Anda di halaman 1dari 9

SATUAN ACARA PENYULUHAN

PENANGANAN STIGMA PADA PASIEN GANGGUAN JIWA


DI POLIKLINIK RSJD ARIF ZAINUDDIN SURAKARTA
PROFESI NERS UNSOED

DISUSUN OLEH:
TRI YANA (I4B017007)
SOFI MULYADEWI (I4B017045)
AYU FEBRIANI (I4B017018)
FAUZI SEPTIAN (I4B017035)
SITI KHIKBAYANI (I4B017008)
SENNA MAWADATUL F. (I4B017058)
RISKA TRI ISMUWARDANI (I4B017019)
NISWATUN (I4B017043)
DONI FITRI FIRDAUS (I4B017047)

SEMESTER II
STASE KEPERAWATAN JIWA

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2018
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

Pokok Bahasan : Penanganan Stigma Pada Pasien Gangguan Jiwa


Sub Pokok Bahasan : Pandangan negatif keluarga pada anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa
Sasaran : Pasien dan kelurga pasien yang mengalami gangguan jiwa
Target : Semua pasien dan keluarga yang berada di poliklinik RSJD Arif
Zainuddin Surakarta
Waktu : 07.00-07.45 WIB
Hari/Tanggal : Rabu, 18 April 2018
Tempat : di poliklinik RSJD Arif Zainuddin Surakarta
Penceramah : senna Mawadatul F.

A. Latar Belakang
Pasien dengan masalah gangguan jiwa pada saat sekarang sangatlah besar. Sekitar 80%
masyarakat Indonesia mengalami gangguan kejiwaan, dari tingkat yang ringan sampai yang
serius. Banyak sekali penyebab terjadinya gangguan jiwa antara lain adalah faktor ekonomi,
sosial masyarakat, kjepercayaan, masalah keluarga, dan perceraian. Disebutkan pula bahwa
penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya
dan orang lain, mengganggu ketertiban keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan
dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Sesorang dengan gangguan jiwa umumnya berhadapan dengan stigma, diskriminasi,
dan marginalisas. Berbagai istilah banyak ditemukan di masyarakat dan digunkan dalam
pemberitahuan media massa. Misalnya orang gila, sakit gila, sakit jiwa, semua ini bukan
istilah psikiatri dan sebaiknya dibiasakan untuk tidak menggunakannya. Stigmatisasi
gangguan jiwa sebenarnya merugikan masyarakat sendiri.karena mereka menjadi cenderung
menghindar daris egala sesuatu yang berurusan dengan gangguan jiwa. Seakan-akan mereka
yang terganggu jiwanya tergolong kelompok manusia lain yang lebih rendah martabatnya.
Yang dapat dijadikan bahan olok-olokan. Hal tersebut akan menghambat seseorang untuk m
menerima atay mengakui bahwa dirinya mengalami gangguan mental. Akibatnya
pertolongan atau terapi yang mungkin dapat dilakukan secara dini menjadi terlambat/ kita
lupa atau tidak ingin menerima kenyataan sebenarnya bahwa semua orang dapat mengalami
gangguan jiwa dalam berbagai taraf, misal keadaan depresi akibay setress berkepanjangan
sampai pada kekacauan pikiran.
Stigma menyebabkan mereka tidak mencari pengobatan yang sangat mereka butuhkan,
atau mereka akan mendapatkan pelayanan yang bermutu rendah. Bahkan, sebagian diantara
mereka dipasung dengan kondisi-kondisi yang sangat memprihatinkan seperti dipasung
dengan kayu., dirantai, dikandang, atau diasingkan ditengah hutan jauh dari masyarakat.
Dengan alasan karena mengganggu orang lain, membahayakan dirinya sendiri, jauh dari
akses pelayanan kesehatan, tidak mempunyai biaya serta ketidakpahaman tentang gangguan
jiwa (Kementrian Kesehatan, 2010). Dampak dari stigma, perlakuan salah, diskriminasi dan
pelayanan yang minimal membuat penyakit jiwa menjadi berkembang kronis dan sulit
sebuh. Penderita hadi tidak produktif sama sekali (Keliat, 2006).

B. Tujuan
1. Tujuan pembelajaran umum
Setelah dilakukan penyuluhan, diharapkan keluarga mampu memhami dan
memperlakukan penderita gangguan jiwa sesuai haknya (pasien mendapatkan pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau)

2. Tujuan pembelajaran khusus


Setelah melakukan penyuluhan diharapkan peserta penyuluhan mampu:
a. Pengertian stigma
b. Hak pasien gangguan jiwa
c. Dampak stigma pasien gangguan jiwa
d. Penanganan stima gangguan jiwa di keluarga
e. pencegahan

C. Metode
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Tanya jawab

D. Media dan alat


Leaflet penanganan stigma pada pasien gangguan jiwa, laptop dan LCD

E. Setting tempat (gambar/denah ruangan)

: keluarga pasien
: pasien
: penyuluh
: fasilitator
: Observer
: moderator
: pembimbing
: notulen
F. Materi (terlampir)

G. Pengorganisasian
1. Moderator: Doni Fitri F.
Uraian tugas:
a. Membuka acara
b. Memperkenalkan mahasiswa dan dosen pembimbing
c. Menjelaskan tujuan dan topik
d. Menjelaskan kontrak waktu
e. Menyerahkan jalannya penyuluhan kepada pemateri
f. Mengarahkan alur diskusi
g. Memimpin jalannya diskusi
h. Menutup acara
2. Observer: Fauzi septian
Uraian tugas:
a. Mengobservasi jalannya proses kegiatan
b. Mengamati perilaku verbal dan non verbal eserta selama kegiatan penyuluhan
berlangsung
c. Menyampaian evaluasi langsung kepada penyuluh yang dirasa tidak sesuai dengan
rencana penyuluhan
d. Memberikan penjelasan kepada pembimbing tentang evaluasi hasil penyuluhan
3. Fasilitator: Sofi, Yana, Riska, Niswatun, dan Siti Khibayani
Uraian tugas:
a. Memotivasi pasienagar berperan aktif
b. Membuat absensi penyuluhan
c. Mengantipasi suasana yang dapat mengganggu kegiatan penyuluhan
4. Notulen: Ayu Febriani
Uraian tugas:
a. Mencatat nama, alamat, dan jumlah peserta, serta menempatkan diri sehingga
memungkinkan dapat mengamankan jalannya proses penyuluhan
b. Mencatat pertanyaan yang diajukan peserta

H. Kegiatan penyuluhan
No. Uraian Kegiatan perawat Kegiatan klien
1. Persiapan Persiapan: Ruangan, alat, pasien,
(5 menit) 1. Menyiapkan alat-alat dan keluarga siap
2. Menyiapkan asien pasien dan keluarga
2. Pembukaan 1. Moderator memberi salam - Menjawab salam
(5 menit) 2. Moderator memperkenalkan anggota penyuluhan - Mendengarkan
3. Moderator memperkenalkan pembimbing klinik - Mendengarkan
dan/atau pembimbing klinik
4. Moderator menjelaskan tentang topik penyuluhan - Mendengarkan
5. Moderator menjelaskan dan membuat kontrak
waktu, tujuan, dan tata tertib penyuluhan - Menyimak penyuluh
3. Pelaksanaan 1. Penyampaian garis besar materi tentang - Mendengarkan
(30 menit) penanganan stima pada pasien gangguan jiwa, dengan penuh
meliputi: perhatian
a. Pengertian stigma
b. Hak pasien gangguan jiwa
c. Dampak stigma pasien gangguan jiwa
d. Penanganan stima gangguan jiwa di keluarga
e. pencegahan
2. Memberikan kesempatan peserta untu bertanya - Mengajukan
pertanyaan
3. Menjawab pertanyaan - Mendengarkan
4. Evaluasi (5 Penutup:
menit) 1. Menyimpulkan bersama peserta penyuluhan - Mengemukakan
pendapat
2. Memberikan reinforcememnt (+) - Mendengarkan dan
memperhatikan
3. Menutup dengan salam - Menjawab salam

I. Evaluasi
1. Evaluasi struktur
a. SAP sudah siap sesuai dengan masalah keperawatan
b. Alat dan media sesuai dengan rencana
c. Alat sudah dipersiapkan 5 menit sebelum penyuluhan dimulai
2. Evalusi proses
a. Pelaksanaan kegiatan sesuai dengan waktu yang direncanakan
b. Peserta penyuluhan mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
c. Peserta berperan aktif dalam jalannya diskusi
3. Evaluasi hasil
Setelah diberikan penyuluhan diharapkan 75% pasien mampu:
a. Menjelaskan Pengertian stigma
b. Menyebutkan hak pasien gangguan jiwa
c. Menyebutkan dampak stigma pasien gangguan jiwa
d. Mengetahui penanganan stima gangguan jiwa di keluarga
e. Mengetahui pencegahan
MATERI PENYULUHAN

1. Pengertian stigma
Stigma adalah menurut Hawari (2001) dalam kaitannya pada penderita skizofrenia
merupakan sikap keluarga dan masyarakat yang mengganggap bahwa bila salah seorang
anggota keluarga menderita skizofrenia, hal ini merupakan aib bagi keluarga. Selama
bertahun-tahun, banyak bentuk diskriminasi secara bertahap turun temurun dalam
masyarakat kita. Penyakit mental masih menghasilkan kesalahpahaman, prasangka,
kebingungan, dan ketakutan. Masyarakat masih menganggap bahwa gangguan jiwa
merupakan aib bagi penderitanya maupun keluarganya. Selain dari itu, gangguan jiwa juga
dianggap penyakit yang disebabkan oeh hal-hal supranatural oleh sebagian masyarakat.
Pandangan masyarakat terhadap gangguan jiwa lainnya adalah bahwa orang yang
mengalami gangguan jiwa cenderung berbahaya bagi masyarakat sekitar. Mereka seing
melakukan tindakan kekerasan terhadap lingkungan sekitar yang dapat merepotkan ataupun
membahayakan bagi masyarakat. Oleh karena itu, tidakjarang mereka dipasung atau diikat
supaya tidak membahayakan masyarakat sekitar.

2. Hak pasien gangguan jiwa


Berikut merupakan hak-hak pasien penderita gangguan jiwa menurut American Hospital
Association (AHA) (2001) yaitu:
a. Pasien meilii hak untuk mendapatkan perawat yang terhormat
b. Pasien memiliki hak dan didukung oleh dokter, dan semua pelayanan kesehatan terkait
untuk mendapatkan informasi yang hangat dan terpercya mengenai diagnosa,
pengobatan serta prognosa
c. Pasien memiliki hak untuk membuat keputusan terhadap rencana perawata dan
pengobatan dan untuk menolak pengobatan yang direkomendasikan
d. Pasien memiliki hak atas petunjuk cepat (seperti kehendak hidup, kuasa penuh atas
perawatan kesehatan, atau mendapatkan pembelaan dari pengacara kesehatan).
e. Pasien memiliki hak atas setiap pertimbangan kebijakan.
f. Pasien memiliki hak atas komunikasi dan rekaman tentang perawatan kesehatan yang
akan diolah secara terpercaya.
g. Pasien memiliki hak untuk mengulas kembali rekaman yang masuk atas perawatan
medisnya dan untuk menerima penjelasan atas informasi sesuai kebutuhan.
h. Pasien memiliki hak untuk menyetujui atau menolak berpartisipasi atas usulan studi
penelitian atau percobaan yang melibatkan manusia yang mempengaruhi
perawatan dan pengobatan.
i. Pasien memiliki hak atas perawatan berkelanjutan yang beralasan yang diinformasikan
oleh dokter dan petugas kesehatan.
j. Pasien memiliki hak untuk menerima informasi atas kebijakan dan praktik rumah sakit
yang berhubungan dengan perawatan, pengobatan, dan tanggung jawab pasien.
3. Dampak stigma pasien gangguan jiwa
Stigmatisasi pada orang yang mengalami gangguan jiwa dapat berdampak pada
penanganan gangguan jiwa yang kurang tepat. Kalau kita lihat dari stigma yang dialami oleh
penderita gangguan jiwa, maka dampak dilihat dari sisi pengobatan yaitu terdapat 2
kelompok. Kelompok pertama penanganan pada klien dengan stigma bahwa orang yang
menderita gangguan jiwa karena kesurupan sedangkan stigma yang kedua adalah bahwa
penderita gangguan jiwa merupakan Aib keluarga.
Perlakuan yang terjadi pada penderita gangguan jiwa dengan stigma bahwa mereka
mengalami penyakit yang berhubungan dengan supranatural yaitu mereka akan segera
diberi pengobatan dengan memanggil dukun atau kyai yang dapat mengusir roh jahat dari
tubuh si penderita. Waktu penyembuhan tersebut bisa memakan waktu sebentar ataupun
lama. Dampak yang ditimbulkan adalah bahwa gangguan jiwa yang terjadi pada penderita
tersebut akan semakin parah tanpa pertolongan segera psikiater ataupun psikiatri.
Sedangkan perlakuan pada orang yang menganggap gangguan jiwa adalah aib yaitu
dengan cara menyembunyikan keadaan gangguan jiwa tersebut dari masyarakat. Mereka
tidak segera membawa orang yang mengalami gangguan jiwa tersebut ke profesional tetapi
cenderung menyembunyikan atau merahasiakan keadaan tersebut dari orang lain ataupun
masyarakat. Hal ini berdampak pada pengobatan yang terlambat dapat memperparah
keadaan gangguan jiwanya.
Orang-orang yang mengalami gangguan jiwa dengan adanya stigma di masyarakat,
mereka lebih memilih tidak memberitahukan kepada masyarakat, sehingga mereka
cenderung menarik diri dan ini akan memperparah keadaannya. Disamping itu terjadi
pengucilan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa baik yang baru
ataupun yang sudah sembuh dari gangguan. Hal ini dapat berakibat pada gangguan yang
lebih parah yang dapat berdampak pada kekambuhan yang lebih cepat.
Stigma yang diciptakan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa secara
tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat disekitar penderita gangguan jiwa
enggan untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap keluarga atau tetangga mereka
yang mengalami gangguan jiwa. Sehingga tidak jarang mengakibatkan penderita gangguan
jiwa yang tidak tertangani ini melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak terkontrol
yang meresahkan keluarga, masyarakat serta lingkungan.
Stigma yang ada di masyarakat membuat keluarga malu memiliki anggota keluarga
yang menderita gangguan jiwa. keluarga merasa beban dengan adanya pasien berada di
rumah. Pada akhirnya keluarga lebih memilih menitipkan pasien pada pihak rumah sakit.
Menurut dokter Hestu ini sering kali terjadi. Pasien kembali ke rumah sakit dengan cepat
akibat stresor yang datang dari rumah. Pandangan negatif mengenai gangguan jiwa, bahwa
gangguan jiwa merupakan aib bagi keluarga. Gangguan jiwa merupakan penyakit yang
memalukan sehingga orang yang mengalami gangguan jiwa dianggap sebagai aib bagi
keluarganya dan keluarga menganggap orang dengan gangguan jiwa itu dapat mebahayakan.
Selanjutnya menurut Soewandi (2002:2) ada beberapa keadaan yang merupakan
stigma terhadap gangguan jiwa yakni :
a. Keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa itu disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut: guna-guna, tempat keramat, roh jahat, setan, sesaji yang salah, kutukan banyak
dosa, pusaka yang keramat, kekutam gaib atau supranatural.
b. Kepercayaan atau keyakinan bahwa gangguan jiwa itu merupakan penyakit yang tidak
dapat disembuhkan.
c. Keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa itu disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut : guna-guna, tempat keramat, roh jahat, setan, sesaji yang salah, kutukan banyak
dosa, pusaka yang keramat, kekutam gaib atau supranatural
d. Kepercayaan atau keyakinan bahwa gangguan jiwa itu merupakan penyakit yang tidak
dapat disembuhkan.
e. Kepercayaan atau keyakinan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang bukan
urusan medis.
f. Kepercayaan atau keyakinan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang selalu
diturunkan.

4. Penanganan stima gangguan jiwa di keluarga


Penanganan stigma pada keluarga pasien yang memiliki anggota keluarga dengan
gangguan jiwa dalam kehidupan sehari-hari merupakan orang yang paling terdekat dengan
pasien gangguan jiwa. Peran keluarga dalam menghadapi pasien atau salah satu anggota
keluarga yang sedang mengalami gangguan jiwa harus menerima pasien apa adanya dan
memberikan dukungan terhadap perawatan dan pengobatan pasien di rumah, bukan sebagai
aib keluarga yang harus disembunyikan dari kehidupan sosial. Penanganan stigma pada
keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa adalah dengan memberi
perhatian dalam sikap dan pengobatan panda pasien dengan gangguan jiwa , tidak
mengurung, tidak mengucilkan tidak menjauhi pasien, dan memberikan dukungan positif
untuk pasien sehingga pasien mau bersosialisasi dengan lingkungan di sekitar rumah,
membantu pasien untuk kembali bersemangat menjalani hidupnya, berkomunikasi
meghadapi kucilan masyarakat disekitar lingkungan pasien.
Menghadapi stigma di masyarakat terhadap gangguan jiwa Keluarga, perlu
memperlakukan penderita gangguan jiwa dengan sikap yang bisa menumbuhkan dan
mendukung tumbuhnya harapan dan optimisme. Harapan dan optimisme akan menjadi
motor penggerak pemulihan dari gangguan jiwa. Keluarga berperanan dalam mebimbing
dan mengarahkan langkah langkah yang perlu dilalui pasien gangguan jiwa untuk mencapai
tujuan hidup masing masing penderita gangguan jiwa, sehingga pasien dengan gangguan
jiwa. Salah satu faktor penting dalam menghilangkan stigma negatif adalah adanya
keluarga, yang percaya bahwa seorang penderita gangguan jiwa bisa pulih dan kembali
hidup produktif di masyarakat. Mereka bisa memberikan harapan, semangat dan dukungan
sumber daya yang diperlukan untuk pemulihan. Melalui dukungan yang terciptanya lewat
jaringan persaudaraan dan pertemanan, maka penderita gangguan jiwa bisa mengubah
hidupnya, dari keadaan kurang sehat dan tidak sejahtera menjadi kehidupan yang lebih
sejahtera dan mempunyai peranan di masyarakat. Hal tersebut akan mendorong kemampuan
penderita gangguan jiwa mampu hidup mandiri, mempunyai peranan dan berpartisipasi di
masyarakatnya.

5. Pencegahan
Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE), kurasi (penyembuhan) dan rehabilitasi yang lebih
baik, memanfaatkan sumber dana dari JPS-BK; penciptaan Therpeutic Community
(lingkungan yang mendukung proses penyembuhan).
Fungsi keluarga menurut Friedman (2012) adalah:
a. Fungsi afektif dan koping
Keluarga memberikan kenyamanan emosional anggota, membantu anggota dalam
membentuk identitas dan mempertahankan saat terjadi stress.
b. Fungsi sosialisasi
Keluarga sebagai guru, menanamkan kepercayaan, nilai, sikap, dan mekanisme koping,
memberikan feedback, dan memberikan petunjuk dalam pemecahan masalah.
c. Fungsi reproduksi
Keluarga melahirkan anak, menumbuh-kembangkan anak dan meneruskan keturunan.
d. Fungsi ekonomi
Keluarga memberikan finansial untuk anggota keluarganya dan kepentingan di
masyarakat
e. Fungsi fisik
Keluarga memberikan keamanan, kenyamanan lingkungan yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan, perkembangan dan istirahat termasuk untuk penyembuhan dari sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Fridman, M. (2012). Buku ajar keperawatan keluarga: Riset, teori, dan praktik. Jakarta: EGC.

Hawari, D. (2001). Pendekatan holistik pada gangguan jiwa skizofrenia. Jakarta: Gaya Baru.

Keliat, B.A. (2006). Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: EGC.

Kemenkes. (2010). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2010. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI.

Soewandi. (2002). Simtomatologi dalam psikiatri. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas


Gajah Mada.

Anda mungkin juga menyukai