektif. Karena cerita tidak
mengancam. Tapi begitu meresap.
11. Untuk mendidik anak, seorang Ibu punya modal terbesar: kasih sayang. Elusan telapak
tangan Ibu tak bisa diganti oleh seribu elusan tangan baby sitter.