Anda di halaman 1dari 6

Penyakit alergi yang kita kenal dalam praktek sehari-hari antara lain ialah, reaksi

atopi (rhinitis alergika, asthma bronehiale, urticaria, eezema atopik) alergi obat,
dermatitis kontak, dan serum sickness yang sudah jarang dilihat lagi.

Dari kepustakaan dikatakan bahwa 30% dari penduduk itu mempunyai kemungkinan
selama dalam hidupnya untuk menunjukkan suatu reaksi alergi, tapi hanya 10% yang
membutuhkan pertolongan medik.

Rhinitis alergika adalah penyakit alergi yang paling banyak ditemukan, lalu disusul
oleh asthma bronchiale dan urticaria. Meskipun rhinitis alergika kelihatannya tidak
seberapa payah, tapi dalam praktek kita, banyak sekali yang mendapat cukup
gangguan-gangguan hidungnya antara lain berair terus sehingga memakai lebih dari
10 saputangan sehari, matanya berair dan gatal-gatal yang hilang timbul, berbangkis-
bangkis yang tak henti-henti, terutama dipagi hari atau kalau penderita banyak kena
debu. Kalau hal ini dibiarkan terus, kelak akan timbul berbagai komplikasi yang
menyangkut kesulitan-kesulitan didaerah hidung (sinusitis dsb).
Pada rhinitis alergika yang menjadi alergen biasanya berbentuk inhalan ; pada asthma
bronehiale umumnya juga inhalan, meskipun seperti pada urticaria semua bentuk
alergen dapat menimbulkannya . Perlu diketahui bahwa pada penyakit alergi ada pula
faktor-faktor lain yang non-antigenik yang dapat menimbulkan manifestasi yang
sama misalnya kecapaian, kurang tidur, udara yang lembab , emosi, yang dapat
menimbulkan serangan asthma bronchiale dan urticaria. Dalam usaha mencari
alergen, pertama dibutuhkan suatu anamnesa yang teliti, antara lain menanyakan
kepada penderita tentang kemungkiman yang menjadi sebab timbulnya keluhan yang
mungkin diketahui dan mungkin tidak, keadaan rumah penderita (ada atau tidaknya
binatang piaraan seperti kucing, anjing, burung, ayam, dsb., keadaan kamar tidur
seperti jenis kasur dan bantal, apa dibuat dari karet busa atau kapuk) tempat bekerja
penderita, apa alat-alat tulis, buku-buku disimpan rapi dalam lemari atau tidak, dan
apa ada permadani atau tidak, disckeliling penderita bekerja atau tidur, dll.
Selanjutnya perlu ditanyakan kepada penderita kapan keluhannya lebih sering timbul,
diluar atau didalam rumah. Kalau di rumah harus ditanyakan kapan dan dimana
keluhan timbul.
Selanjutnya usaha untuk mencari alergen dapat dibantu dengan berbagai cara yang
dikerjakan baik in-vivo maupun in-vitro, antara lain : Tes kulit (suntikan intrakutan,
prick test, scratch test, patch test). Tes dari Prausnitz Kustner, tes provokasi, tes
sensitisasi pasip dari paru-paru manusia, sensitisasi pasif dari lekosit, tes yang
mengukur pengeluaran kinin, tes dari Rast, tes degranulasi basofil, tes tranformasi
limfosit dan lain-lainnya.

Asthma bronchiale, meskipun hanya menduduki tempat kedua dalam frekwensi


penyakit alergi, tapi penyakit ini kalau tak segera ditanggulangi dengan baik, dapat
berjalan kronis, dan malahan dapat menyebabkan kematian. Pada anak-anak kalau
tidak ditanggulangi dengan baik mungkin pertumbuhan rongga dadanya akan
mengalami gangguan.

Pada tahun 1974 dari 1526 penderita yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam
FKUI/RSTM Jakarta, 97 adalah penderita asthma bronchiale dan dari jumlah tersebut
7 orang meninggal. Serangan asthma bronchiale yang sering timbul, menyebabkan
angka absensi sekolah dan kantor yang cukup tinggi, disamping mungkin timbulnya
gangguan psikis yang biasa terjadi pada perjalanan suatu penyakit yang kronis.

Urticaria sangat sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, Tetapi, umumnya ada
hubungan dengan jenis makanan. banyak pula jenis urticaria yang sebabnya tak
diketahui dengan pasti oleh penderita sendiri, misalnya masih juga timbul-timbul
meskipun diit sudah sangat ketat; sering dijumpai seseorang yang takut makan itu ini,
sehingga mungkin pula akan timbul suatu defisiensi makanan.

Alergi obat sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, dalam berbagai bentuk dan
corak, seperti :
a. Serum sickness
b. Shock anafilaksis
c. Manifestasi kulit :
- pruritus
- urticaria dan angioedema
- exanthema
- dermatitis cksfoliatif
- erythema multiformc dan erupsi bulosa
- erupsi tertentu/fixed drug eruption
- erupsi purpura
- eczcma dan fotosensitisasi
d. Manifestasi hematologik :
- thrombositopenia
- agranulositosis
- anemia aplastik
- anemia hemolitik

e. Vaskulitis dan kerusakan jaringan


f. Kerusakan hati
g. Demam
h. Nefropati
i. Limfadenopati
j. Manifestasi paru-paru : asthma bronchiale
k. Cardiopati

Sering seseorang penderita hanya tahu ada obat yang tidak tahan dari pengalamannya,
tapi kalau ditanyakan mereka sering pula tak dapat mengatakan dengan pasti jenis
obat apa. Dokter yang memberikan obat tersebut, seringkali kurang terbuka untuk
menerangkannya kepada sipenderita, bahwa reaksi itu dapat terjadi pada semua
orang, dan bahwa selanjutnya jenis obat itu perlu dicatat penderita, agar obat itu tak
diberikan lagi oleh dokter lain, sehingga reaksi yang kedua yang mungkin lebih hebat
terjadi sesudah pemakaian ulangan obat yang sama itu (mungkin anafilaksis) dapat
dielakkan. Alergi obat ditemukan dalam 2% dari masyarakat yang mendapatkan
pengobatan.

Dermatitis kontak yang terjadi sesudah pemakaian obat yang ditempelkan pada kulit,
pada waktu ini lebih jarang terjadi, semenjak beberapa obat-obatan yang berupa
salep, terutama salep penicillin dan sulfa, banyak dihentikan dari peredaran seperti di
Amerika. Di Indonesia banyak orang orang medis memakai salep-salep tsb, bahkan
kalau salep tidak ditemukan, maka dipakainya pula kristal penicillin yang ditaburkan
diatas luka penderita, atau dicarinya pula puyer sulfa untuk maksud yang sama.
Kontak dengan kulit adalah cara yang paling cepat untuk mensensitisasi seseorang,
sehingga pemakaian salep berikutnya akan lebih mudah menimbulkan suatu
dermatitis kontak. Perlu diperhatikan perananperanan dari logam-logam perhiasan,
bahan kosmetik, bahan tekstil yang dapat menjadi sebab jenis penyakit tersebut.
10 Cermin Dunia Kedokteran No. 6, 1976.

Serum sickness, dengan jarangnya pemakaian serum dalam pengobatan, dengan


sendirinya sudah sangat jarang terjadi.
Penyakit alergi yang disebut dengan serum sickness ini tidak selalu disebabkan oleh
karena pemakaian serum yang antigenik; tapi mungkin pula terjadi sebagai salah satu
manifestasi dari alergi obat, misalnya limfadenopati yang telah disebutkan lebih dulu.

Sindrom Stevens-Johnson

Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah kelainan serius pada kulit dan selaput lendir
akibat reaksi dari obat atau adanya infeksi, kondisi ini sangat jarang terjadi.
Seringkali reaksi ini dimulai dengan gejala mirip penyakit flu, dan diikuti dengan
ruam merah yang menyebar hingga akhirnya lapisan kulit bisa mati dan mengelupas.
Sindrom ini merupakan kondisi medis darurat yang membutuhkan perawatan di
rumah sakit. Perawatan yang diberikan terfokus pada menghilangkan penyebab,
mengendalikan serta meminimalkan timbulnya komplikasi.
Penyembuhan setelah terkena SJS bisa mencapai mingguan atau bulanan, tergantung
dari tingkat keparahan kondisi pasien. Jika disebabkan oleh obat-obatan, maka pasien
harus menghindarinya secara permanen.
Tanda dan gejala dari SJS biasanya meliputi pembengkakan di muka, lidah
membengkak, sakit pada kulit, ruam kulit berwarna merah atau ungu yang menyebar
dalam hitungan jam atau hari, melepuh pada kulit dan selaput lendir terutama di
mulut, hidung dan mata serta kulit yang mengelupas. Beberapa hari sebelumnya
muncul demam, sakit tenggorokan, batu dan mata seperti terbakar.
SJS memerlukan perhatian medis yang segera, terutama jika gejala-gejala tersebut
sudah muncul. Penyebab pasti SJS tidak selalu dapat diidentifikasi dengan pasti,
biasanya akibat reaksi alergi dari obat, infeksi atau penyakit tertentu.
Obat-obatan yang terkait dengan SJS adalah obat anti asam urat (allopurinol), obat
anti peradangan non-steroid (NSAID), obat untuk infeksi seperti sulfonamid dan
penisilin dan obat untuk kejang-kejang (antikonvulsan). Infeksi yang dapat
meyebabkan SJS adalah herpes, influenza, HIV, difteri, tifus dan hepatitis. Dalam
beberapa kasus SJS dapat disebabkan oleh terapi radiasi atau sinar ultraviolet.
SJS adalah suatu reaksi alergi yang sangat langka dan tak bisa diduga. Sampai saat ini
tidak ada tes yang tersedia untuk membantu memprediksi siapa yang lebih berisiko.

Toxic Epidermal Necrolysis

Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) adalah gangguan kulit yang dapat mengancam
hidup dan ditandai dengan kelainan kulit melepuh atau mengelupas dari lapisan atas
kulit. Gangguan ini dapat disebabkan oleh reaksi obat seperti penisilin atau akibat
penyakit lain. Sekitar sepertiga dari semua kasus yang didiagnosis tidak dapat
diketahui penyebabnya.
TEN menyebabkan kulit mengelupas sehingga meninggalkan daerah besar yang
terlihat seperti tersiram air panas. Kehilangan lapisan kulit ini dapat menyebabkan
hilangnya cairan dan garam serta memudahkan terjadinya infeksi.
Gejala yang paling umum dari TEN adalah kulit mengelupas seperti lembaran, rasa
tidak nyaman, badan demam dan kondisi ini bisa menyebar ke mata, mulut hingga
alat kelamin. Terkadang gejala yang ditimbulkan mirip dengan kondisi penyakit kulit
lainnya.
Pengembangan dari penyakit ini bisa terjadi dengan cepat, biasanya dalam waktu 3
hari. Perawatan yang diberikan rumah sakit seringkali masuk ke unit luka bakar.
Pengobatan khusus yang diberikan pada pasien biasanya tergantung dari kondisi
kesehatan secara menyeluruh, usia dan riwayat kesehatan, keparahan kondisi dan
toleransi terhadap obat, prosedur atau terapi tertentu.
Pengobatan yang diberikan bisa berupa isolasi untuk mencegah infeksi, melindungi
luka dengan perban, pemberian cairan dan elektrolit melalui intravena dan antibiotik.
Perawatan yang diterima bisa gabungan semuanya atau hanya salah satu saja.
Baik SJS atau pun TEN jika kondisinya parah bisa mengakibatkan kematian. Angka
kematian untuk TEN sekitar 30-35 persen, sedangkan untuk SJS sebesar 5-15 persen.
Berdasarkan beberapa penelitian dan observasi didapatkan rasio penderita untuk TEN
sebesar 1 dari 1,4 juta penduduk sedangkan untuk SJS 1-3 dari 1 juta penduduk.

"Sindrom Stevens-Johnson dan TEN merupakan alergi berat di kulit dan mukosa
(selaput lendir), tapi alergi ini sangat jarang terjadi dan bisa juga disebabkan oleh
non-obat. Sebaiknya waspadai apapun gejala yang timbul," ujar Dr Dante Saksono,
SpPD, PhD saat dihubungi detikhealth, Selasa (19/1/2010).

Anda mungkin juga menyukai