Anda di halaman 1dari 20

Referat

CARPAL TUNNEL SYNDROME

Pembimbing:
dr. Nadia Husein Hamedan, Sp.S
Disusun Oleh:
Ivan Yoseph Saputra
11.2016.155

KEPANITRAAN KLINIK ILMU SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN
PERIODE 23 APRIL 2018 – 26 MEI 2018

1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu penyakit yang paling sering mengenai nervus medianus
adalah neuropati tekanan / jebakan (entrapment neuropathy). Di
pergelangan tangan, nervus medianus berjalan melalui terowongan karpal
(carpal tunnel) dan menginnervasi kulit telapak tangan dan punggung
tangan di daerah ibu jari, telunjuk, jari tengah dan setengah sisi radial jari
manis. Pada saat berjalan melalui terowongan inilah nervus medianus
paling sering mengalami tekanan yang menyebabkan terjadinya neuropati
tekanan yang dikenal dengan istilah Sindroma Terowongan Karpal / STK
(Carpal Tunnel Syndrome / CTS). Sindrom ini merupakan sindrom yang
timbul akibat N. Medianus tertekan di dalam Carpal Tunnel (terowongan
karpal) di pergelangan tangan, sewaktu nervus melewati terowongan tersebut
dari lengan bawah ke tangan. CTS merupakan salah satu penyakit yang
dilaporkan oleh badan-badan statistik perburuhan di negara maju sebagai
penyakit yang sering dijumpai di kalangan pekerja-pekerja industri (Jagga,
2011).
Tingginya angka prevalensi yang diikuti tingginya biaya yang harus
dikeluarkan untuk pengobatannya membuat permasalahan ini menjadi
masalah besar dalam dunia okupasi. Beberapa faktor diketahui menjadi
risiko terhadap terjadinya CTS pada pekerja, seperti gerakan berulang
dengan kekuatan, tekanan pada otot, getaran, suhu, postur kerja yang tidak
ergonomik dan lain-lain (Kurniawan, 2008).
Angka kejadian CTS di Amerika Serikat telah diperkirakan sekitar
1-3 kasus per 1.000 orang setiap tahunnya dengan prevalensi sekitar 50
kasus dari 1.000 orang pada populasi umum. National Health Interview
Study (NIHS) memperkirakan bahwa prevalensi CTS yang dilaporkan
sendiri diantara populasi dewasa adalah sebesar 1.55% (2,6 juta). CTS lebih
sering mengenai wanita daripada pria dengan usia berkisar 25-64 tahun,
prevalensi tertinggi pada wanita usia >55 tahun, biasanya antara 40-60
tahun. Prevalensi CTS dalam populasi umum telah diperkirakan 5% untuk

2
wanita dan 0,6% untuk laki-laki CTS adalah jenis neuropati jebakan yang
paling sering ditemui. Sindroma tersebut unilateral pada 42% kasus (29%
kanan, 13% kiri) dan 58% bilateral (Gorsché, 2001).
Di Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum
diketahui karena sampai tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis
penyakit akibat kerja yang dilaporkan karena berbagai hal, sebabnya
antara lain sulitnya diagnosis. Penelitian pada pekerjaan dengan risiko
tinggi pada pergelangan tangan dan tangan melaporkan prevalensi CTS
antara 5,6% sampai dengan 15%. Penelitian Harsono pada pekerja suatu
perusahaan ban di Indonesia melaporkan prevalensi CTS pada pekerja
sebesar 12,7%. Silverstein dan peneliti lain melaporkan adanya hubungan
positif antara keluhan dan gejala CTS dengan faktor kecepatan
menggunakan alat dan faktor kekuatan melakukan gerakan pada tangan
(Tana, 2004).

B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Carpal Tunnel Syndrome.
2. Mempelajari etiologi Carpal Tunnel Syndrome.
3. Menjelaskan patofisiologi Carpal Tunnel Syndrome.
4. Mempelajari diagnosis dan penatalaksaan Carpal Tunnel Syndrome.
5. Mengetahui prognosis dari Carpal Tunnel Syndrome.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan neuropati tekanan atau
cerutan terhadap nervus medianus di dalam terowongan karpal pada
pergelangan tangan, tepatnya di bawah tleksor retinakulum (Samuel 1979,
Dejong 1979, Mumenthaler 1984). Dahulu, sindroma ini juga disebut dengan
nama acroparesthesia, median thenar neuritis atau partial thenar atrophy.
CTS pertama kali dikenali sebagai suatu sindroma klinik oleh Sir James Paget
pada kasus stadium lanjut fraktur radius bagian distal. CTS spontan pertama
kali dilaporkan oleh Pierre Marie dan C. Foix pada tahun 1913 (Rosenbaum,
1997).
Istilah CTS diperkenalkan oleh Moersch pada tahun 1938. Terowongan
karpal terdapat di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana tulang dan
ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa
tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan
sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh
fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan palmar carpal ligament)
yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia tersebut. Setiap
perubahan yang mempersempit terowongan ini akan menyebabkan tekanan
pada struktur yang paling rentan di dalamnya yaitu nervus medianus
(Rosenbaum, 1997).

B. Etiologi dan Predisposisi


1. Etiologi
Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus
juga dilalui oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang
mengakibatkan semakin padatnya terowongan ini dapat menyebabkan
terjadinya penekanan pada nervus medianus sehingga timbullah CTS.
Pada sebagian kasus etiologinya tidak diketahui, terutama pada penderita

4
lanjut usia. Beberapa penulis menghubungkan gerakan yang berulang-
ulang pada pergelangan tangan dengan bertambahnya resiko menderita
gangguan pada pergelangan tangan termasuk CTS (Rosenbaum, 1997).
Pada kasus yang lain etiologinya adalah (Rosenbaum, 1997):
a) Herediter: neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure
palsy, misalnya Hereditary Motor and Sensory Neuropathies
(HMSN) tipe III.
b) Trauma: dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah,
pergelangan tangan dan tangan. Sprain pergelangan tangan. Trauma
langsung terhadap pergelangan tangan.
c) Pekerjaan: gerakan mengetuk atau fleksi dan ekstensi pergelangan
tangan yang berulang-ulang.
d) Infeksi: tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
e) Metabolik: amiloidosis, gout.
f) Endokrin: akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes
mellitus, hipotiroidi, kehamilan.
g) Neoplasma: kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, mieloma.
h) Penyakit kolagen vaskular: artritis reumatoid, polimialgia
reumatika, skleroderma, lupus eritematosus sistemik.
i) Degeneratif: osteoartritis.
j) Iatrogenik: punksi arteri radialis, pemasangan shunt vaskular untuk
dialisis, hematoma, komplikasi dari terapi anti koagulan.

2. Predisposisi
Di Indonesia, urutan prevalensi CTS dalam masalah kerja belum
diketahui karena sampai tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis
penyakit akibat kerja yang dilaporkan karena berbagai hal, antara lain
sulitnya diagnosis. Penelitian pada pekerjaan dengan risiko tinggi pada
pergelangan tangan dan tangan melaporkan prevalensi CTS antara 5,6%
sampai dengan 15%. Penelitian Harsono pada pekerja suatu perusahaan
ban di Indonesia melaporkan prevalensi CTS pada pekerja sebesar 12,7%.
Silverstein dan peneliti lain melaporkan adanya hubungan positif antara

5
keluhan dan gejala CTS dengan faktor kecepatan menggunakan alat dan
faktor kekuatan melakukan gerakan pada tangan (Rosenbaum, 1997).

C. Patofisiologi
Patogenesis CTS masih belum jelas. Beberapa teori telah diajukan
untuk menjelaskan gejala dan gangguan studi konduksi saraf. Yang paling
populer adalah kompresi mekanik, insufisiensi mikrovaskular, dan teori
getaran. Menurut teori kompresi mekanik, gejala CTS adalah karena
kompresi nervus medianus di terowongan karpal. Kelemahan utama dari teori
ini adalah bahwa teori ini menjelaskan konsekuensi dari kompresi saraf tetapi
tidak menjelaskan etiologi yang mendasari kompresi mekanik. Kompresi
diyakini dimediasi oleh beberapa faktor seperti ketegangan, tenaga
berlebihan, hiperfungsi, ekstensi pergelangan tangan berkepanjangan atau
berulang (Bahrudin, 2011).
Teori insufisiensi mikro-vaskular mennyatakan bahwa kurangnya
pasokan darah menyebabkan penipisan nutrisi dan oksigen ke saraf yang
menyebabkan saraf secara perlahan kehilangan kemampuan untuk
mengirimkan impuls saraf. Scar atau luka parut dan jaringan fibrotik
akhirnya berkembang dalam saraf. Tergantung pada keparahan cedera,
perubahan saraf dan otot mungkin permanen. Karakteristik gejala CTS
terutama kesemutan, mati rasa, dan nyeri akut, bersama dengan kehilangan
konduksi saraf akut dan reversible dianggap gejala untuk iskemia. Sebuah
studi oleh Seiler (dengan Doppler laser flow metry) menunjukkan bahwa
normalnya aliran darah berdenyut di dalam saraf median dipulihkan dalam 1
menit dari saat ligamentum karpal transversal dilepaskan. Sejumlah
penelitian eksperimental mendukung teori iskemia akibat kompresi
diterapkan secara eksternal dan karena peningkatan tekanan di karpal tunnel.
Gejala akan bervariasi sesuai dengan integritas suplai darah dari saraf dan
tekanan darah sistolik. Hasil studi Kiernan menemukan bahwa konduksi
melambat pada median saraf dapat dijelaskan oleh kompresi iskemik saja dan
mungkin tidak selalu disebabkan myelinisasi yang terganggu (Bahrudin,
2011).

6
Menurut teori getaran, gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari
penggunaan jangka panjang alat yang bergetar pada saraf median di karpal
tunnel. Lundborg mencatat edema epineural pada saraf median dalam
beberapa hari berikut paparan alat getar genggam. Selanjutnya, terjadi
perubahan serupa mengikuti mekanik, iskemik, dan trauma kimia (Bahrudin,
2011).
Hipotesis lain dari CTS adalah bahwa faktor mekanik dan vaskular
memegang peranan penting dalam terjadinya CTS. Umumnya CTS terjadi
secara kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinakulum yang
menyebabkan tekanan terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang-
ulang dan lama akan mengakibatkan peninggian tekanan intravesikuler.
Akibatnya aliran darah vena intravesikuler melambat. Kongesti yang terjadi
ini akan mengganggu nutrisi intrvesikuler lalu diikuti oleh anoksia yang akan
merusak endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan kebocoran
protein sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini menerangkan
bagaimana keluhan nyeri dan sembab yang timbul terutama pada malam atau
pagi hari akan berkurang setelah tangan yang terlibat digerakkan atau diurut,
mungkin akibat terjadinya perbaikan sementara pada aliran darah. Apabila
kondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis epineural yang merusak
serabut saraf. Semakin lama hal itu terjadi, saraf dapat mengalami atrofi dan
digantikan oleh jaringan ikat yang mengakibatkan fungsi nervus medianus
terganggu secara menyeluruh (Tana, 2004).
Selain akibat adanya penekanan yang melebihi tekanan perfusi
kapiler akan menyebabkan gangguan mikrosirkulasi dan timbul iskemik
saraf. Keadaan iskemik ini diperberat lagi oleh peninggian tekanan
intravesikuler yang menyebabkan berlanjutnya gangguan aliran darah.
Selanjutnya terjadi vasodilatasi yang menyebabkan edema sehingga sawar
darah-saraf terganggu yang berkibat terjadi kerusakan pada saraf tersebut
(Tana, 2004).
Penelitian yang telah dilakukan Kouyoumdjian menerangkan
bahwa CTS terjadi karena kompresi saraf median di bawah ligamentum
karpal transversal berhubungan dengan naiknya berat badan dan Indeks Masa

7
Tubuh (IMT). IMT yang rendah merupakan kondisi kesehatan yang baik
untuk proteksi fungsi nervus medianus. Pekerja dengan IMT minimal ≥25
lebih mungkin untuk terkena CTS dibandingkan dengan pekerjaan yang
mempunyai berat badan ramping. American Obesity Association menemukan
bahwa 70% dari penderita CTS memiliki kelebihan berat badan. Resiko CTS
meningkat setiap peningkatan IMT sebanyak 8% (Tana, 2004).
Pergelangan tangan mempunyai struktur anatomi yang rumit dan aktif.
Carpal Tunnel yang mirip terowongan berada di pergelangan tangan,
dibentuk 8 tulang carpal dan fleksor retinaculum atau ligamentum carpal
transversalis. Di dalam tunnel (terowongan) ini lewat atau tersusun secara
rapat fleksor digitorum profunda dan superficialis, fleksor ligitorum dan
nervus medianus (Kurniawan, 2008).
Terjadinya sindrom ini bertumpu pada perubahan patologis yang
diakibatkan oleh adanya iritasi secara terus menerus pada nervus medianus
di daerah pergelangan tangan. Banyak faktor yang dapat mengawali
timbulnya sindrom ini, baik sistemik maupun lokal, namun khusus bagi para
pemakai komputer, faktor iritasi lokal terhadap nervus medianus inilah yang
tampaknya perlu mendapat perhatian lebih banyak (Darno, 2011).
Bila kedudukan antara telapak tangan terhadap lengan bawah bertahan
secara tidak fisiologis untuk waktu yang cukup lama, maka gerakan-gerakan
tangan akan mengakibatkan tepi ligamentum karpi transversum bersentuhan
dengan saraf medianus secara berlebihan. Hal lain yang dapat terjadi yaitu
adanya bagian persendian tangan yang mengalami tekanan atau regangan
yang berlebih dan sebagai mekanisme kompensasi, tubuh berusaha
memperkuat bagian yang mendapat beban tidak fisiologis ini antara lain
dengan mempertebal ligamentum karpi transversum. Penebalan ini akan
mempersempit terowongan tempat lalunya saraf dan urat, dan lebih berat lagi
akan menjepit saraf (Darno, 2011).
Pada operasi, tak jarang dijumpai perubahan struktur pada nervus
medianus di daerah proximal dari tepi atas ligamentum karpi ransversum,
tanpa diikuti oleh penebalan ligamentumnya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kedua penyebab di atas dapat berjalan secara terpisah

8
ataupun bersamaan. Nervus medianus sendiri mulai dari daerah pergelangan
tangan, 94% merupakanserabut perasa / sensoris, sedangkan 6% merupakan
serabut motoris yang ke arah ibu jari. Dengan demikian, pada awalnya gejala
lebih banyak ditandai dengan kejadian parestesia (seperti kesemutan, rasa
terbakar), sampai ke hipoanestesia (baal-baal sampai hilangnya rasa raba).
Bila sudah ada gejala motorik (otot pangkal ibu jari tangan mulai mengecil,
kekuatan berkurang), maka iritasi kemungkinan sudah berlangsung sejak
lama (Verina, 2006).

D. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja.
Gangguan motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal
biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti
terkena aliran listrik (tingling) pada jari 1-3 dan setengah sisi radial jari 4
sesuai dengan distribusi sensorik nervus medianus walaupun kadang-
kadang dirasakan mengenai seluruh jari-jari (Salter, 2009).
Komar dan Ford membahas dua bentuk CTS yaitu akut dan kronis.
Bentuk akut mempunyai gejala dengan nyeri parah, bengkak pergelangan
tangan atau tangan, tangan dingin, atau gerak jari menurun. Kehilangan
gerak jari disebabkan oleh kombinasi dari rasa sakit dan paresis. Bentuk
kronis mempunyai gejala baik disfungsi sensorik yang mendominasi atau
kehilangan motorik dengan perubahan trofik. Nyeri proksimal mungkin
ada dalam carpal tunnel syndrome (Pecina, 2010).
Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala
lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam
hari sehingga sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri
ini umumnya agak berkurang bila penderita memijat atau menggerak-
gerakkan tangannya atau dengan meletakkan tangannya pada posisi yang
lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang bila penderita lebih banyak
mengistirahatkan tangannya (Rambe, 2008).
Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari-jari menjadi

9
kurang terampil misalnya saat memungut benda-benda kecil. Kelemahan
pada tangan juga sering dinyatakan dengan keluhan adanya kesulitan yang
penderita sewaktu menggenggam. Pada tahap lanjut dapat dijumpai atrofi
otot-otot thenar (oppones pollicis dan abductor pollicis brevis) dan otot-
otot lainya yang diinervasi oleh nervus medianus (Mark, 2006).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada
penderita dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan
otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat
membantu menegakkan diagnosa CTS adalah (Katz, 2011):
a) Tes Phalen
Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila
dalam waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong
diagnosa. Beberapa penulis berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif
untuk menegakkan diagnosa CTS.

Gambar 1.1 Tes Phalen (Katz, 2011)


b) Tes Torniquet
Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan torniquet dengan
menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas
tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini
menyokong diagnose (Katz, 2011).
c) Tinel's Sign
Tes ini mendukung diagnosa bila timbul parestesia atau nyeri
pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada

10
terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi (Katz,
2011).
Gambar 1.2 Tinel’s Test (Katz, 2011)

d) Flick's Sign
Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-
gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan
menyokong diagnosa CTS (Katz, 2011).
e) Thenar Wasting
Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot
thenar (Katz, 2011).
f) Menilai kekuatan dan ketrampilan serta kekuatan otot secara manual
maupun dengan alat dinamometer (Katz, 2011).
g) Wrist Extension Test
Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara maksimal,
sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat
dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS,
maka tes ini menyokong diagnosa CTS (Katz, 2011).
h) Tes Tekanan
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan
menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul
gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnose (Katz, 2011).
i) Luthy's Sign (Bottle's sign)
Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada
botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh

11
dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung
diagnose (Katz, 2011).
j) Pemeriksaan Sensibilitas
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus,
tes dianggap positif dan menyokong diagnose (Katz, 2011).
k) Pemeriksaan Fungsi Otonom
Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit
yang kering atau licin yang terbatas pada daerah innervasi nervus
medianus. Bila ada akan mendukung diagnosa CTS (Katz, 2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Neurofisiologi (Elektrodiagnostik)
Pemeriksaan EMG dapat menunjukkan adanya fibrilasi,
polifasik, gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada
otot-otot thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada
otot-otot lumbrikal. EMG bisa normal pada 31% kasus CTS. Kecepatan
Hantar Saraf (KHS). Pada 15-25% kasus, KHS bisa normal. Pada yang
lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency)
memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi saraf di
pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten
motorik (Latov, 2007).
b) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat
membantu melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau
artritis. Foto polos leher berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit
lain pada vertebra. USG, CT-scan dan MRI dilakukan pada kasus yang
selektif terutama yang akan dioperasi. USG dilakukan untuk mengukur
luas penampang dari saraf median di carpal tunnel proksimal yang
sensitif dan spesifik untuk carpal tunnel syndrome (Rambe, 2004).
c) Pemeriksaan Laboratorium
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda
tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa

12
pemeriksaan seperti kadar gula darah, kadar hormon tiroid ataupun
darah lengkap (Rambe, 2004).

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CTS tergantung pada etiologi, durasi gejala, dan
intensitas kompresi saraf. Jika sindrom adalah suatu penyakit sekunder untuk
penyakit endokrin, hematologi, atau penyakit sistemik lain, penyakit primer
harus diobati (Bahrudin, 2011).
1. Medikamentosa
Terdapat beberapa terapi terhadap carpal tunnel syndrome yang
masih dipergunakan hingga saat ini, antara lain (George, 2009):
a) Injeksi Kortikosteroid Lokal
Injeksi kortikosteroid cukup efektif sebagai penghilang gejala
CTS secara temporer dalam waktu yang singkat. Metilprednisolon
atau hidrokortison bisa disuntikkan langsung ke carpal tunnel untuk
menghilangkan nyeri. Injeksi kortikosteroid dapat mengurangi
peradangan, sehingga mengurangi tekanan pada nervus medianus.
Pengobatan ini tidak bersifat untuk dilakukan dalam jangka waktu
yang panjang (George, 2009).
Deksametason 1-4 mg 1 atau hidrokortison 10-25 mg atau
metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam
terowongan karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada
lokasi 1 cm ke arah proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah
medial tendon musculus palmaris longus. Sementara suntikan dapat
diulang dalam 7 sampai 10 hari untuk total tiga atau empat suntikan.
Tindakan operasi dapat dipertimbangkan bila hasil terapi belum
memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan. Suntikan harus digunakan
dengan hati-hati untuk pasien di bawah usia 30 tahun (George, 2009)
b) Vitamin B6 (Piridoksin)
Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu penyebab
CTS adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka menganjurkan
pemberian piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Tetapi

13
beberapa penulis lainnya berpendapat bahwa pemberian piridoksin
tidak bermanfaat bahkan dapat menimbulkan neuropati bila diberikan
dalam dosis besar. Namun pemberian dapat berfungsi untuk
mengurangi rasa nyeri (George, 2009).
c) Obat Antiinflamasi Non-Steroid (NSAID)
Obat-obatan jenis NSAID dapat mengurangi inflamasi dan
membantu menghilangkan nyeri. Pada umumnya digunakan untuk
menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Obat pilihan untuk terapi
awal biasanya adalah ibuprofen. Pilihan lainnya yaitu ketoprofen dan
naproxen (George, 2009).

2. Non-medikamentosa
Kasus ringan selain bisa diobati dengan obat anti inflamasi non-
steroid (OAINS) juga bisa menggunakan penjepit pergelangan tangan
yang mempertahankan tangan dalam posisi netral selama minimal 2 bulan,
terutama pada malam hari atau selama ada gerak berulang. Jika tidak
efektif, dan gejala yang cukup mengganggu, operasi sering dianjurkan
untuk meringankan kompresi. Oleh karena itu sebaiknya terapi CTS dibagi
atas 2 kelompok, yaitu (Bahrudin, 2011):
a) Terapi langsung terhadap CTS
1) Terapi konservatif (Bahrudin, 2011)
i. Istirahatkan pergelangan tangan.
ii. Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan.
Bidai dapat dipasang terus-menerus atau hanya pada malam
hari selama 2-3 minggu.
iii. Nerve Gliding, yaitu latihan terdiri dari berbagai gerakan
(ROM) latihan dari ekstremitas atas dan leher yang
menghasilkan ketegangan dan gerakan membujur sepanjang
saraf median dan lain dari ekstremitas atas. Latihan-latihan
ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan dari sistem saraf
perifer dirancang untuk gerakan, dan bahwa ketegangan dan
meluncur saraf mungkin memiliki efek pada neurofisiologi

14
melalui perubahan dalam aliran pembuluh darah dan
axoplasmic. Latihan dilakukan sederhana dan dapat dilakukan
oleh pasien setelah instruksi singkat.

Gambar 2. 3 Nerve Gliding


iv. Fisioterapi yang ditujukan pada perbaikan vaskularisasi
pergelangan tangan.
2) Terapi operatif
Operasi hanya dilakukan pada kasus yang tidak mengalami
perbaikan dengan terapi konservatif atau bila terjadi gangguan
sensorik yang berat atau adanya atrofi otot-otot thenar. Pada CTS
bilateral biasanya operasi pertama dilakukan pada tangan yang
paling nyeri walaupun dapat sekaligus dilakukan operasi bilateral.
Penulis lain menyatakan bahwa tindakan operasi mutlak
dilakukan bila terapi konservatif gagal atau bila ada atrofi otot-
otot thenar, sedangkan indikasi relatif tindakan operasi adalah
hilangnya sensibilitas yang persisten. Biasanya tindakan operasi
CTS dilakukan secara terbuka dengan anestesi lokal, tetapi
sekarang telah dikembangkan teknik operasi secara endoskopik.
Operasi endoskopik memungkinkan mobilisasi penderita secara
dini dengan jaringan parut yang minimal, tetapi karena
terbatasnya lapangan operasi tindakan ini lebih sering
menimbulkan komplikasi operasi seperti cedera pada saraf.

15
Beberapa penyebab CTS seperti adanya massa atau anomali
maupun tenosinovitis pada terowongan karpal lebih baik dioperasi
secara terbuka (Bahrudin, 2011).
b) Terapi terhadap keadaan atau penyakit yang mendasari CTS
Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya CTS harus
ditanggulangi, sebab bila tidak dapat menimbulkan kekambuhan CTS
kembali. Pada keadaan di mana CTS terjadi akibat gerakan tangan
yang repetitif harus dilakukan penyesuaian ataupun pencegahan.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya CTS
atau mencegah kekambuhannya antara lain (Bahrudin, 2011):
i. Mengurangi posisi kaku pada pergelangan tangan, gerakan
repetitif, getaran peralatan tangan pada saat bekerja.
ii. Desain peralatan kerja supaya tangan dalam posisi natural saat
kerja.
iii. Modifikasi tata ruang kerja untuk memudahkan variasi gerakan.
iv. Mengubah metode kerja untuk sesekali istirahat pendek serta
mengupayakan rotasi kerja.
v. Meningkatkan pengetahuan pekerja tentang gejala-gejala dini CTS
sehingga pekerja dapat mengenali gejala-gejala CTS lebih dini.
Di samping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang
sering mendasari terjadinya CTS seperti: trauma akut maupun kronik
pada pergelangan tangan dan daerah sekitarnya, gagal ginjal, penderita
yang sering dihemodialisa, myxedema akibat hipotiroidi, akromegali
akibat tumor hipofisis, kehamilan atau penggunaan pil kontrasepsi,
penyakit kolagen vaskular, artritis, tenosinovitis, infeksi pergelangan
tangan, obesitas dan penyakit lain yang dapat menyebabkan retensi
cairan atau menyebabkan bertambahnya isi terowongan karpal
(Bahrudin, 2011).

F. Prognosis
Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya
prognosa baik. Bila keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif

16
maka tindakan operasi harus dilakukan. Secara umum prognosa operasi
juga baik, tetapi karena operasi hanya dilakukan pada penderita yang
sudah lama menderita CTS penyembuhan post operatifnya bertahap
(Bahrudin, 2011).
Bila setelah dilakukan tindakan operasi, tidak juga diperoleh
perbaikan maka dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini
(Bahrudin, 2011):
1. Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan / tekanan
terhadap nervus medianus terletak di tempat yang lebih proksimal.
2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
3. Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti
akibat edema, perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut
hipertrofik. Sekalipun prognosa CTS dengan terapi konservatif
maupun operatif cukup baik, tetapi resiko untuk kambuh kembali
masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan, prosedur terapi baik
konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.

G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya
sensibilitas yang persisten di daerah distribusi nervus medianus. Komplikasi
yang paling berat adalah reflek sympathetic dystrophy yang ditandai dengan
nyeri hebat, hiperalgesia, disestesia, dan gangguan trofik. Sekalipun
prognosa carpal tunnel syndrome dengan terapi konservatif maupun operatif
cukup baik, tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi
kekambuhan, prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi
kembali (Ashworth, 2013).

17
III. KESIMPULAN

1. Carpal Turner Syndrome adalah sindroma dengan gejala kesemutan dan


rasa nyeri pada pergelangan tangan terutama tiga jari utama yaitu ibu jari
telunjuk dan jari tengah terjadi akibat N. Medianus tertekan di dalam Carpal
Tunnel (terowongan karpal) di pergelangan tangan, sering dialami pekerja
industri.
2. Gejala Carpal Turner Syndrome yaitu kaku pada bagian-bagian tanggan
sakit seperti tertusuk atau nyeri menjalar dari pergelangan tangan sampai
kelengan, kelemahan pada satu atau dua tangan, nyeri pada telapak tangan,
pergelangan jari tidak terkoordinasi, sensasi terbakar pada jari-jari.

3. Penatalaksanaan CTS tergantung pada etiologi, durasi gejala, dan intensitas


kompresi saraf. Terapi medika mentosa meliputi pemberian injeksi
kortikosteroid lokal, vitamin B-6, NSAID. Terapi non medika mentosa yaitu
terapi konservatif, meliputi istarahat, pemasangan bidai, nerve gliding, dan
fisioterapi, dan terapi operatif yang dilakukan jika penyakit tidak mengalmi
perbaikan dengan terapi konservatif.

4. Prognosis CTS baik jika terapi konservatif dan atau terapi operatif berhasil,
dan buruk jika telah dilakukan terapi operatif namun tidak membaik.

18
IV. DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Orthopaedic Surgeons. Clinical Practice Guideline on the


Treatment of Carpal Tunnel Syndrome. 2008.

Bahrudin, Mochamad. Carpal Tunnel Syndrome. Malang: FK UMM. 2011. Vol.7


No. 14. Diakses melalui: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed
/article/view/1090 (diakses 27 Oktober 2014).

Darno. 2011. Hubungan Karakteristik Pekerja dan Gerakan Berulang dengan


Kejadian CTS pada Pemetik Daun Teh di PT. Rumpun Sari Kemuning.
Surakarta : UNS. Skripsi.

George, Dewanto. Riyanto, Budi. Turana, Yuda, et al. Panduan Praktis Diagnosis
dan Tatalaksana Penyakit Saraf. 2009;h.120-123

Gilroy J. Basic Neurology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill ; 2000.p.599-601.

Gorsché, R. Carpal Tunnel Syndrome. The Canadian Journal of CME. 2001,


101-117.

Gunderson CH. Quick Reference to Clinical Neurology. Philadelphia: JB Lippincott


Co; 1982. p. 370-371.

Jagga, V. Lehri, A. et al. 2011. Occupation and its association with Carpal
Tunnel syndrome- A Review. Journal of Exercise Science and
Physiotherapy. Vol. 7, No. 2: 68-78.

Katz, Jeffrey N., et al. 2011. Carpal Tunnel Syndrome. N Engl J Med. Vol. 346,
No. 23.

Kurniawan, Bina, et al. Faktor Risiko Kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
pada Wanita Pemetik Melati di Desa Karangcengis, Purbalingga. Jurnal
Promosi Kesehatan Indonesia. Vol. 3, No. 1. 2008.

Kurniawan Bina, jayanti Siswi, Setyaningsih Yuliani. Faktor Risiko Kejadian CTS
pada Wanita Pemetik Melati di Desa Karangcengis, Purbalingga. Kesehatan
dan Keselamatan Kerja FKM UNDIP. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia
Vol. 3/No. 1/ Januari. 2008

Latov, Norman. Peripheral Neuropathy. New York: Demos Medical Publishing.


2007.

Lindsay KW, Bone I. Neurology and Neurosurgery Illustrated. 3rd ed. New York:
Churchill Livingstone ;1997.p.435.

19
Lusan Maria, Pudjowidyanto Handojo. Karakteristik Penderita Sindrom Terowong
Karpal (STK) di Poliklinik Instalasi Rehabilitasi Medik Rs Dr. Karyadi
Semarang 2006. Media Medika Indonesia Vol. 43, No.1, 2008

Mumenthaler, Mark. Et al. 2006. Fundamentals of Neurologic Disease. Stuttgard:


Thieme.

Pecina, Marko M. Markiewitz, Andrew D. 2010. Tunnel Syndromes: Peripheral


Nerve Compression Syndromes Third Edition. New York: CRC PRESS.

Rambe, Aldi S. 2008. Sindroma Terowongan Karpal. Bagian Neurologi FK USU.

Rosenbaum R. Occupational and Use Mononeuropathies. Dalam Evans RW, editor.


Neurology and Trauma. Philadelphia: WB Saunders Co; 1996. p. 403-405.

Rosenbaum R. Carpal Tunnel Syndrome dalam Johnson RT dan Griffin JW Current


Therapy in Neurologic Disease. 5th ed. St.Louis: Mosby; 1997. p. 374-379

Rusdi Yusuf, Koesyanto Herry. Hubungan Antara Getaran Mesin pada Pekerja
Bagian Produksi dengan Carpal Tunnel Syndrome Industri Pengolahan Kayu
Brumbung Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Jurnal KEMAS 5(2) (2010)
89-94.

Salter, R. B. 2009. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal


System. 2nd ed. Baltimore: Williams&Wilkins Co; p. 274-275.

Tana, Lusianawaty et al. Carpal Tunnel Syndrome Pada Pekerja Garmen di


Jakarta. Buletin Peneliti Kesehatan. 2004. vol. 32, no. 2: 73-82.

Verina YD. 2006. Hubungan Karakteristik Pekerja, Frekuensi Gerakan berulang


dan Faktor Kesehatan dengan Kejadian Carpal Tunnel Syndrome pada
Pemetik Melati. Semarang: UNDIP.

20

Anda mungkin juga menyukai