Anda di halaman 1dari 24

Step 7

1. Bagaimana anatomi, histologi dan fisiologi dari hidung?

FISIOLOGI HIDUNG
1. Jalan nafas
a. pada inspirasi : udara masuk  melalui nares anterior  naik ke
atas setinggi konka media  turun ke bawah arah nasofaring
b. pada ekspirasi : udara masuk melalui koana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi
1. Pengatur kondisi udara / air conditioning
a. Mengatur kelembaban udara
Dilakukan oleh palu lendir dimana pada musim panas udara jenuh
dengan uap air, penguapan pada lapisan ini sedikit sedangkan pada
musim dingin terjadi sebaliknya
b. Mengatur suhu :
Fungsi ini diungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas
sehingga radiasi berlangsung optimal
2. Penyaring dan pelindung
Membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dilakukan oleh :
a. Rambut pada Vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lender
d. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel2
yang besar akan dikeluarkan dengan reflek bersin
3. Indra penghidu
Dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rogga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum
4. Resonansi suara
Resonansi penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi
5. Turut membantu proses bicara
Kata2 dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan
konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka ,
palatum mole turun untuk aliran udara
6. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
sauran cerna , kardiovaskuler, dan pernapasan misal : iritasi mukosa
hidung sebabkan bersin,

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka


fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2)
fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna
untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara
sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5)
refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

FISIOLOGI PENCIUMAN
Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh
zat - zat kimia yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor
olfaktorius, molekul yang terdapat dalam udara harus mengalir melalui rongga
hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan bersentuhan dengan reseptor.
Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi durasi, volume
dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron bipolar
sensorik utama.(5,7,8)
Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor.
Neuron olfaktorius bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-
sel basal yang terletak dibawahnya. Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih
setiap 30-60 hari. (5,6)
Pada inspirasi dalam, molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa
olfaktorius sehingga sensasi bau bisa tercium. Terdapat beberapa syarat zat-zat
yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu yaitu zat-zat harus mudah
menguap supaya mudah masuk ke dalam kavum nasi, zat-zat harus sedikit larut
dalam air supaya mudah melalui mukus dan zat-zat harus mudah larut dalam
lemak karena sel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri dari
zat lemak.(7,8)
Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus
yang berada pada permukaan membran. Molekul bau yang larut dalam mukus
akan terikat oleh protein spesifik (G-PCR). G-protein ini akan terstimulasi dan
mengaktivasi enzim Adenyl Siklase. Aktivasi enzim Adenyl Siklase mempercepat
konversi ATP kepada cAMP. Aksi cAMP akan membuka saluran ion Ca ++,
sehingga ion Ca++masuk ke dalam silia menyebabkan membran semakin positif,
terjadi depolarisasi hingga menghasilkan aksi potensial. Aksi potensial pada
akson-akson sel reseptor menghantar sinyal listrik ke glomeruli (bulbus
olfaktorius). Di dalam glomerulus, akson mengadakan kontak dengan dendrit sel-
sel mitral. Akson sel-sel mitral kemudiannya menghantar sinyal ke korteks
piriformis (area untuk mengidentifikasi bau), medial amigdala dan korteks
enthoris (berhubungan dengan memori).(5)

2.1.1.2 Anatomi hidung luar


Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4)
ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi
anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2.1.1.3 Anatomi hidung dalam


Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga
hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat
konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan
inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus
superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)
2.1.1.3.1 Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk
oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral) ,
premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista
maksila , Krista palatine serta krista sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
2.1.1.3.2 Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os
palatum. . (Ballenger JJ,1994)
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju
bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. . (Ballenger
JJ,1994)
Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus
medial. . (Ballenger JJ,1994)
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka
inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan
inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus
superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas.
Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os
etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada
maksila bagian superior dan palatum. (Ballenger JJ,1994)
2.1.1.3.3 Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa
ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di
depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya
sinus sfenoid. (Ballenger JJ,1994)
2.1.1.3.4 Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,
sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka
media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang
berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau
fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan
infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid
yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan
sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila
bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-
kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.
(Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
2.1.1.3.5 Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus
nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior
nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
2.1.1.3.6 Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian
dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian
luar oleh lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)
Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular
dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah
apeks prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ;
Hilger PA,1997)
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang
berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya
berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-
sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan
melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah
mukus yang menghasilkan sel-sel goblet (Sobol SE, 2007).

2.1.1.5 Perdarahan hidung


Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di
antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang – cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial
dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.
(Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2. Kenapa hidung salalu tersumbat dan bertambah berat?


Hidung tersumbat:
 Edem :
 Hipertrofi mukosa : akibat paparan infeksi yg sifatnya kronis
Beda hidung buntu karena alergi, infeksi dan septum deviasi
a. Septum deviasi
Sumbatan biasa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat
konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terdapat konka yg hipertrofi
sebagai akibat kompensasi.
Gejala lain: nyeri kepala dan sekitar mata, kurang penciuman, dapat menyumbat
ostium sinus  sinusitis.
b. Infeksi
Biasanya disertai tanda2 infeksi, ada demam, jenis secret tergantung etiologi
c. Alergi
Biasanya disertai tanda2 alergi  bersin2, ingus encer dan banyak, hidung dan
mata gatal, kadang lakrimasai, dan tidak ada demam.
Buku Ajar Ilmu THT, FK UI, 2007
3. Apa hubungan pekerjaan dengan keluhan?

4. Mengapa keluar ingus encer, bersin2 dan hitung gatal, dan pencetus lain selain
bersih2 rumah.?
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
 Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernafasan, misalnya

tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang

(kucing,anjing), rerumputan serta jamur

 Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,

misalnya susu, sapi, telur, coklat, iklan laut, udang kepiting, dan

kacang-kacangan.

 Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau

tusukan,misalnya penisilin dan sengatan lebah.

 Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan

mukosa,misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Mekanisme Rinore, hidung tersumbat dan gatal


Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar
mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21493/4/Chapter%20II.pdf
Setelah penderita bekerja di mebel dimungkinkan menghirup allergen
spesifik yang menyebabkan suatu reaksi alergi tipe cepat maupun
lambat hasil dari reaksi hipersensitivitas ini mengakibatkan keluarnya
mediator inflamasi seperti histamine yang akan merangsang reseptor
pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung
dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa
dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terbentuk rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat
akibat vasodilatasi sinusoid.
Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

5. Mengapa dokter mendiagnosis polip?

Polip nasi dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian
menyebabkan sumbatan yang mengakibatkan rinosinusitis, tetapi dapat juga
timbul setelah ada rinosinusitis kronis.

Pada patofisiologi sinusitis, permukaan mukosa ditempat yang sempit di komplek


osteomeatal sangat berdekatan dan jika mengalami oedem, mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan
lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi dari
sinus maksila dan sinus frontal, sehingga akibatnya aktifitas silia terganggu
dan terjadi genangan lendir sahingga lendir menjadi lebih kental dan merupakan
media yang baik untuk tumbuh bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus
maka akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga bakteri anaerob pun akan
berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia.
Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertofi, polipoid atau
terbentuk polip dan kista

POLIP

Pendahuluan
Kata polip berasal dari Yunani (Polypous) yang kemudian dilatinkan (polyposis)
dan berarti berkaki banyak. Polip hidung adalah masa yang tumbuh dalam
rongga hidung, sering kali multiple dan bilateral6. Massa ini lunak berwarna putih
keabu-abuan, agak transparan, permukaan licin mengkilat, bertangkai dan
mudah digerakkan. Berasal dari epitel dimeatus medius, ethmoid atau sinus
maksila. Dapat menjadi besar dan dapat memenuhi rongga hidung dan sampai
keluar dari nares anterior2,7. Ada polip yang tumbuh ke posterior ke arah
nasofaring dan disebut polip koanal, sering tidak terlihat pada pemeriksaan
rinoskopi anterior. Polip koanal paling sering berasal dari sinus maksila (antrum).
Sehingga disebut juga polip antrokoanal. Polip koanal yang lain adalah
sfenokoanal dan etmoidokoanal8,9,10
Klasifikasi dan stadium polip nasi
Stadium polip nasi menurut mackay12 :
Stadium 0 : tidak ada polip
Stadium 1 : polip terbatas dimeatus media (MM) tidak keluar ke rongga hidung.
Tidak tampak dengan pemeriksaan rinoskopi anterior hanya terlihat dengan
pemeriksaan endoskopi.
Stadium 2 : polip sudah keluar dari MM dan tampak dirongga hidung tetapi tidak
memenuhi / menutupi rongga hidung.
Stadium 3 : polip sudah memenuhi rongga hidung.

Etiologi dan patogenesis


Sampai sekarang etiologi polip masih belum diketahui dengan pasti tapi ada 3
faktor yang penting dalam terjadinya polip, yaitu7 :
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstisial dan edema mukosa hidung.

Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat


yang sempit akan menyebabkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya.
Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga
mengakibatkan edema mukosa dan menyebabkan polip. Fenomena ini
menjelaskan mengapa polip banyak berasal dari area yang sempit di
infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris dan area lain di meatus medius.2,7 Pada awal pembentukan polip
ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terjadi didaerah meatus medius.
Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa yang
sembab akan menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab
makin membesar dan kemudian akan turun kedalam rongga hidung sambil
membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.2,7,9

Histopatologi
Makroskopis
Polip merupakan masa bulat atau lonjong dengan permukaan licin berwarna
pucat keabuan, lobuler , dapat multiple dan bersifat sangat tidak sensitif. Warna
polip yang pucat tersebut disebabkan oleh sedikitnya aliran darah yang
memasok polip tersebut. Bila terjadi trauma berulang atau suatu proses inflamasi
dapat berubah jadi kemerahan.
Mikroskopis
Epitel pada polip merupakan epitel bertingkat semu bersilia yang serupa dengan
mukosa sinus dan mukosa hidung normal. Membran basal tebal, stoma
edematosa, sel-selnya terdiri dari campuran limfosit, sel plasma, eosinofil dan
makrofag, kadang-kadang di dapati banyak neutrofil. Mukosa mengandung sel-
sel goblet. Pembuluh darah sangat sedikit, dan terlihat melebar, tidak
mempunyai serabut syaraf. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia
epitel karena sering terkena aliran aliran udara menjadi epitel transisional, kubik
atau gepeng berlapis tanpa kertinisasi, yang tingginya
bervariasi. Selain sel goblet, polip juga mengandung kelenjer di submukosa yang
berbeda dengan kelenjer dimukosa hidung. Kelenjerkelenjer ini muncul setelah
polip terbentuk.2,7,13. Hellquist membagi polip nasi menjadi 4 sub-tipe
histologis, yaitu, tipe I polip alergik dengan eosinofil yang dominan, tipe II polip
fibroinflamatorik dengan netrofil yang dominan, tipe III polip dengan hiperplasia
kelenjer seromusinosa dan tipe IV polip dengan sroma
atipik14.(Gambar 3)

Gejala Klinik dan Diagnosis


Gejala primer adalah hidung tersumbat, terasa ada masa dalam hidung, sukar
mengeluarkan ingus dan hiposmia atau anosmia. Gejala sekunder termasuk
ingus turun kearah tenggorok (post nasal drip), rinore, nyeri wajah, sakit kepala,
telinga rasa penuh, mengorok, gangguan tidur, dan penurunan prestasi
kerja.7,11 Biasanya polip sudah dapat terlihat pada pemeriksaan rinoskopi
anterior. Polip yang sangat besar dapat mendesak dinding rongga hidung
sehingga menyebabkan deformitas wajah (hidung mekar). Polip kecil yang
berada di celah meatus medius sering tidak terdeteksi pada rinoskopi anterior
dan baru terlihat pada nasoendoskopi.9 Pada pemeriksaan foto sinus paranasal
sering menunjukkan rinosinusitis. Pada pemeriksaan CT scan akan terlihat
bagaimana selsel ethmoid dan kompleks ostio-meatal tempat biasanya polip
tumbuh. CT scan perlu dilakukan bila ada polip unilateral, bila tidak membaik
dengan pengobatan konservatif selama 4-6 minggu, bila akan dilakukan operasi
BESF dan bila ada kecurigaan komplikasi sinusitis.10 (Gambar 4)
Pemeriksaan lain yang mungkin perludilakukan adalah tes alergi pada pasien
yangdiduga atopi, biopsi bila ada kecurigaan keganasandan kultur polip nasi .10

Diagnosis Banding
Diagnosis banding polip nasi termasuktumor-tumor jinak yang dapat tumbuh
dihidungseperti kondroma, neurofibroma, angiofibroma danlain-lain. Papiloma
inversi (Inverted papiloma) adalah tumor hidung yang secara histologis jinaktapi
perangai klinisnya ganas dapat menyebabkanpendesakan / destruksi dan sering
kambuhkembali, penampakannya sangat merupai polip.
Tumor ganas hidung seperti karsinoma atausarkoma biasanya unilateral, ada
rasa nyeri dan
mudah berdarah, sering menyebabkan destruksitulang.Diagnosis banding lain
adalah meningokel/ meningoensefalokel pada anak. Biasanya akanmenjadi lebih
besar pada saat mengejan ataumenangis.

Penatalaksanaan
Skema Penatalaksanaan Rhinosinusitis Kronisdengan Polip Hidung Pada
Dewasa untuk DokterSpesialis THT3 (lampiran)
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang
6. Kenapa didapatkan ingusnya kental dan berwarna kuning dan mengapa terasa juga
ada cairan yg mengalir ditenggorok dan merasa demam?
Pada dasarnya bagian tubuh seperti hidung, sinus, saluran pencernaan, mulut dan paru-paru memiliki
cairan lendir yang terdapat dibagian permukaanya. Lendir ini bekerja sebagai selimut mulut atau pelindung
pada permukaan jaringan tersebut, yang mana dapat mencegah jaringan bawahnya dari kekeringan,
bertindak sebagai antikuman (sistem pertahanan) dan menjalankan fungsinya dengan normal. Pada kondisi
normal lendir tersebut atau ingus ini diproduksi dalam jumlah yang normal dan tidak sampai melebihi batas
hingga keluar hidung dan dengan warna tertentu yakni bening dan putih.

Berubahnya warna secret karena respon dari rekasi hipersensitivitas yang terjadi terus
menerus sehingga terjadi peningkatan jenis dan jumlah sel inflamasi
(eosinofil,limfosit,neutrofil,basofil,sitokin).
Jika sinus mengalami infeksi rongga hidung akan menghasilkan dan mengeluarkan cairan kental
yang kita kenal sebagai ingus. Pengeluaran cairan atau ingus ini dapat berwarna kuning kental
atau kehijauan. Lendir atau mukus yang berwarna kuning atua kehijauan ini diakibatkan oleh sel
darah putih yang menandakan sebagai sistem imun yang sedang melawan infeksi sehingga
pengeluaran cairan/ingus terlihat kental dan berwarna kuning atau kehijauan. 
7. Apakah ada hubungan antara keluhan dan riwayat mimisan, obat pilek dan darah
tinggi?

1. Epistaksis anterior : paling sering dan mudah dikontrol


Sumber _ Little’s area ( pleksus Kiesselbach )
2. Epistaksis superior (ant-superior dan post-superior)
Sumber _ cabang medial / lateral a.etmoidalis ant. / post.
3. Epistaksis posterior : paling sukar ditanggulangi _ org tua
( hipertensi, arteriosklerose )
Sumber _ ruptur arteri sfenopalatina

Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:


1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan
biasanya dapat berhenti sendiri.Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus
Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum
bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat
berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan
melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek
pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi
patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan
pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit
kardiovaskuler.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20688/1/mkn-sep2006-%20sup
%20(15).pdf
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.
1. penyebab local :
- Idopatik (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan
remaja.
- Trauma ; epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengorek hidung, bersin,
mengeluarkan ingus dengan kuat, atau sebagai akibat trauma yang hebat seperti terpukul, jatuh,
kecelakaan lalu lintas.
- Iritasi ; epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia, udara panas pada
mukosa hidung.
- Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau
lingkungan udaranya sangat kering.
- Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang
berbau busuk.
- Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun kronis serta vestibulitis.
- Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal maupun nasofaring.
- Iatrogenic, akibat pembedahan atau pemakaian semprot hidung steroid jangka lama.
2. penyebab sistemik :
- Penyakit kardiovaskular, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti yang
dijumpai pada arteriosclerosis, nefritis kronis, sirosis hepatic, sifilis dan diabetes mellitus.
Epistaksis juga dapat terjadi akibat peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronchitis,
pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung. Epistaksis juga dapat terjadi pada pasien
yang mendapat obat anti koagulan (aspirin, walfarin, dll).
- Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.
- Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause.
Menurut Herkner dkk, ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa epistaksis dapat
terjadi pada pasien-pasien dengan hipertensi.3
1. Pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah yang
kronis. Hal ini berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah yang
abnormal.
2. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan berulang pada
bagian hidung yang
kaya dengan persarafan autonom yaitu bagian pertengahan posterior dan bagian
diantara konka media dan konka inferior.
Hubungan antara hipertensi dengan kejadian epistaksis masih merupakan suatu yang
kontroversial. Adanya kecendrungan peningkatan kejadian epistaksis pada pasien
dengan hipertensi yang lama dan hipertrofi ventrikel kiri. Tetapi sebagian penulis
menemukan sebaliknya. Lubianca dkk (1999), menyatakan tidak ditemukan hubungan
yang bermakna antara peningkatan tekanan darah dengan kejadian epistaksis. 13
Padgham dkk, dikutip dari Temmel, menemukan adanya hubungan antara hipertensi
dengan epitaksis terutama epitaksis yang berasal dari meatus medius, tapi tidak
ditemukan hubungan dengan beratnya epistaksis. Sedangkan Beran dkk melaporkan
common cold, stres, dan kelelahan dilaporkan sering mendahului terjadinya epistaksis. 14
Ibrashi dkk mengatakan bahwa lesi lokal di hidung yang menyebabkan stagnan aliran
pembuluh darah seperti infeksi, atau penyebab lainnya yang menghancurkan dinding
pembuluh darah atau mukoperiostealnya yang dapat menjadi pemicu terjadinya
epistaksis, maka hipertensi dan aterosklerosis baru akan memainkan peranannya
dalam memperberat epistaksis.15 Dari Lubianca mengatakan ada tiga faktor lain yang
dapat membuat samar diagnosis epistaksis yang disebabkan oleh hipertensi yaitu: 1)
kelainan anatomi hidung, 2) bukti adanya kerusakan organ target lain dan 3) kelainan
hemostasis.

8. Kenapa lebih berat pada pagi hari dan menghilang siang hari?

Bersin biasanya terjadi ketika partikel asing atau stimulan eksternal yang cukup melewati
rambut hidung untuk mencapai mukosa hidung. Hal ini memicu pelepasan histamines,
yang mengiritasi sel-sel saraf di hidung, sehingga sinyal yang dikirim ke otak untuk
memulai bersin melalui jaringan saraf trigeminal. Otak kemudian berhubungan sinyal
awal ini, mengaktifkan faring dan trakea otot dan menciptakan lubang besar dari hidung
dan rongga mulut, sehingga dalam rilis yang kuat dari udara dan bioparticles. Sifat kuat
bersin dikaitkan dengan keterlibatannya berbagai organ tubuh bagian atas - itu adalah
respon refleksif yang melibatkan wajah, tenggorokan, dan otot dada. Bersin juga dipicu
oleh stimulasi saraf sinus yang disebabkan oleh hidung tersumbat dan alergi.
Selain menjengkelkan partikel asing, alergi atau penyakit yang mungkin, stimulus lain
adalah paparan tiba-tiba cahaya terang - sebuah kondisi yang dikenal sebagai photic
refleks bersin.
Pemicu jarang, diamati pada beberapa individu, adalah kepenuhan perut segera setelah
makan besar. Hal ini dikenal sebagai snatiation dan dianggap gangguan medis diteruskan
genetik sebagai sifat dominan autosomal.
Bersin tidak dapat terjadi selama tidur REM karena atonia - keadaan tubuh dimana motor
neuron yang tidak dirangsang dan sinyal refleks tidak diteruskan ke otak. Stimulan
eksternal yang cukup, bagaimanapun, dapat menyebabkan seseorang untuk bangun dari
tidur mereka untuk tujuan bersin, meskipun setiap bersin terjadi setelah itu akan terjadi
dengan status sebagian terjaga minimal. [2]
Refleks bersin melibatkan kontraksi sejumlah otot yang berbeda dan kelompok otot
seluruh tubuh, biasanya termasuk kelopak mata. Saran umum yang tidak mungkin bersin
dengan mata seseorang terbuka, bagaimanapun, tidak akurat.
^ "Sneeze". Retrieved April,06, 2012.
^ "A Moment of Science: Sleep On, Sneeze Not". Retrieved 2008-11-14.
^ "Myth: Can sneezing with your eyes open make your eyeballs pop out?".

9. Mengapa pada polip penderita tidak bisa mencium bau yg tidak tajam?
10. DD? Definisi ,Gejala, ------ komplikasi
Polip
Sinusitis
Sinusitis maksillaris
 Demam, malaise
 Nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya reda dengan pemberian aspirin.
Sakit dirasa mulai dari pipi ( di bawah kelopak mata ) dan menjalar ke dahi
atau gigi. Sakit bertambah saat menunduk.
 Wajah terasa bengkak dan penuh
 Nyeri pipi yang khas : tumpul dan menusuk, serta sakit pada palpasi dan
perkusi.
 Kadang ada batuk iritatif non-produktif
 Sekret mukopurulen yang dapat keluar dari hidung dan kadang berbau busuk
 Adanya pus atau sekret mukopurulen di dalam hidung, yang berasal dari
metus media, dan nasofaring.

Sinusitis ethmoidalis
 Sering bersama dengan sinusitis maksillaris dan sinusitis frontalis
 Nyeri dan nyeri tekan di antara kedua mata dan di atas jembatan hidung
menjalar ke arah temporal
 Nyeri sering dirasakan di belakang bola mata dan bertambah apabila mata
digerakkan
 Sumbatan pada hidung
 Pada anak sering bermanifestasi sebagai selulitis orbita karena lamina
papiracea anak seringkali merekah
 Mukosa hidung hiperemis dan udem
 Adanya pus dalam rongga hidung yang berasal dari meatus media

Sinusitis frontalis
 Hampir selalu bersamaan dengan sinusitis ethmoidalis anterior
 Nyeri kepala yang khas di atas alis mata. Nyeri biasanya pada pagi hari,
memburuk pada tengah hari dan berangsur angsur hilang pada malam hari.
 Pembengkakan derah supraorbita
 Nyeri hebat pada palpasi atau perkusi daerah sinus yang terinfeksi
Sinusitis sphenoidalis
 Nyeri kepala dan retro orbita yang menjalar ke verteks atau oksipital
Dr. Dendy, RSUP Fatmawati
1. Nyeri di dahi merupakan gejala khas sinusitis frontalis.
2. Nyeri pada rahang atas dan gigi merupakan gejala infeksi sinus maksilaris.
3. Nyeri di antara kedua mata, rasa nyeri kalau pinggiran hidung disentuh, hidung
tersumbat dan tidak dapat mencium. (ethmoidalis)
4. timbul sakit kepala apalagi jika melakukan sujud sewaktu sholat. (sphenoidalis)

SINUS MAXILLARIS

Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan
sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, saat itu sinus maksila
sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak lebih rendah daripada batas atas
meatus inferior.
Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan
sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Perkembangan maksimum tercapai
antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger JJ,1994; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1) dasar
sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar (P1 dan
P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) ,
bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh
mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat
dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya
tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat
menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi
ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan
sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus
maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari
gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah
bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
SINUS FRONTALIS
Sejak 4 bulan dan berkembang maksimal usia 20 tahun. Sinus frontal dipisahkan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang
terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Rinitis

Anda mungkin juga menyukai