Anda di halaman 1dari 11

1. Apa saja primary survey?

Tahapan pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan
menjaga jalan nafas disertai kontrol servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan
tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem
sirkulasi disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure,
enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).
Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam
nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi
dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari
10 detik) difokuskan pada Airway Breathing Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan
oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena
masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang
lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat
darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8
menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan
kematian. Oleh karena itu pengkajian primer pada penderita gawat darurat penting dilakukan
secara efektif dan efisien (Mancini, 2011).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza.,
& Pletz, 2009) :
a) General Impressions
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)

b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
(Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika
dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner,
2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial
penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko
untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
 Lakukan intubasi

c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson
& Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter
dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar),
jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi
sesuai kebutuhan.
4 masalah yg mengancam breathing serta tindakannya adalah :
Tension pneumothoraks (px sesak, trakea bergesar dan disertai distensi vena
jugularis) tindakannya adalah needle thoracosintesis di ICS 2 midclavikula
Open pneumothoraks (adanya sucking cest wound pada luka, yaitu paru menghisap
udara lewat lubang luka) tindakannya adalah tutup kassa 3 sisi yg kedap udara
Masive Haematothoraks (perdarahan dirongga thoraks) lapor dokter untuk segera
WSD, nilai apa perlu Thoracotomy..?
Flail chest dengan Kontusio paru perlu definitif
d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock
didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat,
ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena
itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman
untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk
melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan
perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock
dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui
paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner,
2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan
secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
f) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga
memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan.
Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya
selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup
pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa,
maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka
dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau
kritis.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)

2. Mengapa didapatkan banyak darah dari rongga mulut pasien?

3. Mengapa setelah dilakukan pemasangan rebreathing mask pasien memburuk suara


seperti berkumur dan saturasi O2 89%?

Kebutuhan oksigen otak yang cedera lebih tinggi dari otak normal, oleh karena itu
oksigenasi otak yang adekuat harus menjadi prioritas.

BGA yang diambil saat trauma dan saat masuk rumah sakit menunjukkan bahwa
hiperkapnea berkorelasi dengan derajat keparahan cedera kepala. GCS dibawah 9
dihubungkan dengan kadar PaCO2 diatas 50 mmHg. Intubasi endotrakeal harus
dipertimbangkan apabila baik patensi jalan nafas dan ventilasi spontan yang adekuat tidak
dapat dipertahankan.

Angka mortalitas meningkat dari 22-25 % pada pasien yang diintubasi 1 jam setelah
trauma menjadi 34,8 % pada pasien yang intubasinya ditunda lebih dari 1 jam. Bantuan
ventilasi diindikasikan bila saturasi O2 dibawah 93%, PaO2 kurang dari 70mmHg, dan PaCO2
lebih dari 45mmHg.

Intubasi pasien cedera kepala sebaiknya dengan kontrol ventilasi, tiopenthal dan atau
lidokain, relaksan short acting intravena, dengan penekanan krikoid. Nasal intubasi tidak
dianjurkan karena resiko perdarahan dan kemungkinan FBC. Intubasi pasien dugaan fraktur
cervical harus ditraksi dan seatraumatis mungkin; tidak dianjurkan dengan scholin
Pemasangan pipa lambung dapat merangsang reflek muntah sehingga sebaiknya
dilakukan setelah intubasi.

Respirasi dapat memburuk karena disfungsi SSP. Hipoksia sekunder karena cedera
otak biasanya merespon terhadap pemberian PEEP atau CPAP. Bila penyebab memburuknya
respirasi karena overload cairan, dapat dikoreksi dengan loop diuretik seperti furosemide;
sebaiknya tidak dengan diuretik osmosis seperti mannitol.

4. Mengapa penderita mengeluarkan suara seperti mengorok dan berkumur?


5. Kapan pemasangan oropharyngeal airway dilakukan?
6. Indikasi dilakukannya definitive airway?

7. Indikasi dan kontraindikasi oropharyngeal airway?


Teknik-teknik mempertahankan airway :
1. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala
pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan
drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan
dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit
mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien
sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil
berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena
(Alkatri, 2007).
11

2. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan.
Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk
membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri
(incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat.
Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver
ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita
dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang
tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.

Gambar 2.1. Head-tilt, chin-lift maneuver (sumber : European


Resusciation Council Guidelines for Resusciation 2010).

3. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus
mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus
mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum
mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada
maxila (Arifin, 2012).
12

Gambar 2.2. Jaw-thrust maneuver (sumber : European Resusciation


Council Guidelines for Resusciation 2010).

4. Oropharingeal Airway (OPA)


Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas
pada pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene, davis,
2007).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih
ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan
dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak
telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan
ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar
pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan
jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil mendorong pangkal
pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa berada
diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring.
Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa
oro-faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa,
rekatkan plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012)

8. Mengapa pasien tampak sianosis dan curiga adanya fraktur impressi pada os frontal?
Sumber:

Tulang kepala
Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis cranium (dasar tengkorak).
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang tengkorak disebabkan
oleh trauma. Fraktur calvarea dapat berbentuk garis (liners) yang bisa non
impresi (tidak masuk / menekan kedalam) atau impresi. Fraktur tengkorak
dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua tidak rusak).
Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang berongga, dinding
luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (labula interna) yang mengandung
alur-alur arteria meningia anterior, infra dan posterior. Perdarahan pada
arteria-arteria ini dapat menyebabkan tertimbunya darah dalam ruang epidural.

Fraktur tengkorak :
Fraktur tengkorak ialah terjadinya diskontinyuitas jaringan tulang yang melindungi otak dan
struktur lain yang meliputinya, terdiri dari :

a. Fraktur linear : Merupakan trauma yang umumnya terjadi, sering terjadi pada anak.
Fraktur linear merupakan kerukan yang simpel pada jaringan tengkorak yang
mengikuti garis lurus. Hal ini dapat terjadi setelah terjadinya trauma kepala ringan (
terjatuh, terpukul, kecelakaan sepeda motor ringan ). Fraktur linear bukanlah trauma
yang serius kecuali pada trauma yang agak berat dapat mengenai jaringan otak.
b. Fraktur impresi : Hal ini umumnya terjadi setelah bertabrakan dengan kekuatan besar
dengan benda tumpul seperti : palu, batu, atau benda berat lainnya. Trauma ini dapat
menyebabkan lekukan pada tulang tengkorak dan menekan jaringan otak. apabila
kedalaman dari fraktur impresi ini sama dengan ketebalan tulang tengkorak ( ¼ - ½
inchi ), operasi selalu dilakukan untuk mengangkat potongan tulang dan untuk melihat
kerusakan otak yang diakibatkan oleh trauma ini. Fraktur impresi yang minimal lebih
tipis dari ketebalan tulang. Fraktur ini umumnya tidak perlu dioperasi kecuali
dijumpai kerusakan lain. Fraktur ini dapat merobek dura mater dan merusak jaringan
otak dibawahnya serta menimbulkan perdarahan.
c. Fraktur basiler : merupakan fraktur yang terjadi dasar tengkorak yang diakibatkan dari
trauma tumpul yang berat pada kepala dengan kekuatan yang signifikan. Fraktur
basiler umumnya mengenai rongga sinus. Hubungan ini dapat menyebabkan udara
atau cairan masuk kedalam tengkorak dan menyebabkan infeksi. Pembedahan
umumnya tidak diperlukan kecuali ditemukan kerusakan lain.

PATOFISIOLOGI
Gangguan metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem yang dapat
menyebabkan heniasi jaringan otak melalui foramen magnum, sehingga jaringan otak
tersebut dapat mengalami iskhemi, nekrosis, atau perdarahan dan kemudian meninggal.
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Cedera kepala
dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan glukosa, yang terjadi karena berkurangnya
oksigenisasi darah akibat kegagalan fungsi paru atau karena aliran darah ke otak yang
menurun, misalnya akibat syok.
Karena itu, pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas
yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu sehingga oksigenisasi cukup.
9. Etiologi dan gejala sumbatan jalan napas?

Dapat dibagi atas 4 stadium (jackson):


 Sesak nafas, stridor inspirator, retraksi suprasternal : keadaan umum masih
baik
 Gejala stadium 1 + retraksi epigastrium : penderita mulai gelisah
 Gejala stadium 2 + retraksi supra/infraklavikular, penderita sangat gelisah dan
sianotik
 Gejala stadium 3 + retraksi interkostal, penderita berusaha sekuat tenaga untuk
menghirup udara : lama kelamaan terjadi paralisis pusat pernafasan, penderita
menjadi apatik dan akhirnya meningggal
(Kedaruratan Medik)

Jenis-jenis suara nafas tambahan karena hambatan sebagian jalan nafas :

a) Snoring : suara seperti ngorok, kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas
bagian atas oleh benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah pengecekan langsung
dengan cara cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari dan jari
telunjuk tangan yang digunakan untuk chin lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas ke atas,
telunjuk menekan rahang bawah ke bawah). Lihatlah apakah ada benda yang menyangkut di
tenggorokan korban (eg: gigi palsu ,lidah dll). Pindahkan benda tersebut.

b) Gargling : suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang
disebabkan oleh cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger(seperti di atas), lalu
lakukanlah finger-sweep (sesuai namanya, menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan
kain untuk “menyapu” rongga mulut dari cairan-cairan).
c) Crowing : suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan (edema)
pada trakea, untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt and chin lift atau
jaw thrust saja

Jika suara napas tidak terdengar karena ada hambatan total pada jalan napas, maka dapat
dilakukan :

 Back Blow sebanyak 5 kali, yaitu dengan memukul menggunakan telapak tangan
daerah diantara tulang scapula di punggung
 Heimlich Maneuver, dengan cara memposisikan diri seperti gambar, lalu menarik
tangan ke arah belakang atas.

 Chest Thrust, dilakukan pada ibu hamil, bayi atau obesitas dengan cara memposisikan
diri seperti gambar lalu mendorong tangan kearah dalam atas.

Anda mungkin juga menyukai