Anda di halaman 1dari 24

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ...............................................................................................1


Kata pengantar ........................................................................................................2
Daftar isi .................................................................................................................3
BAB I Pendahuluan ....................................................................................4
BAB II Tinjauan pustaka ............................................................................5
2.1 Definisi ......................................................................................5
2.2 Epidemiologi .............................................................................5
2.3 Patofisiologi ..............................................................................6
2.4 Faktor Presipitasi .......................................................................8
2.5 Faktor Resiko ............................................................................8
2.6 Diagnosis ...................................................................................9
2.7 Penatalaksanaan ....................................................................11
2.8 Krisis hipertensi pada keadaan khusus .................................17
BAB III Kesimpulan ...................................................................................21
Daftar Pustaka .......................................................................................................23

i
ii
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius.


Hampir sekitar 50 juta orang di USA dan 1 miliar orang di dunia menderita
hipertensi. Sekitar 1-2% dari penderita hipertensi akan mengalami peningkatan
tekanan darah secara mendadak dalam waktu tertentu. Krisis hipertensi
merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat
tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ
target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien hipertensi yang tidak
atau lalai memakan obat antihipertensi. Peningkatan secara mendadak tekanan
darah sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg dinamakan
krisis hipertensi. JNC 7 membagi krisis hipertensi berdasarkan ada atau tidaknya
kerusakan organ sasaran yang progresif, yaitu hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi.1,2,3 Kerusakan organ yang dimaksud antara lain ensefalopati hipertensi,
infark miokard akut, gagal jantung kiri disertai edema paru, diseksi aneurisma
aorta, dan eklamsia. Tujuan utama pada penangangan krisis hipertensi adalah
menurunkan tekanan darah. Upaya penurunan tekanan darah pada kasus hipertensi
emergensi harus dilakukan segera (<1 jam) sedangkan kasus hipertensi urgensi
dapat dilakukan dalam kurun waktu beberapa jam hingga hari. Penanganan
pertama yang dilakukan pada hipertensi emergensi ialah memberikan obat
antihipertensi kerja cepat secara intravena, sedangkan pada hipertensi urgensi
cukup dengan pemberian obat antihipertensi secara oral. Selain itu, pasien dengan
hipertensi emergensi sebaiknya dirawat di ICU (Intensive Care Unit) demi
pemantauan secara ketat atas pemberian obat antihipertensi intravena. Oleh karena
itu, prinsip penatalaksanaan krisis hipertensi sangat penting untuk diketahui
mengingat semakin tingginya angka morbiditas serta mortalitas pada pasien-
pasien hipertensi yang tidak ditangani dengan baik. 1,2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang
mendadak sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg,
pada penderita hipertensi, yang membutuhkan penanggulangan segera. Krisis
hipertensi dibagi menjadi dua kategori, yaitu hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi. Hipertensi emergensi adalah peningkatan secara mendadak tekanan darah
sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg disertai dengan
adanya kerusakan target organ akut atau progresif sehingga membutuhkan
penurunan tekanan darah segera. Hipertensi urgensi adalah peningkatan secara
mendadak tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 120
mmHg tanpa gejala yang berat atau kerusakan target organ progresif dimana
kondisi ini membutuhkan penurunan tekanan darah dalam beberapa jam. 2

2.2 EPIDEMIOLOGI
Hipertensi merupakan masalah klinis yang sangat umum di negara barat.
Hipertensi mengenai sekitar 72 juta orang di USA dan sekitar 1 miliar orang di
dunia. Kebanyakan dari mereka merupakan hipertensi primer dan sekitar 30% nya
tidak terdiagnosis. Selanjutnya, hanya sekitar 14% - 29% pasien di Amerika
dengan hipertensi memiliki tekanan darah yang terkontrol. Insiden dari hipertensi
meningkat sesuai umur. Pada studi Framingham angka kejadian hipertensi pada
pria meningkat dari 3,3% di usia 30-39 tahun menjadi 6,2% di usia 70-79 tahun.
Selain itu, insidensi hipertensi lebih tinggi pada ras Afrika-Amerika dibandingkan
mereka yang berkulit putih. Prevalensi dan insidensi hipertensi di Mexico-
Amerika sama atau lebih rendah dibandingkan dengan kulit putih non-Hispanik. 1
Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3%
penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004.
Menurut Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan

2
Departemen Kesehatan R.I tahun 2009, prevalensi hipertensi di Indonesia
meningkat mencapai 32,2%. Dari kasus hipertensi yang terjadi di Indonesia,
mereka yang memiliki riwayat minum obat hanya 7,8% atau hanya 24,2% dari
kasus hipertensi di masyarakat. Hal ini menunjukkan 75,8% kasus hipertensi di
Indonesia belum terdiagnosis dan terjangkau oleh pelayanan kesehatan. 1
Semakin meningkatnya kasus hipertensi yang terjadi di dunia dapat
menyebabkan semakin seringnya terjadi komplikasi lebih lanjut yang dapat
mengancam jiwa. Diperkirakan sekitar 1 % dari pasien hipertensi akan mengalami
krisis hipertensi. Sebelum adanya terapi antihipertensi, komplikasi ini mencapai
angka 7% dari populasi kejadian hipertensi. Secara epidemiologis, kejadian krisis
hipertensi paralel dengan distribusi hipertensi primer dalam komunitas, dan lebih
tinggi pada mereka orang African-American dan usia lebih tua, dimana pria
terkena 2 kali lebih sering dibandingkan wanita. Kebanyakan dari pasien yang
mengalami krisis hipertensi ialah mereka yang sudah terdiagnosis memiliki
hipertensi primer dan banyak diantaranya sudah diberikan terapi antihipertensi
dengan kontrol tekanan darah yang tidak adekuat. Pada beberapa penelitian yang
ada menunjukkan bahwa pasien dengan krisis hipertensi memiliki peluang yang
lebih besar untuk menderita gangguan somatoform,stroke serta penyakit jantung
hipertensi dan atau penyakit jantung koroner. Kurangnya tenaga dokter, kegagalan
untuk memberikan terapi antihipertensi lebih awal, serta ketidaksesuaian dalam
memberikan terapi antihipertensi menjadi faktor resiko yang cukup besar untuk
terjadinya hipertensi emergensi. Hal inilah yang menyebabkan semakin tingginya
kejadian krisis hipertensi yang terjadi pada pasien-pasien hipertensi. 1,2

2.3 PATOFISOLOGI
Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi masih belum begitu jelas, namun
demikian ada dua peran penting yang menjelaskan patofisiologi tersebut yaitu :
1. Peran langsung dari peningkatan tekanan darah
2. Peran mediator endokrin dan parakrin
2.3.1 Peran peningkatan Tekanan Darah

3
Peningkatan mendadak tekanan darah yang berat maka akan terjadi
gangguan autoregulasi disertai peningkatan mendadak resistensi vaskuler sistemik
yang menimbulkan kerusakan organ target dengan sangat cepat. Gangguan
terhadap sistem autoregulasi secara terus-menerus akan memperburuk keadaan
pasien selanjutnya. Pada keadaan tersebut terjadi keadaan kerusakan endovaskuler
(endothelium pembuluh darah) yang terus-menerus disertai nekrosis fibrinoid di
arteriolus. Keadaan tersebut merupakan suatu siklus (vicious circle) dimana akan
terjadi iskemia, pengendapan platelet dan pelepasan beberapa vasoaktif. Trigernya
tidak diketahui dan bervariasi tergantung dari proses hipertensi yang
mendasarinya.4,5
Bila stress peningkatan tiba-tiba tekanan darah ini berlangsung terus-
menerus maka sel endothelial pembuluh darah menganggapnya suatu ancaman
dan selanjutnya melakukan vasokontriksi diikuti dengan hipertropi pembuluh
darah. Usaha ini dilakukan agar tidak terjadi penjalaran kenaikan tekanan darah
ditingkat sel yang akan menganggu hemostasis sel. Akibat dari kontraksi otot
polos yang lama, akhirnya akan menyebabkan disfungsi endotelial pembuluh
darah disertai berkurangnya pelepasan nitric oxide (NO). Selanjutnya disfungsi
endotelial akan ditriger oleh peradangan dan melepaskan zat-zat inflamasi lainnya
seperti sitokin, endhotelial adhesion molecule dan endhoteli-1.4
Mekanisme ditingkat sel ini akan meningkatkan permeabilitas dari sel
endotelial, menghambat fibrinolisis dan mengaktifkan sistem koagulasi. Sistem
koagulasi yang teraktifasi ini bersama-sama dengan adhesi platelet dan agregasi
akan mengendapkan materi fibrinoid pada lumen pembuluh darah yang sudah
kecil dan sempit sehingga makin meningkatkan tekanan darah. Siklus ini
berlangsung terus dan menyebabkan kerusakan endotelial pembuluh darah yang
makin parah dan meluas.4

4
Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi Emergensi 4
2.3.3 Peranan Mediator Endokrin dan Parakrin
Sistem renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA) memegang peran penting
dalam patofisiologi terjadinya krisis hipertensi. Peningkatan renin dalam darah
akan meningkatkan vasokonstriktor kuat angiotensin II, dan akan pula
meningkatkan hormon aldosteron yang berperan dalam meretensi air dan garam
sehingga volume intravaskuler akan meningkat pula. Keadaan tersebut diatas
bersamaan pula dengan terjadinya peningkatan resistensi perifer pembuluh darah
yang akan meningkatkan tekanan darah. Apabila tekanan darah meningkat terus
maka akan terjadi natriuresis sehingga seolah-olah terjadi hipovolemia dan akan
merangsang renin kembali untuk membentuk vasokonstriktor angiotensin II
sehingga terjadi iskemia pembuluh darah dan menimbulkan hipertensi berat atau
krisis hipertensi.4,5

5
2.4 FAKTOR PRESIPITASI KRISIS HIPERTENSI
Keadaan-keadaan klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis
hipertensi antara lain ialah 5,6:
 Kenaikan tekanan darah tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis primer
 Hipertensi renovaskular
 Glomerulusnefritis akut
 Sindroma withdrawal anti hipertensi
 Cedera kepala dan ruda paksa pada susunan saraf pusat
 Renin-sekretin tumor
 Pemakaian prekusor katekolamin pada pasien yang mendapat MAO
Inhibitor
 Penyakit parenkim ginjal
 Pengaruh obat : kontrasepsi oral, anti depresan trisiklik, simpatomimetik
(pil diet sejenis amfetamin), kortikosteroid, NSAID
 Luka bakar
 Progresif sistematik sklerosis, SLE

2.5 FAKTOR RESIKO


 Penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat anti
hipertensi tidak teratur
 Kehamilan
 Penggunaan NAPZA
 Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti, luka bakar
berat, feokromositoma, penyakit kolagen, penyakit vaskuler, dan trauma
kepala.

2.6 DIAGNOSIS
Hipertensi ini memerlukan penurunan tekanan darah segera meskipun
tidak perlu menjadi normal, untuk membatasi atau mencegah terjadinya kerusakan
organ sasaran. Perburukan cepat artinya jika tidak diberikan terapi secara efektif

6
dalam waktu tertentu, terdapat kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan. Krisis
hipertensi adalah keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah
segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan
darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah. 6,7
Pada hipertensi emergensi, situasi di mana diperlukan penurunan tekanan
darah yang segera dengan obat antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan
organ target akut atau progresif. Kerusakan yang dapat terjadi antara lain. 4,5 :
1. Neurologik : Encephalopati hipertensi, stroke hemoragik (intraserebral
atau subdural) atau iskemik, papil edema.
2. Kardiovaskuler : Unstable angina, infark miokardium akut, gagal jantung
dengan edema peru, diseksi aorta.
3. Renal : Proteinuria, hamaturia, gagal ginjal akut, krisis ginjal scleroderma.
4. Mikroangiopati : anemia hemolitik.
5. Preeklampsia dan eklampsia.

Tabel 1. Kerusakan Target Organ Pada Hipertensi Emergensi 2

Riwayat penyakit ditujukan pada system neurologis dan kardiovaskular,


medikasi dan penggunaan obat. Keluhan neurologi mungkin dramatik, tetapi
sering kali berupa gejala yang tidak spesifik seperti nyeri kepala, malaise, dan
persepsi yang samar-samar tentang kemampuan mental, dan merupakan satu-
satunya tanda dekompensasi sistem saraf pusat (SSP) akut. Riwayat penyakit SSP

7
atau serebrovaskular sebelumnya harus dicari, karena komplikasi terapetik lebih
sering terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit tersebut. 5,6
Pada hipertensi urgensi, situasi di mana terdapat peningkatan tekanan
darah yang bermakna (ada yang menyebut tekanan darah sistolik > 220 mmHg
atau tekanan darah diastolik > 125 mmHg) tanpa adanya gejala berat atau
kerusakan target organ progresif dan tekanan darah perlu diturunkan dalam
beberapa jam. 5,6
Prinsip-prinsip penegakan diagnosis hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi tidak berbeda dengan penyakit lainnya 4,6 ;
1. Anamnesis
Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat, tekanan darah
rata-rata, riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik dan steroid,
kelainan hormonal, riwayat penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral,
jantung dan gangguan penglihatan.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tekanan darah pada kedua lengan, perabaan denyut
nadi perifer (raba nadi radialis kedua lengan dan kemungkinan
adanya selisih dengan nadi femoral, radial-femoral pulse leg ),
b. Mata ; Lihat adanya papil edema, pendarahan dan eksudat,
penyempitan yang hebat arteriol.
c. Jantung ; Palpasi adanya pergeseran apeks, dengarkan adanya
bunyi jantung S3 dan S4 serta adanya murmur.
d. Paru ; perhatikan adanya ronki basal yang mengindikasikan CHF.
e. Status neurologik ; pendekatan pada status mental dan perhatikan
adanya defisit neurologik fokal. Periksa tingkat kesadarannya dan
refleks fisiologis dan patologis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan penyakit dasarnya,
penyakit penyerta, dan kerusakan target organ. Yang sering dilakukan
antara lain; pemeriksaan elektrolit, BUN, glukosa darah, kreatinin,

8
urinalisis, hitung jenis komponen darah dan SADT. Pemeriksaan lainnya
antara lain foto rontgen toraks, EKG dan CT-Scan.

Tabel 2. Kategori Diagnostik dan Evidence Kerusakan Organ Target 6

2.7 PENATALAKSANAAN
2.7.1 Dasar-dasar penatalaksanaan krisis hipertensi
Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah diturunkan karena
penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun
lambat. Tetapi di pihak lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat
menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak,

9
jantung, dan ginjal. Untuk menurunkan tekanan darah sampai ke tingkat yang
diharapkan perlu diperhatikan berbagai faktor antara lain tekanan darah perlu
diturunkan segera atau bertahap, pengamatan yang menyertai krisis hipertensi,
perubahan aliran darah dan autoregulasi tekanan darah pada organ vital, pemilihan
obat anti hipertensi efektif untuk krisis hipertensi, dan monitoring efek samping
obat. .4,5,6

AUTOREGULASI
Autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap
kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi
terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi/dilatasi
pembuluh darah. Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan tekanan
darah secara mendadak dimaksudkan untuk melindungi organ vital agar tidak
terjadi iskemi. Bila tekanan darah turun, terjadi vasodilatasi, jika tekanan darah
naik timbul vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih
tetap pada fluktuasi mean arterial pressure (MAP) 70-105 mmHg. Rumus
perhitungan MAP ialah :
Sistolik + 2 x Diastolik
MAP =
3
Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan memakai
oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang
berkurang. Bila mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan
manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkope. Autoregulasi otak
ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme miogenik yang disebabkan oleh
stretch reseptor pada otot polos arteriol otak, walaupun hipoksia mempunyai
peranan dalam perubahan metabolisme di otak. Pada orang normal dengan
normotensi, autoregulasi aliran darah ke otak dipertahankan pada MAP antara 60-
120-140 mmHg sehingga penurunan tekanan darah yang cepat sampai batas
hipertensi, masih dapat ditoleransi. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit
serebrovaskular dan usia tua, batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan
bergeser ke kanan pada kurva dimana dipertahankan pada MAP tinggi yaitu 120-

10
160-180 mmHgsehingga pengurangan aliran darah terjadi pada tekanan darah
yang lebih tinggi.4,5,6

Gambar 2. Autoregulasi aliran darah otak pada individu normotensi dan


hipertensi 7
Pada orang yang normotensi maupun hipertensi batas terendah dari
autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena itu
dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan MAP sebanyak 20–25% dalam
beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi, misalnya
penurunan tekanan darah pada penderita aorta diseksi akut ataupun edema paru
akibat gagal jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30 menit dan bisa lebih
rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi
ensefalopati, penurunan tekanan darah 25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien dengan
infark serebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan tekanan darah
dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak
lebih rendah dari 170–180/100 mmHg. 4,5,6

2.7.2 Penatalaksanaan krisis hipertensi


HIPERTENSI EMERGENSI
Pada hipertensi emergensi, tujuan pengobatan ialah memperkecil
kerusakan organ target akibat tingginya tekanan darah dan menghindari pengaruh
buruk akibat pengobatan. Berdasarkan prinsip ini maka obat antihipertensi pilihan

11
adalah yang bekerja cepat, efek penurunan tekanan darah dapat dikontrol dan
dengan sedikit efek samping. Bila diagnosis krisis hipertensi telah ditegakkan,
langkah-langkah yang harus dilakukan ialah 5,6,7:
1. Rawat di ICU. Bila ada indikasi, pasang femoral intraarterial line dan
pulminari arterial kateter untuk menentukan fungsi kardiopulmoner dan status
volume intravaskuler.
2. Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik, dengan menentukan :
 Penyebab krisis hipertensi
 Penyakit lain yang menyerupai krisis hipertensi disingkirkan
 Adanya kerusakan organ target
3. Tentukan tekanan darah yang diinginkan didasari dari lama tingginya tekanan
darah sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis
yang menyertai serta usia pasien.
 Menurunkan tekanan arteri rata-rata (MAP) sebanyak 25% atau mencapai
tekanan darah diastolik 100 – 110 mmHg dalam waktu beberapa menit
sampai satu atau dua jam. Kemudian tekanan darah diturunkan menjadi
160/100 mmHg dalam 2 sampai 6 jam. Tekanan darah diukur setiap 15
sampai 30 menit.
 Pada stroke, penurunan tekanan darah hanya boleh 20% dan khusus pada
stroke iskemik penurunan tekanan darah secara bertahap bila tekanan
darah > 220/130 mmHg.
 Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dapat menyebabkan iskemia
renal, serebral dan miokardium.
Pada hipertensi emergensi, pemberian obat antihipertensi melalui
intravena (IV). Berikut ini merupakan obat antihipertensi parenteral yang
digunakan, antara lain :
Tabel 3. Obat Antihipertensi Intravena pada Hipertensi Emergensi 4

12
Berdasarkan kerusakan organ target, obat antihipertensi yang diberikan ialah :
Tabel 4. Pilhan Obat Antihipertensi Sesuai Kerusakan Organ Target 4

HIPERTENSI URGENSI
Pada hipertensi urgensi, tujuan pengobatan ialah penurunan tekanan darah
sama seperti hipertensi emergensi, hanya saja dalam waktu 24 sampai 48 jam.
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Sebaiknya penderita ditempatkan di ruangan yang tenang, tidak terang, dan diukur
kembali dalam 30 menit. Bila tekanan darah masih sangat meningkat, maka dapat

13
dimulai pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral antihipertensi dalam
menanggulangi hipertensi urgensi. Berikut ini ialah obat antihipertensi oral yang
diberikan, antara lain 6,7,8:
 Nifedipine
 Pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit), bukal (onset 5–10
menit), oral (onset 15-20 menit), durasi kerja 5 – 15 menit secara sublingual/
buccal. Efek samping: sakit kepala, takikardi, hipotensi, flushing, oyong.
 Clonidine
 Pemberian secara oral dengan onset 30–60 menit, durasi kerja 8-12 jam.
Dosis: 0,1-0,2 mg, dilanjutkan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai dengan 0,7 mg.
Efek samping: sedasi, mulut kering. Hindari pemakaian pada AV blok derajat
2 dan 3, bradikardi, sick sinus syndrome. Over dosis dapat diobati dengan
tolazoline.
 Captopril
 Pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25 mg dan dapat diulang setiap 30
menit sesuai kebutuhan. Efek samping: angioneurotik edema, rash, gagal
ginjal akut pada penderita bilateral renal arteri stenosis.
 Prazosin
 Pemberian secara oral dengan dosis 1-2 mg dan diulang per jam bila perlu.
Efek samping: sinkop, hipotensi ortostatik, palpitasi, takikardi, sakit kepala.

Dengan pemberian nifedipine ataupun clonidine oral dicapai penurunan


MAP sebanyak 20% ataupun tekanan darah <120 mmHg. Demikian juga
captopril, prazosin terutama digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat
dari peningkatan katekolamin. Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi
oral/sublingual dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang cepat dan
berlebihan bahkan sampai ke batas hipotensi, walaupun hal ini jarang sekali
terjadi. 6,7,8
Selain itu, reaksi hipotensi akibat pemberian oral nifedipine dapat
menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke. Dengan pengaturan titrasi
dosis nifedipine ataupun clonidin biasanya tekanan darah dapat diturunkan

14
bertahap dan mencapai batas aman dari MAP. Penderita yang telah mendapat
pengobatan antihipertensi cenderung lebih sensitif terhadap penambahan terapi.
Untuk penderita hipertensi dengan riwayat penyakit serebrovaskular dan koroner,
pasien umur tua serta pasien dengan volume depletion maka dosis obat nifedipine
dan clonidine harus dikurangi. Seluruh penderita diobservasi paling sedikit selama
6 jam setelah tekanan darah turun untuk mengetahui efek terapi dan juga
kemungkinan timbulnya hipotensi ortostatil. Bila tekanan darah penderita yang
diobati tidak berkurang maka sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit. 6,7,9

2.8 KRISIS HIPERTENSI PADA KEADAAN KHUSUS


2.8.1 KRISIS HIPERTENSI PADA GANGGUAN OTAK
2.8.1.1 STROKE
a. Infark
 Infark : aterotrombotik, kardioembolik, lakunar.
 Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg,
dimana pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30 menit.
 Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur dengan batas
penurunan maksimal tekanan darah 20-25% dari MAP.
 Jika tekanan darah sistolik 180-220 mmHg dan tekanan diastolik 105-
120 mmHg dilakukan penatalaksanaan seperti terapi pada hipertensi
urgensi.
b. Perdarahan
 Perdarahan : perdarahan intraserebral, perdarahan subarachnoid,
pecahnya Arteriovenous Malformation (AVM)
 Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg,
dimana pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30 menit.
 Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur dengan batas
penurunan maksimal tekanan darah 20-25% dari MAP.
 Target tekanan darah adalah sistolik 160 mmHg dan diastolik 90
mmHg.

15
Catatan :
- The American Stroke Association merekomendasikan penurunan tekanan
darah sebesar 10-15% bila tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau diastolik >
120 mmHg.
- Nifedipin dapat mengakibatkan stroke non-hemoragic dan infark miokard bila
tekanan darah terlalu cepat diturunkan.
- Candexartan cilexetil per oral pada stroke akut memberikan perbaikan kualitas
hidup dalam 1 tahun pertama dengan tidak menurunkan tekanan darah yang
berlebihan.

2.8.1.2 ENSEFALOPATI HIPERTENSI


 Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg, dimana
pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30 menit.
 Terdapat gangguan kesadaran, retinopati dengan papiledema, peningkatan
tekanan intrakranial sampai kejang.
 Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur penatalaksanaan
krisis hipertensi dengan batas penurunan tekanan darah 20-25% dari MAP.
2.8.1.3 CEDERA KEPALA DAN TUMOR INTRAKRANIAL
 Pada kasus cedera kepala, tumor intrakranial terdapat gejala tekanan
intrakranial yang meningkat, seperti : sakit kepala hebat, muntah
proyektil/tanpa penyebab gastrointestinal, papiledema, kesadaran
menurun/berubah
 Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg, dimana
pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30 menit.
 Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur penatalaksanaan
krisis hipertensi dengan batas penurunan tekanan darah 20-25% dari MAP.
 Khusus untuk tumor intrakranial hipofisis perlu dilakukan pemeriksaan
hormonal dan penatalaksanaan sesuai dengan krisis hipertensi dengan
gangguan endokrin.

16
2.8.2 KRISIS HIPERTENSI PADA PENYAKIT JANTUNG
2.8.2.1 DISEKSI AORTA AKUT
Definisi
Suatu kondisi akibat robekan pada dinding aorta sehingga lapisan
dinding aorta terpisah dan darah dapat masuk ke sela-sela lapisan dinding
pembuluh darah aorta. 10

Manifestasi klinis
Keluhan dapat bervariasi :
 Nyeri khas aorta : onset mendadak, nyeri teriris sudah maksimal
dirasakan saat awal, lokasi nyeri sesuai lokasi dimana robekan aorta
terjadi.
 Rasa nyeri dada seperti nyeri dada khas infark miokard, bila proses
diseksi menjalar ke ostium arteria koronaria.
 Rasa nyeri di leher disertai pandangan kabur, bila proses diseksi
ekstensi ke arteri karotis.
 Sinkope merupakan petanda komplikasi yang fatal, seperti tamponade
jantung, hipoperfusi serebri.

Diagnosis
Kecurigaan diagnosis diseksi aorta berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik cukup untuk menatalaksana sebagai diseksi aorta.
Diagnosis pasti dengan pencitraan dengan : ekokardiografi transesofageal
(TEE), CT-Scan kontras, MRI. 10

Prinsip tatalaksana dan sasaran tekanan darah


 Atasi rasa nyeri dengan morfin intravena. Kemudia, menurunkan
tekanan darah sistolik segera dalam 10-20 menit dengan target
tekanan darah sistolik 110-120 mmHg dan frekuensi nadi 60
x/menit.

17
 B-blocker merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi shear
stress dan mengontrol tekanan darah.
 Terapi medikamentosa dapat dilakukan pada diseksi aorta desenden
tanpa komplikasi ke organ lain, yakni hipoperfusi ginjal, ekstremitas
dan mesenterika.
 Setelah pasien stabil, idealnya 24-48 jam, obat intravena diganti
dengan oral.

2.8.2.2 EDEMA PARU


Definisi
Suatu keadaan timbulnya tanda dan gejala jantung yang disertai
dengan peningkatan tekanan darah dan gambaran rontgen thoraks sesuai
dengan edema paru. 10

Manifestasi klinis
Keluhan/gejala : sesak napas, orthopnoe, dyspneu on effort

Pemeriksaan fisik
 Tekanan darah sesuai definisi krisis hipertensi
 Frekuensi pernapasan meningkat
 Pada pemeriksaan jantung ditemukan S3 dan/atau S4 gallop
 Pada pemeriksaan paru ditemukan suara napas ekspirasi
memanjang disertai ronki basah halus di seluruh lapangan paru
 Peningkatan tekanan vena jugularis

Diagnosis
 Peningkatan tekanan darah sesuai krisis hipertensi
 Gejala dan tanda gagal jantung
 Edema paru pada foto thorak

18
Prinsip tatalaksana dan sasaran tekanan darah
Terapi diberikan dengan urutan sebagai berikut :
1. O2 dengan target saturasi O2 perifer > 95%, bila perlu dapat
digunakan CPAP atau ventilasi mekanik non-invasif bahkan
ventilasi mekanik invasif
2. Pemberian nitroglycerin sublingual, bila perlu dilanjutkan dengan
pemberiaan drip
3. Pemberiaan diuretik loop intravena (furosemid)
4. Pemberiaan obat anti-hipertensi intravena atau sublingual
5. Bila tidak ada kontra indikasi morfin IV dapat dipertimbangkan
Target penurunan tekanan darah sistolik atau diastolik sebesar 30
mmHg dalam beberapa menit. Sasaran akhir tekanan darah sistolik < 130
mmHg dan tekanan darah diastolik < 80 mmHg sebaiknya dicapai dalam 3
jam. 10

2.8.2.3 SINDROMA KORONER AKUT


Definisi
Sindroma koroner akut terdiri dari angina pektoris tidak stabil,
infark miokard non-ST elevasi dan infark miokard dengan ST elevasi. 10

Manifestasi klinis
Keluhan : nyeri dada dengan penjalaran ke leher atau lengan kiri
dengan durasi lebih dari 20 menit dan dapat disertai dengan gejala
sistemik berupa keringat dingin, mual dan muntah dan pemeriksaan fisik
tidak ditemukan tanda-tanda gagal jantung. 10

Pemeriksaan fisik : dapat normal atau tanda-tanda gagal jantung.

Diagnosis
1. Anamnesis

19
2. EKG
3. Enzim petanda kerusakan otot jantung (CKMB, Troponin T)

Prinsip tatalaksan dan sasaran tekanan darah


Penyekat beta dan nitrogliserin merupakan anjuran utama. Bila
tidak terkontrol dapat diberikan golongan golongan kalsium antagonis
parenteral, nicardipin dan diltiazem bila tidak ada kontraindikasi. Sasaran
tekanan darah sistolik adalah < 130 mmHg dan tekanan darah diastolik <
80 mmHg. Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara bertahap.
Penurunan tekanan darah perlu pemantauan ketat agar tekanan darah
diastolik tidak lebih rendah dari 60 mmHg karena dapat mengakibatkan
iskemia miokard bertambah berat. 10

2.8.3 KRISIS HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL


Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh krisis hipertensi. Gagal ginjal akut
dapat ditandai dengan proteinuria, mikroskopik hematuria, oligouria dan/atau
anuria. Penatalaksanan terbaik untuk gagal ginjal akut akibat krisis hipertensi
masih kontroversial. Walaupun nitroprusside sering digunakan, namun dapat
menyebabkan keracunan cyanida atau thiocyanida. Fenoldopam mesylate (a
dopamine-1 receptor agonis) telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dan
keamanan yang dapat dijamin. Pemberian fenoldopam menghindari terjadinya
potensi keracunan cyanida atau thiocyanida akibat nitroprusside untuk gagal
ginjal akut dan memiliki efek meningkatkan fungsi ginjal yang dapat diukur
melalui kreatinin klirens. 10

2.8.4 KRISIS HIPERTENSI PADA GANGGUAN ENDOKRIN


Pasien dengan peningkatan katekolamin, seperti pada feokromositoma,
overdosis kokain atau amfetamin, MAO (Monoamin Oksidase) Inhibitor, atau
clonidine withdrwal syndrome dapat menyebabkan krisis hipertensi.
Feokromositoma ialah keganasan pada kelenjar adrenomedular. Feokromositoma
dapat menyebabkan terjadinya krisis hipertensi karena kelebihan produksi

20
epinefrin dan nor-epinefrin yang dilepaskan ke dalam peredaran darah. Selain itu,
stimulasi beta-reseptor ginjal oleh kadar katekolamin yang tinggi menyebabkan
dilepaskannya renin yang pada akhirnya meningkatkan tekanan arteri. Diagnosis
feokromositoma ditegakkan dengan pemeriksaan katekolamin plasma.
Katekolamin urine dan/atau metabolitnya dalam urine 24 jam (seperti metanefrin
dan vanil mandelic acid). Feokromositoma jarang ditemukan namun merupakan
penyebab yang penting pada krisis hipertensi. Pada feokromositoma, kontrol awal
tekanan darah dapat diberikan sodium nitroprusside atau phentolamine IV. Beta
blockers dapat ditambahkan untuk meningkatkan kontrol tekanan darah tetapi
jangan diberikan sendiri sampai alfa-blokade dapat dibuktikan merupakan
hipertensi paradoksial. Benzodiapine dapat menjadi salah satu obat anti hipertensi
yang utama untuk intoksikasi kokain. Obat ini menurunkan denyut nadi dan
tekanan darah melalui efek anxiolitik dan oleh karena itu direkomendasikan untuk
pasien keracunan kokain. 10

2.8.5 KRISIS HIPERTENSI PADA KEHAMILAN


Pada kehamilan keadaan yang menyertai krisis hipertensi adalah
preeklampsia, dimana dapat ditemukan gangguan penglihatan, sakit kepala hebat,
nyeri abdomen kuadran atas, gagal jantung kongestif dan oliguri sampai gangguan
serebrovaskuler. Bila terjadi kejang penderita masuk stadium eklampsia. Krisis
hipertensi hanya dapat diakhiri dengan proses persalinan dan penanggulangan
dilakukan sesuai penanggulangan krisis hipertensi dengan perhatian khusus pada
kehamilan. Keputusan untuk melakukan terminasi kehamilan/proses persalinan
dilakukan oleh ahli medis dibidang kebidanan.10

21
BAB III
KESIMPULAN

1. Krisis hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang


mendadak sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg,
pada penderita hipertensi, yang membutuhkan penanggulangan segera.
2. Semakin meningkatnya kasus hipertensi yang terjadi di dunia dapat
menyebabkan semakin seringnya terjadi komplikasi lebih lanjut yang dapat
mengancam jiwa. Diperkirakan sekitar 1 % dari pasien hipertensi akan
mengalami krisis hipertensi
3. Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi masih belum begitu jelas, namun
demikian ada dua peran penting yang menjelaskan patofisiologi tersebut,yaitu :
peran langsung dari peningkatan tekanan darah dan peran mediator endokrin
dan parakrin.
4. Faktor resiko terbanyak yang sering menyebabkan krisis hipertensi ialah
penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat anti hipertensi
tidak teratur.
5. Penegakkan diagnosis krisis hipertensi berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan penunjang.
6. Tujuan utama pada penangangan krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan
darah. Upaya penurunan tekanan darah pada kasus hipertensi emergensi harus
dilakukan segera (<1 jam) sedangkan kasus hipertensi urgensi dapat dilakukan
dalam kurun waktu beberapa jam hingga hari. Penanganan pertama yang
dilakukan pada hipertensi emergensi ialah memberikan obat antihipertensi
kerja cepat secara intravena, sedangkan pada hipertensi urgensi cukup dengan
pemberian obat antihipertensi secara oral. Selain itu, pasien dengan hipertensi
emergensi sebaiknya dirawat di ICU (Intensive Care Unit) demi pemantauan
secara ketat atas pemberian obat antihipertensi intravena.
7. Krisis hipertensi pada keadaan khusus memiliki prinsip-prinsip
penatalaksanaan tersendiri dalam menangani kegawatdaruratannya.

22

Anda mungkin juga menyukai