Anda di halaman 1dari 99

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air adalah sumber kehidupan. Air sangat dibutuhkan dalam kehidupan makhluk hidup,
oleh karena itu segala sesuatu tentang air harus dipelajari guna mendukung kebutuhan
makhluk hidup akan air. Hidrologi secara eksplisit adalah ilmu yang mempelajari atau
menjelaskan tentang kehadiran dan gerakan air di alam ini. Hal ini meliputi berbagai
bentuk air yang menyangkut perubahan-perubahannya antara keadaan cair, padat dan
dalam atmosfer, di atas permukaan tanah, yang di dalamnya tercangkup juga air laut
yang merupakan sumber dan pusat penyimpanan air yang mengaktifkan penghidupan di
planet bumi ini. Sedangkan siklus hidrologi adalah gerakan air laut ke udara, yang
kemudian jatuh ke permukaan tanah lagi sebagai hujan atau bentuk presipitasi lain, dan
akhirnya mengalir ke laut kembali.
Dalam melakukan analisis hidrologi sering dihadapkan pada kejadian-kejadian
ekstrim seperti banjir dan kekeringan. Penerapan ilmu hidrologi dapat dijumpai dalam
beberapa kegiatan seperti perencanan dan operasi bangunan air, penyediaan air untuk
beberapa keperluan (air bersih, irigasi, perikanan, peternakan), pembangkit listrik tenaga
air, pengendalian banjir dan sedimentasi, transportasi air, drainase, air limbah, dsb.
Dalam praktek, para teknisi yang berkepentingan dengan perencanaan dan
pembangunan air, tidak dapat mengabaikan hidrologi sebagai alat penganalisa sejumlah
air untuk maksud tersebut di atas. Dengan meluasnya sumber-sumber daya air daerah-
daerah pengaliran sungai, maka perencanaan hidrologi semakin penting. Ilmu ini tidak
hanya berperan dalam perencanaan bangunan air saja, tetapi juga ikut menentukan
macam dan luas daerah pertanian yang harus dikerjakan, penentuan letak daerah industri
pelayaran diperairan, pedalaman dan sebagainya.
Di NTT terdapat beberapa kasus yang berkaitan dengan air dan hidrologi, seperti
masalah air bersih yang terjadi di Kabupaten Flores Timur. Dalam persoalan ini
Pemerintah Kabupaten Flores Timur berkomitmen pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) 2016, untuk mengatasi masalah air bersih di Kota Larantuka
dengan mengalokasikan dana sebesar Rp.17 Milyar untuk pembangunan instalasi pipa
air menuju Kota Larantuka. (Pos Kupang, Senin, 14 Desember 2015).

1
Sedangkan masalah lainnya terjadi di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai. Kota
Ruteng dikelilingi puluhan sumber mata air, namun warga Kota Ruteng malah kesulitan
air minum. Di beberapa titik, airnya keluar seminggu sekali, namun debitnya sangat
kecil.Hal ini disebabkan oleh jumlah penduduk dan pemukiman kota yang makin padat,
membuat daerah tangkapan air mulai berkurang. Kawasan di sekitar hutan dirusak
mengurangi wilayah tangkapan air (Pos Kupang, Sabtu, 28 November 2015).
Di pulau Timor krisis air sering terjadi. Kondisi iklim yang tidak menentu akibat
pengaruh iklim global (pemanasan global) mengakibatkan wilayah NTT khususnya Pulau
Timor dan kepulauan sekitar akan mengalami krisis air. Karena itu, pemerintah fokus
membangun embung untuk menopang kebutuhan air baku masyarakat. Masalah sumber
daya air pada lima atau enam tahun ke depan NTT, khususnya Pulau Timor dan
kepulauan sekitar, Rote, Sabu dan Alor akan mengalami kondisi krisis air. Untuk
mengantisipasi masalah kebutuhan air baku masyarakat, pemerintah pusat terus
mendorong untuk dibangun embung serbaga guna untuk menopang kebutuhan air baku
masyarakat. (Pos Kupang, Kamis, 14 Januari 2016).
Melihat berbagai persoalan akan air yang sering terjadi khususnya di NTT dari
berbagai segi baik infrastruktur maupun non infrastruktur, sangatlah diperlukan analisis
hidrologi baik berupa analisis banjir rancangan maupun analisis debit andalan.
Berdasarkan uraian singkat sebelumnya, perlu dilakukan analisis hidrologi baik yang
berkaitan tentang analisis banjir rancangan maupun analisis debit andalan dalam bentuk
Laporan Hidrologi. Penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang bagaimana menginterpretasi
data curah hujan dan klimatologi untuk menganalisis banjir rancangan dan debit andalan.

1.2 Maksud dan Tujuan


Laporan Hidrologi Terapan ini dibuat agar penulis bisa memahami materi tentang
analisis banjir rancangan dan debit andalan pada mata kuliah Hidrologi Terapan, selain
itu juga guna untuk mendapatkan nilai tugas besar mata kuliah Hidrologi Terapan dan
sebagai persyaratan untuk mengikuti Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester
mata kuliah Hidrologi Terapan.

2
1.3 Lingkup Pekerjaan
Dalam Laporan Hidrologi Terapan ini, penulis akan menganalisis banjir rancangan,
yang meliputi penentuan curah hujan rerata daerah (area rainfall) dengan metode
aritmatik dan polygon thiessen, menentukan hujan rancangan untuk 5 tahun, 20 tahun, 50
tahun, 100 tahun, 200 tahun, dan 1000 tahun dengan metode Ej Gumbel dan Log
Normal, menguji pemilihan distribusi frekuensi dengan metode Chi-Kuadrat dan metode
Smirnov-Kolmogorof, menentukan distribusi curah hujan jam-jaman dengan rumus
Monobe, menentukan koefisien pengaliran, menganalisa curah hujan netto jam-jaman,
menentukan non hidrograf banjir rancangan dengan metode Rasional dan metode
Weduwen dan menentukan hidrograf banjir dengan metode Snyder. Selain itu penulis
juga menganalisis debit banjir rancangan dengan menghitung debit andalan dengan
probabilitas 80% dan menghitung besar evapotranspirasi yang terjadi dalam satu tahun
setiap bulannya.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Umum
2.1.1 Pengertian Hidrologi
Intensitas hujan adalah tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu.
Besarnya intensitas hujan berbeda-beda, tergantung dari lamanya curah hujan dan
frekuensi kejadiannya. Intensitas curah hujan diperoleh dengan cara melakukan
analisis data curah hujan baik secara statistik maupun secara empiris.
Curah hujan yang diperlukan untuk pembuatan rancangan dan rencana
(perhitungan potongan melintang dan lain-lain) adalah curah hujan jangka waktu yang
pendek dan bukan curah hujan jangka waktu yang panjang seperti curah hujan
tahunan atau bulanan. Curah hujan tersebut berdasarkan volume debit (yang
disebabkan oleh curah hujan) dari daerah pengaliran yang kecil seperti perhitungan
debit banjir, rencana peluap suatu bendungan, gorong- gorong melintasi jalan dan
saluran, selokan-selokan samping.
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2010), data yang meliputi criteria
perancangan hidrologi adalah dengan perkiraan hujan rencana, analisis frekuensi
terhadap curah hujan menggunakan metode-metode yang mengacu pada tata cara
perhitungan debit desain saluran.

2.1.2 Siklus Hidrologi


Dalam SNI No. 1724-1989-F, hidrologi didefenisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sistem kejadian air di atas, pada permukaan dan di dalam tanah.
Hidrologi merupakan ilmu yang penting dalam asesmen, pengembangan, utilisasi
dana manajemen sumberdaya air yang dewasa ini semakin meningkat realisasinya di
berbagai level.
Siklus hidrologi adalah pergerakan air di bumi berupa cair, gas,dan padat baik
proses di atmosfir, tanah dan badan-badan air yang tidak terputus melalui proses
kondensasi (pengembunan), presipitasi (hujan), evaporasi dan transpirasi

4
(penguapan). Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses
siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu (Mahmud, 2011).
Menurut Sosrodarsono(2003), air menguap ke udara dari permukaan tanah
dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian
jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke
permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke
permukaan bumi.
Sebagian air hujan yang tiba ke permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah
(infiltrasi). Bagian-bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengalir ke daerah-
daerah yang rendah, memasuki sungai-sungai dan akhirnya ke laut. Tidak semua
butir air yang mengalir kembali ke laut. Dalam perjalanannya ke laut sebagian akan
menguap dan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar
kembali segera ke sungai-sungai (disebut aliran intra = interflow). Tetapi sebagian
besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi
sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan tanah di daerah-daerah yang
rendah (disebut groundwaterrunoff = limpasan air tanah).
Tetapi sirkulasi air ini tidak merata, karena perbedaan besar presipirasi dari
tahun ke tahu, dari musim ke musim yang berikut dan juga dari wilayah ke wilayah
yang lain. Sirkulasi hidrologi (air) ini dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu,
atmosfir, dan lain-lain) dan kondisi topografi. Seperti telah dikemukakan di atas,
sirkulasi yang kontinu antara air laut dan air daratan berlangsung terus. Sirkulasi air
ini disebut siklus hidrologi (hydrological cycle).

5
Gambar 2.1Siklus Hidrologi
sumber: www.uwsp.edu

2.1.3 Analisis Hidrologi


Dalam melakukan analisis hidrologi sering dihadapkan pada kejadian-kejadian
ekstrim seperti banjir dan kekeringan.Menurut Triatmodjo (2008), hidrologi adalah ilmu
yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan
penyebarannya, sifat-sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama dengan
makhluk hidup.Penerapan ilmu hidrologi dapat dijumpai dalam beberapa kegiatan
seperti perencanan dan operasi bangunan air, penyediaan air untuk beberapa
keperluan (air berssssih, irigasi, perikanan, peternakan), pembangkit listrik tenaga air,
pengendalian banjir dan sedimentasi, transportasi air, drainase, air limbah, dsb.
Dalam hidrologi sering dilakukan analisis data dalam jumlah yang sangat
banyak. Data tersebut diperoleh dari pengukuran di alam (seperti debit sungai, hujan,
dsb) yang dapat diukur hanya satu kali dan kemudian tidak akan terjadi lagi. Misalnya,
dalam pengukuran debit di suatu stasiun pengamatan, data debit yang tercatat saar
itu tidak akan terjadi lagi pada masa yang akan datang.
Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena
hidrologi, seperti besarnya: curah hujan, debit sungai, tinggi muka air sungai,

6
kecepatan aliran, kosentrasi sedimen sungai dan lain-lain yang akan selalu berubah
terhadap waktu (Soewarno, 1995).
Analisis hidrologi diperlukan untuk memperoleh besarnya debit banjir rencana
suatu wilayah. Debit banjir rencana merupakan debit maksimum dengan periode
ulang tertentu yaitu besarnya debit maksimum yang rata-rata terjadi satu kali dalam
periode ulang yang ditinjau.Untuk mendapatkan debit banjir rencana dapat dilakukan
melalui dua cara yaitu melalui pengolahan data debit dan melalui pengolahan data
hujan. Data curah hujan didapatkan daristasiun hujan yang tersebar di daerah
pengaliran sungai. Data yang tercatat merupakan data curah hujan harian, yang
kemudian akan diolah menjadi datacurah hujan harian maksimum tahunan.
Salah satu hal penting dalam analisis hidrologi adalah menafsirkan
probabilitas suatu kejadian yang akan datang berdasar data hidrologi yang diperoleh
pada pencatatan yang telah lampau. Untuk maksud tersebut digunakan konsep
probabilitas dalam analisis data hidrologi.

2.1.4 Penentuan Luas DAS


Daerah Aliran Sungai adalah semua bagian aliran air di sekitar sungai yang
mengalir menuju alur sungai, aliran air tersebut tidak hanya berupa air permukaan
yang mengalir di dalam alur sungai, tetapi termasuk juga aliran air dipunggung bukit
yang mengalir menuju alur sungai sehingga daerah tersebut dinamakan daerah aliran
sungai.
Pengembangan Wilayah Sungai dalam rangka peningkatan kemampuan
penyediaan air sungai untuk berbagai kebutuhan hidup masyarakat, sehingga meliputi
beberapa ketentuan antara lain:
1) Luas DAS mengikuti pola bentuk aliran sungai dengan mempertimbangkan aspek
geografis di sekitar Daerah Aliran Sungai yang mencakup daerah tangkapan
(cathment area) untuk perencanaan tersebut.
2) Luas DAS dapat diketahui dari gambaran (deskripsi) yang diantaranya meliputi
petapeta atau foto udara, dan pembedaan skala serta standar pemetaan sehingga
dapat menghasilkan nilai-nilai yang sebenarnya.

7
2.1.5 Pemilihan Lokasi Stasiun Curah Hujan
Dalam pemilihan jaringan lokasi stasiun, harus direncanakan untuk
menghasilkan gambaran yang mewakili distribusi daerah hujan. Satu alat ukur curah
hujan dapat mewakili beberapa km persegi, tergantung pada penempatan letak
stasiun dan fungsinya. Jaringan stasiun yang relative renggang cukup untuk hujan
besar yang biasa untuk menentukan nilai rata-rata tahunan di atas daerah luas yang
datar.
Sedangkan jaringan yang rapat dibutuhkan guna menentukan pola hujan
dalam hujan yang lebat disertai guntur. Kerapatan minimum jaringan stasiun curah
hujan telah direkomendasikan World Meteorogical Organization sebagai berikut;
1) Untuk daerah datar pada zona beriklim sedang, mediteranian, dan tropis, 600 km²
sampai 900 km² untuk setiap stasiun.
2) Untuk derah pegunungan pada zona beriklim sedang, mediteranian, dan tropis,
100 km² sampai 250 km² untuk setiap stasiun.
3) Untuk pulau-pulau dengan pegunungan kecil dengan hujan yang tak beraturan, 25
km² untuk setiap stasiun.
4) Untuk zona-zona kering dan kutub, 1.500 km² sampai 10.000 km² untuk setiap
stasiun
Sehingga curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan
pemanfaatan air adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan,
bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan
wilayah atau daerah dan dinyatakan dalam mm.

2.2 Data Hujan Dan Klimatologi


2.2.1 Data Hidrologi
Kumpulan variate-variate biasanya disebut data. Penelitian terhadap potensi
air permukaan dan atau air tanah beserta pengembanngannya, serta studi untuk
perencanaan proyek-proyek konservasi dan penggunaan air merupakan contoh
bidang-bidang yang memerlukan data hidrologi.
Data hidrologi harus memeuhi standar, dapat dipercayai, mempunyai etelitian dan
presisi untuk dapat digunakan. Setiap negara mempunyai jaring-jaring hidrologi da n
hidrometrologinya sendiri, cara-carapengumpulan serta analisis data sediri. Karena

8
alasan sejarah atau alasan lain, berbagai negara di dunia mepunyai cara yang sangat
beragam dalam pengumpulan data dan dalam memproses data.

Meskipun banyak perbedaan, ada sejumlah hal yang dipandang bersama tidak dapat
diabaikan untuk digunakan sebagai data base yang benar. Hal-hal tersebut adalah:
1) Daerah tangkapan (catchment area) dan daerah pengaliran sungai: Luas,
bentuk geometrik, konfigurasi dan kemiringan tanah, klasifikasi dan statistik
aliran serta karakteristik fisiografik lainnya.
2) Curah hujan: statistik curah hujan harian, bulanan dan tahunan, berikut nilai
maksimum, minimum dan nilai rata-ratanya.
3) Limpasan: debit-debit harian, bulanan dan tahunan, debit besar dan kecil serta
frekuensi terjadinya, lengkung durasi debit rata-rata harian.
4) Evaporasi: tinggi evaporasi harian, bulanan dan tahunan di danau dan panci
evaporasi
5) Evapotranspirasi: tinggi tahunan, bulanan dan kadang-kadang harian dari
vegetasi dan daerah-daerah penanaman. Evaporasi tahunan sebenarnya
dapat diambil kira-kira sama dengan hujan tahunan dikurangi limpasan total.
6) Data metereologi lain: terdiri dari suhu udara, suhu air, suhu tanah dan bawah
tanah, defisit kejenuhan (saturation deficit es-ea), kelembaban udara,
kecepatan dan arah angin pada beberapa ketinggian di atas permukaan tanah
atau air, radiasi gelombang pendek, keawanan dan jam-jam sinar matahari
terang.
7) Kadar air tanah: konstanta kelembapan tanah, perubahan kadar air tanah
tahunan, musiman dan siklik di dalam daerah tidak jenuh, defisit kadar lengas
dalam tanah dan kapasitas infiltrasi.
8) Sedimen: pengangkutan beban melayang (suspended load) dan beban alas
(bed load) pada aliran alur terbuka (open channel)
9) Air tanah: duga air tanah tahunan dan bulanan, duga maksimal dan minimal
serta frekuensi-frekuensi untuk melampaui (exceedance frequencies), air
tanah yang masuk dan keluar dari daerah pengaliran, konstanta akuifer,
tampungan air tanah dalam daerah pengaliran (basin yield), suhu air tanah,
kadar mineral yang dikandung air tanah.

9
Tujuan pengumpulan data tersebut di atas adalah untuk menarik kesimpulan
mengenai populasinya. Untuk memenuhi tujuan tersebut, statistik dapat dibagi dua,
yaitu dalam statistik deskriptif dan statistik inferensial.
Statistik deskriptif menjelaskan tentang elaborasi dan pemrosesan data
sampel, sedangkan statistik inferensial melibatakan pengambilan kesimpulan dari
sifat-sifat sampel dalam populasi serta memperkirakan sifat-sifat yang dapat
diharapkan dari sampel yang akan datang. Statistik inferensial memerlukan sampel
acak, independen homogin. Jika semua populasi mempunyai peluang yang sama
untuk dipilih, sampel tersebut dapat disebut sebagai sampel acak. Karena proses
hidrologi biasanya tidak benar-benar acak, maka unsur-unsur deret kala kerap kali
tidak sepenuhnya tidak independen.
Tingkat dependensi dan independensi beragam, tergantung pada sifat variabel
yang ditinjau; debit harian yang berurutan tidak independen, debit bulanan yang
independen satu dengan yang lain, sedangkan debit tahunan lebih independen lagi.
Jia semua pengamatan sampel termasuk dalam populasi yang sma, data-datanya
dapat dianggap homogen.

2.2.2 Data Hujan


Hujan (Presipitasi) adalah faktor utama yang mengendalikan berlangsungnya
daur hidrologi dalam suatu wilayah DAS. Terjadinya hujan karena adanya
perpindahan massa uap air ke tempat yang lebih tinggi sebagai respon adanya beda
tekanan udara antara dua tempat yang berbeda ketinggiannya. Di tempat tersebut,
karena akumulasi uap air pada suhu yang rendah maka terjadilah proses kondensasi,
dan pada gilirannya massa uap air tersebut jatuh sebagai air hujan. Namun demikian,
mekanisme berlangsungnya hujan melibatkan tiga faktor utama. Dengan kata lain,
akan terjadi hujan apabila berlangsung tiga kejadian (C. Asdak, 1995) sebagai
berikut:
1) Kenaikan massa uap air ke tempat yang lebih tinggi sampai saatnya atmosfer
menjadi jenuh.
2) Terjadi kondensasi atas partikel-partikel uap air di atmosfer.
3) Partikel-partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk
kemudian jatuhke bumi dan permukaan laut (sebagai hujan ) karena grafitasi.

10
Hujan sangat dipengaruhi oleh iklim dan keadaan topografi daerah., sehingga
keadaanya sangat berbeda untuk masing-masing daerah.
Menurut Sri Harto (1993),Linsley, dkk (1986), tipe hujan sering dibedakan menurut
faktor penyebab terangkatnya udara yang mengakibatkan hujan adalah sebagai
berikut:
1) Hujan Konvektif (convective), bila terjadi ketidak seimbangan udara karena
panas setempat, dan udara bergerak keatas dan berlaku proses adiabatik.
Biasanya merupakan hujan dengan intensitas tinggi, dan terjadi dalam waktu
yang relatif singkat, didaerah yang relatif sempit.
2) Hujan Siklon (cyclonic), bila gerakan udara ke atas terjadi akibat adanya udara
panas yang bergerak diatas lapisan udara yang lebih padat dan lebih dingin.
Hujan jenis ini biasanya terjadi dengan intensitas sedang, mencakup daerah
yang luas dan berlangsung lama.
3) Hujan Orografik (orographic rainfall), terjadi karena udara bergerak ke atas
akibat adanyapegunungan. Akibatnya, terjadi dua daerah yang disebut daerah
hujan dan daerah bayanganhujan. Sifat hujan ini dipengaruhi oleh sifat dan
ukuran pegunungan.
Data hujan yang diperlukan dalam analisa hidrologi ada 5 unsur yang harus
ditinjau, yaitu:
1) Intensitas I, adalah laju hujan = tinggi hujan persatuan waktu, misalnya:
mm/menit, mm/jam, mm/hari.
2) Lama waktu (duration) t, adalah lamanya curah hujan (durasi) dalam menit
atau jam.
3) Tinggi hujan d, adalah jumlah atau banyaknya hujan yang dinyatakan dalam
ketebalan air di atas permukaan datar, dalam mm.
4) Frekwensi, adalah frekwensi kejadian, dinyatakan dengan waktu ulang (return
period ) T, misalnya sekali dalam T tahun.
5) Luas, adalah luas geografis curah hujan.

Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses


hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) akan dialihragamkan
menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan (surface runoff), aliran
antara (interflow, sub surface flow) maupun sebagai aliran air tanah (groundwater).

11
Instrumen pengukur hujan (raingauge) menurut Sri Harto (1993) ada dua jenis
yaitu penakar hujan biasa (manual raingauge), dan penakar hujan otomatik
(automatic raingauge). Alat-alat tersebut harus dipasang sesuai dengan aturan yang
ditetapkan oleh WMO (World Meteorological Organization) atau aturan yang
disepakati secara nasional di suatu Negara.
Data Hujan merupakan masukan utama dari sistem sungai dan aliran sungai.
Oleh karena itu untuk mengetahui semua karakteristik aliran, harus diketahui
informasi mengenai besaran curah hujan yang terjadi di lokasi yang sama atau
disekitarnya. Hampir semua kegiatan pengembangan sumber daya air memerlukan
informasi hidrologi untuk dasar perencanaan dan perancangan, salah satu informasi
hidrologi yang penting adalah data hujan. Data hujan ini dapat terdiri dari data hujan
harian, bulanan dan tahunan. Pengumpulan dan pengolahan data hujan ini
diharapkan dapat menyajikan data hujan yang akurat, menerus dan berkelanjutan
sesuai dengan kondisi lapangan, tersusun dalam sistem database, data menyediakan
data/informasi hidrologi yang tepat sesuai dengan kebutuhan.
Dengan berkembangnya kondisi Satuan Wilayah Sungai (SWS), maka kebutuhan
akan air semakin meningkat yang kadang-kadang terjadi konflik antar kepentingan.
Kecermatan dalam analisis ketersediaan air dapat dicapai bilamana tersedia data
hujan yang akurat. Data hujan ini juga digunakan untuk input evaluasi unjuk kerja
desaign capacity atau pedoman operasi bangunan air.
Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang terjadi
hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall). Mengingat hujan sangat
bervariasi terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu penakar
hujan belum dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut. Dalam hal ini diperlukan
hujan kawasan yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan beberapa stasiun
penakar hujan yang ada di dalam/atau disekitar kawasan tesebut.
Curah hujan setiap hari yang direkam dari stasiun curah hujan digunakan sebagai
masukan untuk pemodelan konsep periode pertumbuhan yang dihitung berdasarkan
curah hujan dengan metode interpolasi spasial.
Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematika yang menduga nilai pada
lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan bahwa
attribut data bersifat kontinu di dalam ruang (space) dan attribut ini saling
berhubungan (dependence) secara spasial.

12
Kedua asumsi tersebut mengindikasikan bahwa pendugaan attribut data dapat
dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi di sekitarnya dan nilai pada titik-titik yang
berdekatan akan lebih mirip daripada nilai pada titik-titik yang terpisah lebih jauh.
Ada beberapa metode interpolasi spasial yng digunakan untuk analisis sebaran
data yaitu salah satunya menggunakan metode invers distance. Metode interpolasi
invers distance merupakan suatu fungsi jarak antara titik sasaran (H0, V0) dan titik
contoh (Hi,Vi) untuk i = 1,2,3 , ..., n. Metode invers distance ini cukup baik dalam
menduga nilai contoh pada suatu lokasi . Sedangkan metode.
Data curah hujan yang tercatat diproses berdasarkan areal yang mendapatkan
hujan sehingga didapat tinggi curah hujan rata-rata dan kemudian meramalkan
besarnya curah hujan pada periode tertentu. Dalam menentukan Curah Hujan Areal
yang berasal dari pencatatan penakaran curah hujan. Dari pencatatan curah hujan,
kita hanya mendapatkan data curah hujan di suatu titik tertentu (point rainfall). Jika
dalam suatu areal terdapat beberapa alat penakar atau pencatat curah hujan, maka
dapat diambil nilai rata-rata untuk mendapatkan nilai curah hujan areal.

2.2.3 Data Klimatologi


Data klimatologi adalah data yang berkaitan dengan temperatur, penyinaran
matahari, kelembaban relatif dan kecepatan angin dalam suatu daerah dengan
pengaturan indeks tertentu. Data klimatologi yang telah terkumpul dianalisa dengan
menggunakan metode kombinasi Penmann-Mock untuk mendapatkan nilai
evapotranspirasi yang merupakan variabel penting dalam memprediksi debit andalan.
Data klimatologi yang digunakan diambil dari Stasiun di areal layanan Daerah
Irigasi yang bersangkutan. Data klimatologi digunakan untuk menghitung kebutuhan
air dan ketersediaannya (debit andalan). Untuk itu, data hujan yang digunakan
minimal data 20 tahun terakhir.
Klimatologi didekati dengan berbagai cara. Paleoklimatologi berusaha untuk
merekonstruksi masa lalu dengan memeriksa catatan iklim seperti inti es dan
lingkaran pada pohon (dendroclimatology). Paleotempestology menggunakan catatan
yang sama ini untuk membantu menentukan frekuensi badai selama ribuan tahun.
Studi tentang iklim kontemporer meteorologi menggabungkan data yang terkumpul
selama bertahun-tahun, seperti catatan curah hujan, suhu dan komposisi atmosfer.
Pengetahuan tentang dinamika atmosfer dan juga diwujudkan dalam model, baik

13
statistik atau matematika, yang membantu dengan mengintegrasikan berbagai
pengamatan dan menguji bagaimana mereka cocok bersama. Model ini digunakan
untuk memahami masa lalu, sekarang dan masa depan potensi iklim. Klimatologi
sejarah adalah studi tentang iklim yang terkaiAt dengan sejarah manusia dan dengan
demikian berfokus hanya pada beberapa ribu tahun terakhir.
Penelitian iklim dibuat sulit oleh skala besar, jangka waktu yang panjang, dan
proses kompleks yang mengatur iklim. Iklim diatur oleh hukum-hukum fisika yang
dapat dinyatakan sebagai persamaan diferensial. Persamaan ini digabungkan dan
nonlinier, sehingga penyelesaian perkiraan diperoleh dengan menggunakan metode
numerik untuk menciptakan model-model iklim global. Iklim kadang-kadang
dimodelkan sebagai proses stokastik tapi ini secara umum diterima sebagai sebuah
pendekatan untuk proses yang sebaliknya terlalu rumit untuk dianalisis.
Para ilmuwan menggunakan indeks iklim dalam usaha mereka untuk ciri dan
memahami berbagai mekanisme iklim yang berujung pada cuaca sehari-hari kita.
Banyak cara Dow Jones Industrial Average, yang didasarkan pada harga saham 30
perusahaan, digunakan untuk mewakili fluktuasi di pasar saham secara keseluruhan,
indeks iklim digunakan untuk mewakili unsur-unsur penting iklim. Indeks iklim
umumnya dirancang dengan tujuan kembar kesederhanaan dan kelengkapan, dan
setiap indeks biasanya mewakili status dan waktu dari faktor iklim yang diwakilinya.
Sesuai dengan sifatnya, indeks yang sederhana, dan menggabungkan banyak detail
menjadi umum, keseluruhan deskripsi tentang suasana atau laut yang dapat
digunakan untuk menandai faktor-faktor yang memengaruhi sistem iklim global.

a) ENSO
ENSO adalah seperangkat bagian berinteraksi satu sistem global dari laut-
atmosfer ditambah fluktuasi iklim yang terjadi sebagai akibat dari sirkulasi samudra
dan atmosfer. ENSO merupakan sumber yang dikenal paling menonjol antar-tahunan
variabilitas cuaca dan iklim di seluruh dunia. Siklus terjadi setiap dua sampai tujuh
tahun, dengan El Niño berlangsung sembilan bulan sampai dua tahun dalam jangka
panjang siklus, walaupun tidak semua area global terpengaruh. ENSO memiliki tanda
tangan di Pasifik, Atlantik dan Hindia. El Niño menyebabkan pola cuaca yang
menyebabkan itu menjadi hujan pada tempat tertentu tetapi tidak pada orang lain, ini
adalah salah satu dari banyak penyebab kekeringan.

14
Di Pasifik, selama peristiwa hangat besar, El Niño menghangatkan meluas
sampai hampir meliputi wilayah tropis Pasifik dan menjadi jelas terkait dengan
intensitas SO. Meskipun pada dasarnya peristiwa ENSO di fase antara Samudra
Pasifik dan Hindia, peristiwa ENSO di Samudra Atlantik tertinggal di belakang orang-
orang di Pasifik oleh 12 sampai 18 bulan. Banyak negara yang paling terkena dampak
peristiwa ENSO negara-negara berkembang dalam bagian tropis benua dengan
ekonomi yang sebagian besar tergantung dari sektor pertanian dan perikanan
sebagai sumber utama pasokan pangan, pekerjaan, dan valuta asing. New
kemampuan untuk memprediksi terjadinya peristiwa ENSO di tiga samudra global
dapat memiliki dampak sosial-ekonomi. Sementara ENSO adalah global dan bagian
alami dari iklim bumi, baik intensitas atau frekuensinya dapat berubah sebagai akibat
dari pemanasan global adalah perhatian penting. Variabilitas frekuensi rendah telah
dibuktikan: semi-decadal osilasi (QDO). Inter-decadal (ID) modulasi ENSO (dari PDO
atau IPO) mungkin ada. Ini bisa menjelaskan apa yang disebut ENSO berlarut-larut
pada awal 1990-an.

b) Madden-Julian Oscillation
The Madden-Julian Oscillation (MJO) adalah sebuah perjalanan khatulistiwa pola
curah hujan yang anomali dalam skala planet. Hal ini ditandai oleh perkembangan
timur daerah besar baik ditingkatkan dan ditekan curah hujan tropis, diamati terutama
di atas Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Anomali curah hujan yang biasanya
pertama kali terlihat di bagian barat Samudera Hindia, dan tetap jelas seperti menjalar
di atas air laut yang sangat hangat dari barat dan pusat tropis Pasifik. Pola curah
hujan tropis maka pada umumnya menjadi sangat mencolok ketika bergerak di atas
air laut lebih dingin timur Pasifik, tetapi muncul atas tropis Atlantik dan Samudera
Hindia. Tahap basah ditingkatkan konveksi dan curah hujan diikuti oleh fase kering
konveksi ditekan. Setiap siklus berlangsung sekitar 30-60 hari. Yang MJO juga
dikenal sebagai osilasi 30-60 hari, 30-60 hari gelombang, atau intraseasonal osilasi.

c) Northern Pacific (NP) Index


Indeks NP adalah daerah-berbobot tekanan permukaan laut di wilayah 30N-
65N, 160E-140W.

15
d) Pacific Decadal Oscillation (PDO)
PDO adalah pola variabilitas iklim Pasifik yang menggeser fase pada setidaknya
decadal antar-skala waktu, biasanya sekitar 20 sampai 30 tahun. PDO terdeteksi
sebagai hangat atau dingin air permukaan di Samudera Pasifik, sebelah utara 20 ° N.
Selama “hangat”, atau “positif”, fase, Pasifik barat menjadi dingin dan bagian dari laut
timur menghangatkan; saat ” keren “atau” negatif “fase, terjadi pola yang berlawanan.
Mekanisme dengan mana pola yang berlangsung selama beberapa tahun belum
dikenali; satu saran adalah bahwa lapisan tipis air hangat selama musim panas dapat
perisai yang lebih dalam air dingin. Sebuah sinyal PDO telah direkonstruksi ke 1661
melalui kronologi lingkaran pohon di wilayah Baja California.

e) Interdecadal Pacific Oscillation (IPO)


Pasifik yang Interdecadal Osilasi (IPO atau ID) layar yang mirip suhu permukaan laut
(SST) dan tekanan permukaan laut pola ke PDO, dengan siklus 15-30 tahun, tetapi
memengaruhi baik utara dan selatan Pasifik. Dalam Pasifik tropis, anomali SST
maksimum ditemukan jauh dari khatulistiwa. Hal ini sangat berbeda dari quasi-
decadal osilasi (QDO) dengan jangka waktu 8-ke-12 tahun dan maksimum anomali
SST mengangkangi khatulistiwa, sehingga menyerupai ENSO.

f) Models
Model iklim menggunakan metode kuantitatif untuk mensimulasikan interaksi
atmosfer, lautan, permukaan tanah, dan es. Mereka digunakan untuk berbagai tujuan
dari studi mengenai dinamika iklim cuaca dan sistem untuk proyeksi iklim pada masa
mendatang. Semua model iklim keseimbangan, atau sangat hampir keseimbangan,
energi yang masuk sebagai gelombang pendek (termasuk terlihat) radiasi
elektromagnetik ke bumi dengan energi keluar sebagai gelombang panjang
(inframerah) radiasi elektromagnetik dari bumi. Setiap hasil ketidakseimbangan dalam
perubahan dalam suhu rata-rata bumi.
Yang paling banyak dibicarakan model beberapa tahun terakhir telah
temperatur yang berkaitan dengan emisi karbon dioksida (lihat gas rumah kaca).
Model ini memprediksi tren kenaikan dalam catatan suhu permukaan, serta lebih
cepat peningkatan suhu pada ketinggian yang lebih tinggi.
Model dapat berkisar dari yang relatif sederhana yang cukup kompleks:

16
1. Berseri-seri sederhana model perpindahan panas yang
memperlakukan bumi sebagai satu titik dan rata-rata energi keluar
2. Ini dapat diperluas secara vertikal (konveksi radiasi-model), atau
horizontal
3. Akhirnya, (ditambah) atmosfer-laut-laut es discretise model iklim global
dan memecahkan persamaan penuh massa dan energi untuk transfer
dan pertukaran berseri-seri.

2.3 Curah Hujan Rerata Daerah (Area Rainfall)


Besarnya curah hujan disuatu tempatsangat dipengaruhi oleh lokasi geografis dan
kondisi alam sekitarnya. Lautan adalah sumber dari curah hujan tersebut. Penguapan
terjadi darilautan yang menguap akibat panas matahari dan uap air terserap dalam arus
udara yang bergerak melewati permukaan laut. Udara yang mengandung uap air
tersebut naik ke atmosfer lalu mendingin sampai di bawah suhu titik embun pada waktu
uap air itu tercurah sebagai hujan.
Curah hujan yang diperlukan dalam merencanakan pemanfaatan air dan merancang
pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan,
bukan hanya curah hujan pada suatu titik tertentu. Apabila pada suatu daerah terdapat
lebih dari satu stasiun penakar hujan yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang
tercatat di masing-masing stasiun dapat tidak sama. Curah hujan ini disebut curah hujan
wilayah dan dinyatakan dalam kedalaman air (mm).
Dalarn analisis hidrologi diperlukan untuk menentukan hujan rerata pada daerah
tersebut, yang dapat dilakukan dengan tiga metode berikut yaitu metode rerata aritmatik
(aljabar), metode poligon Thiessen, dan metode Isohyet.

1. Metode Rerata Aritmatik (Aljabar)


Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata pada
suatu daerah. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu
yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun.
Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada
di dalam DAS; tetapi stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa
diperhitungkan.Metode rerata aljabar ini memberikan hasil yang baik apabila:

17
a) Stasiun hujan tersebar secara merata di DAS,
b) Distribusi hujan relatif merata pada seluruh DAS.

Nilai curah hujan daerah / wilayah ditentukan menggunakan rumus berikut:

R1 +R2 +R3 +…..…… +Rn


X= ............................................ ………………. (2.1)
n

dengan:
X = besar curah hujan rerata daerah (mm)
R1… Rn = besar hujan di setiap titik pengamatan (mm)
n = jumlah titik pengamatan (stasiun hujan)

2. Metode Thiessen
Metode poligon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung hujan
rerata kawasan. Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing
stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS
dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang
terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan
tersebut, Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah
yang ditinjau tidak merata. Hitungan curah hujan rerata dilakukan dengan
memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun. Pembentukan poligon
Thiessen adalah sebagai berikut ini:
a. Stasiun pencatat hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau,
termasuk stasiun hujan di luar DAS yang berdekatan, seperti dalam
Gambar 2.2.
b. Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis terputus)
sehingga membentuk segitiga-segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi
dengan panjang yang kira-kira sama.
c. Dibuat garis berat pada sisi-sisi segitiga seperti ditunjukkan dengan garis
penuh seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2
d. Garis-garis berat tersebut membentuk poligon yang mengelilingi tiap
stasiun, yang mewakili luasan yang dibentuk oleh poligon. Untuk stasiun

18
yang berada di dekat batas DAS, garis batas DAS membentuk batas
tertutup dari poligon.
e. Luas tiap poligon diukur dan kemudian dikalikan dengan kedalaman hujan
di stasiun yang berada di dalam poligon.
f. Jumlah dari hitungan pada butir e untuk semua stasiun dibagi dengan luas
daerah yang ditinjau menghasilkan hujan rerata daerah tersebut, yang
dalam bentuk matematik mempunyai bentuk berikut ini.

A1 R1 +A2 R2 +A3 R3 +…..…… +AnRn


X= .................................................... …. (2.2)
A1 +A2 +A3 +…..…… +An

dengan:
X = besar curah hujan rerata daerah (mm)
R1… Rn = besar hujan di tiap titik pengamatan (mm)
A1… An =luas daerah yang mewakili tiap stasiun (km2)

(Sumber: Triatmodjo, 2008)


Gambar 2.2 Poligon Thiessen

19
3. Metode Isohyet
Isohiet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman
hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu
daerah di antara dua garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai
rerata dari kedua garis isohyet tersebut. Pembuatan garis isohyet dilakukan
dengan prosedur berikut ini:
a. Lokasi stasiun hujan dan kedalaman hujan digambarkan pada peta
daerah yang ditinjau.
b. Dari nilai kedalaman hujan di stasiun yang berdampingan dibuat
interpolasi dengan pertambahan nilai yang ditetapkan.
c. Dibuat kurva yang menghubungkan titik-titik interpolasi yang
mempunyai kedalaman hujan yang sarna. Ketelitian tergantung pada
pembuatan garis isohyet dan intervalnya.
d. Diukur luas daerah antara dua isohyet yang berurutan dan kemudian
dikalikan dengan nilai rerata dari nilai kedua garis isohyet.
e. Jumlah dari hitungan pada butir d untuk seluruh garis isohyet dibagi
dengan luas daerah yang ditinjau menghasilkan kedalaman hujan
rerata daerah tersebut. Secara matematis hujan rerata tersebut dapat
ditulis:

R +R R +R R +R
A1 1 2 +A2 2 3 +…..…… +An n n+1
2 2 2
X= A1 +A2+…..…… +An
.......................... .……………. (2.3)

atau

R +R
∑ni=1 Ai i i+1
2
X= ∑ni=1 Ai
………………………………………………………. (2.4)

dengan:
X =besar curah hujan rerata daerah(mm)
A1 ,A2 ,…,An =luas bagian-bagian antara garis-garis isohyet (km2 )
R1… Rn =besar curah hujan rata – rata pada bagian A1 ,A2 ,…,An

20
(Sumber: Triatmodjo, 2008)
Gambar 2.3Metode Isohyet

2.4 Hujan Rancangan


2.4.1 Perhitungan Dispersi
Pada kenyataannya tidak semua varian dari suatu variabel hidrologi terletak
atau sama dengan nilai rata-ratanya. Variasi atau dispersi adalah besarnya derajat
dari sebaran varian di sekitar nilai rata-ratanya. Cara menghitung besarnya dispersi
disebut perhitungan dispersi.

21
2.4.1.1 Dispersi Parameter Statistik
1. Deviasi standar (S)

̅ )2
∑(Xi −X
S=√ n−1
………………………………………………… (2.5)

dimana:
S = standar deviasi
Xi = nilai hujan DAS ke i
̅
X = nilai rata-rata hujan DAS
n = jumlah data

2. Koefisien skewness (Cs)


Koefesien Skewness (Cs), yaitu suatu nilai yang menunjukan
derajat ketidak simetrisan dari suatu bentuk distribusi.

n ∑n (X −X
̅ )3
3 ……………………………………………. (2.6)
i=1 i
Cs = (n−1)(n−2)S

dimana;
Cs = koefisien skewness
Xi = nilai hujan DAS ke i
̅
X = nilai rata-rata hujan DAS
n = jumlah data

Untuk kurva distribusi yang bentuknya simetris, maka Cs = 0,00;


kurva distribusi yang bentuknya menceng ke kanan maka Cslebih
besar nol, sedangkan yang bentuknya menceng ke kiri maka Cs
kurang dari nol.

22
3. Pengukuran Kurtois (Ck)
Pengukuran Kurtosis, yaitu untuk mengukur keruncingan yang
munculdari bentuk kurvadistribusi.

n2 ∑n (X −X
̅ )4
4 ……………………………………… (2.7)
i=1 i
Ck = (n−1)(n−2)(n−3)S

dimana;
Ck = Pengukuran Kurtosis
S = standar deviasi
Xi = nilai hujan DAS ke i
̅
X = nilai rata-rata hujan DAS
n = jumlah data

4. Koefisien Variasi
Koefisien Variasi (CV), yaitu nilai perbandingan antara standar
deviasi dengan nilai rata-rata hitung suatu distribusi.

S
Cv = ̅ ……………………………………………………………. (2.8)
X

dimana;
Cv = Koefisien Variasi
S = standar deviasi
̅
X = nilai rata-rata hujan DAS
Dari nilai-nilai di atas, kemudian dilakukan pemilihan jenis sebaran
yaitu dengan membandingan koefisien distribusi dari metode yang
akan digunakan.

23
2.4.1.2 Dispersi Parameter Logaritma
1. Deviasi standar (S)
̅ )2
∑(log Xi −X
S=√ n−1
……………………………………………….. (2.9)

dimana:
S = standar deviasi
X i = nilai hujan DAS ke i
̅
X = nilai rata-rata hujan DAS
n = jumlah data

2. Koefisien skewness (Cs)


n ∑n ̅ 3
i=1(log Xi −X)
Cs = (n−1)(n−2)S3
……………………………………………… (2.10)

dimana;
Cs = koefisien skewness
X i = nilai hujan DAS ke i
̅
X = nilai rata-rata hujan DAS
n = jumlah data

3. Pengukuran Kurtois (Ck)


n2 ∑n ̅ )4
(log X −X
4 …………………………………………….(2.11)
i=1 i
Ck = (n−1)(n−2)(n−3)S

dimana;
Ck = Pengukuran Kurtosis
S = standar deviasi
X i = nilai hujan DAS ke i
̅
X = nilai rata-rata hujan DAS
n = jumlah data

24
4. Koefisien Variasi
S
Cv = X̅…………………………………………………………. (2.12)

dimana;
Cv = Koefisien Variasi
S = standar deviasi
̅
X = nilai rata-rata hujan DAS

2.4.2 Pemilihan Jenis Sebaran


Ada berbagai macam distribusi teoritis yang kesemuanya dapat dibagimenjadi
dua yaitu distribusi diskrit dan distribusi kontinyu. Yang diskrit adalahBinomial dan
Poisson, sedangkan yang kontinyu adalah Normal, Log Normal,Gama, Beta, Pearson
dan Gumbel. Untuk memilih jenis sebaran, ada beberapa macam distribusi yang
sering dipakai yaitu Distribusi Normal, Distribusi Log Normal, Distribusi Gumbel, dan
Distribusi Log Pearson III. Dalam tahap pehitungan pada perencanaan ini,
berdasarkan soal yang telah diberikan maka digunakan Jenis sebaran Distribusi Ej
Gumbel dan Log Normal.

2.4.2.1 Metode Ej Gumbel


Distribusi Gumbel umumnya digunakan untuk analisis data ekstrem, misalnya untuk
analisis frekuensi banjir.
Untuk menghitung curah hujan rencana dengan metode distribusi Ej Gumbel digunakan
persamaan distribusi frekuensi empiris sebagai berikut :
Rumus :
Y−Yn
̅+(
Xt = X )× S…………………………………………………………. (2.13)
Sn

dimana;
Xt :curah hujan rencana
̅
X : curah hujan rata-rata
S : standar deviasi
Sn : standar deviasi ke n (Tabel 2.1)
Yn : koefisien untuk distribusi Gumbel ke n (Tabel 2.2)
Y : koefisien untuk distribusi Gumbel (Tabel 2.3)

25
Tabel 2.1 Hubungan antara Deviasi Standar(Sn) dengan Jumlah Data (n)
N Sn n Sn n Sn N Sn

10 0,9496 33 1,1226 56 1,1696 79 1,1930

11 0,9676 34 1,1255 57 1,1708 80 1,1938

12 0,9833 35 1,1285 58 1,1721 81 1,1945

13 0,9971 36 1,1313 59 1,1734 82 1,1953

14 1,0095 37 1,1339 60 1,1747 83 1,1959

15 1,0206 38 1,1363 61 1,1759 84 1,1967

16 1,0316 39 1,1388 62 1,1770 85 1,1973

17 1,0411 40 1,1413 63 1,1782 86 1,1980

18 1,0493 41 1,1436 64 1,1793 87 1,1987

19 1,0565 42 1,1458 65 1,1803 88 1,1994

20 1,0628 43 1,1480 66 1,1814 89 1,2001

21 1,0696 44 1,1499 67 1,1824 90 1,2007

22 1,0754 45 1,1519 68 1,1834 91 1,2013

23 1,0811 46 1,1538 69 1,1844 92 1,2020

24 1,0864 47 1,1557 70 1,1854 93 1,2026

25 1,0915 48 1,1574 71 1,1863 94 1,2032

26 1,0961 49 1,1590 72 1,1873 95 1,2038

27 1,1004 50 1,1607 73 1,1881 96 1,2044

28 1,1047 51 1,1623 74 1,1890 97 1,2049

29 1,1086 52 1,1638 75 1,1898 98 1,2055

30 1,1124 53 1,1658 76 1,1906 99 1,2060

31 1,1159 54 1,1667 77 1,1915 100 1,2065

32 1,1193 55 1,1681 78 1,1923 - -

Sumber: Soewarno 1995, Hidrologi

26
Tabel 2.2. Hubungan Reduksi Variat Rata-Rata (Yn ) dengan Jumlah Data (n)
n Yn n Yn n Yn N Yn

10 0,4952 33 0,5388 56 0,5508 79 0,5567

11 0,4996 34 0,5396 57 0,5511 80 0,5569

12 0,5035 35 0,5402 58 0,5515 81 0,5570

13 0,5070 36 0,5410 59 0,5518 82 0,5572

14 0,5100 37 0,5418 60 0,5521 83 0,5574

15 0,5128 38 0,5424 61 0,5524 84 0,5576

16 0,5157 39 0,5430 62 0,5527 85 0,5578

17 0,5181 40 0,5439 63 0,5530 86 0,5580

18 0,5202 41 0,5442 64 0,5533 87 0,5581

19 0,5220 42 0,5448 65 0,5535 88 0,5583

20 0,5236 43 0,5453 66 0,5538 89 0,5585

21 0,5252 44 0,5458 67 0,5540 90 0,5586

22 0,5268 45 0,5463 68 0,5543 91 0,5587

23 0,5283 46 0,5468 69 0,5545 92 0,5589

24 0,5296 47 0,5473 70 0,5548 93 0,5591

25 0,5309 48 0,5477 71 0,5550 94 0,5592

26 0,5320 49 0,5481 72 0,5552 95 0,5593

27 0,5332 50 0,5485 73 0,5555 96 0,5595

28 0,5343 51 0,5489 74 0,5557 97 0,5596

29 0,5353 52 0,5493 75 0,5559 98 0,5598

30 0,5362 53 0,5497 76 0,5561 99 0,5599

31 0,5371 54 0,5501 77 0,5563 100 0,5600

32 0,5380 55 0,5504 78 0,5565 - -

Sumber: Soewarno 1995, Hidrologi

27
Tabel 2.3 Koefisien untuk distribusi Gumbel
Periode Ulang
KT
T (tahun)

5 1.4999

20 2.9702

50 3.9019

100 4.6001

200 5.296

1000 6.919

Sumber: Soewarno 1995, Hidrologi

2.4.2.2 Metode Log Normal


Distribusi Log Normal, merupakan hasil transformasi dari Distribusi Normal, yaitu
dengan mengubah varian X menjadi nilai logaritmik varian X. Distribusi log-normal
disebut juga Galton-Mcalister distribution, Kapteyn distribution, atau Gibrat distribution.

Rumus:
log Xt = LogXrt + k × S……………………………………………………………. (2.14)
Xt = 10logXt …………………………………………………………………….. (2.15)
Dimana:
Xt = curah hujan rencana
̅ = curah hujan rata-rata
X
k = koefisien untuk distribusi normal (Tabel 2.4)
S = Standar Deviasi

28
Tabel 2.4 Nilai Variabel Reduksi Gauss
Periode Ulang Peluang KT

T (tahun)

1,001 0,999 -3,05

1,005 0,995 -2,58

1,010 0,990 -2,33

1,050 0,950 -1,64

1,110 0,900 -1,28

1,250 0,800 -0,84

1,330 0,750 -0,67

1,430 0,700 -0,52

1,670 0,600 -0,25

2,000 0,500 0

2,500 0,400 0,25

3,330 0,300 0,52

4,000 0,250 0,67

5,000 0,200 0,84

10,000 0,100 1,28

20,000 0,050 1,64

50,000 0,200 2,05

100,000 0,010 2,33

200,000 0,005 2,58

500,000 0,002 2,88

1,000,000 0,001 3,09

(Sumber: Bonnier, 1980; dalam Soewarno, 1995)

Untuk menentukan distribusi yang tepat dalam menghitung curah hujan rencana
dengan periode ulang t tahun, maka perlu diperhatikan syarat-syarat dalam tabel 2.5

29
Tabel 2.5Kriteria Pemilihan Distribusi
No. Jenis Distribusi Syarat

1. Distribusi Gumbel Cs < 1,1396

Ck < 5,4002

2. Distribusi Log Normal Cs = 3 Cv, Cv = 0,6

(Sumber: Bonnier, 1980; dalam Soewarno, 1995)

2.5 Uji Pemilihan Distribusi Frekuensi


Uji kecocokan distribusi dilakukan untuk mengetahui jenis metode yang paling
sesuai dengan data debit atau hujan. Uji metode dilakukan dengan uji keselarasan
distribusi yang dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi peluang
yang telah dipilih, dapat mewakilidari distribusi statistik sampel data yang dianalisis
(Soewarno, 1995).
Ada dua jenis uji keselarasan yaitu uji Chi-Kuadrat (Chi-Square) dan Smirnov
Kolmogorof. Pada tes ini biasanya yang diamati adalah hasil perhitungan yang
diharapkan.

2.5.1 Uji Chi-Kuadrat


Prinsip pengujian dengan metode ini didasarkan pada jumlah pengamatan
yang diharapkan pada pembagian kelas, dan ditentukan terhadap jumlah data
pengamatan yang terbaca di dalam kelas tersebut, atau dengan membandingkan nilai
chi square (X2) dengan nilai chi squarekritis (X2cr). Uji keselarasan chi kuadrat
menggunakan rumus (Soewarno, 1995):

(Of-Ef)2
X 2 = ∑N
t=1 Ef
...................................................................................... (2.16)

dengan:
X2 = nilai Chi-Square terhitung
Ef = frekuensi (banyak pengamatan) yang diharapkan sesuai dengan pembagian
kelasnya.
Of = frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama
N =jumlah sub-kelompok dalam satu grup

30
Suatu distribusi dikatakan selaras jika nilai X2 hitungdiperoleh lebih kecil dari
nilai X2cr (Chi-Kuadrat kritik), untuk suatu derajat nyata tertentu, yang sering diambil
5%. Derajat kebebasan dihitung dengan persamaan berikut :

DK=K-(α+1) ........................................................................................... (2.17)

dengan :
DK = derajad kebebasan
K = banyaknya kelas
α = banyaknya keterikatan (parameter), untuk uji Chi-Kuadrat adalah 2.
Nilai X2cr , diperoleh dari Tabel 2.6 dibawah ini. Disarankan agar banyaknya
kelas tidak kurang dari 5 dan frekuensi absolut tiap kelas tidak kurang dari 5 pula.

Tabel 2.6 Nilai Chi Kuadrat Kritis


Distribusi X2
DK
0.995 0.9 0.5 0.1 0.05 0.01

1 0 0.016 0.455 2.706 3.841 6.635

2 0.01 0.211 1.386 4.605 5.991 9.21

3 0.072 0.584 2.366 6.251 7.815 11.345

4 0.207 1.064 3.357 7.779 9.488 13.277

5 0.412 1.61 4.351 0.236 11.07 15.086

6 0.676 2.402 5.348 10.645 12.592 16.812

7 0.989 2.833 6.346 12.017 14.067 18.475

8 1.344 3.49 7.344 13.362 15.507 20.09

9 1.735 4.168 8.343 14.684 16.919 21.666

10 2.156 4.865 9.342 15.987 18.307 23.209

(Sumber: Soemarto, 1987)

31
2.5.2 Smirnov-Kolmogorof
Uji Smirnov Kolmogorof digunakan untuk menguji kesesuaian dari distribusi
secara horizontal dari data. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan
probabilitas tiap data antara sebaran empiris dan sebaran teoritis. Sebagai alternatif
untuk menguji kesesuaian distribusi (goodness of fit), dapat digunakan Uji Smirnov-
Kolmogorov. Caranya dengan mengurutkan data X dari kecil ke besar. Kemudian
menghitung simpangan maksimum D dengan rumus:

D  Max | P ( x)  P ( x) | .................................................................. … (2.17)


t e
dengan:
Pt(x) = posisi data Xmenurut garis sebaran teoritis.
Pe(x) = posisi data X menurut pengamatan, dalam hal ini dipakai posisi plotting
menurut Weibull
Untuk mendapatkan Sn(x) memakai posisi plotting dari Weibull, digunakan
rumus berikut.
m
P ( x)  ......................................................................................... (2.18)
e 1 n

Sedangkan Pt (x) adalah besarnya probabilitasdari sebaran yang diujiuntuk dataX.


Apabila diketahui besarnya Pr (probabilitas terjadi),maka:

P  1 / Tr .............................................................................................. (2.19)
t

 Tr (Q)  1
Yt =  ln  ln
Tr (Q) 
...................................................................... (2.20)

dengan:
Pr = Probabilitas data X untuk disamai atau dilampaui

Simpangan maksimum D dari hasil perhitungan lalu dibandingkan dengan nilaiD kritis
(Dcr) dari Tabel 2.7 berikut

32
Tabel 2.7 nilai D kritis (Dcr) Smirnov Kolmogorof
Level of Significance (a)
N
20 15 10 5 1
1 0.9 0.925 0.95 0.975 0.995
2 0.684 0.726 0.776 0.842 0.929
3 0.565 0.597 0.642 0.708 0.829
4 0.494 0.525 0.564 0.624 0.734
5 0.446 0.474 0.51 0.563 0.669
6 0.41 0.436 0.47 0.521 0.618
7 0.381 0.405 0.438 0.486 0.577
8 0.358 0.381 0.411 0.4457 0.543
9 0.339 0.36 0.388 0.432 0.514
10 0.322 0.342 0.368 0.409 0.486
11 0.307 0.326 0.352 0.391 0.468
12 0.295 0.313 0.338 0.375 0.45
13 0.284 0.302 0.325 0.361 0.433
14 0.274 0.292 0.314 0.349 0.418
15 0.266 0.283 0.304 0.338 0.404
16 0.258 0.274 0.295 0.328 0.391
17 0.25 0.266 0.286 0.318 0.38
18 0.244 0.259 0.278 0.309 0.37
19 0.237 0.252 0.272 0.301 0.361
20 0.231 0.246 0.264 0.294 0.352
1.07 1.14 1.22 1.36 1.63
N > 50
N0,5 N0,5 N0,5 N0,5 N0,5
(Sumber: Soemarto, 1987)

33
2.6 Distribusi Curah Hujan Jam-Jaman
Data Hujan rencana yang diperlukan dalam perhitungan debit rencana dapat berupa;

a) Intesitas hujan rencana di satu titik waktu.

Gambar 2.3 Kedalaman hujan rencana di satu titik waktu padaCurve IDF

(Sumber: Kamiana, 2012)

34
b) Ketinggian hujan rencana yang terdistribusi dalam hujan jam-jaman (hidrograf
hujan rencana)

Gambar 2.4Hidrograf hujan rencana

(Sumber: Kamiana, 2012)

Kurve yang ditunjukkan dalam Gambar 2.3 sering disebut Curve IDF (Intensity-
Duration-Frequency Curve). Kurva ini menggambarkan hubungan antara intensitas hujan,
durasi atau lama hujan, dan frekuensi hujan atau periode ulang.
Nilai intensitas hujan rencana yang diperoleh dari Curve IDF diperlukan dalam
metode perhitungan debit rencana non hidrogaf, contohnya Metode Rasional.
Intensitas hujan atau intensitas hujan rencana dapat dikatakan sebagai ketinggian
atau kederasan hujan per satuan waktu, biasanya dalam satuan (mm/jam) atau (cm/jam).
Jika volume hujan adalah tetap, mak intensitas hujan akan makin tinggi seiring
dengan durasi hujan yang makin singkat, sebaliknya intensitas hujan makin rendah seiring
dengan durasi hujan yang makin lama.
Disamping itu, berkaitan dengan intensitas hujan rencana, tinggi intensitas huja
rencana akan semakin besar seiring dengan periode ulang yang semakin besar.
Data yang diperlukan untuk menurunkan Curve IDF terukur adalah data hujan jangka
pendek, seperti hujan 5 menit, 10 menit, 30 menit, 60 menit, dan data hujan jam-jaman.
Kemudian persamaan regresinya dapat didekati dengan beberapa rumus Talbot, Ishiguro,
dan Sherman.

35
Jika data hujan jangka pendek tidak tersedia, dan yan tersedia adalah jangka hujan
harian maka persamaan regresi Curve IDF dapat diturunkan dengan metode Monobe.
Selain itu, metode Van Breen juga dapat digunakan untuk menurunkan Curve IDF
yang didasarkan pada hujan harian. Namun dalam penentuan persamaan regresinya,
metode Van Breen memerlukan Curve IDF terukur, disarankan dari daerah pengaliran
terdekat, sebagai perbangingan bentuk curve.
Grafik yang ditunjukkan dalam Gambar 2.4 adalah ketinggian hujan yang terdistribusi
sebagai fungsi waktu, misalnya dalam bentuk hujan jam-jaman atau disebut dengan hidrograf
hujan.
Data hidrograf hujan rencana diperlukan bila debit rencana dihitung dengan Metode
Hidograf.
Jika yang tersedia adalah data hujan harian atau hujan rencana maka hidrograf hujan
dapat disusun dengan Model Seragam dan Model Segitiga. Sedangkan yang tersedia adalah
data intensitas hujan maka hidrograf hujan dapat disusun dengan Model Alternating Block
Method (ABM).

1) Curve IDF Terukur


Penurunan Curve IDF terukur, seperti telah diuraikan sebelumnya, memerlukan data
hujan jangka pendek. Jika data hujan tersebut sudah tersedia maka perhitungan Curve
IDF dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Ubah data hujan dengan durasi menitan atau jaman menjadi data
intensitas hujan menitan atau jaman.
2) Hitung nilai rata-rata data intensitas hujan pada setiap durasi
3) Hitung standar deviasi data intensitas hujan pada setiap durasi.
4) Hitung dan rekap nilai intensitas hujan rencana pada setiap durasi dengan
berbagai periode ulang berdasarkan distribusi probabilitas seperti;
a. Gumbel
b. Normal
c. Log Pearosn Type III dan yang lainnya.
5) Plot nilai intensitas hujan rencana sebagai ordinat dan durasi sebagai
absis, sehinga diperoleh sebaran data koordinat.

36
6) Berdasarkan sebaran data koordinat tersebut kemudian dihitung
persamaan garis regresi Curve IDF dengan rumus;

1. Tablot
a
I= …………………………………………………………….. (2.21)
t+b

Keterangan rumus:
𝐼 =intensitas hujan (mm/jam)
𝑡 = durasi hujan (menit atau jam)
𝑎 dan 𝑏 = tetapan
𝑁 = jumlah data

(𝑡×𝐼)×(𝐼2 )−(𝐼2 ×𝑡)×(𝐼)


𝑎= …………………………………………… (2.22)
𝑁×(𝐼2 )(𝐼)×(𝐼)

(𝐼)×(𝑡×𝐼)−𝑁×(𝐼2 ×𝑡)
𝑏= 𝑁×(𝐼2 )(𝐼)×(𝐼)
………………………………………………(2.21)

2. Ishiguro
𝑎
𝐼= …………………………………………………………..(2.22)
√𝑡+𝑏

Keterangan rumus:
𝐼 =intensitas hujan (mm/jam)
𝑡 = durasi hujan (menit atau jam)
𝑎 dan 𝑏 = tetapan
𝑁 = jumlah data
(√t×I)×(I2 )−(I2 ×√t)×(I)
a= N×(I2 )(I)×(I)
………………………………………..(2.23)

(I)×(√t×I)−N×(I2 ×√t)
b= N×(I2 )(I)×(I)
………………………………………….(2.24)

37
3. Sherman

𝑎
𝐼= ……………………………………………………………(.2.25)
𝑡𝑛

Keterangan rumus:
𝐼 =intensitas hujan (mm/jam)
𝑡 = durasi hujan (menit atau jam)
𝑎 dan 𝑏 = tetapan
𝑁 = jumlah data

(Log I)×(Log t)2 −(Log t×Log I)×(Log t)


Log a = N×(Log t)2 −(Log t)(Log t)
……………………...(2.26)

(Log I)×(Log t)−N×(Log t×Log I)


n= N×(Log t)2 −(Log t)×(Log t)
………………………………..(2.27)

7) Pilih salah satu diantara tiga rumus pada butir (6) sebagai rumus regresi
paling sesuai berdasarkan nilai srtandar deviasi kecil.

2) Rumus Van Breen


Dalam rumus Van Breen, durasi hujan harian diasumsikan 4 jam khususnya di pulau
Jawa, dan besarnya hujan harian efektif adalah 90 % dari hujan harian maksimum.
Berdasarkan pengertian diatas, maka rumus intensitas hujan menurut Van Breen adalah:

90%×𝑋24
𝐼= 4
…………………………………………………………………………. (2.28)

Keterangan rumus:

𝐼 = intensitas hujan (mm/jam)

𝑋24 = hujan harian maksimum (mm)


Setelah diketahui besarnya intensitas hujan pada saat 4 jam, kemudian ditentukan
persamaan regresi kurve intensitas. Penentuan persamaan regresi tersebut dilakukan
dengan mengacu pada kurve intensitas terukur.

38
3) Rumus Monobe
Kurve intensitas hujan rencana, jika yang tersedia adalah hujan harian, dapat ditentukan
dengan Rumus Monobe. Bentuk umum dari Rumus Monobe adalah:
2
𝑋24 24 3
𝐼= 4
× 𝑡 ……………………………………………………………………. (2.29)

Keterangan rumus:

𝐼 = intensitas hujan (mm/jam)

𝑋24 = hujan harian maksimum (mm)


𝑡 = durasi hujan atau waktu konsentrasi (jam)

4) Model Hidrograf Hujan Rencana Seragam


Model hujan jam-jaman seperti ini adalah model hujan rencana yang paling sederhana.
Dalam model ini, tinggi hujan rencana dianggap lama selama durasi hujan. Oleh karena
itu, intensitas hujan rencana tiap jam dirumuskan sebagai berikut:
𝑋
𝐼 = 𝑡 ……………………………………………………………………………. (2.30)

Keterangan rumus:
𝐼 = intensitas hujan rencana (mm/jam)
𝑋 = tinggi hujan rencana (mm)
𝑡 = durasi hujan rencana (jam)

Gambar 2.5Hidrograf seragam


(Sumber: Kamiana, 2012)

39
5) Model Hidrograf Hujan Rencana Segitiga
Dalam model seperti ini, distribusi tinggi hujan rencana jam-jaman dianggap berbentuk
segitiga, yakni diawali dan diakhiri dengan tinggi hujan sama dengan nol, dan diantaranya
adalah terdapat tinggi puncak hujan rencana.
Tinggi puncak hujan rencana dihitung dengan rumus:
2𝑋
𝐼𝑝 = 𝑡
…………………………………………………………………………… (2.31)

Keterangan rumus:

𝐼𝑝 = puncak intensitas hujan rencana (mm/jam)

𝑋 = tinggi hujan rencana (mm)

t = durasi hujan rencana (jam)


Waktu puncak intensitas hujan rencana dihitung dengan rumus berikut;
𝑡𝑝 = 𝑟 × 𝑡………………………………………………………………………. (2.32)
Keterangan rumus:
𝑡𝑝 = puncak intensitas hujan rencana (mm/jam)
𝑡 = durasi hujan rencana (jam)
𝑟 = rasio antara waktu puncak durasi hujan rencana, nilainya antara 0,3 s/d 0,5.
𝑡𝑏 = waktu turun (jam)

Gambar 2.6Hidrograf Segitiga


(Sumber: Kamiana, 2012)

40
6) Alternating Block Method
Hidrograf hujan rencana yang dihasilkan oleh model ini adalah berupa distribusi tingi
hujan rencana dalam n rangkaian interval waktu dengan durasi ∆𝑡 selama waktu t (jadi
𝑡 = 𝑛 × ∆𝑡).

2.7 Koefesien Pengaliran


Besarnya koefisien pengaliran a dipengaruhi antara lain oleh :
a) Bentuk dan luas daerah pematusan
b) Miring daerah pematusan dan miring palung sungai
c) Keadaan daerah pematusan yang terpenting ialah besarnya kemampuan
mengisap/menyerap dan daya menahan air
d) Keadaan flora daerah pematusan
e) Daya tampung penampang sungai
f) Tinggi suhu, besarnya angin disertai tingkat penguapannya
g) Jatuhnya hujan yang mendahului hujan maksimum dalam persoalan

Mengingat sukarnya unsur-unsur yang mempengaruhi ini dirumuskan dengan


terperinci, maka besarnya koefisien aliran diasumsikan 0,50.
Koefisien air larian (C) adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan
antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan. Koefisien aliran yang
diasumsikan adalah 0,50 hal ini berarti 50% dari total curah hujan akan menjadi air
larian. Angka C ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu
DAS telah mengalami gangguan fisik. Nilai C yang besar berarti sebagian besar air
hujan menjadi air larian, maka ancaman erosi dan banjir akan besar. Besaran nilai C
akan berbeda -beda tergantung dari topografi dan penggunaan lahan. Semakin curam
kelerengan lahan semakin besar nilai C lahan tersebut.
Nilai C pada berbagai topografi dan penggunaan lahan bisa dilihat pada Tabel 2.8

41
Tabel 2.8 Koefisien Run Off

Kondisi Daerah Nilai C

Pegunungan yang curam 0.75 – 0.90

Pegunungan tersier 0.70 – 0.80

Tanah bergelombang dan hutan 0.50 – 0.75

Tanah dataran yang ditanami 0.45 – 0.60

Persawahan yang diairi 0.70 – 0.80

Sungai di daerah pegunungan 0.75 – 0.85

Sungai kecil di dataran 0.45 – 0.75

Sungai besar di dataran 0.50 – 0.75

Sumber : Dr. Mononobe dalam Suyono S. (1999).

2.8 Analisa Curah Hujan Netto Jam-Jaman


Hujan Netto adalah curah hujan yang menghasilkan limpasan langsung.
Besarnya hujan netto jam – jaman diperoleh dari perkalian antara hujan yang terjadi
dengan koefisien pengaliran..
Dengan menganggap bahwa proses transformasi hujan menjadi limpasan
langsung mengikuti proses linier dan tidak berubah oleh waktu (linear and
timeinvariant process), maka hujan netto (Rn) dapat dinyatakan sebagai berikut :

Rn = C x R……………………………………………………………………….(2.33)

dengan :
Rn = Hujan netto
C = Koefisien limpasan
R = Intesitas curah hujan

42
2.9 Debit Banjir Rancangan
Banjir rancangan adalah besarnya debit banjir yang ditetapkan sebagai dasar
penentuan kapasitas dan mendimensi bangunan-bangunan hidraulik (termasuk
bangunan di sungai), sedemikian hingga kerusakan yang dapat ditimbulkan baik
langsung maupun tidak langsung oleh banjir tidak boleh terjadi selama besaran banjir
tidak terlampaui.

Tabel 2.9Tahapan Analisis Hidrologi Untuk Banjir Rancangan


Kelas Output Data Tersedia Tahapan Analisis

1 Debit Debit banjir maks. tahunan Analisis frekuensi data


puncak debit

2 Debit Hujan harian dan karakteristik daerah Analisis frekuensi data


puncak tangkapan hujan hujan dan

pengalihragaman hujan-
aliran

(Rational method)

3 Debit Hujan jam-jaman, hidrograf banjir dan Analisis frekuensi data


puncak karakteristik DAS hujan dan

pengalihragaman hujan-
aliran

(Unit hydrograph atau


Rainfall

-runoff model)

4 Hidrograf Hujan jam-jaman, karakteristik DAS, Analisis frekuensi data


banjir tidak ada data hidrograf banjir hujan dan

pengalihragaman hujan-
aliran

(Synthetic unit
hydrograph)

43
5 Hidrograf Hujan jam-jaman dan hidrograf banjir. Analisis frekuensi data
banjir hujan dan

pengalihragaman hujan-
aliran

(Unit hydrograph)

6 Hidrograf Hujan jam-jaman, hidrograf banjir dan Analisis frekuensi data


banjir karakteristik DAS hujan dan

pengalihragaman hujan-
aliran

(Unit hydrograph atau


Rainfall

-runoff model)

Dalam praktek analisis hidrologi terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh
untuk menetapkan debit banjir rancangan. Masing-masing cara akan sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:
a) ketersediaan data,
b) tingkat kesulitan yang dikehendaki,
c) kesesuaian cara dengan DAS yang ditinjau.
Cara analisis dapat dikelompokkan menjadi tiga metode, yaitu:
a) cara empirik,
b) cara statistik,
c) analisis dengan model hidrologi.
Cara empirik adalah metode pendekatan dengan rumus rasional. Cara ini
diterapkan apabila tidak tersedia data debit yang cukup panjang tetapi tersedia data
hujan harian yang panjang. Terdapat empat metode perhitungan banjir rancangan
yang dikembangkan berdasarkan prinsip pendekatan rasional, yaitu: metode rasional,
metode Der Weduwen, metode Meichior dan metode Haspers.

44
Penulis menunjuk tiga macam cara yang akan diuraikan pada tulisan ini, yaitu
metode Rasional dan Metode Weduwen untuk non-hidrograf banjir rancangan
sedangkan untuk hidrograf banjir rancangan menggunakan Metode Snyder seperti
yang dipergunakan dalam Standar Perencanaan Irigasi KP-O1 , yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum tahun 1986.

2.9.1 Debit Banjir Rancangan Non-Hidrograf


1) Metode Rasional
C×I×A
Qr = 3.6
= 0.278 × C × I × A …………………………………………….. (2.34)

Dimana:

Qr = debit maksimum rencana (m3/det)

C = koefisien run off = 0,5

A = luas daerah aliran (km2) = 1,069914 km2

I = intensitas curah hujan selama konsentrasi (mm/jam)

2⁄
R24 24 3
I = 24
×[t ]
l
t =w

t = waktu konsentrasi (jam)

H0.6
w = 20 l
(m/det)

H0.6
w = 72 l
(Km/jam)

w = waktu kecepatan perambatan (m/det atau Km/jam)

l = jarak dari ujung daearah hulu sampai titik yang ditinjau

= 532.8431 m = 0.5328431 km

H = beda tinggi ujung hulu dengan titik tinggi yang ditinjau = 0,30 Km

45
Koefisien limpasan (C), dapat diperkirakan dengan meninjau tata guna lahan. Harga
koefisien limpasan disajikan dalam Tabel 2.10, Tabel 2.11, dan Tabel 2.12.

Tabel 2.10 Koefisien Limpasan


No. Kondisi Tanah Permukaan Harga C

1. Jalan Beton dan jalan aspal 0.70 - 0.95

2. Jalan kerikil dan jalan tanah 0.40 – 0.70

3. Bahu jalan

Tanah berbutir halus 0.40 – 0.65

Tanah berbutir kasar 0.10 – 0.20

Batuan masif kasar 0.70 – 0.85

Batuan masif lunak 0.70 – 0.95

4. Daerah perkotaan 0.70 – 0.95

5. Daerah pinggiran kota 0.60 – 0.70

6. Daerah industri 0.60 – 0.90

7. Pemukiman padat 0.40 – 0.60

8. Pemukiman tidak padat 0.40 – 0.60

9 Taman dan kebun 0.20 – 0.40

10. Persawahan 0.45 – 0.60

11. Perbukitan 0.70 – 0.80

12. Pegunungan 0.75 – 0.90

(Sumber : Subarkah, 1980)

46
Tabel 2.11 Karakteristik Tanah
Karakteristik tanah Tata guna Koeff.
lahan limpasan

Campuran pasir dan atau Pertanian 0,20


campuran kerikil
Padang 0,15
rumput
0,10
Geluh dan sejenisnya Hutan
0,4
Pertanian
0,35
Padang
rumput 0,3
Lempung dan sejenisnya
Hutan 0,50

Pertanian 0,45

Padang 0,40
rumput

Hutan

(Sumber : Subarkah, 1980)

Koefisien pengaliran (α) tergantung dari beberapa faktor antara lain jenis tanah,
kemiringan, luas dan bentuk pengaliran sungai. Sedangkan besarnya nilai koefisien
pengaliran dapat dilihat pada Tabel 2.11.

Tabel 2.12 Koefisien Pengaliran


Koefisien Pengaliran
Kondisi Daerah Pengaliaran (α)

Daerah pegunungan berlereng terjal 0,75 – 0,90

Daerah perbukitan 0,70 – 0,80

Tanah bergelombang dan bersemak-semak 0,50 – 0,75

Tanah dataran yang digarap 0,45 – 0,65

Persawahan irigasi 0,70 – 0,80

47
Sungai di daerah pegunungan 0,75 – 0,85

Sungai kecil di dataran 0,45 – 0,75

Sungai yang besar dengan wilayah pengaliran lebih dari seperduanya terdiri 0,50 – 0,75
dari dataran

(Sumber : Banjir Rencana Untuk Bangunan Air, Ir.Joesron Loebis, M.Eng.)

2) Metode Weduwen
Rumus dari Metode Weduwen adalah sebagai berikut :

Syarat dalam perhitungan debit banjir dengan metode Weduwen adalah sebagai
berikut:
A = Luas daerah pengaliran < 100 km2
T = 1/6 sampai 12 jam
(Loebis, 1984)
Rumus yang digunakan dalam perhitungan debit banjir rencana dengan
Metode Weduwen adalah sebagai berikut:

Qt = α × β × q × A………………………………………………… (2.35)
(Loebis, 1984)

t+1
120+ ×A
β= 120+A
t+9
…………………………………………………….... (2.36)
Rn 67,65
q = 240 × t+1,45………………………………………………….... (2.37)
4,1
α=1− ……………………………………………………... (2.38)
β×q+7
H
I= ……………………………………………………………. (2.39)
0,9×L

t = 0,25 × L × Q0,125 × I 0,25 ……………………………………… (2.40)


(Loebis, 1984)

48
Dimana:
Qt =debit banjir rancangan
α = Koefisien run off
β = Koefisien Reduksi
q = Intensitas Hujan
A = Luas DAS
t = Waktu konsentrasi
Rn = Curah hujan harian maksimum rencana periode ulang T tahun
L = Panjang Sungai
I = Kemiringan dasar sungai
H = Beda tinggi

2.9.2 Debit Banjir Rancangan Hidrograf


1) Metode Snyder
Metode Snyder ditemukan pada tahun 1938 di USA ole F. F. Snyder. Adapun
parameter yang berhubungan adalah meliputi:
a. Luas DPS
b. Panjang sungai utama.
c. Jarak antara titik berat DPS dengan outlet.
Persamaan Hidrograf Satuan Sintetik Snyder adalah sebagai berikut:

tp = Ct (L × Lc )n ……………………………………………………. (2.41)

dengan :

L = panjang aliran utama

Lc = Panjang aliran utama dari titik berat DPS Kepelepasan DPS (km)

tp = tenggang proposional terhadap Ct 0.3

Ct = koefisien bergantung pada karakteristik DPS 1.10 – 1.40


qp = 2,75 × (Cp ⁄tp)

49
dengan:

qp = debit puncaka banjir (m3/det)

Cp = koefisien bergantung pada daerah DPS 0.58 – 0.69

m = koefisien berpengaruh terhadap koefisien pengaliran (Cp).

Adapun curah hujan efektif:

te = (tp/5,5)............................................................... (2.42)

Metode Snyder juga mendasarkan metode hitungnya pada lama curah hujan
efektif 1 jam (tr). Jiika te > tr, maka waktu naik hidrograf satuan:

tp′ = tp + 0,25 × (tr − te)............................................ (2.43)

Tp = tp′ + 0,5 × tr....................................................... (2.44)

Jika te < tr: maka Tp = tp + 0,5 × tr........................... (2.45)

Debit maksimum totalnya adalah sebagai berikut:

Q P = q p × A × heff⁄1000………………………………. (2.46)

dengan:

Q P = debit maksimum total (m3/dt/mm)

h = curah hujan satuan (mm)

A = Luas DPS

Jika kemiringan sungai diketahui, maka:

n
t p = Ct × (L × LC ⁄S 0,5 ) .............................................. (2.47)

50
dengan:

S = kemiringan sungai

N = 0.35

Ct = 1.20 …Pegunungan 0.72….kaki bukit

= 0.35 ….jurang 0.08….. Perkotaan

Penggambaran Hidrograf Satuan Sintetis Snyder merupakan fungsi debit dan


waktu

Q P = f (t)……………………………………………………. (2.48)

Ordinat: y = Q⁄Q P ………………………………………… (2.49)

Absis : X = t/TP ………………………………………….. (2.50)

Hidrograf satuan ditentukan oleh persamaan Alexsyc:

2
Y = 10−α × (1 − x)x ......................................................... (2.51)
= 1,32L2 α + 0,15L + 0,045
L = (Q P × TP )/W............................................................. (2.52)
W = h × A....................................................................... (2.53)

Rumus Snyder sudah banyak digunakan di Indonesia dengan merubah


koefisien- koefisiennya, karena dalam pengujiannya untuk beberapa sungai di
Pulau Jawa ternyata menunjukkan penyimpangan yang besar, baik dalam
besaran waktu puncak (time to peak) maupun debit puncak (Harto, 1993). Hal
ini dapat dipahami karenamemang cara ini mengandung beberapa koefisien
empirik yang dikembangkan didaerah Appalachian di Amerika yang kurang
sesuai dengan keadaan di Indonesia.

51
2.10 Evapotransporasi
Evapotranspirasi acuan (ETo) adalah besarnya evapotranspirasi dari tanaman
hipotetik (teoritis) yaitu dengan ciri ketinggian 12 cm, tahanan dedaunan yang
ditetapkan sebesar 70 det/m dan albedo (pantulan radiasi) sebesar 0,23, mirip
dengan evapotranspirasi dari tanaman rumput hijau yang luas dengan ketinggian
seragam, tumbuh subur, menutup tanah seluruhnya dan tidak kekurangan air (Smith,
1991 dalam Weert, 1994). Nilai ETo dapat dihitung dari data meteorologi. Perlu
diperhatikan, bahwa perkiraan ETo rata-rata untuk DAS lebih kompleks, karena
ragam kondisi dalam suatu DAS dapat jauh berbeda. Rumus yang menjelaskan
evapotranspirasi acuan secara teliti adalah rumus Penman-Monteith, yang pada
tahun 1990 oleh FAO dimodifikasi dan dikembangkan menjadi rumus FAO Penman-
Monteith (Anonim, 1999) yang diuraikan sebagai berikut:

0.408 ΔRn  G    u 2 es  ea 


900
ETo = T  273
   1  0.34u 2  ……………………………… (2.54)

keterangan :

ETo= Evapotranspirasi acuan(mm/hari),

Rn = Radiasi netto pada permukaan tanaman (MJ/m2/hari),

G = Kerapatan panas terus-menerus pada tanah (MJ/m2/hari),

T = Temperatur harian rata-rata pada ketinggian 2 m (oC),

u2 = Kecepatan angin pada ketinggian 2 m (m/s),

es = Tekanan uap jenuh (kPa),

ea = Tekanan uap aktual (kPa),

∆ = Kurva kemiringan tekanan uap (kPa/oC),

𝛾 = Konstanta psychrometric (kPa/oC).

52
Untuk penyelesaian Persamaan (3.4) di atas, terlebih dahulu perlu didapatkan nilai-
nilai dari beberapa variabel dan konstanta yang berkaitan, berdasarkan rumus-rumus
berikut ini

a) Konstanta psychrometric (𝛾)


Konstanta psykometrik dapat ditentukan menggunakan tabel sebagai fungsi
dari ketinggian (z), atau dapat pula dihitung berdasarkan rumus berikut ini:

cp P
   0.665 x10 3 P
 ……………………..…………………. (2.55)

 293  0.0065 z 
5.26

P  101.3  …………………..……………… (2.56)


 293 

dimana:

𝛾= konstanta psychrometric (kPa/oC),

P= tekanan atmospher (kPa),

𝜆= ‘laten heat of vaporization’ = 2.45 (MJ/kg),

cp= pemanasan spesifik pada tekanan konstan = 1.013x10-3 (MJ/kg/oC),

𝜀= perbandingan berat molekul uap air/ udara kering = 0.622.

b) Temperatur rata-rata (Tmean)


Temperatur rata-rata dihitung dengan Persamaan 2.60 berikut ini:
Tmax  Tmin
Tmean  …….……………………………………….… (2.57)
2

dimana:

Tmean = temperatur udara harian rata-rata (oC),

Tmax = temperatur udara harian maksimum (oC),

Tmin = temperatur udara harian minimum (oC).

53
c) Kelembaban relatif (RH)
Kelembaban relatif (RH) yang digunakan adalah nilai rata-rata dari
kelembaban relatif maksimum (RHmax) dan minimum (RHmin) yang dinyatakan
sebagai kelembaban relatif rata-rata RHmean (Anonim, 1999).
ea
RH  100 …………………………………………………..… (2.58)
e T 
o

 17.27T 
e o T   0.6108 exp  …………………………………….(2.59)
 T  237.3 

dimana:

RH=kelembaban relatif (%)

ea=tekanan uap aktual (kPa)

eo(T)=tekanan uap jenuh pada temperatur udara T (kPa)

T=temperatur udara (oC)

d) Tekanan uap jenuh (es)


Tekanan uap jenuh dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.63 berikut ini:
e o (Tmax )  e o (Tmin )
es  ………………………………………………………. (2.60)
2

dimana:

es = tekanan uap jenuh (kPa),

eo(Tmax) = tekanan uap jenuh pada temperatur udara maksimum


(kPa),
eo(Tmin) = tekanan uap jenuh pada temperatur udara minimum
(kPa).

54
Tekanan uap jenuh (es) yang ditentukan berdasarkan nilai eo(Tmean) akan
memberikan hasil yang lebih kecil untuk nilai es, sehingga dapat
mempengaruhi nilai perhitungan selanjutnya (Anonim, 1999).

e) Tekanan uap aktual (ea)


Tekanan uap aktual dapat dihitung dengan beberapa rumus berdasarkan data
yang tersedia, diantaranya melalui data temperatur titik embun (T dew), data
psychrometric, dan data kelembaban relatif (RH). Rumus berikut merupakan
perhitungan tekanan uap aktual (ea) berdasarkan kelembaban relatif.

RH max RH min
e o (Tmin )  e o (Tmax )
ea  100 100
…………………………. (2.61)
2

atau

RH max
ea  e o (Tmin ) …………………………………...………… (2.62)
100

atau

RH mean  e o (Tmax )  e o (Tmin ) 


ea    ……………………..……………. (2.63)
100  2 

dengan:

ea = tekanan uap aktual (kPa),


e°(Tmin) = tekanan uap jenuh pada temperatur harian minimum (kPa),
e°(Tmax) = tekanan uap jenuh pada temperatur harian maksimum (kPa),
RHmax = kelembababn relatif maksimum (%),
RHmin = kelembababn relatif minimum (%),

RHmean =kelembababn relatif rata-rata (%).

55
Menurut FAO (1999), apabila data kelembaban relatif tidak tersedia atau
kualitas datanya diragukan, maka pendekatan lain yang dapat diambil adalah
ea = eo(Tmin).

f) Kurva kemiringan tekanan uap (∆)


Kurva kemiringan tekanan uap dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.67
berikut ini:

  17.27T 
40980.6108 exp  
  T  237.3 
 ………………………………….. (2.64)
T  237.32
dengan:

∆ = kurva kemiringan tekanan uap jenuh pada temperatur udara T


(kPa),
T = temperatur udara (oC).

g) Radiasi netto (Rn)


Radiasi netto dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.68 berikut ini:
R n  R ns - R nl …………………………………………………………. (2.65)

Rns  (1   ) Rs ……………………………………………….............. (2.66)

 n
R s   a s  bs  R a
 N  ……………………….………………………….. (2.67)

24
N  s ……………….…………………………………………...… (2.68)

Bila nilai n tidak tersedia pada data klimatologi, maka rumusnya dapat diganti
dengan:

Rs  K Rs Tmax  Tmin  Ra …………….……………………………... (2.69)

Rso= (0.75 + 2 l0-5z)Ra…………………………………………….… (2.70)

56
Gsc d r  s sin  sin    cos  cos sin  s ..……….. (2.71)
24(60)
Ra 

 2 
d r  1  0.033 cos J
 365  …………………………………………… (2.72)

 2 
  0.409 sin  J  1.39  ………………………………………… (2.73)
 365 

 s  arccos tan   tan   …………………………..……………. (2.74)

 Tmax K 4  Tmin K 4 
Rnl     

 0.34  0.14 ea 1.35
Rs 
 0.35  …. (2.75)
 2   Rso 

keterangan:

Rn = radiasi netto (MJ/m2/hari),

Rns = radiasi matahari netto (MJ/m2/hari),

𝛼 = koefisien albedo,

Rs = radiasi matahari yang datang (MJ/m2/hari),

Rso = radiasi matahari (clear-sky) (MJ/m2/hari),

n = durasi aktual penyinaran matahari (jam),

N = durasi maksimum yang memungkinkan penyinaran matahari


(jam),

as+bs = fraksi radiasi ektrateresterial yang mencapai bumi pada hari


yang cerah (n = N),

KRs = Koefisien tetapan = 0.16 untuk daerah tertutup dan 0.19 untuk
daerah pantai (oC-0.5),

z = elevasi stasiun di atas permukaan laut (m),

57
Ra = radiasi ekstrateresterial (MJ/m2/hari),
Gsc = konstanta matahari = 0.0820 (MJ/m2/min),
dr = inverse jarak relatif bumi-matahari (pers.2.75),
= sudut jam matahari terbenam (pers. 2.77),
ωs = garis lintang (rad),

∅ = deklinasi matahari (rad),

J = nomor hari dalam tahun antara 1 (1 Januari) sampai 365 atau


366 (31 Desember),

Rnl = radiasi netto gelombang panjang yang pergi (MJ/m2/hari),

𝜎 = konstanta Stefan-Boltzmann (4.903 10-9 MJ/K4/m2/hari),

Tmax, K = temperatur absolut maksimum selama periode 24 jam (K = °C +


273.16),

Tmin, K = temperatur absolut minimum selama periode 24 jam (K = °C +


273.16),

h) Kerapatan panas terus-menerus pada tanah (G)


Kerapatan panas terus-menerus pada tanah (G) dihitung menggunakan
Persamaan 2.79 berikut ini:

Ti  Ti 1
G  cs z ………………………………………………….(2.76)
t

dimana:

G = kerapatan panas terus-menerus pada tanah (MJ/m2/hari),


cs = kapasitas pemanasan tanah (MJ/m3/°C),
Ti = temperatur udara pada waktu i (°C),
Ti-1 = temperatur udara pada waktu i-1 (°C),

58
∆t = panjang interval waktu (hari),
∆z = kedalaman tanah efektif (m).

Untuk periode harian atau 10-harian, nilai G sangat kecil (mendekati nol),
sehingga nilai G tidak perlu di perhitungkan (FAO, 1999).

i) Kecepatan angin pada ketinggian 2 m (u2)


Kecepatan angin pada ketinggian 2 m (u2) dihitung menggunakan Persamaan
2.80berikut ini:

4.87
u2  u z
ln( 67.8 z  5.42) …………………………………………. (2.77)

dimana:

u2 = kecepatan angin 2 m di atas permukaan tanah (m/s),

uz = kecepatan angin terukur z m di atas permukaan tanah (m/s),

z = ketinggian pengukuran di atas permukaan tanah (m).

2.11 Debit Andalan


Perhitungan debit andalan bertujuan untuk menentukan areal persawahan
yang dapat diairi. Perhitungan ini menggunakan cara analisis water balance dari Dr.
F. J. Mock berdasarkan data curah hujan bulanan, jumlah hari hujan, evapotranspirasi
dan karakteristik hidrologi daerah pengaliran.
Prinsip perhitungan ini adalah bahwa hujan yang jatuh di atas tanah
(presipitasi) sebagian akan hilang karena penguapan (evaporasi), sebagian akan
hilang menjadi aliran permukaan (direct run off) dan sebagian akan masuk tanah
(infiltrasi). Infiltrasi mula-mula menjenuhkan permukaan (top soil) yang kemudian
menjadi perkolasi dan akhirnya keluar ke sungai sebagai base flow.
Perhitungan debit andalan meliputi :
a) Data curah hujan
Rs = curah hujan bulanan (mm)
n = jumlah hari hujan.

59
b) Evapotranspirasi
Evapotranspirasi terbatas dihitung dari evapotranspirasi potensial metode
Penman.
dE / Eto = ( m / 20 ) x ( 18 – n )………………………………..(2.78)
dE = ( m / 20 ) x ( 18 – n ) x Eto………………………..(2.79)
Etl = Eto – dE…………………………………………..… (2.80)
dimana :
dE = selisih evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi terbatas.
Eto = evapotranspirasi potensial.
Etl = evapotranspirasi terbatas
n = jumlah hari hujan dalam 1 bulan
m = prosentase lahan yang tidak tertutup vegetasi.
= 10 – 40 % untuk lahan yang tererosi.
= 30 – 50 % untuk lahan pertanian yang diolah.

c) Keseimbangan air pada permukaan tanah


Rumus mengenai air hujan yang mencapai permukaan tanah, yaitu :
S = Rs – Et1……………………………………………. (2.81)
SMC(n) = SMC (n-1) + IS (n)………………….…………….. (2.82)
WS = S – IS……………………………………………….. (2.83)
dimana:
S = kandungan air tanah
Rs = curah hujan bulanan
Et1 = evapotranspirasi terbatas
IS = tampungan awal/Soil Storage (mm)
IS (n) = tampungan awal/Soil Storage bulan ke-n (mm)
SMC = kelembaban tanah/Soil Storage Moisture antara 50-250 mm
SMC (n) = kelembaban tanah bulan ke–n
SMC (n-1) = kelembaban tanah bulan ke–(n-1)
WS = water suplus/volume air berlebih

60
d) Limpasan (run off) dan tampungan air tanah (ground water storage)
V (n) = k.V (n-1) + 0,5.(1-k). I (n)………………………………… (2.84)
dVn = V (n) – V (n-1)………………………………………………(2.85)
dimana:
V (n) = volume air tanah bulan ke-n
V (n-1) = volume air tanah bulan ke-(n-1)
k = faktor resesi aliran air tanah diambil antara 0-1,0
I = koefisien infiltrasi diambil antara 0-1,0
Harga k yang tinggi akan memberikan resesi yang lambat seperti pada kondisi
geologi lapisan bawah yang sangat lulus air. Koefisien infiltrasi ditaksir
berdasarkan kondisi porositas tanah dan kemiringan daerah pengaliran. Lahan
yang porus mempunyai infiltrasi lebih tinggi dibanding tanah lempung berat.
Lahan yang terjal menyebabkan air tidak sempat berinfiltrasi ke dalam tanah
sehingga koefisien infiltrasi akan kecil.

e) Aliran sungai
Aliran dasar = infiltrasi – perubahan volume air dalam tanah
B (n) = I – dV (n)
Aliran permukaan = volume air lebih – infiltrasi
D (ro) = WS – I
Aliran sungai = aliran permukaan + aliran dasar
Run off = D (ro) + B(n)
aliran sungai x luas DAS
Debit = satu bulan (detik)
………………….…..(2.86)

61
BAB III
ANALISIS BANJIR RANCANGAN

3.1 Curah Hujan Rerata Daerah (Area Rainfall)


Hasil pengukuran data hujan dari masing-masing alat pengukuran hujan pada setiap
stasiun merupakan data hujan pada suatu titik (point rainfall). Pada point rainfall 6 terdapat
3 stasiun hujan, yakni Stasiun Pohgajih (Nomor 21) dengan luas daerah pantauan
165.853,5174 m2 (0.165854 km2), Stasiun Poncokusumo (Nomor 22) dengan luas daerah
pantauan 874.499,6668 m2 (0.8745 km2) dan Stasiun Pujon (Nomor 23) dengan luas daerah
pantauan 29.560,3312 m2 (0.02956 km2) sedangkan luas total DAS adalah 1.069.914 m2
(1,069914 km2).
Untuk kepentingan analisis dilakukan dua cara untuk mendapatkan data hujan wilayah
yaitu:
1) Metode Aritmatik
Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dari beberapa data curah hujan stasiun
penakar/klimatologi dengan menggunakan nilai rata-rata curah hujan stasiun yang
terdapat di dalam DAS.

Rumus yang digunakan persamaan 2.1


𝑅1 + 𝑅2 + ⋯ + 𝑅𝑛
𝑅̅ =
𝑛

Keterangan:
𝑅̅ = Curah hujan rata-rata wilayah (mm)
𝑅𝑛 = Curah hujan pada stasiun n
n = Jumlah stasiun penakar hujan
Selengkapnya hasil yang diperoleh, ditunjukkan pada tabel 3.1

62
Tabel 3.1 Curah Hujan Rerata Daerah (Area Rainfall) Pada Point Rainfall 6
dengan Metode Aritmatik
Curah hujan maksimum
No. Tahun Tanggal ̅
R
Sta 21 Sta 22 Sta 23
1 2000 28-Jan 0 61 79 46.6666667
2 2001 5-Jan 79 0 13 30.6666667
3 2002 30-Jan 148 41 85 91.3333333
4 2003 23-Nov 156 62 32 83.3333333
5 2004 4-Feb 37 0 149 62
6 2005 17-Oct 75 31 0 35.3333333
7 2006 30-Dec 22 24 139 61.6666667
8 2007 26-Dec 80 151 182 137.666667
9 2008 9-Dec 100 150 28 92.6666667
10 2009 15-Apr 70 0 0 23.3333333
11 2010 14-Jan 13 0 118 43.6666667
12 2011 1-Feb 5 79 42 42
̅
X 62.5277778
Sumber: Perhitungan

2) Metode Polygon Thiessen


Metode Polygon Thiessen adalah cara penentuan hujan wilayah dengan rata-
rata
tertimbang. Masing-masing pos penakar hujan mempunyai daerah pengaruh
sendiri-sendiri. (gambar daerah polygon thiessen menggunakan autocad dilampirkan)
Rumus yang digunakan persamaan 2.2:

𝐴1 𝑅1 + 𝐴2 𝑅2 + ⋯ + 𝐴𝑛 𝑅𝑛
𝑅̅ =
𝐴1 + 𝐴2 + ⋯ + 𝐴𝑛
Keterangan:
𝑅̅ = Curah hujan rata-rata wilayah (mm)
𝐴1 , 𝐴2 , 𝐴𝑛 = luas daerah polygon 1, 2,…, n (km2)
𝑅1 , 𝑅2 , 𝑅𝑛 = curah hujan maksimum pada stasiun 1, 2,…, n (mm)

Selengkapnya hasil yang diperoleh ditunjukkan pada tabel 3.2

63
Tabel 3.2 Curah Hujan Rerata Daerah (Area Rainfall) Pada Point Rainfall 6
dengan Metode Polygon Thiessen
Curah Hujan Maksimum
No. Tahun Tanggal Sta 19 Sta 29 Sta 31 ̅
R
0.15501582 0.817355472 0.02762871
1 2000 28-Jan 0 61 79 52.041352
2 2001 5-Jan 79 0 13 12.6054228
3 2002 30-Jan 148 41 85 58.8023557
4 2003 23-Nov 156 62 32 75.7426254
5 2004 4-Feb 37 0 149 9.85226314
6 2005 17-Oct 75 31 0 36.9642059
7 2006 30-Dec 22 24 139 26.8672701
8 2007 26-Dec 80 151 182 140.850367
9 2008 9-Dec 100 150 28 138.878506
10 2009 15-Apr 70 0 0 10.8511072
11 2010 14-Jan 13 0 118 5.2753935
12 2011 1-Feb 5 79 42 66.5065673
̅
X 52.936453
Sumber: Perhitungan
3.2 Hujan Rancangan
3.2.1 Perhitungan Parameter
1. Parameter Statistik
Perhitungan parameter statistik dilakukan sebelum perhitungan dispersi.
̅),(Xi–X
Parameter statisik adalah(Xi–X ̅)2,(Xi–X
̅)3,(Xi–X
̅)4.
dimana :
Xi = Besarnya curah hujan daerah (mm)
̅
X = Rata-rata curah hujan maksimum daerah (mm)
Hasil perhitungan ditunjukkan pada Tabel 3.3

64
Tabel 3.3 Parameter Statistik Curah Hujan Harian Maksimum
DAS Point Rainfall 6

No Tahun Xi (mm) ̅
Xi-X ̅)2(mm)
(Xi-X ̅)3(mm)
(Xi-X ̅)4(mm)
(Xi-X
1 2000 52.041352 -0.90 0.80 -0.72 0.64
2 2001 12.6054228 -40.33 1626.59 -65602.13 2645801.54
3 2002 58.8023557 5.87 34.41 201.84 1183.97
4 2003 75.7426254 22.81 520.12 11861.98 270526.37
5 2004 9.85226314 -43.08 1856.25 -79974.92 3445654.48
6 2005 36.9642059 -15.97 255.11 -4074.72 65082.48
7 2006 26.8672701 -26.07 679.60 -17716.68 461859.28
8 2007 140.850367 87.91 7728.86 679474.01 59735219.36
9 2008 138.878506 85.94 7386.04 634771.15 54553535.81
10 2009 10.8511072 -42.09 1771.18 -74540.57 3137065.62
11 2010 5.2753935 -47.66 2271.58 -108265.75 5160060.23
12 2011 66.5065673 13.57 184.15 2498.91 33910.49
Jumlah 635.237436 24314.68 978632.40 129509900.27
̅
X 52.936453
n 12

Sumber: Perhitungan

Perhitungan Dispersi untuk Parameter Statistik

a) Deviasi standar (Sd) (Persamaan 2.5)

̅)2
∑(X i − X
Sd = √
n−1

24314.68
Sd = √ = 47.01516165
11

b) Koefisien skewness (Cs) (Persamaan 2.6)

n ∑ni=1(X i − X
̅)3
Cs =
(n − 1)(n − 2)Sd3

(12)(978632.40)
Cs = = 1.027293052
(11)(10)(47.01516165)3

65
c) Pengukuran Kurtois (Ck) (Persamaan 2.7)

n2 ∑ni=1(X i − X
̅)4
Ck =
(n − 1)(n − 2)(n − 3)Sd4

(12)2 (129509900.27)
Ck = = 3.855480687
(11)(10)(9)(47.01516165)4

d) Koefisien Variasi (Persamaan 2.8)

Sd
Cv =
̅
X
47.01516165
Cv = = 0.888143405
89.944687

2. Parameter Logaritma

Tabel 3.4 Parameter Logaritma Curah Hujan Harian Maksimum


DAS Point Rainfall 6

No Tahun Xi(mm) Log Xi ̅)


(Log Xi-X ̅)2(mm)
(Log Xi-X ̅)3(mm)
(Log Xi-X ̅)4(mm)
(Log Xi-X
1 2000 52.041352 1.7163486 0.1890012 0.0357215 0.0067514 0.0012760
2 2001 12.6054228 1.1005574 -0.4267900 0.1821497 -0.0777396 0.0331785
3 2002 58.8023557 1.7693947 0.2420474 0.0585869 0.0141808 0.0034324
4 2003 75.7426254 1.8793404 0.3519930 0.1238991 0.0436116 0.0153510
5 2004 9.85226314 0.9935360 -0.5338114 0.2849546 -0.1521120 0.0811991
6 2005 36.9642059 1.5677814 0.0404340 0.0016349 0.0000661 0.0000027
7 2006 26.8672701 1.4292235 -0.0981238 0.0096283 -0.0009448 0.0000927
8 2007 140.850367 2.1487580 0.6214106 0.3861511 0.2399584 0.1491127
9 2008 138.878506 2.1426350 0.6152877 0.3785789 0.2329349 0.1433220
10 2009 10.8511072 1.0354741 -0.4918733 0.2419394 -0.1190035 0.0585347
11 2010 5.2753935 0.7222549 -0.8050925 0.6481740 -0.5218400 0.4201295
12 2011 66.5065673 1.8228645 0.2955172 0.0873304 0.0258076 0.0076266
Jumlah 18.3281685 2.4387486 -0.3083290 0.9132578
̅
X 1.5273474
n 12

Sumber: Perhitungan

66
Perhitungan Dispersi untuk Parameter Logaritma
a) Deviasi standar (S)

∑(log X i − ̅
X)2
S=√
n−1

2.4387486
S=√ = 0.47085499
11

b) Koefisien skewness (Cs)

n ∑ni=1(log X i − X
̅)3
Cs =
(n − 1)(n − 2)S 3

(12)(−0.3083290)
Cs = = −0.268509825
(11)(10)(0.47085499)3

c) Pengukuran Kurtois (Ck)

n2 ∑ni=1 (log X i − X
̅)4
Ck =
(n − 1)(n − 2)(n − 3)S 4

(12)2 (0.9132578)
Ck = = 2.702539171
(11)(10)(9)(0.47085499)4
d) Koefisien Variasi

S
Cv =
̅
X

0.47085499
Cv = = 0.308282843
1.5273474

67
3. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Dispersi

Tabel 3.5 Hasil Perhitungan Dispersi

Parameter
No. Dispersi
Statistik Logaritma
1 S 47.0151616 0.47085499
2 Cv 0.8881434 0.30828284
3 Cs 1.02729305 -0.2685098
4 Ck 3.85548069 2.70253917

Sumber: Perhitungan
3.2.2 Analisis Jenis Sebaran
1. Metode Ej Gumbel
Untuk menghitung curah hujan rencana dengan metode distribusi Ej Gumbel
digunakan persamaan 2.13 pada Bab II, sebagai berikut :

Rumus :
Y − Yn
̅+(
Xt = X )×S
Sn
dimana;
Xt :curah hujan rencana
̅
X : curah hujan rata-rata
S : standar deviasi
Sn : standar deviasi ke n (Tabel 2.1)
Y : koefisien untuk distribusi Gumbel (Tabel 2.3)
Yn : koefisien untuk distribusi Gumbel ke n (Tabel 2.2)

Tabel 3.6 Besarnya Curah Hujan Dengan Periode Ulang Tertentu Metode Ej Gumbel

No Periode ̅
X S Y Yn Sn Xt
1 5 52.936453 47.0151616 1.4999 0.5035 0.9833 100.578
2 20 52.936453 47.0151616 2.9702 0.5035 0.9833 170.8784
3 50 52.936453 47.0151616 3.9019 0.5035 0.9833 215.4264
4 100 52.936453 47.0151616 4.6001 0.5035 0.9833 248.8098
5 200 52.936453 47.0151616 5.296 0.5035 0.9833 282.0834
6 1000 52.936453 47.0151616 6.919 0.5035 0.9833 359.6849
Sumber: Perhitungan

68
2. Metode Log Normal
Untuk menghitung curah hujan rencana dengan metode Log Normal digunakan
persamaan 2.14 dan 2.15 pada Bab II, sebagai berikut :

Rumus:
log X t = Log ̅X + k × S

Xt = 10logXt

Dimana:
Xt = curah hujan rencana
̅
X = curah hujan rata-rata
k = koefisien untuk distribusi Log Normal (Tabel 2.4)
S = Standar Deviasi

Tabel 3.7 Besarnya Curah Hujan Dengan Periode Ulang Tertentu Metode Log Normal

Kt
Periode (Log ̅
X) S Log ̅
X Log Xt (mm) Xt (mm)
Log Normal
5 1.52734737 0.47085499 0.84 1.922865563 83.7270063
20 1.52734737 0.47085499 1.64 2.299549555 199.319393
50 1.52734737 0.47085499 2.05 2.492600101 310.885238
100 1.52734737 0.47085499 2.33 2.624439498 421.152612
200 1.52734737 0.47085499 2.58 2.742153246 552.272281
1000 1.52734737 0.47085499 3.09 2.982289291 960.039917
Sumber: Perhitungan

3.3 Uji Pemilihan Distribusi Frekuensi


Tabel 3.8 menunjukkan beberapa parameter yang menjadi syarat penggunaan suatu
metode distribusi. Dari tabel tersebut ditunjukkan beberapa nilai Cs dan Ck yang menjadi
persyaratan dari penggunaan dua jenis metode distribusi.

69
Tabel 3.8 Parameter Pemilihan Jenis Distribusi Sebaran Curah Hujan

No
Hasil Hitungan
. Jenis Syarat Keterangan
Ej Cs ≤ 1,139 Cs= 1.02729305200309 memenuhi
1
Gumbel Ck ≤ 5,4001 Ck= 3.85548068663723 memenuhi
Tidak
Cs = Cv 3 + 3Cv -0.26850982≠ 0.95414721
memenuhi
Log
2
Normal
Tidak
Ck = Cv 8 + 6Cv 6 + 15Cv 4 + 16Cv 2 + 3 2.702539170≠ 4.66132925
memenuhi

Sumber: Perhitungan

Dari kedua metode yang digunakan di atas yang paling mendekati adalah sebaran Metode
Ej Gumbel dengan nilai Cs = 1.02729305200309 mendekati persyaratan
Cs ≤ 1,139 dan nilai Ck = 3.85548068663723 yang mendekati persyaratan
Ck ≤ 5,4001. Dari jenis sebaran yang telah memenuhi syarat tersebut perlu diuji kecocokan
sebarannya dengan beberapa metode. Hasil uji kecocokan sebaran menunjukan distribusinya
dapat diterima atau tidak.

1) Uji Sebaran Chi kuadrat (Chi square test)


a) Data hujan diurut dari kecil ke besar
Tabel 3.9 Pengurutan Data Hujan dari Kecil ke Besar
No. Xi (mm) Xi diurut dari kecil ke besar
1 52.04135 5.275393503
2 12.60542 9.852263142
3 58.80236 10.85110717
4 75.74263 12.60542276
5 9.852263 26.86727012
6 36.96421 36.9642059
7 26.86727 52.04135198
8 140.8504 58.80235567
9 138.8785 66.50656726
10 10.85111 75.74262544
11 5.275394 138.8785064
12 66.50657 140.8503671
Sumber: Perhitungan

70
b) Menghitung Jumlah Kelas
i. Jumlah data (n) = 12
ii. Data terbesar = 145.9864
iii. Data terkecil = 59.304474
iv. Kelas Distribusi (K) = 1+3,3 log n
= 1+3,3 log 12
= 4,63~ 5 kelas
v. Rentang Data = Data terbesar – data terkecil + 1
= 136,5749735 ≈ 137
vi. Rentang Kelas = Rentang data : Jumlah interval
= 137 : 5
= 27,4 ≈ 27

Tabel 3.10 Uji Keselarasan Sebaran dengan Chi Kuadrat

Jumlah Data
No Probabilitas Oi-Ei Xh2
Oi Ei
1 5<x<32 5 2.4 2.6 2.81666667
2 33<x<60 3 2.4 0.6 0.15
3 61<x<88 2 2.4 -0.4 0.06666667
4 89<x<116 0 2.4 -2.4 2.4
5 117<x<144 2 2.4 -0.4 0.06666667
12 12 5.5
Sumber: Perhitungan

2
c) Menghitung derajat kebebasan (Dk) dan 𝑋𝑐𝑟
i. Parameter (p) untuk uji Chi-Kuadrat adalah = 2
ii. Derajat Kebebasan (Dk) = K - (p+1) = 5-(2+1) =2
2
iii. Nilai X cr dengan jumlah data (n) = 12, α = 5% dan Dk = 2 adalah = 5,9910
(Lihat Tabel pada lampiran)
Derajat Signifikasi (α) = 5%
X h2 hasil hitungan = 5,5
2
X cr (Tabel 2.6) = 5,9910
Dilihat hasil perbandingan di atas bahwa ternyata X h2 hitungan < X cr
2
, maka hipotesa
yang diuji dapat diterima.

71
2) Uji Sebaran Smirnov – Kolmogorov
Uji keselarasan Smirnov – Kolmogorov, sering disebut juga uji kecocokan non
parametrik (non parametric test), karena pengujian tidak menggunakan fungsi distribusi
tertentu. Hasil perhitungan uji keselarasan sebaran dengan Smirnov – Kolmogorov
untuk Ej Gumbel dapat dilihat pada Tabel 3.11

Keterangan:
Xi = Curah hujan rencana
̅
X = Rata-rata curah hujan = 52.93645304
S = Standar deviasi = 47.01516165
n = jumlah data = 12

Tabel 3.11 Uji Keselarasan Sebaran Smirnov – Kolmogorov

Xi M P(x) P(x<) f(t) P'(x) P'(x<) D

5.275394 1 0.076923 0.923077 7.960086 0.090909 0.909091 0.013986


9.852263 2 0.153846 1.846154 17.68042 0.181818 1.818182 0.027972
10.85111 3 0.230769 2.769231 19.80176 0.272727 2.727273 0.041958
12.60542 4 0.307692 3.692308 23.52757 0.363636 3.636364 0.055944
26.86727 5 0.384615 4.615385 53.81683 0.454545 4.545455 0.06993
36.96421 6 0.461538 5.538462 75.26066 0.545455 5.454545 0.083916
52.04135 7 0.538462 6.461538 107.2814 0.636364 6.363636 0.097902
58.80236 8 0.615385 7.384615 121.6404 0.727273 7.272727 0.111888
66.50657 9 0.692308 8.307692 138.0026 0.818182 8.181818 0.125874
75.74263 10 0.769231 9.230769 157.6181 0.909091 9.090909 0.13986
138.8785 11 0.846154 10.15385 291.7059 1 10 0.153846
140.8504 12 0.923077 11.07692 295.8937 1.090909 10.90909 0.167832
Sumber: Perhitungan

Derajat signifikasi = 0,05 (5%)


Dmaks = 0.1678→ m = 12
Do kritis = 0,375 untuk n = 12 (Tabel 2.7)
Dilihat dari perbandingan di atas bahwa Dmaks < Do kritis, maka metode sebaran yang
diuji dapat diterima.

72
3.4 Distribusi Curah Hujan Jam-Jaman
Perhitungan distribusi curah hujan jam-jaman/intensitas curah hujan ini menggunakan
Metode Dr. Moonobe dengan mengacu pada rumus dibawah ini, yang merupakan sebuah
variasi dari persamaan-persamaan curah hujan jangka pendek. Persamaannya sebagai
berikut :
2⁄
R 24 24 3
I= ×[ ]
24 t
Hasil perhitungan intensitas curah hujan dalam waktu 24 disajikan pada Tabel 3.10.

Tabel 3.12 Hasil Perhitungan Intensitas Curah Hujan (24 Jam)

R24
Jam R5 R20 R50 R100 R200 R1000
100.577973 170.878382 215.426360 248.809850 282.083369 359.684922
0 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
1 34.8684 59.2402 74.6841 86.2576 97.7928 124.6958
2 21.9657 37.3190 47.0481 54.3389 61.6056 78.5534
3 16.7630 28.4797 35.9044 41.4683 47.0139 59.9475
4 13.8375 23.5095 29.6384 34.2313 38.8091 49.4856
5 11.9248 20.2599 25.5416 29.4997 33.4447 42.6454
6 10.5600 17.9411 22.6184 26.1234 29.6169 37.7646
7 9.5287 16.1889 20.4094 23.5721 26.7244 34.0764
8 8.7171 14.8101 18.6710 21.5644 24.4482 31.1739
9 8.0588 13.6916 17.2610 19.9359 22.6019 28.8197
10 7.5122 12.7629 16.0902 18.5836 21.0688 26.8649
11 7.0497 11.9772 15.0996 17.4396 19.7718 25.2110
12 6.6524 11.3022 14.2487 16.4567 18.6575 23.7902
13 6.3067 10.7149 13.5083 15.6016 17.6880 22.5540
14 6.0027 10.1984 12.8571 14.8495 16.8353 21.4668
15 5.7329 9.7399 12.2791 14.1820 16.0785 20.5018
16 5.4914 9.3298 11.7620 13.5847 15.4014 19.6384
17 5.2739 8.9602 11.2961 13.0466 14.7913 18.8605
18 5.0767 8.6252 10.8738 12.5588 14.2383 18.1553
19 4.8970 8.3198 10.4888 12.1142 13.7342 17.5126
20 4.7324 8.0401 10.1362 11.7070 13.2725 16.9238
21 4.5809 7.7828 9.8118 11.3323 12.8478 16.3822
22 4.4410 7.5452 9.5122 10.9862 12.4554 15.8819
23 4.3114 7.3248 9.2344 10.6654 12.0917 15.4182
24 4.1907 7.1199 8.9761 10.3671 11.7535 14.9869
Sumber: Perhitungan

73
GRAFIK HUJAN JAM-JAMAN
( Untuk 24 Jam )
140

120

100
Intensitas Hujan

R5
80
R20
R50
60
R100
40 R200
R1000
20

0
0 5 10 15 20 25 30
Jam

Gambar 3.1 Grafik Hujan Jam-Jaman untuk 24 Jam

Sumber: Analisis Data

Pada umumnya Intensitas curah hujan atau curah hujan jam-jaman di NTT hanya terjadi selama
4 jam. Berikut penyesuaiannya:

Tabel 3.13 Hasil Perhitungan Intensitas Curah Hujan (4 Jam)

R24
Jam R5 R20 R50 R100 R200 R1000
100.577973 170.878382 215.426360 248.809850 282.083369 359.684922
0 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
1 34.8684 59.2402 74.6841 86.2576 97.7928 124.6958
2 21.9657 37.3190 47.0481 54.3389 61.6056 78.5534
3 16.7630 28.4797 35.9044 41.4683 47.0139 59.9475
4 13.8375 23.5095 29.6384 34.2313 38.8091 49.4856
Sumber: Perhitungan

74
GRAFIK HUJAN JAM-JAMAN
( 4 jam awal )
140
120
Intensitas Hujan

100 R5
80 R20
60 R50
40 R100
20 R200
0 R1000
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
Jam

Gambar 3.2 Grafik Hujan Jam-Jaman untuk 4 Jam

Sumber: Analisis Data

3.5 Koefesien Pengaliran


Besarnya koefisien pengaliran a dipengaruhi antara lain oleh :
h) Bentuk dan luas daerah pematusan
i) Miring daerah pematusan dan miring palung sungai
j) Keadaan daerah pematusan yang terpenting ialah besarnya kemampuan
mengisap/menyerap dan daya menahan air
k) Keadaan flora daerah pematusan
l) Daya tampung penampang sungai
m) Tinggi suhu, besarnya angin disertai tingkat penguapannya
n) Jatuhnya hujan yang mendahului hujan maksimum dalam persoalan

Mengingat sukarnya unsur-unsur yang mempengaruhi ini dirumuskan dengan terperinci,


maka besarnya koefisien aliran diasumsikan 0,50.
Koefisien air larian (C) adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara
besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan. Koefisien aliran yang diasumsikan adalah
0,50 hal ini berarti 50% dari total curah hujan akan menjadi air larian. Angka C ini merupakan
salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan fisik.
Nilai C yang besar berarti sebagian besar air hujan menjadi air larian, maka ancaman erosi dan

75
banjir akan besar. Besaran nilai C akan berbeda -beda tergantung dari topografi dan
penggunaan lahan. Semakin curam kelerengan lahan semakin besar nilai C lahan tersebut.
Nilai C pada berbagai topografi dan penggunaan lahan bisa dilihat pada Tabel 3.11

Tabel 3.14 Nilai C pada Berbagai Topografi dan Penggunaan Lahan

Kondisi Daerah Nilai C

Pegunungan yang curam 0.75 – 0.90

Pegunungan tersier 0.70 – 0.80

Tanah bergelombang dan hutan 0.50 – 0.75

Tanah dataran yang ditanami 0.45 – 0.60

Persawahan yang diairi 0.70 – 0.80

Sungai di daerah pegunungan 0.75 – 0.85

Sungai kecil di dataran 0.45 – 0.75

Sungai besar di dataran 0.50 – 0.75

Sumber : Dr. Mononobe dalam Suyono S. (1999).

Tabel lengkapnya dapat dilihat pada bab II, namun khusus untuk menghitung debit
banjir rancangan, yang lebih diperhatikan adalah nilai koefisien aliran berdasarkan topografi dan
penggunaan lahan seperti pada 3.11 diatas.
Berdasarkan data pada table diatas terhadap koefisien aliran yang diasumsikan yakni 0,50
maka dapat di katakana bahwa daerah yang menjadi area analisis banjir rancanagn pada DAS
Point 6 adalah:
 Tanah Bergelombang dan hutan dengan koefisen alirannya antara 0,50-0,75
 Tanah dataran yang ditanami dengan koefisien alirannya 0,45-0,60
 Sungai kecil di dataran dengan koefisien alirannya 0,45-0,75
 Sungai besar di dataran 0,50-0,75

76
3.6 Analisa Curah Hujan Netto Jam-Jaman
Hujan Netto adalah curah hujan yang menghasilkan limpasan langsung. Besarnya hujan
netto jam – jaman diperoleh dari perkalian antara hujan yang terjadi dengan koefisien
pengaliran..
Dengan menganggap bahwa proses transformasi hujan menjadi limpasan langsung
mengikuti proses linier dan tidak berubah oleh waktu (linear and time invariant process),
maka hujan netto (Rn) dapat dinyatakan sebagai berikut :

Rn = C x R

dengan :
Rn = Hujan netto
C = Koefisien limpasan
R = Intesitas curah hujan
Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.12

Tabel 3.15 Analisa Curah Hujan Netto Jam-Jaman


(24 Jam)

Rn24
Jam
Rn5 Rn20 Rn50 Rn100 Rn200 Rn1000

0 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000


1 17.4342 29.6201 37.3421 43.1288 48.8964 62.3479
2 10.9829 18.6595 23.5240 27.1694 30.8028 39.2767
3 8.3815 14.2399 17.9522 20.7342 23.5069 29.9737
4 6.9188 11.7547 14.8192 17.1157 19.4046 24.7428
5 5.9624 10.1299 12.7708 14.7498 16.7223 21.3227
6 5.2800 8.9706 11.3092 13.0617 14.8084 18.8823
7 4.7644 8.0945 10.2047 11.7861 13.3622 17.0382
8 4.3586 7.4050 9.3355 10.7822 12.2241 15.5870
9 4.0294 6.8458 8.6305 9.9679 11.3010 14.4099
10 3.7561 6.3815 8.0451 9.2918 10.5344 13.4324
11 3.5249 5.9886 7.5498 8.7198 9.8859 12.6055
12 3.3262 5.6511 7.1243 8.2284 9.3287 11.8951
13 3.1534 5.3574 6.7541 7.8008 8.8440 11.2770
14 3.0014 5.0992 6.4286 7.4247 8.4177 10.7334
15 2.8664 4.8700 6.1396 7.0910 8.0393 10.2509
16 2.7457 4.6649 5.8810 6.7924 7.7007 9.8192

77
17 2.6370 4.4801 5.6481 6.5233 7.3957 9.4302
18 2.5384 4.3126 5.4369 6.2794 7.1192 9.0777
19 2.4485 4.1599 5.2444 6.0571 6.8671 8.7563
20 2.3662 4.0201 5.0681 5.8535 6.6363 8.4619
21 2.2905 3.8914 4.9059 5.6661 6.4239 8.1911
22 2.2205 3.7726 4.7561 5.4931 6.2277 7.9410
23 2.1557 3.6624 4.6172 5.3327 6.0459 7.7091
24 2.0954 3.5600 4.4880 5.1835 5.8767 7.4934
Sumber: Perhitungan

GRAFIK CURAH HUJAN NETTO JAM-JAMAN


(Untuk 24 Jam)
70

60

50
Hujan Netto Jam-Jaman

Rn5
40
Rn20
Rn50
30
Rn100
20 Rn200
Rn1000
10

0
0 5 10 15 20 25 30
Jam

Gambar 3.3 Grafik Hujan NettoJam-Jaman untuk 24 Jam

Sumber: Analisis Data

78
Tabel 3.16 Analisa Curah Hujan Netto Jam-Jaman
(4 Jam Awal)

Rn24
Jam
Rn5 Rn20 Rn50 Rn100 Rn200 Rn1000

0 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000


1 17.4342 29.6201 37.3421 43.1288 48.8964 62.3479
2 10.9829 18.6595 23.5240 27.1694 30.8028 39.2767
3 8.3815 14.2399 17.9522 20.7342 23.5069 29.9737
4 6.9188 11.7547 14.8192 17.1157 19.4046 24.7428
Sumber: Perhitungan

GRAFIK NETTO JAM-JAMAN


( 4 jam awal )
70
60
Hujan Netto Jam-Jaman

50 Rn5
40 Rn20
30 Rn50

20 Rn100

10 Rn200
Rn1000
0
0 1 2 3 4 5
Jam

Gambar 3.4 Grafik Hujan NettoJam-Jaman untuk 4 Jam

Sumber: Analisis Data

79
3.7 Debit Banjir Rancangan
3.7.1 Debit Banjir Rancangan Non Hidrograf
Dalam menentukan debit banjir rancangan non hidrograf digunakan metode Rasional
dan Weduwen.
1) Metode Rasional

C×I×A
Qr = = 0.278 × C × I × A
3.6

Dimana:

Qr = debit maksimum rencana (m3/det)

C = koefisien run off = 0,5

A = luas daerah aliran (km2) = 1,069914 km2

I = intensitas curah hujan selama konsentrasi (mm/jam)

2⁄
R24 24 3
I = ×[ ]
24 t
l
t =
w

t = waktu konsentrasi (jam)

H0.6
w = 20 l
(m/det)

H0.6
w = 72 l
(Km/jam)

w = waktu kecepatan perambatan (m/det atau Km/jam)

l = jarak dari ujung daearah hulu sampai titik yang ditinjau

= 532.8431 m = 0.5328431 km

H = beda tinggi ujung hulu dengan titik tinggi yang ditinjau = 0,30 Km

80
Tabel 3.17 Perhitungan Debit Metode Rasional

Periode Ulang A R24 L H w t I Qt


No. C
tahun Km2 mm Km Km Km/jam jam mm/jam m3/det
1 5 1.0699 13.8375 1.2397 0.0875 0.5 13.4658 0.0921 23.5291 3.4992
2 20 1.0699 23.5095 1.2397 0.0875 0.5 13.4658 0.0921 39.9751 5.9450
3 50 1.0699 29.6384 1.2397 0.0875 0.5 13.4658 0.0921 50.3966 7.4949
4 100 1.0699 34.2313 1.2397 0.0875 0.5 13.4658 0.0921 58.2062 8.6563
5 200 1.0699 38.8091 1.2397 0.0875 0.5 13.4658 0.0921 65.9902 9.8139
6 1000 1.0699 49.4856 1.2397 0.0875 0.5 13.4658 0.0921 84.1442 12.5138
Sumber: Perhitungan

GRAFIK DEBIT BANJIR RANCANGAN


METODE RASIONAL
14
12
Debit (m3/det)

10
8
6
Qt
4
2
0
0 200 400 600 800 1000 1200
Periode Ulang (Tahun)

Gambar 3.5 Grafik Debit Banjir Rancangan Metode Rasional

Sumber: Analisis Data

81
2) Metode Weduwen
Syarat dalam perhitungan debit banjir dengan metode Weduwen adalah sebagai berikut:
A = Luas daerah pengaliran < 100 km2
T = 1/6 sampai 12 jam
(Loebis, 1984)
Rumus yang digunakan dalam perhitungan debit banjir rencana dengan Metode
Weduwen adalah sebagai berikut:
Qt = α × β × q × A
(Loebis, 1984)

t+1
120 + t+9 × A
β=
120 + A
Rn 67,65
q= ×
240 t + 1,45
4,1
α=1−
β×q+7
H
I=
0,9 × L
t = 0,25 × L × Q0,125 × I 0,25
(Loebis, 1984)

Dimana:
Qt =debit banjir rancangan
α = Koefisien run off
β = Koefisien Reduksi
q = Intensitas Hujan
A = Luas DAS
t = Waktu konsentrasi
Rn = Curah hujan harian maksimum rencana periode ulang T tahun
L = Panjang Sungai = 532.8431 m = 0.5328431 km
I = Kemiringan dasar sungai
H = Beda tinggi = 0,30 Km

82
Perhitugan:
1) Untuk Periode 5 tahun
dengan Rn = 100.5779735
asumsi t = 0.23
Luas daerah aliran (A) = 1.069913515 km2
jarak dari ujung daerah hulu sampai titik yang ditinjau (L) = 1.2396712 km
beda tinggi ujung hulu dengan titik yang di tinjau (H) = 0.0875 km

a. Koefesien Reduksi
t+1
120 + t+9 × A
β=
120 + A
0,23+1
120 + × 1.069913515
0,23+9
β=
120 + 1.069913515
β = 0.992338231

b. Intensitas Hujan
Rn 67,65
q= ×
240 t + 1,45

100.5779735 67,65
q= ×
240 0.23 + 1,45
q = 16.92767271

c. Koefisien Run Off


4,1
α=1−
β×q+7

4,1
α=1−
0.992338231 × 16.92767271 + 7

α = 0.827716447

83
d. Kemiringan Dasar Sungai
H
I=
0,9 × L
0.0875
I=
0,9 × 1.2396712

I = 0.078425813

Jadi, debit banjir rancangan


Qt = α × β × q × A
Qt = 0.827716447 × 0.992338231 × 16.92767271 × 1.069913515
Qt = 14.87603649

Bandingkan:
t = 0,25 × L × Q0,125 × I 0,25
t = 0,25 × 1.2396712 × 14.876036490,125 × 0.070,25
t = 0.229838185
asumsi t = 0.23
0,23 = 0.229838185 (OK)

2) Untuk Periode 20 tahun


dengan Rn = 170.8783825
asumsi t = 0.25
Luas daerah aliran (A) = 1.069913515 km2
jarak dari ujung daerah hulu sampai titik yang ditinjau (L) = 1.2396712 km
beda tinggi ujung hulu dengan titik yang di tinjau (H) = 0.0875 km

a. Koefesien Reduksi
t+1
120 + t+9 × A
β=
120 + A
0,25+1
120 + 0,25+9 × 1.069913515
β=
120 + 1.069913515
β = 0.992357056

84
b. Intensitas Hujan
Rn 67,65
q= ×
240 t + 1,45

170.8783825 67,65
q= ×
240 0.25 + 1,45
q = 28.37502552

c. Koefisien Run Off


4,1
α=1−
β×q+7

4,1
α=1−
0.992 × 28.37502552 + 7

α = 0.883384103

d. Kemiringan Dasar Sungai


H
I=
0,9 × L
0.0875
I=
0,9 × 1.2396712
I = 0.078425813

Jadi, debit banjir rancangan


Qt = α × β × q × A
Qt = 0.883 × 0.992357056 × 28.37502552 × 1.069913515
Qt = 26.61352957

Bandingkan:
t = 0,25 × L × Q0,125 × I 0,25
0,125
t = 0,25 × 1.2396712 × 26.61 × 0.070,25
t = 0.247171895
asumsi t = 0.25

85
0,25 = 0.247171895 (OK)
3) Untuk Periode 50 tahun
dengan Rn = 215.4263598
asumsi t = 0.26
Luas daerah aliran (A) = 1.069913515 km2
jarak dari ujung daerah hulu sampai titik yang ditinjau (L) = 1.2396712 km
beda tinggi ujung hulu dengan titik yang di tinjau (H) = 0.0875 km

a. Koefesien Reduksi
t+1
120 + t+9 × A
β=
120 + A
0,26+1
120 + × 1.069913515
0,26+9
β=
120 + 1.069913515
β = 0.992362349

b. Intensitas Hujan
Rn 67,65
q= ×
240 t + 1,45

215.42 67,65
q= ×
240 0.26 + 1,45
q = 35.63801022

c. Koefisien Run Off


4,1
α=1−
β×q+7
4,1
α=1−
0.9923 × 35.63801022 + 7
α = 0.903223871

d. Kemiringan Dasar Sungai


H
I=
0,9 × L
0.0875
I=
0,9 × 1.2396712

86
I = 0.078425813

Jadi, debit banjir rancangan


Qt = α × β × q × A
Qt = 0.903223871 × 0.992362349 × 35.63801022 × 1.069913515
Qt = 34.17651749

Bandingkan:
t = 0,25 × L × Q0,125 × I 0,25
t = 0,25 × 1.2396712 × 34.170,125 × 0.070,25
t = 0.255021769
asumsi t = 0.26
0,26 = 0.255021769 (OK)

4) Untuk Periode 100 tahun


dengan Rn = 248.80985
asumsi t = 0.262
Luas daerah aliran (A) = 1.069913515 km2
jarak dari ujung daerah hulu sampai titik yang ditinjau (L) = 1.2396712 km
beda tinggi ujung hulu dengan titik yang di tinjau (H) = 0.0875 km

a. Koefesien Reduksi
t+1
120 + t+9 × A
β=
120 + A
0,262+1
120 + 0,262+9 × 1.069913515
β=
120 + 1.069913515
β = 0,992367

b. Intensitas Hujan
Rn 67,65
q= ×
240 t + 1,45

248.80985 67,65
q= ×
240 0.262 + 1,45

87
q = 41.02625422
c. Koefisien Run Off
4,1
α=1−
β×q+7

4,1
α=1−
0,992367 × 41.026 + 7

α = 0.914069719

d. Kemiringan Dasar Sungai


H
I=
0,9 × L
0.0875
I=
0,9 × 1.2396712

I = 0.078425813

Jadi, debit banjir rancangan


Qt = α × β × q × A
Qt = 0.914069719 × 0,992367 × 41.02625422 × 1.069913515
Qt = 39.81641535

Bandingkan:
t = 0,25 × L × Q0,125 × I 0,25
t = 0,25 × 1.2396712 × 39,8160,125 × 0.070,25
t = 0.259937566
asumsi t = 0.262
0,262 = 0.259937566 (OK)

88
5) Untuk Periode 200 tahun
dengan Rn = 282.0833687
asumsi t = 0.264
Luas daerah aliran (A) = 1.069913515 km2
jarak dari ujung daerah hulu sampai titik yang ditinjau (L) = 1.2396712 km
beda tinggi ujung hulu dengan titik yang di tinjau (H) = 0.0875 km

a. Koefesien Reduksi
t+1
120 + t+9 × A
β=
120 + A
0,264+1
120 + × 1.069913515
0,264+9
β=
120 + 1.069913515
β = 0.992368606

b. Intensitas Hujan
Rn 67,65
q= ×
240 t + 1,45

282,0833687 67,65
q= ×
240 0,264 + 1,45
q = 46.45845058

c. Koefisien Run Off


4,1
α=1−
β×q+7

4,1
α=1−
0.992368606 × 46.45845058 + 7

α = 0.922792876

d. Kemiringan Dasar Sungai


H
I=
0,9 × L
0.0875
I=
0,9 × 1.2396712

89
I = 0.078425813

Jadi, debit banjir rancangan


Qt = α × β × q × A
Qt = 0.922792876 × 0.992368606 × 46.45845058 × 1.069913515
Qt = 45.51878331

Bandingkan:
t = 0,25 × L × Q0,125 × I 0,25
t = 0,25 × 1.2396712 × 45.518783310,125 × 0.070,25
t = 0.264323094
asumsi t = 0.264
0,264 = 0.264323094 (OK)

6) Untuk Periode 1000 tahun


dengan Rn = 359.684922
asumsi t = 0.27
Luas daerah aliran (A) = 1.069913515 km2
jarak dari ujung daerah hulu sampai titik yang ditinjau (L) = 1.2396712 km
beda tinggi ujung hulu dengan titik yang di tinjau (H) = 0.0875 km

a. Koefesien Reduksi
t+1
120 + t+9 × A
β=
120 + A
0,27+1
120 + 0,27+9 × 1.069913515
β=
120 + 1.069913515
β = 0.992373768

b. Intensitas Hujan
Rn 67,65
q= ×
240 t + 1,45

90
359.684922 67,65
q= ×
240 0.27 + 1,45
q = 59.0233162

c. Koefisien Run Off


4,1
α=1−
β×q+7

4,1
α=1−
0.992373768 × 59.0233162 + 7

α = 0.937474447

d. Kemiringan Dasar Sungai


H
I=
0,9 × L
0.0875
I=
0,9 × 1.2396712

I = 0.078425813

Jadi, debit banjir rancangan


Qt = α × β × q × A
Qt = 0.937474447 × 0.992373768 × 59.0233162 × 1.069913515
Qt = 58.74988147

Bandingkan:
t = 0,25 × L × Q0,125 × I 0,25
t = 0,25 × 1.2396712 × 58.749881470,125 × 0.070,25
t = 0.272889706
asumsi t = 0.27
0,27 = 0.272889706 (OK)

91
Tabel 3.18 Rekapitulasi Debit Banjir Rencana Metode Weduwen

Periode Ulang Debit Banjir Rencana


(tahun) (m3/det)
5 14.87603649
20 26.61352957
50 34.17651749
100 39.81641535
200 45.51878331
1000 58.74988147
Sumber: Perhitungan

GRAFIK DEBIT BANJIR RANCANGAN


METODE WEDUWEN
70
60
Debit (m3/det)

50
40
30
Qt
20
10
0
0 200 400 600 800 1000 1200
Periode Ulang (Tahun)

Gambar 3.6 Grafik Debit Banjir Rancangan Metode Weduwen

Sumber: Analisis Data

92
3.7.2 Debit Banjir Rancangan Hidrograf
Dalam menentukan debit banjir rancangan hidrograf digunakan metode Snyder.
Panjang Sungai L = 1.7725143 km
Panjang alur sungai ke titik berat DPS = 1.2396712 km
Luas DPS (A) = 1.069913515 km2
Koef. Pengaliran = 0.5
Aliran dasar (Qf) = 71.65
Cp = 0,8
Ct = 1,21
tr = 1 jam; heff = 1 mm

1) tp = Ct (L × Lc )n
= 1,21 × (1,7725143 × 1,2396712)0,3

= 1.519672918

tp 1.519672918
2) te = = = 0.276304167
5,5 5,5

Cp
3) qp = 2,75 tp

0,8
qp = 2,75
1,519672918

qp = 1.447679941

te > tr dilakukan koreksi terhadap tp

tp′ = tp + 0,25 × (tr − te)

= 1,51 + 0.25 (1 – 0,27)

= 1, 7005

93
Tp = tp′ + 0,5 × tr

= 1,7005 + 0.5 1

= 2,2005

Q P = qp × A × heff⁄1000

= 1,447 × 1,0699 × 1/1000

= 0,00154

Penggambaran satuan Sintetik Snyder

Q P = f (t)

Ordinat: y = Q⁄Q P

Absis : X = t/TP

λ = (Q P × TP )/W

= 0,00154 × 2,2005 /1,0699 × 1

= 0,049

α = (1.32 × λ) + (0.15 × λ) + 0.045

= (1.32 × 0,0492) + (0.15 × 0,049) + 0.045

= 0.045

2
Y = 10−α × (1 − x)x (Perhitungan selanjutnya ditabelkan).

94
Tabel 3.19 Satuan Sintetik Snyder

t X Y Q
1 0.45442217 0.92780486 0.00143707
2 0.90884433 0.99895462 0.00154727
3 1.3632665 0.98898736 0.00153183
4 1.81768867 0.95879263 0.00148507
5 2.27211083 0.92175228 0.0014277
6 2.726533 0.8824326 0.00136679
7 3.18095517 0.84276717 0.00130536
8 3.63537733 0.80367949 0.00124481
9 4.0897995 0.76563946 0.00118589
10 4.54422167 0.72889005 0.00112897
11 4.99864383 0.69355174 0.00107424
12 5.453066 0.65967505 0.00102177
13 5.90748817 0.62726899 0.00097157
14 6.36191033 0.59631737 0.00092363
15 6.8163325 0.56678846 0.00087789
16 7.27075466 0.53864107 0.0008343
17 7.72517683 0.51182835 0.00079277
18 8.179599 0.48630031 0.00075323
19 8.63402116 0.4620055 0.0007156
20 9.08844333 0.43889211 0.0006798
21 9.5428655 0.41690874 0.00064575
22 9.99728766 0.39600491 0.00061337
23 10.4517098 0.37613137 0.00058259
24 10.906132 0.35724037 0.00055333
Sumber: Perhitungan

GRAFIK SATUAN SINTETIK METODE


SNYDER
0.002
Debit (m3/det)

0.0015

0.001
Q
0.0005

0
0 5 10 15 20 25 30
Jam

Gambar 3.7 Grafik Satuan Sintetik Snyder


Sumber: Analisis Data

95
Tabel 3.20 Debit Banjir Rancangan Metode Snyder

Periode Ulang (tahun)


t Q 5 20 50 100 200 1000
100.577973 170.878382 215.426360 248.809850 282.083369 359.684922
0 0 0 0 0 0 0 0
1 0.00143707 0.14453757 0.24556417 0.309582725 0.35755713 0.4053735 0.51689235
2 0.00154727 0.1556216 0.26439553 0.333323423 0.3849768 0.43646002 0.55653082
3 0.00153183 0.15406885 0.26175748 0.329997624 0.38113562 0.43210516 0.55097793
4 0.00148507 0.14936498 0.25376577 0.319922481 0.36949919 0.41891258 0.53415605
5 0.0014277 0.14359467 0.24396222 0.307563144 0.35522459 0.40272903 0.51352038
6 0.00136679 0.13746928 0.23355539 0.294443261 0.34007158 0.3855496 0.49161487
7 0.00130536 0.13129002 0.22305706 0.281208008 0.32478533 0.36821911 0.46951673
8 0.00124481 0.12520077 0.21271163 0.268165535 0.30972174 0.35114105 0.44774047
9 0.00118589 0.11927472 0.20264349 0.255472631 0.29506188 0.33452072 0.42654786
10 0.00112897 0.11354974 0.19291695 0.243210375 0.28089941 0.31846429 0.40607428
11 0.00107424 0.10804458 0.18356388 0.231418962 0.26728074 0.30302439 0.38638684
12 0.00102177 0.10276712 0.17459766 0.220115249 0.25422535 0.28822309 0.36751369
13 0.00097157 0.09771876 0.16602067 0.209302248 0.24173672 0.27406434 0.34945985
14 0.00092363 0.09289697 0.15782864 0.198974551 0.22980859 0.26054106 0.33221629
15 0.00087789 0.08829683 0.15001316 0.189121575 0.21842875 0.24763938 0.31576535
16 0.0008343 0.0839119 0.14256333 0.179729572 0.20758132 0.23534132 0.30008406
17 0.00079277 0.0797349 0.13546674 0.170782911 0.19724824 0.22362639 0.28514634
18 0.00075323 0.07575803 0.12871018 0.162264912 0.18741025 0.21247276 0.27092433
19 0.0007156 0.07197327 0.12228002 0.154158408 0.17804753 0.20185795 0.25738937
20 0.0006798 0.06837257 0.11616255 0.146446113 0.1691401 0.19175932 0.2445126
21 0.00064575 0.0649479 0.11034416 0.139110873 0.16066815 0.18215442 0.23226537
22 0.00061337 0.06169141 0.1048115 0.132135843 0.15261224 0.17302118 0.22061957
23 0.00058259 0.05859542 0.09955152 0.125504594 0.14495338 0.1643381 0.20954776
24 0.00055333 0.0556525 0.0945516 0.119201193 0.13767318 0.15608431 0.19902333
Sumber: Perhitungan

96
GRAFIK DEBIT BANJIR RANCANGAN
HIDROGRAF METODE SNYDER
0.6

0.5
R5
Debit (m3/det)

0.4
R20
0.3
R50
0.2 R100
0.1 R200

0 R1000
0 5 10 15 20 25 30
Jam

Gambar 3.8 Grafik Debit Banjir Rancangan Metode Snyder


Sumber: Analisis Data

97
BAB IV

ANALISIS DEBIT ANDALAN

4.1 Analisis Debit Andalan

Perhitungan debit andalan bertujuan untuk menentukan areal persawahan yang dapat
diairi. Perhitungan ini menggunakan cara analisis water balance dari Dr. F. J. Mock
berdasarkan data curah hujan bulanan, jumlah hari hujan, evapotranspirasi dan karakteristik
hidrologi daerah pengaliran.

Prinsip perhitungan ini adalah bahwa hujan yang jatuh di atas tanah (presipitasi)
sebagian akan hilang karena penguapan (evaporasi), sebagian akan hilang menjadi aliran
permukaan (direct run off) dan sebagian akan masuk tanah (infiltrasi). Infiltrasi mula-mula
menjenuhkan permukaan (top soil) yang kemudian menjadi perkolasi dan akhirnya keluar ke
sungai sebagai base flow.

Berikut perhitungan debit andalan selama 12 tahun, dari tahun 2000 s/d tahun 2011 metode Dr.
F. J. Mock yang dibuat dalam tabel.

98
99

Anda mungkin juga menyukai