Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia. Di dalam hati terjadi
proses-proses penting bagi kehidupan kita yaitu proses penyimpanan energi,
pengaturan metabolisme kolesterol, dan penetralan racun/obat yang masuk dalam
tubuh kita, sehingga dapat kita bayangkan akibat yang akan timbul apabila terjadi
kerusakan pada hati.
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat
adanya nekrosis hepatoselular
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga
pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker).
Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar
25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati merupakan
penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian Penyakit Dalam.
Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar kasus terutama ditujukan untuk mengatasi
berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti perdarahan saluran cerna bagian atas,
koma peptikum, hepatorenal sindrom, dan asites, Spontaneous bacterial peritonitis
serta Hepatosellular carsinoma. Gejala klinis dari sirosis hati sangat bervariasi, mulai
dari tanpa gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sirosis Hepatis


2.1.1. Definisi Sirosis Hepatis
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif.

2.1.2. Klasifikasi Sirosis Hepatis


Terdapat beberapa klasifikasi sirosis hepatis dari segi klinis, morfoogi dan
etiologinya. Berdasarkan etiologi, sirosis hepar diklasifikasikan menjadi : 1)
Alkoholik, 2) kriptogenik dan post hepatitis, 3) biliaris, 4) kardiak, dan 5) metabolik
Sirosis secara morfologi diklasifikasikan sebagai :
1. Mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septal tebal teratur, didalam septa parenkim
hati mengandung nodul halus dan kecil merata di seluruh lobus hepar.
Besar nodulnya kurang dari 3 cm, dan terakadang ada yang berubah
menjadi makronodular sehingga dijumpai campuran mikro dan
makronodular
2. Makronodular
Ditandai dengan terbentunya septa dengan ketebalan bervariasi.
Mengandung nodul yang besarnya lebih dari 3 mm
3. Campuran mikronodular dan makronodular

Secara klinis, sirosis hepatis diklasifikasikan sebagai :


1. Sirosis hepatis kompensata
Disebut juga sirosis hepar laten. Pada klasifikasi ini belum adanya gejala
klinis yang nyata. Biasanya ditemukan pada saat pemeriksaan skirining
2. Sirosis hepatis dekompensata
Dikenal sebagai Actibe liver Cirrhosis. Ditandai dengan adanya gejala-
gejala dan tanda klinis yang jelas seperti asites, edema, dan ikterus.

2.1.3 Etiologi Sirosis Hepatis


Penyebab pasti dari terjadinya sirosis hepatis belum jelas. Di negara barat,
kasus ini sering terjadi akibat penggunaan alkohol, sedangkan di Indonesia sering
terjadi akibat infeksi virus hepatitis B dan C.
1. Faktor keturunan dan malnutrisi
Kekurangan protein menjadi penyebab timbulnya sirosis hepatis. Hal ini
dikarenakan bebera asam amino seperti metionin berpartisipasi dalam
metabolisme gugus metil yang berperan mencegah perlemakan hati dan
sirosis hepatis.
2. Hepatitis virus
Hepatitis virus sering disebut sebagai salah satu penyebab sirosis hepatis,
dan secara klini telah dikenal bahwa virus hepatisis B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan gejala sisa serta
menunjukkan perjalanan yang kronis bila dibandingkan dengan virus
hepatitis A. Penderita dengan hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi
sirosis karena banyak terjadi kerusakan hati yang kronis,
Sebagaimana kita ketahui bahwa sekitar 10% penderita virus hepatitis B
akut akan menjadi kronis. Apabila pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan HbsAg positif dan menetapnya aantigen virus lebih dari 10
minggu disertai tetap meningginya kadar asam empedu puasa lebih dari 6
bulan, maka mempunyai prognosis kurang baik.
3. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan fungsi sel hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara
akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak. Sedangkan kerusakan
kronik akan berupa sirosis hepatis. Pemberian bermacam-macam obat-
obatan hepatotoksik secara berulang kali dan terus menerus. Mula-mula
akan terjadi kerusakan setempat, kemudian terjadi kerusakan hati semata
dan akhirnya dapat terjadi sisoris hepatis. Zat hepatotoksik yang sering
disebut-sebut adalah alkohol. Efek yang nyata dari etil alkohol adalah
penimbuan lemak dalam hati.
4. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-
orang muda ditandai dengan sirosis hepatis, degenerasi ganglia basalis
dari otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat
kehijauan disebut Kayser Fleicer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan
defisiensi sitoplasmin bawaan.
5. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada 2 kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu :
1) Sejak dilahirkan, penderita mengalami kenaikan absorbsi dari besi.
2) Kemungkinan didapat setelah lahir (aquisita), misalnya dijumpai pada
penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorbsi dari
besi kemungkinan menyebebkan timbulnya sirosis hepatis.
Sebab-Sebab Sirosis dan/atau Penyakit Hati Kronik
Penyakit Infeksi
Bruselosis
Ekinokokus
Toksoplasmosis
Hepatitis virus

Penyakit Keturunan dan Metabolik


Defisiensi α1-antitripsin
Sindrom fanconi
Galaktosemia
Penyakit gaucher
Penyakit simpanan glikogen
Hemokromatosis
Intoleransi fluktosa herediter
Tirosinemia herediter
Penyakit wilson

Obat dan Toksin


Alkohol
Amiodaron
Arsenik
Obstruksi bilier
Penyakit perlemakan hati non alkoholik
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosis primer

Penyebab lain atau tidak terbukti


Penyakit usus inflamasi kronik
Fibrosis kistik
Pintas jejunoileal
Sarkoidosis
Tabel 2.1. Etiologi Sirosis Hepatis

2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi Sirosis Hepatis


Penyalahgunaan alkohol dengan kejadian sirosis sangat erat hubungannya.
Etanol merupakan hepatotoksin yang mengarah pada perkembangan fatty liver,
hepatitis alkoholik dan pada akhirnya dapat menimbulkan sirosis.Patogenesis yang
terjadi mungkin berbeda tergantung pada penyebab dari penyakit hati. Secara umum,
ada peradangan kronis baik karenaracun (alkohol dan obat), infeksi (virus hepatitis,
parasit), autoimun (hepatitis kronis aktif, sirosis bilier primer), atau obstruksi bilier
(batu saluran empedu), kemudian akan berkembang menjadi fibrosis difus dan sirosis.
Mekanismea terjadinya proses yang berlangsung terus mulai dari hepatitis virus
menjadi sirosis hepatis belum jelas. Patogenesis yang mungkin terjadi yaitu :
1. Mekanis
Pada daerah hati yang mengalami nekrosis konfluen, kerangka retikulum
lobus hepar yang mengalami kolaps akan menjadi kerangka untuk terjadinya
daerah parut yang luas, dalam kerangak jaringan ikat ini, bagian parenkim hati
yang bertahan hidup berkembang menjadi nodul regenerasi
2. Teori imunologis
Sirosis hepatis dikatakan dapat berkembang dari hepatitis akut jika melalu
proses hepatitis kronik aktif terlebih dahulu. Proses respn imunologis pada
sejumlah kasus tidak cukup untuk menyingkirkan virus atau hepatosit yang
terinfeksi, dan sel yang mengandung virus ini merupakan ransangan untuk
terjadinya proses imunologis yang berlangsung terus sampai terjadi kerusakan
sel hepar.

2.1.5 Manifestasi Klinis Sirosis Hepatis


1. Gejala-gejala sirosis
Pada stadium awal sirosis sering terjadi tanpa gejala sehingga kadang ditemukan
pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena
kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan
mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung,
mual, berat badan menurun. Bila sudah lanjut (dekompensata), gejala-gejala
lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi
porta. Mungkin disertai dengan adanya gangguan pembekuan darah, gangguan
siklus haid, ikterus degan air kemih bewarna seperti teh pekat, muntah darah
dan atau melena serta perubahan mental.
2. Temuan klinis
 Spider nevi yaitu suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena
kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas.
 Eritema palmaris yaitu adanya warna merah saga pada thena dan hipothenar
telapak tangan. Hal ini dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon
estrogen.
 Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan
dengan warna normal kuku
 Jari gada yang lebih sering ditemukan pada sirosis bilier
 Ginekomasitia dan atrofi testis
 Hepatomegali, dimana ukuran hepar bisa membesar, normal, atau bahkan
mengecil. Bila mana hepar teraba, maka akan teraba keras dan nodular
 Splenomegali yang terjadi akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi
porta
 Asites, penimbunan cairan didalam rongga peritoneum akibat hipertensi porta
dan hipoalbuminemia.
 Caput medusa / vena kolateral akibat hipertensi porta
 Ikterus pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia
3. Gambaran laboratorium
Tes fungsi hati yang dilakukan meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gamma
glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin dan wakru protrombin.
 Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat (SGOT)
dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat transaminase
(SGPT) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST lebih meningkat dari pada
ALT
 Alkali fosfatase meningkat 2 sampai 3 kali diatas normal
 Gamma-glutamil transpeptidase tinggi pada penyakit hati alkoholik
 Bilirubin konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata namun
meningkat pada sirosis yang lanjut
 Albumin, konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis
 Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis
 Waktu protrombin memanjang pada sirosis hepatis
 Terjadinya kelaian hematologi anemia dengan penyebab yang bermacam-
macam
 Pemeriksaan radiologi barium meal dapat melihat varises untuk konfirmasi
adanya hipertensi porta
 Pemeriksaan USG untuk melakukan penilaian hepar meliputi sudut,
permukaan, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Serta dapat juga
dilakukan pemeriksaan MRI dan CT-Scan.

2.1.6 Diagnosis Sirosis Hepatis


Diagnosis sirosis hepatis dapat ditentukan berdasarkan manifestasi klinis yang
ditemukan. Pada stadium kompensata, diagnosa baru dapat ditegakan dengan bantuan
pemeriksaan klinis yang cermat, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Sedangkan pada stadium dekompensata, penegakan diagnosa
tidak sulit karena gejala dan tanda klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi
Berdasarkan kriteria Soebandiri, diagnosis sirosis hepatis dapat ditegakan jika
ditemukan 5 dari 7 tanda berikut, yaitu :
1. Spider nevi
2. Venektasi / venakolateral
3. Ascites dengan atau tanpa edema tungkai
4. Splenomegali
5. Varices esofagus
6. Ratio albumin globulin terbalik
7. Palmar eritema

2.1.7 Komplikasi Sirosis Hepatis


Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup
pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.
Berbagai komplikasi yang dapat terjadi akibat sirosis hepatis yaitu :
1. Perdarahan gastrointestinal
2. Koma hepatikum
3. Ulkus peptikum
4. Infeksi, yang paling sering ditemukan yaitu peritonitis bakterial spontan
5. Ensefalopati hepatik
6. Hepatopulmonary syndrome
7. Edema dan ascites

2.1.8 Penatalaksanaan Sirosis Hepatis


Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan dari bahan-bahan yang bisa
menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi
Tatalaksanan pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk
mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan uuntuk menghilangkan
etiologinya.
Pengobatan Sirosis Dekompensata
 Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak
5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasikan
dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian
spironolakton dengan dosis 100-200mg sekali sehari. Bila pemberian
spironolakton tidak adekuat, bisa dikombinasikan dengan furosemid
dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah
dosisnya dengan maksimal dosis 160 mg/hari. Pengeluaran asites bisa
4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
 Ensefalopati hepatik
Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia. Neomisin
bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia, diet
protein dikurangi sampai 0,5 gr/kgBB per hari.
 Varises esofagus
Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat
beta (propanolol). Waktu perdarahan akut bisa diberikan preparat
somatostatin atau oktreotid diteruskan dengan tindakan skleroterapi
atau ligas endoskopi.
 Peritonitis bakterial spontan
Diberikan antibiotika seperti sefotaksim intravena, amoksilin atau
aminoglikosida
 Sindrom hepatorenal
Mengatasi perubahan sirkulasi darah dihati, mengatur keseimbangan
garam dan air
Transplantasi hati merupakan terapi definitif pada pasien sirosis
dekompensata. Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria
yang harus dipenuhi resipien dahulu.

2.1.9 Prognosis Sirosis Hepatis


Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi
etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.
Klasifikasi Child-Pugh merupakan penilaian prognosis pasien sirosis yang
akan menjalani operasi :
Derajat Minimal Sedang Berat
Kerusakan
Bilirubin serum <35 35-50 >50
(mu.mol/dl)
Alb.serum (gr/dl) >35 30-35 <30
Asites Nihil Mudah dikontrol Sukar
PSE / Nihil Minimal Berat/koma
Ensefalopati
Nutrisi Sempurna Baik Kurang/kurus
Tabel 2.2. Klasifikasi Child-Pugh
2.2. Hepatitis B Kronik
2.2.1. Defenisi
Hepatitis B kronik adalah adanya persistensi virus hepatitis B (VHB) lebih
dari 6 bulan, sehingga pemakaian istilah carrier sehat (healty carrier) tidak dianjurkan
lagi. Hepatitis B kronik merupakan masalah kesehatan besar terutama di Asia, dimana
terdapat sedikitnya 75% dari seluruhnya 300 juta individu HBsAg positif menetap di
seluruh dunia. Di Asia sebagian besar pasien B kronik mendapat infeksi pada masa
perinatal. Kebanyakan pasien ini tidak mengalami keluhan ataupun gejala sampai
akhirnya terj adi penyakit hati kronik.

2.2.2. Patogenesis Persistensi VHB


Virus hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari
peredaran darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus.
Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh,
partikel HBsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk
partikel virus. VHB merangsang respons imun tubuh, yang pertama kali dirangsang
adalah respons imun nonspesifik (innate immune response) karena dapat terangsang
dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi
nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK
dan NK-T.
Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun spesifik,
yaitu .dengan mengaktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktifasi sel T CD8+
terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks, peptida VHB- MHC
kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding
Antigen Presenting Cell (APC) dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya
sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding
APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi
antigen sasaran respons imun adalah peptida kapsid yaitu HBcAg atau HBeAg. Sel T
CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang
terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang
akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu
dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi
melalui aktivitas Interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang
dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik).
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi
antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc dan anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah
netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan
demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik
VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis
B Kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti-HBs yang tidak bisa dideteksi dengan
metode pemeriksaan biasa karena anti-HBs bersembunyi dalam kompleks dengan
HBsAg.
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat
diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB
yang menetap. Proses-eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak efisien dapat
disebabkan oleh faktor VIRUS ataupun faktor pejamu.
Faktor virus antara lain: terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan
terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya mutan
VHB yang tidak memproduksi HBeAg, integrasi genom VHB dalam genom sel hati.
Faktor pejamu antara lain: faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi
terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor
kelamin atau hormonal.
Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk VHB dalam
persistensi VHB adalah mekanisme persistensi infeksi VHB pada neonatus yang
dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg positif. Diduga persistensi tersebut
disebabkan adanya imunotoleransi. terhadap HBeAg yang masuk ke dalam tubuh
janin mendahului invasi VHB, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga
disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus.
Persistensi infeksi VHB dapat disebabkan karena mutasi pada daerahprecore dari
DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg. Tidak adanya HBeAg
pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB
2.2.3. Perjalanan Penyakit Hati
Sembilan puluh persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap
HBsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita Hepatitis B Ktonik, sedangkan
hanya 5% individu dewasa yang mendapat infeksi akan mengalami persistensi
infeksi. Persistensi VHB menimbulkan kelainan yang berbeda pada individu yang
berbeda, tergantung dari konsentrasi partikel VHB dan respons imun tubuh. Interaksi
antara VHB dengan respons imun tubuh terhadap VHB, sangat besar perannya dalam
menentukan derajat keparahan hepatitis. Makin besar respons imun tubuh terhadap
virus, makin besar pula kenisakan jaringan hati, sebaliimya bila tubuh toleran
terhadap virus tersebut maka tidak terjadi kerusakan hati.
Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit Hepatitis B Kronik yaitu fase
imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearance,dan fase nonreplikatif
atau fase residual. Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun
tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat
sedemikian tingginya, tetapi tidak terj adi peradangan hati yang berarti. Dalam
keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi,
HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA VHB tinQzi dan konsentrasi ALT yang
relatifnormal. Fase ini disebut fase imunotoleransi. Pada fase imunotoleransi sanQat
jarang terjadi serokonversi HBeAg secara spontan, dan terapi untuk menginduksi
serokonversi HBeAg tersebut biasanya tidak efektif. Pada sekitar 30% individu
dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan,
terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada
keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut
Fase imunoaktif atau immune clearance. Pada fase ini tubuh berusaha
menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati. yang terinfeksi VHB.
Pada fase imunoaktif serokonversi HBeAg baik secara spontan maupun karena terapi
lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat
menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada kerusakan sel hati yang
berarti. Pada keadaan ini, titer HBsAg rendah dengan HBeAg yang menjadi negatif
dan anti-HBe yang menjadi positif secara spontan, serta konsentrasi ALT yang
normal, yang menandai terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30
% pasien Hepatitis B Kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan
menyebabkan kekambuhan.
Pada sebagian pasien dalam fase residual, pada waktu terjadi serokonversi
HBeAg positifmenjadi anti-HB e justru sudah terjadi sirosis. Hal ini disebabkan
karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi pada kekambuhan yang
berulang-ulang sebelum terjadinya serokonversi tersebut. Dalam fase residual,
replikasi VHB sudah mencapai titik minimal dan penelitian menunjukkan bahwa
angka harapan hidup pada pasien yang anti-HBe positif tinggi dibandingkan pasien
HBeAg positif. Penelitian menunjukkan bahwa setelah infeksi Hepatitis B menjadi
tenang justru risiko untuk terjadi karsinoma hepatoselular (KHS) mungkin
meningkat. Sebagai contoh, Onata melaporkan dari 500 pasien KHS, 53 orang (11%)
menunjukkan HBsAg yang positif. Dari jumlah ini, 46 (87%) anti-HBe positifdan
30%.11BeAg positif. Diduga integrasi genom VHB ke dalam genom sel hati
merupakan proses yang pething dalath karsinogenesis. Karena itu, terapi anti -viRus
harus diberikan selama mungkin untuk mencegah sirosis tapi di samping itu juga
sedini mungkin untuk mencegah integrasi genom VHB dalam genom sel hati yang
dapat berkembang menjadi KHS.

2.2.4. HbeAg Pada Hepatitis B Kronik


Parameter untuk mengukur replikasi V1-113 yang biasa dipakai adalah
HBeAg dan anti-HBe serta konsentrasi DNA VHB. Ada 2 kelompok pemeriksaan
DNA VHB yang lazim dipakai yaitu metode hibridisasi dan amplifikasi sinyal (non
PCR) dan PCR. Belakangan ini banyak dipakai metode PCR kuantitatif. Pada saat ini
nilai DNA VEIB yang dipilih sebagai kriteria dignostik hepatitis B kronik adalah
105kopi/mlyang merupakan batas kemampuan deteksi metode non PCR. Metode non
amplifikasi mempunyai kepekaan sampai 105- 106 kopi%inl, sedang PCR
mempunyai kepekaan 10-100 kopi/ ml. Pada fase replikatifnilai DNA VHB lebih
besar dari 105 Dengan demikian bila DNA VHB tidak bisa dideteksi dengan metode
non PCR maka infeksi VHB dianggap sudah tidak aktif. Dalam keadaan nonnal, pada
fase replikatif didapatkan titer HBsAg yang sanQat tinggi, HBeAg positif dan anti-
HBe negatif serta konsentrasi DNA VHB yang tinggi. Pada sekelompok pasien
dengan HBeAg negatifdan bahkan anti-HBe positif dapat pula dijumpai konsentrasi
DNA VHB dengan titer yang masih tinggi (> 100.000 atau 105 kopiime dengan
tanda-tanda aktivitas penyakit. Pada kelompok pasien tersebut didapatkan mutasi
pada daerah precore dari genom VHB yang menyebabkan HBeAg tidak bisa
diproduksi. Mutasi tersebut dinamakan mutasiprecore. Berdasarkan status HBeAg,
hepatitis B kronik dikelompokkan menjadi hepatitis B kronik HBeAg positif dan
hepatitis B kronik HBeAg negatif.
Hepatitis B kronik HBeAg negatif sering ditandai dengan perjalanan penyakit
yang berfluktuasi dan jarang mengalami remisi spontan. Karena itu pasien dengan
HBe negatif dan konsentrasi DNA VHB tinggi merupakan indikasi terapi antivirus.
Pada pasien dengan infeksi VHB mutanprecore mungkin masih ada sisa-sisa VHB
tipe liar yang belum mengalami mutasi.
2.2.5. Gambaran Klinis
Gambaran klinis Hepatitis B Kronik sangat bervariasi. Pada banyak kasus
tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati hasilnya
normal. Pada sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan splenomegali atau
tanda-tanda penyakit hati kronis lainnya, misalnya_ eritema palmaris dan spider nevi,
serta pada pemeriksaan laboratorium sering didapatkan kenaikan konsentrasi ALT
walaupun hal itu tidak selalu didapatkan. Pada umumnya didapatkan konsentrasi
bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin serum umumnya masih normal kecuali
pada kasus-kasus yang parah.
Secara sederhana manifestasi klinis hepatitis B kronik dapat dikelompokkan
menjadi 2 yaitu:
1. Hepatitis B kronik yang masih aktif (hepatitis B kronik aktif). HBsAg positif
dengan DNA VHB lebih dari I 05 kopi/m1 didapatkan kenaikan ALT yang
menetap atau intermiten. Pada pasien sering didapatkan tanda-tanda penyakit
hati kronik. Pada biopsi hati didapatkan gambaran peradangan yang aktif.
Menurut status HBeAg pasien dikelompokkan menjadi hepatitis kronik
HBeAg positif dan hepatitis B kronik HBeAg negatif.
2. Carrier VHB Inaktif (Inactive HBV Carrier State). Pada kelompok ini 1-
11E3sAg positifdengan titer DNA VEIB yang rendah yaitu kurang dari 105
kopi/ml. Pasien menunjukkan KONSENTRASI ALT normal dan tidak
didapatkan keluhan. Pada pemeriksaan histologik terdapat kelainan jaringan
yang minimal. Sering sulit membedakan Hepatitis Kronik HBe negative
dengan pasien carrier VHB inaktif karena pemeriksaan DNA kuantitatif masih
jarang dilakukan secara rutin. Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan
ALT berulang kali untuk waictu yang cukup lama.

Pemeriksaan biopsi untuk pasien Hepatitis B Kronik sangat penting terutama


untuk pasien dengan HBeAg positif dengan konsentrasi ALT 2 x nilai normal
tertinggi atau lebih. Biopsi hati diperlukan untuk menegakkan diag-nosis pasti dan
untuk meramalkan prognosis serta kemungkinan keberhasilan terapi (respons
histologik). Sejak lama diketahui bahwa pasien Hepatitis B Kronik dengan
peradangan hati yang aktifmempunyai risiko tinggi untuk mengalami progresi, tetapi
gambaran histologik yang aktif juga dapat meramalkan respons yang baik terhadap
terapi imunomodulator atau antivirus.

2.2.6. Gambaran Histopatologik Hepatitis Kronik


Pada segitiga portal terdapat infiltrasi sel radang terutama limfosit dan sel
plasma, dapat terjadi fibrosis yang makiri meningkat sesuai dengan derajat keparahan
penyakit. Sel radang dapat masuk ke dalam Iobulus sehingga terjadi erosi limiting
plate, sel-sel hati dapat mengalami degenerasi baluning dan dapat terjadi badan
asidofil (acidophilic bodies). Pada pasieh hepatitis B kronik jarang didapatkan
gambaran kolestasis. Untuk menilai derajat keparahan hepatitis serta untuk
menentukan prognosis, dahulu gambaran histopatologik hepatitis B kronik dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu.:
1) Hepatitis kronik persisten (HKP) adalah infiltrasi sel-sel mononuklir pada
daerah portal dengan sedikit fibrosis, limiting plate masih utuh, tidak ada
piecemeal necrosis. Gambaran ini sering didapatkan pada carrier asimtomatik;
2) Hepatitis kronik aktif (HKA) adalah adanya infiltrat radang yang menonjol,
yang terutama terdiri dari limfosit dan sel plasma yang terdapat di daerah
portal. Infiltrat peradangan ini masuk sampai ke dalam lobulus hati dan
menimbulkan erosi limiting plate dan disertai piecemeal necrosis. Gambaran
ini sering tampak pada carrier yang sakit (simtomatik);
3) Hepatitis Kronik Lobular (HKL), sering dinamakan hepatitis akut yang
berkepanj angan. Gambaran histologik mirip hepatitis akut tetapi timbul lebih
dari 3 bulan. Didapatkan gambaran peradangan dan nekrosis intra-lobular,
tidak terdapat piecemeal necrosis dan bridging necrosis.
Klasifikasi di atas telah dipakai berpuluh-puluh tahun oleh para ahli di seluruh
dimia tetapi ternyata kemudian tidak bisa dipertahankan lagi karena terlalu kasar dan
hasilnya sering overlapping. Salah satu klasifikasi histologik untuk menilai aktivitas
pefadangan yang terkenal adalah Histological Activity Index (HAI), yang ditemukan
oleh Knodell pada tahun 1981, yang dapat dilihat pada Tabel 1
Dengan demikian skor HAI yang mungkin adalah 0-18. Pada Tabel 2 dapat
dilihat hubungan antara skor indeks aktivitas histologik dengan derajat hepatitis
kronik.
Belakangan dibuat suatu pembagian baru berdasarkan skor yang menunjukkan
intensitas nekrosis (grade) dan

Tabel 1. Indeks Aktivitas Histologik (HAI)

Tabel 2. Hubungan Antara Skor HAI dengan Derajat Hepatitis Kronik


dengan Menyingkirkan Fibrosis
progresi struktural penyakit hati (stage) yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif
yang lebih sederhana .dan lebih sering dipakai. Berikut ini rincian dari sistem skor
tersebut:
I. Aktivitas peradangan portal dan lobular

II. Fibrosis

II.2.7. Penatalaksanaan
Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B kronik yaitu :
I. Kelompok Imunomodulasi
• Interfefon
• Timosin alfa 1
• Vaksinasi Terapi
II. Kelompok Terapi Antivirus
• Lamivudin
• Adefovir Dipivoksil
Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentikan
progresi jejas hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau
menghilangkan injeksi. Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering
dipakai adalah hilangnya petanda replikasi virus yang aktif secara menetap (HBeAg
dan DNA VHB). Pada umumnya, serokonversi dari HBeAg menjadi anti-HBe
disertai dengan hilangnya DNA VHB dalam serum dan meredanya penyakit hati.
Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif, serokonversi HBeAg tidak
dapat dipakai sebagai titik akhir terapi dan respons terapi hanya dapat dinilai dengan
pemeriksaan DNA VHB.
Terapi dengan Imunomodulator Interferon (IFN) alfa. IFN adalah kelompok
protein intraselular yang normal ada dalam tubuh dan diproduksi oleh berbagai
macam sel. IFN alfa diproduksi oleh limfosit B, IFN beta diproduksi oleh monosit
fibroepitelial, dan IFN gamma diproduksi oleh sel limfosit T. Produksi IFN
dirangsang oleh berbagai macam stimulasi terutama infeksi virus. Beberapa khasiat
IFN adalah khasiat antivirus, imunomodulator, anti proliferatif, dan anti fibrotik. IFN
tidak memiliki khasiat anti VIRUS langsung tetapi merangsang terbentuknya
berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus. Dalam proses
terjadinya aktivitas antivirus, IFN mengadakan interaksi dengan reseptor IFN yang
terdapat pada membran sitoplasma sel hati yang diikuti dengan diproduksinya protein
efektor. Salah satu protein yang terbentuk adalah 2 ',5 '-oligoadenylate synthetase
(OAS) yang merupakan suatu enzim yang berfungsi dalam rantai terbentuknya
aktivitas antivirus. Khasiat IFN pada hepatitis B kronik terutama disebabkan oleh
khasiat imunomodulator. Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien Hepatitis B
Kronik sering didapatkan penurunan produksi IFN. Sebagai salah satu akibatnya terj
adi gangguan penampilan molekul HLA kelas I pada membran hepatosit yang sangat
diperlukan agar sel T sitotoksik dapat mengenali sel-sel hepatosit yang terkena infeksi
VHB. Sel-sel tersebut menampilkan anti-gen sasaran (target antigen) VHB pada
membran hepatosit. IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis
B kronik dengan HBeAg positif, dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang,
yang belum mengalami sirosis. Pengaruh pengobatan IFN dalam menurunkan
replikasi virus telah banyak dilaporkan dari berbagai laporan penelitian yang
menggunakan follow-up jangka panjang. Pada Tabel 3 tampak hasil meta analisis
tentang khasiat IFN pada pasien dengan Hepatitis B kronik yang dilakukan oleh
Wong et al, pada tahun 1995.

Tabel 3. Meta Analisis Khasiat IFN pada Pasien Hepatitis B Kronik

Beberapa faktor yang dapat meramalkan keberhasilan IFN:


1. Konsentrasi ALT yang tinggi
• Konsentrasi DNA VHB yang rendah
• Timbulnyaflare-up selama terapi
• IgM anti-HBc yang positif
2. Efek samping IFN:
• Gejala seperti flu
• Tanda-tanda supresi sumsum tulang
• Flare-up
• Depresi
• Rambut rontok
• Berat badan turun
• Gangguan fungsi tiroid
Sebagai kesimpulan, IFN merupakan suatu pilihan untuk pasien hepatitis B
kronik nonsirotik dengan HBeAg positif dengan aktivitas penyakit ringan sampai
sedang. Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif
adalah 5-10 MU 3 x seminggu selama 16-24 minggu. Penelitian menunjukkan bahwa
terapi IFN untuk hepatitis B kronik HBeAg negatif sebaiknya diberikan sedikitnya
selama 12 bulan. Kontra indikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata, depresi
atau riwayat depresi di waktu yang lalu, dan adanya penyakit jantung berat.
PEG Interferon. Penambahan polietilen glikol (PEG) menimbulkan senyawa IFN
dengan umur paruh yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan IFN biasa. Dalam
suatu penelitian yang membandingkan pemakaian PEG IFN alfa 2a dengan dosis
90,180, atau 270 mikrogram tiap minggu selama 24 minggu menimbulkan penurunan
DNA VHB yang lebih cepat dibandingkan dengan IFN biasa yang diberikan 4,5 MU
3 x seminggu. Serokonversi HBeAg pada kelompok PEG IFN pada masing-masing
dosis adalah 27, 33, 37% dan pada kelompok IFN biasa sebesar 25%.
1. Penggunaan steroid sebelum terapi IFN. Pemberian steroid pada pasien
Hepatitis B Kronik HBsAg positif yang kemudian dihentikan mendadak akan
menyebab-kanflare up yang disertai dengan kenaikan konsentrasi ALT.
Beberapa penelitian awal menunjukkan bahwa steroid withdrawl yang diikuti
dengan pemberian IFN lebih efektif dibandingkan dengan pemberian IFN
saja, tetapi hal itu tidak terbukti dalam penelitian skala besar. Karena itu
steroid withdrawl yang diikuti dengan pemberian IFN tidak dianjurkan secara
rutin.
2. Timosin Alfa 1. Timosin adalah suatu jenis sitotoksin yang dalam keadaan
alami ada dalam ekstrak pinus. Obat ini sudah dapat dipakai untuk terapi baik
sebagai sediaan parenteral maupun oral. Timosin alfa 1 merangsang fungsi sel
limfosit. Pemberian Timosin alfa 1 pada pasien hepatitis B kronik dapat
menurunkan replikasi VHB dan menurunkan konsentrasi atau menghilangkan
DNA VHB. Keunggulan obat ini adalah tidak adanya efek samping seperti
IFN. Dengan kombinasi dengan IFN, obat ini meningkatkan efektivitas IFN.
3. Vaksinasi Terapi. Salah satu langkah maju dalam bidang vaksinasi hepatitis B
adalah kemungkinan penggunaan vaksin Hepatitis B untuk pengobatan infeksi
VHB. Prinsip dasar vaksinasi terapi adalah fakta bahwa pengidap VHB tidak
memberikan respons terhadap vaksin Hepatitis B konvensional yang
mengandung HBsAg karena individu-individu tersebut mengalami
imunotoleransi terhadap HBsAg. Suatu vaksin terapi yang efektif adalah suatu
vaksin yang kuat yang dapat mengatasi imunotoleransi tersebut. Salah satu
dasar vaksinasi terapi untuk hepatitis B adalah penggunaan vaksin yang
menyertakan epitop yang mampu merangsang sel T sitotoksik yang bersifat
Human Leucocyte Antigen (HLA)-restricted, diharapkan sel T sitotoksik
tersebut mampu menghancurkan sel-sel Kati yang terinfeksi VHB. Salah satu
strategi adalah penggunaan vaksin yang mengandung protein pre-S. Strategi
kedua adalah menyertakan antigen kapsid yang spesifik untuk sel limfosit T
sitotoksik (CTL). Strategi ketiga adalah vaksin DNA.
Terapi Antivirus
1. Lamivudin. Lamivudin adalah suatu enantiomer (-) dari 3' tiasitidin yang
merupakan suatu analog nukleosid. Nukleosid berfungsi sebagai bahan
pembentuk pregenom, sehingga analog nukleosid bersaing dengan nukleosid
ash. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse transkriptase yang
berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam
replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB barn dan mencegah
terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi, tetapi tidak
mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi karena pada sel-sel yang telah
terinfeksi DNA VHB ada dalam keadaan convalent closed circular (cccDNA).
Karena itu setelah obat dihentikan, titer DNA VHB akan kembali lagi seperti
semula karena sel-sel yang terinfeksi akhimya memproduksi virus barn lagi.
Lamivudin adalah analog nukleosid oral dengan aktivitas antivirus yang kuat.
Kalau diberikan dalam dosis 100 mg tiap hari, lamivudin akan menurunkan
konsentrasi DNA VHB sebesar 95% atau lebih dalam waktu 1 minggu.
Dengan metode hibridisasi, DNA VHB tidak bisa dideteksi lagi dengan
metode non PCR dalam waktu 8 minggu tetapi masih dapat dideteksi dengan
metode PCR. Setelah dihentikan selama 2 minggu, konsentrasi DNA akan
kembali positif dan mencapai konsentrasi sebelum terapi. Menurut penelitian,
dalam waktu 1 tahun serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe terjadi pada 16-
18% pasien yang mendapat Lamivudin, sedangkan serokonversi hanya terjadi
pada 4-6% pasien yang mendapat plasebo (p<0,05) dan 19% pada pasien yang
mendapat IFN. Suatu parameter tunggal terbaik yang bisa dipakai untuk
meramalkan kemungkinan serokonversi HBeAg adalah konsentrasi ALT. Hal
ini tampak pada Tabel 4.

Tabel 4. Hubungan Antara Kadar ALT Sebelum Terapi


denga Persen Serokonversi HBsAg Setelah Pengobatan
Lamivudin Selama 1 Tahun

Setelah terapi, konsentrasi ALT berangsur-angsur menjadi normal. Beberapa


penelitian menunjukkan bahwa setelah pengobatan lamivudin selama 1 tahun telah
terjadi perbaikan derajat nekroinflamasi serta penurunan progresi fibrosis yang
bermakna. Di samping itu terjadi penurunan indeks aktivitas histologik (Histologic
Activity Index) lebih besar atau sama dengan 2 poin pada 62-70% pasien yang
mendapat lamivudin dibandingkan dengan 30-33% pada kelompok plasebo.
Lamivudin menurunkan progresi fibrosis sebesar 30% dibandingkan dengan 15%
pada kelompok plasebo (p<0,01). Pada kelompok lamivudin progresi menjadi sirosis
terjadi pada 1,8% dibandingkan dengan 7,1% pada kelompok plasebo.
Khasiat lamivudin semakin meningkat bila diberikan dalam waktu yang lebih
panjang. Karena itu strategi pengobatan yang tepat adalah pengobatan jangka
panjang. Penelitian dilakukan secara prospektif (cohort) pada terapi yang diberikan
selama 4 tahun menunjukkan serokonversi berturut-turut setiap tahunnya sebagai
berikut: 22 , 29, 40, dan 47%. Bila hanya pasien ALT > 2 x nilai normal tertinggi saja
yang diberikan terapi lamivudin, didapatkan angka serokonversi yang lebih baik,
berturut-turut tiap tahunnya 38, 42, 65, dan 75%. Sayangnya, strategi terapi
berkepanjangan ini terhambat oleh munculnya virus yang kebal terhadap lamivudin,
yang biasa disebut mutan YMDD. Mutan tersebut akan meningkat 20% tiap tahun
bila terapi lamivudin diteruskan.
Di samping khasiat Lamivudin untuk menghambat fibrosis, Peek dan kawan-
kawan telah membuktikan pada binatang percobaan (woodchucks) yang terinfeksi
VHB, bahwa pemberian Lamivudin sedini mungkin dapat mencegah terjadinya
karsinoma hepatoselular.
Kekebalan terhadap lamivudin. Mutan VHB yang kebal terhadap lamivudin
biasanya muncul setelah terapi selama 6 bulan dan terdapat kecenderungan
peningkatan dengan berjalannya waktu. VHB yang kebal terhadap lamivudin
mengalami mutasi pada gen P di daerah dengan motif YMDD (tyr-met-asp-asd).
Salah satu penelitian yang dilakukan pada pasien dari Asia menunjukkan angka
kekebalan yang meningkat berturut-turut mulai tahun pertama sampai tahun keempat:
17, 40, 65, dan 67%.
Mutan YMDD mengalami replikasi yang lebih lambat dibandingkan dengan
VHB tipe liar, dan karena itu konsentrasi DNA VHB pada pasien dengan infeksi
mutan masih lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi sebelum terapi. Bila
terjadi kekebalan terhadap lamivudin, analog nukleosid yang lain masih bisa dipakai
(misalnya adefovir dan enticavir).
Lamivudin pada hepatitis B kronik anak-anak. Suatu penelitian pada 286 anak
umur 2-17 tahun dengan peningkatan ALT yang menggunakan dosis lamivudin 3
mg/kg berat badan tiap hari selama 52 minggu menunjukkan bahwa serokonversi
HBeAg pada kelompok yang mendapat lamivudin lebih besar dibandingkan dengan
kelompok plasebo (23 vs 13%).
Lamivudin pada pasien sirosis dengan DNA VHB positif. Penelitian menunjukkan
bahwa lamivudin dapat dipakai pada pasien sirosis dekompensata dengan DNA VHB
yang positif. Sebagian besar pasien mengalami perbaikan penyakit hati dan
penurunan Child-Turcotte-Pugh (CTP) yang disertai dengan penurunan kebutuhan
transplantasi hati pada pasien-pasien sirosis yang mendapatkan terapi lamivudin
sedikitnya selama 6 bulan. Sebagian pasien yang mendapat terapi lamivudin tetap
mengalami progresi penyakit hati sehingga tetap memerlukan transplantasi hati.
Sebagian lagi meninggal setelah mendapat terapi lamivudin selama beberapa bulan
pertama.
Suatu penelitian yang dilakukan pada 154 orang pasien sirosis yang mendapat
lamivudin menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan sirosis yang relatif lebih ringan
mendapat manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan pasien sirosis berat.
Keuntungan dan kerugian lamivudin. Keuntungan utama dari lamivudin adalah
keamanan, toleransi pasien serta harganya yang relatif murah. Kerugiannya adalah
seringnya timbul kekebalan.
Kekambuhan akut (flare up) setelah penghentian terapi lamivudin. Sekitar 16%
pasien hepatitis B kronik yang mendapatkan pengobatan lamivudin dalam jangka
lama mengalami kenaikan konsentrasi ALT 8-24 minggu setelah lamivudin
dihentikan. Pada umumnya reaktivasi infeksi VHB tersebut tidak disertai ikterus dan
kebanyakan akan hilang sendiri. Pada sebagian kecil kasus dapat terjadi gejala-gejala
hepatitis akut dan bahkan gagal hati. Keadaan ini disebabkan karena terjadinya
reinfeksi sejumlah besar sel-sel hati yang sehat akibat dihentikannya lamivudin yang
diikuti dengan respons imun yang mirip hepatitis B akut. Karena itu pada semua
pasien hepatitis B kronik yang mendapat terapi lamivudin perlu dilakukan monitoring
seksama setelah pengobatan dihentikan. Pada kekambuhan dengan gejala berat
lamivudin diberikan kembali. Perhatian khusus perlu dilakukan untuk pasien, pasien
yang sebelum terapi Lamivudin sudah menderita dekompensasi.
2. Adefovir dipivoksil. Adefovir dipivoksil adalah suatu nukleosid oral yang
menghambat enzim reverse transcriptase. Mekanisme khasiat adefovir hampir sama
dengan lamivudin. Penelitian, menunjukkan bahwa pemakaian adefovir dengan dosis
10 atau 30 mg tiap hari selama 48 minggu menunjukkan perbaikan Knodell
necroinflammatory score sedikitnya 2 poin. Juga terjadi penurunan konsentrasi DNA
VHB, penurunan konsentrasi ALT serta serokonversi HBeAg.
Walaupun adefovir dapat juga dipakai untuk terapi tunggal primer, namun karena
alasan ekonomik dan efek samping adefovir, maka pada saat ini adefovir bare dipakai
pada kasus-kasus yang kebal terhadap lamivudin. Dosis yang dianjurkan adalah 10
mg tiap hari. Sampai sekarang kekebalan terhadap adefovir belum pernah dilaporkan.
Salah satu hambatan utama dalam pemakaian adefovir adalah toksisitas pada ginjal
yang sering dijumpai pada dosis 30 mg atau lebih.
Keuntungan dan kerugian adefovir. Keuntungan penggunaan adefovir adalah
jarangnya terjadi kekebalan. Dengan demikian obat ini merupakan obat yang ideal
untuk terapi hepatitis B kronik dengan penyakit hati yang parah. Kerugiannya adalah
harga yang lebih mahal dan masih kurangnya data mengenai khasiat dan keamanan
dalam jangka yang sangat panjang.
3. Analog nukleosid yang lain. Berbagai macam analog nukleosid yang dapat
dipakai pada hepatitis B kronik adalah Famciclovir dan emtericitabine (FTC).
Indikasi terapi antivirus. Terapi antivirus dianjurkan untuk pasien hepatitis B kronik
dengan ALT > 2 x nilai normal tertinggi dengan DNA VHB positif. Untuk ALT <2 x
nilai normal tertinggi tidak perlu terapi antivirus. 2
Terapi antivirus untuk hepatitis B kronik dengan konsentrasi ALT normal atau
hampir normal. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa untuk hepatitis B kronik
dengan konsentrasi ALT noimal tidak diperlukan pemberian terapi antivirus walaupun
didapatkan DNA VHB titer tinggi atau HBeAg positif. Beberapa ahli menyatakan
bahwa pada kasus-kasus seperti di atas, yang pada biopsi hati didapatkan gambaran
biopsi yang sangat aktif apalagi bila disertai fibrosis berat perlu diberikan terapi anti
VIRIJS. 2
IFN atau analog nukleosid UntukALT 2-5 kali nilai tertinggi dapat diberikan
Lamivudin 100 mg tiap hari atau IFN 5 MU 3x seminggu. Untuk ALT > 5 x nilai
normal tertinggi dapat diberikan lamivudin 100 mg tiap hari. Pemakaian IFN tidak
dianjurkan. 2
Gabungan antara IFN dan nukleosid. Untuk meningkatkan khasiat monoterapi IFN
dan monoterapi lamivudin telah dilakukan penelitian yang membandingkan
pemakaian monoterapi dengan PEG interferon, monoterapi dengan lamivudin dan
kombinasi antara PEG inteferon dan lamivudin pada pasien hepatitis B kronik
Ternyata gabungan antara kedua obat itu tidak lebih baik dibandingkan dengan
monoterapi PEG Interferon atau monoterapi lamivudin.
Lama terapi antivirus. Dalam keadaan biasa IFN diberikan sampai 6 bulan
sedangkan lamivudin sampai 3 bulan setelah serokonversi HBeAg. 2
Kriteria respons terhadap terapi antivirus. Respons terhadap antivirus (IFN atau
analog nukleosid) yang biasa dipakai adalah hilangnya DNA VHB dalam serum
(nonPCR), hilangnya HBeAg dengan atau tanpa munculnya anti-HBe (serokonversi
HBeAg), normalnya konsentrasi ALT serta turunnya nekroinflamasi dan tidak adanya
progresi fibrosis pada biopsi hati yang dilakukan secara seri. Para ahli menganjurkan
standardisasi respons terhadap terapi antivirus untuk hepatitis B. Respons tersebut
dibagi menjadi: respons biokimiawi (BR), respons virilogik (VR), dan respons
histologik (HR), pada akhir terapi dan 6-12 bulan setelah terapi dihentikan.
Kategori Respons Antivirus.
 Respons biokimiawi (BR) adalah penurunan konsentrasi ALT menjadi normal.
 Respons virologik (VR), negatifnya DNA VHB dengan metode
nonamplifikasi (<10' kopi/ml), dan hilangnya HBeAg pada pasien yang
sebelum terapi HBeAg positif.
 Respons histologic (FIR), menurunnya indeks aktivitas histologik sedikitnya 2
poin dibandingkan biopsi hati sebelum terapi
 Respons komplit (CR), adanya respons biokimiawi dan virologik yang disertai
negatifnya HBsAg

Waktu Pengukuran respons antivirus. Selama terapi ALT, HBeAg dan DNA VHB
(nonPCR) diperiksa tiap 1-3 bulan. Setelah terapi selesai ALT, HBeAg dan DNA
VHB (nonPCR) diperiksa tiap 3-6 bulan.
Pengaruh genotip VH3 terhadap respons terapi antivirus. Virus Hepatitis B
dikelompokkan menjadi 8 genotip (A-H). Sebagian besar genotip menunjukkan
distribusi geografik yang spesifik, misalnya: Eropa Barat Daya dan Amerika Utara,
Asia Tenggara, Asia Timur, Mediterania, India, dan Timur Tengah.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa genotip VHB berhubungan dengan
kemungkinan serokonversi HBeAg, progresi penyakit hati, dan respons terapi
antivirus. Sebagai contoh, penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa genotip C lebih
lambat dibandingkan dengan genotip B. Demikian juga kemungkinan untuk
kekambuhan pada genotip B lebih rendah dibandingkan dengan genotip C.
Perbedaan respons terapi antara genotip B dan C
• Interferon. respons pada genotip B lebih baik daripada genotip C
• Lamivudin: respons sebanding anatara genotip B dan C Kekambuhan pada
genotip B lebih rendah dibandingkan C Kekebalan lamivudin sebanding
antara genotip B dan C
• Adefovir: sebanding antara genotip B dan C

Perbedaan respons terapi antara genotip A dan D:


• Interferon: respons genotip A lebih baik dibandingkan dengan genotip D
• Lamivudin: respons genotip D lebih baik dibandingkan genotip A. Kekebalan
terhadap lamivudin: genotip A lebih sering dibandingkan genotip D
• Adefovir: sebanding antara genotip A dan D

Analog nukleosid dan transplantasi hati. Pada pasien infeksi VHB yang perlu
dilakukan transplantasi hati sangat sulit untuk melakukan eradikasi VHB sebelum
transplantasi. Bila pasien tersebut dilakukan transplantasi maka angka kekambuhan
infeksi VHB pasca transplantasi sangat tinggi karena pasca transplantasi semua
pasien mendapat terapi imunosupresif yang kuat. Karena itu, dulu para ahli sempat
meragukan manfaat transplantasi hati pasien hepatitis B. Dengan adanya terapi anti
vuzus spesifik yang dapat menghambat progresi penyakit hati setelah transplantasi,
maka kini transplantasi tetap diberikan kepada pasien infeksi VHB. Penelitian
menunjukkan bahwa dengan menggunakan gabungan Hepatitis B immune globulin
(HBG) dengan lamivudin kekambuhan infeksi VHB pasca transplantasi dapat ditekan
sampai kurang dari 10%. Di samping itu, lamivudin ternyata bisa memperpanjang
angka harapan hidup pasca transplantasi.

BAB III
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. F
Umur : 56 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sijunjung
No. MR : 1371xx
Tanggal Masuk : 1 November 2016
Ruangan : Z. IW / 301
2.2 Anamnesis
Keluhan utama
Nyeri perut sejak satu minggu yang lalu sebelum masuk Rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
 Nyeri perut sejak 1 minggu yang lalu Sebelum masuk Rumah sakit semakin
memberat sejak 3 hari terakhir
 Sakit perut bertambah dirasakan saat tidur telentangan
 Badan terasa mudah lelah, lemas, dan lesu sehingga pasien tidak bisa
beraktifitas seperti biasanya
 Mual (+) , Muntah Darah (-)
 Demam (+) Sejak 5 hari yang lalu
 Nafsu makan menurun sejak sakit
 Sesak nafas (-)
 Nyeri dada (-)
 BAK (+) berwarna seperti teh pekat
 BAB Hitam (+) dengan konsistensi Sedang sejak ± 3 hari yang lalu sebelum
masuk Rumah sakit
 Pasien mengeluhkan sulit tidur sejak ± 3 hari terakhir
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien Sebelumnya dirawat 5 Bulan yang lalu di RSUD Solok dengan
Hepatitis B
- Riwayat hipertensi disangkal.
- Riwayat transfusi darah dan mengalami pembedahan disangkal.
- Riwayat penyakit paru disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti
pasien.
- Riwayat hipertensi disangkal.
- Riwayat penyakit paru disangkal.

Riwayat Pekerjaan dan psikososial


- Pasien seorang perempuan berusia 56 tahun. Pasien seorang IRT, tidak
merokok, tidak minum kopi, dan tidak mengkonsumsi minuman keras.

Status Generalisata
1. Keadaan Umum : Lemah
2. Vital Signs
a. Kesadaran : CMC
b. Tekanan Darah : 120/60 mmHg
c. Frekuensi Nadi : 100 x/ menit
d. Frekuensi Napas : 18 x/menit
e. Suhu : 39,5 ºC
f. Berat Badan : 40 kg
g. Tinggi Badan : 150 cm
h. BMI : 20,4 (Normoweight)
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Kulit : Ikterik (-), sianosis (-)
b. Kepala : Bentuk bulat, ukuran normochepal,
rambut hitam tidak mudah dicabut
c. Mata : Konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (+),
pupil isokor
d. Telinga : Dalam batas normal
e. Hidung : Dalam batas normal
f. Mulut : Dalam batas normal
g. Leher : JVP (5 - 2 cmH2O), tidak ada pembesaran
KGB submandibula, sepanjang
submandibula, sepanjang
m.sternocleidomastoideus, supra/infra
clavicula kiri dan kanan
Paru-paru
a. Inspeksi : simetris kiri dan kanan, statis dan dinamis
b. Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
c. Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
d. Auskultasi : Suara napas vesikular, wheezing (-),
ronki basah (-), ronki kering (-)
Jantung
a. Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus cordis teraba 2 jari di RIC V sejajar
linea midclavicularis sinistra
c. Perkusi
Batas kiri : 2 jari di RIC V sejajar linea midclavicularis
sinistra
Batas kanan : RIC IV linea sternalis dextra
Batas atas : RIC II linea parasternalis sinistra

d. Auskultasi : Irama murni, M1>M2, P2<A2,


bising jantung (-)
Abdomen
a. Inspeksi : venektasi (+), Distensi (+) sikatrik (-),
b.Palpasi : Nyeri tekan (+) , nyeri lepas (-),
ascites (+),
Hepar tidak teraba, Lien teraba di S2
Ginjal: bimanual (-), ballotement (-), nyeri
ketok CVA (-)
c. Perkusi : Pekak, shifting dullnest (+)
d.Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
Superior
1. Inspeksi : Eritema palmaris (+) pada thenar dan
Hipothenar telapak tangan, spider nevi (+)
Pada lengan atas, edema (-), sianosis (-)
2. Palpasi : Perabaan hangat, pulsasi arteri radialis kuat
angkat
3. Tes sensibilitas : Sensibilitas halus normal dan sensibilitas
kasar normal.

Refleks fisiologis
Kanan Kiri
Refleks biseps ++ ++
Refleks triseps ++ ++
Refleks ++ ++
brachioradialis

Refleks patologis
Kanan Kiri
Refleks Hoffman- - -
Tromer

Inferior
1. Inspeksi : edema tungkai (-/-), edema pada
pergelangan kaki (-/-), sianosis (-/-)
2. Palpasi : perabaan hangat, pulsasi A. femoralis,
A.dorsalis pedis, A.tibialis posterior, dan
A.poplitea kuat angkat.
3. Tes sensibilitas : sensibilitas halus normal dan sensibilitas
kasar normal.

Refleks fisiologis
Kanan Kiri
Refleks Patella ++ ++
Refleks Cremaster ++ ++
Refleks Achilles ++ ++

Refleks Patologis
Kanan Kiri
Refleks babinski - -
Refleks Gordon - -
Refleks Oppenheim - -
Refleks chaddoks - -

1. Pemeriksaan yang telah dilakukan


Pemeriksaan darah tanggal 1 November 2016
1. Pemeriksaan darah rutin
Hb : 8,2 g/dl
Ht : 25,2 %
Leukosit : 12.530/mm3
Trombosit : 340.000/mm3
2. Pemeriksaan Faal ginjal
-Ureum : 50,3 mg/dL
-creatinin : 1,10 mg/dL
3. Pemeriksaan gula darah
- Gula Darah Random : 131 mg%
3.4 Diagnosa Kerja
 Sirosis Hepatis Stadium Dekompensata Ec Hepatitis B Kronik
3.5 Diagnosa banding
Hepatoma
Sirosis hepatis stadium kompensata
Abses hepar

3.6 Pemeriksaan Anjuran


 Faal hepar : SGOT, SGPT, Bilirubin, Albumin, Globulin
 HBsAg
 Biosi hepar
 Ultrasonografi
 Barium meal dan Endoskopi : untuk pemeriksaan varises esophagus

3.7 Penatalaksanaan

Nonfarmakologi
- Bed Rest
- Diet Hepar II

Farmakologi
- IVFD Aminofusin hepar : Triofusin : NaCl 0,9 % 6 jam/kolf
- Ceftriaxone 1 x 2 gram iv (skin test)
- Sistenol 3 x 1
- Dulcolax Syr 3x 1
- Curcuma

3.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad sanantionam : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam

Tanggal Subjective Objective Assesment Plan


1 Mual (+) Kesadaran : Sirosis Hepatis Cek Faal Hepar
November Nafsu makan CMC Stadium IVFD
2016 menurun TD : 120/70 Dekompensata Aminofusin
BAK seperti Nadi :110x/i Ec Hepatitis B hepar : tiofusin :
teh pekat Reguler Kronik NaCl 0,9% 6
BAB hitam Nafas: jam/kolf 2:1:1
(+) 18x/menit Ceftriaxone 1 x
konsistensi Suhu:36,7oC 2 gram iv
Sedang Sistenol 3 x 1
Dulcolax Syr 3x
1
Curcuma 3 x 1
Tab

2 Mual (+) Kesadaran : Sirosis Hepatis IVFD


November Nafsu makan CMC Stadium Aminofusin
2016 menurun TD : 90/60 Dekompensata hepar : tiofusin :
BAK seperti mmHg Ec Hepatitis B NaCl 0,9% 6
teh pekat Nadi : 98x/i Kronik jam/kolf 2:1:1
BAB hitam Nafas: Ceftriaxone 1 x
(+) 18x/menit 2 gram iv
konsistensi Suhu: 36 oC Sistenol 3 x 1
Dulcolax Syr 3x
Sedang Bil Total : 8,32
1
Tidur Kurang Bil Diret : 2,87
Curcuma 3 x 1
Bil Indirect :
Tab
5,45
Plan : USG
SGOT : 93,2
Abdomen
SGPT : 51,9
Transfusi
Total Protein :
Albumin 25 %
4,85
100 cc
Albumin : 1,48
Globulin : 3,37
Hbsag : +
3 Nafsu makan Kesadaran : Sirosis Hepatis IVFD
November menurun CMC Stadium Aminofusin
2016 BAB (-) TD : 100/60 Dekompensata hepar : tiofusin :
Tidur Kurang Nadi : 91x/i Ec Hepatitis B NaCl 0,9% 6
Nafas: 19 Kronik jam/kolf 2:1:1
x/menit Ceftriaxone 1 x
Suhu: 36,2oC 2 gram iv
Sistenol 3 x 1
Dulcolax Syr 3x
1
Curcuma 3 x 1
Tab

Plan : USG
Abdomen

4 Tidur Kurang Kesadaran : Sirosis Hepatis IVFD


November BAB Hitam CMC Stadium Aminofusin
2016 (-) TD : 100/60 Dekompensata hepar : tiofusin :
Nadi : 88x/i Ec Hepatitis B NaCl 0,9% 6
Nafas:20 Kronik jam/kolf 2:1:1
x/menit Ceftriaxone 1 x
Suhu: 36,2oC 2 gram iv
Sistenol 3 x 1
Dulcolax Syr 3x
1
Curcuma 3 x 1
Tab
Kesan :
Chronic Parenchymal Liver disease dengan splenomegaly dan ascites, Suspek Sirosis
Hepatis
BAB IV
ANALISA KASUS

Seorang pasien perempuan usia 56 tahun masuk ke bangsal interna wanita


RSUD Solok pada tanggal 1 November 2016 dengan keluhan nyeri perut sejak 1
minggu yang lalu, namun bertambah berat sejak 3 Hari ini. Nyeri perut sejak 1
minggu yang lalu Sebelum masuk Rumah sakit semakin memberat sejak 3 hari
terakhir, Sakit perut bertambah dirasakan saat tidur telentangan, Badan terasa mudah
lelah, lemas, dan lesu sehingga pasien tidak bisa beraktifitas seperti biasanya, Mual
(+) , Demam (+) Sejak 5 hari yang lalu, Nafsu makan menurun sejak sakit, BAK (+)
berwarna seperti teh pekat, BAB Hitam (+) dengan konsistensi Sedang sejak ± 3 hari
yang lalu sebelum masuk Rumah sakit, Pasien mengeluhkan sulit tidur sejak ± 3 hari
terakhir. Pasien Sebelumnya dirawat 5 Bulan yang lalu di RSUD Solok dengan
Hepatitis B. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan Keadaan umum yang lemah
Kesadaran : CMC Tekanan Darah : 120/60 mmHgFrekuensi Nadi : 100 x/menit
Frekuensi Napas: 18 x/menit Suhu: 39,5 ºC. Pada Mata ditemukan sclera ikterik, pada
abdomen ditemukan ascites (+), lien teraba di S2, dan pada extremitas ditemukan
eritema palmaris. Pada pemeriksaan labor ditemukan rasio albumin dan globulin yang
terbalik, pada pemeriksaan USG kesan Chronic Parenchymal Liver disease dengan
splenomegaly dan ascites, Suspek Sirosis Hepatis.
Dari data diatas Maka pada pasien ini ditegakkan dengan diagnosa Sirosis
Hepatis Stadium Dekompensata Ec Hepatitis B Kronik

DAFTAR PUSTAKA
1. Nurdjanah, Siti dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi V. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. 2010. 668-673;
2. Soewignjo Soemohardjo Sthepanus Gunawan dalam Buku Ajar Penyakit Dalam
Jilid 1. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia.
2010. 653-660;
3. Hirlan, dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. 2010. 674;

Anda mungkin juga menyukai