Anda di halaman 1dari 50

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

HIV telah berada di Indonesia sejak tahun 1987. Sampai dengan tahun 2012, kasus HIV/AIDS telah
tersebar di 345 dari 497 (69,4%) kabupaten/kota di seluruh provinsi Indonesia. Jumlah kasus HIV
baru setiap tahunnya telah mencapai sekitar 20.000 kasus. Pada tahun 2012 tercatat 21.511 kasus
baru, yang 70,4% di antaranya berusia 25-49 tahun. Sumber penularan tertinggi (58,7%) terjadi
melalui hubungan seksual tidak aman pada pasangan heteroseksual. Pada tahun 2012 tercatat kasus
AIDS terbesar pada kelompok ibu rumah tangga (18,1%) dan 2,7% di antaranya menularkan infeksi
HIV ke bayinya. Pada tahun 2012 pula, dari 43.624 ibu hamil yang melakukan konseling dan tes HIV
terdapat 1.329 (3,05%) ibu dengan infeksi HIV.

Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan tersebut dapat terjadi pada
masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
(PPIA) atau prevention of mother to child HIV transmission (PMTCT) merupakan intervensi yang
sangat efektif untuk mencegah penularan tersebut, selain juga meningkatkan kesehatan ibu dan
anak (KIA). Upaya ini dintegrasikan dengan upaya eliminasi sifilis kongenital, karena sifilis dapat
mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan pada ibu dan juga ditularkan kepada bayi seperti
halnya pada infeksi HIV. Bila ibu hamil yang terinfeksi sifilis tidak diobati dengan adekuat, maka 67%
kehamilan akan berakhir dengan abortus, lahir mati atau sifilis kongenital.

Sifilis, sebagaimana infeksi menular seksual (IMS) lainnya, meningkatkan risiko tertular HIV. Pada
orang dengan HIV-AIDS (ODHA), sifilis meningkatkan daya infeksi HIV. Pada mereka yang belum
terinfeksi HIV, sifilis meningkatkan kerentanan tertular HIV. Berbagai penelitian di banyak negara
melaporkan bahwa infeksi sifilis dapat meningkatkan risiko penularan HIV sebesar 3-5 kali.

Data sifilis pada ibu hamil di Indonesia masih terbatas. Pada tahun 2007 dilakukan skrining sifilis
dengan menggunakan rapid test di tiga propinsi yang mencakup empat kabupaten dan kota di DKI
Jakarta, Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Skrining tersebut dilakukan terhadap 2332 ibu hamil yang
datang pada kunjungan pertama antenatal dan ditemukan 24 orang (1,45%) ibu hamil yang terinfeksi
sifilis.

Jumlah fasilitas kesehatan yang memberikan layanan PPIA dan sifilis masih sangat terbatas. Sampai
tahun 2012 baru 105 fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang menyediakan pelayanan PPIA,
yaitu 93 rumah sakit dan 12 puskesmas (0,84% fasyankes di Indonesia). Jumlah fasilitas yang
memberikan layanan IMS juga masih terbatas, yaitu sebanyak 257 layanan1.

Dalam mencegah penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak, layanan PPIA dan pencegahan sifilis
kongenital diintegrasikan dengan layanan KIA melalui pelayanan antenatal terpadu, baik di tingkat
pelayanan dasar maupun rujukan. Buku pedoman tatalaksana PPIA dan sifilis ini memberikan acuan
teknis bagi para petugas kesehatan tentang pelaksanaan pelayanan antenatal terpadu dengan HIV
dan AIDS serta sifilis dalam upaya tersebut.

1.2 Kebijakan

PPIA merupakan bagian dari rangkaian upaya pengendalian HIV dan AIDS. Tujuan utamanya adalah
agar bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV terbebaskan dari HIV, serta ibu dan bayi tetap sehat.
Kebijakan umum PPIA sejalan dengan kebijakan program pengendalian HIV-AIDS dan IMS lainnya,

1
Data laporan rutin Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

1
serta kebijakan program KIA. Layanan PPIA mempunyai sasaran, tujuan dan pendekatan yang banyak
persamaannya dengan upaya pencegahan sifilis kongenital, karena itu kedua upaya ini
diintegrasikan. Dalam menjangkau sasaran ibu hamil dan wanita usia subur, layanan tersebut
dilaksanakan melalui paket layanan kesehatan reproduksi, termasuk layanan KIA, keluarga
berencana (KB) dan kesehatan reproduksi remaja.

Berdasarkan tingkat prevalensi kasus HIV di suatu wilayah, terdapat tiga tingkatan epidemi, yaitu:
1. Epidemi meluas (generalized epidemic): HIV sudah menyebar di populasi umum atau bila
prevalensi HIV lebih dari 1% di antara ibu hamil.
2. Epidemi terkonsentrasi (concentrated epidemic): HIV menyebar di kalangan sub-populasi tertentu
seperti kelompok laki-laki suka laki-laki (LSL), pengguna narkoba suntik (penasun), pekerja seks
dan pasangannya hingga mencapai prevalensi lebih dari 5% secara konsisten.
3. Epidemi rendah (low epidemic): HIV telah ada namun belum menyebar luas pada sub-populasi
tertentu. Infeksi yang tercatat terbatas pada sejumpah individu yang berperilaku risiko tinggi
(LSL, pengguna narkoba suntik, pekerja seks dan pasangannya) dan prevalensi HIV di bawah 1%
pada populasi umum dan di bawah 5% pada sub populasi tertentu.

Kebijakan untuk melakukan tes HIV didasarkan pada kategori epidemi tersebut dank arena upaya
pencegahan sifilis kongenital diintegrasikan, maka tes sifilis pun mengikuti kebijakan yang sama.
1. Daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk semua ibu hamil
bersama pemeriksaan rutin lainnya pada pelayanan antenatal terpadu, di setiap kunjungan,
mulai kunjungan pertama (K1) hingga menjelang persalinan.
2. Daerah epidemi rendah: tes HIV dan sifilis dilakukan untuk ibu hamil dengan indikasi adanya
perilaku berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi oportunistik (khususnya TB), bersama
pemeriksaan rutin lainnya pada pelayanan antenatal terpadu, di setiap kunjungan mulai
kunjungan pertama (K1) hingga menjelang persalinan.

Pelayanan antenatal terpadu yang berkualitas secara keseluruhan mencakup hal-hal berikut.
1. Memberikan pelayanan/konseling kesehatan, termasuk gizi, agar kehamilan berlangsung sehat.
2. Melakukan deteksi dini masalah, penyakit dan penyulit/komplikasi kehamilan (termasuk tes HIV
dan sifilis sesuai dengan tingkat endemisitas wilayah).
3. Menyiapkan persalinan yang bersih dan aman.
4. Merencanakan antisipasi dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika terjadi
penyulit/komplikasi.
5. Melakukan penatalaksanaan kasus serta rujukan cepat dan tepat waktu bila diperlukan.
6. Melibatkan ibu dan keluarganya terutama suami dalam menjaga kesehatan dan gizi ibu hamil,
menyiapkan persalinan dan kesiagaan bila terjadi penyulit/komplikasi.

Komponen pemeriksaan antenatal terpadu adalah:


1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.
2. Ukur tekanan darah.
3. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas/LiLA).
4. Ukur tinggi fundus uteri.
5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin.
6. Skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi tetanus toksoid (TT) bila diperlukan.
7. Beri tablet tambah darah (tablet zat besi).
8. Periksa laboratorium (rutin dan khusus) dengan memeriksa: i) golongan darah; ii) kadar Hb; iii)
protein dalam urin; iv) kadar gula darah (bila diduga ada penyakit kencing manis); v) malaria (di
daerah endemis malaria); vi) tes sifilis; vii) tes HIV; viii) BTA (untuk tuberkulosis).
9. Tatalaksana/penanganan kelainan yang ditemukan.
10. Konseling.

2
Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV secara komprehensif
yang meliputi empat komponen (prong) sebagai berikut.
1. Prong 1: pencegahan primer agar ibu pada usia reproduksi tidak tertular HIV.
2. Prong 2: pencegahan sekunder, yaitu pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu
yang sudah mengidap HIV.
3. Prong 3: pencegahan tersier, yaitu pencegahan penularan HIV dari ibu dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya.
4. Prong 4: pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta
anak dan keluarganya.
Upaya pencegahan penularan sifilis dari ibu ke anak mempunyai prinsip yang sama, walaupun
kegiatannya lebih sederhana karena penanganannya lebih mudah daripada penanganan infeksi HIV.

Keempat komponen tersebut dilakukan di semua pelayanan dasar dan rujukan yang secara nasional
dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan dan dijalankan oleh pemerintah daerah beserta
jajarannya dengan melibatkan institusi pelayanan kesehatan pemerintah, swasta, masyarakat sipil
dan lembaga swadaya masyarakat.

1.3 Tujuan

Buku Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak ini disusun
sebagai pedoman bagi tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. Buku ini
memberikan pedoman tentang pelaksanaan pencegahan penularan HIV dan sifilis pada wanita usia
reproduksi, ibu hamil dan bayi baru lahir.

1.4 Sasaran

Sasarannya adalah tenaga pelayanan kesehatan di tingkat layanan primer dan rujukan. Ke dalamnya
termasuk bidan, perawat, dokter umum, dokter spesialis kebidanan dan kandungan serta dokter
spesialis anak di pelayanan kesehatan dasar dan rujukan.

1.5 Target

Target pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil ke bayi adalah sebagai berikut :
1. Semua ibu hamil di daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi dilakukan tes HIV dan sifilis pada
kunjungan antenatal pertama sampai menjelang persalinan.
2. Semua ibu hamil di daerah epidemi rendah dengan indikasi adanya perilaku berisiko,
keluhan/gejala IMS atau infeksi oportunistik (khususnya TB), dilakukan tes HIV dan sifilis pada
kunjungan antenatal pertama sampai menjelang persalinan.
3. Semua ibu hamil dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan terapi.
4. Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV dan/atau sifilis mendapatkan pemeriksaan dan terapi.

3
BAB II. INFORMASI DASAR HIV DAN SIFILIS

2.1 HIV

2.1.1 Pengertian

HIV (human immunodeficiency virus) adalah retrovirus golongan RNA yang spesifik menyerang
sistem imun/kekebalan tubuh manusia, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi dan
menyebabkan AIDS. Tubuh orang yang terinfeksi HIV membentuk antibodi terhadap virus tersebut.
Mereka berpotensi sebagai sumber penularan bagi orang lain.

AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) adalah sekumpulan gejala klinis akibat penurunan
sistem imun yang timbul akibat infeksi HIV. Pengidap AIDS mudah tertulari berbagai penyakit karena
imunitas tubuh yang sangat lemah. Akibatnya, tubuh gagal melawan kuman yang biasanya tidak
menimbulkan penyakit. Infeksi oportunistik ini dapat disebabkan oleh berbagai virus, jamur dan
bakteri serta dapat menyerang berbagai organ, antara lain infeksi kulit (misalnya sarkoma kaposi),
paru-paru (tuberkulosis, pneumocystis jiroveci), usus (menyebabkan diare kronis), otak
(menyebabkan infeksi berat/lumpuh) dan infeksi jamur (kandidiasis) pada mulut/tenggorokan.
Beberapa jenis kanker juga dapat timbul karena adanya infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik
dapat diobati. Beberapa jenis kanker juga dapat dicegah dengan obat profilaksis.

Perbedaan antara HIV, infeksi HIV dan AIDS

HIV adalah virus penyebab infeksi. Pada infeksi HIV, pengidapnya mungkin belum menunjukkan
gejala penyakit untuk waktu yang cukup lama, namun sudah dapat menularkan virus HIV kepada
orang lain melalui hubungan seksual atau melalui jarum suntik. Pengidap HIV sering terlihat biasa
saja seperti halnya orang lain karena tidak ada gejala klinis. Hal ini bisa terjadi selama 5-10 tahun.
Diagnosis HIV positif (terinfeksi HIV) didasarkan atas hasil pemeriksaan laboratorium HIV dengan tiga
reagen yang berbeda secara serial.

Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV bila tidak diobati pada akhirnya akan bermanifestasi sebagai
AIDS, yang mungkin bisa terjadi dalam jangka waktu singkat (beberapa bulan) atau sangat panjang
(sampai 15 tahun). AIDS merupakan sekelompok gejala penyakit akibat infeksi oportunistik yang
timbul setelah terinfeksi HIV dalam jangka waktu yang cukup lama (rata-rata 3-5 tahun).

Sel limfosit, CD 4 dan viral load

Sel limfosit adalah bagian dari sel lekosit yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan berfungsi
spesifik, yaitu sebagai fagosit dan penyimpan memori. Terdapat dua macam limfosit, yaitu limfosit
T dan B. Limfosit T, yang mengalami proses pematangan di timus, berfungsi sebagai penyimpan
memori dan bersifat sitotoksik terhadap antigen asing. CD (cluster of differentiation) 4 adalah
reseptor pada permukaan sel limfosit T yang menjadi tempat melekatnya HIV. Rendahnya jumlah
CD 4 dan limfosit T dalam plasma menunjukkan kerusakan sistem kekebalan tubuh pada infeksi HIV.
Viral load adalah beban virus yang setara dengan jumlah virus dalam darah yang dapat diukur
dengan alat tertentu (antara lain PCR).

2.1.2 Perjalanan alamiah infeksi HIV dan AIDS

Perjalamam alamiah infeksi HIV, terdiri atas 3 fase, yaitu:


1. Fase I: masa jendela (window period). Pada fase ini tubuh sudah terinfeksi HIV, namun pada
pemeriksaan antibodi di dalam darahnya masih belum ditemukan anti-HIV. Pada masa jendela

4
yang biasanya berlangsung selama tiga bulan sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah
menularkan HIV kepada orang lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa
demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk.
2. Fase II: masa laten (tanpa gejala/asimtomatik). Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang
positif, walaupun gejala penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini sudah dapat menularkan
HIV kepada orang lain.Masa tanpa gejala berlangsung rata-rata 2-3 tahun, namun bisa >10 tahun.
3. Fase III: timbul sebagai AIDS yang merupakan fase terminal dari infeksi HIV. Kekebalan tubuh
telah menurun drastis dan timbul gejala penyakit oportunistik terkait HIV, seperti pembengkakan
kelenjar getah bening yang menetap di seluruh tubuh, diare kronis, batuk pilek yang sulit sembuh
dan penurunan berat badan sampai lebih dari 10% dari berat awal dalam waktu satu bulan.

Bagan 1 menunjukkan tingginya viral load (HIV dalam darah) pada Fase I, yang menyebabkan
penderita sangat infeksius. Menjelang Fase II viral load menurun dan relatif stabil pada Fase II,
sedangkan pada Fase III kadarnya meningkat terus. Sementara itu CD 4 yang semula tinggi pada
awal infeksi, secara bertahap akan menurun terus bila penderita tidak diobati. Pada Fase I terjadi
penurunan yang cukup tajam ketika viral load mencapai puncaknya. Pada saat itu sering muncul
gejala infeksi akut seperti disebutkan di atas.

Bagan 1. Riwayat perjalanan alamiah infeksi HIV dan AIDS

Sumber: ……… (untuk dilengkapi, teks diubah dlm Bhs Indonesia dan warna kuning dihilangkan)

2.1.3 Diagnosis HIV

Diagnosis penyakit HIV dan AIDS dilakukan melalui tes darah sesuai dengan prosedur Kementerian
Kesehatan, yaitu tes cepat HIV (rapid test HIV) dengan metoda tiga reagen. Namun pada fasilitas
kesehatan yang lebih lengkap dapat dikombinasi dengan pemeriksaan lain, misalnya Elisa dan
virologi.

Stadium klinik WHO

Stadium klinik WHO digunakan untuk penderita HIV, sebagai panduan untuk memulai, mengganti
antiretrovirus therapy (ART), atau memulai terapi profilaksis pada infeksi oportunistik.
1. Stadium klinik 1: biasanya asimtomatik dan ada limfadenopati generalisata yang menetap.
2. Stadium klinik 2: merupakan stadium penyakit awal yang ditandai oleh penurunan berat badan
kurang dari 10%, infeksi saluran nafas rekuren (sinusitis, tonsilitis, otitis media dan faringitis),
herpes zoster, kheilitis angularis (peradangan pada sudut bibir), ulkus oral yang rekuren, erupsi
papular yang gatal, dermatitis seboroik dan infeksi jamur pada kuku.

5
3. Stadium klinik 3: merupakan stadium penyakit lanjut yang ditandai oleh penurunan berat badan
lebih dari 10%, diare kronis yang berlangsung lebih dari sebulan, demam intermiten atau
konstan yang berlangsung lebih dari sebulan, kandidiasis oral persisten, oral hairy leucoplakia ,
TB paru, infeksi bakterial yang berat, seperti: pneumonia, empiema, piomiositis, meningitis,
infeksi pada tulang atau sendi, bakteriemia, stomatitis akut ulseratif, gingivitis dan periodontitis,
anemia (<8 g/dl), neutropenia dan trombositopeni kronik.
4. Stadium klinik 4: merupakan stadium penyakit berat dengan gejala HIV wasting syndrome,
pnemonia (infeksi Pneumocystis jiroveci), pnemonia bakterial rekuren, herpes simplek kronik
(orolabial, genital atau anorektal lebih dari sebulan dengan lesi viseral di beberapa tempat),
kandidiasis (pada trakea, bronkus atau paru), TB ekstrapulmonar, sarkoma Kaposi, infeksi
sitomegalovirus, infeksi toksoplasma pada sistem syaraf pusat, ensefalopati HIV, kriptokokkus
ekstrapulmoner, termasuk meningitis, leukoensefalopati multifokal progresif, peniciliosis,
kriptosporidiosis kronik, isosporiasis kronik, mikosis diseminata, septikemia rekuren, limfoma
cerebral non-Hodgkin, karsinoma servikal invasif, leishmaniasis diseminata atipikal, neuropati
dan kardiomiopati.

2.1.4 Penularan HIV

Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut.


1. Cairan genital: sperma dan lendir vagina memiliki jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak
untuk memungkinkan penularan, karena itu hubungan seksual yang berisiko dapat menularkan
HIV. Semua jenis hubungan seksual (genital, oral dan anal) dapat menularkan HIV.
2. Darah: penularan dapat terjadi melalui transfusi darah dan produknya (plasma, trombosit) atau
suntikan yang tidak aman, misalnya pada pengguna napza suntik (penasun/IDU), dan pada
transplantasi organ yang tercemar virus HIV.
3. Perinatal: penularan dari ibu ke anak selama dalam kandungan melalui plasenta yang terinfeksi,
melalui cairan genital saat persalinan dan melalu ASI saat masa laktasi. Risiko penularan tanpa
intervensi/terapi di negara berkembang, termasuk Indonesia, diperkirakan sekitar 25-40%.

Faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak

Risiko penularan HIV dari ibu ke anak tanpa upaya pencegahan berkisar antara 20-45% (Tabel 1).
Risiko penularan tersebut dapat diturunkan menjadi kurang dari 2% dengan pelayanan PPIA yang
baik. Pada masa kehamilan, plasenta melindungi janin dari infeksi HIV; namun bila terjadi
peradangan, infeksi atau kerusakan plasenta, HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi
penularan dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak lebih sering terjadi pada saat persalinan
dan masa menyusui.

Tabel 1. Risiko penularan HIV dari ibu ke anak


Selama kehamilan 5-10 %
Saat persalinan 10-20 %
Selama menyusui (rata-rata 15%) 5-20 %
Risiko penularan keseluruhan 20 - 50%
Sumber : De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:1175-82

Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak (lihat Tabel 2), yaitu sebagai berikut.
i) Faktor ibu:
a. Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling utama terjadinya
penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi kadarnya, semakin besar kemungkinannya
khususnya pada saat/menjelang persalinan dan masa menyusui bayi.

6
b. Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah mempunyai risiko penularan yang besar,
khususnya bila jumlah sel CD4 di bawah 350 sel/mm3. Semakin rendah kadarnya, semakin
besar risiko penularannya.
c. Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan zat gizi terutama
protein, vitamin dan mineral selama kehamilan meningkatkan risiko ibu untuk mengalami
penyakit infeksi yang selanjutnya dapat meningkatkan kadar HIV dalam darah ibu sehingga
menambah risiko penularan ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama kehamilan: infeksi menular seksual (misalnya sifilis), infeksi organ
reproduksi, malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV pada darah ibu
sehingga risiko penularan HIV kepada bayi semakin besar.
e. Masalah pada payudara, misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada payudara akan
meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.

ii) Faktor bayi:


a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi berat lahir rendah
lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan kekebalan tubuh belum berkembang baik.
b. Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa pengobatan
berkisar antara 5-20%.
c. Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika diberi ASI.

iii) Faktor tindakan obstetrik.


Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan, karena tekanan pada
plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan terjadinya hubungan antara darah ibu dan darah
bayi. Selain itu, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah sebagai berikut.
a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan
seksio sesaria; namun, seksio sesaria memberikan banyak risiko lainnya untuk ibu.
b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV dari ibu ke anak juga
semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah/lendir ibu.
c. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan
hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan ekstraksi forsep meningkatkan risiko penularan HIV.

Tabel 2. Faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi


Faktor ibu Faktor bayi Faktor obstetrik
1. Kadar HIV/viral load dalam darah 1. Prematuritas dan berat lahir rendah 1. Pilihan persalinan
2. Kadar CD4 2. Lama menyusu, bila tanpa 2. Lama persalinan
3. Status gizi selama kehamilan pengobatan 3. Ketuban pecah dini
4. Penyakit infeksi selama kehamilan 3. Luka pada mulut bayi, jika bayi 4. Tindakan: pisiotomi,
5. Masalah payudara, jika menyusui menyusu vakum, forsep

Perilaku berisiko tertular HIV

Perilaku berisiko adalah perilaku individu dan/atau pasangannya yang memungkinkan terjadinya
penularan HIV. Perilaku berisiko ini perlu ditanyakan pada anamnesis terhadap seseorang yang
dicurigai menderita infeksi HIV, yaitu riwayat hubungan seksual yang tidak aman( tidak memakai
kondom atau berganti-ganti pasangan seksual), di samping menggunakan jarum suntik dan alat
lainnya yang kontak dengan darah dan cairan tubuh orang lain (misalnya alat cukur).

Cairan tubuh yang tidak menularkan HIV adalah keringat, air mata, air liur dan air kencing. HIV tidak
ditularkan melalui bersenggolan/bersentuhan, berjabatan tangan, bersentuhan dengan pakaian

7
penderita HIV, hidup serumah dengan ODHA, berciuman biasa, makan atau minum bersama,
berenang bersama, gigitan nyamuk, sabun mandi atau penggunaan toilet bersama.

Mitos yang tidak benar seputar HIV dan AIDS

Berbagai mitos yang tidak benar beredar di kalangan masyarakat, misalnya HIV dan AIDS adalah
penyakit yang diderita oleh para homoseksual, turis asing, menular hanya melalui hubungan seksual
atau melalui kontak fisik biasa dan merupakan penyakit kutukan Tuhan. Masih banyak lagi mitos
seputar HIV dan AIDS sehingga menambah stigma dan diskriminasi terhadap ODHA yang dapat
menyebabkan sulitnya pencegahan, penularan dan pengobatan. Mitos tersebut perlu dijelaskan
kepada masyarakat umum untuk mengurangi stigma dan memudahkan penanganan HIV dan AIDS.

Pencegahan penularan HIV

Pencegahan penularan HIV dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut.
1. Berperilaku seks aman: abstinen atau tidak melakukan hubungan seks bagi yang belum menikah,
setia dengan seorang pasangan dan melakukan hubungan seks dengan menggunakan kondom.
2. Tidak menggunakan narkoba.
3. Mencegah penularan melalui alat yang tercemar cairan tubuh penderita HIV dan AIDS dengan
menggunakan prinsip kewaspadaan standar (standard precaution).
4. Pencegahan penularan melalui transfusi darah dengan melakukan skrining pada donor darah.
5. Program pencegahan penularan ibu ke anak melalui program PPIA.

Secara umum dikenal sebagai konsep “ABCDE”, yaitu:


 A (Abstinence): Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi yang belum menikah.
 B (Be faithful): Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan).
 C (Condom): Cegah penularan HIV melalui hubungan seks dengan menggunakan kondom.
 D (Drug No): Dilarang menggunakan narkoba.
 E (Equipment): Edukasi untuk memakai alat-alat yang bersih, steril, sekali pakai, tidak bergantian,
misalnya alat cukur, dsb.

Pentingnya penggunaan kondom

Dalam melakukan pencegahan penularan melalui hubungan seks berisiko, selain abstinen dan setia
pada satu pasangan, sangat dianjurkan pula penggunaan kondom. Pemakaian kondom ini sangat
penting, khususnya pada kelompok dengan perilaku berganti pasangan atau wanita pekerja seksual
(WPS). Selain itu, kondom wajib digunakan pada pasangan yang satu di antaranya/keduanya HIV
positif. Kondom dapat mencegah penularan HIV melalui cairan sperma, cairan vagina atau luka
akibat infeksi menular seksual.

Kondom mudah didapat, murah dan mempunyai efektivitas yang tinggi dalam mencegah penularan.
Dalam menggunakan kondom perlu diperhatikan cara penggunaan yang tepat, kualitas kondom,
ukuran yang cocok dan perlunya penggunaan pelicin yang berbahan dasar air.

2.1.5 Pengobatan HIV

Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV dan AIDS, namun penderita dapat
diberi pengobatan dengan kombinasi anti retrovirus (ARV) yang efektif sehingga mereka dapat hidup
normal dan sehat untuk waktu yang cukup lama. Terapi HIV dan AIDS bertujuan untuk:
1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat.
2. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV.
3. Memperbaiki kualitas hidup ODHA.

8
4. Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh.
5. Menekan replikasi virus secara maksimal.

Pada pasien baru, semua obat yang dipakai perlu dimulai pada saat yang sama dengan dosis dan
jadual yang tepat. Untuk menghindari timbulnya resistensi, ARV perlu dipakai secara terus-menerus
dengan kepatuhan yang sangat tinggi. Peran serta aktif pasien dan pendamping/keluarga dalam
terapi ARV sangat diperlukan. Disamping pemberian ARV, infeksi oportunistik yang timbul perlu
mendapat perhatian dan tatalaksana yang sesuai. Pengobatan HIV bagi ibu hamil dan bayi dibahas
lebih lanjut pada Bab III.

2.2. Sifilis

2.2.1 Pengertian

Sifilis merupakan suatu infeksi menular seksual akibat kuman Treponema pallidum. Seperti infeksi
HIV pada ibu hamil, kuman tersebut dapat ditularkan ke bayi melalui plasenta atau pada saat
persalinan. Sifilis dapat mengakibatkan keguguran, prematuritas, bayi berat lahir rendah, lahir mati
dan sifilis kongenital. Selain sifilis, terdapat tiga jenis infeksi lain pada manusia yang disebabkan oleh
treponema, yaitu: nonvenereal endemic syphilis (telah dieradikasi), frambusia (T pertenue) dan pinta
(T careteum di Amerika Selatan). Sifilis secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sifilis
kongenital yang ditularkan dari ibu ke janin selama dalam kandungan); dan sifilis yang didapat yang
ditularkan melalui hubungan seks dan produk darah yang tercemar.

2.2.2 Perjalanan alamiah infeksi sifilis

Stadium perjalanan alamiah infeksi sifilis dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Manifestasi klinis sifilis didapat dan sifilis kongenital


Sifilis didapat
Stadium Manifestasi Klinis Durasi
Primer Chancre/ulkus atau luka/tukak, bersifat soliter, tidak nyeri 3 minggu
dengan batas yang tegas dan adanya indurasi dengan
pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) regional
Sekunder Bercak merah polimorfik biasanya di telapak tangan dan 2-12 minggu
telapak kaki, lesi mukokutan, demam, malaise,
limfadenopati generalisata, kondiloma lata, patchy
alopecia, meningitis, sakit kepala, uveitis, retinitis.
Laten dini dan laten lanjut Asimtomatik. Dini: <1 tahun;
Lanjut: ≥ 1 tahun
Tersier
- Gumma  Destruksi jaringan di organ/lokasi yang terinfeksi. 1–46 tahun
- Sifilis kardiovaskuler  Aneurisma aorta, regurgitasi aorta, stenosis osteum. 10–30 tahun
- Neurosifilis  Bervariasi dari asimtomatis sampai sakit kepala, vertigo,
perubahan kepribadian, demensia, ataksia, pupil Argyll 2–20 tahun
Robertson.
Sifilis kongenital
Dini 70% asimtomatis; infeksi fulminan dan tersebar, lesi Dari lahir sampai
mukokutaneous, osteokondritis, anemia, < 2 tahun
hepatosplenomegali, neurosifilis.
Keratitis interstisial, limfadenopati, Persisten > 2
Lanjut hepatosplenomegali, kerusakan tulang, anemia, gigi tahun setelah
Hutchinson, neurosifilis. kelahiran

9
2.2.3 Diagnosis sifilis

Diagnosis sifilis dilakukan dengan menggunakan rapid test dengan ketentuan sebagai berikut.
 Skrining dilakukan bersamaan dengan tes HIV pada semua ibu hamil, pada kunjungan pertama
pada awal kehamilan, sebaiknya sebelum 16 minggu, dan juga pada saat sebelum persalinan.
 Skrining tetap dilakukan meski kunjungan pertama sudah melewati 16 minggu, walaupun
kesempatan untuk memperbaiki kesehatan ibu dan janinnya akan lebih terbatas.

Tes laboratorium baru positif setelah 10-45 hari seseorang terinfeksi sifilils. Karena itu, seperti
halnya tes HIV pada awal masa jendela, hasil negatif pada tes sifilis belum tentu menyatakan
seseorang bebas dari sifilis. Hal ini menjelaskan mengapa tes tersebut perlu diulang kembali pada
saat sebelum melahirkan. Pembahasan lebih lanjut tentang tes sifilis dapat dilihat pada Bab III.

Idealnya, bila rapid test positif, maka perlu dilakukan konfirmasi dengan TPHA (Treponema pallidum
hemaglutinasi) atau dengan TP Rapid. Namun pada ibu hamil, karena ada risiko penularan pada
bayinya yang dapat bermanifestasi sebagai sifilis kongenital, maka kapan pun ditemukan hasil rapid
test yang positif, maka ibu langsung diobati. Tes pada saat melahirkan dapat mendeteksi infeksi
ulang, khususnya pada ibu hamil yang pasangannya tidak diobati atau belum pernah melaksanakan
tes sebelumnya.

2.2.4 Penularan sifilis

Cara penularan sifilis tidak jauh berbeda dengan penyakit IMS lainnya, yaitu umumnya melalui
hubungan seksual dengan pasangan yang mengidap sifilis di samping penularan dari ibu ke bayi,
seperti halnya pada infeksi HIV. Dengan adanya upaya global untuk eliminasi sifilis kongenital, maka
upaya pencegahan penularan sifilis dari ibu ke bayi ditingkatkan melalui integrasi dengan upaya
eliminasi kasus baru infeksi HIV pada bayi.

2.2.5 Pengobatan sifilis

Tata laksana pada ibu

1. Semua ibu yang tes sifilisnya positif (dengan metoda apa pun) diobati pada saat itu juga dengan
suntikan 2,4 juta IU Benzatin benzyl penicilin IM setelah dilakukan tes alergi (lihat Tabel 4).
2. Bila alergi terhadap Penicilin, maka pengobatan diganti dengan eritromisin 4 x 500 mg/hari
selama 30 hari; atau dilakukan desensitisasi dengan persiapan adrenalin untuk menjaga
kemungkinan renjatan (syok), seperti dijelaskan pada Lampiran 5.
3. Mengobati seluruh pasangan perempuan sero-positif tersebut.

Tabel 4. Pengobatan sifilis pada penderita dewasa


Stadium Terapi Alternatif bagi yang alergi penisilin
Tidak hamil Hamil*)
Sifilis primer, Benzatin benzyl penicillin 2,4 Doksisiklin, 100 mg per oral, 2 Eritromisin 500
sekunder dan laten juta IU, injeksi IM dosis kali per hari selama 30 hari. mg per oral, 4
dini < 2 tahun tunggal kali/ hari selama
30 hari
Benzatin benzyl penicillin 2,4 Doksisiklin, 100 mg per oral, 2 Eritromisin, 500
Sifilis laten lanjut juta IU, injeksi IM, satu kali/hari minimal selama 30 hari mg per oral, 4 kali
(infeksi > 2 tahun) kali/minggu selama 3 minggu ATAU Seftriakson 1 gr, in-jeksi per hari minimal
berturut-turut. IM 1 kali/hari selama 10 hari. selama 30 hari.
Catatan: sebelum injeksi benzathin benzylpenicillin perlu dilakukan uji penisilin terlebih dulu untuk memastikan pasien
tidak alergi terhadap penisilin.

10
Tata laksana pada bayi

Sifilis kongenital didefinisikan sebagai sifilis yang ditularkan kepada seorang bayi sejak lahir dari ibu
yang menderita sifilis, dengan titer serologis minimal empat kali lebih tinggi dari titer ibunya atau
tetap positif selama empat bulan setelah lahir. Gejala klinis sifilis kongenital sebagai berikut.
 Kriteria mayor: pembengkakan sendi, bula/gelembung di kulit dan pilek.
 Kriteria minor: hepatosplenomegali, ikterik, anemia dan perubahan radiologis tulang panjang.

Semua bayi asimtomatik yang lahir dari ibu sero-positif diobati dengan dosis tunggal Penisilin
Prokain 50.000 Unit/kg BB dan selanjutnya dipantau setiap tiga bulan pada tahun pertama
kehidupanya. Pada bayi yang simtomatik, perlu dilakukan konfirmasi diagnosis dengan
menggunakan rapid test. Selanjutnya, bayi dengan sifilis kongenital diobati dengan kristalin Penisilin
G dengan dosis 50.000 Unit/kg BB, intravena, setiap 12 jam selama 7 hari dan selanjutnya setiap 8
jam selama 10 hari atau Benzatin Penicilin G 50.000 Unit/kgBB selama 10 hari. Bila ada pengobatan
yang tidak diberikan lebih dari satu hari, maka pengobatan perlu diulang dari awal.

Evaluasi dan monitoring pasien sifilis dan penanganan syok anafilaksis dan desensitisasi dapat dilihat
pada Lampiran 5.

11
BAB III. KEGIATAN KOMPREHENSIF PENCEGAHAN PENULARAN HIV DAN SIFILIS DARI IBU KE ANAK

Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilaksanakan secara terintegrasi dengan upaya
pencegahan sifilis kongenital. Berbeda dengan penanganan HIV, upaya pencegahan sifilis kongenital
bersifat lebih sederhana, karena segera setelah diagnosis sifilis pada ibu hamil ditegakkan,
pengobatan dapat segera diberikan. Dengan mengikuti cara pengobatan yang tepat, 95% ibu dengan
sifilis dapat disembuhkan, sehingga penularan kepada bayinya dapat dicegah.

3.1 Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi

Upaya PPIA dilaksanakan secara komprehensif melalui kegiatan yang dikenal sebagai “empat prong”.

3.1.1 Prong 1: Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi

Kegiatan ini merupakan pencegahan primer untuk mencegah penularan HIV pada perempuan usia
reproduksi (15-49 tahun). Kegiatannya meliputi: i) penyebarluasan komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) tentang pencegahan infeksi HIV; dan ii) tes HIV pada perempuan usia reproduksi,
termasuk ibu hamil.

i) Penyebarluasan komunikasi, informasi dan edukasi tentang pencegahan infeksi HIV

Kegiatan ini merupakan kegiatan penting yang dilaksanakan oleh Program HIV dan AIDS nasional
dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HIV dan AIDS demi mencegah meluasnya
penularan infeksi HIV. Perhatian khusus diberikan kepada kelompok remaja, kelompok khusus
berisiko penularan HIV (kalangan pekerja seksual komersial, homoseksual, penasun) dan ibu hamil.

Untuk upaya PPIA, Program Kesehatan Ibu/Reproduksi melakukan KIE dengan sasaran wanita usia
reproduksi, khususnya ibu hamil, calon pengantin, remaja dan pasangan suami-isteri yang
mengunjungi fasilitas pelayanan KIA, KB dan pelayanan kesehatan peduli remaja. Perempuan dari
kelompok risiko tinggi, seperti penasun, narapidana dan pekerja seks mendapat perhatian khusus.
Kelompok ini biasanya sulit dijangkau, karena itu diperlukan upaya proaktif dari fasilitas pelayanan
kesehatan. Di puskesmas, kegiatan ini diintegrasikan dengan layanan KIA, KB, kesehatan peduli
remaja, kelas ibu hamil, kegiatan kelompok pendamping ibu; dan layanan IMS, tuberkulosis dan gizi.

ii) Tes HIV dan konseling

Manfaat tes HIV dan konseling sebagai berikut.


1. Menegakkan diagnosis dan stadium klinis pasien untuk digunakan sebagai dasar dalam
membuat keputusan klinis, yaitu pemberian ARV, pencegahan penularan dengan pemakaian
kondom secara konsisten, dll.
2. Melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kesehatan pasien yang merupakan hak setiap
orang. Orang yang terinfeksi HIV bisa hidup normal tanpa gejala/tanda klinis selama beberapa
tahun dan dapat dipertahankan tanpa gejala bila mendapat ARV.
3. Memungkinkan pasien yang hasil tesnya positif untuk mendapatkan terapi yang diperlukan
secara lebih dini dan layanan pencegahan infeksi oportunistik.

Tes HIV atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan dan konseling (TIPK)

TIPK dilakukan atas inisiatif petugas kesehatan, yang merupakan komponen penting dalam upaya
pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu ke bayinya. Tujuannya untuk mengetahui status ibu,
khususnya ibu hamil atau yang mungkin akan hamil, tentang adanya infeksi HIV. Dengan demikian

12
bisa dilakukan tindakan yang memadai agar tidak terjadi transmisi HIV kepada janin/bayi. Di wilayah
yang mempunyai tingkat epidemi HIV tinggi dan terkonsentrasi, semua ibu hamil diupayakan untuk
dites HIV dan sifilis; sedangkan pada wilayah dengan tingkat epidemi HIV rendah, tes HIV dan sifilis
diprioritaskan untuk ibu yang menderita IMS, tuberkulosis atau malaria serta ibu yang berisiko
tertular IMS/HIV, misalnya mereka/pasangan-seksualnya yang berpasangan seksual ganda, pekerja
seks, penasun, dll. Informasi lebih lanjut tentang TIPK dapat dilihat pada Lampiran 1.

Berikut ini empat syarat mutlak yang perlu dipenuhi oleh petugas dalam menjalankan TIPK.
1. Petugas mengerti dan terampil dalam melakukan tes dan konseling tentang HIV dan sifilis.
2. Pemeriksaan laboratorium termasuk HIV dan sifilis dilakukan demi kepentingan klien.
3. Ada fasilitas pendukung yang memadai untuk tata laksana selanjutnya atau merujuk.
4. Harus dilakukan dengan prinsip 3C (confidential, consent dan counseling) dan 2R (recording-
reporting dan referral).

Informasi pra-tes pada TIPK

Sebelum melakukan pemeriksaan laboratorium pada layanan antenatal terpadu, termasuk tes HIV
dan sifilis, petugas kesehatan wajib memberikan informasi dan mendapat persetujuan dengan
terlebih dahulu melaksanakan kegiatan berikut.
1. Informasi singkat tentang HIV dan sifilis kepada pasien, yang mencakup:
 Risiko penularan HIV dan sifilis dari ibu kepada bayi selama kehamilan, saat persalinan dan
masa menyusui.
 Keuntungan diagnosis dini HIV dan sifilis pada kehamilan bagi ibu dan bayi yang akan
dilahirkan, termasuk penyakit lain yang mungkin menyertainya, seperti tuberkulosa, malaria
dan hepatitis.
 Cara mengurangi risiko penularan HIV dan sifilis dari ibu ke bayinya.
2. Mendapatkan persetujuan sesuai dengan ketentuan.
3. Menjamin konfidensialitas/kerahasiaan.
4. Menggali perilaku yang berisiko untuk tertular HIV dan IMS, bila perlu.

Pada umumnya informasi pra-tes tersebut sudah memadai untuk memberikan informasi dan
mendapatkan persetujuan pelaksanaan tes HIV dan sifilis. Namun, ada beberapa kelompok
masyarakat yang rentan terhadap diskriminasi, pengucilan, tindak kekerasan atau penahanan.
Dalam hal tersebut maka perlu diberikan informasi lebih lanjut untuk meyakinkan pasien.

Cara pendekatan untuk mendapatkan persetujuan tes HIV dan sifilis

Pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan persetujuan tes HIV dan sifilis pada TIPK adalah
pendekatan option-out, yang menjelaskan bahwa tes HIV dan sifilis, sebagaimana halnya dengan
pemeriksaan laboratorium lainnya, merupakan standar prosedur di fasilitas pelayanan kesehatan
untuk setiap ibu hamil yang datang. Bila ibu tidak setuju mengikuti prosedur tersebut maka ia
diminta untuk menyatakan ketidak-setujuannya secara tertulis. Apa pun pilihannya, ibu hamil tetap
diberikan bantuan dan tatalaksana klinis sesuai dengan kondisinya dan tetap dianjurkan periksa
ulang seperti biasa.

Pada kunjungan berikutnya, Ibu hamil akan mendapatkan penjelasan ulang tentang pentingnya tes
HIV untuk keselamatan bayinya dan dirinya, terutama di daerah epidemi tinggi dan terkonsentrasi
HIV/AIDS. Bila ibu hamil tersebut belum bisa diyakinkan, maka ia dapat dirujuk untuk menjalani sesi
konseling yang lebih intensif di Klinik Konseling dan Tes Sukarela (KTS).

13
Jenis tes HIV

Beberapa jenis tes HIV sebagai berikut.


i) Tes HIV untuk diagnostik dapat menggunakan antibodi atau antigen atau keduanya yang dapat
dilakukan dengan metode Enzyme Immuno Assay (EIA), rapid test dan Western Blot (WB).
ii) Tes HIV untuk bayi: digunakan Antigen p24 dan PCR DNA/RNA.
iii) Tes HIV untuk mengawali dan memantau pengobatan: digunakan CD4 dan viral load.

Strategi tes HIV

Pemeriksaan darah dengan tujuan untuk mendiagnosis infeksi HIV harus memperhatikan gejala,
tanda klinis dan prevalensi HIV di suatu wilayah. Di Indonesia, diagnosis HIV menggunakan strategi
untuk prevalensi HIV dibawah 10% dan menggunakan tiga jenis reagen yang berbeda sensitivitas,
spesifisitas dan preparasi antigennya.

Pemeriksaan HIV yang direkomendasikan secara nasional adalah pemeriksaan serial, berarti hasil tes
dari contoh darah yang diperiksa dengan reagens pertama menentukan apakah pemeriksaan lanjutan
masih diperlukan. Alur tes HIV untuk diagnosis dijelaskan pada bagan alur di Lampiran 2.

Konseling pasca-tes HIV

Pada pemeriksaan HIV, konseling pasca-tes merupakan bagian integral dari proses tes HIV.
Tujuannya untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi, serta membantu penerimaan diri. Semua
pasien yang menjalani pemeriksaan laboratorium harus menerima penjelasan atas hasil
pemeriksaannya. Hal ini berlaku juga bagi mereka yang dites HIV, yang juga perlu mendapatkan
konseling pasca-tes pada saat hasil tes disampaikan, tanpa memandang hasil tesnya. Konseling
pasca-tes HIV diberikan secara individual oleh petugas yang memprakarsai tes HIV.

Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan konseling pasca-tes HIV sebagai berikut.
i. Setelah hasil tes diagnosis diterima, pasien diberi penjelasan dengan bijak dan profesional
tentang arti hasil pemeriksaan tersebut dan tatalaksana yang hendak dilakukan selanjutnya,
sesuai dengan kebutuhan pasien.
ii. Bila terdapat keraguan profesional atas hasil tes, dapat dilakukan rujukan laboratorium.
iii. Pada hasil positif HIV dan AIDS, atau IMS lainnya, dijelaskan perlunya rujukan pemeriksaan ulang
jika hasilnya “indeterminate” (meragukan) atau “discordant” (tidak sesuai). Jadual tes ulang
perlu disepakati dan dituliskan di rekam medis.
iv. Bila diagnosis HIV telah ditegakkan, stadium klinis HIV perlu ditetapkan untuk persiapan
tindakan profilaksis dan terapi. Untuk ibu hamil dilakukan tindakan khusus seperti dijelaskan
pada Prong 3.
v. Konseling pasca-tes HIV juga bertujuan untuk mengubah perilaku klien, khususnya perilaku
berisiko yang dapat memperburuk kondisi penyakit atau penularan HIV dan AIDS, dan IMS
lainnya kepada orang lain. Bila perlu, konseling khusus dapat dilaksanakan melalui rujukan
kepada konselor terlatih.

Isi konseling pada ibu hamil, berdasarkan hasil tes, sebagai berikut.
i. Hasil tes HIV “non-reaktif” atau negatif:
 penjelasan tentang masa jendela/window period;
 pencegahan infeksi yang lebih lanjut;
 risiko penularan HIV dari ibu ke anak;
 konseling dan edukasi pasangan dan anjuran agar pasangan melakukan tes HIV.
ii. Hasil tes HIV “reaktif” atau positif:

14
 penjelasan tentang, rencana pemberian profilaksis atau terapi ARV, kepatuhan minum obat
dan tanggung-jawab pencegahan penularan;
 pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya dukungan gizi yang memadai
untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan kebutuhan zat besi dan asam folat; rencana
persalinan; konseling hubungan seksual selama kehamilan (abtinensia atau menggunakan
kondom secara benar dan konsisten); tes HIV bagi bayinya kelak; pilihan tentang makanan
bayi dan dukungan untuk melaksanakan pilihannya; tes HIV bagi pasangan;
 pemberian dukungan dan rujukan bila perlu;
 penjelasan dan pemberian Kartu Register Nasional Pasien HIV (yang harus selalu dibawa);
 kesepakatan tentang jadual kunjungan lanjutan;
 informasi tentang keberadaan orang kelompok dukungan sebaya ODHA yang dapat
dihubungi, nama dan nomor telepon klinik/rumah sakit rujukan ODHA;
 rujukan ke layanan manajemen kasus;
 pengungkapan status HIV kepada orang lain merupakan hak dan tanggung jawab pasien.
iii. Penjelasan mengenai hasil indeterminate (meragukan): yang menjelaskan bahwa hasil tes
meragukan, sehingga perlu diulang pada kunjungan berikutnya. Konseling diberikan seperti
pada penjelasan hasil tes negatif dan positif.

3.1. 2 Prong 2: Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu dengan HIV

Bila seorang perempuan telah diketahui terinfeksi HIV, maka perlu upaya berikut.
1. Terapi profilaksis dan ARV secepatnya.
2. Konseling dan kontrasepsi yang aman dan efektif agar dapat melakukan hubungan seksual yang
aman dan mencegah kehamilan yang tidak direncanakan.
3. Informasi bahwa HIV bukan indikasi untuk aborsi.
4. Hal-hal yang harus dipenuhi bila ibu dengan HIV ingin hamil.
5. Informasi yang lengkap tentang risiko penularan HIV dari ibu ke anak.
6. Informasi tentang pencegahan dan diagnosis IMS, tuberkulosis dan malaria.
7. Informasi tentang infeksi oportunistik dan akses pengobatannya.
8. Layanan rujukan bagi perempuan HIV yang merencanakan kehamilan.

Pada prinsipnya setiap perempuan perlu merencanakan kehamilannya, namun pada ibu dengan HIV
perencanaan kehamilan harus dilakukan dengan lebih hati-hati dan matang karena adanya risiko
penularan HIV kepada bayinya. Keinginan mempunyai anak merupakan bagian penting dari hak
reproduksi dan hak asasi manusia, karena itu layanan kesehatan memberikan dukungan kepada ibu
dalam menjalani masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui agar tetap aman dan sehat serta
bayi terhindar dari penularan HIV. Sebaliknya, ibu dan pasangannya juga perlu dibantu untuk ikut
bertanggung-jawab secara sadar dalam menentukan jumlah anak yang diinginkan, mengingat risiko
yang besar terhadap penularan HIV dari ibu kepada bayinya. Di Indonesia, infeksi HIV bukan indikasi
untuk melakukan aborsi.

Kegiatan yang dilakukan meliputi: i) pencegahan dan penundaan kehamilan melalui konseling dan
penyediaan sarana kontrasepsi yang aman dan efektif; dan ii) perencanaan dan persiapan kehamilan
yang tepat, jika ibu ingin hamil.

i) Pencegahan dan penundaan kehamilan

Reproduksi adalah hak setiap perempuan dan pasangannya, walau pun perempuan dengan HIV tidak
dianjurkan untuk hamil lagi atau menambah jumlah anak. Penggunaan kontrasepsi harus segera
dibicarakan dengan setiap perempuan dengan HIV setelah diagnosis ditegakkan. Pilihan kontrasepsi
berdasarkan urutan prioritas untuk ibu dengan HIV adalah sebagai berikut.

15
1. Kontrasepsi mantap atau steril: dengan adanya risiko penularan HIV ke bayi, bila ibu dengan HIV
sudah memiliki jumlah anak yang cukup, dipertimbangkan untuk melakukan kontrasepsi
mantap. Tetapi bila belum mempunyai anak, atau bila anak yang ada berstatus HIV positif
dengan surveilans di bawah 5 tahun, maka ibu dapat dianjurkan untuk menggunakan
kontrasepsi jangka panjang.
2. Kontrasepsi jangka panjang:
a. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR): metoda ini disarankan bila risiko IMS rendah dan
pasangannya tidak berisiko IMS. Sebaiknya pemasangan dilakukan segera setelah plasenta
lahir, walaupun tidak tertutup kemungkinan dipasang pada fase interval. Syarat-syarat
pemasangan AKDR mengikuti standar yang berlaku. Perlu perhatian khusus bila ada keluhan
efek samping, seperti nyeri dan perdarahan.
b. Hormonal (lihat Tabel 5):
i. Pil KB kombinasi: aman dan efektif untuk perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi
obat ARV dan obat lain yang dapat meningkatkan enzim hati. ARV dapat menurunkan
efektivitas pil KB kombinasi.
ii. Pil progesteron: direkomendasikan bagi perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi
obat ARV, karena ARV menurunkan efektivitas pil progesteron.
iii. Suntik progesteron jangka panjang: DMPA dapat digunakan bagi perempuan dengan HIV
yang diberi ART tanpa harus kehilangan efektivitas kontrasepsi. Metabolisme DMPA
tidak dipengaruhi oleh obat ARV dan tetap dapat diberikan dengan interval 12 minggu.
iv. Implan progesteron: implan etonorgestrel adalah kontrasepsi yang amat efektif dan
aman pada perempuan dengan HIV yang tidak dalam terapi obat ARV.

Hormon estrogen mempunyai efek menurunkan efektivitas ARV. Progesteron mempunyai


efek sedikit meningkatkan efektivitas ARV. Namun, sebaiknya tetap diperhatikan pada
pengguna polifarmasi (misalnya perempuan HIV dengan tuberkulosis), karena semua
kontrasepsi hormonal dimetabolisme di hati seperti halnya dengan ARV. Penggunaan
keduanya dalam jangka panjang memperberat fungsi hati.

Tabel 5. Pilihan kontrasepsi hormonal pada perempuan dengan HIV


Perempuan HIV
Kontrasepsi hormonal Dalam terapi ARV Tidak dalam terapi ARV
Pil kombinasi √
Pil progesteron √
Suntik progesteron jangka panjang (DMPA) √ √
Implan progesteron √

Penggunaan kondom

Kondom merupakan cara terbaik untuk pencegahan IMS, termasuk HIV dan AIDS, bila digunakan
secara disiplin, terus-menerus dan benar. Oleh karena itu kondom harus digunakan oleh semua
pasangan baik yang hanya satu atau keduanya HIV positif. Kondom tidak melindungi infeksi yang
berasal dari ulkus atau lesi pada selangkangan yang tidak tertutup olehnya.

ii) Perencanaan kehamilan

Bila ibu dengan HIV dan pasangannya memutuskan ingin punya anak, maka kehamilan perlu
direncanakan dengan matang. Persiapan ibu mencakup hal berikut.
1. Ibu dengan HIV positif memiliki CD4 kurang dari 350 sel/mm3 maka keputusan hamil sebaiknya
setelah terapi ARV secara teratur (regimen AZT, 3TC, EFV atau regimen AZT, 3TC, NVP) dan
disiplin selama setidaknya 6 bulan, yang kemudian dilanjutkan dengan terapi ARV seumur hidup.

16
2. Bila ibu dengan HIV positif memiliki CD4 lebih dari 350 sel/mm3, maka ia dapat merencanakan
kehamilan, dengan melanjutkan terapi ARV seumur hidup.

Persiapan pasangan dari perempuan dengan HIV:


1. Mendapat konseling yang sama, sehingga dapat saling mendukung keberhasilan PPIA.
2. Pada pasangan yang keduanya positif tetap diharuskan menggunakan kondom, karena ada
kemungkinan super-infeksi IMS lainnya.
Perencanaan kehamilan pada ibu dengan HIV ini diulas lebih lanjut pada pembahasan Prong 3.

3.1. 3 Prong 3: Pencegahan penularan dari ibu hamil dengan HIV kepada bayi

Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil merupakan inti dari upaya PPIA. Semua ibu
hamil dengan HIV diupayakan mendapatkan pelayanan berikut ini.
i) Pelayanan antenatal terpadu sesuai dengan standar.
ii) Pemberian ARV dan kotrimoksasol profilaksis pada ibu hamil dengan HIV.
iii) Perencanaan persalinan yang aman dan tatalaksana persalinan, nifas dan layanan neonatal.
iv) Tatalaksana pemberian makanan terbaik bagi bayi.
v) Pemberian ARV dan kotrimoksasol profilaksis pada bayi.

i) Pelayanan antenatal terpadu

Pelayanan kesehatan pada ibu hamil dengan HIV mengikuti pedoman pelayanan antenatal terpadu
seperti yang diberikan untuk semua ibu hamil (lihat pada Bab I). Tenaga kesehatan harus dapat
memastikan bahwa kehamilan berlangsung normal, mampu mendeteksi dini masalah dan penyakit
yang dialami ibu hamil, melakukan intervensi secara adekuat sehingga ibu hamil siap untuk
menjalani persalinan yang aman. Selain itu, pada ibu hamil dengan infeksi HIV/sifilis perlu ada
tindakan untuk menghindari penularan HIV, sifilis atau penyakit infeksi lainnya kepada bayi.

ii) Pemberian ARV pada ibu hamil

Pada ibu hamil dengan HIV, perlu ditambahkan layanan berikut.


1. Pemberian ARV, sesuai dengan hasil tes, untuk pengobatan ibu hamil dan pencegahan penularan
dari ibu ke anak. Alur pemberian ARV dapat dilihat pada Bagan 2, Boks 1 dan Tabel 6 dan 7.
2. Konseling hubungan seksual selama kehamilan: abstinensia atau menggunakan kondom secara
benar dan konsisten.
Bagan 2. Alur pemberian ARV pada ibu hamil

Ibu hamil

HIV non-reaktif HIV reaktif

Mulai terapi ARV, tanpa memandang umur


kehamilan, jumlah CD4 dan stadium klinis

3. Tes HIV bagi pasangan melalui TIPK maupun konseling dan tes HIV sukarela (KTS).
4. Konseling pilihan persalinan, persyaratan dan risiko penularan infeksi dari ibu ke anak.
5. Konseling pilihan makanan bayi dan dukungan untuk melaksanakan pilihannya.
6. Konseling tatalaksana yang akan dilakukan kepada bayi setelah lahir (pemberian ARV dan
kotrimoksazol pencegahan, imunisasi, pemeriksaan dan rencana diagnosis HIV).
7. Rujukan ke LSM/kader/kelompok dukungan sebaya untuk perawatan berkesinambungan.

17
Merujuk pada Pedoman ARV 2011, ARV diberikan kepada semua ibu hamil dengan HIV tanpa
harus memeriksakan kondisi CD4 dan viral load lebih dahulu, karena kehamilan itu sendiri
merupakan indikasi pemberian ARV. Jika ibu dengan HIV sudah mendapatkan ARV, maka
pemberiannya dilanjutkan dan diteruskan seumur hidup. Hasil rapat Panel Ahli pada tahun 2013
merekomendasikan bahwa ARV harus segera diberikan berapa pun usia kehamilan ibu dengan HIV.
Bila tersedia di fasilitas, pemeriksaan CD4 dapat dilakukan yang dapat digunakan untuk memantau
pengobatan – bukan sebagai acuan untuk memulai terapi.

Boks 1. Protokol pemberian terapi antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil dengan HIV
 Secara umum, yang direkomendasikan untuk ibu hamil HIV positif adalah terapi menggunakan
kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Perlu dihindari penggunaan “triple nuke” (3 NRTI).
 Regimen ARV: AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP (1x200mg, setelah dua minggu 2x200mg) atau
TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) + NVP (2x200mg).
 Untuk ibu yang status HIV-nya diketahui sebelum kehamilan dan sudah mendapatkan ARV, maka ARV
tetap diteruskan dengan rejimen yang sama seperti saat sebelum hamil.
 Untuk ibu hamil yang status HIV diketahui saat kehamilan, segera diberikan ARV tanpa melihat umur
kehamilan, berapapun nilai CD4 dan stadium klinisnya. Regimen obat ARV yang diberikan sesuai
dengan kondisi klinis ibu.
 Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sesaat menjelang persalinan, segera diberikan ARV
sesuai dengan kondisi klinis. Pilihan kombinasi rejimen ARV sama dengan ibu hamil dengan HIV lainnya.
Informasi lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7, serta Lampiran 2.

Tujuan terapi ARV pada ibu hamil adalah: i) memperbaiki kualitas hidup; ii) mencegah infeksi
oportunistik; iii) mencegah progresivitas penyakit; iv) mengurangi transmisi dari ibu ke bayi dan
kepada orang lain. Pemberian ARV perlu mengikuti prinsip sebagai berikut untuk menjamin
keberhasilan terapi: i) di bawah pengawasan dokter; ii) penjelasan efek samping yang mungkin
terjadi; iii) ada pendamping untuk memastikan kepatuhan minum ARV secara teratur dan benar,
yang sangat menentukan efektivitas penggunaan ARV di samping mencegah resistensi obat.

Tabel 6. Pemberian obat ARV pada berbagai situasi klinis ibu hamil
No Situasi klinis Rekomendasi pengobatan
1  ODHA hamil, segera terapi ARV  AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP (1x200mg, setelah 2 minggu
 ODHA datang pada masa persalinan dan 2x200mg)
belum mendapat terapi ARV, lakukan  TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) + NVP (2x200mg)
tes, bila hasil reaktif berikan ARV Alternatif:
 AZT (2x300mg) + 3TC (2x150mg) + EFV* (1x600mg)
 TDF(1x300mg) + 3TC (atau FTC) (1x300mg) + EFV (1x600mg)

2 ODHA sedang menggunakan ARV dan  Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan sesudah persalinan
kemudian hamil
3 ODHA hamil dengan hepatitis B yang  TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) + NVP (2x200mg) atau
memerlukan terapi  TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (1x300mg) + EFV (1x600mg)
4 ODHA hamil dengan tuberkulosis aktif  Bila OAT sudah diberikan, maka dilanjutkan. Bila belum diberikan,
maka OAT diberikan terlebih dahulu sebelum pemberian ARV.
 Rejimen untuk ibu bila pengobatan mulai Trimester II dan III: AZT
(d4T) + 3TC + EFV
Keterangan: AZT/ZDV: zidovudin; 3TC: lamivudin; NVP: nevirapin; EFV: efavirens; TDF: Tenovofir; PI: protease inhibitor

Untuk memulai terapi ARV perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:


i) persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi melalui konseling pra-pemberian ARV;
ii) bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut diobati terlebih dahulu dan terapi ARV
dapat dimulai dengan pemberian kotrimoksazol untuk melihat kepatuhan dan mengobati infeksi
oportunistik yang ada;

18
iii) pada ibu hamil dengan TB: OAT selalu diberikan mendahului ARV sampai kondisi klinis pasien
memungkinkan (misalnya sekitar satu bulan) dan fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV.
Pada awal pengobatan, klien yang tidak mendapat kotrimoksazol profilaksis, perlu kontrol lebih
sering (1 minggu, kemudian 2 minggu, dan seterusnya) sebagai cara pemantauan efek samping dan
kepatuhan klien. Dengan demikian, jumlah ARV yang diberikan mengikuti jadual kunjungan.

Syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR, yaitu:
1. Siap: dalam menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV terhadap infeksi HIV.
2. Adherence: kepatuhan minum obat.
3. Disiplin: dalam minum obat dan kontrol ke dokter.
4. Aktif: dalam menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi.
5. Rajin: dalam memeriksakan diri jika timbul keluhan.

Tabel 7. Efek samping obat dan kontraindikasi pemberian ARV


Nama obat Efek samping/efek toksik Kontraindikasi
AZT  Anemia (makin lama pajanan makin berat, namun reversibel)  Alergi obat
 Mual, sakit kepala, mialgia, insomnia  Hb < 7 g/dL
3
 Netropenia (<750 sel/mm )
 Disfungsi hati dan ginjal berat
NVP  Hepatotoksik (perlu observasi klinis dalam 12 minggu pertama)  Alergi terhadap benzodiazepin
 Ruam kulit (jarang)  Disfungsi hati
TDF  Nefrotoksik (perlu observasi klinis selama 6 bulan pertama)  Disfungsi ginjal

iii) Perencanaan persalinan aman bagi ibu dengan HIV

Tujuan persalinan aman bagi ibu dengan HIV adalah menurunkan risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi, serta risiko terhadap ibu, tim penolong (medis/non-medis) dan pasien lainnya. Persalinan
melalui bedah sesar berisiko lebih kecil untuk penularan terhadap bayi, namun menambah risiko
lainnya untuk ibu. Risiko penularan pada persalinan per vaginam dapat diperkecil dan cukup aman
bila ibu mendapat pengobatan ARV selama setidaknya enam bulan dan/atau viral load kurang dari
1000 kopi/mm3 (lihat Tabel 8).

Tabel 8. Keuntungan dan kerugian jenis persalinan


Metode Keuntungan Kerugian
persalinan
Per vaginam 1. Mudah dilakukan di sarana kesehatan Risiko penularan pada bayi relatif tinggi 10-
yang terbatas 20% , kecuali ibu telah minum ARV teratur ≥ 6
2. Masa pemulihan pasca persalinan bulan atau diketahui kadar viral load tidak
3
singkat terdeteksi (< 1000 kopi/mm )
3. Biaya rendah
Seksio sesarea 1. Risiko penularan yang rendah (2-4%) 1. Lama perawatan bagi ibu lebih panjang.
elektif atau dapat mengurangi risiko penularan 2. Perlu sarana dan fasilitas pendukung yang
sampai 50-66% lebih memadai
2. Terencana 3. Risiko komplikasi selama operasi dan
pasca operasi lebih tinggi
4. Ada risiko komplikasi anestesi
5. Biaya lebih mahal.

Hal-hal berikut perlu diperhatikan dalam memberikan pertolongan persalinan yang optimal bagi ibu
hamil dengan HIV.
1. Pelaksanaan persalinan, baik melalui seksio sesarea maupun per vaginam, perlu memperhatikan
kondisi fisik ibu.

19
2. Ibu hamil dengan HIV harus mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya untuk
menjalani persalinan per vaginam ataupun melalui seksio sesarea.
3. Pelaksanaan persalinan, baik per vaginam maupun melalui seksio sesarea, perlu memperhatikan
indikasi obstetrik ibu.
4. Tindakan menolong persalinan ibu dengan HIV, baik per vaginam maupun seksio sesarea harus
memperhatikan kewaspadaan umum yang berlaku untuk semua persalinan.

Persalinan untuk ibu dengan HIV, baik pervaginam maupun bedah sesar dapat dilakukan di semua fasilitas
kesehatan yang mampu tanpa memerlukan alat pelindung diri khusus, selama fasilitas tersebut melakukan
prosedur kewaspadaan standar.

Penatalaksanaan nifas bagi ibu dengan HIV

Perawatan nifas bagi ibu dengan HIV pada dasarnya sama dengan perawatan nifas pada ibu nifas
yang normal; namun, ada beberapa hal berikut yang perlu diperhatikan.
1. Bagi ibu yang memilih tidak menyusui dapat dilakukan penghentian produksi ASI bertahap.
2. Pengobatan, perawatan dan dukungan secara berkelanjutan diberikan, di samping tata laksana
infeksi mikroorganisme/opotunistik terhadap pengidap HIV/AIDS dan dukungan edukasi nutrisi.
3. Pelayanan kontrasepsi pasca persalinan diutamakan agar tidak terjadi kehamilan yang tidak
terencana dan membahayakan ibu dan janin yang dikandungnya.
4. Edukasi ibu perlu dilakukan tentang cara membuang bahan yang berpotensi menimbulkan
infeksi, seperti lokia dan pembalut yang penuh dengan darah.

Layanan neonatal esensial bagi bayi dari ibu dengan HIV

Layanan neonatal esensial saat lahir pada bayi dari ibu dengan HIV tidak berbeda dari bayi lainnya,
termasuk untuk pemberian vitamin K intramuskuler dan imunisasi hepatitis B (seuai dengan Buku
Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial, Kementerian Kesehatan RI 2010) yang meliputi:
1. Kewaspadaan umum.
2. Penilaian awal.
3. Pencegahan kehilangan panas.
4. Pemotongan dan perawatan tali pusat.
5. Inisiasi menyusu dini (IMD) bila ibu memilih untuk menyusui.
6. Pencegahan perdarahan (vitamin K yang diberikan secara intramuskuler).
7. Pencegahan infeksi mata.
8. Pemberian imunisasi (hepatitis B).
9. Pemberian identitas.
10. Anamnesis dan pemeriksaan fisis.

iv) Pemberian nutrisi bagi bayi dari ibu dengan HIV

Pemberian nutrisi yang dianjurkan bagi bayi yang belum diketahui status HIV-nya sebagai berikut.
1. Konseling pemilihan makanan bayi yang terkait risiko penularan HIV diberikan sejak sebelum
persalinan.
2. Pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh ibu/keluarga setelah mendapat informasi dan
konseling secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil seorang ibu harus didukung.
3. Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu formula saja (bukan mixed feeding).
4. Sangat tidak dianjurkan untuk mencampur ASI dengan susu formula, karena memiliki risiko
tertinggi untuk terjadinya penularan virus HIV kepada bayi. Hal ini karena susu formula adalah
benda asing yang dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus dan mempermudah
masuknya virus HIV yang ada dalam ASI ke aliran darah bayi.

20
5. Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV negatif atau tidak
diketahui status HIV-nya, jika SELURUH syarat AFASS (affordable/terjangkau, feasible/mampu
laksana, acceptable/dapat diterima, sustainable/berkesinambungan dan safe/aman) dapat
dipenuhi. Pemenuhan syarat AFASS ditandai dengan adanya: i) rumah tangga dan masyarakat
yang memiliki jaminan atas akses air bersih dan sanitasi yang baik; ii) ibu atau keluarganya
sepenuhnya mampu menyediakan susu formula dalam jumlah cukup untuk mendukung tumbuh
kembang anak; iii) ibu atau keluarganya mampu menyiapkan susu formula dengan bersih dan
dengan frekuensi yang cukup, sehingga bayi aman dan terhindar dari diare dan malnutrisi; iv) ibu
atau keluarganya dapat memenuhi kebutuhan susu formula secara terus-menerus sampai bayi
berusia 6 bulan; v) keluarga mampu memberikan dukungan dalam proses pemberian susu
formula yang baik; dan vi) ibu atau keluarganya dapat mengakses pelayanan kesehatan yang
komprehensif bagi bayinya.
6. Bila syarat-syarat pada Butir 5 terpenuhi maka susu formula dapat diberikan dengan cara
penyiapan yang baik (lihat Lampiran 4). Di negara berkembang, syarat tersebut sulit dipenuhi,
karena itu WHO menganjurkan pemberian ASI, yang cukup aman selama ibu mendapat terapi
ARV secara teratur dan benar.
7. Untuk melakukan penghentian ASI, (setelah syarat pada Butir 5 terpenuhi) bayi dapat secara
total diberi susu formula, sehingga produksi ASI akan terhenti secara berangsur. Sementara
menunggu terhentinya produksi ASI, untuk menghindari terjadinya mastitis pada payudara ibu,
ASI diperah dengan frekuensi yang dikurangi secara bertahap hingga produksi ASI berhenti. ASI
perah tersebut tidak diberikan kepada bayi.
8. Pada bayi yang diberi ASI, bila setelah 6 bulan syarat-syarat pada Butir 5 belum dapat terpenuhi
maka ASI tetap dapat diberikan dengan cara diperah dan dipanaskan (heat-treated) dan
diberikan dengan menggunakan gelas kaca atau gelas/botol plastik No 5 (PP/Polypropilen),
sementara bayi mulai mendapat makanan pendamping seperti biasa. Pada usia 12 bulan ASI
harus dihentikan dan bayi mendapat makanan keluarga sebagai sumber nutrisi utama.

Jika bayi telah diketahui HIV positif: i) ibu sangat dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif sampai
bayi berumur 6 bulan; ii) mulai usia 6 bulan, bayi diberikan makanan pendamping ASI (MP ASI) dan
ASI tetap dilanjutkan sampai anak berumur 2 tahun.

v) Pemberian ARV dan kotrimoksasol profilaksis pada bayi

Pemberian ARV pada bayi mengikuti Pedoman PPIA 2011. Sejak ARV dimulai, diperlukan kepatuhan
terhadap aturan pemberian obat setiap hari, karena ketidakpatuhan merupakan penyebab utama
kegagalan pengobatan. Persiapan amat penting dilakukan sebelum memulai pemberian ARV, yaitu
persiapan pengasuh bayi dan faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan (lihat Bagan 3).

ARV profilaksis pada bayi:


 Untuk semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI ekskklusif maupun susu formula,
harus mendapat Zidovudin sejak hari pertama (umur 12 jam), selama 6 minggu, kemudian
dilanjutkan dengan kotrimoksasol profilaksis sampai usia 12 bulan atau sampai dinyatakan HIV
negatif. Bila kemudian ternyata bayi terinfeksi HIV, maka kotrimoksazol profilaksis diteruskan.
 Perhatikan dosis dan efek samping.
 Kepatuhan dipantau dengan seksama.

Dosis Zidovudin/AZT:
 Bayi cukup bulan: 4 mg/kgBB/12 jam selama 6 minggu.
 Bayi prematur < 30 minggu: 2 mg/kgBB tiap 12 jam selama 4 minggu, kemudian 2 mg/KgBB tiap 8
jam selama 2 minggu terakhir.
 Bayi prematur 30-35 minggu: 2 mg/kgBB tiap 12 jam selama 2 minggu pertama, kemudian 2
mg/kgBB tiap 8 jam selama 2 minggu diikuti 4 mg/kgBB/12 jam selama 2 minggu terakhir.

21
Bagan 3. Pemberian kotrimoksasol pada bayi dari ibu dengan HIV

Bayi dari ibu dengan HIV


Bayi dari ibu dengan HIV

Mulai kotrimoksasol 4-6 mg/kg BB, 1x/hari pada usia 6 minggu


dan lanjutkan hingga diagnosis HIV disingkirkan
Mulai Kotrimoksazol 4-6 mg/kg bb, 1x per hari pada usia

Tidak tersedia
Tes virologi HIV di usia 6-8 minggu Lanjutkan kotrimoksasol hingga
Tes virologi HIV di usia 6-8 minggu usia 12 bulan; atau hentikan bila
Tersedia diagnosis HIV dengan cara lain
menunjukkan hasil negatif
Konseling HIV positif

Positif Negatif

Tata laksana HIV Hentikan kotrimoksasol,


pada bayi/anak kecuali bila mendapat ASI
Stop kotrimoksasol pada

3.1.4 Prong 4: Pemberian dukungan dan perawatan lanjutan

Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti setelah ibu melahirkan. Ibu akan
tetap hidup dengan HIV di tubuhnya, sehingga membutuhkan dukungan medis, psikologis, sosial dan
perawatan selama hidupnya. Perempuan dengan HIV lebih rentan terkena IMS, sehingga bila
terinfeksi HPV (human papiloma virus) akan lebih rentan untuk terjadi perubahan ke arah kanker
serviks, sehingga pemeriksaan IVA (inspeksi visual asam asetat) atau Pap smear harus lebih sering
dilakukan.

Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan keluarganya. Tujuannya untuk menjaga agar ibu
dan bayi tetap sehat dengan pola hidup yang tepat, patuh berobat, mencegah penyakit oportunis
dan mengamati status kesehatan. Kegiatannya meliputi:
i) Dukungan lanjutan bagi ibu melalui:
 pemeriksaan kondisi kesehatan;
 pengobatan ARV jangka panjang dan pemantauan terapi;
 pemantauan kondisi kesehatan, termasuk pemantauan CD4 dan viral load;
 pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik;
 konseling dan dukungan kontrasepsi, pengaturan kehamilan dan asupan gizi;
 kunjungan rumah.
ii) Dukungan untuk bayi, yaitu:
 pemberian ARV pencegahan dan diagnosis HIV pada bayi;
 informasi dan edukasi pemberian makanan bayi;
 layanan imunisasi dan pemantauan tumbuh kembang;
 pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV (termasuk CD4 dan viral load);
 pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik, termasuk pemberian kotrimoksasol (untuk
mencegah infeksi Pneumocystis jiroveci).
iii) Penyuluhan kepada suami/pasangan dan anggota keluarga lainnya tentang cara penularan HIV
dan pencegahannya serta penggerakan dukungan masyarakat bagi keluarga dengan atau
terdampak HIV. Dengan demikian diharapkan keluarga dapat mendukung penuh tata laksana
pada ibu dan bayi secara menyeluruh.

22
i) Dukungan lanjutan bagi ibu

Beberapa survey menunjukkan bahwa lebih dari 50% stigma dan diskriminasi terutama datang dari
petugas kesehatan. Hal ini ditiru oleh masyarakat, sehingga makin memperbesar dampak dan
implikasi beban yang harus ditanggung ODHA dan keluarganya. Oleh karena itu petugas kesehatan
berperan besar dalam meyakinkan keluarga dan lingkungan untuk menghilangkan hal tersebut,
pertama-tama dengan tidak lagi menimbulkan stigma dan diskriminasi. Perempuan yang terinfeksi
HIV berhak mendapatkan pelayanan obstetri dan ginekologi yang profesional, seperti pasien lainnya.

Masalah psikososial yang biasa dihadapi oleh ibu dengan HIV serupa dengan yang dihadapi oleh
ODHA pada umumnya yaitu:
 kebingungan, ketakutan dan kecemasan;
 stigma, diskriminasi dan depresi;
 pengucilan dari lingkungan sosial dan keluarga;
 masalah dalam pekerjaan dan ekonomi keluarga;
 masalah dalam pengasuhan anak.

Bentuk dukungan psikososial meliputi hal-hal berikut.


1. Dukungan emosional, berupa empati dan kasih sayang.
2. Dukungan penghargaan, berupa sikap dan dukungan positif.
3. Dukungan instrumental, berupa dukungan untuk ekonomi keluarga.
4. Dukungan informasi, berupa semua informasi terkait HIV/AIDS dan seluruh layanan pendukung-
nya, termasuk informasi tentang kontak petugas kesehatan/LSM/kelompok dukungan sebaya.

Tenaga kesehatan wajib memberikan pertolongan yang profesional pada pasien perempuan terinfeksi HIV
sebagaimana diberikan kepada pasien lainnya.

Tujuan dukungan psikologis adalah: i) mengurangi kecemasan, stres dan depresi; ii) meningkatkan
semangat hidup; iii) mempertahankan kondisi kesehatan optimal; iv) meningkatkan kepatuhan
berobat; v) menurunkan risiko penularan dari ibu ke bayi; dan vi) memastikan bayi bebas dari HIV
dan penyakit menular lainnya.

Tujuan dukungan sosial meliputi: i) mengurangi stigma dan diskriminasi oleh lingkungan; ii)
meningkatkan kemampuan dan kemandirian pasien; iii) meringankan beban kebutuhan hidup; dan
iv) mempermudah akses terhadap pelayanan kesehatan. Sumber dukungan psiko-sosial antara lain:
i) pasangan dan keluarga; ii) kelompok sebaya atau kelompok dukungan; iii) kader kesehatan,
masyarakat (pemuka masyarakat dan agama) dan LSM, termasuk relawan pendamping ODHA,
konselor dan penggerak masyarakat; iv) tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat, psikolog,
psikiater); dan v) pemerintah daerah dan pusat.

Cara-cara melakukan dukungan psikososial antara lain melalui: i) konseling individu, termasuk
konseling ARV, persalinan, gizi, pemberian makanan bayi; konseling pasangan, keluarga, kelompok
dan masyarakat; ii) pendampingan melalui: layanan sahabat/buddy service, menjadi penerima
curahan hati, keluh dan kesah; memberikan saran yang manusiawi, sederhana dan menguatkan;
tidak menciptakan ketergantungan dan tetap menjadi pribadi yang mandiri; melakukan kunjungan
rumah; memantau kondisi fisik dan psikologis ODHA; memantau kepatuhan minum obat ARV,
menolong pada saat dibutuhkan, tapi tidak berlebihan; menjadi pelaku home-based care pada saat
yang tepat dan memberikan dukungan semangat kepada keluarga. Tabel 9 merangkum kunjungan
pemeriksaan bayi dari ibu dengan HIV.

23
Tenaga sahabat/buddy yang terampil dan berempati biasanya dihasilkan melalui sebuah pelatihan
khusus. Selanjutnya, sahabat terlatih tersebut bergabung dengan LSM pendamping ODHA ataupun
support group ODHA untuk menjalankan perannya. Kegiatannya a.l.: i) dukungan ekonomi keluarga
terhadap ODHA yang berlatarbelakang ekonomi lemah dan kurang memiliki keterampilan wirausaha:
diberikan layanan pelatihan dan pemberian dana modal agar ODHA dapat hidup produktif dengan
usaha kerja mandiri untuk meningkatkan pendapatan. Kegiatan dukungan ekonomi keluarga ODHA
ini biasanya dijalankan oleh LSM Peduli AIDS atau support group ODHA yang bermitra dengan
berbagai pihak; ii) advokasi: kegiatan ini ditujukan kepada para pemangku kebijakan (kementerian,
kepala daerah, DPR/D, dinas kesehatan, rumah sakit, dll) untuk membentuk opini yang benar
terhadap HIV-AIDS dan membuat kebijakan yang berempati serta tidak diskriminatif. Langkah
advokasi dijalankan dengan menggunakan data/informasi oleh LSM Peduli AIDS, support group
ODHA, serta ikatan profesi kesehatan.

ii) Dukungan untuk bayi

Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan HIV perlu diketahui status HIVnya. Bagan 4 memberikan
ilustrasi tentang diagnosis HIV pada bayi. Cara pemeriksaan status HIV pada bayi:
1. Secara virologi: PCR (DNA atau RNA) – saat ini bahan pemeriksaan menggunakan sampel darah
(PCR RNA); namun pemeriksaan dapat pula dilakukan dengan menggunakan sampel darah
kering/dried blood sample (PCR DNA).
2. Secara serologis: memeriksa antibodi HIV baik secara Elisa atau rapid test.

Pelayanan neonatal esensial, termasuk nutrisi untuk bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan HIV telah
dijelaskan pada uraian tentang Prong 3 dan dijelaskan lebih lanjut pada Lampiran 4.

Pelayanan imunisasi

Imunisasi amat diperlukan untuk melindungi bayi yang terpapar HIV dari berbagai penyakit infeksi
yang dapat dicegah dengan imunisasi. Prinsip umum semua vaksinasi tetap diberikan seperti pada
bayi lainnya, termasuk memberikan vaksin hidup (BCG, Polio oral, campak), kecuali bila sudah
terdapat gejala klinis infeksi HIV. Jadual pemberian imunisasi mengikuti buku KIA terbaru.

Tabel 9. Jadual kunjungan pemeriksaan pada bayi dari ibu HIV positif
Keterangan Lahir-48 7 hari 4 mgg 6 mgg 2 bln 3 bln 4 bln 6 bln 9 bln 12 18
jam (KN1) (KN2) (KN3) bln bln
Evaluasi klinis X X X X X X X X X X X
Berat badan X X X X X X X X X X X
Panjang badan X X X X X X X X X
Pemberian SF/ASI SF/ASI SF/ASI SF/ASI SF/ASI SF/ASI SF/ASI SF/ASI+ SF/ASI+ Makanan
makanan makanan makanan keluarga
padat padat
ARV profilaksis X X X X
Profilaksis PCP X X X X X X X
dengan
kotrimoksasol
Imunisasi Hep B OVP DTP DTP DTP Campak Campak DTP
OPV Hep B OPV OVP OPV OPV
BCG HIB HIB HIB
LABORATORIUM
Hb dan leukosit X X
CD4 Dilakukan bila pasien terbukti terinfeksi HIV atau ada tanda terinfeksi HIV
PCR RNA DNA Dilakukan bila pasien mampu, paling dini pada usia 6 minggu
Serologi HIV X X

24
Bagan 4. Diagnosis HIV pada bayi < 18 bulan

Bayi lahir dari ibu HIV positif

-)Uji virologi HIV ke-1 (-) ASI dalam (-)


(usia minimal 6 minggu) 6minggu terakhir
ASI dalam 6-12
(+)
(+) ASI dalam 6
Periksa gejala (-) Uji serologi HIV (-) minggu (-) HIV
dan tanda HIV usia 9-12 bulan (-)
terakhir
Periksa gejala & Uji serologi HIV ASI dalam
(+)
(+) STOP ASI
> 6 minggu
Uji virologi HIV ke 2 (minimum STOP ASI > 6
4 minggu dari test ke 1)
Uji virologi HIV ke 2 (minimum Uji serologi
HIV ulang
Uji serologi HIV pada Uji serologi
(+) HIV
usia > 18 bulan
positif
Uji serologi HIV pada
HIV

Konseling dan tata laksana


lanjutan HIV positif
Konseling & Tata laksana

Jadual kunjungan disesuaikan dengan bayi sehat lainnya dan mengikuti jadual kegiatan, misalnya
penimbangan, pemeriksaan KPSP, pemberian vitamin A, dll. Tidak boleh ada pelabelan HIV, namun
kewaspadaan standar tetap dilakukan. Gunakan kesempatan ini untuk pelayanan PPIA, yang meliputi
kesehatan ibu, KB dan sterilisasi, nutrisi ibu, penilaian ulang sosial ekonomi dari pasangan dan
anggota keluarga lainnya. Tabel 10 merangkum kegiatan keempat prong PPIA.

Tabel 10. Rangkuman kegiatan empat prong PPIA


Prong 1 Prong 2 Prong 3 Prong 4
Populasi Semua perempuan Semua perempuan Semua ibu hamil dengan HIV Ibu dengan HIV,
target usia reproduksi dengan HIV positif bayi dan keluarga
Tujuan Mencegah penularan Menghindari Mencegah penularan HIV dari Menjaga ibu dan
HIV kehamilan yang tidak ibu ke bayi bayi tetap sehat
dipersiapkan pada ibu
dengan HIV
Kegiatan 1. KIE 1. Layanan KB 1. Layanan antenatal terpadu, 1. Dukungan
2. Konseling dan 2. Perencanaan termasuk tes HIV, pemberian lanjutan bagi ibu
tes HIV kehamilan ARV dan tata laksana infeksi 2. Dukungan
3. Dukungan oportunistik lanjutan bagi bayi
psikososial 2. Pemberian ARV pada ibu 3. Dukungan bagi
3. Persalinan aman suami dan
4. Konseling pemberian anggota
makanan terbaik bagi bayi keluarga lainnya
5. Pemberian ARV dan kotri-
moksasol profilaksis pada bayi

25
3.2 Pencegahan penularan sifilis dari ibu ke bayi

Seperti disebutkan pada Bab II, sifilis adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
spirokhaeta Triponema pallidum. Penyakit ini dapat menimbulkan infeksi pada otak (neurosifilis)
dan kecacatan tubuh (guma). Infeksi pada ibu hamil, bila tidak diobati dengan baik maka 67%
kehamilan berakhir dengan abortus, lahir mati, atau infeksi sifilis pada neonatus (sifilis kongenital).

3.2.1 Pengaruh infeksi sifilis terhadap penularan HIV

Sifilis, sebagaimana IMS lainnya, akan meningkatkan risiko tertular HIV. Pada ODHA, sifilis
meningkatkan daya infeksi HIV. Pada mereka yang belum terinfeksi HIV, sifilis meningkatkan
kerentanan tertular HIV sebesar 3-5 kali. Jika diobati secara adekuat, tingkat kesembuhan sifilis
mencapai lebih dari 95%.

Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011 melaporkan prevalensi sifilis pada populasi
wanita penjaja seks dengan HIV sebesar 16,7%; sedangkan pada mereka yang tidak terinfeksi HIV
9,47%. Prevalensi sifilis pada populasi laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) HIV
positif adalah 23,8%, sedangkan pada LSL yang HIV negatif 16,67%. Pada populasi waria, prevalensi
sifilis sebesar 25%, sedangkan pada wanita penjaja seks langsung 10%, LSL 9%, warga binaan
lembaga pemasyarakatan 5%, pria berisiko tinggi 4%, wanita penjaja seks tidak langsung 3% dan
penasun 3%.

Jika dibandingkan dengan laporan STBP tahun 2007, prevalensi sifilis pada populasi waria tetap
tinggi. Pada populasi LSL dan penasun, prevalensi sifilis bahkan meningkat tiga kali lipat, seperti
terlihat pada Gambar 1. Jika upaya pengendalian sifilis tidak diperkuat, prevalensinya pada berbagai
populasi kunci akan terus meningkat, dan risiko penularan HIV juga makin meningkat. Demikian
pula, penularan akan berlanjut ke perempuan yang pasangannya mengidap sifilis dan selanjutnya
dapat ditularkan ke bayi yang dikandungnya.

Sumber: Pedoman Tata Laksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Puskesmas, Kementerian Kesehatan RI, 2013
– grafik diusulkan untuk dibuat lagi dengan bar yang bermotif, spy kalau difotokopi masih bisa dipahami

26
3.2.2 Infeksi sifilis pada ibu hamil

Infeksi sifilis pada populasi ibu hamil, bila tidak diobati dengan adekuat, dapat menyebabkan lahir
mati dan abortus (40%), kematian perinatal (20%), berat badan lahir rendah (BBLR) atau infeksi
neonatus (20%). Untuk melindungi janin dalam kandungan, maka dilakukan skrining dan
penanganan sifilis pada ibu hamil.

Secara global ditetapkan target eliminasi sifilis kongenital melalui:


 Integrasi layanan IMS (terutama skrining sifilis) dengan PPIA dan Program KIA.
 Skrining sifilis pada semua ibu hamil dan pada ibu melahirkan, terutama yang belum pernah
diskrining sebelumnya.
 Mengobati semua ibu hamil yang positif sifilis segera setelah diperoleh hasil tes positif.
 Mengobati semua pasangan ibu hamil yang positif sifilis.
 Edukasi, konseling aktif dan promosi kondom untuk mencegah infeksi ulang.
 Mengobati semua bayi yang lahir dari ibu yang positif sifilis.
 Memeriksa dengan seksama dan membuat rencana perawatan bagi bayi yang lahir dari ibu yang
positif sifilis.

Dalam rangka melindungi janin, jika tes RPR belum tersedia, rapid test saja dapat digunakan untuk
meningkatkan cakupan skrining sifilis dan terapi sifilis pada ibu hamil. Jika hanya ada rapid test,
semua hasil positif langsung diobati sebagai sifilis tanpa perlu konfirmasi dengan tes lain seperti yang
dijelaskan pada Bab II. Cara pengobatan dapat dilihat pada Bab II.

3.2.3 Tes serologi sifilis

Menurut pedoman nasional Tatalaksana IMS tahun 2011, diagnosis sifilis di tingkat puskesmas dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan: i) sindrom; dan ii) pemeriksaan serologis. Secara
umum, tes serologi sifilis terdiri atas dua jenis sebagai berikut.

1. Tes non-treponema
Termasuk dalam kategori ini adalah tes RPR (rapid plasma reagin) dan VDRL (venereal disease
research laboratory). Kedua tes serologis ini mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi
terhadap bahan-bahan lipid dari sel-sel T pallidum yang hancur. Antibodi ini dapat timbul sebagai
reaksi terhadap infeksi sifilis, namun dapat juga timbul pada berbagai kondisi lain, yaitu pada infeksi
akut (misalnya: infeksi virus akut) dan penyakit kronis (misalnya: penyakit otoimun kronis). Karena
itu, tes ini bersifat non-spesifik, dan bisa menunjukkan hasil positif palsu. Tes seperti ini dipakai
untuk mendeteksi infeksi dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau keberhasilan terapi.
Karena tes non-spesifik ini jauh lebih murah dibandingkan tes spesifik treponema, maka tes ini
sering dipakai untuk skrining. Jika tes non-spesifik menunjukkan hasil reaktif (positif), selanjutnya
dilakukan tes spesifik treponema, untuk menghemat biaya.

Hasil positif pada tes non-spesifik treponema tidak selalu berarti bahwa seseorang pernah atau sedang
terinfeksi sifilis. Hasil tes ini harus dikonfirmasi dengan tes spesifik treponema.

2. Tes spesifik treponema


Termasuk dalam kategori ini adalah tes TPHA (Treponema pallidum haemagglutination assay), TP-
PA (Treponema pallidum particle agglutination assay), FTA-ABS (fluorescent treponemal antibody
absorption). Tes serologis yang termasuk dalam kelompok ini mendeteksi antibodi yang bersifat
spesifik terhadap treponema, karena itu jarang memberikan hasil positif palsu. Tes ini dapat
menunjukkan hasil positif/reaktif seumur hidup, walaupun terapi sifilis telah berhasil. Tes jenis ini

27
tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi secara
adekuat. Tes treponemal hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema,
namun tidak dapat menunjukkan apakah seseorang sedang mengalami infeksi aktif. Tes ini juga
tidak dapat membedakan infeksi T pallidum dari infeksi treponema lainnya. Anamnesis mengenai
perilaku seksual, riwayat pajanan dan riwayat perjalanan ke daerah endemis treponematosis
lainnya dibutuhkan untuk menentukan diagnosis banding.

Kedua tes serologi, treponema dan non-treponema, dibutuhkan untuk diagnosis dan tatalaksana pasien sifilis
oleh petugas kesehatan. Hasil tes treponema memastikan bahwa pasien pernah terinfeksi sifilis, sedangkan
hasil tes non-treponema menunjukkan aktivitas penyakit.

Alat-alat dan bahan habis pakai yang diperlukan untuk kedua jenis tes tersebut sebagai berikut.
1. Perangkat tes.
2. Pipet mikro.
3. Sentrifus: untuk memisahkan plasma dari darah lengkap. Jika sentrifus tidak tersedia, plasma dapat
dipisahkan dari darah lengkap dengan mendiamkan darah di dalam tabung selama 30 menit.
4. Rotator: untuk proses penggumpalan antigen-antibodi sehingga terbentuk butiran-butiran penanda
positif. Terdapat dua macam rotator: i) rotator listrik dan ii) rotator yang diputar dengan tangan.
Jika rotator listrik tidak tersedia, maka proses dapat dibantu secara manual: menggoyangkan
piringan rotator dengan tangan.

Tes cepat sifilis (Rapid test syphilis)

Akhir-akhir ini, telah tersedia rapid test untuk sifilis, yaitu TP rapid (Treponema pallidum rapid).
Penggunaan rapid test ini sangat mudah dan memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat (10-15
menit). Jika dibandingkan dengan TPHA atau TPPA, sensitivitas rapid test ini berkisar antara 85-98%,
dan spesifisitasnya berkisar antara 93-98%.

Rapid test sifilis yang tersedia saat ini termasuk kategori tes spesifik treponema yang mendeteksi
antibodi spesifik terhadap berbagai spesies treponema (tidak selalu T pallidum), sehingga tidak dapat
digunakan untuk membedakan infeksi aktif dari infeksi yang telah diterapi dengan baik. Rapid test
Treponema (TP Rapid) hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema, namun
tidak dapat menunjukkan seseorang sedang mengalami infeksi aktif.

Rapid test Treponema hanya dapat digunakan sebagai pengganti pemeriksaan TPHA, dalam rangkaian
pemeriksaan bersama dengan RPR/VDRL. Penggunaan TP rapid tetap harus didahului dengan
pemeriksaan RPR/VDRL. Jika hasil tes positif, harus dilanjutkan dengan memeriksa titer RPR/VDRL,
untuk diagnosis dan menentukan evaluasi pengobatan. Pemakaian rapid test dapat menghemat waktu,
namun harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan TPHA.

Interpretasi hasil tes serologis sifilis

Hasil tes non-treponemal (RPR atau VDRL) masih bisa negatif (non-reaktif) sampai 4 minggu sejak
pertama kali muncul lesi primer. Tes ini dapat diulang 1-3 bulan kemudian pada pasien yang
dicurigai sifilis dengan hasil RPR atau VDRL negatif.

Hasil positif tes RPR/VDRL perlu dikonfirmasi dengan TPHA/TP-PA/rapid test (lihat Bagan 5).
 Jika hasil tes konfirmasi: non-reaktif, maka dianggap positif palsu dan tidak perlu diterapi namun
perlu dites ulang 1-3 bulan kemudian.
 Jika hasil tes konfirmasi: reaktif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR kuantitatif untuk
menentukan titer, sehingga dapat diketahui apakah sifilis aktif atau laten, serta untuk memantau
respons pengobatan.

28
Bagan 5. Alur tes serologis sifilis

RPR/VDRL

Reaktif Non-reaktif

TP Rapid

Reaktif Non-reaktif

Ulangi RPR dan TTP Rapid 1 bulan kemudian


RPR Titer

Rapid (+) RPR (+) RPR(-)


1:2 atau 1:4 ≥1:8 TP Rapid (+) TP Rapid (-) TP Rapid (-)

Lanjut Dini

Dini Positif palsu Bukan sifilis

Evaluasi bulan ke:


3, 6, 9, 12, 18, 24

 Jika hasil RPR reaktif, TPHA reaktif, dan terdapat riwayat terapi dalam tiga bulan terakhir, serta
pada anamnesis tidak ada ulkus baru, pasien tidak perlu diterapi. Pasien diobservasi dan tes
diulang tiga bulan kemudian.
 Jika titer RPR tetap atau turun, tidak perlu diterapi lagi dan tes diulang tiga bulan kemudian.
 Jika hasil RPR tidak reaktif atau positif rendah (serofast), pasien dinyatakan sembuh.
 Jika titer naik, berikan terapi sebagai infeksi baru/sifilis aktif.

Jika hasil RPR reaktif dan TPHA reaktif dan tidak ada riwayat terapi sifilis dalam tiga bulan terakhir,
maka perlu diberikan terapi sesuai stadium:
 Titer RPR < 1:4 (1:2 dan 1:4) dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis laten lanjut.
 Titer > 1:8 dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis aktif dan diterapi.

Tiga bulan setelah terapi, maka dilakukan evaluasi terhadap titer RPR:
 Jika titer RPR turun dua tahap (misalnya dari 1:64 menjadi 1:16) atau lebih, terapi dianggap
berhasil. Ulangi evaluasi setiap tiga bulan di tahun pertama dan setiap 6 bulan di tahun kedua
untuk mendeteksi infeksi baru.
 Jika titer tidak turun dua tahap, maka dilakukan evaluasi kemungkinan reinfeksi atau sifilis laten.
Ringkasan interpretasi hasil tes serologis sifilis dan tindakan dapat dilihat pada Tabel 11.

29
Tabel 11. Ringkasan interpretasi hasil tes serologis sifilis dan tindakan
RPR/VDRL TPHA Titer RPR dan riwayat Interpretasi Tindakan
Negatif Tidak Tidak dikerjakan Negatif Ulangi tes 3 bulan lagi
perlu
Positif Negatif Tidak dikerjakan Positif palsu Ulangi tes 3 bulan lagi
Terdapat riwayat terapi sifilis dalam Masa evaluasi Tidak perlu terapi. Ulangi
Positif Positif 3 bulan terakhir, berapa pun titernya terapi tes 3 bulan lagi.
Titer <1:4 (1:2 Sifilis laten Terapi sebagai sifilis laten
Tidak ada riwayat and 1:4), lanjut lanjut. Evaluasi 3 bulan
terapi dalam 3 kemudian.
bulan terakhir Titer ≥1:8 Sifilis Terapi sebagai sifilis dini.
aktif/dini Evaluasi 3 bulan kemudian.
Positif atau Positif Bandingkan dengan titer 3 bulan Jika turun: Tidak perlu terapi. Observasi
negatif yang lalu terapi berhasil dan evaluasi 6 bulan kemudian
Positif Positif Bandingkan dengan titer 3 bulan Jika naik: Terapi sesuai titer/stadium
yang lalu, jika naik Infeksi baru

Catatan: Jika tes konfirmasi tidak tersedia, berdasarkan riwayat perilaku seksual berisiko, pasien
bisa diterapi sesuai dengan kadar titer RPR. Selanjutnya, titer RPR/VDRL terus dimonitor. Titer dapat
meningkat atau turun pada infeksi akut atau kronik, kemudian turun lagi. Jika tes konfirmasi tidak
tersedia, perubahan titer ini dapat digunakan untuk konfirmasi infeksi T pallidum.

3.3 Pencegahan penularan infeksi di fasilitas kesehatan

3.3.1 Pencegahan umum

Tindakan pencegahan umum adalah upaya penerapan prosedur standar untuk pengendalian infeksi
di sarana pelayanan kesehatan dengan fokus mengurangi risiko infeksi pada petugas kesehatan,
pasien dan masyarakat. Prinsip utama tindakan pencegahan umum adalah menjaga higiene sanitasi
individu dan ruangan serta sterilisasi peralatan, dengan cara sebagai berikut.
i. Mencuci tangan dengan air mengalir dan antiseptik.
ii. Menggunakan alat pelindung diri (APD).
iii. Menggunakan dan membuang jarum dan alat tajam dengan aman (hindari penutupan ulang,
terutama dengan dua tangan).
iv. Segera bersihkan percikan darah dan cairan tubuh.
v. Mendekontaminasi peralatan dan perlengkapan.
vi. Menggunakan sistem pembuangan yang aman untuk pengumpulan dan pembuangan limbah
medis dan non-medis.
vii. Mengelola bahan pakai ulang sesuai dengan standar.

3.3.2 Tata laksana pasca pajanan

Risiko terpajan infeksi HIV melalui tusukan jarum atau cara lainnya dapat terjadi pada lingkungan
dengan sarana pencegahan terbatas dan angka pajanan infeksi HIV cukup tinggi. Tata laksana pasca
pajanan dan ketersediaan profilaksis pasca pajanan (PPP) dapat mengurangi risiko penularan HIV di
tempat kerja pada petugas kesehatan. Selain itu tata laksana dan PPP dapat meningkatkan motivasi
petugas kesehatan untuk bekerja dengan orang yang terinfeksi HIV, di samping membantu
meningkatkan pemahaman tentang risiko terpajan infeksi HIV di tempat kerja. Risiko terpajan
adalah sebesar 0,2-0,4% untuk setiap pajanan.

PPP adalah pengobatan antiretroviral jangka pendek untuk menurunkan kemungkinan terjadinya
infeksi pasca pajanan, baik di tempat kerja atau melalui hubungan seksual. Dalam lingkup pelayanan

30
kesehatan, PPP merupakan bagian dari pelaksanaan paket kewaspadaan standar yang menekankan
terjadinya pajanan terhadap bahan menular. Hal-hal berikut perlu diperhatikan.
1. Pengobatan PPP, secara idealnya dimulai dalam dua jam sesudah pemaparan.
2. Jika ada penularan HIV, PPP dihentikan dan dilakukan tes ulang sesudah enam minggu, kemudian
tiga dan enam bulan.
3. Jika ada penularan HIV, diberikan konsultasi, dukungan dan anjuran untuk mendapatkan
pengobatan lebih lanjut.
4. Saat ini tidak terdapat regimen PPP yang baku, cukup mengikuti rejimen PPP yang berlaku.
5. Terapi dua atau tiga jenis obat direkomendasikan karena lebih efektif daripada satu jenis obat.

Keputusan untuk memberikan PPP didasarkan atas derajat dari pajanan terhadap HIV dan status HIV
dari sumber pajanan. Namun juga tergantung dari ketersediaan ARV. Untuk pajanan yang dicurigai
berasal dari pasien HIV maka dapat mengacu alur pada Bagan 6, yang terdiri dari empat tahap sebagai
berikut: i) Langkah 1: menentukan kode pajanan (KP); ii) Langkah 2: menentukan kode status HIV (KS);
iii) Langkah 3: menentukan pengobatan PPP sesuai dengan KP dan KS HIV dari sumber; iv) Langkah 4:
melakukan tes HIV pada petugas yang terpajan.

Bagan 6. Langkah 1: Alur untuk menentukan Kode Pajanan (KP) – diganti dengan kontribusi Dr Ilhami?

Apakah sumber pajanan berupa darah, cairan berdarah atau bahan lain yang berpotensi
menularkan infeksi (OPIM) atau alat kesehatan yang tercemar dari salah satu bahan
tersebut

Tidak
Ya

OPIM Darah atau cairan


Tidak perlu PPP
berdarah

Macam pajanan yang terjadi

Kulit yang kompromis Kulit yang utuh Pajanan perkutaneus


atau selaput mukosa

Volume Tidak perlu PPP Seberapa berat?

Sedikit (misalnya Banyak (misalnya be- Tidak berat Lebih berat (misalnya
satu tetes) berapa tetes percikan (misalnya jarum jarum berlubang yang
dalam waktu darah) dan/atau dalam solid atau goresan besar, tusukan yang
singkat waktu lama superfisial) dalam, darah terlihat di
alkes, jarum bekas
pasien)

KP 1 KP 2 KP 2 KP 3

31
Keterangan:
1. OPIM (other potentially infectious material): cairan semen/mani, sekret vagina, cairan serebrospinal, synovial,
pleura, pericardial, amnion dan jaringan.
2. Pajanan terhadap OPIM perlu ditelaah kasus per kasus. Pada umumnya substansi tubuh tersebut dianggap berisiko
rendah untuk menularkan infeksi HIV di sarana kesehatan. Setiap kontak langsung terhadap bahan mengandung
titer HIV tinggi di laboratorium penelitian atau sarana produksi dimasukkan dalam kelompok kecelakaan yang
memerlukan telaah klinis tentang perlunya PPP.
3. Kontak dengan kulit yang utuh pada umumnya tidak dianggap berisiko terhadap penularan HIV. Namun bila
pajanan tersebut berasal dari darah yang banyak (misalnya kulit yang cukup luas atau dalam waktu yang cukup
lama kontak dengan darah), maka harus dianggap berisiko terjadi penularan HIV.

Bagan 7. Langkah 2: Alur untuk menentukan Kode Status (KS)

Bagaimanakah status HIV dari sumber pajanan? Dan yang terpajan?

HIV (-) HIV (+) Tidak diketahui Tidak diketahui


statusnya sumbernya

Tidak perlu
PPP

Pajanan dengan titer Pajanan dengan titer tinggi, KS HIV tidak


rendah, misalnya misal AIDS lanjut, infeksi HIV tahu
asimtomatik dan CD4 primer, VL yang meningkat atau
tinggi tinggi, atau CD4 rendah

Pada umumnya
tidak perlu PEP
KS HIV 1 KS HIV 2

Keterangan:
1. Sumber pajanan dikatakan tidak terinfeksi HIV bila telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium yang
memberikan hasil negatif dari antibodi HIV, pemeriksaan PCR untuk HIV atau antigen HIV p24 atas spesimen yang
diambil pada saat atau dalam waktu yang dekat dengan pajanan dan tidak ada tanda-tanda penyakit seperti
infeksi HIV. Sumber disebut terinfeksi HIV apabila ada hasil pemeriksaan laboratorium yang menyatakan positif
adanya antibodi HIV, PCR HIV atau antigen HIV p24 atau diagnosis AIDS oleh dokter.
2. Contoh di atas dipakai untuk memperkirakan titer HIV dari sumber pajanan untuk tujuan menentukan regimen
PPP dan tidak menggambarkan kondisi klinis yang mungkin teramati. Titer yang tinggi (KS2) dari seseorang
sumber pajanan sering berhubungan dengan meningkatnya risiko penularan HIV, namun tidak boleh
mengabaikan kemungkinan penularan dari sumber yang memiliki titer HIV rendah.
3. PPP merupakan pilihan tidak mutlak dan harus diputuskan secara individual tergantung dari orang yang terpajan
dan keahlian dokternya. Namun bila terjadi di daerah dengan risiko tinggi HIV, dipertimbangkan pengobatan
dasar dengan dua obat PPP, dan bila sumber pajanan kemudian diketahuhi HIV negatif maka PPP harus
dihentikan.

32
Tabel 12. Langkah 3: Penilaian pajanan untuk pemberian profilaksis pasca pajanan HIV
Kode pajanan (KP) Kode status (KS) Anjuran pengobatan
1 1 (rendah)  Tidak dianjurkan obat
 Risiko toksisitas obat lebih tinggi dari risiko mendapatkan
infeksi HIV
1 2 (tinggi)  Pertimbangan AZT/3TC
 pajanan memiliki risiko yang perlu dipertimbangkan
2 1 (rendah)  Dianjurkan AZT/3TC.
 Kebanyakan pajanan masuk dalam katagori ini, namun
belum pernah ditemukan kenaikan risiko penularan
2 2 (tinggi) Dianjurkan AZT/3TC + evafirens/Lopinavir/ritonavir
3 1 atau 2 Dianjurkan AZT/3TC + evafirens/Lopinavir/ritonavir

Keterangan:
Anjuran pengobatan selama 4 minggu. Dosis yang diberikan AZT: 2 x sehari @300 mg; 3TC: 2 x sehari @150 mg oral;
EFV: 1 x sehari @600mg, malam; Lopinavir/Ritonafir: 2 x sehari @400/100 mg (4 kapsul/hari). Isi 1 kapsul
lopinavir/ritonavir (Aluvia): 200/50 mg.

Langkah 4: melakukan tes HIV pada petugas yang terpajan : Tes HIV pada petugas dilakukan segera
setelah terpajan, kemudian tiga dan enam bulan pasca pajanan untuk mengetahui apakah tertular
infeksi HIV.

33
BAB IV. JEJARING, ALUR PELAYANAN, PERAN DAN SISTEM RUJUKAN PPIA DAN SIFILIS

4.1 Jejaring dan alur pelayanan

Seperti halnya layanan kesehatan lain, layanan PPIA dan sifilis pada layanan antenatal merupakan
bagian dari layanan komprehensif dan berkesinambungan (LKB).

4.1.1 Rumah sakit rujukan ODHA

Sesuai dengan SK Menteri Kesehatan No. 452/XII/2012 sudah terdaftar sebanyak 358 rumah sakit (RS)
rujukan ODHA, yaitu RS yang sudah ditunjuk sebagai RS pemberi layanan ARV. Namun selain layanan
yang sudah terdaftar tersebut, juga terdapat fasyankes yang sudah melaksanakan pemberian layanan
ARV namun belum terdaftar. Fasyankes sekunder tersebut dinilai sudah mampu memberikan layanan
ARV, karena sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan, yaitu:
 memiliki kapasitas untuk memberikan tatalaksana klinis infeksi oportunistik pada pasien HIV dan
terapi ARV;
 dapat melayani jumlah ODHA yang cukup untuk berhimpun sebagai kelompok pendukung atau
penjangkau;
 mempunyai organisasi/kelompok kerja/tim HIV-AIDS dalam struktur organisasi RS;
 berjarak tidak terlalu jauh dari tempat tinggal ODHA.

Saat ini inisiasi awal pemberian ARV masih dilaksanakan pada tingkat RS, karena sebelum pasien
mendapatkan ARV perlu dinilai kondisinya, baik secara klinis maupun laboratories. Hal tersebut akan
menentukan kesiapan pasien dalam memulai pemberian ARV.

4.1.2 Layanan satelit ARV

Layanan satelit ARV adalah layanan yang diadakan atas dasar kebutuhan ODHA agar dapat
menggunakan layanan ARV di tempat yang dekat dengan tempat tinggalnya. Hal ini akan mengurangi
beban ODHA dalam masa pengobatan. Layanan satelit ARV terdiri atas RS pemerintah, RS swasta,
puskesmas maupun klinik yang merupakan jejaring dari RS rujukan ODHA. ODHA dapat mengambil
ARV pada layanan satelit terdekat.

ODHA dapat melakukan pengambilan obat di layanan satelit setelah memulai pengobatan di RS
rujukan. Pasien terlebih dahulu dinilai dalam hal kepatuhan minum obat dan adanya kemungkinan
reaksi pengobatan yang disebabkan pemakaian ARV pada awal pengobatan, yaitu sindroma
pemulihan kekebalan atau sindrom pulih imun. Setelah dipastikan tidak ada masalah tersebut, maka
ODHA dapat melakukan pengambilan ARV di layanan satelit ARV yang disepakati. Informasi mengenai
layanan satelit ini diberikan oleh RS rujukan tempat asal ODHA memulai pengobatan ARV.

4.1.3 Akselerasi layanan ARV

Layanan ARV di kemudian hari diharapkan dapat dimulai dan dilakukan pada tingkat layanan dasar
(puskesmas). Namun, karena tingkat kemampuan puskemas dalam memberikan layanan ARV
berbeda-beda, maka puskesmas dikelompokkan dalam beberapa tingkat sesuai dengan kemampuan
tenaga dan kelengkapan sarana/prasarana sebagai berikut.
 Puskesmas Tipe 1: mampu melakukan promosi, komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
terintegrasi pada layanan yang ada di puskesmas untuk HIV dan mampu memberikan layanan
IMS.

34
 Puskesmas Tipe 2: mampu melakukan promosi, KIE, upaya preventif HIV dan IMS, serta mampu
melakukan tes HIV dan membangun jejaring dengan layanan PDP untuk akses perawatan.
 Puskesmas Tipe 3 dengan perawatan: mampu melakukan pelayanan seperti pada Tipe 2 dan
mampu memulai atau melanjutkan pengobatan HIV, serta memiliki jejaring dengan rumah sakit
rujukan ARV.

4.2 Peran tiap pihak dalam jejaring pelayanan

Di fasilitas pelayanan kesehatan, pelayanan PPIA dan pencegahan sifilis kongenital dijalankan oleh
rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, polindes/posyandes, bidan desa serta bidan praktek
mandiri. Di tingkat masyarakat, pelayanan PPIA dijalankan oleh keluarga terdekat, kelompok
dukungan sebaya (KDS) ODHA, kader kesehatan, organisasi masyarakat ataupun lembaga swadaya
masyarakat (LSM), dengan dukungan pemerintah setempat ataupun swasta.

Tabel 13. Peran setiap pihak pada aktivitas PPIA dan pencegahan sifilis kongenital
BPM/Pustu/ Kader kese- Keluarga terdekat,
Rumah Puskesmas/
No Aktifitas Polindes/Pos- hatan, ormas kelompok dukungan
sakit klinik
kesdes dan LSM sebaya (KDS)
1 KIE V V V V V
2 a. Konseling pra dan V V V Memobilisasi ibu hamil untuk KTS di
pasca tes HIV dan sifilis fasilitas kesehatan atau mobile-KTS
b. Tes HIV dan sifilis V V -
Bila tak Rujuk
mampu, rujuk
3 Layanan KB V V V Edukasi Edukasi
4 Persiapan kehamilan V V V - Mengajak - Kegiatan
pasangan ibu penyuluhan PPIA;
5 Layanan antenatal
hamil untuk pendampingan ibu
 Pemberian ARV dan V V - terlibat aktif hamil dengan HIV
terapi sifilis selama masa - Perawatan berbasis
Bila tak Rujuk dan bantu kehamilan, rumah (keluarga)
mampu, rujuk pemantauan persalinan
dan nifas
 Infeksi oportunistik Edukasi, Edukasi, Edukasi, deteksi - Perawatan
pada infeksi HIV (IMS, diagnosis diagnosis dini dan berbasis
malaria, tuberkulosis) dan tata dan tata pemantauan masyarakat
laksana laksana
6 Persalinan aman
 Perencanaan dan V V V
konseling
 Per vaginam V V V
 Bedah sesar V - -
7 Pemberian makanan bayi V V V Edukasi pada ibu dan keluarga serta
pada ibu dengan HIV pendampingan pemberian makanan bayi
8 Dukungan medis V V V - Dampingan (kunjungan rumah,
lanjutan pada masa Pemantauan bantuan ekonomi)
nifas tata laksana - Mengaktifkan support group
lanjutan perempuan HIV
9 Dukungan psikososial V V V Menjadi teman/sahabat, menghilangkan
stigma dan diskriminasi
10 Catatan khusus PKMRS, Dukungan Penilaian - Layanan rujukan ke puskesmas atau
kunjungan terintegrasi perilaku RS untuk diagnosis, tata laksana dan
rumah, KIA/KB dan terhadap ibu dukungan medis lanjutan
edukasi menerima hamil yang - Pelatihan kader masyarakat tentang
masyarakat rujukan berkunjung PPIA
LSM/KDS

35
Peran tiap pihak dalam jejaring pelayanan PPIA yang terintegrasi dengan pelayanan KIA dapat dilihat
pada Tabel 13. RS rujukan ODHA dan fasyankes yang mempunyai kemampuan setara dapat
melakukan semua jenis pelayanan, seperti diuraikan dalam aktivitas 1-10. Puskesmas Tipe 2 dan 3
diharapkan mampu memberikan layanan satelit dalam jejaring pelayanan PPIA, dalam arti dapat
melakukan semua aktifitas sesuai dengan tingkatnya, tes HIV dan sifilis, serta mampu melanjutkan
pemberian ARV dan terapi sifilis dengan dukungan RS rujukan. Puskesmas Tipe 1 berperan sebagai
satelit yang belum mampu melakukan tes HIV dan sifilis, sehingga perannya lebih ke arah edukasi,
konseling, layanan KIA dasar, layanan terkait IMS dan rujukan.

Ketiga tipe puskesmas dan fasyankes yang berada dalam bimbingannya, seperti pustu dan polindes,
berperan dalam menemukan secara dini ibu hamil berisiko tertulari HIV, sifilis dan IMS lainnya,
sehingga mampu menganjurkan mereka untuk melakukan tes HIV dan sifilis di samping pemeriksaan
laboratorium rutin lainnya. Bagi fasyankes yang mempunyai kemampuan terbatas, maka untuk tes
HIV dan sifilis dirujuk ke fasyankes terdekat yang mampu melakukannya. Kader kesehatan dan
masyarakat diharapkan dapat berperan sebagai pendukung upaya pemerintah dalam upaya PPIA
dan pencegahan sifilis kongenital seperti yang dijelaskan pada Tabel 13.

4.3 Sistem rujukan

Sistem rujukan PPIA dan sifilis mengikuti tata rujukan yang berlaku vertikal dan horisontal mengikuti
alur rujukan timbal balik dari masyarakat ke fasilitas layanan kesehatan primer, sekunder, tersier dan
sebaliknya (Bagan 8). Rumah sakit di tingkat kabupaten/kota menjadi pusat rujukan layanan
komprehensif berkesinambungan (LKB). Pusat rujukan LKB didorong untuk membangun koordinasi
dan kolaborasi dari berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk pelayanan klinik, komunitas
ODHA dan keluarganya.

Bagan 8. Alur rujukan vertikal dan horisontal timbal balik


Alur rujukan Alur rujukan/komunikasi timbal balik

RS rujukan sekunder (Pusat/


Provinsi): Tatalaksana kasus
komplikasi dan layanan sub
spesialistik

RS rujukan pertama
(Pusat LKB):
Layanan komprehensif
dan fungsi koordinasi

Puskesmas

Bidan desa/bidan praktek


mandiri/pustu/polindes/
poskesdes

36
 Bidan desa/bidan praktek mandiri/pustu/polindes/poskesdes dapat melakukan rujukan ke
puskesmas atau langsung ke rumah sakit kabupaten/kota dalam keadaan emergensi.
 Bidan desa/bidan praktek mandiri/pustu/polindes/poskesdes dapat menerima rujukan balik
dari puskesmas/rumah sakit untuk membantu melakukan pemantauan kepatuhan minum
obat ARV dan layanan konseling terkait PPIA dan sifilis.
 Puskesmas melakukan rujukan ke rumah sakit kabupaten dan dapat menerima rujukan balik
dari rumah sakit untuk melakukan tata laksana PPIA dan sifilis sesuai dengan
sarana/prasarana yang ada.
 Rumah sakit rujukan tingkat kabupaten wajib melakukan komunikasi dan rujukan kembali ke
puskesmas dan jaringannya untuk tatalaksana kasus secara komprehensif berkelanjutan.

37
BAB V. PENCATATAN DAN PELAPORAN

Dalam melakukan pencatatan dan pelaporan, diupayakan untuk menggunakan formulir yang telah
ada, misalnya Kohort Ibu dan Kohort Bayi yang telah tersedia. Pencatatan dan pelaporan PPIA dan
sifilis dilaksanakan secara berjenjang ke layanan strata di atasnya, sebagai berikut.
1. Hasil layanan PPIA dan sifilis pada ibu hamil di unit pelayanan kesehatan dicatat pada Kartu Ibu
dan Buku Kohort Ibu.
2. Pencatatan dan pelaporan di tingkat puskesmas:
 bidan koordinator melakukan rekapitulasi data berdasarkan laporan dari bidan di klinik KIA
puskesmas, pustu dan polindes/poskesdes dan berkoordinasi dengan pengelola
IMS/Pencegahan Penyakit (P2).
 Pengelola program IMS/P2 puskesmas melakukan input data layanan PPIA dan sifilis yang
berasal dari formulir pencatatan pada Kartu Ibu dan Buku Kohort Ibu ke dalam format
pelaporan yang sudah tersedia/aplikasi SIHA (sistem informasi HIV dan AIDS).
3. Pencatatan dan pelaporan tingkat kabupaten/kota:
 Pengelola program IMS/P2 dan KIA memonitor data layanan PPIA dan sifilis yang telah dicatat
oleh fasyankes di wilayah kabupaten/kota ke dalam format pelaporan yang sudah
tersedia/aplikasi SIHA.
4. Pencatatan dan pelaporan tingkat provinsi:
 Pengelola program IMS/P2 dan KIA memonitor data layanan PPIA dan sifilis yang telah dicatat
oleh fasyankes di seluruh wilayah kabupaten/kota ke dalam format pelaporan yang sudah
tersedia/aplikasi SIHA.

Pelaporan hasil pelayanan PPIA dan sifilis dilakukan setiap bulan, dengan ketentuan:
 dari puskesmas ke kabupaten/kota paling lambat tanggal 5.
 dari kabupaten/kota ke provinsi paling lambat tanggal 10.
 dari provinsi ke pusat paling lambat tanggal 15.

Bagan 9. Alur Pelaporan

Ditjen P2 PL cq Ditjen Bina Gizi dan


Direktur P2M dan
KIA cq Dit Bina Kes
Ditjen BUK cq Dit
Ibu
BUK Rujukan

Rumah Pengelola Program KIA


Pengelola Program
sakit prov Provinsi
IMS/P2 Provinsi
SIHA Alur pelaporan

Rumah Pengelola Program Pengelola Program KIA


sakit IMS/P2 Kab/Kota Kab/Kota
kab/kota Koordinasi
SIHA F1, F6
SIHA
Pengelola Program Bidan Koordinator
IMS/P2 Puskesmas Berbagi data: Puskesmas
Data bumil, bumil HIV dan sifilis,
bayi HIV dan sifilis

BPS/Klinik Bidan di Bidan di pustu Poli KIA


Swasta desa Puskesmas

38
Daftar Pustaka

1. Dewan Pertimbangan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indoensia. Panduan etika dan profesi obstetri
dan ginekologi di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2011.
2. Departemen Kesehatan RI, Direktrorak Bina Pelayanan Medik. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No.
241/Menkes/SK/IV/2006. Standar pelayanan laboratorium kesehatan pemeriksa HIV dan infeksi oportunis.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia-WHO. Pedoman eliminasi sifilis kongenital melalui skrining
pada ibu hamil. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2009.
4. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Kementerian Kesehatan RI.
Pedoman Nasional Manajemen Program HIV dan AIDS. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2010
5. Kementerian Kesehatan RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Pedoman teknis
pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2010.
6. Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat. Pedoman pelayanan antenatal
terpadu. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2010.
7. Kementerian Kesehatan RI-Ikatan Dokter Anak Indonesia-WHO. Buku saku. Pelayanan kesehatan anak di
rumah sakit. Pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta: WHO,
Indonesia, 2008.
8. Kementerian Kesehatan RI. Modul pelatihan kelas dokter. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2011.
9. Kementerian Kesehatan RI. Modul Pelatihan. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) bagi tenaga
kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2011
10. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI, 2011
11. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman penerapan layanan komprehensif HIV-IMS berkesinambungan.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2012.
12. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk teknis pengisian form manual pencatatan program pengendalian
HIV/AIDS dan IMS. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2012
13. Kementerian Kesehatan RI. Tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas kesehatan. Pelatihan bagi petugas
kesehatan. Pedoman penerapan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2011.
14. WHO. Guidelines on HIV and infant feeding 2010. Principles and recommedations for infant feeding in the
context of HIV and a summary of evidence. Geneva: WHO, 2010
15. WHO Regional Office for South-east Asia. Management of sexually transmitted infections. Regional
guidelines. New Delhi: WHO SEARO, 2011.
16. WHO-Unicef. Infant and young child feeding counselling: an integrated course. Geneva: WHO, 2006.
17. WHO. Antiretroviral therapy for HIV infection in infants and children: towards universal access.
Recommendation for a public health approach, 2010 revision. Geneva: WHO, 2010.
18. WHO. Antiretroviral drugs for treating pregnant women and preventing HIV infection in infants.
Recommendation for a public health approcah, 2010 revision. Geneva: WHO, 2010.
19. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Tata Laksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di Puskesmas. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI, 2013.

39
Lampiran 1. TES HIV ATAS INISIATIF PETUGAS KESEHATAN DAN KONSELING (TIPK)

TIPK adalah tes HIV dan konseling, yang dilakukan atas inisiatif pemberi pelayanan kesehatan,
kepada pasien untuk kepentingan kesehatan dan pengobatannya. TIPK dianjurkan sebagai bagian
dari standar pelayanan pada fasyankes dengan Bagan Alur seperti di bawah ini. TIPK dilaksanakan
dengan memperhatikan dengan prinsip 3C (confidential, consent dan counseling); dan 2R
(recording-reporting dan referral).

Bagan Alur TIPK

Kontak awal dan informasi pra tes


Tenaga kesehatan melakukan pemeriksaan dan menginformasikan:
a. Kondisi kesehatan ibu hamil
b. Hal-hal penting antara lain perlunya pemeriksaan penunjang diagnosis,
termasuk tes HIV-AIDS dan sifilis.
c. Informasi penularan, pencegahan dan manfaat pemeriksaan darah
termasuk untuk HIV dan sifilis
d. Petugas menyebutkan pemeriksaan laboratorium yang akan mencakup:
pemeriksaan darah: golongan darah, Hb, Ht, Leuko, thrombosit, diff count,
LED, proteinuri, HIV, sifilis , malaria (derah endemis), dll

Pasien menolak pemeriksaan


Pasien setuju tes  Ulangi pentingnya pemeriksaan tes
(dengan informed consent)  Mintakan pernyataan tertulis penolakan sebagian atau seluruh pemeriksaan
penunjang yang diminta, tertulis di rekam medis atau form terpisah (Option Out)
 Berikan tatalaksana tuntas, sampaikan rencana kontrol kembali
Tes cepat HIV dan sifilis  Ulangi pemberian informasi pada kunjungan berikutnya, bila masih menolak
dilaksanakan oleh petugas perkenalkan KTS/VCT
terlatih atau laboratorium

Petugas menyampaikan hasil tes

Ibu hamil dengan hasil tes reaktif


 Jelaskan hasil pemeriksaan laboratorium dan aspek kerahasiaan
Bumil dengan tes non-reaktif  Pemeriksaan kehamilan secara teratur
 Jelaskan hasil pemeriksaan laboratorium  Informasikan mengenai:
 Berikan pesan pencegahan secara singkat - pengobatan kotrimoksazol dan ARV pada ibu
 Perkenalkan KTS untuk pencegahan lanjut - pengobatan profilaskis kotrimoksazol dan ARV pada bayi
 Anjurkan pasangan agar mau dites HIV dan
sifilis, karena ada kemungkinan positf
- pengobatan sifilis pada Ibu
- pemerikasaan diagnostik HIV dan sifilis pada bayi
 Konseling tatalaksana pemberian makanan bayi
 Konseling persalinan aman
 Pengaturan kehamilan dan KB
Rujukan  Pesan pencegahan pasangan, hidup positif, pemakaian kondom konsisten
Beri informasi klinik KTS terdekat  Informasikan sumber dukungan yang tersedia di masyarakat, seperti KDS,
LSM, dukungan sosial, keputusan pada pasien
 Edukasi dan anjurkan pasangan

Rujukan
Beri surat rujukan ke rumah sakit PDP

40
Prinsip tes HIV dan konseling dalam PPIA

1. Rahasia/konfidensialitas (Permenkes 269, Tahun 2008 tentang Rekam Medis).


 Semua informasi pasien tercatat dalam rekam medis, disimpan secara rahasia demi
kepentingan pasien sesuai dengan ketentuan.
 Informasi hanya dibagi dengan petugas kesehatan medis dan non-medis yang terlibat
langsung menangani dan hanya atas dasar kepentingan medis serta tidak untuk
diperbincangkan secara luas.
 Semua catatan medis disimpan dalam tempat yang aman sesuai ketentuan.
 Isi catatan medis adalah milik pasien, sekalipun berkasnya milik fasilitas layanan kesehatan,
sehingga konfidensialitas merupakan hak pasien

2. Persetujuan setelah mendapat informasi (informed consent) – Permenkes 290, Tahun 2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan Kepmenkes 241, Tahun 2006 tentang Standar
Pelayanan Laboratorium HIV dan Infeksi Oportunistik.
 Mendapatkan informasi medis adalah hak pasien.
 Informasi diberikan secara mudah dan sederhana, menjelaskan maksud, keuntungan dan
kerugian pemeriksaan penunjang diagnosis.
 Menegaskan pemahaman mengenai proses dan cara tes HIV yang sama seperti pemeriksaan
laboratorium darah lainnya dan demi kepentingan pasien.
 Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
 Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan setelah pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan. Setiap
tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis
yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Tindakan kedokteran yang
tidak termasuk dalam risiko tinggi dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
 Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya
setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Penolakan
tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis.
 Menghargai keputusan klien mengenai persetujuan pemeriksaan laboratorium.

3. Konseling.
 Konseling adalah proses komunikasi petugas kesehatan dengan pasien untuk menjelaskan
pentingnya tes HIV, namun keputusan tetap ada pada pasien.
 Konseling HIV dapat diberikan oleh semua tenaga kesehatan.
 Konseling HIV dilakukan secara khusus karena masih tingginya stigma dan diskriminasi.
 Konseling pra-tes bersifat informatif secara singkat dan sederhana dapat dilakukan secara
individu/pasangan/berkelompok.
 Konseling pasca-tes bersifat individual atau pasangan.
 Konseling pasca-tes HIV yang negatif dapat dilakukan secara individu atau pasangan oleh
semua tenaga kesehatan dan bila perlu dirujuk kepada tim PDP (perawatan, dukungan dan
pengobatan).
 Konseling pasca-tes HIV yang hasilnya positif dapat diberikan oleh tenaga kesehatan yang
menginisiasi atau bila perlu dirujuk kepada tim PDP atau konselor terlatih.

4. Refereral.
Persyaratan penting lainya bagi penerapan TIPK adalah tersedianya rujukan ke fasilitas layanan
pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan bagi pasien termasuk ibu hamil dengan HIV.

5. Pencatatan dan pelaporan.


Hasil pelayanan PPIA harus dicatat dan dilaporkan dengan menjamin kerahasiaan.

41
Proses pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium termasuk tes HIV

Hal ini diatur oleh Permenkes No 411, Tahun 2010 tentang Laboratorium Klinik, yang menetapkan
hal-hal sebagai berikut dan permenkes no 21 tentang penanggulangan HIV dan AIDS
1. Pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai dengan standar profesional
pengambilan darah.
2. Petugas laboratorium harus melakukan kaidah praktik laboratorium yang benar, menjaga mutu
pemeriksaan dan kerahasiaan pasien serta menghindari kesalahan teknis/manusia/administratif.
3. Pemeriksaan darah dilakukan seperti tercantum dalam permintaan tertulis, mengikuti strategi
kebijakan nasional, termasuk untuk tes HIV untuk diagnosis.
4. Di fasilitas yang lengkap, hasil pemeriksaan termasuk tes HIV harus diverifikasi oleh dokter
patologi klinis, dokter terlatih atau dokter penanggung-jawab laboratorium.
5. Pastikan seluruh hasil pemeriksaan laboratorium telah dilakukan dengan tepat, dicatat dan
didokumentasikan dengan baik dengan kesesuaian kode nomor pengenal permintaan, sampel
darah, jenis pemeriksaan yang dimintakan serta hasil pemeriksaannya termasuk HIV dan IMS.
6. Seluruh hasil pemeriksaan laboratorium diberikan dalam amplop tertutup (bersegel) kepada
pasien/keluarganya untuk diserahkan kepada yang memintakan pemeriksaan laboratorium
tersebut, baik dokter, bidan, perawat atau konselor fasyankes sesuai dengan ketentuan.
7. Tes HIV untuk diagnosis dilakukan oleh tenaga medis atau teknisi laboratorium terlatih. Dalam hal
tidak ada tenaga medis dan atau teknisi laboratorium bidan atau perawat terlatih dapat
melakukan tes HIV.

42
Lampiran 2. BAGAN ALUR TES HIV UNTUK DIAGNOSTIK (PEMERIKSAAN ANTIBODI TERHADAP HIV)

A1
(Pemeriksaan 1)

A1 positiff A1 negatif

A2
(Pemeriksaan 2) Laporkan sebagai
“non-reaktif”
A1 Pos, A2 pos A1 Pos, A2 neg

Ulangi A1 & A2
bersamaan

A1 pos, A2 pos A1 pos, A2 neg A1 neg, A2 neg

A3 Laporkan sebagai
(Pemeriksaan 3) “non-reaktif”

A1 pos, A2 pos, A3 neg A1 pos, A2 neg, A3 neg


A1 pos,A2 pos, A3 pos
atau
A1 pos, A2 neg, A3 pos

Laporkan sebagai
“Reaktif” Risiko tinggi Risiko rendah
Laporkan sebagai
“indeterminate”

Laporkan sebagai Laporkan sebagai


“indeterminate” “non-reaktif”

Keterangan:

A1, A2 dan A3 merupakan tes HIV serial dengan jenis pemeriksaan antibodi HIV yang menggunakan prinsip tes
yang berbeda. Tujuannya untuk menegakkan diagnosis HIV. Tes dilakukan sesuai dengan kemampuan dan
kriteria laboratorium, yang meliputi sumberdaya manusia, sarana, prasarana, termasuk peralatan, bahan dan
reagen.

Kriteria pemilihan jenis tes HIV sebagai berikut.


1. Reagensia yang dipilih untuk dipakai pada tiap strategi pemeriksaan didasarkan pada sensitivitas dan
spesifisitas tiap jenis reagensia.
2. Reagensia yang dipakai pada pemeriksaan pertama adalah reagensia yang memiliki sensitivitas tertinggi,
99 %; sedangkan reagensia yang dipakai pada pemeriksaan kedua memiliki spesifisitas  98% serta lebih

43
tinggi dari reagensia pertama; dan reagensia yang dipakai pada pemeriksaan ketiga memiliki spesifisitas
99% serta lebih tinggi dari reagensia kedua.
3. Reagensia pertama, kedua dan ketiga yang dipakai pada strategi ini harus memiliki asal antigen dan/atau
prinsip tes yang berbeda.
4. Kombinasi yang dapat dipakai adalah kombinasi dengan jumlah hasil pemeriksaan yang indeterminate
(meragukan) atau tidak sesuai (discordant) pada ketiga pemeriksaan  5 %.
5. Sensitivitas dan spesifisitas adalah hasil evaluasi Laboratorium Rujukan Nasional. Reagen yang digunakan
harus sudah teregistrasi di Ditjen Binfar dan Alkes.
6. Tes mudah dilakukan, petugas laboratorium mampu menggunakan tes tersebut dan kondisi infrastruktur
memadai.
7. Tersedianya sampel yang akan dikerjakan, misalnya serum, plasma, whole blood, dried blood spot (DBS),
atau cairan tubuh lainnya.
8. Ketersediaan kontrol tes; bila ada kit yang menyediakan kontrol tes akan lebih baik.
9. Jumlah tes dalam tiap kit.
10. Masa kadaluarsa tiap kit perlu diperhatikan: masa kadaluarsa yang lebih panjang akan lebih dipilih
dibandingkan dengan masa kadaluarsa yang singkat.
11. Kemungkinan yang terjadi selama penyimpanan dan penanganan selama pengiriman.
12. Ketersediaan sumber daya: perlu disesuaikan dengan ketersediaan biaya, tempat penyimpanan dan waktu
yang diperlukan sampai reagen diterima.
13. Waktu yang dibutuhkan dalam setiap tes: jika diperlukan hasil yang cepat dalam pemeriksaan dan hanya
sedikit sampel yang diperiksa, maka metode rapid test menjadi pilihan, tetapi jika sampel yang diperiksa
banyak, maka metode EIA menjadi pilihan.

Cara pelaporan hasil

 Pada laporan hasil pemeriksaan anti-HIV dituliskan hasil pemeriksaan tiap-tiap tahap
pemeriksaan (Tes 1, 2 dan 3), diikuti dengan kesimpulan akhir pemeriksaan yaitu “reaktif”, “non-
reaktif atau “indeterminate (meragukan)” .
 Bila hasil pemeriksaan pertama “non-reaktif”, maka pada tes kedua dan ketiga dituliskan “tidak
dikerjakan”, diikuti dengan kesimpulan akhir sebagai “non-reaktif”.
 Kesimpulan akhir pemeriksaan sebaiknya dituliskan sebagai “reaktif” (pengganti istilah “positif”)
dan “non-reaktif” (pengganti istilah “negatif”).

Hasil akhir pemeriksaan tes HIV sebagai berikut.


1. Hasil reaktif.
Apabila pada hasil tes pertama positif, dilanjutkan tes kedua tetap positif dan tes ketiga tetap
positif, hasil akhirnya adalah positif dan dilaporkan sebagai “reaktif”.
2. Hasil non-reaktif.
Apabila pada hasil tes pertama negatif, atau positif, tes kedua hasilnya indeterminate dan hasil
tes ketiga negatif, maka dilaporkan sebagai “non-reaktif”.
3. Hasil indeterminate (meragukan).
Apabila pada pemeriksaan dengan tes serial dijumpai hasil positif dan negatif (misalnya dua kali
positif atau dua kali negatif), maka dilaporkan sebagai “indeterminate”. Selanjutnya, tes perlu
diulang dengan spesimen baru setelah dua minggu, sebulan, tiga bulan, enam bulan dan setahun.
Bila sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan faktor risiko rendah, hasil dapat
dinyatakan sebagai “non-reaktif”.

44
Lampiran 3. JENIS ANTIRETROVIRAL YANG TERSEDIA DI INDONESIA

Golongan Nama generik Singkatan Nama dagang Sediaan


Nucleoside reverse Zidovudin AZT, ZDV Retrovir, Zidovex, Kapsul/tablet 300 mg; kapsul
transcriptase Reviral 100 mg
inhibitor (NRTI) Lamivudin 3TC Epivir, Lamivox, Hiviral Tablet 150 mg; larutan 10
mg/ml; tablet 150 mg
Stavudin d4T Zerit, Stavex Kapsul 30 mg, 40 mg
Didanosin ddI Videx Tablet kunyah 100 mg
Non nucleoside Nevirapin NVP Viramune, Nevirex Tablet 200 mg
reverse
transcriptase Efavirens EFV Stocrin, Efavir Tablet 600 mg
inhibitor (NNRTI)
Protease inhibitor (PI) Nelfinavir NVF Viracept, Nelvex Tablet 250 mg
Lopinavir/ LPV/r Alluvia, Kaletra Tablet: 200mg lopinavir, 50
ritonavir mg ritonavir
Saquinavir SQV Tablet 200 mg, 500 mg
Koformulasi AZT dan 3TC Combivir, Zidovex-L, AZT 300 mg + 3TC 150 mg
Duviral
AZT, 3TC dan Zidovex-LN  AZT 300 mg + 3TC 150 mg
NVP + NVP 200 mg
Triviral  AZT 300 mg + 3TC 150 mg
+ NVP 200 mg

Beberapa sifat farmakologi ARV

Zidovudin (AZT, ZDV)


1. Cepat diserap sepenuhnya dengan diminum.
2. Dampak Zidovudin pada prenatal dan neonatal masih dalam batas kewajaran.
3. Terjadi anemia ringan, namun biasanya sembuh ketika pengobatan selesai.
4. Dapat diminum dengan atau tanpa makan terlebih dahulu.

Nevirapine (NVP)
1. Cepat diserap sepenuhnya dengan diminum dan dapat melewati sawar plasenta dengan cepat.
2. Paruh umur yang panjang menguntungkan sang bayi.
3. Dapat diminum dengan atau tanpa makan terlebih dahulu.

Lamivudine (3TC)
1. Cepat diserap sepenuhnya dengan diminum.
2. Dapat diminum dengan obat lainnya yang mengobati gejala yang mirip dengan HIV.
3. Dapat diminum dengan atau tanpa makan terlebih dahulu.

45
Lampiran 4. ALTERNATIF PEMBERIAN/PENGGANTI ASI

A. ASI perah dipanaskan

Memanaskan ASI dapat membebaskannya dari HIV aktif, selain tetap aman, bergizi, mudah
diperoleh dan memberikan perlindungan terhadap infeksi. Proses pemanasan ASI menurunkan
beberapa faktor pelindung, namun faktor pelindung tersebut tetap ada. Memerah kemudian
menyimpan dan memanaskan ASI sebelum diberikan dapat bermanfaat selama masa risiko tinggi,
misalnya pada bayi berat lahir rendah atau bayi prematur, selama episode mastitis atau sariawan
pada bayi, dan selama proses pemberhentian menyusui secara langsung, atau untuk menambah zat-
zat gizi terhadap makanan lain setelah bayi berumur lebih dari enam bulan.

Ibu dengan HIV dapat mempertimbangkan untuk memberikan ASI peras yang dipanaskan pada
situasi berikut:
 Jika bayi: berat lahir rendah, sakit, atau tidak bisa menyusui.
 Jika ibu sakit, sementara waktu tidak dapat menyusui, atau sedang mengalami masalah pada
payudara (misalnya mastitis, puting lecet/luka).
 Bayi dalam masa persiapan penyapihan.
 ARV untuk sementara waktu tidak tersedia.

Ada dua metode sederhana, yaitu:


1. Pemanasan ASI dengan cara cepat (flash-heating).
Letakkan ASI perah pada wadah terbuka yang berbahan gelas di dalam panci yang sudah berisi
air dan panaskan panci di atas api sampai air mendidih. Matikan api bila air sudah mendidih,
angkat segera ASI perah dari panci. Tutup dan biarkan ASI berangsur-angsur menjadi dingin.
2. Pasteurisasi cara Pretoria.
Rebus air dalam wadah (panci) sampai mendidih dan angkat panci, matikan apinya. Letakan ASI
perah dalam tempat yang berbahan gelas, tutup, kemudian letakkan dalam air panas yang sudah
dididihkan tersebut selama 20 menit, lalu angkat dan biarkan dingin.

Pada prinsipnya kedua metode tersebut adalah sama, akan tetapi pada metode kedua ibu perlu
mengetahui dan mematuhi secara tepat waktu yang diperlukan untuk meletakkan ASI perah dalam
air panas yang sudah dididihkan, yaitu selama 20 menit, jadi diperlukan alat bantu berupa jam (jam
tangan atau jam dinding). Untuk ibu-ibu yang kesulitan mematuhi waktu karena tidak mempunyai
jam tangan/dinding, maka dipilih metode pertama.

Faktor penting untuk memberikan ASI perah yang dipanaskan secara aman adalah:
1. Akses air bersih yang ada secara terus-menerus.
2. Bahan bakar yang cukup.
3. Penghasilan yang tetap yang dapat dikontrol oleh ibu.
4. Kulkas Jika ARV untuk sementara waktu tidak tersedia.

B. Disusui oleh ibu lain yang tidak terinfeksi HIV/ASI donor

Syarat disusui oleh ibu lain yang tidak terinfeksi HIV /ASI donor:
1. Ada permintaan ibu kandung atau keluarga bayi yang bersangkutan.
2. Identitas dan alamat pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh ibu/keluarga bayi penerima ASI.
3. Persetujuan dari pendonor ASI setelah mengetahui identitas bayi yang diberi ASI.
4. Pendonor ASI dalam kondisi kesehatan baik dan tidak mempunyai indikasi medis yang menjadi
kontraindikasi pemberian ASI.
5. ASI tidak diperjualbelikan.

46
C. Susu formula pabrikan

Persiapan pemberian susu formula pabrikan untuk makanan pengganti adalah sebagai berikut.
1. Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Pastikan semua peralatan (gelas, sendok, gelas
pengukur) sudah dicuci bersih dan kering.
2. Air direbus hingga mendidih seluruh permukaanya selama setidaknya 1-2 detik.
3. Gelas pengukur digunakan untuk mengukur jumlah air yang diperlukan dan sendok susu dalam
kemasan susu formula digunakan untuk mengambil dan mengukur jumlah susu formula. Untuk
satu sendok susu formula dibutuhkan 30 ml air.
4. Jumlah susu formula yang diperlukan disiapkan, lalu ditambahkan air mendidih.
5. Susu disiapkan hanya untuk sekali minum, kecuali bila tersedia kulkas.
6. Susu formula diberikan kepada bayi dengan menggunakan cangkir. Susu yang tersisa tidak
diminumkan kepada bayi.
7. Setelah selesai, semua peralatan dicuci dengan bersih dan disimpan di wadah tertutup.

Tabel 1. Perkiraan jumlah susu formula untuk bayi


Usia bayi Frekuensi minum per hari Volume susu formula tiap kali minum
0-1 bulan 8 60 ml (bertahap, dimulai dari 30 ml)
1-2 bulan 7 90 ml
2-4 bulan 6 120 ml
4-6 bulan 6 150 ml

Informasi lebih lengkap dapat ditemukan dalam materi pelatihan “Infant and young child feeding
counselling: An integrated course”, dan di “WHO Guideline on the Safe Preparation of Infant
Formula”.

47
Lampiran 5. EVALUASI DAN MONITORING PASIEN SIFILIS DAN PENANGANAN SYOK ANAFILAKSIS

Evaluasi dan monitoring pasien sifilis

Pasien dengan sifilis dini dan telah diterapi dengan adekuat harus dievaluasi secara klinis dan
serologis satu bulan setelah terapi, dan tiap 3 bulan selama satu tahun pertama (bulan ke 1, 3, 6, 9,
12) dan setiap enam bulan di tahun kedua (bulan ke-18 dan -24).

Tes TPHA dan titer RPR harus dilakukan pada:


 Satu bulan setelah terapi, titer RPR diperlukan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi dan
mendeteksi infeksi ulang (reinfeksi). Terapi dianggap berhasil jika titer RPR turun dua tahap
(misal dari 1:32 menjadi 1:8). Jika titer tidak turun atau malah naik, kemungkinan terjadi
reinfeksi dan ulangi terapi.
 Tiga, enam dan 12 bulan setelah terapi. Jika titer RPR tetap sama atau bahkan turun, terapi
dianggap berhasil. Pasien cukup diobservasi. Jika titer RPR meningkat, obati pasien sebagai
infeksi baru dan ulangi terapi.

Pada semua stadium, ulangi terapi jika:


- terdapat gejala klinis sifilis;
- terdapat peningkatan titer RPR (misal dari 1:4 menjadi 1:8).

Semua pasangan seks pasien sifilis perlu diskrining sifilis

Penanganan syok anafilaksis

Semua pasien sifilis harus diterapi dengan injeksi benzatin benzylpenicillin, kecuali jika terdapat
riwayat reaksi alergi terhadap antibiotik golongan penisilin (anafilaksis, angioderma, urtikaria,
bronkospasme) atau jika timbul reaksi pada tes alergi penisilin (skin test)

Dalam anamnesis, petugas kesehatan harus menanyakan riwayat alergi terhadap antibiotik golongan
penisilin. Beberapa pertanyaan lebih lanjut untuk menggali riwayat alergi:
 Reaksi alergi terhadap obat tersebut terjadi saat usia pasien berapa?
 Bagaimana bentuk reaksi alerginya?
 Berapa lama reaksi alergi timbul setelah terapi dimulai?
 Bagaimana cara pemberian terapi (injeksi atau per oral atau lainnya)?
 Obat lain apa saja yang juga digunakan saat itu?
 Apa yang terjadi setelah terapi dengan penisilin dihentikan?
 Apakah pasien pernah menggunakan antibiotik lain dalam golongan yang sama (misalnya:
amoksisilin, ampisilin atau sefalosporin) dan, jika pernah, apakah timbul reaksi alergi juga?

Reaksi alergi berupa anafilaksis, angioderma, urtikaria, bercak merah yang gatal, dan bronkospasme
merupakan reaksi yang spesifik sebagai tanda alergi. Tanda klinis eritema makopapular, gangguan
gastrointestinal atau reaksi lain tidak bersifat prediktif terhadap alergi.

Perlu diperhatikan agar tidak memberikan terapi penisilin jika pasien sedang:
 menderita penyakit akut (gejala seperti flu, pilek);
 mengalami gangguan kulit – bercak merah yang gatal;
 mengalami sesak nafas dengan wheezing (mengi)/tanda-tanda asma.

48
Tes kulit untuk mendeteksi reaksi alergi/skin test

Untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis, dapat dilakukan tes kulit. Cara
melaksanakan tes kulit sebagai berikut.
1. Larutkan bubuk benzatin benzyl penicilin 2,4 juta IU dengan 10 cc aqua bidest.
2. Ambil satu cc larutan, menggunakan spuit yang biasa digunakan untuk tes mantoux.
3. Buang isi spuit, sampai tersisa 0,2 cc saja di dalam spuit.
4. Suntikkan secara intradermal.
5. Beri tanda/lingkari daerah yang disuntik.
6. Tunggu 15 menit, lihat apakah ada peningkatan diameter pembengkakan kulit.
7. Jika terjadi peningkatan pembengkakan lebih dari 3 mm, dapat diinterpretasikan bahwa pasien
alergi terhadap penisilin.
Tes kulit ini sebaiknya dilakukan setiap akan memberikan terapi injeksi benzatin benzylpenisilin.

Semua tempat layanan kesehatan yang memberikan terapi antibiotik apapun (tidak terbatas hanya
penisilin) dengan injeksi intramuskular, perlu menyiapkan peralatan kedaruratan medik yang
memadai untuk menangani reaksi alergi atau syok anafilaksis secara adekuat.

Peralatan dan obat-obatan esensial yang disediakan untuk penanganan syok anafilaksis adalah:
 Aqueous adrenaline (epinephrine) pengenceran1:1000 untuk injeksi.
 Antihistamine injeksi dan per oral (misalnya difenhidramin dan klorfeniramin).
 Hidrokortison injeksi.
 Ambu bag untuk ventilasi.
 Tabung dan selang oksigen.

Tanda-tanda reaksi anafilaksis:


 Syok: tekanan darah sangat rendah, denyut nadi cepat dan lemah, kesulitan bernafas.
 Kemerahan yang gatal pada kulit (rash)

Pasien yang benar-benar alergi terhadap penisilin dapat mengalami syok pada saat menjalani skin test.
Petugas harus sudah siap menangani syok pada saat melakukan skin test.

Desensitisasi

Bila hasil uji kulit positif, berarti pasien alergi terhadap Penisilin. Desensitisasi dapat dilakukan pada
ibu hamil. Desentisisasi dapat dilakukan secara oral maupun intra vena, meskipun kedua cara ini
belum pernah dibandingkan, desentisasi secara oral di anggap lebih aman dan mudah dilakukan.
Desensitisasi harus dilakukan di rumah sakit karena dapat terjadi reaksi alergi yang serius, sehingga
harus selalu tersedia adrenalin dan sarana resusitasi.

Desensitisasi dilakukan dalam waktu singkat, berdasarkan peningkatan dosis secara cepat, misalnya
setiap 15 menit, diawali dengan dosis yang diencerkan dan diakhiri dengan pengenceran yang sama
dengan yang akan digunakan untuk pengobatan. Biasanya dapat diselesaikan dalam waktu 4-12 jam
setelah pemberian dosis pertama. Setelah desensitisasi, pasien harus tetap diberikan penisilin
selama masa pengobatan.

Riwayat nekrolisis epidermis akibat obat (misalnya sindrom Steven-Jonhson dan variannya)
merupakan kontra indikasi absolut untuk desensitisasi. Bila timbul reaksi yang tidak mengancam
jiwa, dapat diberikan obat antihistamin oral, misalnya setirizin 10 mg.

49
Tabel di bawah ini menunjukkan contoh tentang cara desensitisasi
Tahap Waktu Dosis
1 0 menit 100 U oral (Penisilin V)
2 15 menit 220 U per oral
3 30 menit 400 U per oral
4 45 menit 800 U per oral
5 1 jam 1.600 U per oral
6 1 jam 15 menit 3.200 U per oral
7 1 jam 30 menit 6.400 U per oral
8 1 jam 45 menit 12.800 U per oral
9 2 jam 25.000 U per per oral
10 2 jam 15 menit 50.000 U per oral
11 2 jam 30 menit 100.000 U per oral
12 2 jam 45 menit 200.000 Uper oral
13 3 jam 400 U per oral
14 3 jam 15 menit 200.000 U subkutan (penisilin G)
15 3 jam 30 menit 400.000 U subkutan
16 3 jam 45 menit 800.000 U subkutan
17 4 jam 1000.000 U intramuskular

50

Anda mungkin juga menyukai