PENDAHULUAN
II. Fibrosis
II.2.7. Penatalaksanaan
Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B kronik yaitu :
I. Kelompok Imunomodulasi
• Interfefon
• Timosin alfa 1
• Vaksinasi Terapi
II. Kelompok Terapi Antivirus
• Lamivudin
• Adefovir Dipivoksil
Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentikan
progresi jejas hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau
menghilangkan injeksi. Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering
dipakai adalah hilangnya petanda replikasi virus yang aktif secara menetap (HBeAg
dan DNA VHB). Pada umumnya, serokonversi dari HBeAg menjadi anti-HBe
disertai dengan hilangnya DNA VHB dalam serum dan meredanya penyakit hati.
Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HBeAg negatif, serokonversi HBeAg tidak
dapat dipakai sebagai titik akhir terapi dan respons terapi hanya dapat dinilai dengan
pemeriksaan DNA VHB.
Terapi dengan Imunomodulator Interferon (IFN) alfa. IFN adalah kelompok
protein intraselular yang normal ada dalam tubuh dan diproduksi oleh berbagai
macam sel. IFN alfa diproduksi oleh limfosit B, IFN beta diproduksi oleh monosit
fibroepitelial, dan IFN gamma diproduksi oleh sel limfosit T. Produksi IFN
dirangsang oleh berbagai macam stimulasi terutama infeksi virus. Beberapa khasiat
IFN adalah khasiat antivirus, imunomodulator, anti proliferatif, dan anti fibrotik. IFN
tidak memiliki khasiat anti VIRUS langsung tetapi merangsang terbentuknya
berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus. Dalam proses
terjadinya aktivitas antivirus, IFN mengadakan interaksi dengan reseptor IFN yang
terdapat pada membran sitoplasma sel hati yang diikuti dengan diproduksinya protein
efektor. Salah satu protein yang terbentuk adalah 2 ',5 '-oligoadenylate synthetase
(OAS) yang merupakan suatu enzim yang berfungsi dalam rantai terbentuknya
aktivitas antivirus. Khasiat IFN pada hepatitis B kronik terutama disebabkan oleh
khasiat imunomodulator. Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien Hepatitis B
Kronik sering didapatkan penurunan produksi IFN. Sebagai salah satu akibatnya terj
adi gangguan penampilan molekul HLA kelas I pada membran hepatosit yang sangat
diperlukan agar sel T sitotoksik dapat mengenali sel-sel hepatosit yang terkena infeksi
VHB. Sel-sel tersebut menampilkan anti-gen sasaran (target antigen) VHB pada
membran hepatosit. IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis
B kronik dengan HBeAg positif, dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang,
yang belum mengalami sirosis. Pengaruh pengobatan IFN dalam menurunkan
replikasi virus telah banyak dilaporkan dari berbagai laporan penelitian yang
menggunakan follow-up jangka panjang. Pada Tabel 3 tampak hasil meta analisis
tentang khasiat IFN pada pasien dengan Hepatitis B kronik yang dilakukan oleh
Wong et al, pada tahun 1995.
Waktu Pengukuran respons antivirus. Selama terapi ALT, HBeAg dan DNA VHB
(nonPCR) diperiksa tiap 1-3 bulan. Setelah terapi selesai ALT, HBeAg dan DNA
VHB (nonPCR) diperiksa tiap 3-6 bulan.
Pengaruh genotip VH3 terhadap respons terapi antivirus. Virus Hepatitis B
dikelompokkan menjadi 8 genotip (A-H). Sebagian besar genotip menunjukkan
distribusi geografik yang spesifik, misalnya: Eropa Barat Daya dan Amerika Utara,
Asia Tenggara, Asia Timur, Mediterania, India, dan Timur Tengah.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa genotip VHB berhubungan dengan
kemungkinan serokonversi HBeAg, progresi penyakit hati, dan respons terapi
antivirus. Sebagai contoh, penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa genotip C lebih
lambat dibandingkan dengan genotip B. Demikian juga kemungkinan untuk
kekambuhan pada genotip B lebih rendah dibandingkan dengan genotip C.
Perbedaan respons terapi antara genotip B dan C
• Interferon. respons pada genotip B lebih baik daripada genotip C
• Lamivudin: respons sebanding anatara genotip B dan C Kekambuhan pada
genotip B lebih rendah dibandingkan C Kekebalan lamivudin sebanding
antara genotip B dan C
• Adefovir: sebanding antara genotip B dan C
Analog nukleosid dan transplantasi hati. Pada pasien infeksi VHB yang perlu
dilakukan transplantasi hati sangat sulit untuk melakukan eradikasi VHB sebelum
transplantasi. Bila pasien tersebut dilakukan transplantasi maka angka kekambuhan
infeksi VHB pasca transplantasi sangat tinggi karena pasca transplantasi semua
pasien mendapat terapi imunosupresif yang kuat. Karena itu, dulu para ahli sempat
meragukan manfaat transplantasi hati pasien hepatitis B. Dengan adanya terapi anti
vuzus spesifik yang dapat menghambat progresi penyakit hati setelah transplantasi,
maka kini transplantasi tetap diberikan kepada pasien infeksi VHB. Penelitian
menunjukkan bahwa dengan menggunakan gabungan Hepatitis B immune globulin
(HBG) dengan lamivudin kekambuhan infeksi VHB pasca transplantasi dapat ditekan
sampai kurang dari 10%. Di samping itu, lamivudin ternyata bisa memperpanjang
angka harapan hidup pasca transplantasi.
BAB III
LAPORAN KASUS
Status Generalisata
1. Keadaan Umum : Lemah
2. Vital Signs
a. Kesadaran : CMC
b. Tekanan Darah : 120/60 mmHg
c. Frekuensi Nadi : 100 x/ menit
d. Frekuensi Napas : 18 x/menit
e. Suhu : 39,5 ºC
f. Berat Badan : 40 kg
g. Tinggi Badan : 150 cm
h. BMI : 20,4 (Normoweight)
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Kulit : Ikterik (-), sianosis (-)
b. Kepala : Bentuk bulat, ukuran normochepal,
rambut hitam tidak mudah dicabut
c. Mata : Konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (+),
pupil isokor
d. Telinga : Dalam batas normal
e. Hidung : Dalam batas normal
f. Mulut : Dalam batas normal
g. Leher : JVP (5 - 2 cmH2O), tidak ada pembesaran
KGB submandibula, sepanjang
submandibula, sepanjang
m.sternocleidomastoideus, supra/infra
clavicula kiri dan kanan
Paru-paru
a. Inspeksi : simetris kiri dan kanan, statis dan dinamis
b. Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
c. Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
d. Auskultasi : Suara napas vesikular, wheezing (-),
ronki basah (-), ronki kering (-)
Jantung
a. Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus cordis teraba 2 jari di RIC V sejajar
linea midclavicularis sinistra
c. Perkusi
Batas kiri : 2 jari di RIC V sejajar linea midclavicularis
sinistra
Batas kanan : RIC IV linea sternalis dextra
Batas atas : RIC II linea parasternalis sinistra
Refleks fisiologis
Kanan Kiri
Refleks biseps ++ ++
Refleks triseps ++ ++
Refleks ++ ++
brachioradialis
Refleks patologis
Kanan Kiri
Refleks Hoffman- - -
Tromer
Inferior
1. Inspeksi : edema tungkai (-/-), edema pada
pergelangan kaki (-/-), sianosis (-/-)
2. Palpasi : perabaan hangat, pulsasi A. femoralis,
A.dorsalis pedis, A.tibialis posterior, dan
A.poplitea kuat angkat.
3. Tes sensibilitas : sensibilitas halus normal dan sensibilitas
kasar normal.
Refleks fisiologis
Kanan Kiri
Refleks Patella ++ ++
Refleks Cremaster ++ ++
Refleks Achilles ++ ++
Refleks Patologis
Kanan Kiri
Refleks babinski - -
Refleks Gordon - -
Refleks Oppenheim - -
Refleks chaddoks - -
3.7 Penatalaksanaan
Nonfarmakologi
- Bed Rest
- Diet Hepar II
Farmakologi
- IVFD Aminofusin hepar : Triofusin : NaCl 0,9 % 6 jam/kolf
- Ceftriaxone 1 x 2 gram iv (skin test)
- Sistenol 3 x 1
- Dulcolax Syr 3x 1
- Curcuma
3.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad sanantionam : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
Plan : USG
Abdomen
DAFTAR PUSTAKA
1. Nurdjanah, Siti dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi V. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. 2010. 668-673;
2. Soewignjo Soemohardjo Sthepanus Gunawan dalam Buku Ajar Penyakit Dalam
Jilid 1. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia.
2010. 653-660;
3. Hirlan, dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. 2010. 674;