Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN KASUS

PASIEN GERIATRI DENGAN LUKA BAKAR LUAS


Uygur F., Noyan N., Ülkür E., Çeliköz B.
Akademi Medis Militer Gülhane, Rumah Sakit Pelatihan Haydarpafla, Bedah
Plastik dan Rekonstruksi dan Unit Luka Bakar, T›bbiye Cad. 34668 Üsküdar,
Turki

RINGKASAN. Seperti yang dapat diprediksi, mortalitas dan morbiditas di antara


pasien-pasien geriatri lebih tinggi pada pasien dengan luka bakar luas. Penurunan
cadangan radiopulmoner dan malnutrisi yang ditandai dengan kekurangan
energi/protein dan penuaan kulit merupakan faktor predisposisi yang
meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Dalam studi ini, kami membahas
mengenai pasien berusia 90 tahun dengan luka bakar derajat 2 hingga derajat 3
sebesar 46% dari luas permukaan tubuh total. Kami harus mengatasi kesulitan
yang terjadi pada pasien lanjut usia dan ternyata berhasil diatasi dengan perawatan
yang kami berikan.

Pengantar
Sekitar 10% dari populasi luka bakar luas merupakan pasien geriatri (biasanya
didefinisikan sebagai mereka yang berusia lebih dari 65 tahun).1 Luka bakar pada
kelompok usia ini menjadi cedera yang lebih serius daripada populasi umum dan
luka bakar lebih dari 30% luas permukaan tubuh total (TBSA) menyebabkan
angka kematian yang sangat tinggi. Faktor-faktor komorbid bertanggung jawab
atas peningkatan morbiditas dan mortalitas.2 Orang-orang lanjut usia memiliki
kulit yang lebih tipis, mikrosirkulasi yang lebih buruk, dan peningkatan
kerentanan terhadap infeksi.3,4 Selain itu, tingkat syok akibat luka bakar, cedera
inhalasi, patologi paru, sepsis dan gagal ginjal lebih tinggi pada orang lanjut usia
daripada orang muda. Jika kita membandingkan jumlah pasien luka bakar berusia
lebih dari 80 tahun dengan pasien luka bakar yang berusia antara 65 hingga 80
tahun, kita dapat melihat bahwa kedua kelompok ini kecil secara proporsi, tetapi
tingkat bertahan hidup (survival rate), terutama pada pasien dengan luka bakar
lebih dari 40% TBSA, sangat rendah.5
Dalam artikel ini kami membahas mengenai pasien berusia 90 tahun dengan
kesulitan yang cukup menantang dalam hal terapi dan perawatan.

Kasus
Seorang pria berusia 90 tahun dibawa ke pusat luka bakar kami setelah terjadi
ledakan pemanas air di rumahnya. Secara keseluruhan, sekitar 46% TBSA
mengalami luka bakar derajat dua hingga tiga. Daerah yang terkena antara lain
adalah wajah, leher posterior, batang tubuh posterosuperior, batang tubuh
anterosuperior kanan, lumbar kanan dan sisi dorsal dari kedua ekstremitas atas
dan ekstremitas bawah (Gambar 1-3).

Gambar 1 – Pasien saat masuk, tampak depan.


Gambar 2 – Tampak samping.

Gambar 3 – Tampak belakang.


Setelah diberikan sedasi dengan 2 mg midazolam IV dan 50 mg ketamin IV, area
yang terbakar digosok dengan air terdistilasi dan povidone iodine 7,5% di tempat
pembersihan luka kami. Luka-luka tersebut kemudian ditutup dengan klorhexidin
asetat 0,5% dan kain kasa petrolatum. Setelah balutan awal, pasien dibawa ke unit
perawatan intensif dan dipantau secara ketat dengan kateter vena sentral, kateter
arteri, kateter urin, dan pipa nasogastrik. Pada hari ke-1, resusitasi cairan
diberikan sesuai dengan rumus Parkland, yaitu 4 ml/kg/% TBSA. Cairan
kristaloid (Ringer laktat) lebih dipilih untuk digunakan. Kecepatan resusitasi
cairan dipantau sesuai dengan keluaran urin (urine output) dan tekanan vena
sentral. Balutan diganti setiap hari.
Dukungan pernapasan dilakukan dengan latihan drainase postural, latihan
pernapasan, dan latihan Tri-flow, ditambah pemberian uap dingin. Penggantian
cairan dilanjutkan untuk mempertahankan urine output pada 0,5-1 cc/kg. Selain
itu diambil juga kultur dari luka exfoliatif, urin, dan darah secara berkala.
Sefoperazon + Sulbaktam 1 g dua kali sehari mulai diberikan pada hari ke-3 pasca
luka bakar karena timbul demam tinggi. Acinetobacter baumanii diisolasi dari
kultur darah pada hari ke-8. Tatalaksana antibiotik yang tepat dengan pemberian
antibiotik yang sensitif dilakukan. Karena terjadi gastroenteritis pada hari ke-10,
dukungan nutrisi oral dihentikan dan nutrisi parenteral total dimulai.
Pseudomonas aeruginosa diisolasi dari kultur luka pada hari ke 17 pasca luka
bakar, dan meropenem serta amikasin diberikan masing-masing selama 32 dan 7
hari. Pada saat yang sama, diberikan juga balutan berlapis perak (silver coated
dressings yaitu Acticoat, Smith dan Nephew, AS).6,7 Setelah infiltrasi epinefrin
subdermal, debridemen dan pencangkokan dilakukan pada 25% TBSA pada hari
ke 19 pasca luka bakar. Terapi fisik intensif dan program latihan dimulai setelah
hari ke 7 pasca operasi.
Kami menilai bahwa pasien mengalami hipotensi dan oliguri pada hari ke 26.
Oleh karena itu, terapi dengan agen inotropik (dopamin, 2 mcg/kg/menit) mulai
diberikan. Setelah pemberian terapi selama sepuluh hari, keadaan ini sudah
berkurang sehingga terapi inotropik dihentikan.
Secara keseluruhan pasien dirawat di rumah sakit selama 40 hari, setelah itu
pasien dipulangkan karena telah sembuh (Gambar 4-6).
Gambar 4-6 – Pasien saat pulang.

Walaupun penanganan luka bakar telah berkembang selama beberapa tahun


terakhir dengan adanya pengobatan topikal yang lebih baik, peningkatan
resusitasi, dan eksisi eskar luka bakar awal, prognosisnya masih buruk pada
pasien-pasien dewasa tua, dan luka bakar merupakan peringkat keempat di antara
penyebab kematian terkait kecelakaan pada kelompok lanjut usia. Mortalitas pada
dewasa muda dengan luka bakar 80% TBSA adalah 50%; pada individu usia 60-
70 tahun, dengan luka bakar 35% dari TBSA memiliki mortalitas 50%, dan
individu yang berusia lebih dari 70 tahun dengan luka bakar 20% dari TBSA
memiliki mortalitas 50%.8,9
Kondisi-kondisi pre-morbid seperti penyakit paru obstruktif kronik (COPD) dan
penyakit arteri koroner dapat mempengaruhi lama pasien dirawat di rumah sakit,
peningkatan kebutuhan ventilasi, dan peningkatan angka kejadian terjadinya
komplikasi. Agarwal dkk. menyatakan bahwa kebutuhan cairan yang lebih banyak
pada pasien lanjut usia yang mengalami luka bakar menyebabkan peningkatan
gagal jantung kongestif, edema pulmonal, dan pneumonia.10
Angka mortalitas juga meningkat karena gangguan respon terhadap infeksi dan
sepsis, serta menurunnya kemampuan untuk menoleransi stres berkepanjangan
dan gangguan fisiologis.11-16 Keadaan defisiensi nutrisi yang dapat ditemukan
pada pasien lanjut usia yang mengalami luka bakar juga dapat menyebabkan
gangguan pada proses penyembuhan luka.17
Bahan-bahan yang digunakan untuk tujuan merokok dan kompor dilaporkan
sebagai sumber tersering penyebab cedera pada orang yang lebih tua, dimana
mereka sering terbakar selama melakukan kegiatan rutin tersebut. Pada kasus
kami luka bakar dikarenakan panas api.
Perbedaan fisik dan fisiologis seperti penurunan ketangkasan, penglihatan, dan
pendengaran, penurunan mobilitas dan penilaian, dan waktu reaksi yang lebih
lambat menyebabkan terjadinya cedera pada kelompok usia ini.18 Oleh karena
penurunan waktu reaksi, tingkat keparahan luka bakar dan insidens trauma
inhalasi meningkat pada populasi geriatri, dan ini mengurangi jumlah ketahanan
hidup pada pasien luka bakar.
Imobilisasi yang berkepanjangan dan stres fisiologis yang berkelanjutan
berkontribusi terhadap morbiditas yang signifikan terkait dengan trauma inhalasi.
Orang lanjut usia mengalami penurunan cadangan paru untuk pertukaran gas dan
mekanisme paru dan mereka rentan terhadap kegagalan paru, yang menjadi
penyebab utama kematian pada semua kasus luka bakar.
Bahkan ketika gejala trauma inhalasi tidak ada sama sekali, pemberian dini
oksigen yang dilembabkan dan nebulisasi dan penggunaan obat-obatan mikotik,
perubahan posisi, fisioterapi dada, dan ambulasi dini dapat mencegah
berkembangnya masalah pulmonal atau mengurangi perjalanan klinis mereka
terhadap luka bakar yang disebabkan oleh api. Pada kasus yang kami gambarkan,
walaupun tidak ada tanda-tanda trauma inhalasi, terima kasih atas aplikasi dini
fisioterapi pernapasan, kami tidak harus mengobati masalah-masalah pulmonal.
Pada orang lanjut usia ada beberapa faktor risiko yang terkenal dengan usia,
seperti penyakit-penyakit kronik, penyakit kardiovaskular, dan penurunan
cadangan paru. Penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada lanjut usia dengan
cedera akibat suhu adalah bukan karena luka bakarnya, namun lebih dikarenakan
proses penyakit yang timbul bersamaan dengan luka bakar tersebut. Pada
kelompok usia ini, keadaan pre-morbid seperti PPOK (COPD) dan penyakit arteri
koroner memperpanjang waktu rawat inap dan meningkatkan kebutuhan
dukungan ventilasi akibat berbagai komplikasi.19
Pada kelompok lanjut usia resusistasi cairan merupakan hal penting. Kelompok
ini, seperti anak-anak, sensitif terhadap jumlah cairan dan berisiko mengalami
kerusakan ginjal akibat hipotensi. Dianjurkan bahwa cairan resusitasi harus
diberikan kepada kelompok usia lanjut dengan luas luka bakar lebih dari 5%
TBSA.
Cairan resusitasi harus dimulai dengan dosis 3-4 ml/kg/%luka bakar dan dititrasi
sampai mencapai parameter hasil yang spesifik, mengevaluasi setiap bukti
kelebihan atau kekurangan cairan sistemik. Resusitasi yang adekuat dinilai dari
urine output yang mencapai 30-50 ml/jam, kesadaran penuh dan tekanan darah
yang sesuai.
Walaupun pasien mampu bertahan hidup pada hari-hari awal trauma, keadaan
oliguri dan hipotensi dapat terjadi kapan saja selama terapi, seperti pada pasien
kami, yang menunjukkan kondisi demikian pada hari ke 26 pasca luka bakar.
Penyembuhan luka menjadi perhatian besar pada lansia. Terdapat perubahan
signifikan pada kulit seiring terjadinya penuaan yang bertanggung jawab atas
persentase luka bakar yang lebih besar pada lansia, misalnya penipisan progresif
dari dermis dan epidermis. Banyak faktor yang menyebabkan lebih banyak luka
bakar derajat dalam dan meperlambat proses penyembuhan di semua fase, seperti
penurunan waktu pergantian kulit epidermis dan penurunan komponen –
komponen kulit, vaskularisasi, kolagen dan matriks, fibroblas, dan makrofag.20-22
Faktor – faktor yang tidak menguntungkan ini menyebabkan keterlambatan dalam
epitelisasi, peningkatan kedalaman luka bakar, terutama pada area luka bakar
derajat dua, dan masalah penyembuhan di lokasi donor. Dalam kasus yang
dilaporkan, area yang tidak terepitelisasi secara spontan, ditransplantasikan pada
hari ke 19 pasca luka bakar.
Masalah seperti, kekurangan energi protein (PEM), telah dilaporkan
terdapat sepertiga (30-60%) dari pasien lanjut usia yang dirawat di rumah sakit.
PEM juga telah ditemukan tiga hingga empat kali lebih banyak pada pasien di atas
usia 65 tahun dibandingkan pada pasien yang lebih muda.23-25 Malnutrisi dan
penurunan berat badan menjadi faktor risiko utama meningkatnya infeksi,
gangguan penyembuhan luka dan disabilitas secara keseluruhan, menjadi alasan
utama hilangnya protein tubuh dan massa tubuh. Tingkat mortalitas dan morbititas
nampaknya sangat dipengaruhi oleh penambahan keadaan katabolik setelah luka
bakar hingga jumlah protein tubuh dan kekurangan energi.26-28 Dengan
memberikan pasien kami energi yang tinggi, diet tinggi kalori setelah 2 hari pasca
luka bakar, kami mencegah terjadinya kondisi kekurangan protein dan energi.
Pasien lanjut usia harus dikelola secara agresif untuk menghindari
kehilangan fungsi atau kekuatan otot dini, yang akan menimbulkan hambatan
terhadap penyembuhan. Pasien – pasien ini mampu memulihkan kekuatan otot
dengan latihan ketahanan dan sebaiknya tidak dikelola secara konservatif.29
Seperti halnya anak – anak, memberikan dukungan dan bimbingan untuk keluarga
atau pengasuh merupakan bagian integral dari perawatan. Kami melakukan
fisioterapi otot, dimulai dengan berbagai latihan gerakan pada hari ke 10 pasca
operasi, ditambah latihan kekuatan otot.
Sebagai akibatnya, meskipun tingkat kematian yang tinggi terlihat pada
pasien lansia dengan luka bakar, masih mungkin – dengan fisioterapi pernapasan
awal, resusitasi cairan tanpa beban berlebihan atau kekurangan cairan, tantangan
terhadap infeksi, operasi dini, dan fisioterapi pasca operasi – angka mortalitas dan
morbiditas yang tinggi dapat menurun di kelompok usia ini.

Anda mungkin juga menyukai