BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
1
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,1 dengan
prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.6
2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama :A
Alamat :
Usia : 11 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Periksa : 26 Maret 2017
No. RM :
B. Anamnesis
Keluhan utama : Bengkak Seluruh Tubuh
Anamnesis Terpimpin :
Seorang pasien laki-laki umur 11 tahun masuk Rumah Sakit dengan
keluhan bengkak pada seluruh tubuh yaitu pada wajah, ke tua tangan dan
ke dua tungkai yang dialami sejak 1 bulan yang lalu. Bengkak diawali
pada daerah kelopak mata dan muka sejak 6 minggu yang lalu, terutama
pada pagi hari saat bangun tidur, dan bengkak berkurang saat siang dan
sore hari yang kemudian menjalar ke daerah kaki sejak 4 minggu yang lalu
sebelum masuk rumah sakit, bengkak makin bertambah, menyebar ke
daerah muka, perut, dan kedua tungkai. Keluhan bengkak ini disertai sesak
napas dan batuk berlendir. Mual , muntah, demam, dan kejang tidak ada.
Selama bengkak tampak pucat, lemah, lesu dan kehilangan nafsu makan,
namun masih bisa beraktivitas ringan. BAB dan BAK baik.
3
C. Riwayat Pribadi Pasien
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien sudah mengalami sakit seperti ini sejak tahun 2016.
Riwayat Pengobatan :
Ibu penderita membawa berobat ke dokter, diberikan obat (ibu penderita
lupa nama obatnya).
Riwayat Alergi :
Alergi terhadap obat-obatan, makanan, cuaca tertentu disangkal.
D. Pemeriksaan fisik:
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tek. Darah : 160/110 mmHg
Nadi : 84x/m
Pernafasan : 21x/m
Suhu : 36,90C
Status Generalis
Kepala : Normocephali, Muka sembab (+)
Conjungtiva anemis -/-.
Sklera ikterik -/-.
Edema palpebra (+/+)
Sianosis (-)
4
Leher DVS R-4
Pembesaran KGB (-)
Pembesaran kel. Tiroid (-)
Deviasi Trachea (-)
Thoraks
Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris.
Palpasi : nyeri tekan (-), Massa (-)
Perkusi : Sonor, Batas Paru dan Hepar ICS 5-6
Auskultasi : Pernapasan Vesikuler, Ronki (-/-), Wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung kanan pada linea parasternalis
dextra ics 2 dan ics 4 midclavicularis dextra, batas
jantung kiri pada linea midclavicularis sinistra ics 4
Auskultasi : Bunyi Jantung I - II regular. Murmur dan gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut supel, distensi abdomen (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : hepar-lien tidak teraba, asites (+),
Perkusi : suara timpani di seluruh lapang abdomen.
Ekstremitas
Superior : Akral hangat +/+,
edema +/+,
pitting edema +/+
Inferior : Akral hangat +/+,
edema +/+,
pitting edema +/+
5
E. Pemeriksaan Penunjang
Sedimen Urin :
WBC : 0 Cell/L
KETON : 0 mmol/L
NITRIT :-
UROBILIN : Normal
BILIRUBIN : 0 umol/L
PROTEIN : +4 (5.0 g/L)
GLUCOSA : 0 mmol/L
BJ : 1.020
BLD :-
pH : 6.5
Kimia Darah :
Kolesterol total : 697 (< 200 mg/dl)
Protein total : 3,83 (6,7-7,8 g/dl)
Albumin : 1,73 (3,5-5,0 g/dl)
Globulin : 2,1 (1,5-3,0 g/dl)
F. Resume :
Seorang pasien laki-laki umur 11 tahun masuk Rumah Sakit Khusus Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan dengan keluhan bengkak pada seluruh tubuh yaitu
pada wajah, ke tua tangan dan ke dua tungkai yang dialami sejak 1 bulan
yang lalu. Bengkak diawali pada daerah kelopak mata dan muka sejak 6
minggu yang lalu, terutama pada pagi hari saat bangun tidur, dan bengkak
berkurang saat siang dan sore hari yang kemudian menjalar ke daerah kaki
sejak 4 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit, bengkak makin
bertambah, menyebar ke daerah muka, perut, dan kedua tungkai. Keluhan
bengkak ini disertai sesak napas dan batuk berlendir. Mual , muntah, demam,
6
dan kejang tidak ada. Selama bengkak tampak pucat, lemah, lesu dan
kehilangan nafsu makan, namun masih bisa beraktivitas ringan. BAB dan
BAK baik. Pasien sudah mengalami sakit seperti ini sejak tahun 2016. Pasien
pernah mengalami hal yang sama pada tahun 2016. Tidak ada keluarga
pasien yang mempunyai keluhan yang sama dengan pasien. Pasien pernah
berobat ke dokter, namun ibu pasien lupa nama obatnya.
Pada pemeriksaan fisik disapatkan peningkatan tekanan darah yaitu
160/110 mmHg, Puffy face (+), Edema palpebra (+), Edema pd ekstremitas
superior dan inferior (+/+) dan Pitting edema (+).
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan hasil ; hiperlipidemia,
hipoprotein, hipoalbuminemia, proteinuria (+4).
G. Diagnosis Kerja:
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan
maka pasien didiangnosis dengan Sindrom Nefrotik + Hipertensi.
H. Diagnosis Banding
Glomerulonefritis Akut
Gagal jantung kongestif
Kwashiorkor
I. Penatalaksaanaan
Ivfd RL 20 tpm
Furosemide 1-1-0
Sprinolakton 100mg 1-0-0
Vipalbumin 3x1
Atorvastatin 10mg 1x1
Prednison 3 x 2
Captopril 12,5mg 2x1
J. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanatiam : dubia ad bonam
7
K. Follow Up
Tanggal Catatan Instruksi
21-03-2017 Udem anasarka (+) Diet rendah garam
T: 160/110mmhg Ivfd RL 20 tpm
N : 84x/mnt Furosemide 1-1-0
P : 21 x/mnt Sprinolakton 100mg 1-0-0
S : 36,90C Vipalbumin 3x1
Atorvastatin 10mg 1x1
22-03-2017 Udem anasarka (+) Diet rendah garam
T: 150/110mmhg Ivfd RL 20 tpm
N : 80x/mnt Furosemide 1-1-0
P : 20 x/mnt Sprinolakton 100mg 1-0-0
S : 36,50C Vipalbumin 3x1
Atorvastatin 10mg 1x1 Periksa
urin sedimen dan kimia darah
23-03-2017 Udem anasarka (+) Diet rendah garam
T: 120/80mmhg Ivfd RL 20 tpm
N : 80x/mnt Furosemide 1-1-0
P : 20 x/mnt Sprinolakton 100mg 1-0-0
S : 360C Vipalbumin 3x1
Atorvastatin 10mg 1x1
24-03-2017 Udem anasarka (+) Ivfd RL 20 tpm
T: 120/80mmhg Furosemide 1-1-0
N : 82x/mnt Sprinolakton 100mg 1-0-0
P : 20 x/mnt Vipalbumin 3x1
S : 360C Atorvastatin 10mg 1x1
25-03-2017 Ku : baik, udem (+) Ivfd RL 20 tpm
Furosemide 1-1-0
T: 140/100mmhg
Sprinolakton 100mg 1-0-0
N : 84x/mnt
Vipalbumin 3x1
P : 22 x/mnt
Atorvastatin 10mg 1x1
S : 36,60C
Prednison 3 x 2
Captopril 12,5mg 2x1
26-03-2017 Ku : baik, udem (+) Ivfd RL 20 tpm
Furosemide 1-1-0
T: 130/90mmhg
Sprinolakton 100mg 1-0-0
N : 82x/mnt
Vipalbumin 3x1
P : 20 x/mnt
Atorvastatin 10mg 1x1
S : 360C
Prednison 3 x 2
Captopril 12,5mg 2x1
8
27-03-2017 Bengkak berkurang Ivfd RL 20 tpm
Furosemide 1-1-0
T: 120/90mmhg
Sprinolakton 100mg 1-0-0
N : 82x/mnt
Vipalbumin 3x1
P : 22 x/mnt
Atorvastatin 10mg 1x1
S : 36,30C
Prednison 3 x 2
Captopril 12,5mg 2x1
9
BAB III
PEMBAHASAN
10
Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-
7 per 100.000 anak berusia dibawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia
dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, sedangkan perbandingan anak laki-laki
dan perempuan 2:1. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.6
11
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun. 1
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
intestitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi
dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. Teori overfill menjelaskan
bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal
menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan
laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium
dan edema akibat teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama
kenaikan konsentrasi hormone aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel
tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium
(natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik
dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler
glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan
desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.1
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan
sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein
dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan
albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.1
12
Diagnosis dan trigliserid juga membantu penilaian terhadap SN.
Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit
sistemik lain perlu diperhatikan. Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering
diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan
penyebab GN sekunder. Pemeriksaan serologik sering tidak banyak memberikan
informasi dan biayanya mahal. Karena itu sebaiknya pemeriksaan serologik hanya
dilakukan berdasarkan indikasi yang kuat.1 Selain itu dapat juga dilakukan
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:
(1). Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.
(2) Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.
(3) Pemeriksaan darah :
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED).
b. Albumin dan kolesterol serum
13
c. Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz
d. Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA.6
14
Pada pasien ini diberikan penatalaksanaan terapi berupa Diet rendah
Garam, Furosemide, Sprinolakton, Vipalbumin, Atorvastatin, Prednison
dan Captopril. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa pengobatan SN terdiri
dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan
nonspesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema, dan mengobati
komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat
membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten
dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan atau asetazolamid. Kontrol
proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko
komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,O glkg berat
badanlhari dapat mengurangi proteinuria.1 Restriksi cairan dianjurkan selama ada
edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat
kalium).6
Captopril atau Obat penghambat enzim konversi angiotensin
(angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin
I1 (angiotensin 11 receptor antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan
kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria.
Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan.
Walaupun pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi
pada satu studi terbukti memberikan keuntungan. Obat penurun lemak golongan
statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin digunakan untuk
menurunkan kolesterol LDL, trigliserid dan meningkatkan kolesterol HDL. 1
Adapun pemberian Kortikosteroid (Prednison) adalah karena pada kasus
pasien tergolong SN relaps, dimana pasien pernah mengalami keluhan serupa
tahun lalu dan sempat sembuh, namun kambuh kembali. Sesuai kepustakaan,
pasien SN relaps dapat di terapi dengan kortikosteroid prednison dosis penuh
(FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan
dengan prednison intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4
minggu.6 Selain itu pada kasus pasien juga diberikan juga vip albumin yang
bertujuan untuk mengatasi hipoalbumin yang terjadi pada SN. Sesuai
15
kepustakaan, bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya
terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat
diberikan albumin untuk menarik cairan dari jaringan interstisial.6
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien SN adalah Infeksi,
Hiperlipidemia, Hipokalsemia, Hipovolemia dan Hipertensi.1,6 Pada sindrom
nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering adalah selulitis dan peritonitis.
Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemen faktor B dan D
di urin.1
Sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar
kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan
kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan
trombogenik. Pada sindrom nefrotik sensitive steroid, karena peningkatan zat-zat
tersebut sementara, cukup dengan pengurangan diit lemak.1
Hipokalsemia pada SN terjadi karena penggunaan steroid jangka panjang
yang menimbulkan osteoporosis, steopenia dan kebocoran metabolit vitamin D.
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom nefrotik resisten
steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 500mg/hari dan vitamin D.
Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 50mg/kgBB intravena.1
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom nefrotik
relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstremitas dingin dan sering disertai sakit perut. Penyulit lain yang dapat terjadi
diantaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik
(setelah 5-15 tahun).1 Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau
dalam perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid.6
16
BAB IV
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
Dari kajian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
17
DAFTAR PUSTAKA
18
http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/TATA-LAKSANA-
SINDROM-NEFROTIK-IDIOPATIK-PADA-ANAK.pdf . Asscessed April
3, 2017.
7. Pudjiadi AH, Hegar Badriul, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP,
Harmoniati ED . Malnutrisi Energi Protein. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2009. Avaible from :
http://www.idai.or.id/downloads/PPM/Buku-PPM.pdf . Asscessed April 3,
2017.
8. Efendi Ian, Pasaribu Restu. Edema Patologi dan Penanganannya. Dalam :
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi Idrus, Simadibrata M, Setiati Siti, editor.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi ke-5. Jakarta : Interna
Publishing ; 2010. Hal 946-951.
9. Cohen Eric P. Prognosis of Nephrotic Syndrome. In Batuman Vacihi :
Nephrotic Syndrome. MedScape. Dec 26, 2016. Avaible from :
http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview#a6 . Asscesed April
4, 2017.
19